Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai

advertisement
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan dan Pengangguran Sebagai Masalah Kritis
--
Penduduk miskin, oleh BPS (2003), dikategorikan sebagai penduduk yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum.5 Besarnya nilai pengeluaran
(dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non
makanan disebut garis kemiskinan.
Kemiskinan merupakan salah satu ukuran nyata dari lemahnya pemaknaan
dan praksis pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Dengan konsepsi
pembangunan seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, maka kemiskinan
sepatutnya dipandang secara luas, dalam kerangka multi-dimensionalitasnya,
seperti yang dikemukakan oleh Bank Dunia dalam Yudhoyono dan Harniati (2004)
berikut :
Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick
and not being able to go to school and not knowing to know how to
read Poverty is not having job, is fear for the future, living one
aky at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by
unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation
andfieedom
Dengan definisi kemiskinan diatas, pengangguran, dengan demikian, menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kemiskinan itu sendiri.
'
Mmgacu pad8 kebutuhan atas makanan s c b minimum 2100 kkal pwkapita perhari, ditambah dengan
kebutuhan minimum non makanan yang mcrupakan kebutuhan dasar seseorang atas papan, sandang wkolah,
h q m b s i , s a t a kebuhlhan ~mahtanggadan individu yang mendasar lainnya Semcntara it& bagi Bank
Dunia, bafas untuk kaIegori miskin adalah pcnghasilan USD 1.00 perhari untuk negara kategori
bnpmdapatan mdah. Untuk kategori negara bupcndapatan tinggi, bafas miskin adalah USD 14.00 dan USD
2.00 pemari untuk katcgori n e e berpendapatan wdang.
Mengapa terjadi kemiskinan? Hal ini dapat diterangkan antara lain sebagai
berikut (Hudojo, 2003): "Mereka yang miskin itu disebabkan karena di dalam
proses produksi mereka hanya menerima "nilai lebih ekonomi" awal yang kecil
sekali. Mereka tidak mampu ikut dalam jenjang-jenjang proses produksi lebih
lanjut, karenaddak mempunyai modal. Sedangkan pihak lain yaitu pihak yang
bemodal, merekalah yang melakukan tugas produksi Iebih lanjut. Sebagai contoh,
petani-petani kecil tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk memproses hasil
produksi pertanian mereka lebih lanjut. Mereka tidak mampu atau tidak
berkesempatan untuk
memproduksi dan menjual hasil-hasil pertaniannya.
Memang ideal sekali apabila petani kelapa dapat memproduksi dan menjual
minyak gorengnya, nelayan mampu mengaleng dan mengekspor hasil tangkapan
ikannya, petani teh dapat memproses dan mempasarkan teh-tehnya dan seterusnya."
Nasution dalam Wiranto (2003) menerangkan bahwa secara garis besar,
kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan sbuktural dan
kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural sering disebut sebagai kemiskinan
buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung, kemiskinan
kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak
hanya tatanan organisasi, tetapi juga mencakup masalah aturan permainan yang
diterapkan. Di dalam teori hegemoni struktural (Mehretu, 1989), kemiskinan
struktural lahir karena hegemonic forces dari berbagai kebijakan yang tidak
mengintemalisasikan nilai keadilan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebii banyak
disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya dam.
Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemahlterbatas, peluang
produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksiiya relatif rendah. Dalam
kerangka teori diatas, kemiskinan alamiah lahir karena perbedaan comparative
advantage yang lahir karena competitiveforces (Mehretu, 1989).
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak. Secara
kuantitatif hal ini ditandai dengan masih adanya kerentanan, ketidakberdayaan,
keterisolasim,dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi bagi sebagian
masyarakat. Pada gilirannya, kondisi tersebut apabila tidak ditangani dengan baik
akan mengakibatkan antara lain: (1) tingginya beban sosial masyarakat, (2)
rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (3) rendahnya
partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya ketertiban m u m dan ketenteraman
rnasyarakat, (5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan pada
merosotnya mutu generasi yang akan &tang.
Akan halnya pengangguran6, tingkat pengangguran yang tinggi memiliki
dampak jangka panjang, yaitu timbulnya kelompok masyarakat yang pasrah total
pada keadaan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan bemsaha
dan memiliki akses yang terbatas terhadap kegiatan ekonomi. Pengangguran yang
persisten menambah jumlah orang miskin. Kemiskinan ini akan berlanjut
sehingga menjadi kemiskinan struktural jika tatanan kelembagaan-terrna.?.uk
kebijakan pemerintah-tidak berhasil menciptakan peluang dan kemampuan yang
memadai untuk mengangkat kelompok tersebut mencapai tingkat kehidupan
yang layak.
lstilah pmngmgprun dalam penelitian ini mmgacu pada konxp pengangguran terbuka-yang tclah
dipcrluso dalam mgka pmyesuaian dmgan konwp ILO-yaitu selain mmcakup penduduk yang aktif
m m d pelrajaan, juga kclompok penduduk yang scdang mcmpnsiapkan usahdpekujaan ban^, dan
kclompok penduduk yang tidak mcncui pelrajaan karena mcrass tidak mungkin mmdapatkan pekajaan
ataupun LMna sudah mempunyai pelrajaan tctapi klum mulai kkaja (BPS, 2003).
2.2.
Tinjauan Kritis Atas Pendekatan Pembangunan
2.2.1. Pembangunan Dualistik dalam Kerangka Pemikiran Keynesian
Upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran, secara umum,
membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu
memadai beswannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan
wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok
dengan kondisi aktual.
Model pembangunan ekonomi yang banyak diterapkan negara-negara
berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual sector), yang
pertama sekali diusulkan Lewis (1954). Model ini didasarkan pada asurnsi bahwa
banyak negara berkembang yang memiliki perekonomian rangkap, yakni sektor
pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industri/manufaktur yang bersifat
modem. Sektor pertanian tradisional diasumsikan sebagai bersifat subsistence dan
d i i e r i s t i k k a n dengan produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan
rendah dan underemployment atau surplus tenagakerja yang cukup besar dan
berada di kawasan ~erdesaan.~
Sektor manufaktur diasumsikan memiliki teknologi
maju, investasi tinggi, dan berada di kawasan perkotaan (lihat Gambar 2).
Dalam model ini, sektor manufaktur akan menarik surplus tenagakexja dari
pertanian di perdesaan. Perusahaan manufaktur, apakah milik pribadi atau
BUMN,bisa menawarkan gaji yang akan menjamin mutu hidup yang lebii tinggi
dibanding upah yang didapatkannya di perdesaan. Dalam gambar 2, ha1 ini
ditunjukkan oleh WM yang lebih tinggi dari WA. Tingkat produktivitas buruh
sangat rendah di area pertanian tradisional, sehingga pekerja yang meninggalkan
'Litaahlr klasik yang mmbahas peran pertanian antara lain adalah Johnston dan Mdlor (1%1). Pcran
tmcbut meneakup payerap tenaga kaja dan modal, p e n u h pmnintaan bahan baku xktor-scktor lain scna
pamintaan p g a n k o ~domstik,
~ ~ wrta
i pmghasil dcvisa
area perdesaan hampir tidak memberikan dampak pada output pertanian
sebelumnya, yaitu pada TP*.Tanpa disadari, jumlah pangan yang tersedia untuk
orang desa akan meningkat akibat penduduk yang lebih sedikit (karena sudah
bekeja, diserap oleh sektor manufaktur di perkotaan). Surplus produksi pangan
yang diperoleh bisa sebagian mereka jual untuk menambah pendapatan.
Jumlah Tenagakej a (&) (juta)
(a) Sektor (Industri) Modem
Jumlah Tenagakej a (Qu) (juta)
(b) Sektor (Pertanian) Tradisional
Gambar 2. Model Lewis untuk Pertumbuhan Sektor Modem dalam Surplus
Ekonomi Tenagakeja Dua Sektor.
Sumber: Lewis, 1954.
Orang yang
pindah dari desa ke kota akan mendapat peningkatan
pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan. Kunci untuk
membangun menurut model Lewis ialah meningkatkan tabungan yang pada
gilirannya diikuti dengan peningkatan investasi, yakni pada sektor manufaktur
modem. Migrasi dari perdesaan yang miskin ke wilayah perkotaanlmanufaktur
yang lebii kaya akan memberi para pekerja peluang untuk mendapat pendapatan
yang lebii tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi.
Pertumbuhan di sektor industri akan dengan sendiinya menghasilkan permintaan
tenagakerja clan juga akan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang
dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas
ekonomi?
Schelkle (1996) mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan
dalam model pembangunan dualistic Lewis. Menurutnya, suatu ekonomi yang
bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi, terutama karena adanya
proteksi dan perfect capital controls. Di dalam suatu ekonomi tertutup, capital
flight akan menyebabkan tidak produktif atau pemakaian lahan berkurang. Hal ini
akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Bila kemudian terjadi inflasi,
pemerintah akan memakai tabungan rumah tangga sebagai alternatif aset
keuangan d o m e d . Pengurangan tabungan selanjutnya mengurangi investasi,
yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan.
Pendekatan yang diusulkan Schelkle menggunakan sektor moneter sebagai
sektor non-pertanian. Sektor moneter dinyatakan dalam suatu pasar kredit ( l i t
'Pada kayataamys. ha1 ini tidak tqadi di Indonesia Adanya goncangan (shock) ddam bcntuk Krisis Asia
pada tahun 199711998 tdah menyebabkan banglruhlya banyak industri (dm dipcrlukannya upaya dan dana
yang besar untuk mawnkturiutsi perbankan). Scbagai skibat dari kmgbutnya perusahaan-pausahsan di
&tor indusbi, jumlah pckerja yang magalami p u h l s a n hubungan kmja menin&% Cukup banyak di
antar8 m&
yang akhirnya kcmbali kc pcrdesaan dan bckuja di Pclrtn patank (Siregar, 2002)
Gambar 3). Tingkat bunga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran
kredit. Tigkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi permintaan efektif sebab
distribusi pendapatan bergeser ke rumahtangga yang cenderung untuk
meningkatkan saving. Perpotongan permintaan kredit ( L ~ dan
) penawaran kredit
(Ls)menentukan tingkat suku bunga keseimbangan. Pada tingkat keseimbangan
ini, pasar barang (komoditi)juga berada pada keseimbangan, dengan tingkat harga
.P:
Meskipun pasar kredit dan pasar barang berada dalam keseimbangan, pasar
tenagakerja tidak berada dalam keseimbangan. Penawaran tenagakeja (NS)
melebii permintaan tenagakeja (I@
sehingga
) terdapat pengangguran maupun
A
Demand
Tenagakerja
.*
Nd(i)
I
Pasar
i Tenagakerja
LLL
N
Supply
Tenagakerja
Gambar 3. H i i k i Pasar di dalam Produksi Moneter (Non-Pertanian).
Sumber: Schelkle, 1996 (dimodifikasi)
Di dalam Gambar 4, kenaikan suku bunga pada pasar uang ditunjukkan
dengan pergerakan kurva permintaan dan penawaran kredit ke arah kiri (diagram
kiri atas). Pada pasar barang, hal ini akan diikuti dengan suatu pergeseran k w a
ke kiri atas dan kuwa permintaan ke kiri bawah (
x
:
)
.
penawaran agregat (X):
Sebagai akibatnya, terjadi kontraksi output dan kenaikan tingkat harga barang
(inilasi).
Pasar
Kredit
'
L'(i; ,....)
Pasar
Komoditi
.'
t
"."-..
-.a
,
.'"
"
&'ti.....)
X'(LO,
....)
""-"
----------
-....' ..
....
...
I
I
x (I* ,....)
d .
0
Xd(i:, ....)
Gambar 4. Restriksi Moneter
Sumber: Schelkle, 1996 (diiodifikasi)
Di dalam sektor pertanian, rumahtangga yang berpendapatan sangat
rendah bergantung pada upah, dan tidak ada sisa penghasilan mereka untuk
ditabung. Permintaan efektif akan berkurang apabila terjadi kenaikan sukubunga
sebab kenaikan sukubunga akan meningkatkan tabungan yang dimiliki oleh
rumahtangga berpendapatan lebih tinggi dan menurunkan konsumsi. Dengan kata
lain, distribusi pendapatan tidak terjadi melalui tabungan. Dalam suatu
perekonomian dual, aset riil merupakan the medium of flight dari mata uang,
sehingga berpotensi memunculkan inflasi. Inflasi secara berangsur-angsur akan
menghilangkan basis produksi pertanian rumahtangga. Oleh karena itu, untuk
menjaga kestabilan pendapatan rumah tangga berpendapatan rendah, perlu
dilakukan stabilitas moneter atau kebijakan perkreditan yang sesuai.
Di samping model dual, terdapat model-model pembangunan ekonomi
lainnya, di mana intinya ialah memberikan peran kepada pemerintah untuk
mengarahkau jalannya pertumbuhan ekonomi. Di antamya ialah guidance
development dan planned economy. Indonesia menerapkan model guidance
development dalam pengelolaan ekonomi sejak pertengahan tahun 1950, dengan
pola dasar Growth with Distribution. Peran pemerintah pusat dalam hal ini sangat
dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (misalnya Pembangunan
Semesta Berencana dari Kabinet Juanda). Namun model pembangunan ini
berakhir dengan terjadinya spiral inflation pada akhir tahun 1965.
Kemudian sejak awal tahun 1970 terlihat kecendemgan bahwa Indonesia
menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution.
Rostow (1980) menyatakan bahwa setiap negara yang akan melakukan
pembangunan ekonomi dengan baik
disarankan melewati
lima tahp
pembangunan ekonomi, yang meliputi: tahap traditional society, transitional, take
off; drive to maturity, dan
high mass consumption. Model pembangunan
Indonesia saat itu mengikuti model pembangunan Rostow ini. Tahapan model
pembangunan ini jelas terlihat dalam tahapan-tahapan pembangunan lima tahun di
Indonesia:
1. Tahap pertama adalah h.aditional society, perekonomian didominasi oleh
aktivitas subsisten di mana hail panen lebih banyak digunakan untuk
diiomumsi dibanding dijual. Pertanian saat itu merupakan industri paling
penting, dan bersifat produksi intensif tenagakeja dan hanya menggunakan
jumlah m d a l yang terbatas. Alokasi sumberdaya banyak ditentukan oleh sistem
produksi tradisional. Kebijakan pemerintah mengubah pola ekonomi tradisional
yang berbasis pertanian tradisional (pangan, tanarnan lain dengan nilai tambah
rendah) menuju pola ekonomi industri, di mana kegiatan ekonomi be-pu
pada indwhi. Chi utama dari tahap ini adalah : (a) swasembada dalam bidang
pangan, (b) sektor industri menjadi sektor utama untuk penyerapan tambahan
tenagakerja, dan (c) pertumbuhan ekonomi be-pu
pada industri.
2. Tahap kedua adalah prasyarat untuk lepas landas, yang ditandai antara lain
oleh perbailcan infrastruktur, terutama jalan raya, pelabuhan, re1 kereta api,
lapangan terbang sehingga dapat meningkatkan pendapatan, tabungan, dan
investasi serta menumbuhkan banyak pelaku bisnis. Pada tahapan ini, tingkat
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio
semakin meningkat, pangsa industri dalam p m b u h a n ekonomi semakh
besar.
3. Tahap ketiga adalah lepas landas, yang merupakan tahap peningkatan
indhalisasi, dimana sebagian pekeja berpindah dari sektor pertanian ke
sektor industri. Pertumbuhan dipusatkan di beberapa wilayah saja pada satu
atau dua sektor industri. Hal ini memiliki semangat yang mirip dengan model
pembangunan Lewis. Selanjutnya tejadi pertumbuhan yang berkelanjutan
ketika investasi mengarah kepada peningkatan pendapatan yang pada
gilirannya meningkatkan tabungan untuk membiayai investasi lebih lanjut. Di
sini, rata-rata tingkat investasi melampaui 10 persen dari GNP. Transisi
ekonomi disertai dengan pembahan lembaga sosial dan politik baru yang
mendukung industrialisasi. Peran pemerintah mulai berkurang; dengan kata
lain, perm swasta dalam pembangunan semakin besar.
Pemerintah lebih
bersifat sebagai pendorong, melalui kebijakan dan stabilitas politik. Beberapa
indikator utama dalam tahap ini adalah, terjadinya pembahan teknologi, baik
di sektor industri maupun pertanian sehingga capital-labor ratio semakin
meningkat. Selain itu, peran penanaman modal asing dalam pembangunan
ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta domestik.
Selanjutnya, model pertumbuhan bertumpu pada akumulasi kapital melalui
pasar modal. Hal ini berarti peran masyarakat dalam pembangunan meningkat,
terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal.
4. Tahap keempat adalah proses pematangan, tahap d i i a perekonomian
sedang melakukan diversifikasi ke area-area baru. Inovasi teknologi
menyediakan suatu cakupan peluang investasi yang berbeda Ekonomi telah
masuk dalam cakupan yang lebii luas dengan memproduksi barang dan jasa
serta berkurangnya ketergantungan terhadap barang impor. Pada tahap ini
peran pemerintah pada pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator,
bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan.
Mekanisme pasar menjadi andalan kelembagaan ekonomi dan mata uang
domestik memasuki perdagangan intemasional.
5. Tahap kelima adalah konsumsi tinggi dari masyarakat, dimana perekonomian
disesuaikan ke arah kebutuhan konsumsi masyarakat luas. Konsumen hasil
industri semakin banyak peminatnya. Dan sektor jasa terus meningkat dan
berkembang.
Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang
dipaparkan di atas temyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu
terputus oleh'luisis ekonomi tahun 199711998. Industrialisasi yang sedianya
diharapkan menjadi motor transformasi struktural yang menyerap surplus tenagakerja
di perdesaan temyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran.
Sebagian dari para penganggur ini bahkan diserap kembali oleh sektor pertanian
atau aktivitas ekonomi perdesaan (maupun perkotaan) berskala mikro dan kecil.
Dalam kondisi dimana sektor industri-atau
keseluruhan-belum
perekonomian secara
sepenuhnya pulii dari krisis, pembangunan kembali sektor
pertanian maupun aktivitas-aktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin
penting. Seperti yang dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent (1987), upayaupaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia
lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa negam, dan pasar
bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan
perekonomian. Pembangunan kembali (revitalisasi) pertanian dan perdesaan,
dengan demikian, perlu dilakukan.
2.2.2.
Pembangunan Pertanian dan Perdesaan
Berikut ini disajikan perjalanan pembangunan pertanian dan perdesaan
pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Pemerintahan Orba melaksanakan
pembangunan ekonomi untuk mengejar pertumbuhan tinggi, dan pemerataan
diasumsikan akan dengan s e n d i ~ y aterjadi melalui Pickle down effect. Untuk
mencapai pemunbuhan tinggi, pemerintah Orba memberikan segala kemudahan
seperti perizinan, perlindungan bea masuk, kredit bank, peruntukan lahan dan
sebagainya. Pemerintah Orba juga memberikan monopoli beberapa jenis komoditi
kepada usaha-usaha. Secara umum dapat dikatakan bahwa ekonomi Orde Baru
bercirikan bias perkotaan dan industri manufaktur dalam kerangka kebijakan
preferensial terhadap konglomerasi. Dalam kerangka ini, pembanguna pertanian
dan perdesaan k m g memperoleh perhatian, terutama dalam kaitannya dengan
kebijakan umum pembangunan dan investasi.
Dalam era reformasi lahir TAP MPR RI Nomor XVYMPRl1998 tentang
Politik Ekonomi &lam Rangka Demokrasi Ekonomi untuk menggantikan politik
ekonomi konglomerasi Orde Baru. Prinsipprinsip politik ekonomi reformasi yang
tertuang dalam TAP MPR tersebut adalah :
1. Politik-ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi
nasional agar t e m j u d pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya,
serta terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan agar
pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha
besar swasta, dan Badan Usaha Milik Negara yang saling memperkuat, untuk
mewujudkan Dernokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing
tinggi.
2. Usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional
hams memperoleh kesempatan usaha, dukungan, perlindungan dan
pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada
kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan
Badan Usaha Milik Negara.
3. Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi, tidak boleh dan hatus ditiadakan
terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang,
sekelompok orang atau pemsahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan
dan pemerataan.
~ e k s s m pelaksanaan
e
politik-ekonomi reformasi memjuk pada GBHN
1999-2004, yang arah kebijakan penyelenggaraannya dituangkan dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Dalam Propenas tersebut diuraikan lebih mendetail ciriciri ekonomi kerakyatan
yang merupakan sistem ekonomi yang hendak dibangun oleh Orde Reformasi,
antara lain sebagai berikut:
1. Pemberdayaan ekonomi rakyat sangat terkait dengan upaya menggemkkan
ekonomi perdesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat pembangunan
perdesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah
perbatasan dan daerah terbelakang lainnya harus merupakan prioritas, antara
lain, dengan meningkatkan pembangunan prasarana perdesaan dalam
mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk jaringan
produksi dan distribusi yang saling menguntungkan.
2. Pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya dam lainnya, s e p d
hutan, laut, air, udara, clan mineral secara adil, transparan clan produktif
dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat
masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian h g s i lingkungan hidup.
3. Pembangunan ekonomi rakyat, antara lain pertanian, perkebunan, petemakan,
perikdpertambakan, pertambangan, industri dan perdagangan barang dan
jasa yang berskala mikro dan kecil, mempakan inti dari pembangunan sistem
ekonomi kerakyatan.
Dalam era reformasi, lahir perubahan paradigma pembangunan ekonomi
sebagaimana tercermin pada empat arah kebijakan berikut : (1) mengembangkan
sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang
berkeadilan (butir 1V.B.I); (2) mengembangkan perekonomian yang berorientasi
global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif
berdasarkan keunggulan komparatif (butir IV.B.5); (3) memberdayakan pengusaha
kecil menengah dan koperasi agar efisien, produktif, dan berdaya saing dengan
menciptakan iklim yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya (butir
IV.B.11); clan (4) mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada
keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal (butir
IV.B.14). Esensi kebijakan ini adalah pembahan strategi industrialisasi yang
sebelumnya berbasis pada bahan baku yang harus diimpor kepada strategi
industrialisasi baru yang berbasis pada sumberdaya domestik dan perubahan
pengelolaan pembangunan ekonomi yang semula lebii menonjolkan peran
pemerintah kepada partisipasi dm kreativitas ekonorni masyarakat.
Dalam perekonomian Indonesia, salah satu sektor ekonomi yang berbasis
sumberdaya domestik (sumberdaya dam, tenagakerja rakyat, keahlianl
keterampilan rakyat, dan teknologi) dan dikuasai oleh sebagian besar rakyat
adalah sektor pertanian. Oleh karena itu, cara yang paling efektif dan efisien untuk
membangun
sumberdaya dam-khususnya
pertanian-sambil
menyerap
tenagakerja di kawasan perdesaan adalah melalui pembangunan sektor pertanian
dan aktivitas-aktivitas ekonomi yang banyak menggunakan produk pertanian
(pasca panen dan industri pengolahan produk pertanian).
Gagasan perubahan paradigma pembangunan di atas temyata baru
merupakan konsepsi dan belum menjadi praksis pembangunan. Pembangunan
pertanian dan-perdesaan masih belum memperoleh perhatian yang seksama,
sebagaimana bisa dilihat dari rendahnya investasi pemenntah di sektor ini.
2.3.
Framework Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal
23.1. Makroekonomi, Pertumbuhan, Pengangguran, dan Inflasi
Menurut Dornbusch and Fischer (1997), dalam siklus ekonomi terdapat
hubungan yang sederhana antara variabel-variabel utama makroekonomi, seperti
pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Perubahan penggunaan faktor-faktor
produksi akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi pertumbuhan GNP riil.
Perhunbuhan GNP yang tinggi akan diikuti oleh p e n m a n tingkat pengangguran.
Hubungan antara laju pertumbuhan riil dengan perubahan tingkat pengangguran
diienal sebagai Hukum Okun, yang menyatakan bahwa tingkat pengangguran
akan turun bila laju perhunbuhan berada di atas laju trend 2.5 persen.
Secara
khusus, bagi setiap persentase tingkat pertumbuhan GNF' riil di atas laju trend
selama satu tahun itu, angka pengangguran akan turun sebesar 0.4 persen.
Hubungan ini dinyatakan dalam persamaan (a) di mana Ap melambangkan laju
perubahan angka pengangguran, sedangkan y adalah laju pertumbuhan output, dan
2.5 adalah trend pertumbuhan dari output.
Ap=-0.4 (y-2.5)
.....................................................................................(a)
Dengan menggunakan persamaan (a), misalkan laju pertumbuhan pa&
tahun tertentu adalah 4 persen, maka &pat dihitung penurunan angka
penganggurannya sebesar angka persentase 0.6 {= -0.4(4-2.5)). Rumus tersebut
juga dapat digunakan untuk mempertanyakan berapa besarkah laju pertumbuhan
yang diperlukan untuk m e n d a n angka pengangguran satu persen. Jawabannya
5 persen {-1 = -0.4(5 - 2.5)). Jika laju pertumbuhan pada tahun itu adalah 7.5
persen, angkapengangguran akan menurun sebesar 2 persen. Hukum ini hanya
merupakan perkiraan dan tidak akan berfungsi dengan sangat jitu dari tahun ke
tahun, namun dapat memberikan penekanan pentingnya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi pengangguran.
Pertanyaannya adalah apakah pertumbuhan ekonomi ingin dicapai melalui
peningkatan penawaran agregat ataukah melalui permintaan agregat? Kedua
pendekatan ini perlu dilakukan. Upaya meningkatkan penawaran agregat secara
umum membutuhkan waktu yang relatif panjang. Pada saat perekonomian berada
dalam keadaan krisis, tentu diperlukan upaya-upaya pemulihan yang relatif cepat.
Ini biasanya dilakukan melalui peningkatan permintaan agregat. Kebijakan
pennintaan agregat yang bersifat ekspansif cendemg menghasilkan inflasi.
Pengecualiannya ialah bila kebijakan itu diambil ketika perekonomian berada
pada tingkat pengangguran yang tinggi. Permintaan agregat yang rendah, dalam
jangka panjang, akan cenderung mengurangi laju idasi. Inflasi, seperti halnya
pengangguran, merupakan masalah utama dari makroekonomi. Akan tetapi,
kerugian yang diakibatkan oleh inflasi adalah jiuh lebih ringan dari pada kerugian
yang tejadi karena faktor pengangguran. Dalam hal pengangguran, output
potensial menjadi terbuang percuma, dan itulah sebabnya mengapa penurunan
tingkat pengangguran menjadi sangat diperlukan. Dalam hal inflasi, tidak ada
kerugian nyata terhadap output.
Konsumen tidak menyukai intlasi karena sering dikaitkan dengan
munculnya berbagai masalah, seperti gejolak harga rninyak (BBM) sehingga
mengurangi pendapatan riil atau daya beli mereka. Selain itu, inflasi juga
mengganggu keterkaitan harga yang lazim dan mengurangi efisiensi sistem harga.
Sering terjadi, para pengambil kebijakan bersedia menaikkan tingkat
pengangguran guna menurunkan laju inflasi, yaitu mengundang pengangguran
dalam rangka mengurangi laju inflasi (trade off antara pengangguran dan inflasi).
Secara sederhana, trade off antara inflasi dan pengangguran, dapat
ditunjukkan dengan Kuwa Phillips (Mankiw, 1997). Kurva Phillips
mengambarkan keterkaitan antara inflasi clan tingkat pengangguran: semakin
tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah laju inflasi. Gambar 5 menampilkan
kurva Phillips yang memiliki kemiringan negatif, yang menunjukkan bahwa
tingkat pengangguran yang tinggi akan diikuti oleh laju inflasi yang rendah, dan
sebaliknya. Kurva ini menandaskan bahwa tingkat pengangguran yang rendah
akan selalu dapat dipertahankan dengan mendorong sedikit laju inflasi, dan laju
infiasi akan selalu diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan angka
pengangguran. Namun begitu fenomena tingkat infiasi dan pengangguran yang
relatif tinggi pada tahun-tahun belakangan ini telah mendorong munculnya
skeptisisme akan kebenaran kurva ini. Tetapi kurva tersebut diakui masih berguna.
Laju inflasi (rr) bergantung pada tiga faktor, yaitu laju inflasi yang diharapkan (rr3,
tingkat deviasi pengangguran atau biasa disebut cyclicaf unempfoyment (u - u3,
dan supply shock ( E ) :
7t
......................................................................... (b)
= rre-B(~-t4~+E
dimana $ adalah parameter atau konstanta positif
Asumsi bentuk persamaan di atas disebut adaptive expectations. Sebagai
contoh, suatu negara mengharapkan harga naik tahun ini pada tingkat yang sama
dengan tahun yang lalu. Dari persamaan di atas maka kurva Phillips dapat ditulis
seperti pada persamaan (c) dan (d), dimana tingkat inflasinya tergantung pada
tingkat inflasi-masa lalu, pengangguran cyclical, dan supply shock.
Apakah pengambii kebijakan akan memilii lebih rendah inflasi atau lebii
rendah pengangguran bukan semata-mata merupakan keputusan ekonomi,
melainkan ekonomi-politik. Diperlukan suatu kesepakatan politik untuk
menentukan salah satu dari dua pilihan tersebut, khususnya pada jangka pendek.
Gambar 5. Kurva Trade WJangka Pendek Antara Tingkat Pengangguran
dan Inilasi
Sumber : Mankiw (1997)
2.3.2.
Politik Ekonomi bagi Kebijakan Makroekonomi
Kerangka pemikiran atas penawaran dan permintaan agregat menegaskan
bahwa di bawah kondisi tertentu, kebijakan makroekonomi rnempunyai peluang
untuk memperbesar atau memperkecil permintaan. Para pembuat kebijakan
mempunyai dua alternatif kebijakan yang dapat digunakan untuk rnempengaruhi
perekonomian, yaitu melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Dornbusch
dan Fischer, 1997).
Kebijakan moneter diatur oleh Bank Sentral. Instrumen kebijakan moneter
adalah perubahan cadangan uang yang beredar, tingkat suku bunga (tingkat
diskonto), dan pengawasan sistem perbankan. Kebijakan fiskal adalah bidang
kewenangan pemerintah, dan biasanya dibuat dengan persetujuan parlemen.
Instrumen kebijakan fiskal adalah tarif pajak dan besarnya pengeluaran
pemerintah.
Masalah umum yang diiadapi dalarn penerapan kebijakan adalah bahwa
pengaruh dari kebijakan fiskal dan moneter terhadap perekonomian tidak
sepenuhnya dapat diiamalkan, baik yang berkaitan dengan waktu maupun tingkat
pengaruhnya terhadap permintaan dan penawaran agregat serta terhadap variabel
lainnya Kedua aspek ketidakpastian ini merupakan inti dari masalah kebijakan
stabilisasi. Kebijakan stabilisasi &ah
kebijakan moneter dan fiskal yang
d i i c a n g untuk memperlunak fluktuasi perekonomian, terutama pada Iaju
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tingkat pengangguran.
Gambar 6 menunjukkan fluktuasi yang relatif besar pada laju inflasi dan
tingkat pengangguran.
Pergerakan kedua variabel tersebut memperlihatkan
'Namun dcmikian, untuk jangka pmdck, sepcrti 1963-1%9, 1976-1979, 1980-1982, dan 19861988, mrdcoffantam laju inflssi dan tinglrat pmgangguran dapat dilihat secara cukupjelas.
bahwa kebijakan stabilisasi belum sepenuhnya berhasil menstabilkan kedua
variabel tersebut. Kegagalan kebijakan stabilisasi ini tejadi karena ketidakpastian
mekanisme keja dari kebijakan tersebut, maupun keterbatasan karena dampak
dari kebijakan itu terhadap perekonomian.
.-
Tingkat Pengangguran (Persen)
Gambar 6. Ilustrasi Trade OffTigkat Pengangguran dan
Laju Inflasi di Amerika Serikat, Tabun 1963-1988
Sumber : Dombusch and Fischer (1997)
Betapapun, aspek ekonomi-politik, seperti telah dikemukakan sebelumnya,
juga terlibat dalam penentuan kebijakan stabilisasi. Tenggang waktu (lag) yang
dibutuhkan untuk memformulasi kebijakan, instrumen kebijakan yang dipilih,
serta cara pemerintah atau otoritas moneter menerapkan kebijakan tersebut
merupakan unsur-unsur ekonorni-politik yang berpengaruh terhadap pencapaian
stabilitas kedua variabel tersebut.
2.3.3. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran
dan kemiskinan. Kerangka empirik untuk menganalisis pertumbuhan dapat
diperoleh dari model pertunbuhan neoklasik yang diperluas, yang secara ringkas
dapat ditunjukkan oleh suatu persamaan sederhana di bawah ini:
Dy = F(y, y*)
...........................................................................................
(4
dimana:
Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita,
y adalah tingkat output per kapita sekarang dan;
y* adalah tingkat target output per kapita atau tin&t
panjang
output per kapita
Dalam model neokiasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang (the
diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju
pertumbuhan ekonomi, Dy, yang berhubungan secara berbalikan (inverse) dengan
tingkat pertumbuhan (y). Hubungan tersebut berlaku untuk nilai y* tertentu.
Indikator suatu pertunbuhan ekonomi mencakup modal sumberdaya manusia
(human capitar) dan perubahan teknologi. Variabel y digeneralisasikan dari
tingkat produk per kapita yang dipengaruhi oleh kapital fisik, human capital, dan
input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan &lam proses produksi.
Nilai y* dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, j u d a h penduduk, dan
lain sebagainya. Sebagai contoh, adanya kebijakan pemberlakuan hak-hak
kepemilikan properv rights dan kebijakan yang mengarah kepada berkurangnya
distorsi pasar akan menaikkan y*. Misalnya jika seseorang bekerja dengan alasan
akan menabungkan sebagian dai pendapatannya, maka secara teoritis y* akan
meningkat, akhimya Dy naik.
Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy),
yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita
(y). Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan
tersebut mengalami diminishing returns. Pada jangka panjang, dampak dari
kebijakan ini -hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan
dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil sehingga sama dengan nol.
Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Barro
(1997) melihat pengaruh langsung dari sejumlah kebijakan pemerintah dan
variabel lainnya Penelitian ini mengambil sampel 100 negara mulai tahun 1960
sampai tahun 1995. Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi panel regresi faktorfaktor yang mempengaruhi laju PDB nil per kapita. Tabel 2 menunjukkan hasil
estirnasi panel regresi faktor-faktor yang menentukan rasio investasi (swasta dan
publik) terhadap PDB.
Tabel 1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita
dipengaruhi oleh tingkat PDB per kapita, tingkat pendidikan, rasio pengelman
pemerintah terhadap PDB, indeks kepastian hukum, tingkat keterbukaan terhadap
dunia internasional, laju inflasi, laju fertilitas total, rasio investasi terhadap PDB,
dan laju pe-buhan
nilai tukar perdagangan (terms of trade). Persamaan regresi
laju pertumbuhan PDB per kapita ditelaah untuk ke-100 negara sampel, kelompok
negara-negara maju (OECD), kelompok negara-negara kaya, dan kelompok
negara-negara miskin.
Untuk keseluruhan sampel negara (kolom (I)), semua variabel independen
tersebut di atas berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan PDB per kapita,
kecuali rasio investasi terhadap PDB. Pengaruh variabel penjelas ini nyata, hanya
pada kelompok negara maju. Sebaliknya, pengaruh rasio pengelwan pemerintah
terhadap PDB-yang
menggambarkan kebijakan fiskal-tidak
nyata di kelompok
negara maju, namun berpengaruh nyata, dengan arah negatif, di kelompok negara
miskin.
-Tabel 1. Panel Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDB Per Kapita di
Beberapa Kelompok Negara, Tahun 1960-1995
Log(per -pila GDpl
solad
Male UW School
L
Sumber: Barro (
Di kelompok negara miskin ini, variabel penjelas yang berpengaruh nyata
dan positif terhadap laju perhmbuhan PDB per kapita adalah tingkat pendidikan,
indeks kepastian hukum, keterbukaan terhadap pasar intemasional, dan laju
pertumbuhan terms of trade. Dengan kata lain, kebijakan yang meningkatkan
keempat variabel penjelas tersebut secara nyata dapat meningkatkan laju
pertumbuhan PDB per kapita.
Tabel 2. Panel Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasio Investasi
Terhadap PDB di Beberapa Kelompok Negara, Tahun 1960-1995
Sumber: B m , 1997
Di antara empat variabel penjelas tersebut, tiga diantaranya yaitu indeks
kepastian hukum, keterbukaan terhadap pasar internasional, dan laju pertumbuhan
terms of trade-yang
harga imp-juga
menunjukkan rasio indeks harga ekspor terhadap indeks
berpengaruh nyata terhadap rasio investasi terhadap PDB
untuk kelompok negara miskin (Tabel 2). Jadi, kebijakan yang dapat
meningkatkan besaran ketiga variabel tersebut akan meningkatkan rasio investasi.
2.3.4.
Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal Indonesia
Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen penting untuk mencapai
*
-
kestabilan makroekonomi. Dalam kerangka kebijakan fiskal, APBN merupakan
alat atau instrumen pemerintah untuk mengelola makroekonomi. Pengelolaan
tersebut berkenaan juga dengan upaya menjalankan fungsi-fungsi utama APBN
sebagai bedcut. Pertama, fungsi alokasi, yang mencakup penyediaan dana bagi
kebutuhan masyarakat banyak akan sarana dan prasarana yang tidak &pat
disediakan oleh swasta tanpa campur tangan pemerintah. Kedua, fungsi distribusi,
yaitu pengeluaran pemerintah yang diarahkan untuk mengurangi kesenjangan dan
memeratakan pendapatan antar warga negara. Ketiga, h g s i stabilisasi, yaitu
anggaran pemerintah yang ditujukan untuk memelihara tingkat kesempatan kerja
yang memadai, kestabilan harga, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai
(Goeltom, 1997).
Ketiga fungsi anggaran tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal
yang diambil pemerintah tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi, tetapi juga diharapkan untuk memberikan stimulasi bagi
pertumbuhan ekonomi, yang pada akhimya dapat mengurangi pengangguran,
kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan bangsa secara relatif merata.
Kebijakan fiskal merupakan instrumen utama untuk mengatur bagaimana
pendapatan negara dialokasikan kepada aktivitas ekonomi masyarakat secara adil,
dan digunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat.
Keadilan dan kemerataan merupakan nilai yang pengejawantahannya
memerlukan konsensus politik maupun sosial. Tercapainya konsensus terhadap
nilai tersebut menjadikan nilai itu sebagai arah pengembangan (improvement).
Tata-hubungan yang sehat antara pemenntah dan parlemen, baik di tingkat pusat
maupun daerah, serta antara keduanya deng& masyarakat, akan mempermudah
pencapaian konsensus terhadap nilai tersebut.
23.5. Kebijakan Fiskal untuk Mengurangi Kerniskinan dan Penganggunan
Mengumngi kemiskinan dan pengangguran dapat dipandang sebagai salah
satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan. Untuk
mencapai ha1 ini, secara simultan, beberapa indikator pembangunan yang relevan,
khususnya perhunbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan jumlah penduduk
miskin hendaklah ditargetkan secara tepat. Pada Propenas 2000-2004, misalnya,
ditetapkan bahwa pemunbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen secara bertahap,
tingkat pengangguran menurun menjadi 5.1 persen, dan jumlah penduduk miskin
menurun menjadi 14 persen tahun 2004. Upaya untuk meningkatkan angka
pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen perlu dilakukan, mengingat angka
kemiskinan serta tingkat pengangguran akan sulit ditekan apabila tingkat
pertumbuhannya masih relatif rendah, yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen
pada tahun 2004 ini.
Keadaan ekonomi nil, khususnya pengangguran dan kerniskinan, hingga
akhir-akhir ini belum menunjukkan perkembangan yang cukup baik. SebeIum
krisis, jumlah penduduk miskin di bawah 16 persen, namun ketika krisis datang,
pertengahan 1997, meningkat menjadi 40 persen. Hingga tahun 1999, angka
tersebut masih 23.4 persen dan pada 2002 sekitar 18.2 persen. Pa& 2003, jumlah
penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar yakni mencapai sekitar 37 juta
jiwa atau 17 persen dari jumlah penduduk. Diprediksikan dalam Propenas 20002004 bahwa angka kemiskinan tahun 2004 kemungkinan hanya bisa ditekan
hingga 16 persen atau tetap 17 persen (35.9 juta jiwa) seperti angka tahun 2003.
Komitmen untuk mengurangi utang l u x negeri, yang tentunya akan membawa
konsekuensi terhadap berkwangnya dana-dana untuk pembiayaan pembangunan,
mengurangi dana untuk penanggulangan kemiskinan ini.
Upaya menekan pengangguran memerlukan kebijakan-kebijakan yang
komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapksn setelah diberlakukannya UU
No. 2311999, yang hanya memfokuskan pada pengendalian inflasi dan nilai tukar
rupiah, sulit diharapkan untuk secara langsung dapat menekan pengangguran.
Dengan kata lain, stimulus ekonomi melalui kebijakan moneter sulit dilakukan.
Kebijakan fiskal, dengan demikian, lebii efektif untuk merangsang perekonomian.
Hanya saja, ekspansi fiskal untuk merangsang perekonomian hendaknya
dilakukan secara hati-hati, sebab defisit anggaran yang bersifat jangka panjang
akan menganwn kesinambungan fiskal (Bartik, 2003).
Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada
dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenagakerja atau
pengangguran. Tenagakerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan
tenagakerja kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenagakexja
ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau setengah
penganggur. Tenagakerja terampil atau yang berpendidii relatif tinggisehingga memiliki mobilitas relatif tinggi-memiliki
kerentanan yang relatif lebii
kecil untuk menjadi penganggur atau setengah penganggur, mengikuti kenaikan
tarif pajak (Siebert, 1996). Adanya efek yang tidak simetris ini menunjukkan
perlunya memperhitungkan secara hati-hati upaya untuk meningkatkan tarif pajak.
2.4.
Tinjauan Literatur dan Hasil-hasil Penelitian Terdabulu
2.4.1. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan
--
Pembangunan perdesaan tidak mutlak hanya membicarakan sektor
pertanian.
Pembangunan perdesaan hendaknya ditinjau dalam konteks
transformasi ekonomi serta struktur sosial, kelembagaan, dan cara-cara kerja di
daerah perdesaan pada m a - m a mendatang. Pembangunan pertanian dan
perdesaan hendaknya dikaitkan dengan aturan Pemerintah Pusat tentang
perubahan kelembagaan, terutama dalam bentuk reforma agraria. Reforma agraria
tidak berarti land reform semata. Lebih dari itu, reforma agraria diartikan sebagai
perubahan struktur dalam kerangka agrarian transformation, yaitu transformasi
sosial-ekonomi masyarakat perdesaan (Wiradi, 2000). Transformasi ini mencakup
berbagai perubahan kelembagaan, antara lain land reform, land tenure, sistem
kredit pertanian yang efektif, sistem pemasaran yang efisien, serta sistem
penyuluhan dan komunikasi pembangunan. Semua ini perlu ditopang oleh
investasi pemerintah yang memadai dalam infrastruktur serta penelitian dan
pengembangan pertanian (Perkins et a[., 2001).
Perkins et al. (2001) menekankan pentingnya pembangunan daerah
perdesaan yang integratif (integrated rural development). Pertumbuhan industri
tidak akan berjalan dengan lancar bila pertanian clan perdesaan mengalami
stagnasi. Kalaupun bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut cenderung
menciptakan berbagai ketimpangan internal dalam perekonomian, yang pada
gilirannya akan memperparah masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan
pendapatan, serta pengangguran.
Pembangunan perdesaan hendaknya tidak dibatasi pada pertumbuhan sektor
pertanian dan kemajuan-kemajuan ekonomi saja, melainkan mencakup juga dimensidimensi lainnya. Pembangunan tersebut hendaknya mencakup aspek sosial dan
ekonomi secara komprehensif dan seimbang, dengan titik berat pada pemerataan
pdapatan dan pencapaian taraf hidup yang lebih tinggi. Sasaran yang harus dicapai
dari kebijakan ini adalah penciptaan lapangan keja yang lebii banyak, baik itu pada
sektor pertanian maupun sektor non-&an;
pemerataan kepanilikan lahan subw
di perdesaan; distribusi pelayanan kesehatan, gizi, dan perurnahan yang lebih merata;
dan adanya kesempatan yang lebii luas untuk mendapatkan pendidikan formal (di
sekolah) dan pendidikan nonformal (luar sekolah) baik untuk orang dewasa maupun
anak-anak, terutama sekali pendidikan yang mempunyai relevansi langsung terhadap
kebutuhan aspirasi masyarakat desa (Todaro, 2000).
Aspek sosial seperti perluasan akses rakyat untuk mengenyam pendidikan
pada gilirannya berdampak positif terhadap tingkat pendapatan rakyat dan taraf
ekonomi daerah. Riyanto (2003), dengan menggunakan model ekonometrika
menyimpulkan bahwa kualitas SDM berpengaruh nyata terhadap peningkatan
perekonomian daerah. Dengan demikian, jika daerah ingin meningkatkan taraf
perekonomiannya, maka pengeluaran pemerintah untuk investasi sumberdaya
manusia melalui anggaran sektor pendidikan perlu dipastikan kecukupannya.
UIID 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa negara harus memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD.
Dalam risetnya, Chenery (1988) menyimpulkan bahwa strategi
pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian dan
ketenagakejaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar, yakni :
1. Percepatan pemunbuhan output melalui serangkai penyesuaian teknologi,
institusional, dan insentif harga, yang khusus diiancang untuk meningkatkan
produktivitas para petani kecil.
2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang didasarkan
pada strategi pembangunan perkotaan yang berorientasi pada upaya
p e m b i i ketenagakejaan.
3. DiversiNrasi kegiatan pembanguan perdesaan yang bersifat padat karya pada
sektor non-pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan
menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.
2.4.2.
Investasi Pemerintah dan Otonomi Daerah
Menurut Sukwika (2003), investasi di sektor pertanian secara nyata
meningkatkan kesempatan kerja, dan dapat mengurangi jumlab pengangguran. Ini
sejalan dengan penelitian Budiasih &lam Riyanto (2003), yang menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal efektif dalam mendorong kegiatan ekonomi dan
m e n v s ip e w a n g v .
Komisten dengan temuan di atas, Sipayung (2000) membuktikan bahwa
alokasi investasi pemerintah pada sektor pertanian dan sektor non-pertanian
sangat menentukan pertumbuhan sektor pertanian ke depan. Investasi pemerintah
pada infrastruktur, pe~ngkatankualitas SDM, dan penyuluhan pertanian, menurut
Bank Dunia &lam Heredia (1995), tidak saja meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, narnun juga mampu mengurangi kemiskinan secara nyata
Dalam rangka membangun pertanian ke depan, salah satu tantangan besar
yang hams dihadapi menurut Departemen Pertanian (2002) adalah pelaksanaan
otonomi daerah yang didalamnya menyangkut peranan langsung pemerintah dan
desentralisasi pembangunan. Ada beberapa konsep berkenaan dengan antisipasi
terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Konsep terdesentralisasi, dicirikan antara
lain dengan pendayagunaan dan pemberdayaan sumberdaya lokal, perkembangan
kreativitas pelaku ekonomi lokal, memberdayakan pemerintah lokal sebagai
pengelola utama pembangunan pertanian yang meningkatkan nilai tambah yang
diminati rnasyarakat lokal. Konsep berdaya suing, dicirikan antara lain dengan
orientasi pasar, meningkatkan pangsa pasar (khususnya di pasar internasional) dan
mengandalkan produktivitas serta nilai tambah melalui pemanfaatan modal,
pemanfaatan inovasi teknologi serta kreativitas sumberdaya manusia, dan bukan
lagi mengandalkan kelimpahan sumberdaya dam dan tenagakeja tak terdidii.
Konsep berkerakyatan, dicirikan antara lain dengan mendayagunakan sumberdaya
yang dimilii atau d
i
i rakyat banyak, menjadikan organisasi ekonomi dan
jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama pengembangan
&an,
sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat
banyak. Pembangunan &an
dan perdesaan juga hendaknya mencakup konsep
berkelmjutan, yang dicirikan antara lain dengan kemampuan merespon perubahan
pasar yang cepat secam efisien, berorientasi pada kepentingan jangka panjang,
inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi yang ramah
liigkungan dan mengopayakan pelesta~iansumberdaya alam dan liigkungan hidup.
Tampaknya konsep-konsep tersebut di atas belum dapat diterapkan secam
nyata. Riyanto (2003) menemukan bahwa setelah otonorni daerah dan
desentralisiasi fiskal diberlakukan, dampak dana perimbangan yang cukup nyata
meningkatkan anggaran pemerintah daerah (APBD), temyata tidak berdampak
secara nyata terhadap perekonomian daerah, termasuk pembangunan pertanian.
Bertentangan dengan apa yang hendak dicapai melalui kebijakan otonomi daerah,
Riyanto (2003) juga menemukan bahwa walaupun secara fiskal tejadi pemerataan
keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antar pemerintah daerah,
tetapi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum mampu menciptakan
pemerataan pembangunan antar daerah.
Berbagai studi yang disitir pada sub bab ini maupun pada sub bab-sub bab
lain pada bab ini tidak secara khusus mengkaji dampak investasi pemerintah untuk
berbagai aspek pembangunan terhadap upaya pengurangan pengangguran dan
kemiskinan. Memfokuskan penelitian dengan menganalisis dampak tersebut
kiranya sangat relevan dengan situasi saat ini, dimana Indonesia menghadapi
tingkat pengangguran dan kemiskinan yang relatif besar." Penelitian ini diarahkan
untuk mengkaji dampak tersebut.
'O Pukunbmgan kyvan tingkat pcngangguran dan kemiskinan serm variabel-variabcl lainnya d
pada Bab N.
i
m
Download