BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Politik penataan dan penggunaan ruang kawasan konservasi yang terpraktikkan dalam kebijakan pembatasan akses, hak dan ruang hidup dalam tiap perubahan rejim pengelola TNUK dari waktu ke waktu tetap menempatkan masyarakat pada posisi yang terabaikan. Hal itu terutama sangat dipengaruhi oleh sudut paradigmatik yang dianut oleh otoritas pengelola kawasan konservasi (dengan segenap pendukungnya) yang lebih bercorak konservasinis- developmentalistik. Dalam sudut pandang paradigmatik ini, masyarakat di sekitar dan dalam kawasan masih dilihat sebagai ancaman daripada solusi bagi pengelolaan kawasan konservasi TNUK. Hutan masih dipandang sebagai ruang kosong tak berpenghuni. Hal ini berbenturan dengan pandangan masyarakat di sekitar dan dalam kawasan TNUK (beserta segenap pendukungnya) yang meyakini bahwa pengelolaan kawasan hutan mesti memberi ruang bagi hak dan akses masyarakat. dalam pandangan eko-populis ini, pengelolaan kawasan hutan konservasi hendaknya memposisikan manusia sebagi bagian integral bagi ekosistem hutan. Dalam sudut pandang ini masyarakat adalah bagian dari solusi pengelolaan kawasan hutan konservasi. Orientasi pengelolaan kawasan konservasi yang lebih bercorak konservasionis ini menjadi dasar bagi beragam kebijakan dan program konservasi di kawasan TNUK. Sekaligus diturunkan dalam aturan regulatif tata kelola kawasan konservasi yang umumnya diatur dalam beragam zonasi yang di setiap aturan tersebut terdapat tata-tertib akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pembatasan akses dan kontrol serta beragam kebijakan dan program yang berwatak konservasionis-developmentalistik baik perubahan tata batas kawasan, pelarangan pemukiman, penggarapan lahan, hingga masuknya program konservasi seperti pemagaran listrik untuk proyek JRSCA yang menabrak ratusan hektar lahan garapan masyarakat, yang pada gilirannya 41 berkontribusi dalam proses eksklusi dan marjinalisasi masyarakat dari ruang hidup mereka. Akibatnya, konflik agraria lahir, hingga puncaknya terjadi korban penembakan terhadap warga pada tahun 2007. Konflik agraria merupakan buah dari beragam ketimpangan struktur agraria. Baik penguasaan, kepemilikan dan peruntukan sumber-sumber agrarian (Wiradi, 2009). Dalam konteks TNUK ketimpangan tersebut ditambah dengan akumulasi benturan kepentingan antar pihak yang telah terjadi cukup panjang, khususnya antara BTNUK dengan masyarakat. Maka pada titik inilah, aksi perlawanan masyarakat petani di sekitar dan dalam kawasan TNUK muncul. Salah satu tujuan aksi perlawanan petani tersebut adalah untuk menuntut pengakuan dan mengembalikan hak dan akses atas sumberdaya hutan, sumberdaya lahan, yang sebagian besar telah terampas oleh kebijakan konservasi BTNUK. Upaya sadar untuk menaikkan bargaining position dalam rangka negosiasi dilakukan dengan mengundang kalangan aktivis dan LSM/NGO lingkungan yang bersedia mendampingi dan mengawal proses resolusi konflik. Dalam tujuan yang didasarkan pada semangat keadilan dan win-win solution bagi kedua belah pihak (BTNUK dan Masyarakat). Gagasan tata kelola Zona Khusus yang berdimensi sosial-ekonomi dan ekologi menjadi salah satu tawaran utamanya. Namun seiring dengan masuknya beragam program dan kebijakan yang dipandu oleh ideologi konservasi klasik, yang berorientasi pada preservasi species mega proyek Penangkaran Badak dari YABI dan IRF yang di dukung oleh Pemerinrah Pusat dan Daereh telah memasukkan beragam kepentingan baru mewarnai politik penataan dan penguasaan ruang kawasan konservasi TNUK. Para aktor mempertarungkan kepentingannya demi mewujudkan tujuannya dengan beragam cara. Maka kawasan konservasi TNUK yang telah lama menjadi arena kontestasi dan konflik menjadi ramai kembali. Tak pelak, masyarakat sekitar kawasan TNUK semakin berat menanggung beban masalah dan tetap saja menjadi korban penderita yang paling awal dari kontestasi apapun di atas kawasan konservasi TNUK. Maka semakin nyata, bahwa demi dan atas nama tujuan konservasi masyarakat petani tereksklusi dari ruang hidupnya sendiri. (Hall, a.l, 2011). Dalam sudut pandang lain, proses ini merupakan salah satu bentuk 42 marjinalisasi petani akibat dari “politic of ignorance” negara (Dove, 1983; Wertheim, 2009) yang diwakili BTNUK. Sehingga masyarakat petani di Legon Pakis hingga hari ini belum mendapatkan rasa keadilan dan kemerdekaan sebagaimana petani di dusun dan desa tetangga mereka. Meski demikian aksi perlawanan petani Legon Pakis tetap dilakukan hingga sekarang, dengan beragam pilihan strategi dan model perlawanan. Dengan tetap mendasarkan pada pertimbangan resiko terkecil untuk jaminan keamanan dan kenyamanan hidup mereka sehari-hari di sekitar kawasan. Untuk menggambarkan alur pikir studi ini, maka dapat dijelaskan dalam matrik berikut ini; 43 Paradigma Pengelolaan SDA Paradigma Developmentalistik Paradigma Eko-Populis Paradigma Konservasionistik Politik Penataan dan Penguasaan Ruang Konservasi TNUK Petani Legon Pakis, LSM/NGO, MHS Pendukungnya BTNUK, YABI, IRF, dan Pendukungnya Pembatasan Hak, Akses dan Kontrol atas SDA Kebijakan dan Program Konservasi Proses Eksklusi dan Marjinalisasi Petani Sekitar/Dalam Kawasan TNUK Konflik Agraria Aksi Pelawanan dan Negosiasi Petani Gambar 1. Kerangka Pemikiran 44 3.2 Paradigma Penelitian Menurut Guba dan Lincoln (1994), paradigma penelitian dibedakan menjadi empat alternatif yaitu; positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme. Dalam sebuah aktivitas penelitian penemuan dan pilihan paradigma menjadi sangat penting sebagai perangkat keyakinan dasar yang memandu peneliti sebagai payung dan pondasi filosofis penelitian. Sebab paradigma menyangkut aspek-aspek yang terintegrasi dari persoalan ontologi, epistimologi dan metodologi. Seturut dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, studi ini mengacu kepada model paradigma teori kritis (critical theory) -teori kritis interpretative- untuk mengungkap persoalan aksi petani dalam politik panataan dan penguasaan ruang di kawasan konservasi TNUK. Dalam paradigma teori kritis, realitas bersifat historis. Karena dibentuk oleh proses sejarah. Sehingga paradigma kritis mengakui dan memberi ruang pada sifat-sifat objektif dari realitas. Pada titik ini pemahaman atas dimensi historisitas menjadi utama. Dalam paradigma ini, peneliti berusaha melakukan dialog intersubjektif antara peneliti dengan yang diteliti, termasuk pada aras aksiologis, untuk apa penelitian ini dilakukan. Sebab, sebuah aksi kolektif petani tidak bisa dilepaskan atau selalu melibatkan subjektifitas dari setiap aktor yang memiliki kepentingan terang-terangan atau tersembunyi (manifest atau latent). Makna interpretatif menjelaskan bahwa setiap ungkapan memiliki semantis terhadap maksud peneliti dalam lingkup kebudayaan di tempat penelitian dilakukan. Sifat otonom semantis yang dilakukan peneliti berkaitan dengan konsekuensi penting bagi penafsiran sebuah teks (dalam makna ini, realitas adalah teks). Dengan demikian tujuan penafsiran bukan seperti maksud peneliti, melainkan arti yang terberi dan terungkap dalam dan melalui realitas/teks. Sebagaimana dijelaskan Suseno (1992) tujuan teori kritis adalah untuk menjelaskan dan memetakan realitas sosial dengan jernih dan analitik. Dengan paradigma kritis, studi ini diharapkan dapat mengurai dan membongkar selubung akar, sejarah dan karakteristik, strategi batas dan kesempatan dari aksi kolektif petani yang selama ini berlangsung terus secara dinamis sekaligus untuk memetakan kontestasi politik penataan dan penguasaan ruang di kawasan TNUK. 45 Sebab, paradigma teori kritis juga menghendaki sebuah usaha pencerahan dan berkepentingan mengungkap tabir yang menutup dan menyelubungi kenyataan yang tidak adil dan tidak manusiawi yang kadang hinggap di kesadaran manusia. Sehingga paradigma kritis memiliki tujuan membongkar kesadaran dan strukturstruktur sosial, ekonomi, politik dan budaya yang membutakan dan menutupi beragam kenyataan yang sebenarnya terjadi. Persoalan konflik masyarakat dengan BTNUK dan aktor kepentingan lainnya di kawasan TNUK telah berlangsung sejak lama dan timbul tenggelam hingga sekarang. Namun, bentuk penyelesaian yang menyentuh dan menuntaskan akar persoalannya belum tercapai hingga kini. Sehingga proses negosiasi dan pertarungan (diam-diam dan terang-terangan) masih terus dilakukan melibatkan multipihak yang berkepentingan. Serentetan pertanyaan dasar tentang bagaimana sejarah dan konteks munculnya aksi kolektif petani, cara dan strategi yang digunakan, ragam kepentingan dan kontestasi dalam politik penataan dan penguasaan ruang, batas dan peluang yang tersedia serta munculnya sengketa agraria yang menjadi pemicu sekaligus puncak dari pertarungan kepentingan multi pihak merupakan tabir dan selubung yang hendak diungkap dan dibongkar melalui sudut pandang paradigma kritis. Namun demikian, dalam sudut pandangan lain, teori kritis semestinya tidak hanya mampu mengkritisi faktor eksternalnya, tetapi juga mampu kritis secara internal, yaitu pada teori kritis itu sendiri. 3.3 Metode dan Lokasi Penelitian 3.3.1 Metode dan Teknik Penelitian Sebagai sebuah penelitian studi kasus, penelitian ini memakai metode kualitatif48 yang dilaksanakan dengan pendekatan kerja lapangan (field work), tanpa mengabaikan data dan metoda kuantitatif yang diperlukan. Penekanan utamanya untuk melihat sedekat mungkin sasaran penelitian dalam kondisinya yang paling empirik. Metode ini bertujuan untuk lebih memahami realitas dan 48 Menurut Polkinghorne:.......quantitative methods are aspecially useful in the generation of categories for understanding human phenomena and investigation of the interpretation and meaning the people give to events they experience” (Rudestam & Newton 1992: 13) 46 segala hal dari kondisi kehidupan objek penelitian sehari-hari (Patton 1987; Moleong 1993). Selain itu metode Kualitatif ini digunakan untuk memberikan penjelasan dan memahami peristiwa yang sedang atau telah terjadi. Yang menekankan pada interpretasi makna kategori yang berkembang, yang diberikan orang terhadap peristiwa yang dialami. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian; Observation Participant (Pengamatan Terlibat), dengan teknik pengumpulan data melalui multi–metode pengumpulan data; seperti In-depth Interviews (Wawancara Mendalam), Focus Group Discussion (Diskusi Terarah), studi literatur/ dokumenter, maupun partisipasi dalam beragam kegiatan masyarakat. Untuk kepentingan tersebut, peneliti live-in, tinggal di dalam (bersama masyarakat di sekitar kawasan TNUK). Data-data yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data ini, dianalisis sejak tahap awal penelitian menurut tiga alur kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verivikasi data (Miles dan Hubermen 1992). Secara metodologis wawancara mendalam dilakukan melalui kontak atau hubungan pribadi (individu) dalam bentuk tatap muka (face to face relationship) antara peneliti dengan subjek penelitian (responden yang telah ditentukan/dipilih); baik para sesepuh kampung, pemuka adat, pemuka agama, para pemangku kebijakan di BTNUK dan pemerintah daerah terkait, LSM/NGO pendamping, aktor-aktor yang terlibat dalam spolitik penataan danpenguasaan ruang di kawasan TNUK, korban konflik, kelompok termiskin di kampung Legon Pakis, hingga masyarakat umum (petani, buruh tani dan nelayan) di sekitar kawasan TNUK. Wawancara yang dilakukan selalu berpegang pada pedoman wawancara atau interview guide (Pedoman Wawancara). Informasi dan data-data yang dikumpulkan melalui wawancara ini berupa pandangan, pendapat, tanggapan, perasaan, keyakinan, hasil pemikiran, argumen, dan pengetahuan responden dalam kaitannya dengan persoalan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan TNUK dan aksi kolektif komunitas Legon Pakis dalam merespon sengketa agraria dan kemiskinan. 47 3.3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan dengan fokus utama di satu kampung, Legon Pakis, dan beberapa dusun lain yang berbatasan langsung dengan batas kawasan TNUK,. Setidaknya terdapat ada 3 dusun lain yang secara administratif termasuk dalam wilayah desa Ujung Jaya yaitu; Cikawung Girang, Cikawung Sabrang dan Tanjung Lame selama masih dalam batas wilayah desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Prov. Banten. Pilihan pada kampung Legon Pakis di dasarkan pada argumen kesejarahan wilayah, kondisi agraria, letak geografis (seluruhnya berada di dalam kawasan TNUK), ketiadaan identitas kepemilikan, sejarah konflik dan collective action masyarakatnya yang lebih menonjol dibandingan kampung lainnya di desa Ujung Jaya. 3.3.3 Pelaksanaan Penelitian Penelitian lapang dilakukan secara berkala sejak awal- pertengahan tahun 2009, akhir 2010, awal 2011. 48