BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Motivasi Beragama Agama dalam pandangan Weber lebih menekankan pada makna-makna subyektif, bahwa segala perbuatan itu mempunyai arti subyektif bagi si pelaku karena ia didorong oleh suatu motivasi, apa yang hendak ia capai (Veeger, 1985:71). Menurut AM. Hardjana (1983:14-21), ada beberapa faktor yang mendorong manusia untuk beragama yaitu : 1. Mendapatkan keamanan 2. Mencari perlindungan dalam hidup 3. Menemukan segi penjelasan atas dunia dan hidup serta segala yang termaktub di dalamnya. 4. Memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada 5. Meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat 6. Memuaskan kerinduan hidup sebab manusia tidak pernah puas Sebagai mahkluk rohani, manusia ingin mencapai nilai rohani yang paling sublime, paling luhur dan mulia. Manusia tidak puas dan tidak merasa cukup dengan nilai manusiawi seperti kebaikan, kejujuran, keadilan, cinta kasih. Dia juga ingin nilai rohani dan adi kodrati yang mampu memuaskan hasratnya yang paling dalam. Dengan singkat manusia tidak akan merasa puas Universitas Sumatera Utara dan tenang sebelum mereka menemukan harta rohani dan adi kodrati yaitu Tuhan sendiri. Ada dua konsep diri dari kekristenan yaitu kekristenan sebagai sesuatu yang selesai dan sempurna dan hanya perlu dipertahankan (sebagai suatu seni) dan kekristenan sebagai hasil perkembangan dari waktu ke waktu dalam proses mencari, menyaring, menyesuaikan dan menemukan dirinya. Aliran karismatik dengan segala aktivitasnya muncul untuk menjawab berbagai ketidakpuasan dan kebutuhan manusia. Interaksi yang mendalam dan pelepasan kegelisahan dapat ditemukan dalam persekutuan doa karismatik. Untuk memahami gerakan karismatik ini akan dipergunakan pendekatan tentang Strukturalisme Pertukaran, “seseorang masuk dalam asosiasi karena mereka mengharapkan ganjaran, baik yang intrinsik maupun ekstrinsik”. Ganjaran intrinsik dapat berwujud kasih sayang, kehormatan atau kecantikan dan ganjaran ekstrinsik dapat berwujud uang, barang atau jasajasa ( Poloma, 1987:83). Beberapa orang yang termotivasi untuk masuk dalam suatu kegiatan (lembaga gereja) menginginkan suatu imbalan yang diharapkannya akan didapatnya dalam organisasi tersebut. 2.2. Teologi Pembebasan Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi Universitas Sumatera Utara Pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural (http://www.google.com Dari Wikipedia Indonesia, Sabtu 23.06.2007) Teologi Pembebasan membicarakan bagaimana belas kasih Allah dalam agama Kristen membebaskan orang-orang yang tertindas, miskin, menderita, mengalami ketidakadilan dan kekejaman sosial lainnya. Dalam hal ini bagaimana sebuah lembaga gereja dapat membuat dan membawa orangorang yang tertindas tersebut mengalami perubahan di lingkungan sosialnya, sehingga menjadi lebih baik dalam hal perekonomian dan martabat mereka. Gustavo Gutierrez Merino, O.P. (lahir 8 Juni 1928 di Lima) adalah seorang Teolog Peru dan Imam Dominikan yang dianggap sebagai pendiri Teologi Pembebasan. Menurut Gutierrez “pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama : Pertama, ia mencakup pembebasan politik dan sosial. Penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Universitas Sumatera Utara Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat.” Ketiga, Teologi Pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain (http://lulukwidyanpr.blogspot.com, Sabtu.23.06.2007)) Kedosaan manusia menurut Getierrez adalah keyakinan Gutierrez bahwa kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi, melainkan terlebih untuk zaman ini, berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi keuntungan sekelompok kecil masyarakat. Paradigma pembebasan adalah penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya bahwa manusia diciptakan dengan citra Allah yang kudus, artinya bebas dari segala bentuk dosa, namun karena kesombongan dan keserakahannya ia kehilangan kebebasannya, terkungkung dalam penjara dosa dan kegelapan ( Nitiprawiro, 2000:86) Gutierrez dalam Teologi Pembebasannya, berusaha untuk menghapus hal-hal yang membuat kemiskinan terjadi, dalam hal dunia politik yang ingin mencari keuntungan sendiri dan mengorbankan rakyat bawah yang tidak memiliki kekuasaan. Gutierrez juga berusaha untuk membebaskan kaum miskin atau orang-orang yang terinjak-injak untuk mengembangkan diri dengan kemampuan dan pendidikan yang mereka miliki meskipun kemampuan dan pendidikan itu terbatas. Pembebasan kemiskinan dan Universitas Sumatera Utara ketidakadilan tersebut tidak terlepas dari pembebasan egoisme dan dosa yang telah mereka lakukan. Mungkin karena dosa dan hubungan mereka dengan Allah yang tidak baik menyebabkan mereka tidak mampu menghadapi kekejaman dunia, meskipun kadang dosa manusia itu tidak sepenuhnya berasal dari diri manusia itu sendiri, melainkan karena adanya ketidakadilan dan pemerasan yang mereka alami di lingkungan sosialnya. Kemiskinan dalam Kitab Suci memang pertama-tama adalah suatu kategoris sosiologis, tetapi tidak dapat didefenisikan menurut pengertian ekonomi semata-mata, apalagi Marxis (pengertian tidak memiliki sarana produksi). Kemiskinan dalam Kitab Suci mempunyai makna sosiologis yang lebih luas, bahkan makna keagamaan. Orang-orang miskin dalam Kitab Suci adalah sekelompok orang tertindas dalam konflik, tetapi dapat dilukiskan secara berguna sebagai perjuangan kelas ( Amaladoss, 2000:195-196). Menurut Gutirrez, secara alkitabiah kemiskinan telah menjadi skandal bagi harkat kelayakan manusia dan dengan demikian melawan kehendak Allah. Manusia diciptakan menurut citra Allah, untuk menguasai dan menggunakan bumi seisinya untuk mengangkat harkat kemanusiannya dan dengan demikian memuliakan Allah. Kemiskinan bukan nasib yang harus diterima dan dengan sendirinya merupakan kesalehan. Kemiskinan adalah keadaan kurangnya sarana hidup layak bagi kemanusiaan yang mungkin dapat diubah dan harus diubah ( Nitiprawiro, 2000:88-89). Aloysius Pieris menemukan tujuh besar unsur pembahasan dalam religiositas kosmis orang-orang miskin. Spiritualitas mereka berkaitan dengan Universitas Sumatera Utara dunia ini. Doa-doa mereka terpusat pada kebutuhan akan makanan, pekerjaan, tempat bernaung dan makna kehidupan. Mereka bergantung seluruhnya pada Allah, karena mereka tidak mempunyai sumber-sumber daya ekonomis dan politis yang siap untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka berseruseru kepada Allah memohon keadilan. Agama kosmis berurusan dengan kekuatan-kekuatan kosmis yang kita perlukan tetapi juga kita takuti : api, angin, tanah, air dan sebagainya ( Amalodoss, 2000:252). Pieris adalah seorang ahli Teolog dari Sri Langka. Ia bukan hanya pakar Buddhisme tetapi juga mempunyai hubungan dialog dan pengalaman yang erat dengan kaum Buddhis dan ia juga berkontak dengan banyak kelompok beraneka ragam agama yang menceburkan diri dalam perjuangan untuk pembebasan orang-orang miskin ( Amaladoss, 2000:191). Gereja di Amerika Latin didefinisikan sebagai umat Allah. “Gereja adalah umat Allah yang ditetapkan oleh Roh Kudus sebagai Tubuh Kristus” adalah definisi yang tepat. Pembicaraan gereja di Amerika Latin untuk pembebasan adalah gereja sebagai umat Allah, yang didalamnya Roh Kudus bekerja. “Roh Kudus bukanlah roh ketakutan dan perbudakan, melainkan Roh kebebasan dan keberanian sebagai anak-anak Allah”, demikian tegas Paulus (Nitiprawiro, 2000:54). Universitas Sumatera Utara 2.3. Teologi Sukses Teologi Sukses atau Injil Sukses (Gospel of Success) sering juga dikenal sebagai Injil-injil Kemakmuran (Prosperity). Kelimpahan, berkat (Gospel of Blessing) atau Teologi Anak Raja dan secara sederhana dapat disebutkan ajaran ini menekankan bahwa : Allah kita adalah Allah yang Mahabesar, kaya, penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, kaya, sukses dan berkelimpahan materi (M, Herlianto, 2006:1). Pandangan ini mengatakan bahwa seseorang Kristen yang beriman seharusnya hidup dalam kekayaan dan kelimpahan materi sebagai tanda bahwa hidupnya diberkati oleh Tuhan. Jika seseorang Kristen tidak hidup dalam berkelimpahan, itu berarti dia tidak dekat dengan Allah dan memiliki iman yang lemah, sehingga Allah tidak memberkati mereka. Kelimpahan sebuah ide yang diagungkan oleh penganut Teologi Kelimpahan atau Teologi Sukses. Mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak mengkehendaki seseorang menjadi miskin dan menganggap orang miskin tidak diberkati Tuhan. Kelimpahan ini pula ditentang oleh penganut Teologi Kemiskinan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengajak manusia mencari dulu Kerajaan Allah dan menolak materialisme. Ajaran Teologi Kemiskinan membuang jauh-jauh segala macam ide duniawi dan segala obsesi terhadap uang. Ajaran ini secara “ekstrim” menyebutkan bahwa percaya kepada harta benda duniawi dan memilikinya dianggap sebagai kutukan. Teologi Universitas Sumatera Utara Kemiskinan menolak materialisme dalam berbagai cara dan bentuk ( http://lulukwidyanpr.blogspot.com, Sabtu 23.06. 2007). Penganut Teologi Kelimpahan meyakini bahwa seseorang tidak akan mendapatkan hasil yang baik jika tidak memohon kepada Tuhan. Penganut Teologi ini meyakini betapa berartinya persembahan. Kelimpahan berkat materi akan diperoleh jika seseorang mengikuti prinsip persepuluhan. Kelimpahan materi yang berlipat ganda dan kesuksesan akan didapat karena persepuluhan yang diberikannya. Penganut Teologi Kelimpahan berpendapat bahwa orang yang tidak kaya tidak mendapat berkat Tuhan, karena tidak memiliki iman. Jadi, tekanan Teologi Kelimpahan adalah besarnya materi, bukan hubungan dengan Tuhan. Seseorang yang tidak kaya atau tidak menjalankan uangnya dengan baik, dianggap tidak menerima berkat Tuhan. Karena bagi mereka, Tuhan tidak mengkehendaki seseorang menjadi miskin. Meskipun kebanyakan pengikut Teologi Kelimpahan justru bergaya hidup konsumtif (http://lulukwidyanpr.blogspot.com, Sabtu 23.06.2007) Kelimpahan ataupun kesuksesan yang dijanjikan oleh penganut Teologi Kelimpahan itu, membuat orang-orang yang datang beribadah dan memberikan persepuluhan karena memiliki suatu tujuan. Bukan lagi karena ingin berhubungan dengan Tuhan atau mendekatkan diri dengan Tuhan. Ayatayat yang dimanipulasi tersebut dijadikan sebagai alat untuk membenarkan ajaran Teologi Kelimpahan atau kesuksesan itu. Memang Allah akan memberikan imbalan dan memberkati orang-orang yang rela memberikan hartanya untuk Allah dengan cara memberi sumbangan kepada gereja sebagai Universitas Sumatera Utara lembaga, tetapi yang Allah inginkan adalah memberi dengan ketulusan dan keikhlasan, bukan karena mengharapkan imbalan. Boleh saja kita mengharapkan imbalan, tapi bukan imbalan tersebut yang menjadi tujuan utama. Cara penyebaran Teologi Sukses adalah melalui persekutuan- persekutuan doa dan praise centers, yang umumnya tidak memiliki liturgi. Ibadat dalam persekutuan-persekutuan doa maupun praise centers ini sifatnya lebih ringan, bebas dan emosional. Suasana seperti ini merupakan kompensasi bagi jemaat yang umumnya berasal dari gereja-gereja yang sifatnya liturgis, rutin dan monoton. Dalam persekutuan-persekutuan doa dan praise centers seperti ini telah memberikan semangat dan gairah yang besar pada para umatumat Kristen yang mulai jenuh dengan gereja tradisi (konvensional). Memanipulasi ayat-ayat Alkitab merupakan salah satu hal yang sering digunakan dalam mendasarkan banyak ajaran Teologi Sukses. Salah satu contohnya memanipulasi ayat yang diambil dari (Mat 19 : 26) yang isinya “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin”, ayat ini sering dipakai sebagai kata-kata yang berkhasiat atau mantra ; yaitu, apabila diucapkan, maka mujizat apapun yang dikehendaki oleh manusia, baik itu berupa mujizat kesembuhan maupun mujizat untuk memperoleh kekayaan dan kemakmuran pasti bisa kita peroleh, karena tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk memenuhinya (M, Herlianto, 2006:3840). Universitas Sumatera Utara Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada manusia dan ditulis dalam bentuk kumpulan 66 buah kitab yang meliputi kurun waktu lebih dari 1600 tahun, yang menceritakan Sejarah Keselamatan Allah. Masing-masing kitab dapat merupakan kitab sejarah atau surat kiriman yang merupakan suatu satu kesatuan. Pembagian atas pasal dan ayat baru terjadi pada Abad Pertengahan. Karena itu, bila satu ayat ditafsirkan atas dasar katakatanya saja dan dilepaskan dari kesatuannya dengan seluruh isi kitab atau surat maupun isi Alkitab (kontekstual), maka artinya bisa jauh berbeda dan bahkan berlawanan dengan yang dimaksudkan oleh penulis Alkitab yang digerakkan oleh Roh Kudus itu (M, Herlianto, 2006:38-39). Pernyataan di atas seakan-akan membuat Allah itu adalah seseorang yang dapat kita perintah dan Allah tidak boleh menolak atau tidak mengabulkannya. Karena tidak ada yang mustahil bagi Dia, sehingga apapun yang kita minta atau perintahkan, harus kita dapatkan. Allah tidak lagi memiliki peran untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia. Tentu saja pernyataan tersebut tidak benar jika kita mentafsirkan isi Alkitab tersebut secara keseluruhan atau tidak dilepaskan dari kesatuannya dengan seluruh isi Alkitab. Kesembuhan yang sempurna merupakan salah satu tujuan dari ajaran Teologi Sukses di samping kelimpahan harta, sebab dianggap bahwa salah satu tanda kehidupan yang sukses adalah kesembuhan yang sempurna dan bebas dari sakit penyakit. Itulah sebabnya mengapa kesembuhan merupakan tujuan utama dari mujizat-mujizat yang banyak dipraktikkan dalam ajaran Universitas Sumatera Utara kemakmuran. Sebaliknya orang yang sakit sering dianggap sebagai orang yang sakit imannya atau bahkan dikatakan sebagai ketiadaan iman. Dan orang beriman dapat menggunakan imannya umtuk mengalami kesembuhan apabila ia sakit (M, Herlianto, 2006:169). Pembangunan gedung gereja yang megah dan mewah adalah salah satu buah kecenderungan yang dihasilkan Teologi Sukses, lebih lagi didorong oleh “sukses duniawi”. Mengikuti kecenderungan duniawi tersebut belakangan ini banyak dijumpai pembangunan gedung-gedung gereja di banyak tempat dibuat mahal dan mewah yang menghabiskan uang ratusan juta bahkan ada gereja-gereja metropolitan dan Christian Centers yang menghabiskan biaya pembangunan sampai milyaran rupiah (M, Herlianto, 2006:207). Para penganut Teologi Sukses ini beranggapan bahwa gereja adalah Rumah Allah atau Bait Suci, jadi harus dibangun seindah-indahnya dan semegah-megahnya sebagai tanda bahwa gereja yang megah tersebut ini adalah hasil dari berkat Tuhan. Dari kedua ajaran Teologi di atas terdapat persamaan yang mana kedua Teologi tersebut menjunjung kemakmuran dan menentang kemiskinan. Teologi Sukses menyatakan bahwa sebagai anak Allah yang diberkati dan Teologi Pembebasan yang menyatakan manusia diciptakan menurut citra Allah, haruslah hidup dalam berkecukupan, karena kemiskinan bukanlah kehendak Allah. Gereja-gereja yang menganut ajara Teologi Sukses berusaha untuk membawa perubahan bagi jemaatnya. Tetapi sayangnya ajaran ini dapat membuat manusia menjadi materialistis jika tidak diajarkan dengan hikmat. Universitas Sumatera Utara Orang-orang yang datang ke gereja menjadi sebuah usaha untuk mendapatkan bekat, bukan lagi memiliki tujuan utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi dalam kedua teologi ini terdapat juga perbedaan yang mana Teologi Pembebasan berusaha untuk melawan kemiskinan, baik kemiskinan dalam hal sosial maupun kemiskinan perekonomian dengan mengajak orangorang untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Memperbaiki egoisme dan dosa yang membuat jarak antara manusia dengan Allah dan menghalangi turunnya berkat Allah. Karena Roh Kudus bukanlah roh ketakutan dan perbudakan, melainkan roh kebebasan dan roh keberanian sebagai anak-anak Allah, seperti yang ditegaskan oleh Paulus, maka sebagai anak Allah harus mampu melawan kekejaman sosial yang ada di dunia ini. Universitas Sumatera Utara