s_sej_033707_Bab IV

advertisement
BAB IV
PEMIKIRAN DR. ABDULLAH AZZAM TENTANG JIHAD DAN
PENGARUHNYA DI AFGHANISTAN (1979-1989)
A. Riwayat Hidup Dr. Abdullah Azzam
Nama lengkapnya adalah Abdullah Yusuf Azzam, lahir pada tahun 1941
di desa Silah Al Haritsiyah yang terletak kira-kira 20 km di Barat Laut kota Jenin,
Palestina. Ayahnya bernama Yusuf Musthafa Azzam dan ibunya bernama
Zakiyah Shalih Husain Al-Ahmad, keduanya berasal dari keluarga terkemuka di
Palestina. Di bawah asuhan ayahnya ia terbiasa menghafal Al Quran dan sering
pergi ke masjid di desanya untuk menerima pengajian agama. Sejak kecil
kecerdasan, ketegasan, keberanian dan jiwa kepemimpinannya telah tampak.
Dalam sejarah desanya itu terkenal sebagai qaryatul jihad (desa jihad), karena
banyak memunculkan tokoh-tokoh penting dalam jihad Palestina. Diantaranya
adalah Syaikh Yusuf Sa`id Abu Durrah yang memegang kepemimpinan jihad
melawan Inggris sepanjang tahun 1936-1939. Di kawasan ini juga Syaikh
Izzuddin Al Qassam membangun markasnya setelah meninggalkan Haifa ketika
memimpin pertempuran melawan Inggris. Di bawah asuhan ayahnya yang mulia,
Yusuf Azzam, ia mendapatkan bekal iman yang baik. Ia pun terbiasa menghafal
Al Quran dan akrab dengan masjid di desanya untuk menerima pengajian agama.
Sejak kecil kecerdasan, ketegasan, keberanian dan jiwa kepemimpinannya telah
tampak (Jihadmagz, 2008: 35).
69
Abdullah Azzam memperoleh pendidikan dasar ibtidai (SD) dan i`dadiy
(SMP) di desanya. Lalu melanjutkan pendidikan tsanawiyah (SMA) di kota Jenin,
Palestina. Kemudian kuliah Madrasah Zira`iyyah Tsanawiyah Khudhuriyah
(sekolah pertanian) di Thalkram, dan lulus dengan predikat imtiyaz (istimewa)
tahun 1959. Pada awal tahun 1950, ketika masih duduk di kelas satu i`dadiy
(SMP), Abdullah Azzam menjadi anggota organisasi pergerakan Islam Ikhwanul
Muslimin yang mulai berkembang di daerah Jenin. Di usia yang masih muda
inilah Abdullah Azzam telah mendapatkan tarbiyah jihadiyah (pendidikan jihad)
dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin di kota Jenin, seperti Syaikh Syafiq As`ad
dan Syaikh Fariz Jarar. Meskipun ia anggota termuda, tapi aktivitasnya dalam
gerakan Islam cukup menonjol. Buktinya, ia berhasil menghimpun para pemuda
di desanya untuk bergabung kedalam gerakan Islam Ikhwanul Muslimin. Syaikh
Muhammad Abdurrahman Khalifah, Muraqib Amm (ketua cabang) Ikhwanul
Muslimin, menceritakan sekilas sepak terjang Abdullah Azzam waktu kecil:
Dalam satu ziarah saya ke cabang Ikhwan di Jenin pada tahun lima
puluhan, ketika saya sedang duduk dengan wakil Ikhwan Jenin tiba-tiba
ada anak muda belia berkata, “Saya Abdullah Azzam dari Silah Al
Haritsiyah dan telah masuk Ikhwan Muslimin. Saya belajar di kelas tujuh
(satu SMP). Saya telah membentuk kelompok dakwah terdiri dari kerabat
dan teman-temanku. Saya mengadakan pertemuan dengan mereka di
masjid desa. Saya mengundangmu untuk mengunjungi kami”. Lalu aku
janjikan untuk mengunjunginya saat ziarah ke Jenin berikutnya. Dan
benar, pada ziarah kedua aku datangi Silah Al Haritsiyah dan shalat Ashar
di masjidnya. Aku dapati Abdullah Azzam dan kelompok dakwahnya
duduk di pojok masjid, mereka sangat gembira dengan kunjunganku. Lalu
aku kembali ke Jenin. Dan aku tidak bisa melupakan pertemuan yang
sangat
mengesankan
itu
(http://www.namaislami.com/Biography/
Abdullah-Azzam.html#_edn16 [8 Oktober 2008]).
Setelah
lulus
dari
Sekolah
Tinggi
Pertanian
Khudhuriyah
dan
mendapatkan gelar Diploma, ia bekerja sebagai seorang guru di sebuah kampung
70
bernama Adder di Selatan Yordania. Kemudian Abdullah Azzam meneruskan
pendidikannya di Fakultas Syariah Universitas Damaskus hingga mendapatkan
ijazah B. A (sarjana muda) dalam bidang syariah dengan predikat jayyid jiddan
(baik sekali) pada tahun 1966. Pada tahun 1965, setahun sebelum lulus dari
Universitas Damaskus, ia menikah dengan Ummu Muhammad. Setelah Israel
merebut dan menduduki wilayah Tepi Barat, Gaza termasuk desanya Silah Al
Haritsiyah
pada
tahun
1967,
Abdullah
Azzam
pindah
ke
Yordania.
Pengalamannya menyaksikan tank-tank Israel bergerak masuk ke wilayah Tepi
Barat tanpa ada perlawanan, meningkatkan tekadnya untuk pindah dan belajar
ilmu
perang
(http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/peringatan-18-
tahun-syahidnya-abdullah-azzam-teroriskah-simbol-jihad-afghanistan-itu.htm. [15
Oktober 2008]).
Kekalahan bangsa Arab dalam perang melawan Israel pada tahun 1967
menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat Palestina. Organisasi Ikhwanul
Musliminpun bergerak diseluruh wilayah Arab untuk mengingatkan umat Islam
akan sejarah mereka dan menghidupkan kembali kewajiban jihad. Tidak hanya
itu, Ikhwanul Muslimin juga mendirikan pangkalan militer di Yordania untuk
persiapan berperang dengan Israel dengan nama Qawaidusy Syuyukh. Abdullah
Azzam bergabung kedalam barisan mujahidin Ikhwanul Muslimin ini, dan
dipercaya sebagai komandan bataliyon Qaidah Baitul Maqdis. Berkali-kali ia
terlibat dan memimpin pertempuran melawan Israel. Diantaranya dalam perang
Hizam Adhar tahun 1969, pertempuran 5 Hazairan 1970, Aksi Sayyid Quthb pada
71
tanggal 29 Agustus 1970 dan juga memimpin operasi-operasi militer di perang 5
Juli 1970 (Al-Aqil, 2003: 644).
Ditengah kesibukannya berjihad melawan Israel, Abdullah Azzam
menyempatkan diri meneruskan kuliahnya. Ia meneruskan kuliah di Universitas
Al-Azhar Mesir, dan pada tahun 1969 ia berhasil mendapatkan ijazah master di
bidang Ushul Fiqh. Selain itu iapun banyak mengirimkan tulisan ke berbagai
koran di negara-negara Arab yang berisi pembelaan terhadap umat Islam.
Pada tahun 1971 Abdullah Azzam
diminta mengajar di Universitas
Yordania. Kemudian dikirim ke Universitas Al Azhar Mesir,
untuk kuliah
program doktor. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1973 ia berhasil meraih
gelar doktor dibidang Ushul Fiqh dengan predikat Imtiyaz Bimartabah Syaraf
`Ula (Cumlaude dengan penghargaan tingkat pertama). Setelah kembali ke
Yordania, ia dipercaya menangani bagian penerangan di kementrian wakaf. Di
sini peranannya dalam memakmurkan sangat besar, ia juga menerbitkan media
untuk menghidupkan Islam. Dr. Abdullah Azzam mengajar di Universitas
Yordania selama tujuh tahun (1973-1980). Kuliah yang ia sampaikan selalu
diminati oleh mahasiswa. Hasilnya, ia berhasil mendidik ribuan pemuda Islam
yang memiliki pemahaman Islam serta semangat dalam melakukan dakwah dan
jihad. Pemikirannya pun menyebar ke berbagai fakultas. Hal ini membuat pihak
Universitas Yordania khawatir, akhirnya pada tahun 1980 beliau diberhentikan
sebagai dosen dengan alasan yang tidak jelas (Jihadmagz, 2008: 37).
Setelah cukup lama terlibat dalam gerakan jihad di Palestina, Abdullah
Azzam mulai menemukan hal-hal yang dianggapnya sangat jauh dengan nilai-
72
nilai Islam, pada orang-orang yang terlibat dalam perjuangan membebaskan tanah
Palestina. Seperti yang dipaparkan dalam (http://www.hudzaifah.org/Article350.
phtml [23 September 2008]):
Dr. Abdullah Azzam menggambarkan bagaimana orang-orang ini berjagajaga sepanjang malam sambil bermain kartu dan mendengarkan musik,
dan menganggap bahwa mereka sedang menunaikan Jihad untuk
membebaskan Palestina. Sheikh Abdullah Azzam menyebutkan juga
meskipun ada ribuan orang di basis-basis pemukiman, tetapi jumlah orang
yang hadir untuk shalat berjamaah bisa dihitung dengan satu tangan saja.
Beliau berusaha mendorong mereka untuk menerapkan Islam sepenuhnya,
namun mereka bertahan untuk menolak. Suatu hari Beliau bertanya kepada
seorang "Mujahid" secara retoris, agama apa yang ada di belakang
revolusi Palestina, "Mujahid" itu menjawab dengan jelas dan gamblang,
"Revolusi ini tidak memiliki dasar agama apapun”.
Penjelasan itu menyebabkan Dr. Abdullah Azzam memutuskan untuk pindah dari
Yordania, karena menganggap perjuangan di Palestina sudah tidak sesuai dengan
jalan pikirannya. Pada tahun 1971, ia dipanggil untuk mengajar di Universitas
King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.
Selanjutnya pada tahun 1979 diminta mengajar di Internasional Islamic
University, Islamabad, Pakistan. Pada tahun kepindahannya ke Pakistan,
bersamaan dengan dilakukannya agresi militer oleh Uni Sovyet ke Afghanistan.
Rakyat Afghanistan menyambut agresi ini, dengan gerakan jihad untuk melawan
Uni Sovyet dan sekutunya pemerintah Afghanistan yang berpaham komunis. Dr.
Abdullah Azzam disela-sela memberikan kuliah, juga banyak menjalin hubungan
dengan para pimpinan mujahidin yang terlibat dalam gerakan jihad di
Afghanistan. Karena ingin terlibat lebih aktif dalam gerakan jihad ini, iapun
berhenti mengajar di Internasional Islamic University, Islamabad, Pakistan
(Azzam, 2006: 126).
73
Dr. Abdullah Azzam berjuang dalam gerakan jihad Afghanistan sampai
akhir hayatnya. Ia meninggal pada hari Jum’at, 24 November 1989, ketika bom
seberat 20 kg meledak di jalan yang dilalui mobilnya, pada saat ia akan menuju ke
masjid Sab’ul Lail untuk menyampaikan khutbah. Selanjutnya ia dimakamkan di
pemakaman syuhada Pabi, Peshawar, Pakistan (Nurdi, 2008: 131).
B. Perang Afghanistan – Uni Sovyet (1979-1989)
1.
Kondisi Sosial, Politik dan Geografis Afghanistan Sebelum Perang
Afghanistan – Uni Sovyet (1979-1989)
Negara Afghanistan berada tepat di tengah Benua Asia, berbatasan dengan
Tukmenistan, Uzbekistan dan Tajikistan di Utara, Republik Rakyat Cina di Timur
Laut, Pakistan di Timur dan Selatan dan Iran di Barat. Luas wilayah negeri ini
647.500 kilometer persegi. Secara geografis wilayah Afghanistan dapat dibagi
tiga: Dataran Utara, Pegunungan Tengah dan Dataran Selatan. Dataran Utara
(sekitar 100.000 kilometer persegi) merupakan daerah pertanian yang subur.
Pegunungan Tengah (sekitar 410.000 kilometer persegi) merupakan perpanjangan
pegunungan Himalaya mencakup pegunungan Hindu Kush.Dataran Selatan
(sekitar 310.000 kilometer persegi) terdiri atas pegunungan dan daerah semi
kering (Azra, 2005: 85-86). Perbedaan kondisi geografis Afghanistan yang
ekstrim disatu sisi menjadi kekurangan, terutama dalam segi ekonomi, karena
diwilayah Tengah yang berupa pegunungan dan wilayah Selatan yang berupa
dataran semi kering menjadikan penduduk sulit untuk mengembangkan sektor
pertanian untuk memenuhi kebutuan hidup. Disisi yang lain, kondisi ini menjadi
74
kelebihan terutama untuk wilayah pertahanan, pegunungan yang menjulang
dengan lembah-lembah yang dalam serta sedikitnya air di wilayah Tengah dan
Selatan menjadi wilayah sangat efektif bagi penduduk Afghanistan untuk
mmpertahankan diri dari musuh-musuh yang menyerang wilayahnya. Hal ini
diperkirakan menjadi kunci utama, kenapa wilayah Afghanistan sulit ditaklukan
selama berabad-abad oleh bangsa asing.
Secara sosial, jumlah penduduk Afghanistan menurut Louis Dufree yang
melakukan penelitian pada tahun 1970, sekitar 14 juta jiwa. Terbagi dalam
beberapa kelompok etnis –menurut bahasa dan afiliasi sektariannya- yaitu:
Pashtun, 47 persen; Tajik, Farsiwan, Aimaq, 35 persen; Uzbek, Turkmen dan
Kirghiz, 8 persen; Hazara, 7 persen; Baluch-Baharui, 2,5 persen; dan kelompok
muslim lainnya dan non muslim, termasuk Hindu, Sikh dan Yahudi, 0,5 persen.
Diperkirakan penganut Sunni berjumlah 88 persen dan penganut Syi’ah –terutama
Imamiyah dan Ismailiyah- 12 persen (Esposito, 2001:29). Keberagaman etnis dan
sekte agama, dalam masyarakat Afghanistan pada perkembangan selanjutnya akan
sangat menentukan terhadap afiliasi dalam gerakan politik dan arah perjuangan
masing-masing kelompok. Kuatnya sistem patron/klan dalam masyarakat,
menjadikan masyarakat mudah dipersatukan atau bahkan sebaliknya, dan hal ini
akan terus menjadi masalah tersendiri baik ketika berperang melawan Uni Sovyet
maupun setelah Uni Sovyet pergi dari Afghanistan.
Pengaruh Islam masuk ke Afghanistan sejak masuknya Asim bin Umar
Attamimi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahan Usman
bin Affan, Kekuasaan Islam berhasil memasuki Kabul. Tahun 870 pengaruh Islam
75
telah mengakar di seluruh negeri ini, terutama di bawah futuhat (penaklukan)
Mahmud Gaznawi. Bangsa Mongol dibawah pimpinan Jengiz Khan menyerbu
Afghanistan tahun 1219. Sampai awal abad ke-17 terjadi peperangan antar-suku,
dan suku-suku yang bertikai baru dapat bersatu pertama kalinya tahun 1747 di
bawah pimpinan Ahmad Syah Durrani. Perang saudara terjadi lagi tahun 1819 dan
berakhir tahun 1835 ketika Dost Muhammad Khan dapat menguasai Afghanistan
dan mengangkat dirinya menjadi emir (penguasa) (http://www.islamuda.com
/?imud=rubrik&menu=cetak&kategori=5&id=85 [26 Desember 2009]).
Pada tahun 1800, Afghanistan terjebak dalam sebuah ”permainan besar” yaitu
peperangan antara Rusia dengan Inggris yang ingin menguasai wilayah
Afghanistan. Ancaman terbesar dalam ”permainan besar” berasal dari Inggris
yang terus menerus mencoba mengusai bagian demi bagian wilayah Afghanistan.
Provokasi Inggris menyulut terjadinya ”Perang Inggris-Afghanistan Pertama”
yang terjadi antara tahun 1839 sampai dengan tahun 1842. Hasilnya Inggris
mengalami kekalahan. Karena adanya dua kekuatan yang berseteru antara yang
mendukung Inggris dengan yang mendukung Uni Sovyet di Afghanistan maka
terjadilah ”perang Inggris - Afghanistan kedua” dari tahun 1878 hingga tahun
1881. Akhirnya ”permainan besar” berakhir pada tahun 1919 setelah terjadi
”Perang Inggris-Afghanistan Ketiga” yang juga mengakhiri pengaruh Inggris di
wilayah Afghanistan. Berakhirnya pengaruh kekuasaan Inggris di Afghanistan,
menjadikan awal pengaruh Uni Sovyet yang berhaluan komunis di negara ini
(Jihadmagz. 2008:45-46).
76
Pengaruh
Uni
Sovyet
di
Afghanistan
semakin
terlihat
setelah
diberlakukannya konstitusi liberal pada tahun 1964 dan dimulainya demokrasi
baru, yaitu munculnya partai Marxis dan Maois. Sebagai responnya, gerakangerakan Islam juga muncul. Selain untuk menahan pengaruh paham komunis juga
untuk
menentang
legitimasi
monarki
yang
sedang
berkuasa.
Karena
kebergantungan pemerintah Afghanistan sangat kuat terhadap Uni Sovyet,
pemerintah sangat menentang gerakan Islam. Sedangkan partai komunis diberikan
kebebasan untuk melakukan aktivitasnya.
Pada tahun 1973, putra mahkota Muhammad Daud seorang pendukung
partai Marxis yang juga memihak kepada Uni Sovyet melakukan kudeta militer,
menghapuskan monarki dan mengumumkan dirinya sebagai Presiden Republik
Afghanistan. Pada tahun 1978 pemerintahan Muhammad Daud dikudeta oleh
Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan (PDPA) yang dipimpin Nur Muhammad
Taraki yang kemudian mendirikan pemerintahan komunis. Gerakan-gerakan Islam
yang sudah sangat lemah akibat penindasan pemerintahan Muhammad Daud,
mendapat serangan baru dari pemerintahan komunis yang dikuasai oleh PDPA.
Anehnya, kudeta yang dilakukan PDPA pada tahun 1978 dan invasi militer Uni
Sovyet pada tahun 1979 malah memberikan peluang kepada gerakan-gerakan
Islam di Afghanistan untuk bangkit melawan (http://id.wikipedia.org/wiki/
Perang_Soviet-Afganistan.htm. [10 Juni 2009] ).
77
2. Latar Belakang Terjadinya Perang Afghanistan – Uni Sovyet (1979-1989)
Salah satu gerakan Islam yang menentang pemerintahan komunis
Afghanistan adalah Nazhat-i Javanan-i Musulman (Gerakan Pemuda Muslim)
yang kemudian berubah nama menjadi Al-Jam’iah Islamiyah di bawah pimpinan
Burhanuddin Rabbani. Gerakan Islam mengkampanyekan gagasan revolusi Islam
sebagai tandingan dari revolusi komunis yang dilancarkan PDPA, gagasan itu
sendiri dibawa oleh para sarjana Afghanistan dari Mesir, pada tahun 1950 an, saat
mereka belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada awalanya gerakan ini hanya
terdiri dari para mahasiswa di Universitas Kabul dan beberapa pemuda
berpendidikan di perkotaan. Sangat sedikit sekali pendukung gerakan ini dari
kalangan ulama di pedesaan-pedesaan Afghanistan. Tetapi setelah revolusi
komunis yang dilancarkan oleh PDPA, seluruh elemen gerakan Islam baik yang
berada di Afghanistan maupun Pakistan bersatu bersama pemimpin-pemimpin
agama dan suku tradisional, untuk menjatuhkan pemerintahan komunis. Bahkan
para ulama mengeluarkan fatwa untuk mengutuk dan mengkafirkan Taraki, dan
mewajibkan perang jihad untuk menggulingkannya. Dari sinilah mulainya
perjuangan kaum Mujahidin Afghanistan. Hafizullah Amin yang menggantikan
Taraki juga tidak dipercaya rakyat dan para ulama, meskipun ia menawarkan
perbaikan negara. Melihat perkembangan gerakan Islam seperti ini, Uni Sovyet
sebagai patron dari pemerintahan komunis Afghanistan semakin marah. Akhirnya
Uni Sovyet memutuskan untuk menginvasi Afghanistan pada tanggal 27
Desember 1979 (Azra, 2005:85-86).
78
Selain faktor ideologis, ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa latar
belakang invasi Uni Sovyet ke Afghanistan adalah faktor ekonomi. Keinginan Uni
Sovyet untuk memiliki akses ke Laut Arab dan membuka pelabuhan perdagangan
disana dianggap alasan yang masuk akal, karena seperti diketahui bahwa hampir
seluruh pelabuhan laut yang dimiliki Uni Sovyet akan membeku ketika memasuki
musim dingin. Untuk mencapai Laut Arab yang “hangat”, jalur utama yang harus
dikuasai pertama adalah Afghanistan kemudian wilayah Baluchistan yang
termasuk wilayah Pakistan. Dan menyerang Afghnistan adalah salah satu bentuk
usaha untuk merealisasikan cita-cita itu (Jihadmagz. 2008: 47; Azzam, 2007: 37).
3. Peranan dan Pengaruh Kelompok Mujahidin
Mujahidin Afghanistan
adalah pejuang gerilya
yang mendirikan
kelompok-kelompok guna menentang pemerintahan komunis setelah Kudeta
April 1978 dan melawan invasi Uni Sovyet pada tahun 1979. Kelompokkelompok
mujahidin didirikan berdasarkan kesetiaan yang beragama, seperti
pada ideologi, etnis, klan, dan sektarian. Perpecahan pertama diantara kelompokkelompok mujahidin, didasarkan pertentangan ideologis. Kelompok Isam
menganjurkan revolusi Islam sedangkan kelompok “moderat” menentang revolusi
Islam.
Secara keseluruhan terdapat delapan kelompok mujahidin di Afghanistan.
Berdasarkan sektarian, kelompok itu terbagi menjadi dua, kelompok Sunni yang
mayoritas dan Syi’ah yang minoritas. Kelompok Sunnipun terpecah menjadi dua
berdasarkan ideologis, yang mencita-citakan revolusi Islam dan kelompok
79
moderat. Kelompok yang mencita-citakan revolusi Islam terpengaruh oleh ide-ide
gerakan Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Mereka katif menyebarkan pengaruhnya
di perguruan tinggi Kabul dan kalangan intelektual muda perkotaan, mereka
memandang Islam bukan hanya agama tapi juga gerakan politik. Kelompok yang
mencita-citakan revolusi ini terpecah menjadi empat. Kelompok pertama dan
paling radikal bernama Hizb-i Islami, dipimpin oleh Gulbuddin Hekmatyar,
seorang beretnis Pashtun. Kelompok kedua, dinamai juga Hizb-I Islami, dipimpin
oleh seorang mullah (ulama) Pashtun, Yunus Khales. Kelompok ketiga, dianggap
relatif moderat bernama
Al-Jam’iah Islamiyah, dipimpin oleh Burhanuddin
Rabbani, seorang guru besar teologi, etnis Tajik. Kelompok keempat, bernama
Ittihad-i Islami (Persatuan Islam), dipimpin oleh Abdul Rabbani Rasul Saiyaff.
Kelompok ini tidak memiliki basis sosiologis atau etnis, sehingga merekrut
anggota dari etnis manapun. Selain itu, mereka banyak mendistribusikan senjata
kepada komandan-komandan lokal apapun asal kelompoknya.
Kelompok moderat yang tidak sepaham dengan gagasan revolusi Islam,
terbagi kedalam tiga kelompok. Kelompok pertama bernama, Harakat-i Inqilabi
(Gerakan Revolusioner) yang dipimpin oleh seorang ulama, Muhammad Nabi
Muhammadi. Sebagian besar anggotanya terdiri dari kalangan ulama tradisional
Pashtun dan Uzbek. Kelompok kedua bernama Mahaz-i Milli-yi Islami
Afghanistan (Front Islam Nasional Afghanistan), dipimpin oleh Pir Ahmad
Gilani, seorang pemimpin tarekat yang sekuler. Merekrut anggotanya dari
kalangan pemimpin-pemimpin suku tradisional terutama Durrani. Kelompok
ketiga, Jabhah-yi Nahdat-i Milli (Front Penyelamat Nasional), dipimpin
80
Sibghatullah Mujadidi, seorang ilmuwan dan ulama terekat Naqsyabandiyah.
Banyak anggotanya dari kalangan bangsawan tradisional.
Kelompok kedelapan adalah terdiri dari kalangan Syi’ah, merekapun tidak
luput dari perpecahan antara kelompok Islam dan moderat. Mereka kebanyakan
etnis Hazara. Pada tahun 1984, kelompok Islam Syi’ah dengan dukungan Iran
mampu mengusir kelompok moderat yang terorganisir dalam Syura-yi Ittifaq
(Majelis Persatuan Islam), keluar dari provinsi Hazara (Esposito, 2001: 110).
Selain dari penduduk asli Afghanistan, banyak juga mujahidin yang datang dari
berbagai belahan dunia. Salah satu yang terkenal dalam perang ini adalah seorang
mujahidin berasal dari Palestina, Dr. Abdullah Azzam (http:/www.eramuslim.
com/berita/gerakan-dakwah/kaum-mujahidin-dari-afghanistan-hingga-kosovo.htm
[26 Desember 2009]).
Perjuangan Mujahidin semakin kuat, ketika tahun 1983 kelompok
Mujahidin Sunni dari tujuh kelompok bergabung menjadi satu. Mereka membuat
kelompok induk dengan anggaran dasar:
1). Nama organisasi "Persatuan
Mujahidin Islam Afghanistan". 2). Tujuan organisasi adalah menegakkan kalimat
Allah SWT, memerdekakan negara Afghanistan dari kekuasaan kafir dan
komunis, dan mendirikan pemerintahan Islam di Afghanistan, mencegah fitnah
dan kerusakan, dan melarang semua bentuk kegiatan yang tidak Islami. 3). Dasar
organisasi bertolak dari ayat al-Qur'an yang artinya "Kedaulatan menetapkan
hukum hanyalah hak mutlak Allah" (Q.S. Yusuf, ayat: 40). Sebagai ketua dan
komandan tertinggi diangkat Abdul Rabbani Rasul Saiyaff (Azra, 2005: 86-87).
81
Perkembangan selanjutnya, perjuangan Mujahidin banyak dibantu
terutama dalam bidang finansial dan persenjataan oleh negara-negara lain,
diantaranya Arab Saudi, Amerika Serikat dan Pakistan. Arab Saudi melihat
dukungan finansial kepada kelompok Mujahidin dianggap penting untuk menjaga
martabat keislamannya. Selain itu, bantuan Arab Saudi diharapkan bisa
mengalihkan energi kelompok radikal Islam dari revolusi di dalam negeri ke
Afghanistan. Dalam usahanya menyalurkan tenaga dan uang ke pada Mujahidin,
Arab Saudi sering melalui kepada anggota Ikhwanul Muslimin di sekitar Arab.
Diantara mereka adalah Dr. Abdullah Azzam, yang merupakan figur sentral dalam
kelompok Mujahidin asing di Afghanistan. Ia memainkan peranan penting dalam
jihad Afghanistan terutama dalam merekrut, melatih dan menyebarkan pejuang
asing, khususnya melalui kantor pelayanan yang didirikannya Maktab AlKhidmat Mujahidin di Peshawar (Fealy dan Bubalo, 2008: 47-48).
Amerika
Serikat membantu Mujahidin karena melihat konflik di Afganistan adalah bagian
dari perjuangan Perang Dingin, dan CIA (Organisasi intelejen Amerika Serikat)
menyediakan bantuan untuk pasukan Anti-Soviet melalui ISI (Organisasi Intelejen
Pakistan) Pakistan, dalam program yang disebut “Operasi Taufan” .
Sejak Uni Sovyet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979 dan Mujahidin
melancarkan perang grilya untuk melawan Uni Sovyet, banyak sekali oprasi
militer yang dilancarkan Mujahidin. Dari tahun 1985 sampai 1987, diperkirakan
lebih dari 1800 operasi militer dilancarkan Mujahidin. Salah satu strategi
Mujahidin adalah melakukan sabotase, seperti menghancurkan jembatan, menutup
jalan, menghancurkan konvoy, mengganggu jaringan listrik dan industri, dan
82
menyerang pos polisi dan instalasi militer Uni Soviet dan lapangan udara. Mereka
membunuh pejabat negeri dan anggota Partai Demokrasi Rakyat Afganistan. Pada
tanggal 4 September 1985, Mujahidin berhasil menembak sebuah pesawat
domestik Bakhtar Airlanes saat pesawat itu lepas landas dari Bandara Kandahar,
dan
membunuh
52
orang
yang
ada
di
pesawat
tersebut
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Perang_Soviet-Afganistan.htm. [10 Juni 2009] ).
Keadaan bertambah buruk ketika Mujahidin di bawah pimpinan Ahmad
Syah Masyhood melakukan sabotase pada dua jalur logistik yang sangat vital ke
Kabul, yaitu jalur lintasan utara (Jalur Salang) yang menghubungkan Kabul
dengan Uni Soviet, dan jalur lintasan timur yang menghubungkan Kabul dengan
Jalalabad dan Pakistan. Pihak Mujahidin terus melawan pasukan pemerintah
Najibullah (sejak 1987), karena para pemimpin agama mengeluarkan fatwa bahwa
rezim itu adalah kafir dan mati dalam peperangan melawan rezim ini berarti mati
syahid. Pada tanggal 12 April 1989, sekitar 20.000 pasukan Mujahidin menyerang
kota Jalalabad dari tiga jurusan. Serangan Mujahidin ini baru dapat dihentikan
setelah pihak pemerintah mengerahkan seluruh mesin perang yang dimiliki
(http://www.islamuda.com /?imud=rubrik&menu=cetak&kategori=5&id=85 [26
Desember 2009]).
4. Kekalahan Uni Sovyet Pada Tahun 1989
Banyaknya
korban
jiwa
dan
ekonomi
selama
perang,
menjadi
pertimbangan bagi Uni Sovyet untuk menarik pasukannya dari Afghanistan.
Setelah melalui perundingan yang alot, Uni Sovyet akhirnya bersedia menarik
83
mundur pasukan dari Afganistan. Uni Sovyet sepakat memulangkan pasukannya
dari Afganistan pada tanggal 14 April 1988, setelah sembilan tahun menduduki
Afghanistan sejak 24 Desember 1979. Komitmen Uni Sovyet itu dinyatakan
secara tertulis di markas umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa,
Swiss. Setelah melalui perundingan yang melibatkan Amerika Serikat (AS),
Pakistan, Afganistan, dan Uni Soviet (http://dunia.vivanews.com/news/read/
49122-uni_soviet_bersedia_mundur_dari_afganistan [26 Desember 2009]).
Penarikan pasukan yang berlangsung di bawah komando Presiden Mikhail
Gorbachev itu memakan waktu hampir satu tahun. Secara bertahap Uni Sovyet
menarik pasukannya dar Afghanistan, hingga gelombang terakhir penarikan
pasukan pada 15 Februari 1989. Selama menduduki Afganistan sejak 1979, Uni
Soviet mendapat perlawanan tangguh dari kelompok pejuang Mujahidin, yang
mendapat bantuan logistik dan persenjataan dari Ameriaka Serikat, Arab Saudi
dan Pakistan. Diperkirakan tidak kurang dari 13.000 serdadu Uni Sovyet
dilaporkan tewas dan tercatat 469. 685 tentara yang sakit dan terluka akibat
perang ini (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=54744 [26
Desember 2009]).
Kerugian materialpun begitu besar dialami Uni Sovyet selama perang ini,
tercatat 118 pesawat tempur, 333 helikopter, 147 tank, 1.314 IFV/APC, 433
artileri dan mortir, 1.138 radio dan mobil komando, 510 mobil teknik, 11.369 truk
dan tanker minyak hancur dalam perang selama hampir sepuluh tahun ini
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Perang_Soviet-Afganistan.htm. [10 Juni 2009] ).
Perang ini menguras perekonomian Uni Sovyet, sehingga memiliki dampak yang
84
sangat besar atas bubarnya negara Uni Soviet pada tahun 1991. Akibat perang ini
di pihak Afghanistan, lebih dari 1 juta orang Afghanistan terbunuh, 5 juta orang
Afganistan mengungsi ke Pakistan dan Iran, dan itu adalah satu per tiga dari
populasi Afhganistan sebelum perang. Pada tahun 1980, satu dari dua pengungsi
di dunia adalah orang Afghanistan (http ://www.wikimu.com/news/displaynews.
.aspx?id= =14904 [26 Desember 2009]).
C. Pemikiran Dr. Abdullah Azzam Tentang Jihad
1. Definisi Jihad
Dalam mendefinisikan makna jihad, Dr. Abdullah Azzam menggunakan
metode atau cara yang hampir sama dengan ulama-ulama lain, seperti Sayyid
Sabiq yaitu dengan cara merujuk pada akar bahasa Arabnya dan Hasan Al-Banna
yang menguraikan makna jihad dari empat sudut pandang mazhab fiqih Islam
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Tujuannya agar umat Islam paham
secara bahasa juga memiliki dasar hukum dalam melakukan jihad, apapun mazhab
fiqih yang dianutnya. Selain itu, menunjukan bahwa hukum jihad memiliki
definisi yang hampir sama yaitu perang dijalan Allah dalam semua mazhab fiqih
Islam yang empat. Seperti yang dipaparkan Dr. Abdullah Azzam:
Menurut bahasa, Al jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-jahdan atau
juhdan, yaitu keluasan atau kekuatan. Ada yang mengatakan Al juhdu
ialah keluasan dan kekuatan, sedangkan Al jahdu ialah berjerih payah.
Kata Al jahdu dipakai juga dengan arti “berat”, seperti dalam firman-Nya:
“mereka bersumpah dengan asma Allah dengan seberat-berat sumpah”.
Artinya dengan sumpah terberat atau terakhir. Jadi kata Al jahdu dan Al
jihadu dalam bahasa berarti berusaha dengan sekeras-kerasnya demi
mencapai cita-cita atau untuk mencegah duka derita. Sedangkan menurut
syariat dan istilah, ahli fiqih yang empat bersepakat bahwa jihad ialah
melancarkan perang jihad. Menurut mazhab Hanafi dalam Fathul Qadir
85
oleh Ibnul Hammam, al jihad ialah mengundang orang kafir kepada
agama Allah dan memerangi mereka kalau mereka menolak undangan
tersebut. Menurut Al Kasani dalam Al-Badi’ 9/4299, al jihad ialah
berjuanga dengan segala daya dan upaya, berperang di jalan Allah Azza wa
jalla dengan jiwa, harta, lisan dan lain-lain. Menurut mazhab Maliki, al
jihad ialah memerangi orang kafir yang tidak terikat perjanjian dan
meninggikan kalimatullah atau menghadirkan-Nya, atau menaklukan
negrinya demi memenangkan agama-Nya. Adapun menurut mazhab Asy
Syafi’I, Al-Bajuri berkata “al-jihad artinya berperang di jalan Allah. Ibnu
Hajar mengatakan bahwa menurut syariat, al-jihad adalah berjuang
dengan sekuat-kuatya untuk memerangi kaum kafir. Menurut mazhab
Hambali, Al jihad adalah memerangi kaum kafir atau menegakan kalimat
Allah (1994: 11-12).
Adapun hukum jihad hari ini dan kesimpulan makna jihad secara lebih
detail, Dr. Abdullah Azzam menjelaskan:
Al-Jihad sebagaimana yang tercantum di dalam Kitab dan Sunnah,
mempunyai makna yang khusus yang sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an,
dan juga mempunyai makna Rabbani, makna tersebut adalah: perang.
Jihad hukumnya akan tetap fardhu ‘ain hingga jengkal tanah terakhir
berhasil dikembalikan ke tangan kaum muslimin –setelah dahulu berada di
dalam naungan Islam, akan tetapi kemudian direbut oleh musuh- (2007:
87).
Penjelasan tersebut menjadikan jihad disatu sisi memiliki makna yang sempit, tapi
disisi lain berdampak sangat luas. Makna yang sempit karena Dr. Abdullah
Azzam hanya mendefinisikan jihad sebagai perang saja, dan menolak secara tegas
interpretasi-interpretasi lain yang
berkembang di masyarakat muslim yang
menganggap bahwa jihad bukan hanya perang, tapi ada amalan-amalan (aktivitas)
lain yang sama kedudukan dan kkeutamaannya dalam Islam dengan jihad.
Amalan-amalan itu seperti: sekolah, dakwah, memperdalam ilmu pengetahuan,
duduk di halaqoh (pertemuan) ilmiah atau mencari nafkah.
Interpretasi Dr. Abdullah Azzam tentang makna jihad, memiliki dampak
yang sangat luas. Pertama,
hukum jihad hari ini fardhu ‘ain (kewajiban
86
individu). Ini bermakna, jihad bukan hanya kewajiban kaum muslimin yang
berada di wilayah yang tanahnya direbut oleh musuh Islam saja, seperti Palestina
yang dijajah Israel atau Afghanistan yang diduduki Uni Sovyet. Tapi kewajiban
seluruh umat Islam diseluruh dunia untuk aktif dalam gerakan jihad. Kedua,
kewajiban jihad tidak akan berakhir hingga tanah yang dulu dikuasai
pemerintahan Islam kembali direbut dari musuh. Ini menunjukan secara sektoral
(cakupan wilayah) jihad sangat luas, membentang dari Andalusia (Spanyol)
hingga Filipina (Fealy dan Bubalo, 2007: 19).
Dalam cakupan makna jihad Dr. Abdullah Azzam berbeda dengan
pendahulunya di Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb. Sayyid Quthb menganggap
kewajiban jihad hari bukan hanya untuk membebaskan wilayah-wilayah yang
dulu dikuasai Islam saja, seperti halnya yang di paparkan Dr. Abdullah Azzam,
tapi untuk memerangi semua orang kafir yang ada di seluruh dunia (Quthb, 2009:
75). Walaupun demikian, Dr. Abdullah Azzam sepakat dengan pemikiran Sayyid
Quthb dalam hal waktu, yang menyebutkan bahwa waktu jihad itu tidak terbatas
(selamanya) hingga kemuliaan kembali pada Islam (Quthb, 2009: 76-77).
Sebagaimana yang dikatakan Dr. Abdullah Azzam:
“Harus ditanamkan betul-betul di dalam hati seorang mujahid, bahwa jihad
bukanlah keuntungan yang didapat dengan mudah, dan juga bukan
perjalanan yang tidak seberapa jauh. Namun, jihad merupakan perjalanan
seumur hidup yang selalu mengiringi kehidupan. Jihad tidak akan berakhir
selama urat nadi mengalirkan darah. Jihad tidak untuk membebaskan
negeri Afghanistan atau Palestina atau Libanon saja, akan tetapi jihad
adalah kewajiban yang terus menerus ada dan ibadah yang harus
dibiasakan di setiap pundak manusia selama ia masih menginjakkan kaki
diatas tanah dan memanggul senjata. Sesungguhnya jihad seorang muslim
tidak hanya untuk sepetak tanah, dan peperangannya bukanlah peperangan
kesukuan atau kebangsaan, akan tetapi cakupannya adalah seluruh negeri
87
dan sepanjang zaman, serta tujuannya untuk menyelamatkan umat
manusia”(Al-Hami, 2008: 63).
Dr. Abdullah Azzam mengecam dengan keras apabila ada pihak-pihak
yang menyelewengkan makna jihad selain makna hakikinya, yaitu perang. Seperti
dalam tradisi sufisme, jihad dipahami sebagai pengekangan jiwa (mujahadah annafs). Inilah jihad yang dipandang paling agung (al-jihad al-akbar) sedangkan
perang adalah jihad kecil (al-jihad al-ashghar) (Imarah, 1998:206). Menurut Dr.
Abdullah Azzam perkataan tersebut adalah perkataan orang “nyeleneh” dan tidak
masuk akal. Dengan analogi, bagaimana bisa orang yang betempur di medan
perang dianggap sedang melakukan jihad kecil, sedangan orang yang tidur santai
didalam rumahnya
dianggap sebagai jihad besar. Dari segi ilmu hadits
menurutnya, kata-kata tersebut bukanlah hadits seperti yag dipahami kaum
muslimin selama ini. Hadits tersebut adalah hadits maudhu’ (palsu) yang tidak ada
sumbernya, didustakan atas nama Rasulullah SAW
bahkan tidak pernah
diungkapkan oleh seorang Sahabat Nabi sekalipun (2007: 96).
Makna jihad menurut Dr. Abdullah Azzam tidak boleh ditafsirkan sesuai
kemauan penafsir, tapi harus kembali pada tafsir hakikinya seperti halnya makna
ibadah-ibadah yang lain. Ia menegaskan:
“Demikian pula jihad, yang merupakan istilah syar’i, sebagaimana shalat
dan shiyam, sebagaimana pula zakat dan haji. Semua istilah tersebut
mempunyai pengertian yang diatur oleh syari’ah, sehingga tidak
diperbolehkan bagi semua orang untuk mempermainkan pengertian syar’i
tersebut. Al-jihad maknanya adalah “berperang di jalan Allah, jihad adalah
perang” (2007: 95).
88
2. Hukum Jihad
a. Secara Umum
Di kalangan umat Islam muncul pertanyaan tentang hukum jihad setelah
bangsa Israel menginvasi wilayah Palestina pada tahun 1948 dan Uni Sovyet
menginvasi Afghanistan pada tahun 1979, apakah hukumnya fardhu ain atau
fardhu kifayah. Dr. Abdullah Azzam dengan tegas menyebutkan bahwa hukum
jihad pada kondisi itu adalah fardhu ain. Pokok pemikiran ini berdasarkan
pemikiran bahwa hakikat wilayah Islam adalah satu negara yaitu negara Islam
(2007: 21). Dan setiap umat Islam wajib menjaga dan mengembalikan keutuhan
dari wilayah negara Islam tersebut. Selain itu, ada dua kondisi hari ini yang
menyebabkan jihad hukumnya fardhu ain menurut Dr. Abdullah Azzam, yaitu:
“Dan salah satu kondisi (yang menyebabkan hukum jihad menjadi fardhu
‘ain) tersebut adalah apabila musuh telah masuk dan menyerang bumi
Islam. Ketika Yahudi telah memasuki Palestina, maka jihad hukumnya
fardhu ‘ain. Demikian pula ketika gerombolan komunis Rusia telah
menginvasi Afghanistan, maka jihad hukumnya menjadi fardhu ‘ain di
Afghanistan. Bahkan jika kita tilik sejarah, sesungguhnya hukum fardhu
‘ain ini tidak hanya dimulai ketika Rusia menjajah Afghanistan, akan
tetapi sejak jatuhnya Andalusia ke tangan orang-orang Salib. Hukum itu
tidak berubah hingga hari ini !” (2007: 14).
Kondisi yang kedua adalah ketika ada salah satu wanita atau laki-laki
muslim yang ditawan oleh musuh (2007: 32). Ini berdasarkan landasan historis,
yaitu pada saat Khalifah Bani Abbasiyah Al-Mu’tashim pernah mengirimkan
ekspedisi militer berjumlah 70.000 pasukan muslim menyerang kekuasaan
Romawi disebabkan seorang wanita muslim ditawan oleh tentara Romawi. Pada
saat ini, menurut Dr. Abdullah Azzam tidak hanya satu wanita atau laki-aki
89
muslim yang ditawan oleh kaum kafir, tetapi jumlahnya ribuan yang berada di
wilayah Palestina, Afghanistan dan wilayah lainnya.
Dari pemaparan di atas konteks waktu dan wilayah yang menyebabkan
jihad menjadi wajib bagi setiap muslim menjadi begitu panjang dan luas. Ini
didasarkan pada pemahaman awal Dr. Abdullah Azzam yang menganggap bahwa
Islam pada hakikatnya satu negara. Sehingga kapanpun dan di manapun apabila
ada salah satu wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh kekuasaan Islam dan saat
ini telah diduduki oleh kekuasaan lain selain Islam, maka seluruh umat Islam
wajib merebut kembali kekuasaan itu. Sebagai mana yang dituliskannya:
“Sedangkan apabila satu jengkal tanah saja yang merupakan bagian dari
bumi kaum muslimin diserobot oleh musuh, baik itu bagian bumi yang
berupa pegunungan, tanah kosong dan dataran, maka jihad hukumnya
menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mendiami daerah tersebut !
Seorang wanita boleh keluar menuju medan jihad tanpa seizin suaminya –
akan tetapi harus disertai mahram-, seorang budak boleh berangkat ke
medan jihad tanpa seizin tuannya, seorang anak boleh pergi menuju medan
jihad tanpa seizin orang tuanya, demikia juga seseorang yang berhutang
boleh berangkat menuju medan jihad tanpa seizin orang yang memberi
hutang. Maka apabila mereka semua belum cukup mengusir musuh, atau
apabila mereka meremehkan dan lalai terhadap kewajiban jihad, atau
bermalas-malasan dan atau dudu-duduk saja tanpa peduli dengan jihad,
maka hukum jihad fardhu ‘ain semakin lebar kepada orang-orang disekitar
mereka, kemudian kepada orang yang lebih jauh dan kepada orang-orang
yang lebih jauh lagi… Sehingga hukum fardhu ‘ain ini meliputi seluruh
kaum muslimin yang tinggal di bumi ini. hukum fardhu ‘ain ini telah
tetap dan tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya.
Sebagaimana tidak ada alasan bagi semua orang untuk meninggalkan
kewajiban shalat dan shaum !”(Azzam, 2007: 39-40).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam begitu mementingkan
terjaganya keutuhan wilayah dari serangan atau penjajahan dari kekuasaan lain,
meskipun wilayah itu hanya sejengkal dan berupa pegunungan, tanah kosong dan
daratannya. Apalagi ketika yang diduduki oleh musuh tersebut berupa lahan
90
pertanian, mata air, pedesaan dan perkotaan, pasti Islam lebih mengutamakannya.
Bahkan begitu pentingnya mengembalikan keutuhan wilayah Islam, apabila telah
diduduki oleh pihak lain, kewajiban merebutnya kembali sama dengan kewajiban
shalat dan shaum.
Dalam menentukan hukum terhadap jihad Dr. Abdullah Azzam tidak
hanya bersandar pada pendapat-pendapat ahli hukum Islam terdahulu saja. Tetapi
hukum-hukum tersebut disesuaikan dengan keadaan dan kondisi zaman, misalnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu contohnya adalah dalam
kasus ketika satu wilayah Islam diserang, menurut para ahli hukum Islam
sebelumnya, jihad fardhu ‘ain awalnya hanya berlaku bagi penduduk wilayah
yang diserang. Kemudian meluas kepada orang-orang muslim yang tinggal
disekitarnya, kemudian kepada orang-orang yang lebih jauh lagi, hingga fardhu
‘ain berlaku untuk semua umat Islam di muka bumi. Menurut Dr. Abdullah
Azzam, hukum tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman. Karena hukum
tersebut dikeluarkan ketika belum ditemukannya motor, mobil, kereta api atau
kapal terbang. Selain itu, peperangan zaman dahulu akan berakhir dalam waktu
yang singkat, biasanya satu sampai dua hari. Peperangan yang paling lama adalah
selama tiga hari yaitu dalam perang Qadisiyyah ketika kaum muslimin melawan
pasukan Persia. Sedangkan peperangan hari ini terjadi dalam waktu yang sangat
lama, bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun.
Dengan beberapa pertimbangan, menurut Dr. Abdullah Azzam hukum
jihad hari ini adalah fardhu ‘ain bagi seluruh umat Islam di dunia. Pertama,
dengan memanfaatkan teknologi transfortasi hari ini bisa memperpendek jarak
91
dan waktu, umat Islam dari belahan dunia Barat bisa menjelajahi dunia bagian
Timur hanya dalam satu hari, caranya hanya dengan membeli satu tiket pesawat
terbang misalnya. Sehingga pendapat yang mengemukakan jihad pada awalnya
fardhu ‘ain
hanya bagi penduduk yang diserang, kemudian pada orang-orang
yang hidup disekitarnya, kemudian yang lebih jauh dari itu sudah tidak relevan
lagi. Karena hari ini pada hakikatnya jarak itu sudah “tidak ada” dengan bantuan
teknologi transfortasi.
Kedua, lamanya penderitaan yang dialami umat Islam
akibat peperangan yang berkepanjangan, menyebabkan jihad hari ini fardhu ‘ain.
Terutama untuk menghindari kerugian-kerugian yang dialami umta Islam akibat
perang.
Reformasi hukum jihad yang dilakukan oleh Dr. Abdullah Azzam,
mengenai gerakan jihad semesta (global) karena hukumnya wajib bagi setiap
individu
muslim
(fardhu
‘ain)
dimanapun
dibelahan
bumi
manapun,
menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap gerakan jihad. Terutama
menimbulkan solidaritas dan perasaan senasib sepenanggungan dalam diri umat
Islam, terhadap saudaranya yang sedang mengalami penjajahan. Hal ini terbukti
dengan banyaknya umat Islam yang terlibat aktif dalam gerakan jihad di
Afghanistan dan Palestina. Serta menjadika jihad sebagai isu global yang memicu
persatuan dan kesatuan antar umat Islam lebih erat lagi.
Kalau diteliti lebih lanjut, pemikiran Dr. Abdullah Azzam yang
menyebutkan bahwa hukum jihad hari ini adalah fardhu ‘ain, dan diperlukan
sebuah gerakan jihad semesta bagi seluruh umat Islam, bukanlah murni
pemikirannya sendiri. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh para pemikir
92
sebelumnya, misalnya Hasan al-Banna. Pengaruh pemikiran Hasan Al-Banna
terhadap pemikiran Dr. Abdullah Azzam sangat besar, hal ini bisa dimengerti
karena Dr. Abdullah Azzam adalah salah satu anggota Ikhwanul Muslimin yang
didirikan oleh Hasan Al-Banna. Sehingga meskipun mereka tidak pernah bertemu
karena Hasan Al-Banna meninggal lebih dahulu, tapi secara ideologi dan
pemikiran banyak “diadovsi” oleh Dr. Abdullah Azzam. Seperti yang ditulisnya
dalam buku berjudul Hukumul Jihad tentang hukum jihad hari ini:
Setelah memaparkan pendapat para fuqaha seperti Asy-Syaukani, AlMahalli, pendapat empat imam mazhab dan beberapa fuqaha yang lain
dalam karyanya yang berjudul Al-Jihad, kemudian Syaikh Hasan AlBanna mengatakan, “Demikianlah kalian melihat dari mereka semua;
ahlul ilmi, para mujtahid dan muqallid, para ulama salaf dan ulama hari
ini bahwa, sesungguhnya jihad hukumnya fardhu kifayah atas diri kaum
muslimin untuk menyebarkan dakwah, dan hukumnya fardhu ‘ain untuk
melawan serangan orang-orang kafir terhadap Islam”(2007: 22-23).
b.
Hukum Jihad di Afghanistan Setelah Invasi Uni Sovyet Pada Tahun
1979
Setelah melakukan penelaahan terhadap sumber hukum Islam yaitu Al-
Qur’an dan Hadits Nabi, fatwa-fatwa ulama terdahulu dan pendapat para hukum
Islam serta terlibat aktif dalam gerakan jihad di Afghanistan sejak Uni Sovyet
melakukan invasi tahun 1979, maka Dr. Abdullah Azzam (2007: 169)
mengeluarkan pendapat tentang hukum jihad di Afghanistan, yaitu:
1. Fardhu ‘ain dengan jiwa dan harta, bagi penduduk Afghanistan dan umat
Islam yang tinggal di wilayah sekitarnya.
93
2. Fardhu ‘ain secara materi bagi seluruh umat Islam yaitu dengan memberikan
bantuan senjata, logistik, harta dan memberi kemudahan bagi umat Islam yang
akan masuk ke Afghanistan menjadi mujahidin.
3. Fardhu ‘ain dengan jiwa, yaitu bagi semua umat Islam yang memiliki
kemampuan yang berguna bagi jihad. Seperti da’i, ulama, insinyur, tenaga
medis, tentara, penceramah, wartawan dan fotografer.
4. Selain mereka, maka jihad hukumnya fardhu ‘ain di negeri mereka masingmasing untuk menegakan syari’at Allah dan mengusir orang-orang kafir di
negeri mereka.
1. Alasan Melakukan Jihad
Banyaknya orang yang belum paham tentang jihad, menimbulkan dampak
pemahaman yang salah terhadap gerakan jihad itu sendiri. Ada yang menganggap
bahwa jihad atau berperang melawan musu-musuh Islam bukanlah bagian dari
ajaran Islam atau bahkan ada yang menganggapnya sebuah aksi radikalisme atau
terorisme. Oleh karena itu, Dr. Abdullah Azzam disini mencoba memaparkan
alasan-alasan kenapa harus melakukan jihad, dengan berlandaskan pada AlQur’an dan Hadits Nabi. Berikut adalah alasan-alasan melakukan jihad menurut
Dr. Abdullah Azzam:
a. Tidak Ada Amal Saleh yang Menandingi Jihad
Dr. Abdullah Azzam menegaskan bahwa tidak ada amal saleh disisi Allah
yang akan menandingi pahala jihad. Bahkan pahala orang-orang yang berjihad
94
lebih besar daripada orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk memberi
minum orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji di kota Mekkah.
Kemudian ia mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad
di jalan Allah ? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim”(At-Taubah: 19)(1994: 14).
Dengan demikian, ayat ini menunjukan nash (landasan) yang menetapkan
bahwa pahala berjihad lebih tinggi daripada beribadah di masjid Haram, Mekkah.
Bahkan menurut Dr. Abdullah Azzam, ketika ada orang yang sibuk beribadah
sedangkan disisi lain umat Islam sedang di jajah dan dilecehkan, maka perbuatan
tersebut dianggap mempermainkan agama. Dalam hal ini Dr. Abdullah Azzam
berkomentar:
Tahukah anda pendapat seorang ahli fiqih, ahli hadits dan sekaligus
mujahid ini (Abdullah bin Mubarak) orang-orang yang duduk bersanding
dengan Masjidil Haram, beribadah di dalamnya, sementara pada saat yang
sama kesucian Islam dilecehkan, darah kaum muslimin ditumpahkan,
kehormatan mereka diinjak-injak dan dihinakan serta din (agama) Allah
dicabut sampai akar-akarnya ?. Saya katakan bahwa beliau berpendapat,
“itu adalah bermain-main dengan agama Allah”. Benar, membiarkan kaum
muslimin disembelih di muka bumi, sedangkan kita hanya membaca Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun dan La Haula Wa La Quwwata Illa Billahil
Aliyyil Adzim sambil membuka telapak tangan kita dari kejauhan tanpa
terdetik di hati untuk membela mereka, sungguh ini adalah bermain-main
dengan Din (agama), gelitikan dusta perasaan yang dingin yang senantiasa
menipu dirinya sendiri (Azzam, et. al, 2006: 10-11).
Untuk mempertegas alasan ini, kemudian Dr. Abdullah Azzam mengutip
pendapat dari pemimpin mazhab Hanbali, yaitu Ahmad bin Hanbal:
Al Fudhail bin Ziyad berkata, “aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata,
tidak ada pekerjaan baik yang lebih utama daripada perang jihad’.
Dikabarkan juga bahwa beliau berkata (Ahmad bin Hanbal) berkata,
“Tidak ada pekerjaan yang lebih utama daripada menghadapi musuh
95
langsung dalam perang jihad oleh dirinya sendiri. Orang-orang yang
berperang melawan musuh, merekalah yang membela agama Islam dan
membela kehormatannya, lalu yang mana yang lebih utama dari itu ?”
(1994: 15-16).
b. Para Mujahidin Adalah Orang yang Paling Utama
Salah satu karakteristik seorang mujahidin menurut Dr. Abdullah Azzam
adalah dia senantiasa akan siap mengorbankan apapun yang dimilikinya untuk
berjuang dan berjihad di jalan Allah. Sehingga orang itu memiliki kedudukan
yang tinggi di hadapan Allah. Sebagaimana digambarkan dalam hadits yang
riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Abu Sa’id Al Khudri berkata: “seorang telah datang kepada Rasulullah
saw kemudian bertanya, ya Rasulullah, manusia bagaimana yang paling
utama ?. Rasulullah menjawab, seorang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwanya. Lalu Rasulullah saw bersabda lagi, kemudian
salah satu golongan orang mukmin yang mengabdikan diri kepada
Rabbnya dan menjauhkan orang lain dari kejahatan” (1994: 16).
Dr. Abdullah Azzam menganalogikan, para mujahidin dengan perang
seperti ikan dengan air. Perang membela agama Allah itu seperti air dan
mujahidin sendiri adalah ikan yang senantiasa mebutuhkan air, ia menjadikan
peperangan sebagai roh dan nyawanya. Selanjutnya Dr. Abdullah Azzam
mencontohkan pengalaman hidup yang nyata seorang mujahidin Afghanistan
bernama Rafi’ullah, salah seorang pemimpin Mujahidin di Afghanistan.
Rafi’ullah diceritakan telah merelakan tiga orang putranya dan kedua saudaranya
mati syahid (meninggal dalam jihad). Sedangkan dia sendiri terkena delapan kali
tembakan di sekujur tubuhnya. Walaupun demikian, ia tak betah tinggal di
Peshawar lebih dari dua hari karena ia sangat mendambakan mati syahid (Sabili,
2003: 95-96). Disini Dr. Abdullah Azzam sekan ingin menunjukan kepada
96
pembaca, bahwa apa yang diceritakan dan diperintahkan dalam agama, itu bisa di
praktekan oleh siapapun. Contoh nyatanya adalah Rafi’ullah tadi.
c. Menjadi Seorang Pengawal di Jalan Allah
Seorang mujahidin yang berjaga-jaga di medan perang dalam rangka
berjihad di jalan Allah, untuk menakut-nakuti musuh, melindungi wilayahnya dari
serangan, mempertahankan perbatasan dan siap menanggung resiko siang dan
malam demi keselamatan dan keamanan penduduk di wilayahnya. Begitu besar
pengorbanannya, ia rela meninggalkan keluarganya yang mungkin sedang
kekurangan makanan, pakaian, kasih sayang, penjagaan dan pendidikan. Setiap
saat ia harus siap terjun di medan pertempuran, dengan resiko kematian atau
minimal luka-luka. Harus terbiasa hidup bahkan beribadah diantara dentuman
bom dan desingan peluru, demi melindungi ratusan atau bahkan ribuan keluarga
dan menegakan agama Allah. Inilah sebabnya menurut Dr. Abdullah Azzam,
alasan bahwa begitu besar pahala orang yang berjaga-jaga di medan perang.
Seperti dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Bukhari dan Muslim:
“Mengawal (berjaga-jaga) sehari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan
isinya, dan bekas pecutan yang kalian derita lebih baik dari dunia dan
isinya, dan sekali ke luar ke medan jihad, siang atau malam itu lebih baik
dari dunia dan isinya”(1994: 20).
Seakan ingin membuktikan, bahwa hal diatas memang memerlukan
sebuah perjuangan dan pengorbanan yang besar, Dr. Abdullah Azzam
menceritakan pengalam pribadinya di medan jihad Afghanistan:
“Pada suatu malam, saya kembali ke Zabil dalam perjalanan ke Kuita.
Keadaan udara dingin sekali, hingga saya tidak berani turun dari mobil
untuk shalat fajar. Tapi, saya paksakan diri dan shalat qashar paling
97
singkat dalam hidup saya. Ternyata shalat disana lebih berat dari seribu
shalat di rumah. Dingin udara pada saat itu, rasanya seperti memotongmotong anggota badan saya, apalagi pada waktu itu, saya sedang buangbuang air” (Sabili, 2003: 96).
d. Besarnya Pahala Menjadi Seorang Mujahidin
Para mujahidin yang terlibat dalam pertempuran tentu akan mengalami
kesusahan dan penderitaan yang lebih besar, daripada seorang mujahidin yang
bertugas berjaga-jaga di perbatasan. Di garis depan pertempuran, selain
dibutuhkan kesiapan fisik dan mental, juga seorang mujahidin harus memiliki
strategi untuk memenangkan pertempuran atau setidaknya meminimalisir
jatuhnya korban jiwa dipihaknya. Tentu ini memerlukan pemikiran dan
pengalaman bukan hanya semangat. Hal itulah menurut Dr. Abdullah Azzam,
yang menyebabkan sampai saat ini risalah agama Islam tetap tegak dan kaum
Muslimin bisa dengan bebas menjalankan ajarannya.
Besarnya penderitaan yang di alami mujahidin dalam peperangan, sesuai
dengan besarnya pahala dari Allah. Kemudian Dr. Abdullah Azzam mengutip
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Siapa yang kedua kakinya
berdebu di jalan Allah, maka Allah Azza wa Jalla mengharamkan kedua kakinya
dari api neraka” (1994: 24). Ini merupakan perumpamaan yang menunjukan
besarnya pahala orang yang terlibat dalam perang jihad. Hanya menginjakan kaki
dan kaki itu kena debu saja, Allah mengganjarnya dengan diharamkan masuk
neraka, apalagi orang tersebut kemudian membuat strategi, menembakan senjata,
membunuh musuh, terluka, terbunuh atau memenangkan pertempuran, bahkan
98
mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), betapa besar pahalanya dari
Allah.
Bagi yang meninggal dalam pertempuran di jalan Allah (syahid), Allah
memberikan pahal yang lebih besar daripada mujahidin yang bertugas melakukan
penjagaan di perbatasan ataupun yang terlibat dalam pertempuran. Besarnya
pahala itu, seperti dijelaskan Dr. Abdullah Azzam yang dikutip dari Hadits
riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban:
“Sesungguhnya bagi orang yang mati syahid ada bagian di sisi Allah,
sebanyak tujuh bagian: (1) diampuni dosanya semenjak tertumpah
darahnya, (2) diperlihatkan tempatnya di surga, (3) dihiasi dengan
perhiasan iman, (4) diselamatkan dari siksa kubur, (5) dinikahkan dengan
bidadari bermata jeli, (6) diamankan dari goncangan besar (hari Kiamat),
(7) diletakan di atas kepalanya mahkota kebesaran terbuat dari yakut yang
lebih baik dari dunia dan seisinya, (8) dinikahkan dengan tujuh puluh dua
orang bidadari dan (9) diberi kesempatan untuk memberi syafa’at kepada
tujuh puluh orang dari kerabatnya”(Azzam, 2006: 25).
Bukti nyata ada sekelompok orang yang berlomba-lomba terlibat aktif
dalam gerakan jihad, ikut bertempur bahkan mencari syahid terjadi di
Afghanistan. Menurut Dr. Abdullah Azzam, kabilah-kabilah (klan) di
Afghanistan akan malu apabila dari kabilahnya tidak mengutus anggotanya untuk
mejadi mujahidin. Bahkan kabilah-kabilah itu senantiasa memotivasi anggotanya
agar maju ke medan pertempuran dan mati syahid. Seperti yang disampaikan Dr.
Abdullah Azzam:
“Saya melihat dengan kepala sendiri, M Siddiq Chakara menurunkan
rekannya Muthi’illah dari mobil. Tiba-tiba saya melihat dia menangis.
Saya sempat heran, mengapa seorang mujahid yang sudah tujuh tahun
lamanya berjihad meneteskan air mata. Ternyata, ia menangis karena
dilepaskan ke medan laga agak terlambat, bukan karena sedih melihat
kawannya mati syahid atau karena takut. Subhanallah” (Sabili, 2003: 96).
99
e. Besarnya Pahala Beribadah di Medan Jihad
Pahala ibadah di medan jihad tentu akan berbeda dengan pahala ibadah
dalam kondisi normal seperti di rumah, meskipun ibadah yang dilakukannya
sama. Ini bisa dimaklumi, karena ketika kita melakukan ibadah di medan jihad
akan sangat jauh dari ketenangan dan kemudahan seperti di rumah, akan banyak
halangan dan rintangan baik fisik maupun mental. Sehingga wajar apabila pahala
beribadah di medan jihad lebih besar berkali lipat jika dibandingkan dengan
pahala beribadah dalam kondisi normal, seperti di rumah. Dr. Abdullah Azzam
menggambarkan hal ini, sambil mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim: “Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan
wajahnya tujuh puluh tahun dari api neraka”(1994: 25).
Kita
kembali mendapatkan Dr. Abdullah Azzam, memberikan
perumpamaan yang minimal tapi mendapatkan ganjaran yang maksimal ketika
kita berjihad. Tujuannya tiada lain, untuk menarik hati para pembaca agar ikut
terlibat dalam gerakan jihad. Seakan Dr. Abdullah Azzam ingin menejalaskan
kepada pembaca, bahwa Allah akan memberikan ganjaran yang sangat besar dan
sangat bermurah hati bagi orang-orang yang berjihad meskipun ibadah yang
dilakukannya sederhana. Apalagi jika mujahidin itu melakukan ibadah secara
maksimal.
f. Tantangan dan Ganjaran Seorang Mujahidin
Tantangan dan rintangan yang dihadapi seorang mujahidin begitu berat di
medan pertempuran. Dia harus siap setiap saat diterjunkan ke garis depan
100
pertempuran, bahkan merelakan nyawanya hilang dalam pertempuran itu atau
minimal ia kan terluka atau bahkan akan menderita cacat tubuh yang selama sisa
hidupnya harus dialami. Oleh karena itu tidak heran jika pahala seorang mujahidin
begitu besar. Dr. Abdullah Azzam menyebutkan pahala yang akan didapatkan
seorang mujahidin ketika dia meninggal di medan jihad (syahid), sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
“Pahala seorang syahid di sisi Allah ada enam perkara: 1) Allah akan
mengampuninya pada saat darah pertamanya mengalir; 2) Dia dapat
melihat tempatnya di Surga; 3) Dia diselamatkan dari azab kubur; 4)
Diamankan dari ketakutan yang besar dan diberi mahkota kehormatan dari
Yakut yang nilainya lebih besar dari dunia dan seisinya; 5) Dikawinkan
dengan 72 bidadari; 6) Diberi wewenang memberi syafaat kepada karib
kerabatnya”(1994: 28-29).
Dr. Abdullah Azzam berpendapat, pahala apalagi yang diharapkan
manusia yang lebih besar dari pahala berjihad di jalan Allah kemudian terbunuh,
lalu mendapatkan surga dan pahala besar lainnya, seperti dalam hadist tersebut.
Bahkan ia menambahkan, tidak semua mujahidin akan mendapatkan kenikmatan
yang besar itu. Dr. Abdullah Azzam menceritakan kisah seorang sahabat
Rasulullah SAW, bernama Khalid bin Walid yang setelah masuk Islam diberi
tugas untuk menjadi pemimpin perang. Hampir seratus kali ia meimpin
pertempuran, akibatnya tidak ada sejengkalpun tubuhnya yang tidak pernah
terluka, baik berupa tebasan pedang, tusukan tombak atau tertembak anak panah.
Ketika meninggal, Khalid bin Walid tidaklah di medan pertempuran seperti yang
selalu dicita-citakannya, tapi dirumahnya karena sakit. Dalam hal ini, Dr.
Abdullah Azzam ingin menunjukan kepada kaum muslimin yang tidak ikut
berjihad karena takut mati, bahwa tidak ada jaminan bahwa yang ikut berjihad
101
akan meninggal di medan pertempuran, kalaupun meninggal ia akan mendapatkan
pahala yang besar dan bergelar syahid dan itu sebuah karunia karena tidak semua
orang bisa mendapatkannya. Untuk menguatkan argumentasi tersebut, Dr.
Abdullah Azzam menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
tentang keutamaan berjihad: ”sesungguhnya pintu-pintu surga itu ada di bawah
naungan pedang”(1994:30).
Untuk menggambarkan bagaimana tantangan yang dihadapi mujahidin,
dan bagaimana ketegaran mereka dalam menghadapi tantangan itu, Dr. Abdullah
Azzam menuliskan pengalaman hidupnya saat berjihad di Afghanistan:
“salah seorang tokoh mujahidin front Kabul, Shalahudin Tsaqib
membritahukan kepada saya, bahwa anggota keluarganya yang syahid
sudah sebanyak 17 orang. Kini dia dan sanak keluarganya sudah tidak
memiliki apa-apa. Saya lalu mengusulkan kepadanya agar dia
mengadukan hal itu kepada pejabat Afghanistan yang berwenang. Tetapi
apa jawabannya ? Tidak ! Saya tidak bisa mengeluhkan duka derita saya
kepada siapapun. Saya berbincang-bincang dengan Shalahudin Tsaqib
hingga larut malam. Ketika hendak pulang, saya mengusulkan, mari saya
antar ada pulang dengan mobil saya. Tetapi apa jawabannya ? dia berkata,
mobil saya tidak pernah berpisah dengan saya. Dia berkata demikian
sambil menunjuk kepada kedua kakinya. Itulah pemuda yang sempat
menggemparkan dan menggetarkan seluruh penduduk kota Kabul. Dia
berjuang di medan laga selama sepuluh tahun dan hidup dalam kemiskinan
yang sangat. Sungguhpun begitu, ketegaran pribandinya tidak mau
ditundukan dengan berbagai godaan dunia yang menggoyahkan
pegunungan”(Sabili, 2003: 97).
g. Hadits-hadits Tentang Keutamaan Berjaga di Jalan Allah
Seakan ingin memeprkuat argumen pada poin b, tentang pahala seorang
mujahidin yang berperang di jalan Allah, pada poin ini kembali Dr. Abdullah
Azzam menambahkan kembali hadits-hadits mengenai keutamaan berjaga
(ribath). Tujuannya yaitu agar menarik pembaca atau kaum muslimin untuk
102
terlibat dalam gerakan jihad. Ia ingin menunjukan kembali bahwa berjaga-jaga
saja begitu besar pahalanya di sisi Allah, apalagi ikut berperang di garis depan
pertempuran kemudian membunuh atau terbunuh oleh musuh. Dr. Abdullah
Azzam mengutip dua hadits dalam pembahasan ini, hadits pertama yang
diriwayatkan oleh Muslim:
“Berjaga (di medan jihad) sehari semalam lebih utama dari puasa sebulan
dan bangun malam. Kalau ia meninggal (dalam dinasnya itu), amal yang
dilakukannya tersebut akan berjalan terus dan rizkinya akan diberikan
terus dan dia akan diamankan dari berbagai fitnah” (1994:34).
Hadits kedua diriwayatkan oleh Thabari:
“Berjaga sebulan lebih baik dari puasa seumur hidup. Barang siapa
meninggal dunia pada waktu berjaga di jalan Allah, maka ia akan aman
dari rasa ngeri di hari kiamat. Rezekinya akan berjalan terus, dan baunya
surga. Kepadanya diberikan pahala seorang penjaga hingga dibangkitkan
pada hari kiamat” (1994:34-35).
h. Pahala Perang Jihad
Dr. Abdullah Azzam mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Tirmidzi dan Hakim untuk menunjukan betapa besarnya pahala berperang jihad.
“Berperang satu jam di jalan allah lebih baik dari shalat 60 tahun” (1994:35). Hal
ini menunjukan betapa besarnya pahala berperang di jalan Allah, satu jam saja
berperang sam dengan pahala sahalat 60 tahun. Apalagi ketika mujahidin yang
telah aktif dalam gerakan jihad puluhan tahun dan telah ikut pertempuran
berpuluh kali, betapa banyak pahalanya disisi Allah.
103
i. Pahala Tidur di Medan Jihad
Bukan hanya berjaga dan bertempur di medan jihad saja yang
mendapatkan pahala, bahkan tidurnya seorang mujahidinpun mendapatkan pahala
dari Allah. Ini adalah keistimewaan seorang mujahidin, apabila melakukan
aktivitas biasa seperti tidur di rumah masing-masing tidak akan mendapatkan
pahala apa-apa, tapi ketika melakukannya di medan pertempuran akan
mendatangkan pahala. Dr. Abdullah Azzam berpendapat dalam hal ini:
Diriwayatkan dalam sahih Al-Jami bahwa perang itu ada dua macam.
Orang yang berjihad karena mengharapkan ridha Allah, patuh kepada
imam, mengorbankan harta yang dicintainya, bersikap baik terhadap
kawan seperjuangan dan menghindari kerusakan di muka bumi, maka
seluruh tidur dan bangunnya mendapatkan ganjaran. Sedangkan orang
yang berjihad untuk membanggakan diri, ingin dilihat dan didengar orang,
melawan perintah imam melakukan kerusakan di muka bumi, maka ia
tidak akan mendapat ganjaran apapun (hadits riwayat Ahmad, Abu Daud,
Nasai dan Hakim)(1994:36).
Dengan demikian berarti ada lima syarat yang harus dipenuhi seorang
mujahidin agar saat tidur dan bangunnya mendapatkan pahala, yaitu:
1. Mengikhlaskan niat berjihad hanya untuk Allah tidak untuk yang lainnya,
seperti karena ingin harta, popularitas dan kedudukan.
2. Taat dan patuh kepada pemimpin (imam) dalam peperangan, karena taat
kepada pemimpin hukumnya wajib.
3. Menafkahkan atau mengorbankan apa yang dicintainya untuk berjihad di jalan
Allah, seperti harta, kendaraan, perhiasan dan sebagainya.
4. Berbuat baik ketika bergaul dengan kawan seperjuangan di medan jihad.
5. Menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak, seperti melakukan ghibah
(menggunjing), namimah (mengadu domba) mencuri ghanimah (harta
104
rampasan perang), menyiksa tawanan, membunuh anak-anak dan wanita,
menebang pohon yang tidak perlu, dan lain-lain.
j. Kelas Surga Bagi Para Mujahidin
Dr. Abdullah Azzam mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari: ”Sesungguhnya di surga ada seratus kelas yang Allah sediakan untuk
para mujahidin di jalan-Nya. Antara tiap kelas dengan kelas lainnya sejauh jarak
antara langit dan bumi”(1994:37). Penggambaran ini menunjukan bahwa Allah
memberikan balasan yang teramat mulia bagi para mujahidin yang meninggal
pada saat berjihad. Untuk menunjukan itu, Dr. Abdullah Azzam mengutip hadits
tersebut, yang menunjukan bahwa pahala mati syahid seorang mujahidin adalah
surga yang berjumlah seratus dengan seratus tingkatan.
Tingkatan-tingkatan surga akan diberikan sesuai tingkat kualitas jihad
seorang mujahidin. Mujahidin yang terbaik akan mendapatkan kelas dan tingkat
surga terbaik, begitu juga sebaliknya. Tujuan hal ini disebutkan, tiada lain agar
para mujahidin ataupun orang-orang yang akan berjihad dan belum berjihad
termotivasi melakukan jihad yang terbaik agar mendapatkan pahala yang terbaik
dari Allah. Bahkan seandainyapun seorang mujahidin tidak mendapatkan surga
dengan tingkatan dan kualitas yang terbaik, kalau dia syahid tetap akan mendapat
ganjaran surga yang penuh kenikmatan-kenikmatan tak terbayangkan meskipun di
tingkat paling rendah dari seratus tingkatan itu.
105
k. Pahala Seorang Syahid (orang yang meninggal dalam jihad) yang Jujur
Kelasnya Sesudah Kelas Para Nabi
Salah satu sifat mujahidin yang disukai oleh Allah adalah yang rela
berkorban dan totalitas dalam melaksanakan jihad di jalan-Nya. Dr. Abdullah
Azzam menunjukan landasan pemikirannya itu, dengan mengutip hadits yang
diriwayatkan oleh Darami:
“Orang mati ada tiga macam: 1) Seorang mukmin yang berjuang dengan
diri dan hartanya di jalan Allah sehingga menemui musuh dan
memeranginya sampai terbunuh. Maka dialah asy-syahid yang teruji di
dalam perkemahan Allah di bawah Arasy-Nya. Ia diungguli oleh para nabi
hanya satu kelas saja. 2) Seorang mukmin yang banyak menimbun dosa,
kemudian dia pergi berjihad dengan diri dan hartanya di jalan Allah
hingga ia menemui musuhnya dan membunuhnya hingga ia terbunuh. Ia
menyerap dan menghapus dosanya karena pedang bersifat menghapus
dosa dan kesalahan. Ia juga dimasukan ke dalam syurga dari pintu mana
yang dikehendakinya, dan pintu syurga itu ada delapan. Pintu jahanam ada
tujuh, yang satu lebih dari yang lain. 3) Seorang munafik yang berjuang
dengan diri dan hartanya sehingga ia menemui musuhnya dan
membunuhnya di jalan Allah, hingga ia terbunuh. Namun ia dimasukan ke
dalam api jahanam karena pedang tidak bisa menghapus kemunafikan”
(1994:37).
Dapat dipahami bahwa seorang nabi akan mendapatkan kedudukan yang
paling tinggi di surga, karena perjuangannya luar biasa, harus memberikan
petunjuk kepada manusia pada jalan yang di ridhai Tuhan. Para nabi dalam
mengemban tugas itu harus menghadapi tantangan dan rintangan dari umat-umat
pada zamannya, tidak jarang nabi-nabi tersebut dicaci, dimaki, diboikot, dilempari
dengan batu, dibakar, diusir dari kampung halamannya bahkan dibunuh. Salah
satu jalan agar manusia biasa dapat setara kedudukannya atau menurut hadits
tersebut satu kelas lebih rendah dari nabi adalah dengan berjihad di jalan Allah.
Jihad adalah salah satu jalan yang diberikan Tuhan untuk memberi kesempatan
106
kepada manusia biasa untuk menjadi manusia satu kelas di bawah nabi dalam hal
kedudukan di surga nanti, atau setidaknya kesempatan untuk menghapus dosa dan
masuk surga bagi manusia.
l. Hukuman Bagi Orang yang Tidak Ikut Jihad
Selain memberikan gambaran tentang ganjaran-ganjaran yang akan
diberikan oleh Allah kepada para mujahidin atau orang-orang yang ikut ambil
bagian dalam gerakan jihad, juga gambaran tentang kemurkaan Allahpun
disebutkan bagi mereka yang tidak ikut atau sekedar memberi bantuan kepada
para mujahidin. Tujuannya tiada lain untuk memberi peringatan akan kemurkaan
Allah tersebut dan memberikan rasa takut kepada mereka yang tidak ikut berjihad,
sehingga terdorong untuk menjadi seorang mujahidin atau setidaknya memberi
bantuan
kepada mereka
yang sedang berjihad.
Dr.
Abdullah
Azzam
menyampaikan gambaran tersebut, berlandaskan hadits yang diriwayatan oleh
Ibnu Majah dan Darami:
“Siapa yang tidak pernah berjihad atau memberikan bantuan kepada
kepada orang yang berjihad, atau tidak pernah mewariskan seorang
mujahid di antara keluarganya, maka ia akan terkena bahaya besar
sebelum datangnya hari kiamat”(1994: 39).
m. Bantuan Allah Kepada Para Mujahidin
Karena terlibat dalam gerakan jihad dan menjadi mujahidin merupakan
salah satu ibadah yang sangat disukai oleh Allah, maka sewajarnya Allah
membela mereka. Bahkan menurut Dr. Abdullah Azzam, Allah mewajibkan
dirinya untuk membela para mujahidin, dan ini juga gambaran betapa tingginya
107
kedudukan seorang mujahidin di sisi Allah. Untuk memeperkuat argumentasi ini,
ia mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Nasai:
“Allah berkewajiban membantu tiga golongan, yakni para mujahidin yang
berperang di jalan Allah, para budak yang akan menebus dirinya dari perbudakan,
dan kepada orang yang akan menikah karena ingin membersihkan dirinya” (1994:
39).
n. Pahala Satu Kali Bidikan Sama dengan Membebaskan Seorang Budak
Dalam hal ini Dr. Abdullah Azzam memberikan argumentasi dengan
mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai dan Tirmidzi: “Siapa yang
melepaskan panahnya di jalan Allah maka ganjarannya sama dengan
membebaskan seorang budak, dan siapa yang ditumbuhi sehelai uban di jalan
Allah, maka ia akan mendapat cahaya di hari kiamat (menurut An-Nasai, tafsir
“Ad-Darajah” itu sama dengan seratus tahun”(1994: 40).
Sebuah alasan yang begitu luar biasa bagi umat Islam untuk ikut berjihad
di jalan Allah, karena dengan hanya melepaskan sebuah anak panah (sekarang
mungkin peluru) saja akan mendapatkan ganjaran seperti melepaskan budak.
Apalagi ketika dalam jihad, seorang mujahidin terlibat dalam pertempuran yang
disana terjadi kontak senjata dengan musuh dan menembakan berpuluh peluru
tentu ganjarannya semakin berkali lipat. Dan itu hanya dalam satu pertempuran,
apalagi ketika mujahidin itu terlibat dalam berkali-kali pertempuran, pasti
ganjaran yang diterimapun akan seperti berkali-kali lipat membebaskan budak.
108
o. Tidak Takut Dalam Peperangan Menyelamatkan Mujahidin dari Api
Neraka
Ketika terlibat dalam sebuah pertempuran, sudah sewajarnya sebagai
manusia akan mengalami berbagai ketakutan. Mulai dari takut akan kematian,
cacat fisik atau setidaknya luka terkena peluru musuh, serpihan bom atau
menginjak ranjau. Oleh karena itu akan sangat jarang sekali ditemui orang-orang
yang berani dalam kondisi seperti ini. Menurut Dr. Abdullah Azzam orang-orang
yang tidak takut dalam peperangan akan diberikan ganjaran oleh Allah. Ia
memperkuat landasan pemikirannya ini dengan mengutip sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad: “Seorang mujahid yang tidak merasa takut dan ngeri di
jalan Allah, maka Allah mengharamkan atasnya api neraka” (1994: 39).
Tujuan hal ini disampaikan tiada lain, agar para mujahidin tidak takut
ketika terlibat dalam sebuah pertempuran melawan musuh. Selain itu secara
psikologis, orang-orang yang takut ketika terjadi pertempuran akan mengurangi
semangat pasukan dalam bertempur sehingga akan dengan mudah dikalahkan oleh
musuh. Sebaliknya bila orang-orang yang terlibat dalam pertempuran berani,
maka itu akan memberikan motivasi pada pasukan untuk mengalahkan atau
setidaknya membuat takut musuh.
p. Agar Orang-orang Kafir Tidak Menguasai Kaum Muslimin
Kesimpulan dari penelaahan Dr. Abdullah Azzam tentang fenomena sosial
yang akan terus berulang antara hari ini dan masa yang akan datang, yaitu
pertentangan antara yang haq (Islam) dengan yang batil (sistem diluar Islam).
109
Hingga dua sistem ini akan saling menghancurkan satu sama lainnya. Islam
membutuhkan
jihad
untuk
menjaga
kelestarian
ajarannya
dan
untuk
menghancuran penghalang-penghalang dalam penyebarannya. Dr. Abdullah
Azzam berpendapat: ”Apabila peperangan ini terhenti, maka kekafiran akan
memimpin dan fitnah (kesyirikan) akan tersebar”(2006: 15). Dengan kata lain,
apabila umat Islam tidak terlibat dalam gerakan jihad, maka keberadaannya
terancam oleh sistem lain yang akan selalu memeranginya separti sistem kafir dan
syirik.
Dr. Abdullah Azzam bukanlah orang pertama yang mengemukakan
pendapat tentang adanya pertentangan abadi antara sistem Islam dengan sistem
diluar Islam, hingga Islam membutuhkan ajaran jihad dibutuhkan untuk menjaga
kelanggengan ajarannya. Salah satu yang berpendapat sama dengan pendapat
diatas adalah Sayyid Quthb, salah satu “ideolog” dalam organisasi Ikhwanul
Muslimin pengganti Hasan Al-Banna. Bahkan diperkirakan, Dr. Abdullah Azzam
hanya mengutip pemikiran Sayyid Quthb yaitu:
Dengan begitu, peperangan ini merupakan hal yang mutlak adanya, bukan
satu kondisi temporal. Sebab, pertentangan antara yang haq dan yang batil
akan selamanya terjadi di muka bumi ini. Dan, di saat Islam menyerukan
seruan universalnya untuk mendirikan ketuhanan Allah atas alam semesta,
membebaskan manusia dari penghambaan manusia atas manusia lainnya,
menghancurkan para pencuri kekuasaan Allah, di samping misinya
mengeluarkan manusia dari kekuasaan palsu mereka, para perongrong
kekuasaan Allah ini akan menenatangnya. Mereka tidak akan menyerah
begitu saja. Oleh karena itu, Islam dalam hal ini juga harus maju ke depan,
menghancurkan mereka agar dapat “melindungi” manusia di muka bumi
dari para “pencuri kekuasaan” ini. Kondisi ini terus berlangsung. Tidak
akan pernah berhenti seiring dengan gerak jihad pembebasan ini. Hingga
pada akhir nanti, agama (ad-diin) ini semuanya milik Allah (2009: 76-77).
110
Pengaruh pemikiran Sayyid Quthb begitu besar terhadap Dr. Abdullah Azzam
adalah wajar, karena mereka berdua ada dalam satu organisasi yaitu Ikhwanul
Muslimin. Meskipun mereka tidak pernah bertemu, tapi warisan pemikiran Sayyid
Quthb banyak dipakai dan direalisasikan oleh Dr. Abdulah Azzam.
q. Karena Sedikitnya Laki-laki yang Siap Berjihad
Banyaknya halangan, rintangan serta gambaran bahaya yang akan dialami
seorang muslim ketika terlibat dalam gerakan jihad, serta persepsi yang salah,
yang menganggap bahwa umat Islam hanya cukup membantu dengan harta dan
dana bagi para mujahidin menyebabkan gerakan jihad sangat kekurangan orang.
Seperti yang terjadi di medan jihad Afghanistan, digambarkan oleh Dr. Abdullah
Azzam: “Sesungguhnya manusia yang mengetahui amatlah sedikit, dan lebih
sedikit lagi mereka yang mau beramal. Orang-orang yang berjihad sangat langka
dan asing, serta orang yang mampu bersabar di atas jalan ini hampir tidak bisa
disebut karena keberadaannya sangat langka “(2006: 15-16). Terutama
menurutnya orang-orang yang paham tentang ajaran Islam, seperti membaca AlQur’an, mengurus dan menshalatkan jenazah, pembagian ghanimah (harta
rampasan perang), perlakuan terhadap tawanan, dan lain-lain.
Dalam kasus Afghansitan, kebutuhan akan para ahli agama sangat
mendesak. Hal ini bisa dipahami karena sebelum perang melawan Uni Sovyet
yang berlangsung semenjak tahun 1979 hingga 1989, Afghanistan berada di
bawah pemerintahan komunis yang sangat kurang memperhatikan pengajaran
agama. Juga sebelum pemerintahan Komunis berkuasa Afghanistan ada ditengah
111
konflik antar dua negara besar yaitu Uni Sovyet dan Inggris yang berebut untuk
menguasai wilayah Afghaistan, setelah itu diteruskan oleh pemerintahan diktator
“boneka” Uni Sovyet. Pengalaman hidup terlibat dalam konflik berkepanjangan
itu, menyebabkan rakyat Afghanistan banyak yang kurang memperhatikan
pengajaran Agama. Sehingga keterlibatan para cendikiawan muslim dalam
gerakan jihad sangat dibutuhkan.
r. Agar Selamat dari Siksa Neraka
Dr. Abdullah Azzam telah berpendapat bahwa jihad hari ini hukumnya
fardhu ‘ain, yaitu kewajiban setiap individu hingga wilayah-wilayah yang dahulu
dikuasai umat Islam kembali dibawah kekuasaan Islam, secara garis besar wilayah
itu mencakup Spanyol, Afrika Utara, Arab, Afghanistan, India, Malaysia hingga
Fhilipina. Karena jihad hukumnya wajib maka yang meninggalkannya terancam
murka dari Allah, seperti halnya orang itu meninggalkan shalat dan shaum. Untuk
memperkuat pendapatnya itu, selanjutnya Dr. Abdullah Azzam mengutip ayat AlQur’an dan pendapat beberapa ahli fiqih:
“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa
kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang
lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya
sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (At-Taubah, ayat: 39).
Ibnu Arabi berkata, siksa yang pedih adalah musuh berkuasa di dunia dan
siksa api neraka adalah di akhirat. Imam Al-Qurthubi berkata, dikatakan
bahwa maksud ayat ini adalah kewajiban untuk berangkat berperang
ketika dibuthkan, ketika telah muncul kekafiran dan tatkala kekuatan
mereka semakin kuat”(2006: 19).
Selain itu, penetapan hukum ini juga berdasarkan penelaahan Dr. Abdullah
Azzam terhadap realitas sosial yang terjadi pada umat Islam saat itu (sekitar tahun
112
1979-1989). Kondisi umat Islam yang berada dibawah rezim pemerintahan
otoriter seperti Afghanistan atau terjajah seperti di Palestina dan wilayah lainnya,
menyebabkan umat Islam susah menjalankan syariat atau ajaran Islam secara
bebas dan menyeluruh. Di wilayah yang terjajah, umat Islam diusir dari kampung
halamannya dan rumanya sendiri sehingga harus pindah ke tempat pengungsian
dengan kondisi seadanya bahkan sangat tidak layak untuk hidup, dan penderitaan
ini harus ditanggung selama berpuluh-puluh tahun. Umat Islam yang berada
dibawah pemerintahan otoriter, tidak bisa menjalankan ajaran Islam secara bebas
dan menyeluruh, seperti memelihara jenggot, menutup aurat bagi perempuan
muslim, mengajarkan Al-Qur’an lebih dari dua orang, atau intimidasi pemerintah
melalui dinas intelejen yang setiap saat bisa melakukan intimidasi dan penculikan
(Azzam, 2006: 21). Untuk mengurangi penderitaan itu, maka keterlibatan umat
Islam dalam gerakan jihad sangat dibutuhkan.
s. Melaksanakan Kewajiban dari Allah
Terlepas dari kondisi sosial dan politik yang sedang dialami oleh umat
Islam, alasan yang mendasar dalam melakukan jihad bagi umat Islam yang tidak
boleh dilupakan adalah semata-mata melaksanakan kewajiban dari Allah semata.
Landasan itulah yang menyebabkan jihad harus dilaksanakan dalam kondisi
ringan ataupun berat, Dr. Abdullah Azzam memperkuat pendapatnya itu dengan
mengutip ayat Al-Qur’an:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(At-
113
Taubah, ayat: 41). Tafsir tentang ringan dan berat dalam ayat tersebut, menurut
Dr. Abdullah Azzam memiliki arti seperti yang di paparkan Qurthubi (Azzam,
2006: 24-25):
1. Yang muda dan yang tua.
2. Tatkala gembira dan sengsara.
3. Ringan adalah kaya dan berat adalah miskin.
4. Ringan adalah muda dan berat adalah orang tua.
5. Berat adalah banyak pekerjaan dan ringan adalah tidak bekerja/pengangguran.
6. Berat adalah orang yang berkeluarga dan ringan adalah orang yang masih
membujang.
7. Berat adalah orang yang memiliki perusahaan yang tidak ingin untuk
ditinggalkan, dan ringan adalah sebaliknya.
8. Ringan adalah yang berjalan kaki (infantri) dan berat adalah orang yang
berkuda (kavaleri).
9. Ringan adalah orang-orang yang telah lebih dahulu ke medan tempur, seperti
pasukan garda depan.
10. Ringan adalah yang berani dan berat adalah penakut.
t. Mengikuti Jejak Salafush Shalih (orang-orang terdahulu yang shalih)
Para salafush shalih adalah golongan yang patut diteladani oleh umat
Islam, karena mereka memiliki kelebihan-kelebihan, terutama dalam menjalankan
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Untuk memiliki
kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, umat Islam harus mencontoh aktivitas
114
ibadah para salafush shalih. Salah satu ibadah yang dilakukan para salafush shalih
yang patut di contoh oleh umat Islam adalah berjihad. Dr. Abdullah Azzam
berpendapat:
Bagi generasi salafush shalih, jihad merupakan dien (agama) itu sendiri.
Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pemimpin para mujahid dan
komandan untuk pasukan sayap kanan. Jika kondisi pertempuran sangat
sengit mereka sangat mencemaskan Rasaulullah, namun beliau sendiri
orang yang sangat dekat dengan musuh. Ada dua puluh pertempuran besar
yang beliau langsung pimpin, dan ada tujuh pertempuran yang beliau ikut
berperang; perang Badar, Uhud, Al-Muraisi’, Khandak, Quraizhah,
Khaibar, Fathu Makkah, Hunain dan Thaif. Ini adalah pendapat yang
megatakan bahwa Fathu Makkah disebut sebagai ghazwah. Sedangkan
pasukan kecil yang beliau utus ada empat puluh tujuh kali. Dan dikatakan
bahwa beliau ikut berperang dalam perang Bani Nadhir (2006: 29).
Pemaparan di atas menunjukan bahwa ajaran jihad dilaksanakan oleh nabi
Muhammad secara langsung. Setelah nabi Muhammad meninggal, ajaran jihad
terus dilaksanakan oleh para sahabat-sahabatnya dengan dipimpin oleh para
khulafaurrasyidin (para pemimpin pengganti nabi Muhammad). Hal ini
dibuktikan, pada saat empat khalifah berkuasa setelah Nabi yaitu Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali terjadi perluasan kekuasaan Islam yang dilakukan melalui
ekspansi militer. Penaklukan Mesir, Irak, Persia, Yaman, Syam merupakan
keberhasilan gerakan jihad pada zaman Khulafaurrasyidin. Setelah para khalifah
pengganti Nabi meninggal, bukan berarti gerakan jihad berhenti, jihad terus
dikobarkan oleh dinasti Umayah dan Abbasiyah hingga berhasil menguasai Afrika
Utara dan Andalusia (Spanyol) selama hampir 800 tahun melalui ekspedisi jihad
yang dipimpin Thariq bin Ziyad. Diteruskan oleh dinasti Moghul di India hingga
berhasil menguasai Afghanistan, Pakistan, India dan Bangladesh. Dilanjutkan
oleh dinasti Turki Usmani di Turki, hingga berhasil menguasai ibu kota Romawi
115
Timur, Konstantinopel. Turki Usmani juga berhasil menguasai sebagian Eropa
Timur
atau negara-negara Balkan. Hingga dalam satu waktu Islam pernah
berkuasa di satu pertiga wilayah bumi. Ini adalah salah satu bukti bahwa gerakan
jihad terus dikobarkan oleh para salafush shalih, setelah Nabi wafat.
Hal diatas sejalan dengan pemikiran Sayyid Quthb, bahwa jihad terus
dilaksanakan oleh para pengganti Nabi, untuk menyebarkan Islam. Menurutnya
selain dengan dakwah, jihad diperlukan untuk menghilangkan rintangan dalam
penyebaran Islam:
Bayangkan, seandainya saja Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a., setelah
mampu mengamankan Jazirah Arab dari serangan Romawi dan Persia,
akankah mereka hanya duduk berpangku tangan, tidak lagi mendorong
penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia ? Bagaimana mereka akan
mempertahankan perluasan ini, sedangkan di hadapan dakwah yang
mereka lakukan terdapat banyak rintangan materiil, baik itu berupa sistem
politik, sisitem sosial rasial dan kelas, juga sistem ekonomi yang tumbuh
berdasarkan kepada prinsip-prinsip rasial dan kelas, dan semuanya ini
dijaga keberadaannya oleh negara (2009: 73).
u. Membangun Generasi Inti Sebagai Pelopor Tegaknya Peradaban Islam
Menurut Dr. Abdullah Azzam, membangun sebuah masyarakat Muslim
yang solid adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. Dan sebuah
masyarakat tidak akan muncul jika tidak disusun dengan sebuah sistem yang
terencana dan terorganisir dengan baik. Selain itu, dibutuhkan juga figur-figur inti
yang akan menjadi pelopor untuk terbentuknya masyarakat tersebut. menurut Dr.
Abdullah Azzam, jihad merupakan sarana umat Islam untuk melahirkan figurfigur inti yang nantinya akan menjadi pelopor terbentuknya masyarakat Islam dan
sekaligus akan memimpinnya.
116
Jihad adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan figur-figur inti dalam
masyarakat menurut Dr. Abdullah Azzam, karena dalam jihad masing-masing
individu akan dilatih untuk bekerja keras, berkorban, menjadi pemberani dan jauh
dari kemewahan dunia. Dengan metode jihad inilah, potensi diri seorang muslim
akan semakin berkualitas. Seperti yang ditulisnya:
Masyarakat yang berjihad dengan kepemimpinan yang lahir dari sebuah
pengalaman perjuangan jihad nan panjang tidak akan mudah kehilangan
titah dan kepemimpinannya. Tidak mudah bagi musuh untuk menjadikan
para pahlawannya sebagai mangsa. Perjungan jihad yang panjang akan
menjadikan generasi umat ini merasa bahwa seluruhnya telah berjasa dan
ikut serta dalam memberikan pengorbanan demi terciptanya peradaban
Islam. Sehingga mereka akan mejadi penjaga yang setia untuk memelihara
peradaban Islam yang lahir dengan berbagai rintangan dan penderitaan
(2006: 35-36).
v. Memberikan Perlindungan dan Pembelaan Kepada Kaum yang Lemah
Dalam sebuah agresi militer akan selalu timbul korban harta dan jiwa, dan
yang paling rentan mengalami penderitaan adalah anak-anak, orang tua dan
wanita. Menurut Dr. Abdullah Azzam, hal ini terjadi di Afghanistan yang diagresi
oleh Uni Sovyet pada tahun 1979 dan Palestina yang diagresi oleh Israel. Dalam
kondisi seperti ini, keterlibatan umat Islam dalam gerakan jihad sangat penting,
terutama untuk melindungi dan meminimalisir penderitaan dan korban jiwa dari
anak-anak, orang tua dan wanita. Bahkan telah disinggung pada pembahasan
sebelumnya bahwa salah satu yang menyebabkan jihad menjadi fardhu ‘ain
adalah ketika ada salah satu wanita muslim yang ditawan oleh musuh. Pada
kenyataannya, semenjak terjadi agresi militer ke Afganistan oleh Uni Sovyet,
banyak sekali kasus mengenai pelecehan dan penganiayaan terhadap para wanita
117
Afghanistan. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa umat Islam harus ikut berjihad,
seperti yang ditulis Dr. Abdullah Azzam:
Sesungguhnya jihad secara global adalah cara untuk menjaga kaum yang
tertindas di muka bumi dan mengangkat kezhaliman dari mereka. Allah
SWT berfirman, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun
anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!"
(Q. S. An-Nisa ayat: 75)(2006:36).
w. Jihad Adalah Ibadah yang Paling Utama
Ketika melaksanakan jihad, seorang muslim harus siap mengorbankan
nyawanya setiap saat. Selain itu kekuatan mental dan spiritualnya pun akan terus
diuji selama jihad berlangsung. Kondisi ini mejadikan jihad berbeda dengan
ibadah-ibadah lain dan menjadikan jihad sebagai ibadah yang paling utama. Oleh
karenanya, apabila seorang muslim ingin mencapai derajat ibadah yang paling
tinggi, maka ia harus terlibat dalam gerakan jihad. Dr. Abdullah Azzam mengutip
beberapa pendapat ulama Islam tentang masalah ini:
Al-Fadhl bin Ziyad berkata bahwa dia mendengar Abdullah bin Ahmad
bin Hambal sedang berbicara perihal musuh, kemudian ia menangis dan ia
berkata,”tidak ada kebaikan yang lebih utama dari itu”. Dari Fudhail bin
Iyadh dia berkata, “tidak ada satu amalan yang menandingi pahala
bertemu musuh. Menerobos kancah pertempuran dengan jiwanya adalah
amalan yang paling utama”. Orang-orang yang memerangi musuh adalah
orang-orang yang membela Islam dan kehormatan serta harga diri mereka,
oleh karena itu, adakah amalan yang lebih utama darinya ? yaitu manusia
yang beriman dan takut serta mengorbankan jiwa dan ruh mereka (2006:
43).
118
x. Menjaga Kewibawaan Umat
Dengan melaksanakan jihad, kekuatan umat Islam akan terlihat. Kekuatan
inilah yang akan memunculkan kewibawaan dalam diri umat Islam sehingga tidak
akan dianggap rendah oleh umat yang lain. Sehingga ketika umat atau bangsa lain
ingin menguasai satu wilayah umat Islam akan segan, karena akan berhadapan
dengan kekuatan yang timbulkan dari gerakan jihad. Kenyataan hari ini yang
menimpa umat Islam sebaliknya, dibeberapa wilayah, umat Islam dijajah dan
ditindas. Hal ini terjadi karena umat Islam tidak mau terlibat dalam gerakan jihad,
hingga akhirnya musuh-musuh Islam berlaku sewenang-wenang. Padahal menurut
Dr. Abdullah Azzam, Allah telah mengingatkan umat Islam dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa Ayat: 84: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah
kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat
para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orangorang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya)”
(2006: 40).
y. Jihad Menjaga Syari’at Islam Terpelihara
Islam sebagai agama universal mengajarkan kepada umatnya untuk
disebarkan
kepada umat
manusia diseluruh
dunia.
Tentu
saja
dalam
menyebarkannya Islam mengajarkan dengan cara kelembutan tidak dengan cara
kekerasan. Tapi kadang kala, Islam sebagai ajaran, dalam pelaksanaannya sering
mendapat halangan dan rintangan. Disinilah peran jihad, yaitu untuk menjaga
Islam sebagai ajaran dari halangan dan rintangan atau dari kekuatan-kekuatan
119
yang ingin menghancurkan Islam. Dr. Abdullah Azzam menjelaskan hal ini,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 40: “…Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumahrumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”(2006: 41).
Pendapat Dr. Abdullah Azzam tentang sifat universal ajaran Islam, dan
adanya tuntutan untuk menyebarkannya kepada seluruh umat manusi serta
diperlukannya jihad untuk menjaga kelestarian ajaran, sejalan dengan pendapat
Muhammad Imarah:
Maka keumumannya dengan sendirinya menuntut adanya da’wah Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ini di setiap bangsa dan negeri,
yang mana seringkali menuntut adanya jihad untuk melindungi kelancaran
da’wah dan para da’i. Keabadiannya sebagai risalah pungkasan bagi
risalah samawiah, menuntut adanya perlindungan dari sikap permusuhan
terhadap Islam dan terhadap umatnya dengan jihad. Tanpa melidunginya
dengan jihad maka –sesuai dengan hukum konflik antara yang haq dengan
bathil- sikap permusuhan dari pihak bathil akan kembali muncul terhadap
risalah ini, hal mana akan mengancam Islam dan beserta umatnya, karena
tidak ada seorang nabi lagi setelah kematian Muhammad saw dan tidak
ada syari’at lagi setelah syari’at yang dibawa oleh beliau, serta tidak ada
kitab suci lagi setelah Al-Qur’an. Maka menyebarluaskan Islam secara
merata, menyampaikan dan menda’wahkannya merupakan suatu
kewajiban; menjaga kelangsungannya adalah kewajiban; dan kedua
kewajiban itu menuntut adanya kewajiban jihad (1998: 208-209).
z. Jihad Adalah Pintu Rizki
Dalam hukum Islam dikenal konsep ghanimah yang artinya harta yang
didapatkan dari peperangan yang diambil dari musuh. Ghanimah bisa berbentuk
120
uang, tanah, peralatan rumah tangga, perhiasan dan yang lainnya yang dianggap
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hukum menggunakan ghanimah adalah
halal bagi seorang mujahidin seperti yang ditulis oleh Sayyid Sabiq:
Allah menghalalkan ghanimah bagi umat Islam dan memberi petunjuk
bahwa mengambilnya adalah halal. Allah berfirman, “Maka makanlah dari
sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan
yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S. Al-Anfaal ayat: 69) (2006:
51).
Bagi seorang mujahidin yang hidup di medan jihad, biasanya hidup dalam
keterbatasan dari segi penguasaan ekonomi.
Oleh
karena itu berjihad bisa
menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kehidupannya, yaitu dengan
mendapatkan harta dari hasil rampasan perang milik musuh. Hal ini
diperbolehkan, seperti yang ditulis Dr. Abdullah Azzam, mengacu pada sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Dan dijadikan rizkiku ada dibawah
naungan tombak”(2006: 42). Meskipun harta rampasan perang sifatnya halal bagi
seorang mujahidin, tentu saja mendapatkan harta rampasan perang tidak boleh
menjadi niat utama, karena jihad yang paling tinggi kedudukannya di hadapan
Allah adalah jihad yang diniatkan karena Allah bukan yang lainya.
Inilah yang khas dan juga kelebihan dalam tulisan-tulisan Dr. Abdullah
Azzam, selain menunjukan bahwa ia memiliki pemahaman yang luas tentang
hukum Islam mengenai jihad, pengalamannya terlibat aktif di medan jihad
Afghanistan dan sering menuliskan pengalaman-pengalamannya itu dalam setiap
tulisannya menjadi daya tarik tersendiri.
Selain menggiring pembaca untuk
terlibat secara emosional sebagaimana gaya penulisannya yang emosional, juga
disisi lain Dr. Abdullah Azzam seakan ingin menunjukan bahwa apa yang
121
dituliskannya bukan hanya tulisan yang ditulis seorang ulama yang mengajak
umat untuk terlibat dalam gerakan jihad di Afhganistan, lebih dari itu, apa yang
dikatakannya telah ia kerjakan dengan terlibat dan hidup dalam gerakan jihad itu.
Sehingga orang cenderung lebih percaya karena setiap kata yang dituliskan telah
dibuktikannya, dan kisah-kisah yang dihadirkan dalam setiap tulisannya bukanlah
hanya cerita fiktif. Tapi semua itu adalah cerita asli yang dialaminya selama
berjihad di Afghanistan.
Selain bertujuan untuk memberikan argumentasi yang berlandaskan pada
hukum-hukum Islam tentang alasan melakukan jihad sehingga tidak ada lagi
keraguan orang-orang untuk terlibat aktif dalam gerakan jihad, tujuan lainnya
adalah memberikan motivasi kepada seluruh umat Islam untuk melakukan jihad.
Pemaparan tentang banyaknya pahala dan keutamaan-keutamaan orang yang
berjihad atau menjadi mujahidin disisi Allah SWT, diharapkan Dr. Abdullah
Azzam mendorong umat Islam untuk terlibat dalam gerakan-gerakan jihad.
Hasilnya luar biasa, pemaparan ini dan juga tulisan-tulisan Dr. Abdullah Azzam
lainnya telah berhasil memberikan semangat ribuan pemuda Islam untuk terlibat
dalam gerakan jihad di Afghanistan (Sabili, 2003: 95).
2. Permasalahan Seputar Jihad
Pembahasan ini menitikberatkan pada permasalahan-permasalahan yang
dihadapi umat Islam ketika akan melaksanakan jihad. Dr. Abdullah Azzam
menjawab permasalaha-permasalahan tersebut selain dengan mengacu pada
sumber hukum Islam dan pendapat para ulama, juga menghubungkannya dengan
122
kondisi yang terjadi di medan jihad Afghanistan. Pengalaman dan pemahamannya
yang luas tentang jihad Afghanistan, menjadi kelebihan tersendiri dalam
memutuskan atau memberi pendapat terhadap permasalahan seputar jihad,
meskipun kadangkala pendapatnya berbeda dengan ulama-ulama Islam lainnya.
a. Hukum Jihad di Afghanistan Bagi Wanita Arab
Menurut Dr. Abdullah Azzam, para wanita Arab tidak diperbolehkan
datang ke Afghanistan tanpa mahram (pendamping), ketika mereka memaksakan
diri, pekerjaan mereka hanya pada bidang pendidikan, perawatan dan bantuan
kepada kaum muhajirin
(orang yang pindah untuk berjihad). Adapun untuk
berperang, mereka tidak akan mampu, sebab wanita Afghanistan saja tidak
diperbolehkan untuk berperang (2006: 68-69). Hal ini dapat dipahami, karena
peperangan bukanlah kondisi yang mudah, apalagi bagi kaum perempuan.
Jangankan ikut berperang, untuk datang dengan selamat ke wilayah konflik saja
sulit, karena dalam kondisi ini keselamatan dan keamanan seseorang tidak pernah
bisa terjamin.
b. Hukum Jihad di Afghanistan Bagi Orang Cacat
Mengingat hukum jihad di Afghanistan bersifat fardhu ‘ain, maka orang
cacat memiliki kewajiban untuk terlibat dalam gerakan jihad di Afghanistan.
Meskipun kondisi mereka tidak memungkinkan untuk berperang, tapi tenaga
mereka dibutuhkan dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Bahkan menurut Dr.
Abdullah Azzam, kebutuhan para mujahidin terhadap seorang ulama, lebih
123
mendesak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan, persenjataan dan obatobatan (2006: 69). Hal ini terjadi karena selain membutuhkan fisik yang kuat,
seorang mujahidin juga membutuhkan kekuatan mental dan spiritual, dan hal
tersebut hanya bisa didapatkan dari para ulama Islam. Selain itu, banyaknya para
mujahidin yang kurang memahami Islam secara mendalam, menjadikan kehadiran
ulama sangat penting untuk memutuskan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi para mujahidin tentang hukum Islam di medan jihad, seperti perlakuan
terhadap tawanan perang, pembagian harta rampasan perang, pemulasaraan
jenazah dan lain-lain.
Keterlibatan orang cacat, selain untuk bekerja dibidang kesehatan dan
pendidikan bisa juga untuk menjadi anggota pasukan tempur meskipun tugasnya
hanya untuk menambah jumlah pasukan. Ini
penting terutama untuk
mempengaruhi psikologis musuh, agar keberanian mereka untuk melakukan
peperangan menjadi turun ketika melihat jumlah pasukan mujahidin yang banyak,
seperti yang dituliskan oleh Dr. Abdullah Azzam mengutip pendapat Ibnul
Hamam dalam Fathul Qadir: “adapun orang-orang yang mampu berangkat
berjihad, maka seyogyanya –wajib- berangkat untuk menambah jumlah pasukan
sekaligus sebagai irhab (teror)”(2006: 69).
c. Hukum Jihad di Afghanistan Bagi yang Sudah Berkeluarga
Meskipun hukum jihad di Afghanistan bersifat fardhu ‘ain, bukan berarti
Islam mewajibkan semua semua orang muslim tanpa terkecuali untuk terlibat
dalam gerakan jihad. Untuk seorang muslim yang sudah berkeluarga, diharuskan
124
memperhatikan keamanan dan kesejahteraan keluarga yang akan ditinggalkan.
Jika dengan perginya seorang muslim ke medan jihad menjadikan keluarganya
terlantar dan kelaparan, maka ia tidak diwajibkan untuk pergi berjihad.
Melindungi keluarga dalam hal keamanan dan kesejahteraan lebih diprioritaskan
dalam Islam, daripada berjihad meskipun jihad itu bersifat fardhu ‘ain. Hal ini
ditegaskan
oleh
Dr.
Abdullah
Azzam:
“Tidak
diperkenankan
mereka
meninggalkan famili dan keluarga mereka tanpa adanya jaminan nafkah serta
jaminan atas keamanan mereka untuk kemudian berangkat berjihad”(2006: 69).
Hal ini berlaku sebaliknya, bagi seorang muslim yang sudah berkeluarga,
memiliki jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi keluarganya jika ia pergi
berjihad, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak terlibat dalam gerakan jihad.
d. Jika Imam (pemimpin) Tidak Memobilisasi Kaum Muslimin untuk
Berjihad
Islam mewajibkan umatnya untuk taat kepada seorang pemimpin,
meskipun pemimpin itu bukan orang yang adil atau sering melakukan
kemaksiatan. Selama ia tidak menyuruh untuk berbuat maksiat atau tidak taat
kepada Allah, maka selama itu juga ia wajib di taati perintahnya. Menurut para
ulama, salah satu kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin adalah jika
jihad sudah menjadi fardhu ‘ain tetapi pemimpin tidak memobilisasi umat Islam
untuk berjihad. Dalam kondisi seperti ini, seorang imam (pemimpin) sudah tidak
layak untuk di taati. Artinya setiap muslim harus tetap melaksanakan jihad,
membebaskan tanah Islam yang diduduki musuh tanpa harus menunggu perintah
125
dari seorang imam atau meskipun imam itu melarangnya. Karena menyelamatkan
agama, kehormatan dan jiwa kaum muslimin lebih utama daripada menunggu
perintah atau menuruti perintah seorang imam. Hal ini ditegaskan oleh Dr.
Abdullah Azzam:
Dimakruhkan atau diharamkan berperang tanpa izin Amirul Mukminin
(pemimpin kaum muslimin) kecuali dalam tiga hal: Pertama, apabila
imam meninggalkan kewajiban jihad. Ketika seoarang imam tidak mau
berjihad, maka imam yang bersikap seperti ini tidak perlu dimintai izin
berjihad. Kedua, apabila maksud dari permohonan izin tidak dapat
diwujudkan. Sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya, apabila
Abu Thalhah dan Salamah meminta izin untuk berjihad, maka seluruh
penduduk Madinah akan ikut pergi. Ketiga, apabila kita mengetahui
bahwa imam tidak akan mungkin memberikan izin atau meneruma
permintaan izin kita. Demikian pula tidak dibutuhkan izin orang tua dan
tidak pula khalifah dalam melaksanakan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain.
Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang mencampuri urusan kita
dalam melaksanakan fardhu ‘ain, tidak pula berhak untuk
menghentikannya, dan tidak pula melarangnya (2006: 51-52).
e. Hukum Meminta Izin Kepada Kedua Orang Tua
Hukum berbakti kepada orang tua dalam Islam adalah wajib, barangsiapa
yang durhaka kepada kedua orang tua, termasuk kepada orang-orang yang
melakukan dosa besar dan mendapatkan murka dari Allah. Dalam kasus meminta
izin kepada rang tua untuk berjihad sebagai tanda berbakti kepada orang tua, Dr.
Abdullah Azzam berbeda pendapat dengan beberapa ulama. Menurut Syaikh bin
Bazz (ketua majelis ulama Arab Saudi), meskipun jihad yang berlangsung di
Afghanistan sifatnya
fardhu ‘ain, tetap diwajibkan bagi seorang anak untuk
meminta izin kepada orang tuanya jika akan berangkat jihad ke Afghanistan. Hal
ini bertentangan dengan pendapat Dr. Abdullah Azzam yang menyatakan bahwa
meminta izin kepada orang tua hanya berlaku ketika jihad hukumnya fardhu
126
kifayah, sedangkan ketika jihad bersifat fardhu ‘ain, maka izin kepada orang tua
sudah tidak diperlukan lagi bagi seseorang yang akan berangkat jihad ke
Afghanistan (2007: 53-54).
Penjelasan lain yang dikemukakan oleh Dr. Abdullah Azzam adalah
bahwa menjaga kebaikan agama dengan jihad lebih utama daripada menjaga jiwa
manusia. Menjaga kehormatan agama lebih utama daripada menjaga kehormatan
manusia. Ia menegaskan: “tidak dibutuhkan izin dari kedua orang tua dalam
melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya fardhu ‘ain. Perkara-perkara yang
hukumnya fardhu ‘ain tidak pernah membutuhkan izin siapapun, selamalamanya”(2007: 58).
f.
Hukum Jihad Bersama Orang-orang Fajir (pelaku dosa besar)
Para pelaku dosa-dosa besar dalam kondisi normal adalah salah satu
golongan yang harus di jauhi dan umat Islam dilarang bergaul dengannya. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga agar sifat-sifat buruk para pelaku dosa besar tidak
mempengaruhi yang lain sehingga ikut terjerumus melakukan dosa besar. Hukum
ini tidak berlaku ketika terjadi gerakan jihad yang bersifat fardhu ‘ain. Dalam
kondisi ini, umat Islam diperbolehkan untuk bergabung bersama para pelaku dosa
besar ketika berperang melawan musuh. Jihad harus tetap dilaksanakan meski
harus bersama orang yang suka melakukan dosa besar, karena menjaga dan
melestarikan ajaran dan kehormatan agama lebih utama. Seperti yang ditulis oleh
Dr. Abdullah Azzam:
Dengarkanlah perkataan yang disampaikan oleh syaikh Islam Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: “Oleh karena itu, termasuk salah satu
127
prinsip yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama’ah adalah berperang
bersama kaum muslimin, yang baik maupun yang jahat. Karena
sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan para pendosa, yang
tidak berhak mendapatkan sedikitpun di akhirat, sebagaimana yang di
sampaikan oleh Nabi. Sesungguhnya apabila jihad tidak dapat diwujudkan
kecuali harus bekerjasama dengan para pemimpin yang fajir atau pasukan
yang terdiri dari para pendosa, maka yang akan terjadi adalah, Pertama,
tidak berjihad bersama mereka dan musuh akan berkuasa, dan marabahaya
yang akan menimpa dien dan dunia akan lebih besar. Kedua, berperang
bersama mereka, selain bisa mencegah dosa yang lebih besar, syariat yang
ditegakan juga lebih banyak, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa
ditegakan secara menyeluruh. Pilihan kedua inilah yang wajib diambil
dalam kondisi semacam ini atau yang semisalnya. Sedangkan kondisi era
khalifah setelah Khulafa’ Rasyidin hampir seluruhnya seperti ini (2007:
60-61).
g.
Siapakah yang Boleh Diminta Fatwa Dalam Urusan Jihad
Secara umum setiap muslim bisa bertanya dan meminta fatwa kepada para
ulama yang diperkirakan memiliki pemahaman dan kapasitas ilmu yang cukup
dalam masalah agama. Karena jihad merupakan sebuah ibadah yang khusus, maka
hanya ulama khusus jugalah yang diperbolehkan di mintai fatwa atau pendapat
tentang jihad. Ulama khusus itu adalah mereka yang terlibat aktif dalam gerakan
jihad. Hal ini dikarenakan agar terhindar dari kekeliruan dalam memberikan
fatwa, karena ulama yang tidak ikut berjihad tidak akan tahu secara detail tentang
kondisi dan situasi di medan jihad. Sehingga ketika mengeluarkan fatwa hanya
berlandaskan teori, hal ini bisa saja bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di
medan jihad, hasilnya bukan manfaat yang didapatkan para mujahidin tapi
sebaliknya yaitu kerugian. Dr. Abdullah Azzam berpendapat sesuai dengan fatwa
yang dikeluarkan Ibnu Taimiyyah:
“Ibnu Taimiyyah berpendapat, bahwa
sesungguhnya tidak ada orang yang boleh dimintai fatwa dalam urusan jihad
kecuali para ulama yang beramal di bumi jihad… tidak boleh dimintai fatwa
128
kecuali para ulama yang mengetahui keadaan sesungguhnya medan jihad dan
memahami ajaran jihad”(2007: 63).
Bahkan jajaran para ulama Timur Tengah yang memiliki pemahaman dan
ilmu yang luas dalam Islam, menurut Dr. Abdullah Azzam apabila mereka tidak
pernah berjihad atau tidak memiliki pengalaman berjihad, maka tidak boleh di
mintai fatwa tentang jihad. Karena dalam masalah jihad, selain memiliki
pemahaman terhadap teori, juga dibutuhkan pengalaman sebelum mengeluarkan
fatwa. Untuk memperjelas hal ini, Dr. Abdullah Azzam mengajukan sebuah
contoh:
Misalnya ada seseorang yang datang meminta fatwa kepada syaikh
Abdul Aziz bin Baaz (anggota majelis ulama Arab Saudi), “syaikh
bolehkah melakukan penculikan terhadap wanita-wanita komunis
kemudian mereka dijadikan budak ?”… Secara teoritis akan dijawab,
“iya, boleh menjadikan mereka sebagai budak”. Akan tetapi, apabila
orang itu datang kepada saya dan bertanya, pastilah akan saya jawab,
“dilarang menjadikan wanita komunis tersebut sebagai budak”… Kenapa
?! karena saya tahu keadaan yang tidak diketahui sayikh Abdul Aziz bin
Baaz. Saya tahu bahwa, kalau saja mujahidin mengambil seorang
perempuan komunis dari Jalalabad, kemudian diserahkan kepada mujahid
Arab untuk dijadikan budak, maka semua mujahid Arab akan disembelih,
semuanya !... Kenapa ?! Karena seorang perempuan itu istri seorang
komunis yang berasal dari kabilah tertentu, yang sebagian besar anggota
kabilah tersebut bergabung ke dalam barisan mujahidin. Lalu bagaimana
mereka memandang kejadian yang menimpa salah seorang anak
perempuan mereka ? Kabilah-kabilah itu akan mengatakan “seorang
Arab telah mencuri wanita itu lalu di jadikan seorang budak”(2007: 7678).
129
D. Usaha-Usaha yang Dilakukan Dr. Abdullah Azzam dan Pengaruhnya di
Afghanistan (1979-1989)
1. Mengeluarkan Fatwa Fardhu ‘ain Untuk Jihad di Afghanistan
Hubungan awal Dr. Abdullah Azzam dengan jihad Afghanistan adalah
semenjak Uni Sovyet menginvasi wilayah Afghanistan pada tahun 1979.
Meskipun tidak terjun langsung ke medan jihad Afghanistan, Dr. Abdullah Azzam
yang pada saat itu mejadi salah seorang pengajar di Univesitas King Abdul Aziz,
Jeddah, memberikan kontribusi pertama yaitu dengan mengeluarkan fatwa fardhu
‘ain untuk jihad di Afghanistan (Nurdi, 2008: 123). Hal ini berarti mengabarkan
kepada seluruh umat Islam di dunia, untuk terlibat aktif dalam gerakan jihad di
Afghanistan, karena hukum untuk melakukan itu adalah fardhu ‘ain yang artinya
kewajiban setiap individu muslim.
Fatwa Dr. Abdullah Azzam berhasil membangun paradigma baru pada
umat Islam tentang gerakan jihad di Afghanistan, karena dengan fatwa itu
mendorong umat Islam untuk mengenal lebih jauh gerakan jihad di Afghanistan
bahkan tidak sedikit yang ikut terlibat didalamnya. Efektifitas fatwa yang
dikeluarkan oleh Dr. Abdullah Azzam selain karena ketokohannya dalam gerakan
jihad di Palestina, juga karena gelar formalnya sebagai doktor lulusan Universitas
Al-Azhar, Mesir dalam bidang ushul fiqh menjadikan fatwanya memiliki legalitas
intelektual. Perkembangan selanjutnya menjadi menarik, karena fatwa yang
dikeluarkannya berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan para ulama Arab Saudi,
yang menganggap bahwa hukum jihad di Afghanistan bukanlah fardhu ‘ain tetapi
130
fardhu kifayah, artinya kewajiban kolektif yaitu jika ada sekelompok orang
melaksanakan jihad di Afghanistan maka umat Islam yang lain tidak wajib
melaksanakan jihad tersebut (Fealy dan Bubalo, 2008: 48). Meskipun
bertentangan dengan para ulama Arab Saudi, Dr. Abdullah Azzam tetap konsisten
terhadap fatwa yang dikeluarkannya.
2. Mendirikan Maktab Khidmatul Mujahidin (Kantor Pelayanan Mujahidin)
Tidak puas hanya dengan mengeluarkan fatwa, pada tahun 1980 Dr.
Abdullah Azzam pindah beserta keluarganya ke Pakistan, disini ia mengajar di
Internasional Islamic University di Islamabad. Disela-sela memberikan kuliah, ia
banyak menjalin hubungan dengan para pimpinan mujahidin yang terlibat dalam
gerakan jihad di Afghanistan. Karena ingin terlibat lebih aktif dalam gerakan
jihad, iapun berhenti mengajar (Azzam, 2006: 126). Selanjutnya ia pindah ke
Peshawar, daerah perbatasan antara Pakistan dengan Afghanistan yang juga
merupakan salah satu pintu masuk para mujahidin di luar Afghanistan ke
Afghanistan.
Pada tahun 1984, di Peshawar Dr. Abdullah Azzam mendirikan Maktab
Khidmatul Mujahidin yang bertujuan memberikan pelayanan bagi para mujahidin
yang terlibat dalam gerakan jihad di Afghanistan. Selain melakukan pelayanan,
tujuan lainnya adalah melakukan rekruitmen para mujahidin dari seluruh penjuru
dunia dan memberikan pembekalan baik fisik maupun rohani kepada mereka,
sebelum terjun di medan jihad Afghanistan (Nurdi, 2008: 124). Hal ini sangat
bermanfaat, selain untuk mengorganisasikan gerakan jihad, juga memberikan
131
pemahaman awal bagi para mujahidin tentang situasi dan kondisi medan perang
Afghanistan, mengingat kebanyakan para mujahidin berlatar belakang bukan
militer.
Keberhasilan mendirikan Maktab Khidmatul Mujahidin, tidak terlepas dari
kerjasamanya dengan berbagai pihak, salah satunya dengan murid Dr. Abdullah
Azzam pada saat mengajar di Univesitas King Abdul Aziz, Jeddah, yaitu Usamah
bin Laden. Seorang jutawan asal Arab Saudi. Bantuan Usamah bin Laden, selain
menjalankan administrasi lembaga juga dalam masalah keuangan, hal ini
tergambar dari ungkapan Dr. Abdullah Azzam: “Kondisi rumah para aktivis di
Yordan dan Mesir masih lebih baik daripada rumah Usamah, meskipun demikian,
kalau kamu meminta uang untuk para mujahidin, dia akan menuliskan cek
sejumlah jutaan real ...”(Fachry, 2008: 36). Disadari atau tidak, bantuan keuangan
sangat penting, karena dibutuhkan dana yang banyak untuk memenuhi kebutuhan
para mujahidin di medan jihad, seperti untuk membeli senjata, pakaian, obatobatan, buku-buku pelajaran dll.
Maktab Khidmatul Mujahidin yang didirikan oleh Dr. Abdullah Azzam
begitu besar peranannya terhadap gerakan jihad di Afghanistan, diantaranya
(Jihadmagz, 2008: 38-39):
1. Berperan mengangkat jihad Afghanistan sebagai persoalan dunia Islam.
2. Mengorbankan semangat jihad ke seluruh dunia melalui majalah Al-Jihad,
Lahibul Ma’rakah, buku-buku dan terbitan lainnya.
3. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran: mengadakan latihan tarbiyah
jihadiyah (pendidikan jihad) untuk para komanda pasukan, mendirikan
132
madrasah di benteng-benteng pertahanan yang jumlahnya lebih dari 250
madrasah, mendirikan pusat pendidikan, membuka majelis pengajaran AlQur’an, dan berhasil mencetak buku-buku pelajaran berjumlah lebih dari
400.000 buku pada tahun 1988 dan menyebarkannya ke madrasah-madrasah
di Afghanistan.
4. Mengobarkan semangat tepur mujahidin dengan pemahaman Islam.
5. Mengangkat mentalitas juang mujahidin Afghanistan.
6.
Memasok kebutuhan penting dalam jihad, seperti makanan, amunisi, obatobatan yang bernilai ribuan rupe dari sumbangan umat Islam.
7. Menyatukan kekutan jihad antar pasukan yang berasal dari Afghanistan dan
non Afghanistan.
8. Menangani korban perang.
9. Mendanai gelombang hijrah (pindah) para pemuda yang hendak berjihad di
Afghanistan.
10. Merawat anak-anak para syuhada dengan mendirikan yayasan penyantun anak
yatim dan janda di Afghanistan.
11. Menyatukan para pemimpin mujahididn Afghanistan.
12. Membuat dewan ulama yang memiliki kapasitas memberikan fatwa tentang
jihad dan menepis opini miring tentang jihad.
3.
Membangun Media Propaganda Jihad Afghanistan
Salah satu usaha yang dilakukan oleh Dr. Abdullah Azzam untuk
menjadian jihad Afghanistan menjadi gerakan jihad global adalah dengan
133
membangun media propaganda, melalui kegiatan jurnalisme. Ini adalah salah satu
usaha cerdas yang sangat efektif untuk menyebarkan pemikiran tentang jihad,
menarik umat Islam untuk terlibat aktif dalam gerakan jihad baik secara langsung
ataupu tidak langsung dengan memberikan bantuan keuangan misalnya dan
memberitakan perkembangan jihad di Afghanstan ke seluruh dunia. Tidak hanya
menggunakan majalah atau koran, Dr. Abdullah Azzam juga memanfaatkan video
dan
rekaman
suara
untuk
mendokumentasikan
ceramah-ceramahnya,
pertempuran-pertempuran yang dilakukan mujahidin atau kondisi dan situasi
medan jihad secara keseluruhan. Hal ini seperti yang ditulis Al-Hami (2008: 5354):
Beliau membuat majalah jihad bulanan dan pada setiap pekannya
menyalakan tema-tema peperangan. Tema-tema tentang para syuhada
yang dilalui dengan jihadnya menjadi ciri khas yang terbesar di dalam
majalah ini. Hal itu sebagai sarana untuk menrik simpati para pengikutnya
dan menjadi siraman rohani serta dukungan terhadap jihad, ditambah lagi
dengan adanya kader-kader khusus dibidang media massa yang bekerja di
medan jihad. Begitu juga perhatian beliau terhadap rekaman suara dan
gambar video serta transfer jihad Afghan dengan bentuk dan gambar
hidup, dengan cara membuat program-program musim panas dengan para
koresponden. Lalu para koresponden mengirimkan suara jiahd di
Afghanistan dengan darah dan jihad mereka.
Untuk memberikan
informasi-informasi aktual seputar jihad di
Afghanistan kepada umat Islam diseluruh dunia, ia mendirikan majalah Risalatul
Jihad sebagai mimbar informasi bulanan dan menerbitkan buletin Lahibul
Ma’rakah
untuk memberitakan jihad pekanan (Al-Aqil, 2003: 645). Di tengah
kesibukannya dalam berjihad dan memotivasi umat Islam untuk berjihad, ia masih
menyempatkan diri untuk menulis buku-buku panduan jihad, sebagai warisan
intelektualnya. Dr. Abdullah Azzam telah menulis 17 buku yang telah dicetak,
134
300 kaset ceramah, 50 kaset video berisi ceramah, beberapa manuskrip tulisan
belum dicetak, kumpulan makalah dan tulisannya yang diterbitkan di berbagai
media massa, puluhan rekaman ceramah dan seminar di berbagai penjuru dunia,
dan ratusan artikel membela Islam dan jihad (Jihadmagz, 2008: 39).
4.
Menjadi Pemimpin Mujahidin di Afghanistan
Keterlibatan Dr. Abdullah Azzam dalam gerakan jihad Afghanistan sangat
serius dan totalitas, ia mencurahkan tenaganya untuk terlibat dalam oprasi-oprasi
jihad dan mencurahkan pikirannya melalui tulisan, seminar dan muktamar tentang
jihad. Ia melibatkan anggota keluarganya dalam gerakan jihad. Hudzaifah
anaknya yang berusia 15 tahun sering ditugaskan untuk menjemput para pemuda
dari seluruh dunia di bandara Pakistan, kemudian diantar ke Maktab Khidmatul
Mujahidin untuk mendapatkan latihan dan pengarahan sebelum terjun ke medan
jihad. Istrinya Ummu Muhammad berperan dalam mengurus dan menyantuni
janda-janda dan anak-anak yatim yang ditinggalkan oleh para syuhada jihad
Afghanistan (Nurdi, 2008: 125).
Peran Dr. Abdullah Azzam dalam gerakan jihad Afghanistan sangat
penting. Ia adalah penghubung antara mujahidin Arab dan internasional dengan
mujahidin Afghanistan (Al-Wai’y, 2007: 96; Al-Aqil, 2003: 645). Selain itu,
pengorbanannya dan keluasan ilmunya menjadikan Dr. Abdullah Azzam menjadi
sosok yang sangat disegani selain pemimpin-pemimpin jihad yang lain. Bahkan
dalam banyak hal sering kali ia mejadi penengah jika terjadi perselisihan diantara
pemimpin jihad Afghanistan. Ia juga dikenal sebagai sosok pemersatu sekaligus
135
guru bagi mujahididn Afghanistan seperti Rassul Sayyaf, Rabbani, Mashoud dan
juga Usamah bin Laden (Sabili, 2002: 39).
Jihad Dr. Abdullah Azzam tidak hanya pada tataran pemikiran dan teori
semata, tapi juga diperaktekan dengan iman, kepemimpinan, gerakan dan maju ke
medan pertempuran. Jika tokoh seperti Al-Maududi dan Sayid Quthb telah
menuliskan kaidah jihad secara teori, maka Dr. Abdullah Azzam telah
mencontohkannya secara nyata kepada umat. Dalam medan tempur, berkali-kali
beliau memimpin pertempuran melawan Uni Sovyet. Salah satunya, pertempuran
yang paling hebat terjadi pada bulan Ramadhan tahun 1987 disebut pertempuran
“Jajiy”. Pertempuran ini terjadi disebuah kamp mujahidin bernama Ma’sadah,
para mujahididn Afghanistan bahu membahu bersama mujahidin Arab dan
internasional menahan serangan-serangan dari Uni Sovyet dan berhasil
memenangkan pertempuran (Al-Wai’y, 2007: 96; Al-Aqil, 2003: 645; Jihadmagz,
2008: 39; Al-Hami, 2008: 91).
5. Menjadikan Jihad Afghanistan Sebagai Gerakan Jihad Global
Berkat kerja kerasnya, jihad Afghanistan berhasil menjadi gerakan jihad
global. Para mujahidin dari seluruh dunia bergabung bersama para mujahidin
Afghanistan berperang melawan Uni Sovyet, yang akhirnya kalah pada tahun
1989.
Ketika Dr. Abdullah Azzam meninggal dunia pada tahun 1989, sekitar
20.000
Mujahidin
dari
20
negara
telah
berhasil
ia
rekrut.
Untuk
mengkampanyekan jihad, ia telah berkunjung ke hampir seluruh negara di Timur
Tengah. Melakukan lawatan ke negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Bahkan
136
pernah berkeliling ke 50 kota di Amerika Serikat untuk mengumpulkan dana dan
menyerukan umat Islam untuk berjihad (Nurdi, 2008: 125-126). Semangatnya
dalam upaya yang tak kenal lelah dalam merekrut para mujahidin untuk berjihad
di Afghanistan, menjadikan Dr. Abdullah Azzam pernah dijuluki majalah Time,
sebagai pemimpin gerakan jihad modern (Fealy dan Bubalo, 2008: 18).
Pengaruhnya terhadap gerakan jihad di Afganistan dan juga sebaliknya, tergambar
dalam sebuah tulisan:
Abdullah Azzam sangat banyak dipengaruhi oleh jihad di Afghanistan dan
jihad di Afghanistan juga sangat banyak dipengaruhi Abdullah Azzam
sejak beliau memfokuskan seluruh waktunya untuk jihad. Ia menjadi
seorang yang disegani di arena jihad Afghanistan. Ia menumpahkan
seluruh daya usaha untuk menyebarkan dan mengenalkan jihad di
Afghanistan ke seluruh dunia. Ia mengubah pandangan umat Islam tentang
jihad di Afghanistan dan menyadarkan bahwa jihad adalah tuntutan Islam
yang menjadi tanggung jawab semua umat Islam di seluruh dunia. Berkat
hasil usahanya, Jihad Afghan menjadi Jihad universal yang diikuti oleh
umat Islam dari berbagai pelosok dunia (http://www.eramuslim.com
/berita/laporan-khusus/peringatan-18-tahun-syahidnya-abdullah-azzamteroriskah-simbol-jihad-afghanistan-itu.htm. [15 Oktober 2008] ).
Kecintaan dan pengorbanan Dr. Abdullah Azzam dalam jihad hampir
menyita waktu di akhir hidupnya. Untuk menggambarkan kecintaan dan pengaruh
besar jihad dalam hidupnya, suatu kesempatan ia pernah berkata: ”Aku rasa
seperti baru sembilan tahun, tujuh setengah tahun di jihad Afghan, satu setengah
tahun di jihad Palestin, dan tahun-tahun yang selebihnya tidak bernilai apaapa”(Azzam, 2006: 126). Namun sayang, meskipun berhasil membebaskan
Afghanistan dari jajahan Uni Sovyet, sampai akhir hayatnya ia belum sempat
membebaskan tanah kelahirannya Palestina dari jajahan Israel.
137
Download