Indonesia Siapkan Langkah-langkah Proaktif Senin, 6 Oktober 2008 | 01:27 WIB Oleh Simon Saragih Globalisasi menjadi sarana koordinasi ekonomi dunia yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Globalisasi juga menancapkan tali-temali bisnis yang terbentuk dalam sebuah sistem. Akan tetapi, globalisasi juga menimbulkan efek domino yang negatif. Kekacauan ekonomi sebuah negara, apalagi negara besar, akan menggoyang ekonomi negara lainnya yang terkait dalam sektor perdagangan dan aliran keuangan global. AS adalah pemicu krisis terbesar dunia abad ke-21 ini, sejak krisis 1929. Krisis ini dipicu kebangkrutan lembaga keuangan AS akibat berlomba-lomba menanamkan dana di sektor properti, tetapi kemudian kreditnya terjerat. Sektor perumahan tidak laku dan harga-harga terus menurun sejak 2005. Kebangkrutan ini telah menelan korban, Lehman Brothers, Washington Mutual, bank terbesar AS, dan memaksa Pemerintah AS meluncurkan paket dana penyelamatan korporasi senilai 700 miliar dollar AS. Krisis ini sudah mulai meledak tahun 2007 yang menelan korban-korban lain, seperti bank Northern Rock di Inggris, HBOS, dan Societe Generale (Perancis). Mantan Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan memberi peringatan pada 2007 bahwa kini kekhawatiran terbesar adalah keengganan industri perbankan untuk saling meminjamkan. Karena perbankan adalah urat nadi perekonomian, mediasi perdagangan dan transaksi global, keengganan saling meminjamkan itu akan mengganggu aktivitas bisnis. Akan tetapi, bisa dipastikan krisis AS tidak serta merta terhenti karena dana talangan itu. Presiden AS George W Bush mengatakan efek dana talangan masih memerlukan proses. Dari dana talangan itu, baru 250 miliar dollar AS yang bisa segera dikucurkan. Selebihnya, setiap pengucuran berikutnya masih harus meminta persetujuan presiden dan Kongres AS. Dampaknya adalah sikap melihat dan menunggu lembaga perbankan dunia. Setidaknya sistem keuangan global akan terganggu sementara. Belum lagi berbicara soal triliunan dollar AS kerugian korporasi AS yang terjadi di luar sektor perumahan. Paket dana talangan tidak memadai walau relatif menolong keyakinan pasar. Menurun tidak menukik Namun, mayoritas ekonom menyatakan Depresi Besar akan terjadi, seperti diutarakan Erik Hurst, profesor Ekonomi dari University of Chicago, AS. Saat Depresi Besar terjadi tahun 1929, pengangguran di AS mencapai 25 persen dari total angkatan kerja. Output ekonomi anjlok 33 persen. ”Ini tidak akan terjadi,” kata Kenneth Rogoff, ekonom Harvard University. Mengapa tidak ada depresi? Saat Ekonomi AS mengalami Depresi Besar, ekonomi Jerman, Inggris, dan Perancis juga anjlok bersamaan. Kini Uni Eropa tergolong solid, sebagaimana diutarakan Gubernur Bank Sentral Italia Mario Draghi. Juga ada kekuatan ekonomi lainnya di dunia, yakni China, Brasil, India dan Rusia, Kanada, Australia, serta sejumlah negara kecil pemilik dana investasi besar. Kekuatan ekonomi dunia makin menyebar. Intinya, ekonomi tidak akan terjun bebas, hanya menurun secara melandai, yang disebut resesi. ”Resesi tidak mematikan. Warga hanya perlu waspada dalam membelanjakan uang, tidak harus histeris,” kata David Stowell, profesor yang ahli di bidang keuangan dari Kellogg School of Management. Northwestern University, AS. Namun, situasi lebih parah akan tetap menimpa para investor portofolio, yakni mereka yang main indeks harga saham, obligasi, kurs valuta asing. Volatilitas indeks masih akan gawat dan pasti mengorbankan dana-dana investasi, khususnya berjangka pendek. Volatilitas di bursa dan pasar uang secara empiris selalu lebih mudah bergolak. Dalam hal ini, pengamat pasar modal, Januar Rizky, mengatakan, investor portofolio asal Indonesia sudah saatnya merelakan kerugian yang telah terjadi. Untuk berikutnya, kata Januar, investor yang tidak paham teknis permainan di bursa harus berhenti karena turbulensi makin sering terjadi. ”Masalahnya, Bank Sentral AS akan memanfaatkan bursa uang dan modal di berbagai negara untuk mencari keuntungan,” kata Januar. Peringatan ini bukan sekadar isapan jempol. Ekonomi AS, Joseph E Stiglitz, telah menurunkan ulasan soal kemunafikan AS soal deregulasi sektor keuangan di negara berkembang. Intinya, Stiglitz mengatakan bahwa AS memaksakan negara berkembang melakukan deregulasi di pasar uang, tetapi salah satu tujuannya adalah agar Wall Street bisa bebas masuk-keluar dan meraup untung dari gejolak naik turun bursa saham atau kurs mata uang. Indonesia juga perlu mengevaluasi potensi anjloknya peranan dollar AS karena memudarnya kekuatan ekonomi AS yang mulai digerogoti akibat kebangkitan ekonomi India, China, dan negara berkembang lainnya. Hal ini sudah diperkirakan oleh George Soros bahwa pamor dollar AS memudar baik sebagai alat transaksi maupun sebagai sarana investasi. Dampak ke Indonesia Meski demikian, penurunan pertumbuhan ekonomi AS dan Eropa akan tetap memengaruhi Asia Timur. Ekspor manufaktur Asia, termasuk Indonesia, tergolong yang paling terpukul, terutama untuk tujuan AS dan Uni Eropa. ”Namun, ekonomi Asia masih tumbuh positif, bukan kontraksi,” kata Direktur Bank Pembangunan Asia Rajat Nag. Harga-harga pangan dan energi sudah anjlok akibat habisnya napas spekulan di bursa New York dan di berbagai pasar dunia. Hal ini malah menjadi penolong ekonomi Asia yang merupakan importir neto energi. Penurunan harga komoditas juga menurunkan beban konsumen Asia. Permintaan domestik Asia akan tetap kuat. Cadangan devisa Asia dan lembaga perbankan Asia juga lebih solid. Asia kini lebih kuat menghadapi sampak krisis AS. ”Kita telah belajar dari kesalahan 1997. Kini modal asal Asia malah akan lebih memainkan peran lebih besar di dunia. Saya tidak melihat potensi kekacauan kredit di Asia,” kata Nag seraya menambahkan ekonomi Asia akan tumbuh 7,2 persen pada 2009. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, ekonomi Indonesia kini juga lebih banyak ditopang sektor domestik. Ekspor Indonesia juga lebih banyak tertuju ke Asia, yang tumbuh pesat sepanjang 2008. Wapres Muhammad Jusuf Kalla, Rabu (1/10), memperlihatkan keadaan yang tidak terlalu gelisah. ”Kredit asal luar negeri yang didapat Indonesia tidak sebesar ketika krisis moneter terjadi pada tahun 1997. Sekarang ini kredit itu lebih efektif penggunaannya, seperti ke infrastruktur dan industri pertanian,” ujar Wapres Kalla. Langkah-langkah proaktif Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (1/10), mengatakan, ”Di tengah perekonomian global yang saling tergantung, Indonesia terus mengantisipasi dengan melakukan langkah-langkah proaktif untuk mengatasi masalah. Ke depan saya harus realistis, ada pengaruh global terhadap perekonomian Indonesia. Akan tetapi, kita berharap tetap bisa mengelolanya dengan baik sehingga ekonomi kita tidak saja makin pulih dari krisis 10 tahun lalu, tetapi juga bisa membangun fundamental ekonomi yang lebih kuat lagi,” ujar Presiden Yudhoyono. Hal ini senada dengan peringatan ekonom Rizal Ramli bahwa, ke depan, rangsangan untuk membangun fondasi ekonomi Indonesia harus serius dilakukan. Hal ini antara lain bisa diwujudkan dengan memperbaiki manajemen kekayaan migas, tambang emas, dan batu bara agar hasilnya mengalir lebih banyak ke kas negara. Perbaikan ekonomi juga harus dilakukan dengan membangun sarana jalan, pengadaan listrik, dan perbaikan peraturan serta sistem yang membuat Indonesia bisa seperti China, yang menjadi kesayangan investor dunia. ”Saatnya meninggalkan kebijakan neo liberal, yang membuat rakyat Indonesia tidak banyak diuntungkan dengan kedatangan investor asing, terutama di sektor pertambangan migas, emas, dan batu bara. Di sektor inilah kesigapan yang paling diharapkan dari otoritas Indonesia,” kata Rizal Ramli.(REUTERS/AP/AFP/har/inu)