BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kajian Teori 3.1.1. Definisi Pemimpin dan Kepemimpinan Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang berarti) ke usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan (Yukl, 2005:98). Menurut Mangunharjana (2006:11) pemimpin berasal dari akar kata to lead mengandung arti bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran, pendapat, tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Seorang pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun, menggerakan orang lain melalui pengaruhnya. Sementara Winardi (2002:2) mengatakan “seorang pemimpin adalah orang yang kecakapan - kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk menggerakkan upaya bersama ke arah pencapaian sasaran – sasaran tertentu”. Menurut kutipan ini bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditinjau dari kecakapan pribadinya. Selanjutnya menurut Koortz, dkk (dalam Kamars, 2000:164) “leadership as influence, the art a of process of influencing people so 35 36 that will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of grup”. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya: kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang – orang sehingga mereka mau bekerjasama secara sukarela dan bersemangat ke arah pencapaian tujuan - tujuan kelompok. Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan tersebut mencakup tiga elemen yaitu: 1. Kepemimpinan adalah suatu konsep relasi (relation concept), kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut) dalam artian, jika tidak ada pengikut maka pemimpin juga tidak ada. 2. Kepemimpinan merupakan suatu proses, agar bisa memimpin harus melakukan sesuatu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai 3. Kepemimpinan harus membujuk orang lain. Penulis memberi definisi kepemimpinan adalah setiap tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arahan kepada individu atau kelompok yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan, namun dapat disimpulkan terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan yaitu: suatu fenomena kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih dan di dalamnya melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan pemimpin terhadap bawahannya. 37 3.1.2. Fungsi kepemimpinan Untuk dapat mencapai tujuan organisasi, seorang pemimpin harus mampu mengefektifkan organisasi dengan menggunakan strategi kepemimpinan. Strategi seperti ini menuntut kemampuan pemimpin mengimplementasikan fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dan efisien. Menurut Nawawi (2006:74) Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi, yaitu : 1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orangorang yang dipimpinnya. 2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok organisasi/perusahaan yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan pemimpin. Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu: 1) Fungsi Instruktif. Pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah. 38 2) Fungsi konsultatif. Pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. 3) Fungsi Partisipasi. Dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai dengan posisi masing-masing. 4) Fungsi Delegasi. Dalam menjalankan fungsi delegasi, Pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan ssorang pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri. 5) Fungsi Pengendalian. Fungsi pengendalian berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam 39 koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan. Fungsi-fungsi kepemimpinan meliputi kegiatan dan tindakan sebagai berikut: a) Pengambilan keputusan. b) Pengembangan imajinasi. c) Pendelegasian wewenang kepada bawahan. d) Pengembangan kesetiaan para bawahan. e) Pemrakarsaan, penggiatan dan pengendalian rencana-rencana. f) Pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya. g) Pelaksanaan keputusan dan pemberian dorongan kepada para pelaksana. h) Pelaksanaan kontrol dan perbaikan kesalahan-kesalahan. i) Pemberian tanda penghargaan kepada bawahan yang berprestasi. j) Pertanggungjawaban semua tindakan. 3.1.3. Kepemimpinan Transformasional Seorang pemimpin, dapat memilih jenis gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan tujuan yang dicapai pemimpin dalam organisasi yang dipimpinnya. Ada beberapa tipe kepemimpinan yang masing - masing memiliki karakter tersendiri seperti: pemimpin atribusi yang mengemukakan bahwa pemimpin semata-mata suatu atribusi yang dibuat orang bagi individu-individu lain, pemimpin karismatik yang menyatakan bahwa para pengikutnya membuat atribusi 40 dari kemampuan pemimpin yang heroik atau luar biasa, pemimpin otokratik, dan pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional akhir - akhir ini semakin banyak dibicarakan orang dan tipe kepemimpinan inilah yang menjadi salah satu variabel dalam penelitian ini. Kepemimpinan transformasional merupakan upaya memotivasi karyawan untuk bekerja demi tercapai sasaran organisasi dan memuaskan kebutuhan mereka pada tingkat lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses yang pada dasarnya "para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang tinggi" (Burns dalam Komariah, 2005: 77). Kepemimpinan Transformasional memandang manusia, kinerja dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh. Gagasan awal mengenai kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass. Bass dalam Harsiwi (2003), mengemukakan bahwa “kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh pemimpin atau atasan terhadap karyawan. Para karyawan merasakan adanya kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang diharapkan”. Sementara menurut Bass dalam Yukl (2009): “Kepemimpinan transformasional, digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang dapat membangkitkan atau memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi”. Teori ini tidak menyebutkan suatu kondisi dimana kepemimpinan transformasional autentik tidak relevan atau 41 efektif namun relevansi universal tidak berarti bahwa kepemimpinan transformasional sama efektifnya dalam semua situasi atau sama - sama mungkin terjadi. Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional ini, Leithwood, dkk dalam Danim (2006:219) menulis “Transformasional leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared vision, distribusing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools”. Kutipan ini menggariskan bahwa kepemimpinan transformasional menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi bersama, pendistribusian kewenangan pimpinan, dan pembangunan kultur organisasi yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi organisasi. Pendapat ini didasarkan hasil penelitian Leithwood, Dart, Jantzi dan Steinbench, dan Silins dalam Danim (2006:219) dimana hasil studi memberi kesan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berkontribusi pada inisiatif– inisiatif restrukturisasi (restructuring), dan menurut apa yang dirasakan oleh bawahan, hal itu memberi sumbangsih bagi perbaikan kepada pelayanan publik. Bass dalam Yukl (2010:278) mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan transformasional yaitu: karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal/idealized influence), motivasi inspirasional (inspirational motivation), stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan pertimbangan individual (Individualized Consideration). 42 3.1.3.1. Pengaruh Ideal/ Idealized Influence Idealized influence menurut Sarris dan Santora (2001) merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan percaya sepenuhnya dan bersedia melakukan apa saja demi pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Rafferty & Griffin, 2004). Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang (visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya (Bass et al., 2003; Humphreys, 2002; Sarris & Santora, 2001; Yammarino et al., 1993). Idealized influence merupakan dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena memberikan inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan bersama (Humphreys, 2002; Rafferty & Griffin, 2004). Menurut Yukl (2007) indikatornya adalah: 43 1) Mempertimbangkan konsekuansi moral dan etika dalam mengambil keputusan. 2) Menjelaskan/menunjukkan pentingnya memiliki perasaan terhadap suatu tujuan kuat. 3.1.3.2. Motivasi Inspirasional (Inspiration Motivation) Pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan pada kerja keras, mengekspresikan tujuan dengan cara sederhana. Pemimpin mempunyai visi yang menarik untuk masa depan, menetapkan standar yang tinggi bagi para bawahan, optimis dan antusiasme, memberikan dorongan dan arti terhadap apa yang perlu dilakukan. Sehingga pemimpin semacam ini akan memperbesar optimisme dan antusiasme bawahan serta motivasi dan menginspirasi bawahannya untuk melebihi harapan motivasional awal melalui dukungan emosional dan daya tarik emosional. Menurut Yukl (2007), indikatornya adalah: 1) Menunjukkan keyakinan bahwa tujuan-tujuan akan tercapai. 2) Selalu berbicara dengan antusias mengenai apa yang mesti diselesaikan 3.1.3.3 Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) Intellectual stimulation, merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang jarang memperoleh perhatian (Rafferty & Griffin,2004). Intellectual stimulation merupakan perilaku yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian 44 berusaha mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan-pendekatan atau perspektif baru. Dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan (Rafferty & Griffin, 2004) Bass et al. (2003) serta Sarris dan Santora (2001) berpandangan bahwa intellectual stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan. Indikator Intellectual stimulation menurut Yukl (2007) adalah: 1) Mencari perspektif yang berbeda ketika menyelesaikan permasalahan. 2) Memberi kesempatan kepada bawahan untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. 3.1.3.4. Pertimbangan Individual (Individualized Consideration) Invidualized consideration atau pertimbangan individual. Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu, 45 pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan terbaik setiap bawahan (Bass et al., 2003; Sarris & Santora, 2001). Indikator Pertimbangan Individual menurut Yukl, diantaranya: 1) Meluangkan waktu untuk mengajari dan memberi bimbingan (coaching) kepada anak buah. 2) Membantu bawahan untuk mengembangkan kekuatan-kekuatan dimiliki. 3.1.3.5 Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan tertentu (misalnya: bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari sanksi atau hukuman. Di sini tercipta hubungan mutualisme dan kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan (Bass et. al, 2003; Humphreys, 2002; Liu et. al, 2003), Sarros dan Santora (2001) menyebutkan bahwa imbalan yang dikejar dua belah pihak lebih bersifat ekonomi. Kebutuhan fisik dan materi bawahan berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan sebagai balasannya, pemimpin memperoleh imbalan berupa performa bawahan yang tinggi. Waldman et. al (2002). mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan 46 bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha memuaskan kebutuhan bawahan untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya melakukan tindakan korektif. Humphreys (2002) serta Yammarino et. al (1993) menyebutkan bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berkembang menjadi paradigma praktek kepemimpinan dalam organisasi. Kepemimpinan transaksional menurut beberapa pakar memiliki dua karakter yang dinamakan contingent reward dan management by exception. Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter contingent reward akan menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya dan mengarahkan bawahan untuk mencapainya. Besar kecilnya imbalan (reward) akan tergantung pada (contingent) sejauh mana bawahan mencapai tujuan dan sasaran tersebut (Bass et. al (2003); Humphreys (2002). Indikatornya menurut Yukl (2007) antara lain: 1. Mendiskusikan dalam situasi yang spesifik siapa yang harus bertanggungjawab dalam pencapaian target-target kinerja. 2. Membuat jelas tentang apa yang bisa diharapkan oleh seseorang (imbalannya) ketika tujuan-tujuan kinerja tercapai. Pemimpin transaksional berkarakter management by exception dapat dibagi lagi kedalam dua sifat, yaitu aktif dan pasif. Pada active management by exception, pemimpin menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai berikut standar kerja yang harus dipatuhi. Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak segan menjatuhkan sanksi kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini 47 akan cenderung mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan tindakan korektif apabila muncul penyimpangan, kekeliruan, atau kesalahan. Indikator active management by exception menurut Yukl (2007): 1. Selalu merekam semua kesalahan – kesalahan. 2. Menaruh perhatian pada hal-hal yang tidak biasa, kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan, dan ketidaksamaan dengan standar yang ada. Pada passive management by exception, pemimpin menghindari tindakan korektif atau “keributan” dengan bawahan selama tujuan dan sasaran yang disepakati bersama tercapai (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002). Bass et.al (2003) maupun Sarros dan Santora (2001) menjelaskan bahwa karakter contingent reward menggambarkan hubungan timbal balik yang positif antara pemimpin dengan bawahan, karena pemimpin memberikan penjelasan dan pengarahan dalam proses mencapai tujuan sebagai upaya memacu performa bawahan. Di sisi lain, bawahan terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar kecilnya imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai tujuan. Sebaliknya, management by exception (aktif maupun pasif) dapat berdampak negatif terhadap kinerja bawahan karena bawahan takut membuat kesalahan untuk menghindari sanksi sehingga merasa bekerja di bawah tekanan. Kondisi ini menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif. Sedangkan passive management by exception tidak mendorong bawahan untuk bekerja dengan giat. Selama target tercapai dan sistem organisasi berjalan sebagaimana mestinya maka semua orang merasa bahagia. Tidak ada petualangan atau tantangan baru dalam bekerja. Kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada bawahan sehingga 48 kinerja organisasi tidak akan maksimal (Sarros & Santora, 2001). Indikator passive management by exception menurut Yukl (2007) diantaranya: 1. Menunggu sampai sesuatu kesalahan terjadi, baru kemudian melakukan tindakan. 2. Menunjukkan bahwa dia memiliki keyakinan “Jika segala sesuatu tidak rusak, ya tidak perlu diperbaiki”. 3.1.4. Kinerja Karyawan 3.1.4.1. Pengertian Kinerja dalam suatu perusahaan merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan tugas, baik dalam lembaga pemerintahan maupun swasta. Dalam kehidupan perusahaan, kinerja karyawan akan menentukan kualitas dan kuantitas hasil keluaran/output dari apa yang telah dikerjakan dalam pekerjaannya dalam suatu periode tertentu. Berikut ini terdapat beberapa pengertian mengenai kinerja karyawan. Dessler (2006:322) mengemukakan bahwa: “Kinerja (prestasi kerja) karyawan pada dasarnya lebih merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat, dan pengawasan serta motivasi pribadi. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya”. Menurut Mahsun (2006:25) berpendapat bahwa: “Kinerja adalah mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program/kebijakan 49 dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam strategi perencanaan suatu organisasi.” Widodo (2005:78) menyatakan bahwa: Kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan, atau suatu hasil karya yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan etika. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengertian dari kinerja adalah hasil keluaran dari setiap pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja sesuai dengan tugasnya masingmasing yang dicapai baik secara individu maupun kelompok dalam suatu organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. 3.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan Menurut Mangkunegara (2005:16) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: 1) Faktor Individu. Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi 50 dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja seharihari dalam mencapai tujuan organisasi. 2) Faktor Lingkungan Organisasi. Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Gibson, et.al. (2006:89) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja, yaitu sebagai berikut: 1) Faktor individual yang meliputi kemampuan dan keterampilan (mental dan fisik), latar belakang (keluarga, tingkat sosial, penggajian) dan demografis (umur, asal-usul, dan jenis kelamin). 2) Faktor organisasional yang meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan disain pekerjaan. 3) Faktor psikologis yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Suprihanto (2003), menyebutkan faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu: bakat, pendidikan dan latihan, lingkungan dan fasilitas, iklim kerja, motivasi dan kemampuan hubungan industrial, teknologi manajemen, kesempatan berprestasi dan lain sebagainya. Davis dalam Mangkunegara (2005:13-14) merumuskan bahwa faktor yang ikut mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut: 51 Human Performance = Ability x Motivation Motivation = Attitude x Situation Ability = Knowledge x Skill 1) Faktor Kemampuan Secara psikologi, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge + skill). Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal. 2) Faktor Motivasi Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasi. Berdasarkan hasil penelitian McClelland (1961:112), Miller dan Gordon W. (1970:89), Edward Murray (1957:54) menyimpulkan bahwa “ada hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan kinerja. Berdasarkan uraian dari beberapa faktor kinerja yang telah disebutkan di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan, motivasi, keterampilan, pendidikan, pelatihan, latar belakang, demografis, budaya kerja, kepemimpinan, kesempatan berprestasi, imbalan, dan fasilitas. 52 3.1.5. Kepemimpinan dan Kinerja Karyawan Berdasarkan hasil observasi, Humphreys (2002) menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yang transaksional. Banyak mendominasi bukti industri empiris yang jasa adalah dikutip kepemimpinan Humphreys (2002) menunjukkan bahwa kepemimpinan transaksional mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja karyawan. Sejalan dengan Humphreys (2002) menyebutkan dominasi kepemimpinan transaksional dalam kehidupan organisasi sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan bahwa bawahan akan terpacu untuk memberikan kemampuan terbaiknya apabila besar kecilnya imbalan ditentukan oleh tinggi rendahnya kinerja karyawan. Hasil studi Yammarino (1993) menggunakan data longitudinal (10 tahun) membuktikan bahwa kepemimpinan transaksional berhubungan positif dengan kinerja. Sedangkan hasil penelitian Bass et al.(2003) menunjukkan bahwa kepemimpinan transaksional, khususnya karakter contingent reward, berpengaruh positif terhadap kinerja. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, Yammarino et al. (1993) menyimpulkan terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan dan hubungan tersebut lebih kuat jika dibandingkan hubungan kepemimpinan transaksional dengan kinerja karyawan. Hasil penelitian Yammarino et al. (1993) membuktikan kepemimpinan transformasional memiliki bobot pengaruh terhadap kinerja karyawan yang lebih kuat dibandingkan kepemimpinan transaksional (management by eception). Studi Bass et al. (2003) juga menunjukkan pengaruh yang lebih kuat kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan dibandingkan kepemimpinan transaksional. Bass et al. 53 (2003) menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi, memacu optimisme dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga seringkali kinerja karyawan yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan. Kondisi tersebut berlawan dengan gaya kepemimpinan transaksional yang lebih mementingkan target berdasarkan prinsip pertukaran yang justru dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Penelitian Humphreys (2002) dalam lingkup industri jasa lebih jauh membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam meningkatkan kinerja karyawan (salesman). Bono dan Judge (2003) secara empiris juga menemukan kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja karyawan. Kinerja dalam penelitian Bono dan Judge (2003) diukur dari banyak aspek, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sehingga mereka menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional akan mempengaruhi kinerja karyawan dalam situasi apapun. 3.1.6. Budaya Organisasi 3.1.6.1. Pengertian Dalam setiap hari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan tidak terlepas dari budaya yang telah diciptakan. Budaya yang diciptakan oleh perusahaan tersebut adalah suatu pembeda karakter yang membedakan perusahaan satu dengan perusahaan lainnya. Budaya yang mengikat anggota organisasi menciptakan suatu pandangan yang memiliki keseragaman 54 berperilaku dan bertindak. Ada beberapa pengertian mengenai budaya organisasi atau yang disebut budaya perusahaan. Robbins dan Timothy (2008 : 256) mengemukakan bahwa Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif. Luthans (2006) mendefinisikan budaya sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh untuk menginterpretasikan pengalaman dan menghasilkan perilaku sosial. Menurut Luthans, Budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik penting. Beberapa diantaranya adalah: 1) Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku. 2) Norma. Adalah standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi ”jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit.” 3) Nilai dominan. Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama. Contohnya adalah kualitas produk tinggi, sedikit absen, dan efisiensi tinggi. 4) Filosofi. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan. 55 5) Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan. Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang. 6) Iklim Organisasi. Merupakan keseluruhan ”perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan baru yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. Menurut Robbins dan Timothy (2008), secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Pernyataan diatas juga diperkuat oleh Schein (2001 : 61) yang menyatakan bahwa proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara yaitu: 1) Pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. 2) Pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. 3) Perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para 56 pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi merupakan ciri karakteristik suatu organisasi yang membedakan perilaku organisasi yang satu dengan yang lainnya dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan dan diciptakan oleh pendirinya. 3.1.6.2. Model Budaya Organisasi Denison Model budaya organisasi Denison disusun berdasarkan pemikiran bahwa organisasi yang berhasil harus mampu menyelesaikan kontradiksi yang terjadi pada berbagai unsur budaya organisasi yang mendukung kinerja organisasi yang baik. Organisasi yang berfokus kepada pasar seringkali memiliki masalah dalam integrasi internal. Di lain pihak, organisasi-organisasi yang terintegrasi secara baik dan terlalu diatur biasanya mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukannya, Denison dalam Brown (1998 : 226) menyatakan bahwa terdapat 4 aspek dari budaya organisasi yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Aspek-aspek tersebut adalah involvement, consistency, adaptability dan mission. Keempat aspek tersebut masing-masing memiliki 4 dimensi, sehingga keseluruhan terdapat 12 dimensi pengukuran budaya organisasi. Semuanya secara bersama memiliki implikasi variabel-variabel budaya yang mempengaruhi kinerja organisasi. 1. Fokus Internal Aspek involvement dan consistency menurut Brown (1998: 226) berkaitan dengan integrasi internal perusahaan atau organisasi. Keterlibatan dan konsistensi 57 yang dijalankan dalam organisasi akan menanamkan nilai-nilai budaya organisasi tertanam kuat dan diikuti serta dijalankan oleh para anggota organisasi. Sumber : Denison (2003) Gambar 3.1 Model Budaya Organisasi Denison 1) Involvement Efektivitas organisasi merupakan fungsi dari keterlibatan dan partisipasi dari para anggota organisasi. Organisasi-organisasi yang efektif memberdayakan para anggotanya, membangun tim dalam organisasi, dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di semua level. Keterlibatan tersebut dapat secara informal maupun secara formal dan terstruktur. Menurut Denison (2003), keterlibatan yang bersifat voluntari, keterlibatan dari bawah ke atas, maupun yang terstruktur memiliki dampak yang positif terhadap efektivitas. Tingkat keterlibatan dan partisipasi yang tinggi akan menciptakan rasa kepemilikan dan tanggungjawab, 58 sehingga diperoleh komitmen karyawan yang tinggi kepada organisasi. Organisasi yang didukung oleh komitmen karyawan yang tinggi akan menurunkan kebutuhan untuk sistem pengawasan secara formal sehingga mengarahkan pencapaian kinerja. 2) Consistency Organisasi juga cenderung efektif karena memiliki budaya yang kuat, yakni memiliki konsistensi yang tinggi, terkoordinasi dengan baik, dan terintegrasi dengan baik. Sistem kepercayaan bersama, nilai-nilai, dan simbol-simbol merupakan dasar yang efektif untuk menyamakan konsensus dan mencapai aksi yang terkoordinasi. Dalam budaya yang konsisten proses komunikasi berjalan andal untuk pertukaran informasi karena terdapat kesepakatan umum mengenai arti kata-kata, kegiatan-kegiatan dan simbol-simbol lainnya. Efektivitas organisasi dapat pula difasilitasi oleh konsistensi berdasarkan nilai-nilai dasar dalam mengatasi situasi yang tidak familiar. Konsistensi dapat merupakan pedang bermata dua. Pertama, organisasi akan mencapai kinerja yang baik apabila bila prinsip-prinsip dan nilai-nilai mereka sesuai dengan lingkungan bisnis. Kedua, apabila terdapat inkonsistensi antara budaya yang seharusnya dengan budaya dalam praktik. 2. Fokus Eksternal Suatu organisasi harus secara terus menerus mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk dapat mencapai kinerja yang baik. Dalam model Denison (2003), fokus ekaternal tersebut tercermin dalam dimensi budaya adaptability dan mission. 59 1) Adaptability Organisasi dengan budaya adaptif memiliki orientasi kepada pelanggan, mengambil risiko dan belajar dari kesalahan, serta memiliki kemampuan dan pengalaman menciptakan perubahan. Organisasi-organisasi ini secara berkesinambungan melakukan perubahan sistemnya sehingga meningkatkan kemampuan kolektif organisasi untuk memberikan nilai bagi para pelanggan mereka. Pengujian perspektif tersebut agak sulit, namun hasil kerja Kotter dan Heskett menunjukkan hal paling penting. Dari penelitian secara mendetail pada 22 perusahaan, mereka menyimpulkan bahwa budaya yang cocok dengan pasar, persaingan, teknologi dan lingkungan nampak memiliki kinerja lebih baik dibandingkan bila kecocokannya kurang. Dari penelitian Kotter dan Hesket, perusahaan yang saat ini budayanya tidak cocok, pernah mengalami kondisi budaya dan lingkungan yang lebih cocok. Kinerjanya memburuk ketika perubahan lingkungan tidak direspon oleh perusahaan. Agar organisasi secara terus menerus berhasil, maka budaya tidak hanya harus secara terus menerus beradaptasi dengan lingkungannya. Budaya yang adaptif dicirikan oleh organisasi dimana orang-orang berani mengambil risiko, percaya satu sama lain, memiliki pendekatan proaktif untuk kehidupan organisasi, bekerja bersama untuk mengidentifikasi masalah, percaya pada kemampuan diri sendiri dan kepada kemampuan koleganya, dan memiliki antusiasme untuk pekerjaan mereka. 2) Mission Budaya yang memberikan definisi dari fungsi dan tujuan bersama organisasi akan berhubungan positif dengan efektivitas organisasi. Terdapat dua argumen di 60 sini. Pertama, perasaan akan misi menyebabkan para karyawan dengan alasan non-ekonomi bersedia untuk menginvestasikan upaya mereka demi kebaikan organisasi, karena adanya harapan karyawan kepada organisasi. dan Kedua, perasaan akan misi menyebabkan timbulknya kejelasan arah dan tujuan akhir sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi kursus-kursus atau pelatihanpelatihan, ataupun kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan organisasi. 3.1.6.3. Fungsi Budaya Organisasi Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi, Robbin (2006) memberikan penjelasan sebagai berikut: 1. Budaya berperan sebagai penentu batas-batas, budaya menciptakan perbedaan atau sebagai pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. 2. Budaya memuat rasa identitas anggota organisasi. 3. Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dari pada kepentingan individu. 4. Budaya meningkatkan stabiltas sistem sosial, budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan. 5. Budaya bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan. 3.1.6.4. Budaya Organisasi Sebagai Hambatan Disamping memiliki sejumlah fungsi yang bermanfaat, Budaya juga memiliki potensi untuk menjadi penghambat terhadap beberapa hal, Robbin (2006), antara lain : 61 1. Hambatan untuk perubahan Budaya menjadi kendala pada saat nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektifitas organisasi. Ketika lingkungan berubah dengan cepat, budaya yang sudah mengakar dalam sebuah organisasi mungkin sudah tidak sesuai lagi. Karenanya konsistensi perilaku menjadi asset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil. Namun konsistensi seperti ini akan menghambat dan mempersulit organisasi untuk menghadapi terjadinya perubahan lingkungan. 2. Hambatan bagi keragaman Budaya yang kuat bisa menjadi penghambat ketika secara efektif meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang baru dengan keragaman latar belakang ke dalam suatu perusahaan/organisasi. 3. Hambatan bagi Akuisisi dan merger Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan. Sebuah survey oleh konsultan AT. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak, Robbin (2006). Penyebab utama kegagalan tersebut adalah budaya organisasi yang saling bertentangan. 3.1.6.5. Mengidentifikasi Sumber Utama Hambatan Enam sumber utama hambatan organisasi terhadap perubahan diidentifikasi sebagai berikut, Robbin, (2006): 62 1. Kelemahan Struktural Organisasi telah dibangun dalam mekanisme-seperti proses seleksi dan regulasi formal untuk stabilitas. Ketika sebuah organisasi dihadapkan dengan perubahan, kelemahan struktural ini berperan sebagai penyeimbang untuk mempertahankan stabilitas. 2. Keterbatasan fokus perubahan Organisasi terdiri dari sejumlah subsistem yang saling terkait. Seseorang tidak dapat diubah tanpa mempengaruhi yang lain. Jadi perubahan terbatas pada subsistem cenderung dibatalkan oleh sistem yang lebih besar. 3. Kelemahan Kelompok Bahkan jika orang ingin mengubah perilaku mereka, norma kelompok dapat bertindak sebagai kendala. 4. Ancaman terhadap keahlian Perubahan pola organisasi dapat mengancam keahlian kelompok khusus. 5. Ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang sudah dibentuk Setiap pendistribusian kembali otoritas pengambilan keputusan dapat mengancam hubungan kekuasaan lama yang sudah terbentuk dalam organisasi. 6. Ancaman terhadap alokasi sumber daya yang ditentukan Kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya yang cukup besar sering melihat perubahan sebagai ancaman. Mereka cenderung puas dengan jalan pikirannya. 63 3.1.6.6. Strategi Mengatasi Hambatan karena Budaya Organisasi Organisasi dapat menggunakan beberapa strategi ketika mempertimbangkan bagaimana untuk menggabungkan budaya dari dua organisasi yang berbeda Robbin (2006): 1. Asimilasi. Seluruh Organisasi baru bertekad untuk mengambil budaya salah satu organisasi gabungan. Strategi ini bekerja paling baik bila salah satu organisasi memiliki budaya yang relatif lemah. Namun, jika budaya hanya dikenakan pada suatu organisasi, hal itu jarang bekerja. 2. Pemisahan. Organisasi-organisasi tetap terpisah, dan menjaga budaya masing-masing. Strategi ini bekerja terbaik ketika organisasi memiliki sedikit tumpang tindih dalam industri di mana mereka beroperasi. 3. Integrasi. Sebuah budaya baru yang dibentuk dengan menggabungkan bagian dari masing-masing organisasi. Strategi ini bekerja dengan baik ketika aspek budaya masing-masing organisasi perlu ditingkatkan. Mengatasi hambatan terhadap Perubahan. Michael Adams, presiden Environics Research Group di Toronto, telah mencatat bahwa Kanada telah menjadi lebih tahan terhadap perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Antara tahun 1983 dan pertengahan 1990-an, Kanada melaporkan bahwa mereka "merasa percaya diri dalam kemampuan untuk mengatasi perubahan." Tren ini telah terbalik dalam beberapa tahun terakhir. Setengah dari warga Kanada yang berusia 64 15 hingga 33 saat ini "merasa tertinggal dan kewalahan oleh laju kehidupan dan prevalensi teknologi." Mereka yang tertinggal cenderung yang tidak terdidik, tidak kuliah, tidak terampil, atau tidak adaptif . Hal ini mungkin tidak cukup ditekankan bahwa untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, adalah penting untuk mengkomunikasikan rasa urgensi dan perlunya perubahan. Membangun kerangka berpikir bagi masyarakat agar memahami mengapa perubahan ini terjadi. Kotter dan Schlesinger (dalam Robbins 2006: 354) telah mengidentifikasi enam taktik organisasi yang digunakan untuk menghadapi resistensi terhadap perubahan: 1. Pendidikan dan komunikasi (Education and communication) Resistensi dapat dikurangi melalui berkomunikasi dengan karyawan untuk membantu mereka melihat logika perubahan. Komunikasi dapat dicapai melalui diskusi, memo, presentasi kelompok, atau laporan. 2. Partisipasi dan keterlibatan (Participation and involvement) Sulit bagi individu untuk menolak perubahan keputusan di mana mereka telah berpartisipasi. Sebelum membuat perubahan, mereka yang menentang dapat dibawa ke dalam proses pengambilan keputusan. Dengan asumsi bahwa para peserta memiliki keahlian untuk melakukan kontribusi yang berarti, keterlibatan mereka dapat mengurangi resistensi, mendapatkan komitmen, dan meningkatkan kualitas keputusan perubahan. 65 3. Memfasilitasi dan dukungan. (Facilitation and support) Organisasi mengalami perubahan dapat menawarkan berbagai upaya mendukung untuk mengurangi resistensi seperti konseling karyawan dan terapi, pelatihan keterampilan baru, atau cuti singkat dari ketidakhadiran. 4. Negosiasi dan kesepakatan (Negotiation and agreement). Cara lain untuk organisasi untuk menangani kemungkinan penolakan terhadap perubahan adalah untuk saling bertukar sesuatu yang bernilai untuk mengurangi perlawanan. Misalnya, jika resistansi tersebut dipusatkan di beberapa individu yang berkuasa, sebuah paket imbalan khusus dapat dinegosiasikan yang akan memenuhi kebutuhan masing-masing. 5. Manipulasi dan kooptasi (Manipulation and co-optation). Manipulasi mengacu pada upaya pengaruh rahasia. Memutar dan mengubah fakta untuk membuat mereka tampil lebih menarik, Kooptasi, di sisi lain, adalah bentuk dari kedua manipulasi dan partisipasi. Ini berusaha untuk "menyuap" para pemimpin kelompok perlawanan dengan memberikan mereka peran kunci dalam keputusan perubahan. 6. Pemaksaan yang Eksplisit dan implisit (Explicit and implicit coercion). Pemaksaan adalah penerapan ancaman langsung atau berlaku pada penentang. Jika manajemen perusahaan bertekad untuk menutup pabrik seharusnya karyawan tidak menyetujui dengan pemotongan gaji, maka paksaan akan menjadi label yang melekat pada taktik perubahannya. Tabel 3.1 menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan terhadap pendekatan untuk mengatasi hambatan Budaya Organisasi pada suatu situasi beserta konsekuensinya. 66 Tabel 3.1 Strategi Mengatasi Hambatan Bagi Perubahan. Robbins (2006: 355) Pendekatan Umumnya digunakan pada situasi Kelebihan Kekurangan Pendidikan + Komunikasi Bila terjadi kekurangan informasi atau adanya analisa informasi yang tidak akurat Setelah dibujuk, orang akan membantu pelaksanaan perubahan Bisa sangat memakan waktu jika banyak orang yang terlibat Partisipasi dan Keterlibatan Ketika inisiator tidak memiliki semua informasi yang mereka butuhkan untuk merancang perubahan, sementara ada orang lain memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan Orang yang berpartisipasi akan berkomitmen untuk menerapkan perubahan dan setiap informasi yang relevan akan diintegrasikan bisa sangat memakan waktu jika peserta merancang suatu perubahan yang tidak sesuai Memfasilitasi dan dukungan di mana orang menolak karena masalah penyesuaian tidak ada pendekatan lain yang berhasil dengan masalah penyesuaian Sangat makan waktu dan masih ada kemungkinan gagal Negosiasi + Kesepakatan di mana seseorang atau sekelompok orang jelas akan kalah dalam perubahan dan ada kelompok yang memiliki kekuatan besar untuk melawan Kadang-kadang ini merupakan cara yang relatif mudah untuk menghindari hambatan besar bisa sangat mahal dalam banyak kasus jika mengingatkan orang lain bernegosiasi untuk kepatuhan Manipulasi dan kooptasi Bila taktik lain tidak berhasil, atau terlalu mahal Menjadi Solusi cepat tetapi mahal untuk menghambat masalah dapat menyebabkan masalah di masa depan jika orang merasa dimanipulasi Pemaksaan yang Eksplisit dan implisit di mana kecepatan sangat penting dan cukup kekuatan bagi inisiator untuk perubahan Cepat dan dapat mengatasi segala jenis hambatan Dapat beresiko bila ada orang yang marah kepada inisiator Sumber : Methods for dealing with resistance to change. JP. Kotter and L.A. Schlesinger “Choosing Strategies for change” Harvard Business Review, March-April 1979, p.11. 67 3.2. Penelitian Terdahulu Pada penelitian terdahulu telah terdapat beberapa peneliti dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pengaruh variabel kepemimpinan transformasional dan transaksional, budaya organisasi, serta kinerja karyawan. Beberapa penelitian tersebut akan tersaji pada Tabel 3.2. sebagai berikut : Tabel 3.2 Penelitian terdahulu yang pernah dipublikasikan No. Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil temuan 1. Rakhmat Nugroho 2006 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan (Studi Empiris pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero), Cabang Bandung) 2. Anna Kristianti 2007 Pengaruh Motivasi Kerja dan Perilaku Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Karyawan PT. Pabelan Surakarta 3. Nurjanah 2008 Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi Pada Biro Lingkup Departemen Pertanian) Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial variabel kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Budaya organisasi telah terbukti sebagai variabel moderasi antara kepemimpinan terhadap kinerja karyawan di daerah penelitian pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) (konvensional) Cabang Bandung. Perilaku kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan secara parsial terhadap variabel kinerja karyawan. Gaya Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap budaya organisasi, gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap 68 4. Rani Mariam 2009 Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan melalui Kepuasan Kerja Karyawan sebagai Variabel Intervening (Studi pada Kantor Pusat PT. Asuransi Jasa Indonesia (persero) 5. Rusdan Arif 2010 Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja 6. Ahmad Shofian Khoirusmadi 2011 Analisis Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Pegawai dengan Budaya Organisasi sebagai Variabel Intervening 7. Herbyantoro Adiwijaya 2012 Pengaruh Komitmen Karyawan, Kepuasan Kerja dan Kepemimpinan Transaksional kinerja karyawan, gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan, serta budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Pengaruh dari gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja adalah signifikan dan positif, pengaruh dari budaya organisasi terhadap kepuasan kerja adalah signifikan dan positif; pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai adalah signifikan dan positif; pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai adalah signifikan dan positif; dan pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai adalah signifikan dan positif. Kepemimpinan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap budaya organisasi; budaya organisasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai;dan kepemimpinan transformasional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan analisis jalur, kepemimpinan dapat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja pegawai maupun tidak langsung melalui budaya organisasi sebagai intervening. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Ada pengaruh yang signifikan antara Komitmen Karyawan, Kepuasan Kerja Karyawan dan Kepemimpinan 69 terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Lembaga Pendidikan STIE YKP Yogyakarta) 8. Martha Andy Pradana 2013 Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional terhadap Kinerja Karyawan 9 Munawaroh 2011 Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional terhadap Kinerja Guru (1)Transaksional secara bersama-sama terhadap Kinerja karyawan di lingkungan STIE YKP Yogyakarta. (2) Ada pengaruh yang signifikan antara Komitmen Karyawan secara parsial terhadap Kinerja karyawan di lingkungan STIE YKP Yogyakarta. (3) Ada pengaruh yang signifikan antara Kepuasan Kerja secara parsial terhadap Kinerja karyawan di lingkungan STIE YKP Yogyakarta. (4) Ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan Transaksional secara parsial terhadap Kinerja karyawan di lingkungan STIE YKP Yogyakarta Variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel kinerja karyawan (Y). Variabel gaya kepemimpinan transaksional (X2) secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel kinerja karyawan (Y). Secara simultan variabel gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan gaya kepemimpinan transaksional (X2) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan (Y). (1) Gaya kepemimpinan Transformasional secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru (2) Gaya kepemimpinan transaksional secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap Kinerja Guru 3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis Merujuk kepada analisa teori dan konsep-konsep yang telah dikemukakan di atas, bahwa adanya beberapa masalah kinerja tidak terlepas dari faktor kepemimpinan transformasional dan transaksional serta budaya kerja pada 70 perusahaan tempat karyawan melakukan seluruh kegiatannya, maka selanjutnya disusun sebuah kerangka pemikiran teoritis yang secara diagramatis menggambarkan alur pemikirian yang dikembangkan dalam penelitian ini. Alur pikir tersebut dapat ditunjukkan pada gambar 3.2: Kepemimpinan Transformasional H1 H4 Budaya Organisasi H2 H3 Kinerja Karyawan H5 Kepemimpinan Transaksional Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.4. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pemecahan suatu masalah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Suparmoko (2009:19) yang mendefinisikan bahwa: “Hipotesis adalah pernyataan tentatip yang berhubungan dengan permasalahan sehingga berguna dalam mencari/ mendapatkan alat pemecahan”. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data. 71 Dengan demikian maka dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan oleh penulis adalah sebagai berikut: H1 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap budaya organisasi H2 : Kepemimpinan transaksional berpengaruh terhadap budaya organisasi H3 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan H4 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja karyawan H5 : Kepemimpinan transaksional berpengaruh terhadap kinerja karyawan 3.5. Analisis Jalur Penerapan analisis jalur yang melibatkan variabel intervening dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh antara variabel kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap kinerja karyawan dengan menggunakan variabel budaya organisasi sebagai variabel intervening. Menurut Sunyoto (2011:12) langkah-langkah analisis jalur adalah sebagai berikut: 1. Merancang model berdasar kajian pustaka 2. Perhitungan sesuai asumsi yang melandasi 3. Perhitungan koefisien jalur 4. Pengujian model 5. Interpertasi model