BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB III
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
3.1. Kajian Teori
3.1.1. Definisi Pemimpin dan Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses memberikan tujuan (arahan yang berarti) ke
usaha kolektif, yang menyebabkan adanya usaha yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan (Yukl, 2005:98). Menurut Mangunharjana (2006:11) pemimpin
berasal dari akar kata to lead mengandung arti bergerak lebih awal, berjalan di
depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori,
mengarahkan pikiran, pendapat, tindakan orang lain, membimbing, menuntun,
menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Seorang pemimpin adalah orang
yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat
paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain,
membimbing, menuntun, menggerakan orang lain melalui pengaruhnya.
Sementara Winardi (2002:2) mengatakan “seorang pemimpin adalah orang
yang kecakapan - kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi
dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk menggerakkan upaya
bersama ke arah pencapaian sasaran – sasaran tertentu”.
Menurut kutipan ini bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditinjau dari
kecakapan pribadinya. Selanjutnya menurut Koortz, dkk (dalam Kamars,
2000:164) “leadership as influence, the art a of process of influencing people so
35
36
that will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of grup”.
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya: kepemimpinan sebagai
pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang – orang sehingga mereka mau
bekerjasama secara sukarela dan bersemangat ke arah pencapaian tujuan - tujuan
kelompok.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kepemimpinan tersebut mencakup tiga elemen yaitu:
1. Kepemimpinan adalah suatu konsep relasi (relation concept), kepemimpinan
hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut) dalam artian,
jika tidak ada pengikut maka pemimpin juga tidak ada.
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses, agar bisa memimpin harus
melakukan sesuatu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai
3. Kepemimpinan harus membujuk orang lain.
Penulis memberi definisi kepemimpinan adalah setiap tindakan/perbuatan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi
arahan kepada individu atau kelompok yang tergabung dalam wadah tertentu
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan
merupakan salah satu fungsi
manajemen yang sangat penting dalam upaya
pencapaian tujuan. Terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan, namun dapat
disimpulkan terdapat kesamaan asumsi dari kepemimpinan yaitu: suatu fenomena
kelompok yang melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih dan di dalamnya
melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional
influence) digunakan pemimpin terhadap bawahannya.
37
3.1.2. Fungsi kepemimpinan
Untuk dapat mencapai tujuan organisasi, seorang pemimpin harus mampu
mengefektifkan organisasi dengan menggunakan strategi kepemimpinan. Strategi
seperti ini menuntut kemampuan pemimpin mengimplementasikan fungsi-fungsi
kepemimpinan secara efektif dan efisien. Menurut Nawawi (2006:74) Fungsi
kepemimpinan memiliki dua dimensi, yaitu :
1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction)
dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orangorang yang dipimpinnya.
2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan
orang-orang
yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok
organisasi/perusahaan
yang
dijabarkan
dan
dimanifestasikan
melalui
keputusan-keputusan dan kebijaksanaan pemimpin.
Sehubungan dengan kedua dimensi tersebut, secara operasional dapat
dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1) Fungsi Instruktif.
Pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi
perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu
memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat
mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif.
Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah.
38
2) Fungsi konsultatif.
Pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi
dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha
menetapkan keputusan yang memerlukan bahan pertimbangan dan
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.
3) Fungsi Partisipasi.
Dalam
menjalankan
fungsi
partisipasi
pemimpin
berusaha
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan
keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompok
memperoleh
kesempatan
yang
sama
untuk
berpartisipasi
dalam
melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai
dengan posisi masing-masing.
4) Fungsi Delegasi.
Dalam
menjalankan
fungsi
delegasi,
Pemimpin
memberikan
pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan. Fungsi
delegasi sebenarnya adalah kepercayaan ssorang pemimpin kepada orang
yang
diberi
kepercayaan
untuk
pelimpahan
wewenang
dengan
melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi pendelegasian ini,
harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan kelompok tidak
mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri.
5) Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif
harus mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam
39
koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan
bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan fungsi pengendalian,
pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan,
koordinasi, dan pengawasan. Fungsi-fungsi kepemimpinan meliputi
kegiatan dan tindakan sebagai berikut:
a) Pengambilan keputusan.
b) Pengembangan imajinasi.
c) Pendelegasian wewenang kepada bawahan.
d) Pengembangan kesetiaan para bawahan.
e) Pemrakarsaan, penggiatan dan pengendalian rencana-rencana.
f) Pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.
g) Pelaksanaan keputusan dan pemberian dorongan kepada para
pelaksana.
h) Pelaksanaan kontrol dan perbaikan kesalahan-kesalahan.
i) Pemberian tanda penghargaan kepada bawahan yang berprestasi.
j) Pertanggungjawaban semua tindakan.
3.1.3. Kepemimpinan Transformasional
Seorang pemimpin, dapat memilih jenis gaya kepemimpinan yang tepat
sesuai dengan tujuan yang dicapai pemimpin dalam organisasi yang dipimpinnya.
Ada beberapa tipe kepemimpinan yang masing - masing memiliki karakter
tersendiri seperti: pemimpin atribusi yang mengemukakan bahwa pemimpin
semata-mata suatu atribusi yang dibuat orang bagi individu-individu lain,
pemimpin karismatik yang menyatakan bahwa para pengikutnya membuat atribusi
40
dari kemampuan pemimpin yang heroik atau luar biasa, pemimpin otokratik, dan
pemimpin transformasional. Kepemimpinan transformasional akhir - akhir ini
semakin banyak dibicarakan orang dan tipe kepemimpinan inilah yang menjadi
salah satu variabel dalam penelitian ini.
Kepemimpinan transformasional merupakan upaya memotivasi karyawan
untuk bekerja demi tercapai sasaran organisasi dan memuaskan kebutuhan mereka
pada tingkat lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu
proses yang pada dasarnya "para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri
ketingkat moralitas dan motivasi yang tinggi" (Burns dalam Komariah, 2005: 77).
Kepemimpinan
Transformasional
memandang
manusia,
kinerja
dan
pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh. Gagasan awal
mengenai kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor
Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam
konteks organisasional oleh Bernard Bass. Bass dalam Harsiwi (2003),
mengemukakan bahwa “kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh
pemimpin atau atasan terhadap karyawan. Para karyawan merasakan adanya
kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, dan mereka
termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang diharapkan”.
Sementara
menurut
Bass
dalam
Yukl
(2009):
“Kepemimpinan
transformasional, digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang dapat
membangkitkan atau memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan
mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi”. Teori ini tidak menyebutkan suatu
kondisi dimana kepemimpinan transformasional autentik
tidak relevan atau
41
efektif
namun
relevansi
universal
tidak
berarti
bahwa
kepemimpinan
transformasional sama efektifnya dalam semua situasi atau sama - sama mungkin
terjadi.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional ini, Leithwood, dkk
dalam Danim (2006:219) menulis “Transformasional leadership is seen to be
sensitive to organization building, developing shared vision, distribusing
leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts
in schools”. Kutipan ini menggariskan bahwa kepemimpinan transformasional
menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas
pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi bersama,
pendistribusian kewenangan pimpinan, dan pembangunan kultur organisasi yang
menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi organisasi. Pendapat ini
didasarkan hasil penelitian Leithwood, Dart, Jantzi dan Steinbench, dan Silins
dalam Danim (2006:219) dimana hasil studi memberi kesan bahwa gaya
kepemimpinan
transformasional
berkontribusi
pada
inisiatif–
inisiatif
restrukturisasi (restructuring), dan menurut apa yang dirasakan oleh bawahan, hal
itu memberi sumbangsih bagi perbaikan kepada pelayanan publik. Bass dalam
Yukl (2010:278) mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan
transformasional
yaitu:
karisma
(kemudian
diubah
menjadi
pengaruh
ideal/idealized influence), motivasi inspirasional (inspirational motivation),
stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan pertimbangan individual
(Individualized Consideration).
42
3.1.3.1. Pengaruh Ideal/ Idealized Influence
Idealized influence menurut Sarris dan Santora (2001) merupakan perilaku
(behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan pemimpin
mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan
karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma diubah
menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma adalah kekuatan spiritual
(transcendent power) yang diyakini oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya,
sehingga bawahan percaya sepenuhnya dan bersedia melakukan apa saja demi
pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan
selama ini tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga
dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih
terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu
menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Rafferty & Griffin, 2004). Lebih
jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain mampu mengubah
pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk dicapai pada saat ini maupun
masa mendatang (visi), juga mau dan mampu berbagi resiko dengan bawahan,
teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal,
dan menghormatinya (Bass et al., 2003; Humphreys, 2002; Sarris & Santora,
2001; Yammarino et al., 1993). Idealized influence merupakan dimensi terpenting
kepemimpinan
transformasional
karena
memberikan
inspirasi
dan
membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk menyingkirkan
kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan bersama (Humphreys, 2002; Rafferty
& Griffin, 2004). Menurut Yukl (2007) indikatornya adalah:
43
1) Mempertimbangkan konsekuansi moral dan etika dalam mengambil
keputusan.
2) Menjelaskan/menunjukkan pentingnya memiliki perasaan terhadap suatu
tujuan kuat.
3.1.3.2. Motivasi Inspirasional (Inspiration Motivation)
Pemimpin yang memiliki motivasi inspirasional adalah seorang pemimpin
yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti
mampu mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dari bawahannya,
menggunakan
simbol-simbol
untuk
memfokuskan
pada
kerja
keras,
mengekspresikan tujuan dengan cara sederhana. Pemimpin mempunyai visi yang
menarik untuk masa depan, menetapkan standar yang tinggi bagi para bawahan,
optimis dan antusiasme, memberikan dorongan dan arti terhadap apa yang perlu
dilakukan. Sehingga pemimpin semacam ini akan memperbesar optimisme dan
antusiasme bawahan serta motivasi dan menginspirasi bawahannya untuk
melebihi harapan motivasional awal melalui dukungan emosional dan daya tarik
emosional. Menurut Yukl (2007), indikatornya adalah:
1) Menunjukkan keyakinan bahwa tujuan-tujuan akan tercapai.
2) Selalu berbicara dengan antusias mengenai apa yang mesti diselesaikan
3.1.3.3 Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)
Intellectual
stimulation,
merupakan
faktor
penting
kepemimpinan
transformasional yang jarang memperoleh perhatian (Rafferty & Griffin,2004).
Intellectual stimulation merupakan perilaku yang berupaya mendorong perhatian
dan kesadaran bawahan akan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian
44
berusaha
mengembangkan
kemampuan
bawahan
untuk
menyelesaikan
permasalahan dengan pendekatan-pendekatan atau perspektif baru. Dampak
intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam
memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas pemecahan masalah
(problem solving quality) yang ditawarkan (Rafferty & Griffin, 2004) Bass et al.
(2003) serta Sarris dan Santora (2001) berpandangan bahwa intellectual
stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif
dalam memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong untuk
meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan dipacu untuk memberikan
ide dan solusi baru. Bawahan bebas menawarkan metode baru dan setiap ide baru
tidak akan mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha
meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan
berfungsi membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan. Indikator
Intellectual stimulation menurut Yukl (2007) adalah:
1) Mencari perspektif yang berbeda ketika menyelesaikan permasalahan.
2) Memberi kesempatan kepada bawahan untuk melihat permasalahan dari
berbagai sudut pandang.
3.1.3.4. Pertimbangan Individual (Individualized Consideration)
Invidualized consideration atau pertimbangan individual. Individualized
consideration mengarah pada pemahaman dan perhatian pemimpin pada potensi
dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap bawahannya. Pemimpin menyadari
perbedaan kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin
memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu,
45
pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan
memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan terbaik
setiap bawahan (Bass et al., 2003; Sarris & Santora, 2001). Indikator
Pertimbangan Individual menurut Yukl, diantaranya:
1) Meluangkan waktu untuk mengajari dan memberi bimbingan (coaching)
kepada anak buah.
2) Membantu bawahan untuk mengembangkan kekuatan-kekuatan dimiliki.
3.1.3.5 Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mendasarkan diri
pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin dengan bawahan.
Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan tertentu (misalnya: bonus)
kepada bawahan jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya,
kinerja karyawan tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya memenuhi harapan
pemimpin disamping untuk memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk
menghindarkan diri dari sanksi atau hukuman. Di sini tercipta hubungan
mutualisme dan kontribusi kedua belah pihak akan memperoleh imbalan (Bass et.
al, 2003; Humphreys, 2002; Liu et. al, 2003), Sarros dan Santora (2001)
menyebutkan bahwa imbalan yang dikejar dua belah pihak lebih bersifat ekonomi.
Kebutuhan fisik dan materi bawahan berusaha dipenuhi oleh pemimpin dan
sebagai balasannya, pemimpin memperoleh imbalan berupa performa bawahan
yang tinggi. Waldman et. al (2002). mengemukakan bahwa kepemimpinan
transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada dan tujuannya
adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan
46
bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain
berusaha memuaskan kebutuhan bawahan untuk “membeli” performa, juga
memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan
dan berupaya melakukan tindakan korektif. Humphreys (2002) serta Yammarino
et. al (1993) menyebutkan bahwa kepemimpinan transaksional paling banyak
ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berkembang menjadi paradigma
praktek kepemimpinan dalam organisasi. Kepemimpinan transaksional menurut
beberapa pakar memiliki dua karakter yang dinamakan contingent reward dan
management by exception. Pemimpin transaksional yang mempunyai karakter
contingent reward akan menjelaskan tujuan dan sasaran yang hendak dicapainya
dan mengarahkan bawahan untuk mencapainya. Besar kecilnya imbalan (reward)
akan tergantung pada (contingent) sejauh mana bawahan mencapai tujuan dan
sasaran tersebut (Bass et. al (2003); Humphreys (2002). Indikatornya menurut
Yukl (2007) antara lain:
1. Mendiskusikan
dalam
situasi
yang
spesifik
siapa
yang
harus
bertanggungjawab dalam pencapaian target-target kinerja.
2. Membuat jelas tentang apa yang bisa diharapkan oleh seseorang (imbalannya)
ketika tujuan-tujuan kinerja tercapai.
Pemimpin transaksional berkarakter management by exception dapat dibagi
lagi kedalam dua sifat, yaitu aktif dan pasif.
Pada active management by
exception, pemimpin menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai berikut
standar kerja yang harus dipatuhi. Jika terjadi penyimpangan, pemimpin tidak
segan menjatuhkan sanksi kepada bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini
47
akan cenderung mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan tindakan
korektif apabila muncul penyimpangan, kekeliruan, atau kesalahan. Indikator
active management by exception menurut Yukl (2007):
1. Selalu merekam semua kesalahan – kesalahan.
2. Menaruh perhatian pada hal-hal yang tidak biasa, kesalahan-kesalahan,
penyimpangan-penyimpangan, dan ketidaksamaan dengan standar yang ada.
Pada passive management by exception, pemimpin menghindari tindakan
korektif atau “keributan” dengan bawahan selama tujuan dan sasaran yang
disepakati bersama tercapai (Bass et.al., 2003; Humphreys, 2002). Bass et.al
(2003) maupun Sarros dan Santora (2001) menjelaskan bahwa karakter contingent
reward menggambarkan hubungan timbal balik yang positif antara pemimpin
dengan bawahan, karena pemimpin memberikan penjelasan dan pengarahan
dalam proses mencapai tujuan sebagai upaya memacu performa bawahan. Di sisi
lain, bawahan terdorong untuk mengerahkan kemampuan terbaik karena besar
kecilnya imbalan akan tergantung pada sejauhmana mereka mencapai tujuan.
Sebaliknya, management by exception (aktif maupun pasif) dapat berdampak
negatif terhadap kinerja bawahan karena bawahan takut membuat kesalahan untuk
menghindari sanksi sehingga merasa bekerja di bawah tekanan. Kondisi ini
menyebabkan proses organisasi tidak akan berjalan efektif. Sedangkan passive
management by exception tidak mendorong bawahan untuk bekerja dengan giat.
Selama target tercapai dan sistem organisasi berjalan sebagaimana mestinya maka
semua orang merasa bahagia. Tidak ada petualangan atau tantangan baru dalam
bekerja. Kondisi tersebut akan membawa kejenuhan pada bawahan sehingga
48
kinerja organisasi tidak akan maksimal (Sarros & Santora, 2001). Indikator passive
management by exception menurut Yukl (2007) diantaranya:
1. Menunggu sampai sesuatu kesalahan terjadi, baru kemudian melakukan
tindakan.
2. Menunjukkan bahwa dia memiliki keyakinan “Jika segala sesuatu tidak rusak,
ya tidak perlu diperbaiki”.
3.1.4. Kinerja Karyawan
3.1.4.1. Pengertian
Kinerja dalam suatu perusahaan merupakan salah satu unsur yang tidak dapat
dipisahkan dalam menjalankan tugas, baik dalam lembaga pemerintahan maupun
swasta. Dalam kehidupan perusahaan, kinerja karyawan akan menentukan kualitas
dan kuantitas hasil keluaran/output dari apa yang telah dikerjakan dalam
pekerjaannya dalam suatu periode tertentu. Berikut ini terdapat beberapa
pengertian mengenai kinerja karyawan.
Dessler (2006:322) mengemukakan bahwa: “Kinerja (prestasi kerja)
karyawan pada dasarnya lebih merupakan fungsi dari pelatihan, komunikasi, alat,
dan pengawasan serta motivasi pribadi. Prestasi kerja yang diharapkan adalah
prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja
karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat.
Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan
lainnya”. Menurut Mahsun (2006:25) berpendapat bahwa: “Kinerja adalah
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program/kebijakan
49
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam strategi
perencanaan suatu organisasi.”
Widodo (2005:78) menyatakan bahwa: Kinerja adalah melakukan suatu
kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan
hasil seperti yang diharapkan, atau suatu hasil karya yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan
etika. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa pengertian dari kinerja adalah hasil keluaran dari setiap
pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja sesuai dengan tugasnya masingmasing yang dicapai baik secara individu maupun kelompok dalam suatu
organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
3.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Mangkunegara (2005:16) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
yaitu:
1) Faktor Individu.
Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki
integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah).
Adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik maka individu tersebut
memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal
utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi
50
dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja seharihari dalam mencapai tujuan organisasi.
2) Faktor Lingkungan Organisasi.
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam
mencapai kinerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian
jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola
komunikasi yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang respek
dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.
Gibson, et.al. (2006:89) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi kinerja, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor individual yang meliputi kemampuan dan keterampilan (mental dan
fisik), latar belakang (keluarga, tingkat sosial, penggajian) dan demografis
(umur, asal-usul, dan jenis kelamin).
2) Faktor organisasional yang meliputi sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur, dan disain pekerjaan.
3) Faktor psikologis yang meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan
motivasi.
Suprihanto (2003), menyebutkan faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan yaitu: bakat, pendidikan dan latihan, lingkungan dan fasilitas, iklim
kerja, motivasi dan kemampuan hubungan industrial, teknologi manajemen,
kesempatan berprestasi dan lain sebagainya. Davis dalam Mangkunegara
(2005:13-14) merumuskan bahwa faktor yang ikut mempengaruhi kinerja adalah
sebagai berikut:
51
Human Performance = Ability x Motivation
Motivation = Attitude x Situation
Ability = Knowledge x Skill
1) Faktor Kemampuan
Secara psikologi, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ)
dan kemampuan reality (Knowledge + skill). Artinya, pimpinan dan karyawan
yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very
superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya
dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah
mencapai kinerja maksimal.
2) Faktor Motivasi
Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap
situasi kerja (situation) di lingkungan organisasi. Berdasarkan hasil penelitian
McClelland (1961:112), Miller dan Gordon W. (1970:89), Edward Murray
(1957:54) menyimpulkan bahwa “ada hubungan yang positif antara motivasi
berprestasi dengan kinerja.
Berdasarkan uraian dari beberapa faktor kinerja yang telah disebutkan di atas
maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi
kinerja adalah kemampuan, motivasi, keterampilan, pendidikan, pelatihan, latar
belakang, demografis, budaya kerja, kepemimpinan, kesempatan berprestasi,
imbalan, dan fasilitas.
52
3.1.5. Kepemimpinan dan Kinerja Karyawan
Berdasarkan hasil observasi, Humphreys (2002) menyimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan
yang
transaksional.
Banyak
mendominasi
bukti
industri
empiris
yang
jasa
adalah
dikutip
kepemimpinan
Humphreys
(2002)
menunjukkan bahwa kepemimpinan transaksional mempunyai pengaruh yang
positif terhadap kinerja karyawan. Sejalan
dengan Humphreys
(2002)
menyebutkan dominasi kepemimpinan transaksional dalam kehidupan organisasi
sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan bahwa bawahan akan
terpacu untuk memberikan kemampuan terbaiknya apabila besar kecilnya imbalan
ditentukan oleh tinggi rendahnya kinerja karyawan. Hasil studi Yammarino
(1993) menggunakan data longitudinal (10 tahun) membuktikan bahwa
kepemimpinan transaksional berhubungan positif dengan kinerja. Sedangkan hasil
penelitian Bass et al.(2003) menunjukkan bahwa kepemimpinan transaksional,
khususnya karakter contingent reward, berpengaruh positif terhadap kinerja.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, Yammarino et al. (1993) menyimpulkan
terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja
karyawan dan hubungan tersebut lebih kuat jika dibandingkan hubungan
kepemimpinan transaksional dengan kinerja
karyawan. Hasil
penelitian
Yammarino et al. (1993) membuktikan kepemimpinan transformasional memiliki
bobot pengaruh terhadap kinerja karyawan yang lebih kuat dibandingkan
kepemimpinan transaksional (management by eception). Studi Bass et al. (2003)
juga menunjukkan pengaruh yang lebih kuat kepemimpinan transformasional
terhadap kinerja karyawan dibandingkan kepemimpinan transaksional. Bass et al.
53
(2003) menjelaskan kepemimpinan transformasional fokus pada pengembangan
diri bawahan, mendorong bawahan berpikir dan bertindak inovatif untuk
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan dan sasaran organisasi, memacu
optimisme dan antusiasme terhadap pekerjaan sehingga seringkali kinerja
karyawan yang ditunjukkan bawahan melebihi harapan. Kondisi tersebut
berlawan dengan gaya kepemimpinan transaksional yang lebih mementingkan
target berdasarkan prinsip pertukaran yang justru dapat berdampak negatif dalam
jangka panjang. Penelitian Humphreys (2002) dalam lingkup industri jasa lebih
jauh membuktikan peranan kritikal kepemimpinan transformasional dalam
meningkatkan kinerja karyawan (salesman).
Bono dan Judge (2003) secara
empiris juga menemukan kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja
karyawan. Kinerja dalam penelitian Bono dan Judge (2003) diukur dari banyak
aspek, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, sehingga mereka
menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional akan mempengaruhi
kinerja karyawan dalam situasi apapun.
3.1.6. Budaya Organisasi
3.1.6.1. Pengertian
Dalam setiap hari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi
perusahaan tidak terlepas dari budaya yang telah diciptakan. Budaya yang
diciptakan oleh perusahaan tersebut adalah suatu pembeda karakter yang
membedakan perusahaan satu dengan perusahaan lainnya. Budaya yang mengikat
anggota organisasi menciptakan suatu pandangan yang memiliki keseragaman
54
berperilaku dan bertindak. Ada beberapa pengertian mengenai budaya organisasi
atau yang disebut budaya perusahaan.
Robbins dan Timothy (2008 : 256) mengemukakan bahwa Budaya
organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya
suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai
karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan
seperti kepuasan
kerja yang
lebih
bersifat evaluatif.
Luthans
(2006)
mendefinisikan budaya sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh untuk
menginterpretasikan pengalaman dan menghasilkan perilaku sosial.
Menurut
Luthans, Budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik penting. Beberapa
diantaranya adalah:
1) Aturan perilaku yang diamati. Ketika anggota organisasi berinteraksi satu
sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang
berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.
2) Norma.
Adalah standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa
banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi
”jangan melakukan terlalu banyak; jangan terlalu sedikit.”
3) Nilai dominan. Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan
nilai-nilai utama. Contohnya adalah kualitas produk tinggi, sedikit absen, dan
efisiensi tinggi.
4) Filosofi. Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi
mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan.
55
5) Aturan. Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan.
Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima
sebagai anggota kelompok yang berkembang.
6) Iklim Organisasi. Merupakan keseluruhan ”perasaan” yang disampaikan
dengan pengaturan baru yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara
anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar.
Menurut Robbins dan Timothy (2008), secara tradisional, pendiri organisasi
memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri
organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan
pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Pernyataan diatas juga diperkuat oleh Schein (2001 : 61) yang menyatakan
bahwa proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara yaitu:
1) Pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran
dan seperasaan dengan mereka.
2) Pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan
berperilakunya kepada karyawan.
3) Perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong
karyawan
untuk
mengidentifikasi
diri
dan,
dengan
demikian,
menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai
faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para
56
pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi. Dari beberapa pendapat yang telah
dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi
merupakan ciri karakteristik suatu organisasi yang membedakan perilaku
organisasi yang satu dengan yang lainnya dalam mencapai visi dan misi yang
telah ditetapkan dan diciptakan oleh pendirinya.
3.1.6.2. Model Budaya Organisasi Denison
Model budaya organisasi Denison disusun berdasarkan pemikiran bahwa
organisasi yang berhasil harus mampu menyelesaikan kontradiksi yang terjadi
pada berbagai unsur budaya organisasi yang mendukung kinerja organisasi yang
baik. Organisasi yang berfokus kepada pasar seringkali memiliki masalah dalam
integrasi internal. Di lain pihak, organisasi-organisasi yang terintegrasi secara
baik dan terlalu diatur biasanya mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukannya, Denison dalam
Brown (1998 : 226) menyatakan bahwa terdapat 4 aspek dari budaya organisasi
yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Aspek-aspek tersebut adalah
involvement, consistency, adaptability dan mission.
Keempat aspek tersebut
masing-masing memiliki 4 dimensi, sehingga keseluruhan terdapat 12 dimensi
pengukuran budaya organisasi. Semuanya secara bersama memiliki implikasi
variabel-variabel budaya yang mempengaruhi kinerja organisasi.
1. Fokus Internal
Aspek involvement dan consistency menurut Brown (1998: 226) berkaitan
dengan integrasi internal perusahaan atau organisasi. Keterlibatan dan konsistensi
57
yang dijalankan dalam organisasi akan menanamkan nilai-nilai budaya organisasi
tertanam kuat dan diikuti serta dijalankan oleh para anggota organisasi.
Sumber : Denison (2003)
Gambar 3.1 Model Budaya Organisasi Denison
1) Involvement
Efektivitas organisasi merupakan fungsi dari keterlibatan dan partisipasi dari
para anggota organisasi. Organisasi-organisasi yang efektif memberdayakan para
anggotanya, membangun tim dalam organisasi, dan mengembangkan kemampuan
sumber daya manusia di semua level. Keterlibatan tersebut dapat secara informal
maupun secara formal dan terstruktur. Menurut Denison (2003), keterlibatan
yang bersifat voluntari, keterlibatan dari bawah ke atas, maupun yang terstruktur
memiliki dampak yang positif terhadap efektivitas.
Tingkat keterlibatan dan
partisipasi yang tinggi akan menciptakan rasa kepemilikan dan tanggungjawab,
58
sehingga diperoleh komitmen karyawan yang tinggi kepada organisasi.
Organisasi yang didukung oleh komitmen karyawan yang tinggi akan
menurunkan kebutuhan untuk sistem pengawasan secara formal sehingga
mengarahkan pencapaian kinerja.
2) Consistency
Organisasi juga cenderung efektif karena memiliki budaya yang kuat, yakni
memiliki konsistensi yang tinggi, terkoordinasi dengan baik, dan terintegrasi
dengan baik. Sistem kepercayaan bersama, nilai-nilai, dan simbol-simbol
merupakan dasar yang efektif untuk menyamakan konsensus dan mencapai aksi
yang terkoordinasi. Dalam budaya yang konsisten proses komunikasi berjalan
andal untuk pertukaran informasi karena terdapat kesepakatan umum mengenai
arti kata-kata, kegiatan-kegiatan dan simbol-simbol lainnya.
Efektivitas
organisasi dapat pula difasilitasi oleh konsistensi berdasarkan nilai-nilai dasar
dalam mengatasi situasi yang tidak familiar.
Konsistensi dapat merupakan
pedang bermata dua. Pertama, organisasi akan mencapai kinerja yang baik apabila
bila prinsip-prinsip dan nilai-nilai mereka sesuai dengan lingkungan bisnis.
Kedua, apabila terdapat inkonsistensi antara budaya yang seharusnya dengan
budaya dalam praktik.
2. Fokus Eksternal
Suatu organisasi harus secara terus menerus mampu beradaptasi dengan
lingkungan untuk dapat mencapai kinerja yang baik. Dalam model Denison
(2003), fokus ekaternal tersebut tercermin dalam dimensi budaya adaptability dan
mission.
59
1) Adaptability
Organisasi dengan budaya adaptif memiliki orientasi kepada pelanggan,
mengambil risiko dan belajar dari kesalahan, serta memiliki kemampuan dan
pengalaman
menciptakan
perubahan.
Organisasi-organisasi
ini
secara
berkesinambungan melakukan perubahan sistemnya sehingga meningkatkan
kemampuan kolektif organisasi untuk memberikan nilai bagi para pelanggan
mereka. Pengujian perspektif tersebut agak sulit, namun hasil kerja Kotter dan
Heskett menunjukkan hal paling penting. Dari penelitian secara mendetail pada 22
perusahaan, mereka menyimpulkan bahwa budaya yang cocok dengan pasar,
persaingan, teknologi dan lingkungan nampak memiliki kinerja lebih baik
dibandingkan bila kecocokannya kurang.
Dari penelitian Kotter dan Hesket,
perusahaan yang saat ini budayanya tidak cocok, pernah mengalami kondisi
budaya dan lingkungan yang lebih cocok.
Kinerjanya memburuk ketika
perubahan lingkungan tidak direspon oleh perusahaan. Agar organisasi secara
terus menerus berhasil, maka budaya tidak hanya harus secara terus menerus
beradaptasi dengan lingkungannya. Budaya yang adaptif dicirikan oleh organisasi
dimana orang-orang berani mengambil risiko, percaya satu sama lain, memiliki
pendekatan proaktif untuk kehidupan organisasi, bekerja bersama untuk
mengidentifikasi masalah, percaya pada kemampuan diri sendiri dan kepada
kemampuan koleganya, dan memiliki antusiasme untuk pekerjaan mereka.
2) Mission
Budaya yang memberikan definisi dari fungsi dan tujuan bersama organisasi
akan berhubungan positif dengan efektivitas organisasi. Terdapat dua argumen di
60
sini. Pertama, perasaan akan misi menyebabkan para karyawan dengan alasan
non-ekonomi bersedia untuk menginvestasikan upaya mereka demi kebaikan
organisasi, karena adanya harapan karyawan kepada organisasi.
dan Kedua,
perasaan akan misi menyebabkan timbulknya kejelasan arah dan tujuan akhir
sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi kursus-kursus atau pelatihanpelatihan, ataupun kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan organisasi.
3.1.6.3. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi, Robbin (2006)
memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Budaya berperan sebagai penentu batas-batas, budaya menciptakan perbedaan
atau sebagai pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
2. Budaya memuat rasa identitas anggota organisasi.
3. Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar
dari pada kepentingan individu.
4. Budaya meningkatkan stabiltas sistem sosial, budaya adalah perekat sosial
yang membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar
mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.
5. Budaya bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang
menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
3.1.6.4. Budaya Organisasi Sebagai Hambatan
Disamping memiliki sejumlah fungsi yang bermanfaat, Budaya juga memiliki
potensi untuk menjadi penghambat terhadap beberapa hal, Robbin (2006), antara
lain :
61
1. Hambatan untuk perubahan
Budaya menjadi kendala pada saat nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak
sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektifitas organisasi. Ketika
lingkungan berubah dengan cepat, budaya yang sudah mengakar dalam sebuah
organisasi mungkin sudah tidak sesuai lagi.
Karenanya konsistensi perilaku
menjadi asset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan
lingkungan yang stabil. Namun konsistensi seperti ini akan menghambat dan
mempersulit organisasi untuk menghadapi terjadinya perubahan lingkungan.
2. Hambatan bagi keragaman
Budaya yang kuat bisa menjadi penghambat ketika secara efektif meniadakan
kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang baru dengan keragaman latar
belakang ke dalam suatu perusahaan/organisasi.
3. Hambatan bagi Akuisisi dan merger
Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan. Sebuah
survey oleh konsultan AT. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger
gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak, Robbin
(2006). Penyebab utama kegagalan tersebut adalah budaya organisasi yang saling
bertentangan.
3.1.6.5. Mengidentifikasi Sumber Utama Hambatan
Enam sumber utama hambatan organisasi terhadap perubahan diidentifikasi
sebagai berikut, Robbin, (2006):
62
1. Kelemahan Struktural
Organisasi telah dibangun dalam mekanisme-seperti proses seleksi dan
regulasi formal untuk stabilitas. Ketika sebuah organisasi dihadapkan dengan
perubahan, kelemahan struktural ini berperan sebagai penyeimbang untuk
mempertahankan stabilitas.
2. Keterbatasan fokus perubahan
Organisasi terdiri dari sejumlah subsistem yang saling terkait. Seseorang tidak
dapat diubah tanpa mempengaruhi yang lain. Jadi perubahan terbatas pada
subsistem cenderung dibatalkan oleh sistem yang lebih besar.
3. Kelemahan Kelompok
Bahkan jika orang ingin mengubah perilaku mereka, norma kelompok dapat
bertindak sebagai kendala.
4. Ancaman terhadap keahlian
Perubahan pola organisasi dapat mengancam keahlian kelompok khusus.
5. Ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang sudah dibentuk
Setiap pendistribusian kembali otoritas pengambilan keputusan dapat
mengancam hubungan kekuasaan lama yang sudah terbentuk dalam
organisasi.
6. Ancaman terhadap alokasi sumber daya yang ditentukan
Kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya yang cukup
besar sering melihat perubahan sebagai ancaman. Mereka cenderung puas
dengan jalan pikirannya.
63
3.1.6.6. Strategi Mengatasi Hambatan karena Budaya Organisasi
Organisasi
dapat
menggunakan
beberapa
strategi
ketika
mempertimbangkan bagaimana untuk menggabungkan budaya dari dua organisasi
yang berbeda Robbin (2006):
1. Asimilasi.
Seluruh Organisasi baru bertekad untuk mengambil budaya salah satu
organisasi gabungan. Strategi ini bekerja paling baik bila salah satu organisasi
memiliki budaya yang relatif lemah. Namun, jika budaya hanya dikenakan
pada suatu organisasi, hal itu jarang bekerja.
2. Pemisahan.
Organisasi-organisasi tetap terpisah, dan menjaga budaya masing-masing.
Strategi ini bekerja terbaik ketika organisasi memiliki sedikit tumpang tindih
dalam industri di mana mereka beroperasi.
3. Integrasi.
Sebuah budaya baru yang dibentuk dengan menggabungkan bagian dari
masing-masing organisasi.
Strategi ini bekerja dengan baik ketika aspek
budaya masing-masing organisasi perlu ditingkatkan.
Mengatasi hambatan terhadap Perubahan.
Michael Adams, presiden
Environics Research Group di Toronto, telah mencatat bahwa Kanada telah
menjadi lebih tahan terhadap perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Antara
tahun 1983 dan pertengahan 1990-an, Kanada melaporkan bahwa mereka "merasa
percaya diri dalam kemampuan untuk mengatasi perubahan." Tren ini telah
terbalik dalam beberapa tahun terakhir. Setengah dari warga Kanada yang berusia
64
15 hingga 33 saat ini "merasa tertinggal dan kewalahan oleh laju kehidupan dan
prevalensi teknologi." Mereka yang tertinggal cenderung yang tidak terdidik,
tidak kuliah, tidak terampil, atau tidak adaptif . Hal ini mungkin tidak cukup
ditekankan bahwa untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, adalah penting
untuk mengkomunikasikan rasa urgensi dan perlunya perubahan. Membangun
kerangka berpikir bagi masyarakat agar memahami mengapa perubahan ini
terjadi.
Kotter dan Schlesinger (dalam Robbins 2006: 354) telah mengidentifikasi
enam taktik organisasi yang digunakan untuk menghadapi resistensi terhadap
perubahan:
1. Pendidikan dan komunikasi (Education and communication)
Resistensi dapat dikurangi melalui berkomunikasi dengan karyawan untuk
membantu mereka melihat logika perubahan.
Komunikasi dapat dicapai
melalui diskusi, memo, presentasi kelompok, atau laporan.
2. Partisipasi dan keterlibatan (Participation and involvement)
Sulit bagi individu untuk menolak perubahan keputusan di mana mereka telah
berpartisipasi. Sebelum membuat perubahan, mereka yang menentang dapat
dibawa ke dalam proses pengambilan keputusan. Dengan asumsi bahwa para
peserta memiliki keahlian untuk melakukan kontribusi yang berarti,
keterlibatan mereka dapat mengurangi resistensi, mendapatkan komitmen, dan
meningkatkan kualitas keputusan perubahan.
65
3. Memfasilitasi dan dukungan. (Facilitation and support)
Organisasi mengalami perubahan dapat menawarkan berbagai upaya
mendukung untuk mengurangi resistensi seperti konseling karyawan dan
terapi, pelatihan keterampilan baru, atau cuti singkat dari ketidakhadiran.
4. Negosiasi dan kesepakatan (Negotiation and agreement).
Cara lain untuk organisasi untuk menangani kemungkinan penolakan terhadap
perubahan adalah untuk saling bertukar sesuatu yang bernilai untuk
mengurangi perlawanan.
Misalnya, jika resistansi tersebut dipusatkan di
beberapa individu yang berkuasa, sebuah paket imbalan khusus dapat
dinegosiasikan yang akan memenuhi kebutuhan masing-masing.
5. Manipulasi dan kooptasi (Manipulation and co-optation).
Manipulasi mengacu pada upaya pengaruh rahasia. Memutar dan mengubah
fakta untuk membuat mereka tampil lebih menarik, Kooptasi, di sisi lain,
adalah bentuk dari kedua manipulasi dan partisipasi. Ini berusaha untuk
"menyuap" para pemimpin kelompok perlawanan dengan memberikan mereka
peran kunci dalam keputusan perubahan.
6. Pemaksaan yang Eksplisit dan implisit (Explicit and implicit coercion).
Pemaksaan adalah penerapan ancaman langsung atau berlaku pada penentang.
Jika manajemen perusahaan bertekad untuk menutup pabrik seharusnya
karyawan tidak menyetujui dengan pemotongan gaji, maka paksaan akan
menjadi label yang melekat pada taktik perubahannya. Tabel 3.1 menjelaskan
tentang kelebihan dan kekurangan terhadap pendekatan untuk mengatasi
hambatan Budaya Organisasi pada suatu situasi beserta konsekuensinya.
66
Tabel 3.1
Strategi Mengatasi Hambatan Bagi Perubahan. Robbins (2006: 355)
Pendekatan
Umumnya digunakan
pada situasi
Kelebihan
Kekurangan
Pendidikan
+
Komunikasi
Bila terjadi kekurangan
informasi atau adanya
analisa informasi yang
tidak akurat
Setelah dibujuk, orang
akan membantu
pelaksanaan
perubahan
Bisa sangat memakan
waktu jika banyak
orang yang terlibat
Partisipasi dan
Keterlibatan
Ketika inisiator tidak
memiliki semua informasi
yang mereka butuhkan
untuk merancang
perubahan, sementara ada
orang lain memiliki
kekuatan yang cukup
untuk melawan
Orang yang
berpartisipasi akan
berkomitmen untuk
menerapkan
perubahan dan setiap
informasi yang
relevan akan
diintegrasikan
bisa sangat memakan
waktu jika peserta
merancang suatu
perubahan yang tidak
sesuai
Memfasilitasi dan
dukungan
di mana orang menolak
karena masalah
penyesuaian
tidak ada pendekatan
lain yang berhasil
dengan masalah
penyesuaian
Sangat makan waktu
dan masih ada
kemungkinan gagal
Negosiasi
+
Kesepakatan
di mana seseorang atau
sekelompok orang jelas
akan kalah dalam
perubahan dan ada
kelompok yang memiliki
kekuatan besar untuk
melawan
Kadang-kadang ini
merupakan cara yang
relatif mudah untuk
menghindari
hambatan besar
bisa sangat mahal
dalam banyak kasus
jika mengingatkan
orang lain
bernegosiasi untuk
kepatuhan
Manipulasi dan
kooptasi
Bila taktik lain tidak
berhasil, atau terlalu
mahal
Menjadi Solusi cepat
tetapi mahal untuk
menghambat masalah
dapat menyebabkan
masalah
di
masa
depan jika orang
merasa dimanipulasi
Pemaksaan yang
Eksplisit dan
implisit
di mana kecepatan sangat
penting dan cukup
kekuatan bagi inisiator
untuk perubahan
Cepat dan dapat
mengatasi segala jenis
hambatan
Dapat beresiko bila
ada orang yang marah
kepada inisiator
Sumber : Methods for dealing with resistance to change. JP. Kotter and L.A. Schlesinger
“Choosing Strategies for change” Harvard Business Review, March-April 1979, p.11.
67
3.2.
Penelitian Terdahulu
Pada penelitian terdahulu telah terdapat beberapa peneliti dan hasil
penelitian
yang
berkaitan
dengan
pengaruh
variabel
kepemimpinan
transformasional dan transaksional, budaya organisasi, serta kinerja karyawan.
Beberapa penelitian tersebut akan tersaji pada Tabel 3.2. sebagai berikut :
Tabel 3.2
Penelitian terdahulu yang pernah dipublikasikan
No. Peneliti
Tahun
Judul Penelitian
Hasil temuan
1.
Rakhmat
Nugroho
2006
Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
Kinerja Karyawan
(Studi Empiris pada
PT. Bank Tabungan
Negara (Persero),
Cabang Bandung)
2.
Anna Kristianti
2007
Pengaruh Motivasi
Kerja dan Perilaku
Kepemimpinan
Transformasional
terhadap Kinerja
Karyawan PT.
Pabelan Surakarta
3.
Nurjanah
2008
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
dan Budaya
Organisasi
Terhadap Komitmen
Organisasi dalam
Meningkatkan
Kinerja Karyawan
(Studi Pada Biro
Lingkup Departemen
Pertanian)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara parsial variabel
kepemimpinan
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja
karyawan. Budaya organisasi
telah terbukti sebagai variabel
moderasi antara kepemimpinan
terhadap kinerja
karyawan di daerah penelitian
pada PT. Bank Tabungan
Negara (Persero)
(konvensional) Cabang
Bandung.
Perilaku kepemimpinan
transformasional
mempunyai pengaruh
yang positif dan
signifikan secara
parsial terhadap
variabel kinerja
karyawan.
Gaya Kepemimpinan
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap budaya
organisasi, gaya kepemimpinan
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap komitmen
organisasi, budaya organisasi
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap komitmen
organisasi, komitmen
organisasi berpengaruh positif
dan signifikan terhadap
68
4.
Rani Mariam
2009
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
dan Budaya
Organisasi terhadap
Kinerja Karyawan
melalui Kepuasan
Kerja Karyawan
sebagai Variabel
Intervening (Studi
pada Kantor Pusat
PT. Asuransi Jasa
Indonesia (persero)
5.
Rusdan Arif
2010
Pengaruh
Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi
terhadap Kinerja
6.
Ahmad Shofian
Khoirusmadi
2011
Analisis Pengaruh
Kepemimpinan
Transformasional
terhadap Kinerja
Pegawai dengan
Budaya Organisasi
sebagai Variabel
Intervening
7.
Herbyantoro
Adiwijaya
2012
Pengaruh Komitmen
Karyawan, Kepuasan
Kerja dan
Kepemimpinan
Transaksional
kinerja karyawan, gaya
kepemimpinan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan, serta budaya
organisasi berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja
karyawan.
Pengaruh dari gaya
kepemimpinan terhadap
kepuasan kerja adalah
signifikan dan positif, pengaruh
dari budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja adalah
signifikan dan positif; pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap
kinerja pegawai adalah
signifikan dan positif; pengaruh
budaya organisasi terhadap
kinerja pegawai adalah
signifikan dan positif; dan
pengaruh kepuasan kerja
terhadap kinerja pegawai
adalah signifikan dan positif.
Kepemimpinan berpengaruh
secara
positif dan signifikan
terhadap kinerja
karyawan. Budaya organisasi
berpengaruh positif terhadap
kinerja karyawan.
Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini antara lain bahwa
kepemimpinan
transformasional berpengaruh
secara positif dan signifikan
terhadap budaya organisasi;
budaya organisasi berpengaruh
secara positif dan signifikan
terhadap kinerja pegawai;dan
kepemimpinan
transformasional berpengaruh
secara positif dan signifikan
terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan analisis jalur,
kepemimpinan dapat
berpengaruh secara langsung
terhadap kinerja pegawai
maupun tidak langsung melalui
budaya organisasi sebagai
intervening.
Hasil penelitian menunjukkan:
(1) Ada pengaruh yang
signifikan antara Komitmen
Karyawan, Kepuasan Kerja
Karyawan dan Kepemimpinan
69
terhadap Kinerja
Karyawan (Studi
Kasus di Lembaga
Pendidikan STIE
YKP Yogyakarta)
8.
Martha Andy
Pradana
2013
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Transformasional dan
Transaksional
terhadap Kinerja
Karyawan
9
Munawaroh
2011
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Transformasional dan
Transaksional
terhadap Kinerja
Guru
(1)Transaksional secara
bersama-sama terhadap Kinerja
karyawan di lingkungan STIE
YKP Yogyakarta. (2) Ada
pengaruh yang signifikan antara
Komitmen Karyawan secara
parsial terhadap Kinerja
karyawan di lingkungan STIE
YKP Yogyakarta. (3) Ada
pengaruh yang signifikan antara
Kepuasan Kerja secara parsial
terhadap Kinerja karyawan di
lingkungan STIE YKP
Yogyakarta. (4) Ada pengaruh
yang signifikan antara
Kepemimpinan Transaksional
secara parsial terhadap Kinerja
karyawan di lingkungan STIE
YKP Yogyakarta
Variabel gaya kepemimpinan
transformasional (X1) secara
parsial memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel
kinerja karyawan (Y). Variabel
gaya kepemimpinan
transaksional (X2) secara
parsial memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel
kinerja karyawan (Y). Secara
simultan variabel gaya
kepemimpinan
transformasional (X1) dan gaya
kepemimpinan transaksional
(X2) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja
karyawan (Y).
(1) Gaya kepemimpinan
Transformasional secara parsial
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja guru (2) Gaya
kepemimpinan transaksional
secara parsial berpengaruh
tidak signifikan terhadap
Kinerja Guru
3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis
Merujuk kepada analisa teori dan konsep-konsep yang telah dikemukakan di
atas, bahwa adanya beberapa masalah kinerja tidak terlepas dari faktor
kepemimpinan transformasional dan transaksional serta budaya kerja pada
70
perusahaan tempat karyawan melakukan seluruh kegiatannya, maka selanjutnya
disusun
sebuah
kerangka
pemikiran
teoritis
yang
secara
diagramatis
menggambarkan alur pemikirian yang dikembangkan dalam penelitian ini. Alur
pikir tersebut dapat ditunjukkan pada gambar 3.2:
Kepemimpinan
Transformasional
H1
H4
Budaya
Organisasi
H2
H3
Kinerja
Karyawan
H5
Kepemimpinan
Transaksional
Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.4. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian
yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam pemecahan suatu masalah. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Suparmoko (2009:19) yang mendefinisikan bahwa:
“Hipotesis adalah pernyataan tentatip yang berhubungan dengan permasalahan
sehingga berguna dalam mencari/ mendapatkan alat pemecahan”. Dikatakan
sementara karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan dan pengolahan data.
71
Dengan demikian maka dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan oleh
penulis adalah sebagai berikut:
H1 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap budaya organisasi
H2 : Kepemimpinan transaksional berpengaruh terhadap budaya organisasi
H3 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan
H4 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja karyawan
H5 : Kepemimpinan transaksional berpengaruh terhadap kinerja karyawan
3.5. Analisis Jalur
Penerapan analisis jalur yang melibatkan variabel intervening dalam
penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh antara variabel kepemimpinan
transformasional
dan
transaksional
terhadap
kinerja
karyawan
dengan
menggunakan variabel budaya organisasi sebagai variabel intervening. Menurut
Sunyoto (2011:12) langkah-langkah analisis jalur adalah sebagai berikut:
1. Merancang model berdasar kajian pustaka
2. Perhitungan sesuai asumsi yang melandasi
3. Perhitungan koefisien jalur
4. Pengujian model
5. Interpertasi model
Download