bab i pendahuluan - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia pada hakikatnya dilahirkan tidak hanya sebagai mahluk
yang hidup berdiri sendiri saja atau mahluk individual. Namun, pada dasarnya
manusia juga mahluk yang memiliki keterikatan dengan hadirnya orang lain
dalam menjalani kehidupannya sebagai mahluk sosial. Seperti yang dikatakan
Walgito (2003) bahwa manusia sebagai mahluk individual mempunyai hubungan
dengan dirinya sendiri dan juga manusia sebagai mahluk sosial, mempunyai
hubungan manusia dengan sekitarnya. Kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial
adalah bagian dari warisan evolusi manusia (Berscheid & Regnan, 2005). Di
sepanjang hidupnya, orang terus mencari pertemanan, sahabat, dan kekasih.
Mereka tidak cukup hanya hadir di depan orang lain; manusia ingin menjalin
ikatan erat dengan orang yang peduli dan menerima kita. Kebutuhan untuk
diterima ini adalah elemen universal dalam diri manusia, sama seperti kebutuhan
untuk makan dan minum (Baumeister & Leary, 1995). Terjalinnya suatu
hubungan sosial menjadi lebih positif dengan adanya perasaan saling
menghormati, menghargai, menerima, menyayangi dan hadirnya cinta terhadap
sesama. Seperti yang dikatakan oleh Maslow bahwa pada setiap manusia
mempunyai kebutuhan dimiliki dan cinta (Belonging and love needs). Kebutuhan
akan dimiliki dan cinta ini tercantum di dalam teori hirarki kebutuhan. Maslow
1 (dalam Alwisol, 2009) juga menyatakan bahwa kebutuhan dimiliki atau menjadi
bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang dominan. Orang
sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan
sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan dimiliki ini terus penting sepanjang
hidup. Maslow juga menambahkan bahwa cinta adalah hubungan sehat antara
sepasang manusia yang melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati dan
mempercayai. Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan
berharga, sebaliknya tanpa cinta menimbulkan ke sia-siaan, kekosongan dan
kemarahan.
Hubungan yang didasari tanpa cinta tidak hanya cenderung sulit menuju
perasaan yang sehat dan bahagia. Menimbulkan adanya perasaan kesendirian dan
seringkali mendambakan suatu kebersamaan yang indah dengan hadirnya
keberadaan orang lain. Fromm (dalam Alwisol, 2009) menyatakan bahwa dalam
aspek kondisi eksistensi manusia yaitu kesendirian dan kebersamaan, walaupun
manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri tetapi manusia juga tidak bisa
menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah,
dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada
kebersamaan dengan orang lain. Orang ingin diterima di dalam kelompoknya
sebagai anggota sukarela dan bukan yang sukar rela. Kehangatan persahabatan,
ketulusan kasih sayang, penerimaan orang lain yang hangat amat dibutuhkan
manusia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan akan eksistensi
perasaan cinta dalam kehidupan setiap manusia.
2 Kebanyakan orang menyukai cerita cinta, termasuk cerita mereka sendiri
(dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Sternbeg (dalam Papalia, Olds,
& Feldman, 2009), cara cinta berkembang sudah merupakan sebuah cerita. Para
kekasih adalah penulis ceritanya, serta jenis cerita yang mereka ciptakan
mencerminkan kepribadian mereka dan konsepsi mereka tentang cinta. Saat
orang-orang diminta mendefinisikan elemen-elemen yang merupakan ‘bumbu
dasar’ cinta, mayoritas dari mereka menyetujui bahwa perasaan cinta merupakan
gabungan
dari
hasrat
(passion),
keintiman
(intimacy),
dan
komitmen
(commitment) (Aron dan Westbay, 1996; Lemieux dan Hale, 2000; Sternberg,
1997). Hal ini sependapat menurut Sternberg dalam teori segitiga cinta (triangular
theory of love) yaitu ketiga unsur atau komponen cinta adalah keintiman
(intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Adanya unsur
keintiman dalam hubungan melibatkan pengungkapan diri, yang mengarah ke
keterikatan, kehangatan, dan rasa percaya. Lalu pada unsur gairah didasari oleh
dorongan yang mentranslasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Dan
pada unsur terakhir yaitu komitmen merupakan keputusan untuk mencintai dan
bertahan dengan sang kekasih.
Adanya keinginan mempunyai suatu hubungan yang memiliki ketiga unsur
cinta yakni keintiman, gairah, dan komitmen tentunya tidak semudah membalikan
telapak tangan. Sternberg (1988) menyatakan bahwa keintiman maupun komitmen
merupakan komponen yang cenderung stabil dalam suatu hubungan cinta.
Sedangkan hasrat cenderung berfluktuasi dan tidak stabil. Keutamaan dari setiap
elemen tersebut bervariasi tergantung pada lama sebentarnya sebuah hubungan.
3 Pada hubungan yang baru dibangun, khususnya pada hubungan yang romantis
hasrat cenderung mendominasi. Sedangkan pada hubungan yang telah lama
terjalin, keintiman dan komitmen lebih mendominasi. Hal ini menjelaskan bahwa
tidak hanya frekuensi waktu yang berpengaruh tetapi adanya faktor usia juga yang
mempengaruhi dalam memiliki ketiga unsur cinta dalam suatu hubungan yaitu
keintiman, gairah dan komitmen.
Erikson (dalam Alwisol, 2009) menyatakan keakraban (intimacy) adalah
kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa
ketakutan kehilangan identitas diri itu. Sedangkan isolasi adalah ketidakmampuan
untuk bekerja sama dengan orang lain melalui berbagai intimacy yang sebenarnya.
Kalau kadar isolasi berlebihan dan intimacy menjadi kecil, yang timbul bukan
cinta tetapi kesendirian. Kesendirian menjadi patologis kalau kekuatannya sampai
menghalangi kemampuan kerjasama, kompetisi, atau kompromi, yang semuanya
menjadi syarat mutlak untuk adanya intimacy dan cinta. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi akan
menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik: orang akan menjadi agresif,
kesepian, frustasi, bunuh diri (Packard, 1974).
Keberadaan cinta yang begitu penting pada setiap individu dengan
individu lainnya seharusnya dihadirkan tanpa memandang sesuatu perbedaan
seperti suku, agama, ras, budaya, jenis kelamin maupun orientasi seksual
seseorang dan karakteristik lainnya. Adanya perbedaan yang terjadi tak jarang
menimbulkan stigma negatif yang misalnya terjadi karena perbedaan orientasi
seksual. Halgin dan Whitbourne (2010) menyatakan bahwa orientasi seksual
4 (sexual orientation) adalah sejauh mana seseorang secara erotis tertarik terhadap
anggota dari jenis kelamin yang sama ataupun yang berlawanan dengan dirinya.
Sebagian besar orang memiliki orientasi yang jelas untuk memiliki aktivitas
seksual dengan anggota dari jenis kelamin lain (heteroseksual), namun beberapa
orang tertarik terhadap anggota dari jenis kelamin yang sama dengan dirinya
(homoseksual), dan ada sebagian lain yang tertarik pada kedua jenis kelamin
sekaligus (biseksual). Hal ini menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai hak
yang sama terkait dengan kebutuhan akan mencintai dan dicintai oleh orang lain.
Tidak ada jalur tunggal bagi perkembangan identitas dan perilaku homoseks,
lesbian, atau biseksual. Gender, suku bangsa, karakteristik pribadi, status sosial
ekonomi, dan tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) dapat memunculkan
perbedaan (Diamond & Savin-Williams, 2003).
Dalam Papalia, Olds dan Feldman, (2009) kebanyakan penelitian berfokus
pada usaha untuk menjelaskan homoseksualitas. Walaupun dahulu dipandang
sebagai gangguan mental, penelitian selama beberapa puluh tahun menemukan
bahwa tidak ada hubungan antara orientasi homoseksual dengan masalah
emosional atau sosial terlepas dari masalah yang disebabkan oleh perlakuan
masyarakat terhadap homoseksualitas, seperti kecenderungan depresi. Penemuanpenemuan
ini
membuat
profesi
psikiatri
di
tahun
1973
berhenti
mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai gangguan mental. Walaupun
demikian, masih banyak masyarakat tetap tidak dapat menerima kehadiran
mereka. Norma, adat dan budaya serta agama menjadi alasan yang cukup besar
5 bagi kebanyakan masyarakat yang berpikiran bahwa individu homoseksual adalah
dosa besar, suatu penyakit, memiliki kelainan atau gangguan jiwa dan sebagainya.
Menurut survei Newsweek (2000), hampir setengah populasi menganggap
homoseksualitas sebagai dosa, dan sepertiga responden dalam survei lain
(Americans on Values, 1999) percaya bahwa homoseksualitas merupakan
penyakit berlawanan dengan sikap yang diambil oleh American Psychological
Association (1997, 2000). Biasanya homoseksual dalam satu waktu atau yang lain
menderita kekerasan verbal atau lebih buruk karena orientasi seksual mereka
(Cochran, 2001). Seperti perlakuan berdasarkan homophobia dan heterosexism di
dalam masyarakat (Meyer, 1995). Homophobia menunjuk pada prasangka, rasa
takut, dan rasa tidak suka yang menunjuk langsung pada homoseksual.
Heterosexism adalah kepercayaan bahwa heteroseksual adalah lebih baik atau
lebih lazim daripada homoseksual. Dapat dimengerti, penolakan sosial cenderung
meningkatkan angka kecemasan dan depresi diantara gay dan lesbian (Cochran,
2001; Gilman et al., 2001). Siapapun yang berhadapan dengan diskriminasi dan
stigma bereaksi lebih yang sama (Jorm et al., 2002). Barang kali orang-orang bisa
memandang gay dan lesbian dalam hubungannya dengan kemanusiaan mereka,
daripada seksualitas mereka, prasangka-prasangka yang mereka hadapi akan
berkurang (Coon & Mitterer, 2007). Homoseksual sendiri bukanlah suatu masalah
(Mays & Cochran, 2001).
Namun pada kenyataannya, kondisi dilapangan masih sangat jauh dari
harapan
adanya
penerimaan
atas
keberadaan
homoseksual.
Terjadinya
diskriminasi dan prasangka yang sulit untuk dilenyapkan. Dimana diskriminasi
6 (discrimination) merujuk pada aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi
sasaran prasangka (Baron & Byrne, 2003). Sebagai sebuah sikap, prasangka juga
melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenal ketika mereka
hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai
(Bodenhausen, Kramer & Susser, 1994b; Vanman dkk., 1997). Hal inilah yang
terjadi pada wilayah jenis kelamin dan orientasi seks dimana banyak masyarakat
secara diskrit hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara tegas,
dan kedua posisi berpasangan. Tidak ada tempat bagi laki-laki yang menjalin
hubungan dengan laki-laki atau perempuan yang menjalin hubungan dengan
perempuan. Orang pada umumnya memilih untuk mematuhi sebagian besar
norma sosial dalam kelompok di mana mereka berada seperti sosialisasi peran
gender yang sesuai dengan yang diyakini. Sosialisasi peran gender mencerminkan
semua tekanan yang tak terpisahkan dari orangtua, teman sebaya, dan kekuatan
budaya bahwa mendorong laki-laki untuk “bersikap seperti laki-laki” dan
perempuan untuk “bersikap seperti perempuan (Coon & Mitterer, 2007).
Kerangka berpikir kognitif yang sudah terbentuk pada masyarakat dengan
sangat kuatnya yang disertai dengan pengetahuan terbatas membuat kondisi yang
ada cenderung harus sesuai dengan keyakinan mereka. Keadaan ini membuat sulit
diterimanya bahkan tak jarang terjadinya penolakan negatif pada individu yang
berorientasi homoseksual. Homoseksualitas dan biseksualitas dianggap buruk, dan
stigma ini dapat memiliki berbagai konsekuensi negatif (misalnya, stres minoritas)
sepanjang rentang kehidupan (D'Augelli & Patterson, 1995; DiPlacido, 1998;
Herek & garnet, 2007; Meyer, 1995, 2003).
7 Paradigma dan persepsi masyarakat yang konservatif ini membuat
individu-individu yang memiliki orientasi seksual homoseksual mendapatkan
tekanan sosial yang sangat kuat bahkan tak jarang orang terdekat seperti keluarga
juga mengusir dan tidak mengakui lagi bila mengetahui anaknya adalah
homoseksual. Mereka mungkin ragu untuk menyatakan orientasi seksual mereka,
bahkan kepada orang tua mereka sendiri karena takut mengalami penolakan kuat
atau keretakan dalam keluarga ( Hillier, 2002; C. J. Patterson, 1995b). Namun,
bila dibandingkan individu homoseksual khusunya gay, tekanan sosial yang
didapatkan tak seberat seorang waria. Bila dibandingkan dengan seorang waria,
penampilan seorang gay layaknya penampilan seorang pria apa adanya atau pada
umumnya. Hal inilah yang membedakan antara waria dengan gay. Meski secara
orientasi seksual kedua jenis ini sama-sama digolongkan sebagai homoseksual
atau orientasi seksual yang menyukai sesama jenis kelamin, namun pada gay,
mereka lebih memilih untuk tetap berpenampilan laki-laki dan lebih merasa
nyaman untuk tetap mengaku diri sebagai laki-laki. Perbedaan ini disebabkan oleh
toleransi yang lebih rendah dalam masyarakat bagi anak laki-laki yang berpakaian
seperti wanita (Bradley & Zucker, 1997).
Sehingga, tidak mudah untuk mengenali perbedaan orientasi heteroseksual
atau homoseksual pada seorang pria dibandingkan penampilan seorang waria yang
terlihat jelas. Dalam Davidson, Neale, dan Kring (2010) terdapat orang-orang
yang mengalami Gangguan Identitas Gender (GIG), yang sering dikenal dengan
sebutan transeksualisme. Kriteria transeksual seringkali identik dengan fenomena
waria karena cenderung memiliki kemiripan yang tumpangtindih. Waria memang
8 memiliki orientasi homoseksual dan juga cenderung merasa bahwa dirinya adalah
seorang wanita bukan seorang pria. Atmojo (dalam Rahayuningsih, 2007)
berpendapat bahwa waria (wanita pria) adalah laki-laki yang berdandan dan
berperilaku sebagai wanita. Mereka mendapatkan kepuasan tersendiri ketika
memakai pakaian lawan jenis. Pada istilah sehari-hari, mereka inilah yang sering
disebut sebagai “waria”, “wadam”, “banci”, “bencong”, ataupun istilah semacam
itu (Fusiah Fitri & Julianti Widury, 2005). Tak jarang mereka juga melakukan
suntik dan operasi untuk melakukan perubahan fisik yang lebih mendekati untuk
menjadi fisik seorang wanita yang seharusnya. Namun, pada waria tak sampai
melakukan operasi pergantian jenis kelamin sebagai kriteria utama yang dilakukan
para transeksual.
Adanya fenomena sosial tentang waria ini membuat masyarakat dengan
mudahnya melakukan diskriminasi, stereotip, bahkan tak jarang sampai
melakukan kekerasan secara verbal, fisik dan seksual terhadap kehadiran mereka.
Jumlah waria yang terus bertambah menimbulkan berbagai reaksi dimasyarakat,
mulai dari adanya penolakan di dalam keluarga, kurang diterima atau bahkan
tidak diterima secara sosial, dianggap sebagai lelucon, hingga kekerasan baik
verbal maupun non verbal (Dep.Sos RI, 2008). San Francisco Department of
Public Health Study (dalam Ekasari, 2011) menyatakan bahwa 83 % waria
melaporkan telah mengalami pelecehan secara verbal, 37 % mengalami pelecehan
seksual/fisik, 46 % mengalami diskriminasi di masyarakat dan 37 % mengalami
penolakan di dalam keluarga. Keberadaan waria menjadikan kaum minoritas yang
mendapatkan perlakuan tidak adil dari masyarakat dan juga reaksi-reaksi negatif
9 lainnya. Bagi orang yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran gender
konvensional, sulit menemukan model peran dan sama-sama sulit untuk
menemukan penerimaan dari keluarga, teman sebaya, dan masyarakat (FaustoSterling, 2000; Feinberg, 1996; Glenn, 2002). Mereka dianggap menyimpang dan
menyalahi kodratnya sebagai laki-laki yang berpakaian perempuan. Tak jarang
masyarakat juga berpikir bahwa semua waria adalah pekerja seks dengan melihat
mereka berpakaian seksi, mini dan sering keluar malam. Adanya stereotip bahwa
waria identik dengan pekerjaan malam dan ‘mejeng’ di jalan menimbulkan
adanya stigma dan anggapan buruk dari masyarakat yang pada akhirnya
menjadikan suatu diskriminasi bagi komunitas waria.
Masyarakat masih memandang sebelah mata dan selalu melihat waria
hanya dari segi buruknya saja, hal negatif yang terjadi pada waria di blow-up dan
menjadi menu utama pemberitaan di media. Intimidasi gender terjadi ketika
anggota dari satu jenis kelamin diperlakukan dengan cara yang membuat mereka
merasa terhina, tidak aman, atau inferior karena jenis kelamin mereka (Kramarae,
1992). Mereka kurang mendapatkan kebebasan bahkan hak asasinya sebagai
manusia. Padahal sejak dilahirkan, setiap manusia mempunyai hak asasi yang
sama tanpa harus mengenal orientasi seksual seseorang. Prasetio (2012)
menyatakan bahwa di dalam Undang-Undang Dasar tertulis jelas setiap warga
Negara adalah setara dalam memperoleh kedudukan dan hak yang sama di mata
hukum. Dalam pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
10 Namun dalam prakteknya hukum sering kali menciderai rasa keadilan bagi
korban, terutama bagi masyarakat yang termarjinalkan. Dimana perlakuan
diskriminasi baik dari status sosial termasuk orientasi seksual dan identitas gender
mereka sering menjadi salah satu alasan aparat penegak hukum bertindak
sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan tanpa ada informasi yang
akurat terhadap individu yang mereka duga sebagai pelaku. Seperti yang
dikatakan oleh salah satu peserta asal DKI Jakarta dalam acara pelatihan HAM
pada tanggal 29 April hingga 1 Mei 2010 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa
Barat yang tiba-tiba diserbu kelompok massa tertentu, ia mengatakan "Waria
bukan sampah masyarakat. Kami punya keluarga. Kami manusia, punya hati
nurani, tapi hak kami diinjak-injak seperti bukan manusia". Tekanan-tekanan
sosial yang harus diterima dan dirasakan ini membuat mereka mendambakan
kebebasan dan keadilan yang sama dengan yang lainnya dan juga kebutuhan akan
cinta dan kasih sayang sebagai manusia pada umumnya.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, persoalan mengenai fenomena waria
terkait dengan cinta semakin kompleks. Penelitian atau jurnal-jurnal lebih
cenderung banyak yang mengungkapkan mengenai isu transeksual. Hal ini terjadi
karena penelitian atau teori-teori yang membahas waria belum berbicara terlalu
banyak. Sebagai manusia, seorang waria juga mempunyai kebutuhan akan
mencintai dan dicintai oleh orang lain serta hak-hak asasi yang sama dengan
individu-individu lainnya untuk mendapatkan keadilan, perlindungan, dan
kebebasan. Namun, eksistensinya sebagai seorang waria tak jarang menimbulkan
konflik, kekerasan, diskriminasi yang serius dan tekanan sosial dari masyarakat
11 bahkan dari keluarganya sendiri. Dalam kondisi kesendirian dan terkucilkan
seperti ini, seorang waria sama halnya dengan manusia lainnya membutuhkan
adanya dukungan, kasih sayang, cinta, rasa aman dan nyaman dalam hidupnya
dari orang lain. Dengan berbagai persoalan yang terjadi dan terkait dengan teori
segitiga cinta Sternberg itulah, maka timbul pertanyaan untuk meneliti secara
mendalam bagaimana penghayatan cinta pada waria berdasarkan teori segitiga
cinta Sternberg?
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keintiman dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan
teori segitiga cinta Sternberg?
2. Bagaimanakah gairah dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan teori
segitiga cinta Sternberg?
3. Bagaimanakah komitmen dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan
teori segitiga cinta Sternberg?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan keintiman dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan
teori segitiga cinta Sternberg.
12 2. Mendeskripsikan gairah dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan
teori segitiga cinta Sternberg.
3. Mendeskripsikan komitmen dalam penghayatan cinta pada waria berdasarkan
teori segitiga cinta Sternberg.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, penulis mengharapkan hasil
penelitian ini memberikan dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian dari segi teoritis ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan informasi ilmiah bagi disiplin ilmu psikologi dan juga acuan
sebagai bahan penelitian selanjutnya tentang waria, khusunya mengenai
penghayatan cinta pada waria berdasarkan teori segitiga cinta Sternberg.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian dari segi praktis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa Universitas Mercu buana khususnya bagi program studi ilmu
psikologi. Berguna sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan
melakukan penelitian pada kajian yang sama. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi para masyarakat secara umum untuk
mengenal lebih dekat tentang fenomena waria dan menambah serta
memperkayah khazanah keilmuan tentang pengahayatan cinta pada waria.
13 
Download