Kurikulum 2013: Momentum Memperbaruhi Penilaian Hasil Belajar Oleh NINE ADIEN MAULANA, M.Pd.I *) Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memastikan bahwa pada tahun 2013 kurikulum baru akan diterapkan pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK. Terlepas adanya pertimbangan politis dan birokratis, perubahan kurikulum sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, karena kurikulum harus dievaluasi secara periodik untuk disempurnakan kembali. Kurikulum memang dibuat sebagai respon terhadap kebutuhan masyarakat dalam konteks ruang waktu tertentu, selama tetap mengacu pada kepada semangat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD1945. Ada banyak permasalahan yang diidentifikasi Pemerintah berdasar evaluasi pelaksanaan Kurikum tahun 2006. Pemerintah menemukan delapan masalah pokok dalam Kurikulum tahun 2006 sebagaimana dilansir dalam Bahan Uji Publik Kurikulum 2013.Salah satunya adalah "Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (sikap, keterampilan, dan pengetahuan) dan belum tegas menuntut adanya remediasi secara berkala". Standar penilaian hasil belajar adalah hal yang sangat penting, namun menurut penulis, belum mendapat perhatian secara proporsional. Selama diberlakukannya Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004) hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Kurikulum 2006), perhatian mayoritas pemangku kepentingan (steakholder) pendidikan lebih dicurahkan pada upaya menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan (joyful 38 learning) dan pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Berbagai proyek kegiatan dilakukan untuk memasyarakatkan konsep, trik dan cara-cara mengajar yang menyenangkan. Berbagai proyek workshop dan pelatihan TIK diselenggarakan dengan melatih para guru agar tidak gagap teknologi dan dapat memanfaatkan TIK dalam pembelajaran mereka. Meskipun belum mencapai harapan ideal secara utuh, melalui proyek-proyek massif tersebut pembelajaran yang dilakukan oleh guru sekarang ini telah mengalami banyak perubahan, setidak-tidaknya guru sudah berusaha memperbarui gaya mengajarnya. Ceramah monolog satu arah tidak lagi menjadi satu-satunya jurus tunggal guru dalam mengajar. Guru masuk kelas dengan menenteng laptopdan melakukan presentasi dengan menggunakan media berbasis TIK sudah tidak asing lagi. Sayangnya, upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran masih berorientasi pada pembelajaran kognitif. Ranah afektif dan psikomotorik belum mampu dikelola secara maksimal dalam pembelajaran. Akibatnya, proses penilaian hasil pembelajaran belum mengalami pembaharuan dari masa-masa sebelumnya. Penilaian hasil belajar masih menekankan pada aspek kognitif. Padahal, bila Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ada dianalisis, maka dapat diketahui bahwa kandungannya tidak semata-mata aspek kognitif. Pasti ada Kompetensi Dasar tertentu yang merepresentasi- kan ranah afektif dan psikomotor. Penekanan penilaian pada aspek kognitif saja sama halnya dengan pengabaikan kompetensi dasar lain yang dituntut. Karena penilaian hasil belajar ditekankan pada aspek kognitif, maka dapat dipastikan bahwa tes menjadi cara penilaian yang dominan dilakukan oleh guru, padahal tidak semua SK dan KD cocok dilakukan penilaian dengan teknik berupa tes. Tes adalah pemberian sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta tes untuk mengukur tingkat kemampuannya berdasar seberapa besar benar atau salah jawabannya. Sebenarnya ada banyak ragam tes, yakni tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.Tes tertulis adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis berupa pilihan dan atau isian. Tes lisan adalah tes yang dilaksanakan melalui komunikasi langsung (tatap muka) antara peserta didik dengan pendidik. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan. Tes praktik (kinerja) adalah tes yang meminta peserta didik melakukan perbuatan/ mendemonstasikan/ menampilkan keterampilan. Sayangnya dalam praktiknya, tes tertulis menjadi sangat dominan. Ulangan Ahir Semester, Ulangan Kenaikan Kelas, Ujian Sekolah dan Ujian Nasional dilaksanakan dengan menggunakan tes tertulis. Mengapa tes tertulis menjadi sangat dominan? Jawabnya sangat simpel, yakni karena mudah dilaksanakan, mudah pengoreksian dan cepat dalam pelaksanaan. Selain itu pelaksanaan tes tertulis memungkinkan banyak pihak MPA 317 / Pebruari 2013 02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 38 1/28/2013, 12:36 PM yang dapat menghasilkan keuntungan finansial, misal pembuatan soal, penggandaan soal, pengawasan pelaksanaan tes tulis, pengoreksian, penulisan nilai rapor atau ijazah dan lain-lain. Idealnya, penilaian hasil belajar harus menekankan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara proporsional dengan tetap mengacu pada komptensi yang dituntut. Dengan demikian tidak ada satu pun kompetensi yang terlewatkan dalam proses penilaian. Untuk itu maka teknik penilaian yang dilakukan tidak boleh dipaksakan berupa tes tulis untuk semua kompetensi yang dituntut. Nilai yang diperoleh dari hasil tulis harus dilengkapi dengan nilai portofolio; bisa melalui observasi, penugasan, inventori, jurnal, penilaian diri, atau penilaian antarteman yang disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Kurikulum 2013 harus diarahkan untuk mewujudkan idealita tersebut. Salah satu caranya adalah dengan menyiapkan guru dengan kecakapan dalam melakukan penilaian hasil belajar. Terlalu dominannya penilaian aspek kognitif dan penggunanaan tes tulis dalam penilaian sebenarnya yang paling pokok disebabkan oleh kesulitan, keengganan atau bahkan ketidakmampuan guru melakukan penilaian dengan selain tes, khususnya tes tulis. Guru terlalu nyaman dengan aspek kognitif dalam pembelajaran dan penilaian, sehingga mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Semua kompetensi dipahami dari aspek kognitifnya saja. Kesulitan terbesar berikutnya yang dialami guru adalah penilaian aspek affektif baik pada instrumennya, teknik pelaksanaannya maupun program tindaklanjutnya dan lainlain. Akibatnya tidak ada keseriusan guru dalam melakukan pembelajaran dan penilaian aspek affektif baik secara administratif maupun obyektif. Subyektifitas guru menjadi sangat dominan dalam melakukan penilaian ini, sehingga pembelajaran dan penilaiannya menjadi asal-asalan. Selama ini nilai affektif (sikap) dicantumkan dalam bentukpredikat, dengan klasifikasi Tinggi, Sedang, dan Rendah, atau Amat Baik (A),Baik (B), Cukup (C), Kurang (D). Di rapor nilai ini hanya ditulis dengan lambang A, B, C atau D, sehingga terkesan sangat sederhana. Seolah-olah nilai ini hanya dianggap sebagai pelengkap nilai aspek kognitif. Karena minimnya kecakapan guru dalam pembelajaran dan penilaian aspek affektif, maka nilai aspek inilah yang paling sering diberikan atas dasar perkiraan dan perasaan guru serta kepantasan peserta didik saja. Pemberian nilai affektif mayoritas berkisar pada A, B, dan C. Pemberian nilai A dan C menuntut guru bekerja lebih ekstra, setidak-tidaknya dalam mencermati perkembangan sikap dan perilaku peserta didiknya. Lebih-lebih saat guru berani memberi nilaiC, guru harus menyiapkan diri dengan banyak data dan argumentasi yang kuat. Ini adalah nilai yang mematikan. Peserta didik berpotensi tidak naik kelas dan tidak lulus jika mendapat nilai C.Guru yang malas mencermati perkembangan peserta didiknya, namun ingin aman dan cepat kerjanya serta tidak berisiko biasanya serta merta memberi nilai B untuk semua peserta didiknya. Pemberlakuan Kurikulum 2013 seharusnya menjadi momentum bagi pemangku kepentingan pendidikan untuk melatih para guru dalam mengembangkan kecakapan dalam pembelajaran dan penilaian aspek affektif. Jika hal ini tidak mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah, maka idealitapembelajaran dan penilaian yang terpadu dalam aspek kognitif, affektif dan psikomotorik hanya menjadi harapan yang tidak pernah bisa terlaksana (uthopia). Memang selama ini tes telah menjadi mindset guru ketika kata penilaian disebut. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban memfasilitasi perubahan mindset guru dalam hal penilaian hasil belajar melalui berbagai workshop dan pelatihan, sehingga kapabilitas dan obyektifitas guru dapat dipertanggungjawabkan saat pemberian nilai aspek kognitif, affektif dan psikomotorik secara terpadu. Melalui berbagai pelatihan dan workshop tersebut guru akan memiliki kecakapan dalam pembelajaran selain aspek kognitif dan termotivasi serta terbiasa menganalisis teknik penilaian tertentu, selain tes, berdasar kom- petensi yang dituntut. Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena setiap diberlakukannya kurikulum baru selalu ini sertai anggaran dana yang sangat besar untuk proyek-proyek sosialisasi dalam berbagai bentuk kegiatan kepada para guru.Terlepas adanya motif pragmatis penyerapan anggaran, melalui kegiatan-kegiatan tersebut kecakapan guru dalam pembelajaran dan penilaian selain aspek kognitif akan mengalami pembaharuan dan peningkatan; sebagaimana telah banyak berubahnya teknik pembelajaran sekarang ini setelah Pemerintah dengan gencar melakukan sosialisasi pembelajaran yang menyenangkan dan pemanfaatan TIK. Selain itu yang tidak kalah penting lagi melalui berbagai workshop dan pelatihan tersebut adalah membekali guru dengan kecakapan mengolah nilai hasil berbagai teknik penilaian sehingga nilai yang diperoleh oleh peserta didik benar-benar merepresentasikan kompetensi yang dituntut. Nilai hasil belajar peserta didik tidak lagi semata-mata didasarkan pada tes tulis, namun dipadu dengan nilai-nilai hasil teknik penilaian yang lain. Adanya banyak nilai ini menuntut adanya teknik memformulasikannya dan menuliskannya; apakah dengan memunculkan satu nilai akumulasi dari aspek kognitif, affektif dan psikomotorik; ataukah dengan memunculkan tiga nilai yang terdiri dari ketiga aspek itu secara mandiri.Oleh karena itu sosialisasi menjadi sangat perlu. Atas dasar itulah pemberlakuan Kurikulum 2013 patut disambut dengan cara berfikir positif, namun tetap kritis. Kurikulum ini harus diposisikan sebagai pintu masuk perbaikan pendidikan Nasional, khususnya lagi pembelajaran dan penilaian hasil belajar yang lebih proporsional dan obyektif. Jika hal ini dipahami oleh semua pemangku kepentingan pendidikan Nasional, lambat laut kebiasaan guru memberi nilai atas dasar perkiraan dan kepantasan (Ngaji=Ngarang Biji) akan bergeser kepada obyektifitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Selamat datang Kurikulum 2013. *) Guru SMPN 1 Kabuh Jombang MPA 317 / Pebruari 2013 02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 39 1/28/2013, 12:36 PM 39