BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker) (Wibowo, 2003). 2.1.2 Tahap-tahap Proses Penuaan Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik dan psikis.proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011): 1. Tahap subklinik (usia 25 – 35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal. 2. Tahap transisi (usia 35 – 45 tahun) Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes. 3. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas) Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon tiroid. Terjadi penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. 2.1.3 Teori Penuaan Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann dan Klatz, 2003) Wear and Tear Theory Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terakumulasi. 81 Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel yang terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi ke tingkatan sel (Pangkahila, 2011). Teori ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung pada terjadinya suatu kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat kerusakan terjadi lebih cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel juga merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat berpengaruh terhadap perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011). Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan dengan mekanismenya adalah merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011). 82 Teori wear and tear meliputi: a. Teori Kerusakan DNA Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan yang berat. Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2011). b. Teori Penuaan Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami penuaan dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di dalam sel dalam jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan menyerang sel-sel untuk mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan yang terjadi pada sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu metabolisme sel, juga merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa berakibat kanker dan kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen 83 dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di mana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldmann dan Klatz, 2003). c. Glikosilasi Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes tipe 2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi syaraf, yang merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes (Pangkahila, 2011) Programmed Theory Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2011). a. Teori Terbatasnya Replikasi Sel Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer mengalami pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel. Dan setelah 84 sejumlah pembelahan sel tertentu, telomer telah dipakai dan pembelahan sel terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomer tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2011). b. Proses Imun Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau perubahan protein protein paska translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan menyebabkan sistem imun dalam tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Pangkahila, 2011). c. Teori Neuroendokrin Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal. Seiring dengan menuanya seseorang maka tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya menurun dan berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Terapi sulih hormon dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldmann dan Klatz, 2003). 85 2.1.4 Penyebab Penuaan Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila , 2011). 2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011). Diabetes melitus ditandai dengan sekumpulan gejala karena gangguan metabolik dengan karakterisik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Masharani et al., 2004). Definisi diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah antara 100 dan 125 86 mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes (Perkeni, 2011). American Diabetes Association melaporkan bahwa setiap 21 detik ada satu orang yang terkena diabetes. Diperkirakan jumlah diabetes mencapai 350 juta pada tahun 2025, lebih dari setengahnya berada di Asia, terutama di India, Cina, Pakistan, dan Indonesia (Tandra, 2014). WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Prediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 akan meningkat menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes dari 10,0 juta pada tahun 2015 menjadi 16,2 juta pada tahun 2040 (IDF, 2015). 2.2.2 Gambaran Histologis Pankreas Diabetes Melitus Pankreas terdiri dari bagian eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin pankreas berfungsi menghasilkan enzim–enzim pankreas (amilase, peptidase, dan lipase). Sedangkan bagian endokrin pankreas merupakan kelompok sel yang disebut pulau Langerhans (Sherwood, 2001). Pulau Langerhans merupakan kumpulan dari empat tipe sel yang mensintesis insulin (sel beta), glukagon (sel alfa), somatostatin (sel delta) dan polipeptida pankreas (sel pp) (Kim et al., 2007). 87 Sel beta pankreas menempati bagian tengah dari pulau Langerhans, dan merupakan sel endokrin pankreas yang paling banyak. Sedangkan sel alfa tersebar di bagian perifer pulau Langerhans. Sel delta pankreas sebagian besar terletak di bagian perifer, dan sebagian kecil terletak ditengah diantara sel beta pankreas. Sel PP dapat ditemukan sebagai sel tunggal maupun kelompok di bagian perifer pulau Langerhans (Bowen, 2002; Huang et al,, 2009). Gambaran histologis pulau langerhans pada pankreas hewan diabetes menunjukkan penurunan jumlah pulau langerhans, adanya inflamasi dan vakuolisasi pulau langerhans, dan degranulasi sel beta pankreas. Sebagai tambahan, tampak gangguan pada susunan sel alfa dan beta pankreas, juga terlihat adanya pyknosis dan nekrosis pada pulau langerhans (Hosseini et al., 2015). Pada penelitian yang dilakukan Suarsana et al (2010) menunjukkan penurunan jumlah sel beta pankreas pada tikus diabetes yang diinduksi senyawa aloksan. Pada kelompok tikus kontrol tampak sel beta memenuhi pulau Langerhans dibagian tengah dan jumlahnya sangat banyak (84,56 ± 9,4 buah), sedangkan pada perlakuan diabetes terlihat sel beta jumlahnya sangat sedikit (9,33 ± 1,77 buah). Hal ini menunjukkan telah terjadi kerusakan sel beta pankreas akibat induksi dengan aloksan. Kerusakan sel beta pankreas menyebabkan produksi insulin berkurang sehingga ketika hormon insulin dideteksi pada sel beta menggunakan pewarnaan imunohistokimia, hasilnya sel beta jumlahnya sangat sedikit (Suarsana et al., 2010). 88 Gambar 2.1 Foto Mikrograf Sel Beta Pulau Langerhans Tikus dengan Pewarnaan Immunohistokimia (Suarsana et al., 2010) K(-) = Kontrol negatif, DM = Kelompok positif diabetes melitus Tanda panah ( ) = sel beta pankreas Gambaran pulau Langerhans pada diabetes juga menunjukkan adanya hyalinisasi dan deposit amiloid, yang berasal dari peptida Islet Amyloid Polypeptide (IAPP), yang juga dikenal sebagai amylin. Amylin merupakan peptida sekretori minor dari sel beta pankreas yang disintesis bersamaan dengan insulin dan C-peptida. Amylin ini diduga yang menyebabkan resistensi insulin dan dapat menyebabkan apoptosis sel beta pankreas. Selain itu juga tampak adanya infiltrasi lemak dan fibrosis luas (Butler et al., 2003; Ozougwu et al., 2013). 2.2.3 Mekanisme Kerusakan Sel beta Pankreas pada Diabetes Melitus Apoptosis merupakan bentuk utama kematian sel beta pankreas pada diabetes, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Dimana mekanisme kematian sel ini 89 melibatkan interleukin-1 β (IL-1 β ), nuclear factor-kB (NF-kB) dan Fas receptor. Pada diabetes tipe 1 terjadi lesi insulinitis, yang menyebabkan dilepaskannya sitokin-sitokin seperti IL-1β, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan interferon (IFN)- (Cnop et al., 2005). Sitokin-sitokin tersebut menginduksi faktor-faktor transkripsi seperti NFkB dan STAT-1. Aktivasi NF-kB akan memicu produksi nitric oxide (NO) dan menyebabkan deplesi kalsium pada retikulum endoplasmik. Hal ini menyebabkan stres pada retikulum endoplasmik (ER stress), yang selanjutnya akan menyebabkan mitokondria melepaskan sinyal apoptosis dan mengakibatkan kematian sel beta (Cnop et al., 2005). Gambar 2.2 Mekanisme kematian sel beta pankreas (Cnop et al., 2005). Sedangkan pada diabetes tipe 2, paparan kronis peningkatan kadar glukosa darah dan asam lemak bebas dapat menyebabkan disfungsi sel beta dan 90 menginduksi apoptosis sel beta, melalui mekanisme glucotoxicity dan lipotoxicity (Cnop et al., 2005). Hiperglikemia kronis dapat mengakibatkan efek merugikan pada sintesis/sekresi insuin, kelangsungan hidup sel dan sensitifitas insulin melalui beberapa mekanisme yaitu: hilangnya ekspresi gen insulin dan gen spesifik sel beta lainnya secara bertahap; stres RE kronis dan stres oksidatif; perubahan mitokondria baik dalam jumlah, morfologi dan fungsi nya; dan gangguan homeostasis kalsium, yang akhirnya terjadi glucotoxicity, yaitu perubahan permanen pada komponen seluler dalam produksi maupun sekresi insulin (Cernea et al., 2013). 2.2.4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2011). 1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komperehensif dan upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2011). 91 Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakit dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih reversibel, memantau perilaku ketaatan, pengelolaan penyakit serta perubahan perilaku/kebiasaan secara mandiri. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori serta diet tinggi lemak (Ndraha, 2014). 2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan, dalam hal ini jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka uang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha, 2014). 3. Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit per hari yang disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani, merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011). 92 Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. (Perkeni, 2011). 4. Terapi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan edukasi, pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan injeksi (Perkeni, 2011). Obat Anti Hiperglikemia Oral Obat anti hiperglikemia oral terbagi dalam beberapa golongan, antara lain: 1) Golongan Insulin Sensitizing a) Biguanid (Metformin) Bekerja dengan cara menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin di tingkat seluler dan menurunkan produksi glukosa darah hati (Babar dan Skugor, 2009). Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan (Babar dan Skugor, 2009). Merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes yang gemuk, disertai dislipidemia dan resistensi insulin (Ndraha, 2014). 93 b) Tiazolidindion (Ndraha, 2014) Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan. 2) Golongan Insulin Secretagogues a) Golongan Sulfonilurea (Ndraha, 2014) Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas Merupakan pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang Sulfonilurea tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi b) Glinid (Toni dan Suharto, 2005) Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, yaitu dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekresi dengan cepat melalui hati Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 3) Golongan Pengambat α-Glukosidase (Toni dan Suharto, 2005) Arcabose Bekerja secara lokal dan hampir tidak diabsorbsi. 94 Bekerja dengan cara menghambat kerja enzim α -glukosidase di saluran pencernaan, sehingga pemecahan polisakarida di usus halus menjadi monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang, dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Efek samping berupa keluham gastrointestinal seperti kembung dan flatulens. Hal ini dikarenakan karbohidrat di usus besar mengakibatkan peningkatan produksi gas. Obat Anti Hiperglikemia Injeksi a) Insulin Insulin merupakan obat diabetes yang paling efektif dan paling lama digunakan dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar HbA1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maksimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al., 2009). Insulin diperlukan pada keadaan (Toni dan Suharto, 2005): - Penurunan berat badan yang cepat - Hiperglikemia berat yang disertai ketosis - Ketoasidosis diabetic - Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik 95 - Hiperglikemia dengan asidosis laktat - Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal - Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) - Kehamilan dengan DM/ DM Gestasional yangtidak terkendali dengan perencanaan makanan. - Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat - Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 4 jenis (Toni dan Suharto, 2005): a. Insulin kerja cepat (Rapid acting insulin) b. Insulin kerja pendek (Short acting insulin) c. Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin) d. Insulin kerja panjang (Long acting insulin) 2) Agonis Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan diabetes. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea (Blonde, 2009). Mekanisme kerja agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. 96 Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain sebah dan muntah (Perkeni, 2011). III. Terapi Kombinasi Bila dengan gaya hidup sehat dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi dua OHO. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila sasaran glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan (Perkeni, 2011). 2.2.5 Diabetes Melitus dan Proses Penuaan Penuaan merupakan proses yang kompleks dan luas. Banyak teori telah dikemukakan untuk menjelaskan regulasi molekul penuaan dan penyakit kronis, tapi masih banyak hal yang belum dapat dijelaskan. Dalam proses penuaan terjadi beberapa peristiwa kerusakan seluler dan molekuler, yang akhirnya menyebabkan berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit Alzheimer, Parkinson, gangguan neurodegeneratif seperti, rheumatoid arthritis, aterosklerosis, dan penyakit kardiovaskular lainnya (CVD), degenerasi makula, dan diabetes (Prasad et al., 2012). 97 Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini. Mereka yang mengalami diabetes akan mengalami proses patologi lebih awal, dimana pada individu non diabetes hal ini terjadi pada usia yang lebih lanjut. Karena itu, usia harapan hidup individu dengan diabetes lebih pendek (Pangkahila, 2011). Sebuah hipotesis yang yang populer saat ini adalah hipotesis stres oksidatif, yang terjadi melalui mekanisme tunggal produksi superoksida, yang merupakan faktor patogenesis umum yang menyebabkan resistensi insulin, disfungsi sel beta pankreas, gangguan toleransi glukosa, dan akhirnya mengarah ke diabetes tipe 2. Lebih jauh lagi, mekanisme ini juga terlibat dalam penyebab komplikasi diabetes tipe 2, baik komplikasi mikro maupun makrovaskular (Wright et al., 2006). Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa penderita diabetes tipe 2 mengalami stress oksidatif kronis. Hal ini telah terlihat dari beberapa macam metode yang digunakan, meliputi high-performance liquid chromatography, gas chromatography/mass spectrometry, dan immunostaining biopsi pankreas. Prooksidan dan penanda kerusakan oksidatif jaringan, seperti 8-hydroxy- deoxyguanine, 4-hydroxy-2-nonenal (HNE) proteins, 8-epi-prostaglandin F2α, hidroperoksida, dan oksidasi basa DNA telah dilaporkan meningkat pada serum, plasma, sel darah merah, dan biopsi pankreas pada penderita diabetes tipe 2. Dibandingkan dengan kontrol non-diabetes, penanda-penanda tersebut meningkat lima kali lipat diatas normal (Robertson et al., 2004). 98 Oleh karena itu terapi yang ditujukan untuk mengurangi stres oksidatif akan menguntungkan bagi penderita dengan diabetes tipe 2 dan bagi mereka yang berisiko tinggi terhadap diabetes tipe 2 (Wright et al., 2006). 2.3 Streptozotocin 2.3.1 Definisi Streptozotocin (STZ) merupakan antibiotik yang berasal dari Streptomyces achromogenes dan secara struktur merupakan derivat glukosamin dari nitrosourea. STZ menyebabkan hiperglikemia terutama oleh efek sitotoksik langsung terhadap sel beta pankreas (Srinivasan dan Ramarao, 2007). Gambar 2.3 Struktur Kimia Streptozotocin (Szkudelski, 2001) Aksi STZ pada sel beta ditunjukkan oleh perubahan karakteristik dalam insulin dan konsentrasi glukosa darah. Hiperglikemia terjadi dalam dua jam setelah injeksi, bersamaan dengan penurunan insulin darah. Enam jam kemudian, terjadi hipoglikemia dengan kadar insulin darah yang tinggi. Segera setelah itu, terjadi hiperglikemia dan penurunan level insulin darah. Perubahan pada level glukosa darah dan insulin tersebut menunjukkan adanya abnormalitas fungsi sel beta pankreas. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam 6 jam stelah 99 injeksi, STZ menyebabkan kerusakan sel beta pankreas yang menggambarkan pengembangan penyakit diabetes melitus (Szkudelski, 2001). 2.3.2 Mekanisme Sitotoksik Streptozotocin Terhadap Pankreas Transportasi STZ ke dalam sel beta pankreas terjadi melalui glucose transporter GLUT 2. Paparan STZ pada sel beta pankreas menyebabkan kerusakan DNA. Beberapa penelitian in vitro menunjukkan bahwa STZ menyebabkan alkilasi DNA, sehingga terjadi fragmentasi DNA (Szkudelski, 2001). STZ merupakan donor nitric oxide (NO), dan NO telah diketahui menyebabkan destruksi pulau Langerhans pankreas, sehingga dikemukakan bahwa molekul ini berkontribusi terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh STZ. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO bukan satu-satunya molekul yang bertanggung jawab terhadap efek sitotoksik dari STZ. STZ diketahui dapat menghasilkan ROS, yang juga berkontribusi dalam fragmentasi DNA dan membangkitkan perubahan merugikan lainnya di dalam sel. Pembentukan anion superoksida terjadi karena aksi STZ di dalam mitokondira (Szkudelski, 2001). STZ menghambat siklus krebs dan menurunkan konsumsi oksigen oleh mitokondria, sehingga membatasi produksi ATP mitokondria dan menyebabkan penurunan jumlah ATP di dalam sel beta pankreas. Pembatasan produksi ATP mitokondria ini dimediasi oleh NO (Szkudelski, 2001). 100 Gambar 2.4 Mekanisme sitotoksik dari STZ pada sel beta pankreas. MIT - mitochondria; XOD - xanthine oxidase (Szkudelski, 2012) Kerusakan DNA ini mengakibatkan aktivasi suatu mekanisme intrasel yang bertujuan untuk memperbaiki DNA yaitu oleh enzim poly (ADP-ribose) polymerase-1 (PARP-1). Enzim ini mengkatalisa sintesa poly (ADP-ribose) dari NAD+ sehingga produksi intraseluler poly (ADP-ribose) meningkat. Kerusakan DNA karena STZ ini akan menginduksi overstimulasi PARP-1 pada sel beta pankreas (Szkudelski, 2012). Pada kondisi kerusakan DNA yang ringan, aktivasi PARP-1 bersifat menguntungkan. Tetapi, kerusakan DNA intensif yang diinduksi STZ menyebabkan hiperaktivitas PARP-1 yang merugikan sel, karena terjadi 101 penurunan NAD+. NAD+ adalah molekul penting yang terkait dalam metabolisme energi pada tingkat sel. Penurunan NAD+ yang berat menyebabkan penurunan ATP lebih lanjut. Penurunan ATP ini tidak hanya ditimbulkan karena menurunnya NAD+, melainkan juga karena adanya disfungsi mitokondria (Szkudelski, 2012). Paparan STZ dalam jangka pendek mengurangi aktivitas aconitase mitokondria sel islet, menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, dan menurunkan potensial membrane mitokondria (Szkudelski, 2012). Secara klinis, gejala diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan baik secara intravena maupun intraperitoneal dengan dosis tunggal STZ sebesar 60 mg/kg BB (Abeleeh et al., 2009). 2.4 Ektrak Kulit Pohon Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster) 2.4.1 Definisi Ekstrak kulit pinus maritim Perancis yang juga dikenal dengan nama Pycnogenol® merupakan ekstrak terstandardisasi dari batang pinus maritim Perancis, dari kulit terluar batang pohon Pinus pinaster Aiton Subspesies atlantica (Rohdewald, 2005). Pohon pinus tersebut dibudidayakan dengan sistem monokultur secara eksklusif pada suatu area yang sempit di daerah di barat daya Perancis (Landes de Gascogne). Pohon pinus dengan kulit luar yang tebal dan berlapis-lapis tersebut akan dipanen setelah dibudidayakan selama lebih dari 30 tahun. Pohon-pohon yang ditebang akan diganti dengan bibit baru dan seluruh proses regenerasi pohon tetap berjalan secara terus menerus. Proses ini dikontrol 102 oleh pemerintah Perancis dan sebagian besar hutan tersebut merupakan Taman Nasional (Oliff, 2010). Kulit batang pinus yang baru diambil ditaburi dan diekstraksi dengan etanol dan air dengan peralatan yang dipatenkan sehingga memungkinkan terjadinya proses yang berlangsung terus menerus secara otomatis. Setelah pemurnian dari ekstrak mentah, dilakukan proses pengeringan dengan cara disemprot. Dari proses tersebut akan menghasilkan bubuk berwarna kecoklatan yang stabil pada kondisi lingkungan yang gelap dan kering. Ekstrak ini distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5% procyanidins, dimana terdiri dari catechin dan epicatechin yang terkondensasi (Oliff, 2010). 2.4.2 Struktur Molekul, Absorpsi dan Metabolisme Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mengandung proanthocyanidins terkondensasi yang terutama terdiri dari procyanidins dan asam fenolat. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis ini distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5% procyanidins. Procyanidins Proanthocyanidins terkondensasi yang mewakili sub-kategori merupakan nama famili berbeda, yaitu procyanidins, propelargonidins (Oliff, 2010). 103 untuk proanthocyanidins. spesies flavan-3-ols prodelphinidins dan Gambar 2.5 Struktur Dasar Proanthocyanidins (Rohdewald, 2005) Komposisi utama dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis adalah senyawa fenolik, yang secara luas dibagi menjadi monomer (Catechin, epicatechin, dan taxifolin) dan flavonoid yang terkondensasi (yang diklasifikasikan sebagai procyanidins/proanthocyanidins). Proanthocyanidins sendiri merupakan biopolimer yang terdiri dari unit procyanidins catechin dan epicatechin, dengan panjang rantai mulai 2-12 unit monomer (Oliff, 2010). Proanthocyanidins memiliki sifat pemakan radikal bebas yang poten dan dapat juga ditemukan di dalam biji anggur, kulit anggur, bilberry, cranberry, kismis hitam, teh hijau, teh hitam, blueberry, blackberry, strawberry, black cherry, anggur merah, dan kubis merah. Proanthocyanidins larut dalam air dan lemak, sehingga mampu melewati sawar darah otak untuk memberikan 104 perlindungan antioksidan pada sistem saraf pusat, dan beredar dalam aliran darah selama 72 jam (D'Andrea, 2010). Gambar 2.6 Komponen ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster) (Grimm et al., 2006b) Selain itu ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mengandung komponen minor yaitu asam fenolik. Asam fenolik dalam ekstrak kulit pinus merupakan turunan dari asam benzoat (p-hidroksibenzoat, protocatechic acid, asam galat, asam vanilat) atau asam sinamat (caffeic acid, asam ferulat, p-cumaric acid). Asam fenolik yang ditemukan dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida atau glukosa ester (Oliff, 2010). 105 2.4.3 Profil Farmakologis Aktivitas Antioksidan Beberapa studi in vitro telah menunjukkan aktivitas antoksidan yang poten dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis, antara lain: (1) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat memusnahkan baik radikal bebas hidroksil maupun anion superoksida, (2) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mampu melindungi vitamin C bahkan mampu mendaur ulang vitamin C lebih efektif dari pada flavonoid lainnya, sehingga memperpanjang hidup dan meningkatkan fungsi antioksidan dari vitamin C, (3) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat meningkatkan aktivitas sistem antioksidan internal lainnya, yaitu superoksid dismutase, glutation peroksidase, dan katalase (Oliff, 2010). Lipid, protein dan DNA merupakan target dari kerusakan oksidatif. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat mencegah kerusakan oksidatif terhadap lipid, protein, dan kerusakan plasmid DNA. Setiap komponen ekstrak kulit pinus maritim Perancis dan metabolitnya juga memiliki aktivitas antioksidan (Oliff, 2010). Dua metabolit aktif ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster), yaitu delta-(3,4dihydroxyphenyl)-gamma-valerolactone (M1) dan delta-(3-methoxy-4- hydroxyphenyl)-gamma-valerolactone (M2), secara aktif menghambat aktivitas MMP-1, MMP-2, dan MMP-9 (Grimm et al., 2004). Komponen flavonoid dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis, yang terdiri dari satu atau lebih cincin aromatik, dapat dengan segera bergabung dengan radikal bebas membentuk resonansi-stabil radikal phenoxyl. Lebih jauh lagi ekstrak kulit pinus maritim 106 Perancis juga diketahui menghambat aktivitas berbagai enzim, seperti cyclooxygenase, protein kinase C, NADH oxidase, lipoxygenase, horseradish peroxidase, xanthin oxidase, dan nitric oxide synthase (iNOS), yang terlibat dalam pembentukan ROS. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mampu meregenerasi radikal ascorbyl dan melindungi vitamin E endogen dan glutation dari stres oksidatif (Maritim et al., 2003). Aktivitas Anti Inflamasi Senyawa oksigen reaktif tidak hanya menyebabkan cedera sel secara langsung dan memulai proses degeneratif, tapi juga dapat berperan sebagai sinyal untuk proses lainnya, seperti jalur pro-inflamasi yang melibatkan aktivasi nuclearfactor-kappaB (NF-κB). Ekstrak kulit pinus maritim Perancis secara in vitro menghambat aktivasi NF-κB di makrofag, yang pada konsekuensinya menghambat ekspresi sitokin pro-inflamasi IL-1 (Cho et al., 2000). Ekspresi adesi molekul oleh sel endotel juga dibawah kendali NF-κB. Adesi molekul terlibat dalam perekrutan leukosit ke situs inflamasi, hal ini juga berkontribusi terhadap terjadinya gangguan pembuluh darah (Oliff, 2010). Senyawa oksigen reaktif berkaitan dengan kondisi pro-inflamasi melalui stimulai dari matrix metalloproteinase (MMP). MMP merupakan famili dari enzim yang menyebabkan hancurnya protein jaringan penghubung. MMP-1 (collagenase 1) dan MMP-9 (gelatinase B) meningkat pada arthritis, dan kedua enzim ini berkontribusi terhadap degradasi kartilago pada penyakit rematik. MMP-1 juga berkontribusi pada proses penuaan kulit akibat sinar ultraviolet, 107 sedangkan MMP-9 berperan dalam penyakit asma. Pada fibrosis paru, MMP-2 (gelatinase A) juga terlibat. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki efek penghambatan terhadap aktivitas MMP-1, MMP-9 dan MMP-2. Pada kultur sel, ekstrak kulit pinus maritim Perancis menghambat ekspresi sitokin proinflamasi IL-1 (Cho et al., 2000; Grimm et al., 2006a). Pada proses inflamasi, ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS) menyebabkan produksi nitric oxide (NO), dan ekstrak kulit pinus maritim Perancis menunjukkan efek penghambatan proses ini. Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis terhadap makrofag yang distimulasi dapat menurunkan NO seluler melalui pemusnahan ROS dan NO, penghambatan iNOS, dan penghambatan ekspresi iNOS-mRNA melalui penghambatan aktivasi NF-κB. Berdasarkan penelitian tersebut, pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama periode inflamasi diduga dapat bermanfaat (Oliff, 2010). 2.4.4 Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster) dan Diabetes Pada sebuah studi eksperimental yang dilakukan Maritim dkk (2003) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis pada tikus diabetes menurunkan konsentrasi glukosa darah secara signifikan. Kemampuan antidiabetes lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis secara klinis ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. Penelitian double blind, acak, dengan kontrol plasebo ini melibatkan 77 orang penderita diabetes tipe 2 untuk meneliti potensi antidiabetik dari ekstrak kulit pinus maritim 108 Perancis (100 mg). Suplementasi ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama 12 minggu dengan tetap melanjutkan terapi standar antidiabetik menunjukkan penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c secara signifikan dibandingkan dengan placebo. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga meningkatkan fungsi endotel, sebagaimana dibuktikan oleh adanya penurunan endothelin-1 secara signifikan (Liu et al., 2004a). Aktivitas antihiperglikemik ekstrak kulit pinus maritim Perancis yaitu melalui peningkatan uptake glukosa di jaringan perifer dan dengan peningkatan simpanan glikogen di hati (Parveen et al., 2013). Ekstrak kulit pinus maritim Perancis efektif menghambat penyerapan glukosa melalui penghambatan enzim αglukosidase dalam saluran pencernaan, sehingga menurunkan hiperglikemia post prandial (El-Abhar et al., 2014). α-glukosidase merupakan suatu enzim yang terdapat di sepanjang usus yang menghidrolisa residu glukosa dan melepaskan αD glucose. Inhibisi dari enzim α-glukosidase akan mengurangi penyerapan glukosa dan menurunkan glukosa darah prost prandial (Schäfer et Höger, 2007). Dosis optimal ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam menurunkan glukosa darah baik puasa maupun post prandial pada manusia adalah sebesar 200 mg/hari (Liu et al., 2004b). Penurunan glukosa darah post prandial akan menyebabkan penurunan insulin post prandial. Berdasarkan studi ternyata kemampuan ekstrak kulit pinus maritim Perancis 190 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penghambatan enzim α-glukosidase oleh acarbose, serta empat kali lebih tinggi dibandingkan penghambatan enzim α-glukosidase oleh teh hijau (Schäfer et Höger, 2007). 109 Efek penghambatan α-glukosidase ini tampaknya berhubungan dengan ukuran molekul procyanidin yang terdapat di dalam ekstrak kulit pinus maritim Perancis. Dalam sebuah studi farmakologi, molekul ini bertahan sangat lama di dalam saluran pencernaan sebelum diabsorbsi ke dalam aliran darah, pada umumnya selama 4-6 jam setelah konsumsi. Dengan demikian, pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis di pagi hari akan tetap memiliki potensi yang cukup untuk menghambat absorbsi glukosa pada saat makan siang (Grimm et al., 2006b). Hati terutama bertanggung jawab untuk menjaga konsentrasi glukosa darah normal melalui kemampuannya untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemampuannya untuk memecah glikogen menjadi glukosa atau dari prekursor gluconeogenic. Pada kondisi diabetes, fungsi tersebut terganggu. Pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat memperbaiki fungsi hati tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kandungan glikogen hati pada kelompok tikus diabetes yang diberi ekstrak kulit pinus maritim Perancis dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes kontrol. Lebih jauh lagi, pada pemeriksaan histopatologi hati kelompok tikus diabetes menunjukkan vakuolisasi hepatosit dengan variasi nukleus dan pelebaran ruang sinusoid. Perubahan degeneratif ini berkurang dengan pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis (Parveen et al., 2010). 110 2.4.5 Mekanisme Kerja Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster) dalam Melindungi Sel beta Pankreas dan Meregulasi Glukosa Darah Ekstrak kulit pinus maritim Perancis telah diketahui memiliki aktivitas sebagai agen antidiabetik, yang dapat mempengaruhi metabolisme glukosa yang dihubungkan dengan kejadian diabetes melitus. Namun bagaimana mekanisme ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam memberikan proteksi terhadap diabetes melitus dan komplikasinya masih belum sepenuhnya diketahui (Parveen et al., 2013). Selain efek antioksidannya, ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki aktivitas penghambatan ekspresi nitric oxide synthase, suatu enzim yang memproduksi NO. NO diketahui merupakan molekul efektor yang menyebabkan kerusakan dan disfungsi sel beta pankreas. STZ, suatu agen diabetogenik, juga mengandung komponen NO. Sehingga pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis memberikan efek perlindungan terhadap sel beta pankreas dari efek destruksi NO (Keklikoglu et al., 2013; Parveen et al., 2013). Lebih jauh lagi, stress oksidatif akibat hiperglikemia dihubungkan dengan aktivasi dari NF-κB. NF-κB juga terlibat dalam regulasi dari COX-2 dan ekspresi iNOS, yang juga memainkan peran dalam stress oksidatif akibat hiperglikemia. Pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat menghambat aktivasi NFκB, sehingga dapat mengatasi kerusakan oksidatif pada pankreas akibat hiperglikemia (Grimm et al., 2006a). 111 Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga diketahui dapat menstimulai ekspresi glucose transoprter 4 (GLUT 4), sehingga meningkatkan ambilan glukosa di sel adiposit. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat bermanfaat dalam mengontrol glukosa darah (Lee et al, 2010). Kemungkinan mekanisme lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis sebagai agen antidiabetik adalah melalui setiap komponen aktifnya yang memiliki mekanisme yang berbeda-beda. Komponen oligomeric procyanidins dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim αglukosidase di usus, komponen monomeric epicatechin memiliki efek proteksi terhadap sel beta pankreas dan dilaporkan dapat merangsang sekresi insulin serta memiliki aktivitas seperti insulin, sedangkan komponen catechin dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki efek penghambatan absorbsi glukosa di usus (Shimizu et al., 2000; Kim et al., 2003; Schäfer et Höger, 2007). 112