BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang
diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang
disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes
melitus, dan kanker) (Wibowo, 2003).
2.1.2 Tahap-tahap Proses Penuaan
Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan
perubahan fisik dan psikis.proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai
berikut (Pangkahila, 2011):
1. Tahap subklinik (usia 25 – 35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,
yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan hormon estrogen.
Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai
mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar.
Karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.
2. Tahap transisi (usia 35 – 45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang
sebanyak satu kilogram tiap tahun. Pada tahap ini orang mulai merasa
tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai
merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit seperti
kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan
diabetes.
3. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas)
Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi
DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon
tiroid. Terjadi penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan
bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata,
sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.
2.1.3 Teori Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses
penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann dan
Klatz, 2003)
Wear and Tear Theory
Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah
lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terakumulasi.
81
Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli
biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel yang
terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan
disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi ke
tingkatan sel (Pangkahila, 2011).
Teori ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok,
minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan menggunakan
organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung pada terjadinya suatu
kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat kerusakan terjadi lebih
cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel juga merasakan
pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Sistem pemeliharaan
pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat berpengaruh terhadap
perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan
kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011).
Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam
memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal
karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini
bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat
membantu mengembalikan proses penuaan dengan mekanismenya adalah
merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan
organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).
82
Teori wear and tear meliputi:
a. Teori Kerusakan DNA
Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA
repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan yang
tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus
menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat mencapai
suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan yang berat.
Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti
radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2011).
b. Teori Penuaan Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami penuaan
dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di dalam sel dalam
jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang
mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak
stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan menyerang sel-sel untuk
mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah reaksi berantai yang
menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul utama di dalam tubuh yang
dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo,
2000).
Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan yang terjadi pada
sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu
metabolisme sel, juga merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa
berakibat kanker dan kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen
83
dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel
dan elastis. Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal
bebas, terutama pada daerah wajah, di mana akan terbentuk lekukan kulit dan
kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldmann dan
Klatz, 2003).
c. Glikosilasi
Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui
bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes tipe
2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang
kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada diabetes,
glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi syaraf, yang
merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes (Pangkahila, 2011)
Programmed Theory
Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam
biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu
model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin,
masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila,
2011).
a. Teori Terbatasnya Replikasi Sel
Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat
struktur khusus yang disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer mengalami
pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel. Dan setelah
84
sejumlah pembelahan sel tertentu, telomer telah dipakai dan pembelahan sel
terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomer tersebut menentukan rentang usia
sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2011).
b. Proses Imun
Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau perubahan
protein protein paska translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi
somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan menyebabkan sistem imun dalam tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu
bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang
lanjut usia (Pangkahila, 2011).
c. Teori Neuroendokrin
Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan
berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon
bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga
fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal. Seiring dengan menuanya seseorang
maka tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya
menurun dan berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Terapi sulih
hormon dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh
sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldmann dan Klatz, 2003).
85
2.1.4 Penyebab Penuaan
Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat,
diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan
(Pangkahila , 2011).
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan
adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat
digunakan dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas
tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh
tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga
menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011).
Diabetes melitus ditandai dengan sekumpulan gejala karena gangguan
metabolik dengan karakterisik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Masharani et al., 2004).
Definisi diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO)
adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah antara 100 dan 125
86
mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes
(Perkeni, 2011).
American Diabetes Association melaporkan bahwa setiap 21 detik ada satu
orang yang terkena diabetes. Diperkirakan jumlah diabetes mencapai 350 juta
pada tahun 2025, lebih dari setengahnya berada di Asia, terutama di India, Cina,
Pakistan, dan Indonesia (Tandra, 2014).
WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang
cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Prediksi kenaikan jumlah penyandang
diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 akan meningkat menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Sedangkan International
Diabetes Federation (IDF) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes
dari 10,0 juta pada tahun 2015 menjadi 16,2 juta pada tahun 2040 (IDF, 2015).
2.2.2 Gambaran Histologis Pankreas Diabetes Melitus
Pankreas terdiri dari bagian eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin
pankreas berfungsi menghasilkan enzim–enzim pankreas (amilase, peptidase, dan
lipase). Sedangkan bagian endokrin pankreas merupakan kelompok sel yang disebut
pulau Langerhans (Sherwood, 2001).
Pulau Langerhans merupakan kumpulan dari empat tipe sel yang
mensintesis insulin (sel beta), glukagon (sel alfa), somatostatin (sel delta) dan
polipeptida pankreas (sel pp) (Kim et al., 2007).
87
Sel beta pankreas menempati bagian tengah dari pulau Langerhans, dan
merupakan sel endokrin pankreas yang paling banyak. Sedangkan sel alfa tersebar
di bagian perifer pulau Langerhans. Sel delta pankreas sebagian besar terletak di
bagian perifer, dan sebagian kecil terletak ditengah diantara sel beta pankreas. Sel
PP dapat ditemukan sebagai sel tunggal maupun kelompok di bagian perifer pulau
Langerhans (Bowen, 2002; Huang et al,, 2009).
Gambaran histologis pulau langerhans pada pankreas hewan diabetes
menunjukkan penurunan jumlah pulau langerhans, adanya inflamasi dan
vakuolisasi pulau langerhans, dan degranulasi sel beta pankreas. Sebagai
tambahan, tampak gangguan pada susunan sel alfa dan beta pankreas, juga terlihat
adanya pyknosis dan nekrosis pada pulau langerhans (Hosseini et al., 2015).
Pada penelitian yang dilakukan Suarsana et al (2010) menunjukkan
penurunan jumlah sel beta pankreas pada tikus diabetes yang diinduksi senyawa
aloksan. Pada kelompok tikus kontrol tampak sel beta memenuhi pulau
Langerhans dibagian tengah dan jumlahnya sangat banyak (84,56 ± 9,4 buah),
sedangkan pada perlakuan diabetes terlihat sel beta jumlahnya sangat sedikit (9,33
± 1,77 buah).
Hal ini menunjukkan telah terjadi kerusakan sel beta pankreas akibat
induksi dengan aloksan. Kerusakan sel beta pankreas menyebabkan produksi
insulin berkurang sehingga ketika hormon insulin dideteksi pada sel beta
menggunakan pewarnaan imunohistokimia, hasilnya sel beta jumlahnya sangat
sedikit (Suarsana et al., 2010).
88
Gambar 2.1
Foto Mikrograf Sel Beta Pulau Langerhans Tikus dengan Pewarnaan
Immunohistokimia (Suarsana et al., 2010)
K(-) = Kontrol negatif, DM = Kelompok positif diabetes melitus
Tanda panah (
) = sel beta pankreas
Gambaran pulau Langerhans pada diabetes juga menunjukkan adanya
hyalinisasi dan deposit amiloid, yang berasal dari peptida Islet Amyloid
Polypeptide (IAPP), yang juga dikenal sebagai amylin. Amylin merupakan peptida
sekretori minor dari sel beta pankreas yang disintesis bersamaan dengan insulin
dan C-peptida. Amylin ini diduga yang menyebabkan resistensi insulin dan dapat
menyebabkan apoptosis sel beta pankreas. Selain itu juga tampak adanya infiltrasi
lemak dan fibrosis luas (Butler et al., 2003; Ozougwu et al., 2013).
2.2.3 Mekanisme Kerusakan Sel beta Pankreas pada Diabetes Melitus
Apoptosis merupakan bentuk utama kematian sel beta pankreas pada
diabetes, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Dimana mekanisme kematian sel ini
89
melibatkan interleukin-1 β (IL-1 β ), nuclear factor-kB (NF-kB) dan Fas
receptor. Pada diabetes tipe 1 terjadi lesi insulinitis, yang menyebabkan
dilepaskannya sitokin-sitokin seperti IL-1β, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan
interferon (IFN)- (Cnop et al., 2005).
Sitokin-sitokin tersebut menginduksi faktor-faktor transkripsi seperti NFkB dan STAT-1. Aktivasi NF-kB akan memicu produksi nitric oxide (NO) dan
menyebabkan deplesi kalsium pada retikulum endoplasmik. Hal ini menyebabkan
stres pada retikulum endoplasmik (ER stress), yang selanjutnya akan
menyebabkan mitokondria melepaskan sinyal apoptosis dan mengakibatkan
kematian sel beta (Cnop et al., 2005).
Gambar 2.2
Mekanisme kematian sel beta pankreas (Cnop et al., 2005).
Sedangkan pada diabetes tipe 2, paparan kronis peningkatan kadar glukosa
darah dan asam lemak bebas dapat menyebabkan disfungsi sel beta dan
90
menginduksi apoptosis sel beta, melalui mekanisme glucotoxicity dan lipotoxicity
(Cnop et al., 2005). Hiperglikemia kronis dapat mengakibatkan efek merugikan
pada sintesis/sekresi insuin, kelangsungan hidup sel dan sensitifitas insulin
melalui beberapa mekanisme yaitu: hilangnya ekspresi gen insulin dan gen
spesifik sel beta lainnya secara bertahap; stres RE kronis dan stres oksidatif;
perubahan mitokondria baik dalam jumlah, morfologi dan fungsi nya; dan
gangguan homeostasis kalsium, yang akhirnya terjadi
glucotoxicity, yaitu
perubahan permanen pada komponen seluler dalam produksi maupun sekresi
insulin (Cernea et al., 2013).
2.2.4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
penatalaksanaan
dan
pengelolaan
DM
dititik
beratkan
pada
4
pilar
penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis (Perkeni, 2011).
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komperehensif dan upaya peningkatan
motivasi (Perkeni, 2011).
91
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakit dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih
reversibel, memantau perilaku ketaatan, pengelolaan penyakit serta perubahan
perilaku/kebiasaan secara mandiri. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi
pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori
serta diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan, dalam hal ini jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka uang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin (Perkeni, 2011). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari
3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha, 2014).
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit per hari yang disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani,
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011).
92
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
(Perkeni, 2011).
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan edukasi, pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan injeksi (Perkeni, 2011).
Obat Anti Hiperglikemia Oral
Obat anti hiperglikemia oral terbagi dalam beberapa golongan, antara lain:
1) Golongan Insulin Sensitizing
a) Biguanid (Metformin)

Bekerja dengan cara menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin di tingkat seluler dan menurunkan produksi
glukosa darah hati (Babar dan Skugor, 2009).

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas
sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat
badan (Babar dan Skugor, 2009).

Merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes yang gemuk,
disertai dislipidemia dan resistensi insulin (Ndraha, 2014).
93
b) Tiazolidindion (Ndraha, 2014)

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer

Tiazolidindion
dikontraindikasikan
pada
gagal
jantung
karena
meningkatkan retensi cairan.
2) Golongan Insulin Secretagogues
a) Golongan Sulfonilurea (Ndraha, 2014)

Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

Merupakan pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

Sulfonilurea tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi
b) Glinid (Toni dan Suharto, 2005)

Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, yaitu
dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh sel beta pankreas.

Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).

Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekresi dengan cepat melalui hati

Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
3) Golongan Pengambat α-Glukosidase (Toni dan Suharto, 2005)
Arcabose

Bekerja secara lokal dan hampir tidak diabsorbsi.
94

Bekerja dengan cara menghambat kerja enzim α -glukosidase di
saluran pencernaan, sehingga pemecahan polisakarida di usus halus
menjadi monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang, dengan
demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat

Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan
hipoglikemia.

Efek samping berupa keluham gastrointestinal seperti kembung dan
flatulens. Hal ini dikarenakan karbohidrat di usus besar mengakibatkan
peningkatan produksi gas.
Obat Anti Hiperglikemia Injeksi
a) Insulin
Insulin merupakan obat diabetes yang paling efektif dan paling lama
digunakan dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam
dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar HbA1C sampai
mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin
tidak memiliki dosis maksimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan
berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al., 2009).
Insulin diperlukan pada keadaan (Toni dan Suharto, 2005):
-
Penurunan berat badan yang cepat
-
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
-
Ketoasidosis diabetic
-
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
95
-
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
-
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
-
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
-
Kehamilan dengan DM/ DM Gestasional yangtidak terkendali dengan
perencanaan makanan.
-
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
-
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 4 jenis (Toni dan Suharto,
2005):
a.
Insulin kerja cepat (Rapid acting insulin)
b.
Insulin kerja pendek (Short acting insulin)
c.
Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
d.
Insulin kerja panjang (Long acting insulin)
2) Agonis Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1)
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan diabetes. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea (Blonde, 2009).
Mekanisme kerja agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.
96
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain sebah dan
muntah (Perkeni, 2011).
III. Terapi Kombinasi
Bila dengan gaya hidup sehat dan monoterapi OHO glukosa darah belum
terkendali maka diberikan kombinasi dua OHO. Terapi dengan OHO kombinasi
(secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila sasaran glukosa
darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok
yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan (Perkeni, 2011).
2.2.5 Diabetes Melitus dan Proses Penuaan
Penuaan merupakan proses yang kompleks dan luas. Banyak teori telah
dikemukakan untuk menjelaskan regulasi molekul penuaan dan penyakit kronis,
tapi masih banyak hal yang belum dapat dijelaskan. Dalam proses penuaan terjadi
beberapa peristiwa kerusakan seluler dan molekuler, yang akhirnya menyebabkan
berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit Alzheimer, Parkinson, gangguan
neurodegeneratif seperti, rheumatoid arthritis, aterosklerosis, dan penyakit
kardiovaskular lainnya (CVD), degenerasi makula, dan diabetes (Prasad et al.,
2012).
97
Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini.
Mereka yang mengalami diabetes akan mengalami proses patologi lebih awal,
dimana pada individu non diabetes hal ini terjadi pada usia yang lebih lanjut.
Karena itu, usia harapan hidup individu dengan diabetes lebih pendek
(Pangkahila, 2011).
Sebuah hipotesis yang yang populer saat ini adalah hipotesis stres
oksidatif, yang terjadi melalui mekanisme tunggal produksi superoksida, yang
merupakan faktor patogenesis umum yang menyebabkan resistensi insulin,
disfungsi sel beta pankreas, gangguan toleransi glukosa, dan akhirnya mengarah
ke diabetes tipe 2. Lebih jauh lagi, mekanisme ini juga terlibat dalam penyebab
komplikasi diabetes tipe 2, baik komplikasi mikro maupun makrovaskular
(Wright et al., 2006).
Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa penderita diabetes tipe 2
mengalami stress oksidatif kronis. Hal ini telah terlihat dari beberapa macam
metode yang digunakan, meliputi high-performance liquid chromatography, gas
chromatography/mass spectrometry, dan immunostaining biopsi pankreas. Prooksidan
dan
penanda
kerusakan
oksidatif
jaringan,
seperti
8-hydroxy-
deoxyguanine, 4-hydroxy-2-nonenal (HNE) proteins, 8-epi-prostaglandin F2α,
hidroperoksida, dan oksidasi basa DNA telah dilaporkan meningkat pada serum,
plasma, sel darah merah, dan biopsi pankreas pada penderita diabetes tipe 2.
Dibandingkan dengan kontrol non-diabetes, penanda-penanda tersebut meningkat
lima kali lipat diatas normal (Robertson et al., 2004).
98
Oleh karena itu terapi yang ditujukan untuk mengurangi stres oksidatif
akan menguntungkan bagi penderita dengan diabetes tipe 2 dan bagi mereka yang
berisiko tinggi terhadap diabetes tipe 2 (Wright et al., 2006).
2.3 Streptozotocin
2.3.1 Definisi
Streptozotocin (STZ) merupakan antibiotik yang berasal dari Streptomyces
achromogenes dan secara struktur merupakan derivat glukosamin dari
nitrosourea. STZ menyebabkan hiperglikemia terutama oleh efek sitotoksik
langsung terhadap sel beta pankreas (Srinivasan dan Ramarao, 2007).
Gambar 2.3
Struktur Kimia Streptozotocin (Szkudelski, 2001)
Aksi STZ pada sel beta ditunjukkan oleh perubahan karakteristik dalam
insulin dan konsentrasi glukosa darah. Hiperglikemia terjadi dalam dua jam
setelah injeksi, bersamaan dengan penurunan insulin darah. Enam jam kemudian,
terjadi hipoglikemia dengan kadar insulin darah yang tinggi. Segera setelah itu,
terjadi hiperglikemia dan penurunan level insulin darah. Perubahan pada level
glukosa darah dan insulin tersebut menunjukkan adanya abnormalitas fungsi sel
beta pankreas. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam 6 jam stelah
99
injeksi, STZ menyebabkan kerusakan sel beta pankreas yang menggambarkan
pengembangan penyakit diabetes melitus (Szkudelski, 2001).
2.3.2 Mekanisme Sitotoksik Streptozotocin Terhadap Pankreas
Transportasi STZ ke dalam sel beta pankreas terjadi melalui glucose
transporter GLUT 2. Paparan STZ pada sel beta pankreas menyebabkan
kerusakan DNA. Beberapa penelitian in vitro menunjukkan bahwa STZ
menyebabkan alkilasi DNA, sehingga terjadi fragmentasi DNA (Szkudelski,
2001).
STZ merupakan donor nitric oxide (NO), dan NO telah diketahui
menyebabkan destruksi pulau Langerhans pankreas, sehingga dikemukakan
bahwa molekul ini berkontribusi terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh
STZ. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO bukan satu-satunya
molekul yang bertanggung jawab terhadap efek sitotoksik dari STZ. STZ
diketahui dapat menghasilkan ROS, yang juga berkontribusi dalam fragmentasi
DNA dan membangkitkan perubahan merugikan lainnya di dalam sel.
Pembentukan anion superoksida terjadi karena aksi STZ di dalam mitokondira
(Szkudelski, 2001).
STZ menghambat siklus krebs dan menurunkan konsumsi oksigen oleh
mitokondria, sehingga membatasi produksi ATP mitokondria dan menyebabkan
penurunan jumlah ATP di dalam sel beta pankreas. Pembatasan produksi ATP
mitokondria ini dimediasi oleh NO (Szkudelski, 2001).
100
Gambar 2.4
Mekanisme sitotoksik dari STZ pada sel beta pankreas. MIT - mitochondria;
XOD - xanthine oxidase (Szkudelski, 2012)
Kerusakan DNA ini mengakibatkan aktivasi suatu mekanisme intrasel
yang bertujuan untuk memperbaiki DNA yaitu oleh enzim poly (ADP-ribose)
polymerase-1 (PARP-1). Enzim ini mengkatalisa sintesa poly (ADP-ribose) dari
NAD+ sehingga produksi intraseluler poly (ADP-ribose) meningkat. Kerusakan
DNA karena STZ ini akan menginduksi overstimulasi PARP-1 pada sel beta
pankreas (Szkudelski, 2012).
Pada kondisi kerusakan DNA yang ringan, aktivasi PARP-1 bersifat
menguntungkan. Tetapi, kerusakan DNA intensif yang diinduksi STZ
menyebabkan hiperaktivitas PARP-1 yang merugikan sel, karena terjadi
101
penurunan NAD+. NAD+ adalah molekul penting yang terkait dalam
metabolisme energi pada tingkat sel. Penurunan NAD+ yang berat menyebabkan
penurunan ATP lebih lanjut. Penurunan ATP ini tidak hanya ditimbulkan karena
menurunnya NAD+, melainkan juga karena adanya disfungsi mitokondria
(Szkudelski, 2012).
Paparan STZ dalam jangka pendek mengurangi aktivitas aconitase
mitokondria sel islet, menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, dan
menurunkan potensial membrane mitokondria (Szkudelski, 2012). Secara klinis,
gejala diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan
baik secara intravena maupun intraperitoneal dengan dosis tunggal STZ sebesar
60 mg/kg BB (Abeleeh et al., 2009).
2.4 Ektrak Kulit Pohon Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster)
2.4.1 Definisi
Ekstrak kulit pinus maritim Perancis yang juga dikenal dengan nama
Pycnogenol® merupakan ekstrak terstandardisasi dari batang pinus maritim
Perancis, dari kulit terluar batang pohon Pinus pinaster Aiton Subspesies
atlantica (Rohdewald, 2005). Pohon pinus tersebut dibudidayakan dengan sistem
monokultur secara eksklusif pada suatu area yang sempit di daerah di barat daya
Perancis (Landes de Gascogne). Pohon pinus dengan kulit luar yang tebal dan
berlapis-lapis tersebut akan dipanen setelah dibudidayakan selama lebih dari 30
tahun. Pohon-pohon yang ditebang akan diganti dengan bibit baru dan seluruh
proses regenerasi pohon tetap berjalan secara terus menerus. Proses ini dikontrol
102
oleh pemerintah Perancis dan sebagian besar hutan tersebut merupakan Taman
Nasional (Oliff, 2010).
Kulit batang pinus yang baru diambil ditaburi dan diekstraksi dengan
etanol dan air dengan peralatan yang dipatenkan sehingga memungkinkan
terjadinya proses yang berlangsung terus menerus secara otomatis. Setelah
pemurnian dari ekstrak mentah, dilakukan proses pengeringan dengan cara
disemprot. Dari proses tersebut akan menghasilkan bubuk berwarna kecoklatan
yang stabil pada kondisi lingkungan yang gelap dan kering. Ekstrak ini
distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5% procyanidins, dimana terdiri dari
catechin dan epicatechin yang terkondensasi (Oliff, 2010).
2.4.2 Struktur Molekul, Absorpsi dan Metabolisme
Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mengandung proanthocyanidins
terkondensasi yang terutama terdiri dari procyanidins dan asam fenolat. Ekstrak
kulit pinus maritim Perancis ini distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5%
procyanidins.
Procyanidins
Proanthocyanidins
terkondensasi
yang
mewakili
sub-kategori
merupakan
nama
famili
berbeda,
yaitu
procyanidins,
propelargonidins (Oliff, 2010).
103
untuk
proanthocyanidins.
spesies
flavan-3-ols
prodelphinidins
dan
Gambar 2.5
Struktur Dasar Proanthocyanidins (Rohdewald, 2005)
Komposisi utama dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis adalah
senyawa fenolik, yang secara luas dibagi menjadi monomer (Catechin,
epicatechin,
dan
taxifolin)
dan
flavonoid
yang
terkondensasi
(yang
diklasifikasikan sebagai procyanidins/proanthocyanidins). Proanthocyanidins
sendiri merupakan biopolimer yang terdiri dari unit procyanidins catechin dan
epicatechin, dengan panjang rantai mulai 2-12 unit monomer (Oliff, 2010).
Proanthocyanidins memiliki sifat pemakan radikal bebas yang poten dan
dapat juga ditemukan di dalam biji anggur, kulit anggur, bilberry, cranberry,
kismis hitam, teh hijau, teh hitam, blueberry, blackberry, strawberry, black
cherry, anggur merah, dan kubis merah. Proanthocyanidins larut dalam air dan
lemak, sehingga mampu melewati sawar darah otak untuk memberikan
104
perlindungan antioksidan pada sistem saraf pusat, dan beredar dalam aliran darah
selama 72 jam (D'Andrea, 2010).
Gambar 2.6
Komponen ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster) (Grimm et al., 2006b)
Selain itu ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mengandung
komponen minor yaitu asam fenolik. Asam fenolik dalam ekstrak kulit pinus
merupakan turunan dari asam benzoat (p-hidroksibenzoat, protocatechic acid,
asam galat, asam vanilat) atau asam sinamat (caffeic acid, asam ferulat, p-cumaric
acid). Asam fenolik yang ditemukan dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida
atau glukosa ester (Oliff, 2010).
105
2.4.3 Profil Farmakologis
Aktivitas Antioksidan
Beberapa studi in vitro telah menunjukkan aktivitas antoksidan yang poten
dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis, antara lain: (1) Ekstrak kulit pinus
maritim Perancis dapat memusnahkan baik radikal bebas hidroksil maupun anion
superoksida, (2) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mampu melindungi vitamin
C bahkan mampu mendaur ulang vitamin C lebih efektif dari pada flavonoid
lainnya, sehingga memperpanjang hidup dan meningkatkan fungsi antioksidan
dari vitamin C, (3) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat meningkatkan
aktivitas sistem antioksidan internal lainnya, yaitu superoksid dismutase, glutation
peroksidase, dan katalase (Oliff, 2010).
Lipid, protein dan DNA merupakan target dari kerusakan oksidatif.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim Perancis
dapat mencegah kerusakan oksidatif terhadap lipid, protein, dan kerusakan
plasmid DNA. Setiap komponen ekstrak kulit pinus maritim Perancis dan
metabolitnya juga memiliki aktivitas antioksidan (Oliff, 2010).
Dua metabolit aktif ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster), yaitu delta-(3,4dihydroxyphenyl)-gamma-valerolactone
(M1)
dan
delta-(3-methoxy-4-
hydroxyphenyl)-gamma-valerolactone (M2), secara aktif menghambat aktivitas
MMP-1, MMP-2, dan MMP-9 (Grimm et al., 2004). Komponen flavonoid dari
ekstrak kulit pinus maritim Perancis, yang terdiri dari satu atau lebih cincin
aromatik, dapat dengan segera bergabung dengan radikal bebas membentuk
resonansi-stabil radikal phenoxyl. Lebih jauh lagi ekstrak kulit pinus maritim
106
Perancis juga diketahui menghambat aktivitas berbagai enzim, seperti
cyclooxygenase, protein kinase C, NADH oxidase, lipoxygenase, horseradish
peroxidase, xanthin oxidase, dan nitric oxide synthase (iNOS), yang terlibat
dalam pembentukan ROS. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mampu
meregenerasi radikal ascorbyl dan melindungi vitamin E endogen dan glutation
dari stres oksidatif (Maritim et al., 2003).
Aktivitas Anti Inflamasi
Senyawa oksigen reaktif tidak hanya menyebabkan cedera sel secara
langsung dan memulai proses degeneratif, tapi juga dapat berperan sebagai sinyal
untuk proses lainnya, seperti jalur pro-inflamasi yang melibatkan aktivasi nuclearfactor-kappaB (NF-κB). Ekstrak kulit pinus maritim Perancis secara in vitro
menghambat aktivasi
NF-κB di makrofag,
yang pada konsekuensinya
menghambat ekspresi sitokin pro-inflamasi IL-1 (Cho et al., 2000). Ekspresi adesi
molekul oleh sel endotel juga dibawah kendali NF-κB. Adesi molekul terlibat
dalam perekrutan leukosit ke situs inflamasi, hal ini juga berkontribusi terhadap
terjadinya gangguan pembuluh darah (Oliff, 2010).
Senyawa oksigen reaktif berkaitan dengan kondisi pro-inflamasi melalui
stimulai dari matrix metalloproteinase (MMP). MMP merupakan famili dari
enzim yang
menyebabkan hancurnya protein jaringan penghubung. MMP-1
(collagenase 1) dan MMP-9 (gelatinase B) meningkat pada arthritis, dan kedua
enzim ini berkontribusi terhadap degradasi kartilago pada penyakit rematik.
MMP-1 juga berkontribusi pada proses penuaan kulit akibat sinar ultraviolet,
107
sedangkan MMP-9 berperan dalam penyakit asma. Pada fibrosis paru, MMP-2
(gelatinase A) juga terlibat. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki efek
penghambatan terhadap aktivitas MMP-1, MMP-9 dan MMP-2. Pada kultur sel,
ekstrak kulit pinus maritim Perancis menghambat ekspresi sitokin proinflamasi
IL-1 (Cho et al., 2000; Grimm et al., 2006a).
Pada proses inflamasi, ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS)
menyebabkan produksi nitric oxide (NO), dan ekstrak kulit pinus maritim
Perancis menunjukkan efek penghambatan proses ini. Penelitian secara in vitro
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis terhadap
makrofag yang distimulasi dapat menurunkan NO seluler melalui pemusnahan
ROS dan NO, penghambatan iNOS, dan penghambatan ekspresi iNOS-mRNA
melalui penghambatan aktivasi NF-κB. Berdasarkan penelitian tersebut,
pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama periode inflamasi diduga
dapat bermanfaat (Oliff, 2010).
2.4.4 Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster) dan Diabetes
Pada sebuah studi eksperimental yang dilakukan Maritim dkk (2003)
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis pada tikus
diabetes menurunkan konsentrasi glukosa darah secara signifikan.
Kemampuan antidiabetes lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis
secara klinis ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. Penelitian
double blind, acak, dengan kontrol plasebo ini melibatkan 77 orang penderita
diabetes tipe 2 untuk meneliti potensi antidiabetik dari ekstrak kulit pinus maritim
108
Perancis (100 mg). Suplementasi ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama 12
minggu dengan tetap melanjutkan terapi standar antidiabetik menunjukkan
penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c secara signifikan dibandingkan
dengan placebo. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga meningkatkan fungsi
endotel, sebagaimana dibuktikan oleh adanya penurunan endothelin-1 secara
signifikan (Liu et al., 2004a).
Aktivitas antihiperglikemik ekstrak kulit pinus maritim Perancis yaitu
melalui peningkatan uptake glukosa di jaringan perifer dan dengan peningkatan
simpanan glikogen di hati (Parveen et al., 2013). Ekstrak kulit pinus maritim
Perancis efektif menghambat penyerapan glukosa melalui penghambatan enzim αglukosidase dalam saluran pencernaan, sehingga menurunkan hiperglikemia post
prandial (El-Abhar et al., 2014). α-glukosidase merupakan suatu enzim yang
terdapat di sepanjang usus yang menghidrolisa residu glukosa dan melepaskan αD glucose. Inhibisi dari enzim α-glukosidase akan mengurangi penyerapan
glukosa dan menurunkan glukosa darah prost prandial (Schäfer et Höger, 2007).
Dosis optimal ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam menurunkan glukosa
darah baik puasa maupun post prandial pada manusia adalah sebesar 200 mg/hari
(Liu et al., 2004b).
Penurunan glukosa darah post prandial akan menyebabkan penurunan
insulin post prandial. Berdasarkan studi ternyata kemampuan ekstrak kulit pinus
maritim Perancis 190 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penghambatan enzim
α-glukosidase oleh acarbose, serta empat kali lebih tinggi dibandingkan
penghambatan enzim α-glukosidase oleh teh hijau (Schäfer et Höger, 2007).
109
Efek penghambatan α-glukosidase ini tampaknya berhubungan dengan
ukuran molekul procyanidin yang terdapat di dalam ekstrak kulit pinus maritim
Perancis. Dalam sebuah studi farmakologi, molekul ini bertahan sangat lama di
dalam saluran pencernaan sebelum diabsorbsi ke dalam aliran darah, pada
umumnya selama 4-6 jam setelah konsumsi. Dengan demikian, pemberian ekstrak
kulit pinus maritim Perancis di pagi hari akan tetap memiliki potensi yang cukup
untuk menghambat absorbsi glukosa pada saat makan siang (Grimm et al.,
2006b).
Hati terutama bertanggung jawab untuk menjaga konsentrasi glukosa
darah normal melalui kemampuannya untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen
dan kemampuannya untuk memecah glikogen menjadi glukosa atau dari prekursor
gluconeogenic. Pada kondisi diabetes, fungsi tersebut terganggu. Pemberian
ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat memperbaiki fungsi hati tersebut. Hal
ini ditunjukkan dengan peningkatan kandungan glikogen hati pada kelompok
tikus diabetes yang diberi ekstrak kulit pinus maritim Perancis dibandingkan
dengan kelompok tikus diabetes kontrol. Lebih jauh lagi, pada pemeriksaan
histopatologi hati kelompok tikus diabetes menunjukkan vakuolisasi hepatosit
dengan variasi nukleus dan pelebaran ruang sinusoid. Perubahan degeneratif ini
berkurang dengan pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis (Parveen et al.,
2010).
110
2.4.5 Mekanisme Kerja Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus
pinaster) dalam Melindungi Sel beta Pankreas dan Meregulasi Glukosa
Darah
Ekstrak kulit pinus maritim Perancis telah diketahui memiliki aktivitas
sebagai agen antidiabetik, yang dapat mempengaruhi metabolisme glukosa yang
dihubungkan dengan kejadian diabetes melitus. Namun bagaimana mekanisme
ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam memberikan proteksi terhadap
diabetes melitus dan komplikasinya masih belum sepenuhnya diketahui (Parveen
et al., 2013).
Selain efek antioksidannya, ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki
aktivitas penghambatan ekspresi nitric oxide synthase, suatu enzim yang
memproduksi NO. NO diketahui merupakan molekul efektor yang menyebabkan
kerusakan dan disfungsi sel beta pankreas. STZ, suatu agen diabetogenik, juga
mengandung komponen NO. Sehingga pemberian ekstrak kulit pinus maritim
Perancis memberikan efek perlindungan terhadap sel beta pankreas dari efek
destruksi NO (Keklikoglu et al., 2013; Parveen et al., 2013).
Lebih jauh lagi, stress oksidatif akibat hiperglikemia dihubungkan dengan
aktivasi dari NF-κB. NF-κB juga terlibat dalam regulasi dari COX-2 dan ekspresi
iNOS, yang juga memainkan peran dalam stress oksidatif akibat hiperglikemia.
Pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat menghambat aktivasi NFκB, sehingga dapat mengatasi kerusakan oksidatif pada pankreas akibat
hiperglikemia (Grimm et al., 2006a).
111
Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga diketahui dapat menstimulai
ekspresi glucose transoprter 4 (GLUT 4), sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di sel adiposit. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim
Perancis dapat bermanfaat dalam mengontrol glukosa darah (Lee et al, 2010).
Kemungkinan mekanisme lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis
sebagai agen antidiabetik adalah melalui setiap komponen aktifnya yang memiliki
mekanisme yang berbeda-beda. Komponen oligomeric procyanidins dari ekstrak
kulit pinus maritim Perancis memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim αglukosidase di usus, komponen monomeric epicatechin memiliki efek proteksi
terhadap sel beta pankreas dan dilaporkan dapat merangsang sekresi insulin serta
memiliki aktivitas seperti insulin, sedangkan komponen catechin dari ekstrak kulit
pinus maritim Perancis memiliki efek penghambatan absorbsi glukosa di usus
(Shimizu et al., 2000; Kim et al., 2003; Schäfer et Höger, 2007).
112
Download