AHLAN RAMADHAN Oleh : Amrullah Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan keputusan hasil sidang isbat ramadhan 2014 di Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng Barat Jakarta tanggal 27 Juni 2014 telah memutuskan dan menetapkan bahwa tanggal 1 Ramadhan 1435 Hijriyah jatuh pada hari ahad tanggal 29 Juni 2014. Dengan telah tersosialisasinya keputusan tersebut, masyarakat muslim yang berada diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat mengimplementasikan rukun Islam ketiga tersebut, yakni melaksanakan ibadah puasa atau shaum ramadhandalam suasana penuh suka cita. Definisi Puasa Ramadhan Kata puasa setara dengan kata shaum, secara etimologi berarti menahan diri dari sesuatu, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Penggunaan lafal ash shaum dalam pengertian etimologi ini dijumpai dalam Al Qur’an surat Maryam ayat 26 “ Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah : “ Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini “ (QS. 19 : 26) 1 Para Fukaha sepakat mendefinisikan puasa dengan “ Menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan yang dilakukan oleh orang mukallaf pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari “. Yang dimaksud dengan kalimat “ Menahan diri dari yang membatalkan “ adalah dari segala bentuk kebutuhan biologis dan hawa nafsu Sedangkan makna puasa menurut syar’i adalah menahan dan mencegah diri secara sadar dari makan, minum, jimak dan hal hal semisalnya selama sehari penuh, yakni dari kemunculan fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT Ahli bahasa Arab Ibnu Mandhur (630 – 711 H) menjelaskan bahwa ramadhan berasal dari kata ramadh yang artinya panas batu akibat sengatan sinar matahari. Ada juga yang mengatakan, ramadhan diambil dari akar kata ramidha yang berarti keringnya mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga Menurut pandangan bahasa diatas, ramadhan tak lain adalah simbol dari sengatan sinar matahari yang bisa “mempengaruhi” dan “memanaskan” batu. Batu, sering pula menjadi simbol Al Qur’an saat menyorot kerasnya hati seorang manusia. Hati yang tidak memiliki spirit hidayah dan kepekaan terhadap orang lain sering diumpamakan sebagai “hati batu”. Tidak punya sense dan kepekaan apa apa, selain kaku dan membisu Sekalipun hati seseorang keras seperti batu, ramadhan sanggup membuatnya panas dan terpengaruh. Seseorang yang berhati kaku dan kurang peka terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya bisa berubah seketika jika ia mau menerima ajaran selama bulan ramadhan. Saat “sang batu” mulai panas memijar, ia tentunya tidak lagi diam membisu, tetapi berubah menjadi daya kekuatan yang hidup dan dinamis. Batu yang beku dan diam, menjadi banyak berguna karena kekuatan panas yang dimilikinya. Sengatan panas bisa menghasilkan gerak dan kekuatan dorong yang luar biasa. Inilah saat sang batu panas itu bisa berfungsi untuk mendidihkan air 2 hingga mendorong benda benda berat seperti lokomotif atau kendara lainnya Demikian perumpamaan bagi hidup yang berkah. Hidup yang asalnya hampa menjadi penuh makna. Ramadhan dapat menggerakan hati kita untuk segera menuai keberkahan hidup melalui ajaran ajaran yang disampaikannya. Ramadhan dengan berbagai ajarannya hendak merubah hati yang lesu menjadi kuat, yang padam menjadi terang, yang bisu menjadi bicara, hati yang keras menjadi mudah meleleh, dan hati yang loyo menjadi segar berbinar. Kekuatan hati yang tersentuh ajaran ramadhan, bukan saja mampu mendorong dirinya , melainkan bisa menjadi daya dan kekuatan bagi orang lain. Keberkahan hati adalah keberkahan seluruh tubuh, perilaku, dan seluruh kehidupan seseorang. Sebab, jika hati baik, semuanya akan mencerminkan yang baik baik. Sebaliknya, apabila hati buruk, maka segala sesuatunya akan menjadi runyam. Mulai dari niat, perbuatan, maupun pikiran menjadi kotor karena komandonya pun kotor Ramadhan hendak mengajarkan keberkahan hidup dengan mendidik hati. Karena hati adalah komando, hati adalah cermin. Ibarat aquarium, hati bisa mencerminkan keindahan atau bahkan keburukan seseorang. Sebagai daya gerak, hati berikutnya akan memproduk sikap baik atau sikap tidak baik. Hidup yang berkah ternyata dimulai dari motivasi dan kekuatan hati dalam meresapi nilai, menghayati pesan, kemudian mewujudkan gerak yang diinginkan sesuai nilai nilai keluhuran akhlak. Menyongsong ramadhan merupakan menyongsong gerak hati dan pikiran. Menyongsong ramadhan adalah menyongsong kesucian hati dengan memberi makanan pada rokhani. Sebagaimana halnya tubuh jasmaniah, hatipun perlu diberi makanan. Tanpa makanan, hati akan selalu lunglai secara ruhaniah. Makanan nurani yang berkualitas akan membuat hati menjadi mulia. Ramadhan menyediakan tiga puluh hari saja dalam mengubah visi, misi dan arah pikiran seseorang. Melalui puasa disiang harinya, shalat tarawih malam harinya, ber iktikaf di sepertiga akhirnya, dan mengeluarkan zakat fitrah serta merayakan idul fitri adalah momentum terbaik untuk mensucikan hati, harta, menumbuhkan kepedulian sosial dan menebarkan 3 harmoni dalam rangka memperoleh derajat taqwa Dasar Hukum Puasa Ramadhan Puasa ramadhan adalah kewajiban yang suci dan ibadah Islam yang bersipat syiar yang besar, juga salah satu rukun Islam yang menjadi pilar agama Islam Pensyariatan puasa memiliki dasar yang kuat dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijmak : Dari Al Qur’an pensyariatan hukum puasa adalah firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 183 – 184 “ Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa “ . “ (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu, maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari hari yang lain. Dan wajib bagi orang orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui “ (QS. 2 : 183 – 184) Dasar hukum puasa dalam Hadits adalah sabda Nabi Muhammad SAW : “ Islam itu dibangun diatas lima fondasi, yaitu bahwa tidah ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji bagi orang orang yang mampu “ (HR. Muslim, Abu Dawud, an Nasai, at Tirmizi, dari Umar Ibn Khattab dan Abdullah Ibn Umar. Hadits ini diriwayatkan pula oleh al Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, an Nasai dan Ahmad Bin Hanbal dari Abu Hurairah) “ Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu, laksanakanlah shalat lima waktu, berpuasalah dibulan ramadhan, dan laksanakanlah haji kerumah Tuhanmu, dan bayarkanlah zakat dari harta hartamu yang baik, maka kamu akan masuk kedalam sorga Tuhanmu “ ( HR. Al Bukhari, Muslim, Ahmad Bin Hanbal) 4 Menurut ulama kontemporer Yusuf Qardhawi, hadits hadits tentang puasa cukup banyak, sehingga kualitasnya mencapai tingkat mutawatir maknawi (hadits mutawatir) Berdasarkan ayat dan hadits diatas, ulama fikih sepakat (ijmak) bahwa puasa ramadhan hukumnya wajib, dan orang orang yang mengingkarinya dihukumkan kafir Menurut sejarahnya, pensyariatan puasa terbagi kedalam dua periode. Periode pertama disebut dengan masa pemilihan, dimana seorang mukallaf yang mampu boleh memilih antara puasa atau tidak, tetapi membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin. Namun berpuasa lebih afdal atau utama sebagaimana tersebut dalam al Qur’an surah Al Baqarah ayat 183 – 184 Periode kedua disebut masa mengikat dan pasti, dimana seorang mukallaf diwajibkan secara mengikat dan pasti untuk berpuasa selama bulan ramadhan, sehingga hukum yang tadinya boleh memilih antara berpuasa atau tidak dengan syarat membayar fidyah, dibatalkan. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 185 “ ....... Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa dibulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari hari yang ditinggalkannya itu pada hari hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur “ (QS. 2 : 185) Sejarah Puasa Ramadhan Menurut beberapa riwayat, Rasulullah beserta para sahabat dan kaum muslimin telah terbiasa melaksanakan puasa setiap tanggal 13, 14 dan 15 bulan bulan qamariyah. Selain itu Nabi SAW juga terbiasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram (hari asyura) dan beliau memerintahkan kaum muslimin berpuasa pada hari tersebut. Selain sebagai puasanya umat Yahudi, hari 5 asyura juga menjadi hari berpuasa bagi suku Quraisy pada zaman jahiliyah, sebagaimana riwayat yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, saat Rasulullah baru saja tiba di Yatsrib (Madinah) dalam rangka hijrah, beliau dapati orang orang Yahudi dikota itu berpuasa Asyura, sehingga beliau bertanya kepada mereka : “Ada apa dengan puasa saudara saudara ini ?”. Jawab mereka : “ Ini adalah hari yang baik bagi kami, karena pada hari inilah dulu, Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh musuh mereka ; maka pada hari ini pula Musa berpuasa “. Kemudian sahut Rasulullah : “Sebenarnya aku lebih berhak daripada saudara saudara untuk mengikuti syariat Musa itu”. Maka pada hari Asyura itu beliau berpuasa dan para sahabat serta kaum muslimin beliau suruh berpuasa juga pada hari itu. Menurut sebuah hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu Umar) berpuasa pula, sehingga akhirnya puasa pada hari itu beliau tinggalkan setelah datang perintah puasa ramadhan Menurut riwayat Imam Ahmad bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura mungkin untuk menyertai puasa orang orang Quraisy pada masa jahiliyah yang berpuasa pada hari itu. Seperti halnya ibadah haji bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura, mungkin karena mendapat izin Allah, mengingat puasa merupakan amal kebajikan. Atau mungkin pula orang orang Quraisy berpuasa pada hari Asyura itu karena mengikuti syariat orang orang (umat) terdahulu Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura menurut Bukhari, Muslim dan Ahmad adalah sesudah beliau tiba di Yatsrib (Madinah). Perintah itu beliau sampaikan pada tahun pertama tinggal di kota itu. Beliau tiba di kota itu pada bulan Rabi’ul Awwal, sedang perintah itu disampaikan pada awal tahun kedua. Kemudian pada bulan ramadhan tahun kedua setelah hijrah, turunlah wahyu (Al Baqarah 183) yang berisi perintah puasa ramadhan atau disebut juga ayat shiyam. Jadi, hanya satu kali saja perintah puasa Asyura beliau laksanakan sebagai puasa wajib Pada permulaan turun ayat shiyam atau awal pelaksanaan perintah puasa ramadhan, kaum muslimin pada waktu itu menghadapi kesukaran dalam pelaksanaannya. Sebab, setelah berbuka puasa selama beberapa 6 saat, mereka tidak diperbolehkan makan, minum, dan bercampur dengan isteri / suami hingga terbenamnya matahari pada esok harinya. Dengan kata lain, waktu berbuka bagi mereka sedemikian sempit, yakni sejak terbenam matahari sampai kira kira tibanya waktu isya. Sempitnya waktu berbuka itu mereka rasakan berat. Maka sehubungan dengan hal mereka itu, turunlah wahyu surah Al Baqarah ayat 187 : “ Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri isteri kamu ; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, dedang kamu ber ’itikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa “ (QS. 2 : 187) Turunnya ayat shaum pada tahun kedua hijriyah itu merupakan kebijaksanaan Allah, sehingga walaupun turun ditengah tengah basis Yahudi dan menimbulkan reaksi mereka, tetapi Rasulullah merasa berkewajiban untuk menunjukan ketegasan Islam yang membawa syariat baru, khususnya tentang puasa, selain tentang kiblat (perpindahan arah kiblat) dan shalat. Beliau datang dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk mengalahkan terhadap agama agama seluruhnya, walaupun orang orang musyrik membencinya (Ash Shaf 9) Rasulullah tidak peduli terputus hubungan dengan mereka, demi tegaknya syariat baru itu ditengah tengah kondisi masyarakat Quraisy di Makkah, Yahudi di Medinah dan Nasrani di Najran. Dengan beliau sebarluaskan perintah puasa ramadhan, beliau bertekad untuk menunjukan bagaimana merasakan lapar dan dahaga, mengekang nafsu untuk berhubungan sex dan nafsu nafsu buruk lainnya Turunnya perintah puasa ramadhan erat hubungannya dengan kondisi moral dan sosial masyarakat waktu itu, terutama untuk memantapkan latihan jasmani dan rokhani, kemauan dan kegiatan latihan menahan lapar dan 7 dahaga pada siang hari. Dengan demikian, timbul semangat jihad (berjuang dan berkorban) untuk membela dan membebaskan mereka yang lapar dan sengsara. Hal itu beliau gunakan sebagai persiapan jiwa dan raga dalam saat siap perang yang diperlukan untuk membela kemuliaan Islam. Hal itu ditambah dengan anjuran memperbanyak shalat malam, menyusun barisan (saf), dipimpin dan memimpin diri sendiri, mengikrarkan janji bahwa shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Pada malam hari juga latihan mengurangi tidur, meningkatkan kewaspadaan , berjaga jaga dari kemungkinan bahaya yang setiap saat mengancam, dan melatih banyak membaca al Qur’an, terutama ayat ayat jihad guna memenangkan perjuangan. Turunnya perintah puasa ramadhan pada saat yang demikian mengandung rahasia yang sangat dalam, untuk melatih sabar menderita ditengah tengah kehidupan yang mewah dan ditengah tengah gejolak nafsu nafsu serakah dan ananiyah. Turunnya ayat shiyam juga untuk kepentingan jihad dan peperangan, untuk membela kemerdekaan beragama dan beribadat, mencanangkan dakwah Islam, menunjukan kepada orang orang bahwa lapar dan dahaga, kelemahan dan kemiskinan yang disengaja tersebut sama sekali tidak mengurangi semangat berkorban, bekerja dan berjuang, bahkan sebaliknya akan mampu menyalakan api semangat berjuang yang menyala nyala, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, mendekatkan pengabulan do’a, tumbuhnya timbang rasa dan tebalnya takwa kepada Allah Ketika ayat shiyam turun, Rasulullah tidak terkejut, berkecil hati atau ragu ragu untuk menyampaikannya, sebagai perintah yang tegas dari Allah, walaupun orang orang Yahudi waktu itu merasa sempit dada dan sesak napas terhadap risalah yang dicanangkan oleh Rasulullah itu. Maka mulailah beliau dan para sahabat melakukan puasa ramadhan, yakni bulan kesembilan menurut perhitungan tahun qamariyah. Rasulullah selama hayatnya sempat berpuasa ramadhan sebanyak sembilan kali, delapan kali yang berumur 29 hari, dan satu kali yang berumur 30 hari. Sebagaimana sabda beliau bahwa bulan itu kadang kadang 30 hari, dan kadang kadang 29 8 hari. Hal ini juga tersirat dalam firman pada surah al Baqarah ayat 185. Wallahu ‘alam (Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan Tengah) 9