BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan (Fatmah, 2010). Menurut Departemen Kesehatan RI (2010) dalam Sony (2011), menua merupakan proses alami yang dihadapi oleh setiap individu dengan adanya perubahan kondisi fisik, psikologis dan sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terserang berbagai macam penyakit. Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo, 2010). Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun 2. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun 3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya memengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan. Universitas Sumatera Utara 11 2.1.1 Perubahan-perubahan Fisiologis pada Lanjut Usia Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia dan pengaruhnya yaitu: 1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa umumnya membuat lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal ini sering menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu seperti kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan lansia. 2. Berkurangnya sekresi pada saliva dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi. 3. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien. 4. Menurunnya sekresi garam empedu menggangu proses penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K. 5. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang waktu singgah (transit time) dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi. 6. Menurunnya sekresi HCl. HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis, defisiensi zat besi yang menyebabkan anemia sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik. Universitas Sumatera Utara 12 2.1.2 Kebutuhan Gizi Lanjut Usia 1. Angka Kebutuhan Zat Gizi pada Lanjut Usia Pertambahan usia akan menimbulkan beberapa perubahan, baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini akan memengaruhi kondisi seseorang dari aspek psikologis, fisiologis dan sosioekonomi. Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), Angka Kecukupan Gizi (AKG) setiap individu akan berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing pada umumnya dihitung berdasarkan kebutuhan kalori atau energi. Hal ini tergantung pada kondisi kesehatan, berat badan aktual, gizi untuk lansia pria dan wanita sedikit berbeda karena adanya perbedaan dalam ukuran dan komposisi tubuh. Berikut ini adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia: a. Energi Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012, secara umum kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia pada laki-laki adalah 2325 kalori dan pada wanita adalah 1900 kalori. Kebutuhan energi pada lansia menurun sehubungan dengan penurunan metabolisme basal (sel-sel banyak inaktif) dan kegiatan fisik cenderung menurun. b. Karbohidrat Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat kompleks karena mengandung vitamin, mineral, dan serat daripada mengonsumsi karbohidrat murni seperti gula. Lansia sebaiknya mengoonsumsi 60-65% karbohidrat sebagai kebutuhan energi. Universitas Sumatera Utara 13 c. Protein Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 0,8 gram/kg BB atau 15-25 % dari kebutuhan energi. Untuk lansia dianjurkan memenuhi kebutuhan protein terutama dari protein nabati dan protein hewani dengan perbandingan 2:1. Jumlah protein yang diperlukan untuk laki-laki lansia adalah 65 gram/hari dan wanita 57 gram/hari yang terdiri 15% protein ikan, 10% protein hewani lain dan 75% protein nabati. d. Lemak Kebutuhan lemak untuk lansia lebih sedikit karena akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, pada lansia dianjurkan konsumsi lemak jangan lebih dari 15 % kebutuhan energi. Lansia juga sebaiknya mengonsumsi lemak nabati daripada lemak hewani untuk mencegah penumpukan lemak tubuh. e. Vitamin Lansia dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan kaya vitamin A, D, dan E untuk mencegah penyakit degeneratif (sebagai antioksidan). Selain itu konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin B12, asam folat, vitamin B1 dan vitamin C juga dianjurkan untuk mencegah risiko penyakit jantung. f. Mineral Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber besi (Fe), zinc (Zn), selenium (Se), dan kalsium (Ca) untuk mencegah anemia dan osteoporosis, serta meningkatkan daya tahan tubuh. Universitas Sumatera Utara 14 Lansia juga dianjurkan untuk meningkatkan asupan zat gizi mikro lainnya seperti fosfor (P), kalium (K), natrium (Na), dan magnesium (Mg) untuk metabolisme dalam tubuh. g. Air dan Serat Air sangat penting untuk melancarkan proses metabolisme tubuh dan mengeluarkan sisa pembakaran energi dalam tubuh. Oleh karena itu dianjurkan untuk minum air putih minimal 8 gelas per hari. Serat juga dianjurkan untuk lansia agar buang air besar menjadi lancar, mencegah penyerapan kolesterol dan menghindari penumpukan kolesterol dalam tubuh. 2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lanjut Usia Rincian faktor yang memengaruhi kebutuhan dan kecukupan zat gizi lansia dijelaskan berikut ini (Fatmah, 2010): a. Usia Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari radikal bebas. b. Jenis Kelamin Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak memerlukan kalori, protein, dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan tingkat aktivitas fisik. Universitas Sumatera Utara 15 c. Faktor Lingkungan Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia. d. Penurunan Aktivitas Fisik Semakin bertambahnya usia seseorang, maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus diimbangi dengan penurunan asupan kalori untuk mencapai keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas. e. Kemunduran Biologis Memasuki usia senja, seseorang akan mengalami beberapa perubahan, baik secara fisik maupun biologis. Hal ini akan memengaruhi proses pencernaan, penyerapan dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Oleh karena itu, asupan gizi untuk lansia harus disesuaikan dengan perubahan kemampuan organ-organ tubuh lansia sehingga dapat mencapai kecukupan gizi lansia yang optimal. f. Penyakit Usia lanjut merupakan usia saat risiko terkena penyakit degeneratif paling besar selama daur kehidupan. Jika seorang lansia memiliki penyakit degeneratif, maka asupan gizinya sangat penting untuk diperhatikan, serta disesuaikan dengan ketersediaan dan kebutuhan zat gizi pada lansia. Universitas Sumatera Utara 16 2.2 Hipertensi pada Lanjut Usia Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah melebihi normal yaitu tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (WHO/ISH, 2012). Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Suoth, et al., 2014). Lanjut usia membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) adalah suatu faktor risiko kardiovaskuler penting pada lansia, dua faktor yang bisa meramalkan terjadinya hipertensi sistolik adalah kekakuan arteri dan pantulan gelombang carotid secara dini. Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) jelas berhubungan dengan kejadian stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, ukuran jantung, gagal ginjal dan pengecilan ukuran ginjal. Tekanan darah sistolik >160 mmHg menyebabkan kematian 2 kali lipat akibat berbagai penyebab, kematian akibat kardiovaskuler 3 kali lipat pada wanita dan meningkatkan morbiditas kardiovaskuler 2,5 kali lipat pada kedua jenis kelamin. Bahkan HST stadium I dengan tekanan sistolik 140159 mmHg dan tekanan diastolik <90 mmHg menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan. Universitas Sumatera Utara 17 2.2.1 Epidemiologi Hipertensi Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia (Ardiansyah, 2012). Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen dengan tertinggi di Bangka Belitung (30,9%). Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,115 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Ardiansyah, 2012). Di negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90 mmHg) hanya terdapat 20% pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut diakibatkan juga oleh karena banyak dokter tidak mengobati hipertensi usia lanjut sampai optimal (kurang dari 140/90). Pada usia lanjut, prevalensi gagal jantung dan stroke tinggi, yang keduanya merupakan akibat dari hipertensi. Oleh karena itu pengobatan hipertensi penting sekali dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Suhardjono, 2006). Telah diperhitungkan bahwa seorang pria berusia 55 tahun dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vascular dalam 10 tahun mendatang sekitar 14%. Baik pria maupun wanita hidup lebih lama dan 50% dari mereka yang berusia di atas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi Universitas Sumatera Utara 18 (TDS 160 mmHg dan diatolik 90 mmHg). Dengan menurunkan tekanan darah telah terbukti mengurangi insiden gagal jantung, mengurangi demensia, dan dapat membantu mempertahankan fungsi kognitif lansia. 2.2.2 Klasifikasi Hipertensi 1. Hipertensi Essensial/Primer Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Jenis hipertensi ini tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar ± 90% dari seluruh kejadian hipertensi. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006). Penyebab utama hipertensi yaitu gaya hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi penuh tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol atau kopi sehingga berisiko terkena hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang salah dan yang ketiga adalah berat badan berlebih. 2. Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014). Universitas Sumatera Utara 19 2.2.3 Gejala Klinis Hipertensi Hipertensi adalah penyakit yang biasanya tanpa gejala. Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Namun demikian, secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013). 2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi 1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah a) Umur Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang maka semakin besar risiko terserang hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya seiring bertambahnya umur. Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Umumnya seseorang yang berisiko menderita hipertensi adalah usia diatas 45 tahun dan serangan darah tinggi baru muncul sekitar usia 40 walaupun dapat terjadi pada usia muda (Kumar, 2005). Universitas Sumatera Utara 20 Bertambahnya umur maka risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. b) Jenis Kelamin Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda, tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon estrogen setelah menopause. Peran hormon estrogen adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormon estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen sesuai dengan umur wanita secara alami. c) Keturunan (Genetik) Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium Universitas Sumatera Utara 21 terhadap sodium individu dengan orang tua yang menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade, 2003). Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi. Menurut Rohaendi (2008), tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%. 2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah a) Merokok Merokok dapat menurunkan kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah. Jika kadar HDL turun maka jumlah kolesterol dalam darah yang akan diekskresikan melalui hati juga akan berkurang. Hal ini dapat mempercepat proses arteriosklerosis penyebab hipertensi (Sustrani, 2004). Rokok akan mengakibatkan vaokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Universitas Sumatera Utara 22 b) Kegemukan Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut Hull (2001) perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal. Peningkatan konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik potensial menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan tekanan darah secara terus menerus (Cortas, 2008). c) Stress Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. d) Latihan Fisik Latihan fisik atau olahraga dapat menjaga tubuh tetap sehat. Penelitian membuktikan bahwa orang yang berolahraga memiliki faktor risiko lebih rendah untuk menderita penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Oleh karena itu, latihan fisik seperti berolahraga antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi (Cortas, 2008). Universitas Sumatera Utara 23 e) Faktor Tingkat Konsumsi Karbohidrat pada Hipertensi Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, bahan pembentuk berbagai senyawa tubuh, bahan pembentuk asam amino esensial, metabolisme normal lemak, menghemat protein, meningkatkan pertumbuhan bakteri usus, mempertahankan gerak usus, meningkatkan konsumsi protein, mineral dan vitamin (Baliwati, et al., 2010). Hiperlipidemia adalah keadaan meningkatnya kadar lipid darah dalam lipoprotein (kolesterol dan trigliserida). Hal ini berkaitan dengan intake lemak dan karbohidrat dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh. Keadaan tersebut akan menimbulkan resiko terjadinya artherosklerosis. Metabolisme karbohidrat menyebabkan terjadinya hiperlipidemia yaitu mulai dari pencernaan karbohidrat di dalam usus halus berubah menjadi monosakarida galaktosa dan fruktosa di dalam hati kemudian dipecah menjadi glikogen dalam hati dan otot. Kemudian glikogen dipecah menjadi glukosa diubah dalam bentuk piruvat dipecah menjadi asetil KoA sehingga akhirnya terbentuk karbondioksida, air dan energi. Bila energi tidak diperlukan, asetil KoA tidak memasuki siklus TCA tetapi digunakan untuk membentuk asam lemak, melakukan esterifikasi dengan gliserol (diproduksi dalam glikolisis) dan menghasilkan trigliserida. Pembuluh darah koroner yang menderita artherosklerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami penyempitan sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik, yang nantinya akan memicu terjadinya hipertensi (Hull, 2001). Universitas Sumatera Utara 24 f) Faktor Tingkat Konsumsi Protein pada Hipertensi Protein berperan penting dalam pembentukan struktur, fungsi, regulasi selsel makhluk hidup dan virus. Protein juga bekerja sebagai neurotransmiter dan pembawa oksigen dalam darah (hemoglobin) dan berguna sebagai sumber energi tubuh. Dalam kondisi normal, protein dibutuhkan oleh tubuh sekitar 0,8-1 gr/kgBB/hari dengan perbandingan protein nabati dan hewani yaitu 3:1. Pada dua studi observasional yaitu INTERMAP dan The Chicago Western Electric Study telah membuktikan adanya hubungan sumber protein nabati dengan penurunan tekanan darah, sedangkan sumber protein hewani tidak berpengaruh terhadap tekanan darah. Para peneliti dari Boston University memberikan alasan yang berbeda mengapa perlu mengonsumsi diet tinggi protein untuk menurunkan risiko hipertensi jangka panjang. Mereka yang mengonsumsi rata-rata 100g protein sehari mengalami penurunan sebesar 40% terhadap risiko hipertensi dibandingkan dengan mereka yang memiliki asupan paling rendah untuk protein dalam diet. Penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Hypertension, menemukan bahwa orang dengan asupan tinggi protein, terlepas dari protein hewani atau nabati, secara signifikan memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik lebih rendah setelah 4 tahun masa tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan bahwa risiko hipertensi dapat dengan mudah diatasi dengan mengubah diet, karena protein memberikan manfaat vaskular, hal ini bisa juga bermanfaat untuk mengoptimalkan asupan protein untuk kesehatan jantung. Universitas Sumatera Utara 25 g) Faktor Tingkat Konsumsi Lemak pada Hipertensi Lemak merupakan simpanan energi bagi manusia. Lemak dalam bahan makanan berfungsi sebagai sumber energi, menghemat protein dan thiamin, membuat rasa kenyang lebih lama (karena proses pencernaan lemak lebih lama), pemberi cita rasa dan keharuman yang lebih baik. Fungsi lemak dalam tubuh adalah sebagai zat pembangun, pelindung kehilangan panas tubuh, penghasil asam lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, K, sebagai prekusor dari prostaglandin yang berperan mengatur tekanan darah, denyut jantung dan lipofisis (Yuniastuti, 2007). Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh. Timbunan lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada pembuluh darah yang lama-kelaman akan terbentuk plaque. Terbentuknya plaque dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pembuluh darah yang terkena aterosklerosis akan berkurang elastisitasnya dan aliran darah ke seluruh tubuh akan terganggu serta dapat memicu peningkatan volume darah dan tekanan darah yang disebut dengan hipertensi. h) Faktor Asupan Garam (Natrium) Natrium (Na) bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, natrium yang masuk dalam darah secara berlebihan dapat menahan air sehingga meningkatkan volume darah. Meningkatnya volume darah mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding Universitas Sumatera Utara 26 pembuluh darah sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi (Anggraini dkk, 2008). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah. Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam aliran darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi yaitu sekitar 40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merek dagang vetsin dan soda pembuat roti juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG yang berlebihan juga berdampak pada kenaikan tekanan darah. Berikut merupakan beberapa bahan-bahan makanan yang mengandung natrium yang sering dikonsumsi sehari-hari yang disajikan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100 gr) Bahan Makanan Daging sapi Hati sapi Ginjal sapi Telur bebek Telur ayam Ikan ekor kuning Sardin Udang segar Teri kering Susu sapi Cakalang, perut Kandungan Natrium (mg) 93 110 200 191 158 59 131 185 885 36 230 Bahan Makanan Bihun goreng instan Mentega Margarin Roti cokelat Roti putih Jambu monyet, biji Pisang Mangga manalagi Teh Ragi Kandungan Natrium (mg) 928 780 950 500 530 26 18 70 50 610 Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2009. Universitas Sumatera Utara 27 i) Tingkat Konsumsi Serat Serat merupakan jenis karbohidrat yang tidak terlarut. Serat dapat dibedakan atas serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat makanan adalah komponen makanan yang berasal dari tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Serat makanan total terdiri dari komponen serat makanan yang larut (misalnya: pektin, gum) dan yang tidak dapat larut dalam air (misalnya selulosa, hemiselulosa, lignin). Kadar serat makanan berkisar 2-3 kali serat kasar. Menurut laporan hasil Riskesdas tahun (2013), menunjukkan 93,6% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi serat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baliwati dkk (2010), menunjukkan bahwa mengonsumsi serat sangat menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan tidak mengalami status gizi obesitas yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko penyakit tekanan darah tinggi. Serat bukanlah zat yang dapat diserap oleh usus. Namun peranannya sangat penting karena pada penderita gizi lebih dapat mencegah atau mengurangi resiko penyakit degeneratif. Serat larut lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol yaitu LDL dan meningkatkan kadar HDL (Baliwati, et al., 2010). Serat pangan dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Kandungan nilai serat berbagai bahan makanan yang sering dikonsumsi sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 2.2. Universitas Sumatera Utara 28 Tabel 2.2 Nilai Serat Berbagai Bahan Makanan (g/ 100 gram) Bahan Makanan Beras hitam Beras jagung Keripik ubi Biji mente Kecipir Kacang ercis Kacang merah Lamtoro dengan kulit Rebung Daun singkong Kandungan Serat (g) 20,1 10,0 14,3 0,9 10,7 28,6 26,3 15,4 9,7 2,4 Bahan Makanan Sagu Biji nangka Oncom ampas kacang hijau Kacang hijau Kacang kedelai goreng Kacang koro Keripik tempe abadi besar Mangga manalagi Mangga kuini Abon sapi Kandungan Serat (g) 4,7 8 12,3 7,5 7,6 7,5 3,5 11,8 6,5 7,5 Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, 2009 2.2.5 Komplikasi Hipertensi pada Lansia 1. Arterosklorosis Arterosklorosis merupakan suatu penyakit pada dinding pembuluh darah yakni lapisan dalamnya menjadi tebal karena timbunan lemak yang dinamakan plaque atau suatu endapan keras yang tidak normal pada dinding arteri. Pembuluh darah mendapat pukulan paling berat, jika tekanan darah terus menerus tinggi dan berubah, saluran darah tersebut menjadi sempit dan aliran darah menjadi tidak lancar. 2. Penyakit Jantung Penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini terjadi karena pada penderita hipertensi kerja jantung akan meningkat, sehingga terjadi pembengkakan jantung dan semakin lama otot jantung akan mengendor serta berkurang elastisitasnya. Akhirnya jantung tidak mampu lagi memompa dan menampung darah dari paru-paru sehingga banyak cairan tertahan di paru-paru Universitas Sumatera Utara 29 maupun jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas. Kondisi ini disebut gagal jantung (Sutanto, 2010). 3. Penyakit Ginjal Penyakit tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah pada ginjal mengerut sehingga aliran zat-zat makanan menuju ginjal terganggu dan mengakibatkan kerusakan sel-sel ginjal. Jika hal ini terjadi secara terus menerus maka sel-sel ginjal tidak bisa berfungsi lagi. Apabila tidak segera diatasi maka akan menyebabkan kerusakan parah pada ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal terminal (Sutanto, 2010). 2.3 Konsumsi Makanan Pola konsumsi makanan adalah susunan makanan yang merupakan suatu kebiasaan yang dimakan seseorang mencakup jenis, frekuensi dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi atau dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu (Harap VY, 2012). Dalam hal konsumsi pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup ketidakseimbangan komposisi makanan yang dikonsumsi, tetapi juga masalah belum terpenuhinya kecukupan gizi. Tingkat konsumsi makanan yaitu mencakup kualitas dan kuantitas suatu hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukkan kwantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan Universitas Sumatera Utara 30 tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas atau kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaikbaiknya (Sediaoetama, 2004). 2.3.1 Konsumsi Makanan Pemicu dan Pencegah Hipertensi Hipertensi sering mengakibatkan keadaan yang berbahaya karena keberadaannya sering kali tidak disadari dan kerap tidak menimbulkan keluhan yang berarti sampai suatu waktu terjadi komplikasi jantung, otak, ginjal, mata, pembuluh darah, atau organ-organ vital lainnya. Namun demikian penyakit hipertensi sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi masyarakat. Pola hidup sehat dan pola makan sehat merupakan pilihan tepat untuk menjaga diri terbebas dari hipertensi (Suoth, et al., 2014). 1. Konsumsi Makanan Pemicu Hipertensi Konsumsi makanan pemicu hipertensi merupakan setiap makanan yang dikonsumsi yang dapat menaikkan tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi, sebaiknya menghindari atau setidaknya mengurangi untuk mengonsumsi makanan-makanan yang menjadi pemicu hipertensi ini. Beberapa jenis makanan yang menjadi pemicu hipertensi adalah sebagai berikut: 1. Makanan tinggi kolesterol, seperti daging sapi, daging kambing, daging atau kulit ayam, udang. 2. Makanan yang diawetkan, seperti ikan asin, telur asin, dendeng, teri kering. Universitas Sumatera Utara 31 3. Makanan tinggi natrium, seperti biskuit, keripik 4. Susu dan Olahannya, seperti susu full cream, mentega, margarin 2. Konsumsi Makanan Pencegah Hipertensi Konsumsi makanan pencegah hipertensi merupakan setiap makanan yang dikonsumsi yang dapat menurunkan dan menormalkan kembali tekanan darah sehingga mencegah terjadinya hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi, sebaiknya mengonsumsi makanan-makanan yang dapat mencegah hipertensi ini dan untuk penderita hipertensi juga dianjurkan untuk mengonsumsi makanan terebut untuk menormalkan kembali tekanan darah. a) Hindari untuk mengonsumsi lemak jenuh seperti makanan yang digoreng dan dan lemak dari daging olahan b) Tingkatkan asupan nutrisi dari biji-bijian utuh, kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau, jagung. c) Perbanyak konsumsi buah-buahan seperti pisang, semangka, jeruk, nenas, pepaya dan sayur-sayuran seperti tomat, kentang, daun singkong, buncis, wortel, sawi, labu. d) Konsumsi lauk hewani seperti ikan air tawar, ikan tongkol dan daging ayam tanpa kulit. e) Konsumsi lauk nabati, seperti tahu dan tempe. Universitas Sumatera Utara 32 2.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Makanan Menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang dapat memengaruhi konsumsi makanan adalah keterbatasan ekonomi, penyakit-penyakit kronis, pengaruh psikologis, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya energi. 2.3.3 Metode Pengukuran Konsumsi Makanan 1. Metode Frekuensi Makanan Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan ataupun tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan akan diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner konsumsi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa et al., 2002). Langkah-langkah metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002) adalah sebagai berikut: 1) Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya. Universitas Sumatera Utara 33 2) Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula. Kelebihan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002) adalah sebagai berikut: 1) Relatif murah dan sederhana. 2) Dapat dilakukan sendiri oleh responden. 3) Tidak membutuhkan latihan khusus. 4) Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Kekurangan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002) adalah sebagai berikut: 1) Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari. 2) Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data. 3) Cukup menjemukan bagi pewawancara. 4) Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner. 5) Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. 2. Metode Food Recall 24 Hours Tingkat konsumsi makanan dapat diukur dengan menggunakan metode food recall 24 hours. Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Universitas Sumatera Utara 34 Menurut E-Siong, Dop, Winichagoon (2004) untuk survei konsumsi gizi individu lebih disarankan menggunakan metode food recall 24 jam konsumsi gizi dikarenakan darisisi kepraktisan dan kevalidan data masih dapat diperoleh dengan baik selama yang melakukan sudah terlatih. Pada metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak responden bangun pagi kemarin sampai istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1 x 24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Food recall 24 hours sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berurutan sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan gizi secara lebih optimal dan bervariasi (Supariasa et al. 2002). Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam, data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa digunakan sehari-hari (Supariasa et al., 2002). Kelebihan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah sebagai berikut: 1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden. Universitas Sumatera Utara 35 2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara. 3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden. 4) Dapat digunakan untuk merespon yang buta huruf. 5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. Kekurangan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah sebagai berikut: 1) Tidak dapat menggambarkan asuapan makanan sehari-hari, bila hanya dilakukan recall satu hari. 2) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. 3) The flat syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate). 4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat. 5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian. 6) Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari, recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 36 2.4 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.4.1 Kerangka Konseptual Variabel Bebas Variabel Terikat Jenis dan Frekuensi Makanan Pemicu dan Pencegah Hipertensi Hipertensi pada Lansia Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Protein, Lemak, Natrium dan Serat Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian 2.4.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Ada hubungan tingkat konsumsi karbohidrat, protein, lemak, natrium, dan serat dengan hipertensi pada lansia di Desa Mekar Bahalat, Kecamatan Jawa Maraja Bah Jambi, Kabupaten Simalungun. Universitas Sumatera Utara