BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia Penuaan merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lanjut Usia
Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan
waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah
fase akhir dari rentang kehidupan (Fatmah, 2010).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2010) dalam Sony (2011), menua
merupakan proses alami yang dihadapi oleh setiap individu dengan adanya
perubahan kondisi fisik, psikologis dan sosial yang saling berinteraksi satu sama
lain. Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terserang
berbagai macam penyakit.
Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoadmojo,
2010). Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age)
: usia 45-59 tahun
2. Lansia (elderly)
: usia 60-74 tahun
3. Lansia tua (old)
: usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old)
: usia di atas 90 tahun
Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang
mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan atau organ
yang pada akhirnya memengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara
keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.1 Perubahan-perubahan Fisiologis pada Lanjut Usia
Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia dan
pengaruhnya yaitu:
1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa umumnya membuat
lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal ini sering
menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu seperti
kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak kurang baik
bagi kesehatan lansia.
2. Berkurangnya sekresi pada saliva dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan
dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi.
3. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik mengakibatkan pencernaan
protein tidak efisien.
4. Menurunnya sekresi garam empedu menggangu proses penyerapan lemak dan
vitamin A, D, E, K.
5. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang waktu singgah
(transit time) dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran
perut dan konstipasi.
6. Menurunnya sekresi HCl. HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu
penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl
dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis, defisiensi zat besi yang
menyebabkan anemia sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.2 Kebutuhan Gizi Lanjut Usia
1. Angka Kebutuhan Zat Gizi pada Lanjut Usia
Pertambahan usia akan menimbulkan beberapa perubahan, baik secara fisik
maupun mental. Perubahan ini akan memengaruhi kondisi seseorang dari aspek
psikologis, fisiologis dan sosioekonomi.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), Angka Kecukupan Gizi (AKG)
setiap individu akan berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing pada
umumnya dihitung berdasarkan kebutuhan kalori atau energi. Hal ini tergantung
pada kondisi kesehatan, berat badan aktual, gizi untuk lansia pria dan wanita
sedikit berbeda karena adanya perbedaan dalam ukuran dan komposisi tubuh.
Berikut ini adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia:
a. Energi
Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012, secara umum
kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia pada laki-laki adalah 2325 kalori dan
pada wanita adalah 1900 kalori. Kebutuhan energi pada lansia menurun
sehubungan dengan penurunan metabolisme basal (sel-sel banyak inaktif) dan
kegiatan fisik cenderung menurun.
b. Karbohidrat
Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat kompleks karena
mengandung vitamin, mineral, dan serat daripada mengonsumsi karbohidrat
murni seperti gula. Lansia sebaiknya mengoonsumsi 60-65% karbohidrat sebagai
kebutuhan energi.
Universitas Sumatera Utara
13
c. Protein
Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lansia adalah sekitar 0,8
gram/kg BB atau 15-25 % dari kebutuhan energi. Untuk lansia dianjurkan
memenuhi kebutuhan protein terutama dari protein nabati dan protein hewani
dengan perbandingan 2:1. Jumlah protein yang diperlukan untuk laki-laki lansia
adalah 65 gram/hari dan wanita 57 gram/hari yang terdiri 15% protein ikan, 10%
protein hewani lain dan 75% protein nabati.
d. Lemak
Kebutuhan lemak untuk lansia lebih sedikit karena akan meningkatkan
kadar kolesterol dalam darah, pada lansia dianjurkan konsumsi lemak jangan lebih
dari 15 % kebutuhan energi. Lansia juga sebaiknya mengonsumsi lemak nabati
daripada lemak hewani untuk mencegah penumpukan lemak tubuh.
e. Vitamin
Lansia dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan kaya vitamin A,
D, dan E untuk mencegah penyakit degeneratif (sebagai antioksidan). Selain itu
konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin B12, asam folat, vitamin
B1 dan vitamin C juga dianjurkan untuk mencegah risiko penyakit jantung.
f. Mineral
Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber besi (Fe), zinc
(Zn), selenium (Se), dan kalsium (Ca) untuk mencegah anemia dan osteoporosis,
serta meningkatkan daya tahan tubuh.
Universitas Sumatera Utara
14
Lansia juga dianjurkan untuk meningkatkan asupan zat gizi mikro lainnya
seperti fosfor (P), kalium (K), natrium (Na), dan magnesium (Mg) untuk
metabolisme dalam tubuh.
g. Air dan Serat
Air sangat penting untuk melancarkan proses metabolisme tubuh dan
mengeluarkan sisa pembakaran energi dalam tubuh. Oleh karena itu dianjurkan
untuk minum air putih minimal 8 gelas per hari.
Serat juga dianjurkan untuk lansia agar buang air besar menjadi lancar,
mencegah penyerapan kolesterol dan menghindari penumpukan kolesterol dalam
tubuh.
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lanjut Usia
Rincian faktor yang memengaruhi kebutuhan dan kecukupan zat gizi lansia
dijelaskan berikut ini (Fatmah, 2010):
a. Usia
Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak
menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena
ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari
radikal bebas.
b. Jenis Kelamin
Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak memerlukan kalori,
protein, dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan tingkat aktivitas fisik.
Universitas Sumatera Utara
15
c. Faktor Lingkungan
Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena
pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi
dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia kehilangan nafsu
makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia.
d. Penurunan Aktivitas Fisik
Semakin bertambahnya usia seseorang, maka aktivitas fisik yang
dilakukannya semakin menurun. Penurunan aktivitas fisik pada lansia harus
diimbangi dengan penurunan asupan kalori untuk mencapai keseimbangan energi
dan mencegah terjadinya obesitas.
e. Kemunduran Biologis
Memasuki usia senja, seseorang akan mengalami beberapa perubahan, baik
secara fisik maupun biologis. Hal ini akan memengaruhi proses pencernaan,
penyerapan dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh. Oleh karena itu, asupan gizi
untuk lansia harus disesuaikan dengan perubahan kemampuan organ-organ tubuh
lansia sehingga dapat mencapai kecukupan gizi lansia yang optimal.
f. Penyakit
Usia lanjut merupakan usia saat risiko terkena penyakit degeneratif paling
besar selama daur kehidupan. Jika seorang lansia memiliki penyakit degeneratif,
maka asupan gizinya sangat penting untuk diperhatikan, serta disesuaikan dengan
ketersediaan dan kebutuhan zat gizi pada lansia.
Universitas Sumatera Utara
16
2.2
Hipertensi pada Lanjut Usia
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah melebihi normal yaitu tekanan sistolik di atas
140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (WHO/ISH, 2012). Hipertensi
atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah
yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Suoth, et al., 2014).
Lanjut usia membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit
kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat
sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik)
meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian
menurun oleh karena kekakuan arteri akibat aterosklerosis.
Hipertensi
Sistolik
Terisolasi
(HST)
adalah
suatu
faktor
risiko
kardiovaskuler penting pada lansia, dua faktor yang bisa meramalkan terjadinya
hipertensi sistolik adalah kekakuan arteri dan pantulan gelombang carotid secara
dini. Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) jelas berhubungan dengan kejadian
stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, ukuran jantung, gagal ginjal dan
pengecilan ukuran ginjal. Tekanan darah sistolik >160 mmHg menyebabkan
kematian 2 kali lipat akibat berbagai penyebab, kematian akibat kardiovaskuler 3
kali lipat pada wanita dan meningkatkan morbiditas kardiovaskuler 2,5 kali lipat
pada kedua jenis kelamin. Bahkan HST stadium I dengan tekanan sistolik 140159 mmHg dan tekanan diastolik <90 mmHg menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan.
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.1 Epidemiologi Hipertensi
Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan
masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia
(Ardiansyah, 2012). Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013, prevalensi hipertensi di
Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8
persen dengan tertinggi di Bangka Belitung (30,9%).
Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara
berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan
menjadi 1,115 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Ardiansyah,
2012).
Di negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90
mmHg) hanya terdapat 20% pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang
rendah pada usia lanjut diakibatkan juga oleh karena banyak dokter tidak
mengobati hipertensi usia lanjut sampai optimal (kurang dari 140/90). Pada usia
lanjut, prevalensi gagal jantung dan stroke tinggi, yang keduanya merupakan
akibat dari hipertensi. Oleh karena itu pengobatan hipertensi penting sekali dalam
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Suhardjono, 2006).
Telah diperhitungkan bahwa seorang pria berusia 55 tahun dengan tekanan
darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vascular dalam 10 tahun
mendatang sekitar 14%. Baik pria maupun wanita hidup lebih lama dan 50% dari
mereka yang berusia di atas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi
Universitas Sumatera Utara
18
(TDS 160 mmHg dan diatolik 90 mmHg). Dengan menurunkan tekanan darah
telah terbukti mengurangi insiden gagal jantung, mengurangi demensia, dan dapat
membantu mempertahankan fungsi kognitif lansia.
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi
1. Hipertensi Essensial/Primer
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama
karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Jenis hipertensi ini tidak jelas
penyebabnya dan merupakan sebagian besar ± 90% dari seluruh kejadian
hipertensi. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol
(Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Penyebab utama hipertensi yaitu gaya hidup modern, sebab dalam gaya
hidup modern situasi penuh tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin
dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang
berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol
atau kopi sehingga berisiko terkena hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang
salah dan yang ketiga adalah berat badan berlebih.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung
koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Hipertensi sekunder diderita
sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014).
Universitas Sumatera Utara
19
2.2.3 Gejala Klinis Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit yang biasanya tanpa gejala. Sebagian besar
penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Namun demikian, secara
tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan
dengan tekanan darah tinggi. Ada kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada
masyarakat bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit.
Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya
gejala penyakit.
Hipertensi terkadang menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek,
pusing, nyeri dada, palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika
diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi
(WHO, 2013).
2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi
1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
a) Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang maka
semakin besar risiko terserang hipertensi. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya seiring bertambahnya umur. Dengan bertambahnya umur, risiko
terjadinya hipertensi meningkat. Umumnya seseorang yang berisiko menderita
hipertensi adalah usia diatas 45 tahun dan serangan darah tinggi baru muncul
sekitar usia 40 walaupun dapat terjadi pada usia muda (Kumar, 2005).
Universitas Sumatera Utara
20
Bertambahnya umur maka risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar
sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar
40% dengan kematian sekitar di atas 65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi
ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang
lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.
b) Jenis Kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa
muda, tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60%
penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan
hormon
estrogen
setelah
menopause.
Peran
hormon
estrogen
adalah
meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormon estrogen dianggap
sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause,
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen sesuai dengan umur wanita secara
alami.
c) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
Universitas Sumatera Utara
21
terhadap sodium individu dengan orang tua yang menderita hipertensi daripada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade, 2003).
Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat
hipertensi dalam keluarga. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
Menurut Rohaendi (2008), tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam
keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah
tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama
hidup. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang untuk
terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.
2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
a) Merokok
Merokok dapat menurunkan kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah. Jika
kadar HDL turun maka jumlah kolesterol dalam darah yang akan diekskresikan
melalui hati juga akan berkurang. Hal ini dapat mempercepat proses
arteriosklerosis penyebab hipertensi (Sustrani, 2004). Rokok akan mengakibatkan
vaokonstriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh di ginjal sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah.
Universitas Sumatera Utara
22
b) Kegemukan
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut Hull (2001) perubahan
fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan
tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi
saraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.
Peningkatan konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana
natriuretik potensial menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan
tekanan darah secara terus menerus (Cortas, 2008).
c) Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung
lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap.
d) Latihan Fisik
Latihan fisik atau olahraga dapat menjaga tubuh tetap sehat. Penelitian
membuktikan bahwa orang yang berolahraga memiliki faktor risiko lebih rendah
untuk menderita penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi.
Oleh karena itu, latihan fisik seperti berolahraga antara 30-45 menit sebanyak
>3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi (Cortas, 2008).
Universitas Sumatera Utara
23
e) Faktor Tingkat Konsumsi Karbohidrat pada Hipertensi
Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, bahan pembentuk berbagai
senyawa tubuh, bahan pembentuk asam amino esensial, metabolisme normal
lemak,
menghemat
protein,
meningkatkan
pertumbuhan
bakteri
usus,
mempertahankan gerak usus, meningkatkan konsumsi protein, mineral dan
vitamin (Baliwati, et al., 2010).
Hiperlipidemia adalah keadaan meningkatnya kadar lipid darah dalam
lipoprotein (kolesterol dan trigliserida). Hal ini berkaitan dengan intake lemak dan
karbohidrat dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh. Keadaan tersebut akan
menimbulkan resiko terjadinya artherosklerosis.
Metabolisme karbohidrat menyebabkan terjadinya hiperlipidemia yaitu
mulai dari pencernaan karbohidrat di dalam usus halus berubah menjadi
monosakarida galaktosa dan fruktosa di dalam hati kemudian dipecah menjadi
glikogen dalam hati dan otot. Kemudian glikogen dipecah menjadi glukosa diubah
dalam bentuk piruvat dipecah menjadi asetil KoA sehingga akhirnya terbentuk
karbondioksida, air dan energi. Bila energi tidak diperlukan, asetil KoA tidak
memasuki siklus TCA tetapi digunakan untuk membentuk asam lemak,
melakukan esterifikasi dengan gliserol (diproduksi dalam glikolisis) dan
menghasilkan
trigliserida.
Pembuluh
darah
koroner
yang
menderita
artherosklerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami penyempitan
sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik, yang nantinya
akan memicu terjadinya hipertensi (Hull, 2001).
Universitas Sumatera Utara
24
f) Faktor Tingkat Konsumsi Protein pada Hipertensi
Protein berperan penting dalam pembentukan struktur, fungsi, regulasi selsel makhluk hidup dan virus. Protein juga bekerja sebagai neurotransmiter dan
pembawa oksigen dalam darah (hemoglobin) dan berguna sebagai sumber energi
tubuh. Dalam kondisi normal, protein dibutuhkan oleh tubuh sekitar 0,8-1
gr/kgBB/hari dengan perbandingan protein nabati dan hewani yaitu 3:1.
Pada dua studi observasional yaitu INTERMAP dan The Chicago Western
Electric Study telah membuktikan adanya hubungan sumber protein nabati dengan
penurunan tekanan darah, sedangkan sumber protein hewani tidak berpengaruh
terhadap tekanan darah. Para peneliti dari Boston University memberikan alasan
yang berbeda mengapa perlu mengonsumsi diet tinggi protein untuk menurunkan
risiko hipertensi jangka panjang. Mereka yang mengonsumsi rata-rata 100g
protein sehari mengalami penurunan sebesar 40% terhadap risiko hipertensi
dibandingkan dengan mereka yang memiliki asupan paling rendah untuk protein
dalam diet.
Penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Hypertension,
menemukan bahwa orang dengan asupan tinggi protein, terlepas dari protein
hewani atau nabati, secara signifikan memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik
lebih rendah setelah 4 tahun masa tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan
bahwa risiko hipertensi dapat dengan mudah diatasi dengan mengubah diet,
karena protein memberikan manfaat vaskular, hal ini bisa juga bermanfaat untuk
mengoptimalkan asupan protein untuk kesehatan jantung.
Universitas Sumatera Utara
25
g) Faktor Tingkat Konsumsi Lemak pada Hipertensi
Lemak merupakan simpanan energi bagi manusia. Lemak dalam bahan
makanan berfungsi sebagai sumber energi, menghemat protein dan thiamin,
membuat rasa kenyang lebih lama (karena proses pencernaan lemak lebih lama),
pemberi cita rasa dan keharuman yang lebih baik. Fungsi lemak dalam tubuh
adalah sebagai zat pembangun, pelindung kehilangan panas tubuh, penghasil asam
lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, K, sebagai prekusor dari prostaglandin
yang berperan mengatur tekanan darah, denyut jantung dan lipofisis (Yuniastuti,
2007).
Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar kolesterol
dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh. Timbunan
lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada pembuluh darah
yang lama-kelaman akan terbentuk plaque. Terbentuknya plaque dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pembuluh darah
yang terkena aterosklerosis akan berkurang elastisitasnya dan aliran darah ke
seluruh tubuh akan terganggu serta dapat memicu peningkatan volume darah dan
tekanan darah yang disebut dengan hipertensi.
h) Faktor Asupan Garam (Natrium)
Natrium (Na) bermanfaat bagi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
cairan tubuh dan mengatur tekanan darah. Namun, natrium yang masuk dalam
darah secara berlebihan dapat menahan air sehingga meningkatkan volume darah.
Meningkatnya volume darah mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding
Universitas Sumatera Utara
26
pembuluh darah sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong
volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya
adalah hipertensi (Anggraini dkk, 2008).
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluer meningkat. Untuk menormalkannya, cairan instraseluler
ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya
volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah.
Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam aliran
darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi yaitu sekitar
40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merek dagang
vetsin dan soda pembuat roti juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG
yang berlebihan juga berdampak pada kenaikan tekanan darah.
Berikut merupakan beberapa bahan-bahan makanan yang mengandung
natrium yang sering dikonsumsi sehari-hari yang disajikan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100 gr)
Bahan Makanan
Daging sapi
Hati sapi
Ginjal sapi
Telur bebek
Telur ayam
Ikan ekor kuning
Sardin
Udang segar
Teri kering
Susu sapi
Cakalang, perut
Kandungan
Natrium (mg)
93
110
200
191
158
59
131
185
885
36
230
Bahan Makanan
Bihun goreng instan
Mentega
Margarin
Roti cokelat
Roti putih
Jambu monyet, biji
Pisang
Mangga manalagi
Teh
Ragi
Kandungan
Natrium (mg)
928
780
950
500
530
26
18
70
50
610
Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2009.
Universitas Sumatera Utara
27
i) Tingkat Konsumsi Serat
Serat merupakan jenis karbohidrat yang tidak terlarut. Serat dapat dibedakan
atas serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Serat makanan
adalah komponen makanan yang berasal dari tanaman yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan manusia. Serat makanan total terdiri dari komponen serat
makanan yang larut (misalnya: pektin, gum) dan yang tidak dapat larut dalam air
(misalnya selulosa, hemiselulosa, lignin). Kadar serat makanan berkisar 2-3 kali
serat kasar.
Menurut laporan hasil Riskesdas tahun (2013), menunjukkan 93,6%
masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi serat. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Baliwati dkk (2010), menunjukkan bahwa mengonsumsi serat
sangat menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan tidak
mengalami status gizi obesitas yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko
penyakit tekanan darah tinggi.
Serat bukanlah zat yang dapat diserap oleh usus. Namun peranannya sangat
penting karena pada penderita gizi lebih dapat mencegah atau mengurangi resiko
penyakit degeneratif. Serat larut lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol
yaitu LDL dan meningkatkan kadar HDL (Baliwati, et al., 2010). Serat pangan
dapat membantu meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan
meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil.
Kandungan nilai serat berbagai bahan makanan yang sering dikonsumsi
sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 2.2 Nilai Serat Berbagai Bahan Makanan (g/ 100 gram)
Bahan Makanan
Beras hitam
Beras jagung
Keripik ubi
Biji mente
Kecipir
Kacang ercis
Kacang merah
Lamtoro dengan kulit
Rebung
Daun singkong
Kandungan
Serat (g)
20,1
10,0
14,3
0,9
10,7
28,6
26,3
15,4
9,7
2,4
Bahan Makanan
Sagu
Biji nangka
Oncom ampas kacang hijau
Kacang hijau
Kacang kedelai goreng
Kacang koro
Keripik tempe abadi besar
Mangga manalagi
Mangga kuini
Abon sapi
Kandungan
Serat (g)
4,7
8
12,3
7,5
7,6
7,5
3,5
11,8
6,5
7,5
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, 2009
2.2.5 Komplikasi Hipertensi pada Lansia
1. Arterosklorosis
Arterosklorosis merupakan suatu penyakit pada dinding pembuluh darah
yakni lapisan dalamnya menjadi tebal karena timbunan lemak yang dinamakan
plaque atau suatu endapan keras yang tidak normal pada dinding arteri. Pembuluh
darah mendapat pukulan paling berat, jika tekanan darah terus menerus tinggi dan
berubah, saluran darah tersebut menjadi sempit dan aliran darah menjadi tidak
lancar.
2. Penyakit Jantung
Penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini
terjadi karena pada penderita hipertensi kerja jantung akan meningkat, sehingga
terjadi pembengkakan jantung dan semakin lama otot jantung akan mengendor
serta berkurang elastisitasnya. Akhirnya jantung tidak mampu lagi memompa dan
menampung darah dari paru-paru sehingga banyak cairan tertahan di paru-paru
Universitas Sumatera Utara
29
maupun jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas. Kondisi ini
disebut gagal jantung (Sutanto, 2010).
3. Penyakit Ginjal
Penyakit tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah pada
ginjal mengerut sehingga aliran zat-zat makanan menuju ginjal terganggu dan
mengakibatkan kerusakan sel-sel ginjal. Jika hal ini terjadi secara terus menerus
maka sel-sel ginjal tidak bisa berfungsi lagi. Apabila tidak segera diatasi maka
akan menyebabkan kerusakan parah pada ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal
terminal (Sutanto, 2010).
2.3
Konsumsi Makanan
Pola konsumsi makanan adalah susunan makanan yang merupakan suatu
kebiasaan yang dimakan seseorang mencakup jenis, frekuensi dan jumlah bahan
makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi atau dimakan
penduduk dalam jangka waktu tertentu (Harap VY, 2012). Dalam hal konsumsi
pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup ketidakseimbangan
komposisi makanan yang dikonsumsi, tetapi juga masalah belum terpenuhinya
kecukupan gizi.
Tingkat konsumsi makanan yaitu mencakup kualitas dan kuantitas suatu
hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan
tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain.
Kuantitas menunjukkan kwantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
30
tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas
atau kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang sebaikbaiknya (Sediaoetama, 2004).
2.3.1 Konsumsi Makanan Pemicu dan Pencegah Hipertensi
Hipertensi
sering mengakibatkan keadaan
yang berbahaya karena
keberadaannya sering kali tidak disadari dan kerap tidak menimbulkan keluhan
yang berarti sampai suatu waktu terjadi komplikasi jantung, otak, ginjal, mata,
pembuluh darah, atau organ-organ vital lainnya. Namun demikian penyakit
hipertensi sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi masyarakat. Pola
hidup sehat dan pola makan sehat merupakan pilihan tepat untuk menjaga diri
terbebas dari hipertensi (Suoth, et al., 2014).
1. Konsumsi Makanan Pemicu Hipertensi
Konsumsi makanan pemicu hipertensi merupakan setiap makanan yang
dikonsumsi yang dapat menaikkan tekanan darah sehingga menyebabkan
hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi, sebaiknya menghindari atau
setidaknya mengurangi untuk mengonsumsi makanan-makanan yang menjadi
pemicu hipertensi ini.
Beberapa jenis makanan yang menjadi pemicu hipertensi adalah sebagai
berikut:
1. Makanan tinggi kolesterol, seperti daging sapi, daging kambing, daging atau
kulit ayam, udang.
2. Makanan yang diawetkan, seperti ikan asin, telur asin, dendeng, teri kering.
Universitas Sumatera Utara
31
3. Makanan tinggi natrium, seperti biskuit, keripik
4. Susu dan Olahannya, seperti susu full cream, mentega, margarin
2. Konsumsi Makanan Pencegah Hipertensi
Konsumsi makanan pencegah hipertensi merupakan setiap makanan yang
dikonsumsi yang dapat menurunkan dan menormalkan kembali tekanan darah
sehingga mencegah terjadinya hipertensi. Untuk mencegah terjadinya hipertensi,
sebaiknya mengonsumsi makanan-makanan yang dapat mencegah hipertensi ini
dan untuk penderita hipertensi juga dianjurkan untuk mengonsumsi makanan
terebut untuk menormalkan kembali tekanan darah.
a) Hindari untuk mengonsumsi lemak jenuh seperti makanan yang digoreng dan
dan lemak dari daging olahan
b) Tingkatkan asupan nutrisi dari biji-bijian utuh, kacang-kacangan seperti kacang
tanah, kacang hijau, jagung.
c) Perbanyak konsumsi buah-buahan seperti pisang, semangka, jeruk, nenas,
pepaya dan sayur-sayuran seperti tomat, kentang, daun singkong, buncis,
wortel, sawi, labu.
d) Konsumsi lauk hewani seperti ikan air tawar, ikan tongkol dan daging ayam
tanpa kulit.
e) Konsumsi lauk nabati, seperti tahu dan tempe.
Universitas Sumatera Utara
32
2.3.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Makanan
Menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang dapat memengaruhi konsumsi
makanan adalah keterbatasan ekonomi, penyakit-penyakit kronis, pengaruh
psikologis, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan
cara pengolahannya, serta menurunnya energi.
2.3.3 Metode Pengukuran Konsumsi Makanan
1. Metode Frekuensi Makanan
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu
seperti hari, minggu, bulan ataupun tahun. Selain itu dengan metode frekuensi
makanan akan diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara
kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan
individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling
sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi.
Kuesioner konsumsi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau
makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.
Bahan makanan yang ada dalam kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi
dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa et al., 2002).
Langkah-langkah metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al.
(2002) adalah sebagai berikut:
1) Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia
pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.
Universitas Sumatera Utara
33
2) Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan
terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu
selama periode tertentu pula.
Kelebihan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002)
adalah sebagai berikut:
1) Relatif murah dan sederhana.
2) Dapat dilakukan sendiri oleh responden.
3) Tidak membutuhkan latihan khusus.
4) Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan
makan.
Kekurangan metode frekuensi makanan menurut Supariasa et al. (2002)
adalah sebagai berikut:
1) Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.
2) Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.
3) Cukup menjemukan bagi pewawancara.
4) Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan
makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.
5) Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.
2. Metode Food Recall 24 Hours
Tingkat konsumsi makanan dapat diukur dengan menggunakan metode food
recall 24 hours. Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.
Universitas Sumatera Utara
34
Menurut E-Siong, Dop, Winichagoon (2004) untuk survei konsumsi gizi individu
lebih disarankan menggunakan metode food recall 24 jam konsumsi gizi
dikarenakan darisisi kepraktisan dan kevalidan data masih dapat diperoleh dengan
baik selama yang melakukan sudah terlatih.
Pada metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan
diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak responden
bangun pagi kemarin sampai istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga
dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam
penuh. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1 x 24 jam), maka data
yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan
individu. Food recall 24 hours sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya
tidak berurutan sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan gizi secara lebih
optimal dan bervariasi (Supariasa et al. 2002).
Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam, data
yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu
ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan
lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa digunakan sehari-hari (Supariasa et al.,
2002).
Kelebihan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah
sebagai berikut:
1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
Universitas Sumatera Utara
35
2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat
yang luas untuk wawancara.
3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
4) Dapat digunakan untuk merespon yang buta huruf.
5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu
sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam menurut Supariasa et al. (2002) adalah
sebagai berikut:
1) Tidak dapat menggambarkan asuapan makanan sehari-hari, bila hanya
dilakukan recall satu hari.
2) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden.
3) The flat syndrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk
melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden
yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).
4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam
menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai
menurut kebiasaan masyarakat.
5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.
6) Untuk mendapatkan gambaran konsumsi makanan sehari-hari, recall jangan
dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat melakukan
upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
36
2.4
Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
2.4.1 Kerangka Konseptual
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Jenis dan Frekuensi Makanan
Pemicu dan Pencegah
Hipertensi
Hipertensi pada Lansia
Tingkat Konsumsi Karbohidrat,
Protein, Lemak, Natrium dan
Serat
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
2.4.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ada hubungan tingkat konsumsi karbohidrat, protein, lemak, natrium, dan serat
dengan hipertensi pada lansia di Desa Mekar Bahalat, Kecamatan Jawa Maraja
Bah Jambi, Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
Download