Situs Resmi Nahdlatul Ulama Kabupaten Malang Berpikir Dengan Nuansa Serba Fiqh Kontribusi Dari Oleh : Prof DR. Imam Suprayogo Seringkali saya mendapatkan pertanyaan, baik melalui website atau facebook, tentang sesuatu dilihat dari kaca mata fiqh. Sampai-sampai, hal yang ditanyakan tentang bagaimana hukumnya mudik. Baginya hal itu dianggap menarik diketahui hukumnya, karena resiko mudik yang sedemikian besar. Menurut informasi, tidak kurang dari 50 an orang mengalami kecelakaan dan meninggal. Saya kira boleh-boleh saja berdiskusi tentang itu, sebab fenomena mudik adalah hal baru. Islam memberikan tuntutnan bagaimana keselamatan terjaga, baik keselamatan fisik, akal, maupun keselamatan jiwa seseorang. Jelas pada zaman Nabi, belum ada fenomena mudik seperti yang terjadi sekarang ini. Yang ada dalam sejarah, Nabi pernah hijrah dari Makkah ke Madinah. Dilihat dari resiko, saya kira hijrah Nabi jauh lebih berat dan bahkan berbahaya daripada sebatas mudik. Antara Makkah dan Madinah jaraknya cukup jauh, jika naik pesawat terbang ditempuh sekitar 30 menit, dan jika menggunakan kendaraan bus bisa ditempuh sekitar 6 jam. Jarak itu kira-kira antara Surabaya ke Yogyakarta. Padahal ketika itu belum ada bus, apalagi pesawat udara. Nabi hijrah dengan cara jalan kaki, atau mungkin pakai unta. Betapa besarnya resiko hijrah itu. Nabi dikejar-kejar oleh kelompok orang kafir Quraisy. Tetapi keputusan itu tetap dijalankan. Sesuatu yang dimaksudkan untuk meraih maksud yang mulia, maka harus dijalankan. Apalagi hidup di dunia ini apa sesungguhnya yang tidak membawa resiko. Sementara orang mengatakan, duduk saja jika lama-lama juga ada resikonya, yaitu terkena penyakit ambiyen. Memang benar tatkala akan melakukan sesuatu harus dipertimbangkan masak-masak, terkait untung dan atau ruginya. Selain itu juga bagaimana hukum fiqhnya. Tetapi hal yang sekiranya perlu dipertimbangkan adalah tidak harus segala sesuatu hanya dilihat dari satu pertimbangan, yaitu dari perspektif fiqh itu. Tokh sesungguhnya dalam setiap melihat sesuatu, masih ada pertimbangan lainnya, misalnya dari sisi tasawwuf/akhlaq atau lainnya yang lebih luas lagi. Selain itu dalam memahami sesuatu tidak selalu cukup dengan menggunakan cara pandang fiqh dalam pengertian hukum Islam, yaitu meliputi wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tidak semua persoalan bisa dilihat dengan menggunakan timbangan itu. Kita melihat sejarah perjuangan Rasul, kiranya tidak selalu menggunakan kaca mata fiqh. Memahami katagorisasi masyarakat, dengan berbagai macam kharakteristiknya, sebagaimana disebutkan dalam al Qurán, tidak selalu menggunakan hukum-hukum itu. Apalagi, hal itu terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya bagaimana proses kejadian alam semesta, termasuk kejadian manusia. Contoh lainnya, bagaimana bumi, bulan, dan matahari berputar. Hal-hal seperti itu kiranya sulit dipahami dengan menggunakan perspektif fiqh. Demikian juga misalnya, tatkala kita ingin memahami air. Di berbagai tempat dalam al Qurán, air dinyatakan sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu daerah-daerah yang murah air menjadi subur. Akibatnya penduduknya menjadi makmur. Tetapi kalau air hanya dilihat dari perspektif fiqh, sekalipun itu tetap perlu, biasanya kemudian hanya mendapatkan pemahaman yang terbatas. Dalam tulisan pendek ini, sesungguhnya saya hanya ingin mengajak untuk berpikir, bahwa dalam melihat sesuatu hendaknya selalu menggunakan berbagai perspektif. Al Qurán dan begitu juga Hadits Nabi yang sedemikian luas dan comprehensive, rasanya tidak mencukupi jika hanya dilihat dari perspektif yang terbatas. Al Qurán sendiri menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, penjelas, pembeda, rakhmat, dan bahkan juga sebagai as-shifa’, rasanya menjadi sangat jelas bahwa semestinya kehidupan ini dilihat dari berbagai perspektif. Melihat sesuatu hanya dari perspektif fiqh biasanya juga ada resiko, yaitu tidak pernah diperoleh pendapat yang tunggal. Para pengambil hukum biasanya bersilang pendapat dengan alasannya masing-masing. Misalnya, persoalan bunga bank, sejak lama didiskusikan, tetapi hingga saat ini belum mendapatkan kesimpulan akhir yang sama. Akhir-akhir ini, para ulama berdiskusi tentang hukum rokok, ternyata juga tidak berhasil mendapatkan kesimpulan yang sama. Oleh karena itu, jika mudik juga akan didiskusikan bagaimana hukumnya, saya yakin fenomena itu akan berjalan, dan diskusi pun tidak akan mendapatkan kesimpulan yang sama. Oleh karenanya, melihat sesuatu dari perspektif fiqh silahkan saja, tetapi sesungguhnya selalu saja ada perspektif lain untuk memahaminya. Wallahu a’lam. http://nukabmalang.or.id/1 Menggunakan Joomla! Generated: 2 November, 2017, 18:13