BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tempe Tempe dibuat dari biji kedelai yang difermentasi dengan bantuan ragi (Boga 2005). Ragi yang terdapat dalam pembuatan tempe adalah Rhyzopus oligosporus, Rhyzopus oryzae, Rhyzopus stolonifer, Rhyzopus chlamdosporus, dan Rhyzopus arrhizus. Rhyzopus oligosporus lebih banyak mensintesis enzim pemecah protein (protease) dan Rhyzopus oryzae lebih banyak mensintesis enzim pemecah pati (alfa amilase) selama proses fermentasi. Kedua jenis ragi tersebut digunakan dalam pembuatan tempe dengan kadar Rhyzopus oligosporus lebih banyak atau dengan perbandingan 1:2 (Sarwono 2010). Standar Nasional Indonesia atau SNI (2009) menyatakan bahwa tempe merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan ragi Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan, dan berbau khas tempe. Tempe adalah makan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Sugiarto et al. 2002). Tempe biasa diolah menjadi tempe goreng, keripik tempe, dan tempe bacem. Beberapa negara telah mengembangkan inovasi produk olahan tempe seperti pengalengan tempe, sosis tempe, nugget tempe, dan lain-lain (Santoso 2005). Tempe telah merambah ke lima benua. Tempe mulai popular di Eropa pada tahun 1946 melalui negeri Belanda. Perusahaan tempe pada tahun 1984 di Eropa tercatat sebanyak 18 perusahaan, Amerika sebanyak 53 perusahaan, dan Jepang sebanyak 8 perusahaan. Tempe juga sudah mulai dikenal di beberapa negara lain, seperti Cina, India, Taiwan, Srilanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika walaupun masih dalam kalangan terbatas. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% kedelai Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dll). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6.45 kg. Penduduk Indonesia yang cukup banyak mengonsumsi tempe adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, dan DKI Jakarta (Astawan 2009). 4 Tempe memiliki komposisi dan nilai gizi yang lebih besar daripada kedelai. Kandungan komposisi zat gizi tempe rata-rata dalam 100 gram adalah 149 kalori, terdiri dari 64% air, 18.3% protein, 4% lemak, 12.7% karbohidrat, 0.129% kalsium, 0.154% fosfor, dan 0.01% zat besi (Santoso 2005). Perbandingan komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe per 100 gram Faktor Mutu Gizi Padatan terlarut (%) Nitrogen terlarut (%) Asam amino bebas (%) Asam lemak bebas (%) Nilai cerna (%) Nilai efisiensi protein Skor kimia (Astawan 2009) Kedelai Rebus 14 6.5 0.5 0.5 75 1.6 75 Tempe 34 39 7.3-12 21 83 2.1 78 Ragi tempe menghasilkan enzim-enzim perncernaan seperti amilase, lipase, dan protease. Enzim-enzim pencernaan tersebut mempermudah karbohidrat, lemak, dan protein untuk dicerna di dalam tubuh (Astawan 2009). Protein kedelai dipecah menjadi asam amino dan peptida yang lebih kecil serta larut dalam air selama proses fermentasi tempe. Hal ini menjadikan tempe sebagai pangan sumber protein nabati esensial. Kandungan beberapa asam amino dalam tempe kedelai dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Komposisi asam amino tempe kedelai Nama Asam Amino Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Asam Aspartat Asam Glutamat Glisin Prolin Serin (Santoso 2008) Kadar (mg/g nitrogen total) 333 529 370 71 100 305 245 77 332 407 169 283 715 987 266 308 271 5 Fermentasi kedelai selama 48 jam akan meningkatkan jumlah asam lemak bebas dari 1% dalam kedelai menjadi 30% setelah menjadi tempe (Santoso 2005). Asam lemak yang dominan pada tempe adalah asam lemak tidak jenuh yaitu sekitar 80% dari total asam lemak. Asam lemak tidak jenuh tersebut bersifat esensial yang berarti tidak disintesa dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan. Asam lemak tidak jenuh esensial dominan yang terdapat dalam tempe adalah asam linoleat, asam oleat, dan asam linolenat (Utari 2011). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan kandungan kolesterol dalam serum sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol tubuh (Santoso 2005; Astawan 2009). Tempe memiliki enzim fitase yang dihasilkan oleh ragi untuk menghidrolisa asam fitat (asam pengikat beberapa mineral) menjadi fosfor bebas dan inositol (Santoso 2005; Astawan 2009). Asam fitat yang terurai menjadikan mineralmineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, seng menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh. Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturutturut adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg dalam setiap 100 gram tempe. Jumlah kalsium dan fosfor dalam 100 gram bahan kering tempe berturut-turut adalah 347 dan 724 mg (Astawan 2009). Dua kelompok vitamin yang terdapat dalam tempe adalah vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe adalah vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan vitamin B12 (sianokobalamin). Selama fermentasi, vitamin B12 jumlahnya meningkat sampai 33 kali, riboflavin meningkat 8-47 kali, piridoksin meningkat 4-14 kali, niasin meningkat 2-5 kali, biotin meningkat 2-3 kali, asam folat meningkat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2 kali. Keberadaan vitamin B12 dalam tempe adalah sangat istimewa karena vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan bijibijian). Kenaikan jumlah vitamin B12 merupakan kenaikan yang paling mencolok pada pembuatan tempe sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar 6 antara 1.5 sampai 6.3 mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 satu orang per hari. Vitamin B12 sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel darah merah karena kekurangan vitamin ini akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa (Astawan 2009). Tempe mengandung zat antioksidan yang dibutuhkan tubuh untuk menghentikan pembentukan radikal bebas. Radikal bebas berpotensi untuk memicu timbulnya kanker. Antioksidan berfungsi untuk mengikat radikal bebas tersebut sehingga efek negatif radikal bebas dapat dicegah. Antioksidan yang telah diidentifikasi dalam tempe dikenal dengan nama antioksidan faktor II (6.7.4trihidroksi isoflavon) serta isoflavon (daidzein dan genestein) (Santoso 2005; Astawan 2009). Antioksidan 6.7.4-trihidroksi isoflavon mempunyai sifat antioksidan paling kuat. Isoflavon tempe terbukti dapat mencegah kanker prostat dan kanker payudara berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas North Carolina Amerika Serikat (Astawan 2009). Kandungan total isoflavon dalam tempe dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Kandungan isoflavon tempe (mg) dalam 100 gram bahan Jenis Tempe Tempe Burger Tempe Tempe yang Dimasak Nutrisi Daidzein Genistein Glycitein Total Isoflavon Daidzein Genistein Glycitein Total Isoflavon Daidzein Genistein Glycitein Total Isoflavon Rata-rata 17.59 24.85 2.10 45.32 6.40 19.60 3.00 53.00 19.25 31.55 2.20 53.00 Standar Deviasi 3.13 5.47 0.67 8.34 Minimal 4.67 1.11 0.90 6.88 6.40 19.60 3.00 53.00 19.25 31.55 2.20 53.00 Maksimal 27.30 39.77 3.20 62.50 6.40 19.60 3.00 53.00 19.25 31.55 2.20 53.00 (USDA 1999) 2.2 Fitoestrogen 2.2.1 Definisi dan Struktur Kimia Fitoestrogen Fitoestrogen adalah zat turunan tanaman yang secara struktural dan secara fungsional mirip estrogen (Murkies et al. 1998; Whitten & Patisaul 2001) dan ditemukan terkandung dalam banyak makanan. Makanan yang mengandung 7 senyawa fitoestrogen adalah kedelai dan produk pangan turunannya (tempe, tahu, kecap, tauco, susu fermentasi, miso), beras merah, gandum, bulgur, sereal, kacang-kacangan, kacang panjang, buncis, brokoli, tauge, daun bawang, daun semanggi merah, teh bunga melati, wortel, tomat, jeruk, dan melon (Nadesul 2008; Santoso & Ismail 2009). Struktur kimia fitoestrogen yang paling khas adalah adanya cincin fenolik yang menjadi prasyarat ikatan pada reseptor estrogen (Murkies et al. 1998). Cincin fenolik inilah yang menjadikan fitoestrogen dapat bekerja seperti estrogen di dalam tubuh. Gambar 1 Perbandingan struktur kimia kelompok-kelompok fitoestrogen dengan estrogen endogenous mamalia (Murkies et al. 1998). 2.2.2 Klasifikasi dan Metabolisme Fitoestrogen Fitoestrogens memiliki tiga kelompok utama (Gambar 2) yaitu isoflavon, coumestans, dan lignan (Murkies et al. 1998; Rishi 2002). Isoflavon dan lignan merupakan fitoestrogen yang secara efektif akan bersaing dengan estradiol (E2) untuk berikatan dengan sel yang memiliki reseptor estrogen pada sitosol (Whitten & Patisaul 2001). Gambar 2 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi 2002). 8 Isoflavon merupakan kelompok fitoestrogen yang menarik untuk dipelajari dalam pandangan kesehatan dan nutrisi. Isoflavon terdiri dari tiga komponen yaitu daidzein, genistein, dan glisetein (Rishi 2002). Genistein dan daidzein merupakan dua komponen utama isoflavon. Genistein merupakan inhibitor kuat untuk protein tirosin kinase (Akiyama et al. 1987) dan dapat mempengaruhi faktor-faktor pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel (Kim et al. 1998). Aktivitas tirosin kinase berkaitan dengan reseptor sel untuk faktor-faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor), faktor pertumbuhan turunan platelet (platelet-derived growth factor), insulin, dan faktor pertumbuhan yang menyerupai insulin (insulin-like growth factor). Oleh karena itu, tirosin kinase memiliki peranan yang penting dalam proliferasi dan transformasi sel (Akiyama et al. 1987). Isoflavon mengalami konversi metabolik kompleks secara enzimatis yang terjadi dalam saluran pencernaan dan membentuk fenol heterosiklik. Fenol heterosiklik memiliki kesamaan struktur yang mirip dengan estrogen (Setchell et al. 1984). Metabolisme yang terjadi di dalam usus merubah genistein menjadi komponen inaktif pethylphenol (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998; Anderson et al. 1999) dan daidzein dirubah menjadi equol, dihydrodaidzein, serta O desmethylangiolensin (O-DMA) (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998; Anderson et al. 1999). Metabolit equol daidzein memiliki konsentrasi terbesar dalam darah dan urin manusia (Anderson et al. 1999). Genistein dan daidzein terdapat pada semua makanan asal kedelai sebagai bentuk tidak terkonjugasi (aglikon) atau sebagai bentuk terkonjugasi (glikosida) (Setchell 1998). Glikosida (bentuk terkonjugasi) tersebut terdiri dari 6-Omalonilglikosida, 6-O-asetilglikosida, dan beta-glikosida. Sejumlah kecil glisetein terkadang juga dapat ditemukan pada makanan asal kedelai. Malonil dan asetil glikosida merupakan komponen yang rentan terhadap panas dan dapat dirubah menjadi beta-glikosida yang lebih stabil (Bames et al. 1994). Glikosida-glikosida ini siap dihidrolisa menjadi aglikon yang aktif secara estrogenik sebagai hasil proses dan pengolahan kedelai atau sebagai hasil metabolisme mikroflora usus (Setchell 1998). 9 Hati memiliki peranan yang penting terhadap metabolisme isoflavon sebagaimana metabolisme hormon steroid. Hati mengkonjugasi isoflavon aglikon dengan asam glukoronik dan dengan sejumlah kecil asam sulfurik. Tingginya efisiensi konjugasi isoflavon menyebabkan sedikitnya proporsi isoflavon bebas yang bersirkulasi. Jaringan epitel gastrointestinal memiliki kapasitas jauh lebih tinggi untuk glukuronidasi isoflavon daripada jaringan hati walaupun hal tersebut dapat berbeda pada beberapa spesies (Setchell 1998). Konjugasi usus merupakan tempat utama glukuronidasi diet isoflavon pada manusia. Waktu paruh isoflavon di dalam plasma adalah 7-8 jam pada individu dewasa (Setchell 1998). Coumestan memiliki kemiripan secara struktur, sifat fisika, dan sifat kimia dengan isoflavon. Coumestrol merupakan komponen coumestan yang paling banyak ditemukan dalam makanan (Humfrey 1998) dan paling sedikit dipelajari dalam aktivitas biologi dan metabolismenya (Rishi 2002). Lignan-lignan yang aktif secara estrogenik, yaitu enterodiol dan enterolaktone merupakan turunan dari zat sekoisolarisiresinol dan matairesinol yang ditemukan dalam tanaman (Murkies et al. 1998). Metabolit fitoestrogen diserap melalui sirkulasi enterohepatik, dieksresikan dalam empedu (Axelson & Setchell 1981), didekonjugasi oleh flora usus, diserap kembali, dikonjugasi kembali oleh hati, dan dieksresikan dalam urin (Murkies et al. 1998). Urin, plasma, feses, semen, empedu, saliva, dan susu dapat mengandung fitoestrogen (Adlercreutz et al. 1995). Konsentrasi metabolitmetabolitnya berbeda setiap individu meskipun telah diberikan makanan yang dikontrol kuantitasnya (Murkies et al.1998). Perbedaan ini disebabkan oleh mikroflora usus, penggunaan antibiotik, penyakit usus, perbedaan jenis kelamin, dan makanan yang dimakan bersamaan (Setchell et al. 1984; Brown & Setchell 2001). 2.2.3 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen terhadap Fisiologi Tubuh Fitoestrogen dapat menurunkan risiko terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung. Protein kedelai yang mengandung fitoestrogen bekerja dengan menurunkan penyerapan kolesterol pada usus halus sehingga menginduksi peningkatan ekskresi fekal asam empedu dan steroid. Hal 10 ini menyebabkan hati lebih banyak mengubah kolesterol tubuh menjadi empedu sehingga menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan aktivitas reseptor kolesterol Low Density Lipid (LDL) yang berdampak pada meningkatnya laju penurunan kadar kolesterol. Pengikatan kolesterol LDL ini mirip dengan mekanisme kerja estrogen. Studi epidemiologi membuktikan bahwa masyarakat yang secara teratur mengkonsumsi makanan dari kedelai memiliki kasus kanker payudara, kolon, dan prostat yang lebih rendah. Fitoestrogen kedelai terbukti secara penelitian in vitro menghambat enzim tirosin kinase sehingga dapat menghambat perkembangan sel-sel kanker dan angiogenesis. Fitoestrogen, terutama genistein, menghambat aktivitas enzim tirosin kinase yang bertangungjawab dalam proliferasi sel melalui kemampuan genistein untuk berkompetisi dengan ATP dan membentuk kompleks enzim-substrat yang tidak produktif (Akiyama et al. 1987). Hal ini menyebabkan proliferasi sel atau pertumbuhan tumor terganggu. Fitoestrogen menghambat tumor untuk membuat pembuluh darah baru untuk menyokong pertumbuhannya. Fitoestrogen terutama isoflavon terbukti dapat mencegah kerapuhan tulang pada tikus yang digunakan sebagai model penelitian osteoporosis. Kedelai memiliki kandungan asam amino bersulfur yang rendah. Keberadaan asam amino bersulfur akan menghambat resorpsi kalsium oleh ginjal sehingga tubuh akan mengalami kehilangan kalsium melalui urin sehingga dapat mengurangi densitas tulang. Produk kedelai yang mengandung isoflavon dapat membantu pengobatan sindrom menopause seperti hot flashes pada wanita yang memiliki kadar estrogen rendah (Koswara 2006). Konsumsi produk makanan yang mengandung fitoestrogen seperti kedelai tidak hanya berdampak positif tetapi juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Fitoestrogen dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara pada wanita, kerusakan otak pada pria dan wanita, abnormalitas pada bayi, gangguan tiroid terutama wanita, penurunan asupan mineral karena adanya enzim fitase, pembentukan batu ginjal, kelemahan sistem imun, serta reaksi alergi yang parah dan fatal (Mercola & Droege 2004). Fitoestrogen terbukti dapat meningkatkan kejadian kanker payudara seperti efek pemberian diethylstilbestrol (DES) pada mencit perinatal yang menyebabkan tumor mamari (Whitten & Patisaul 2001; Mercola & Droege 2004). Pemberian 11 preparat estrogen atau fitoestrogen, yang bekerja menyerupai estrogen, pada individu muda akan mempengaruhi kerentanan terhadap kanker mamari. Proliferasi dan diferensiasi struktur epithelial akan menjadi sensitif terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh karsinogen akibat pemberian preparat estrogen atau fitoestrogen (Whitten & Patisaul 2001). Fitoestrogen menyebabkan hilangnya perkembangan sistem reproduksi fetus jantan karena sifat estrogenik fitoestrogen dapat menghambat produksi testosteron yang bertanggungjawab dalam maskulinisasi saluran reproduksi dan genital luar individu jantan (North & Golding 2000; Williams et al. 2001). 2.3 Biologi Umum Tikus Tikus laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian adalah Rattus norvegicus dan berasal dari galur albino tikus Norway. Peternakan tikus pertama didirikan pada tahun 1925 oleh Mr. Robert Worthington Dawley (1897-1949). Ahli kimia-fisika Universitas Wisconsin ini memberi nama galur tikus dari kombinasi nama gadis istrinya (Sprague) dengan namanya sendiri sehingga membentuk nama Sprague-Dawley. Galur Sprague Dawley dikembangkan dari hibridisasi tikus jantan yang memiliki ukuran dan tenaga luar biasa dan secara genetik berwarna setengah putih. Tikus jantan ini dikawinkan dengan tikus betina putih galur Douredoure yang mungkin berasal dari Wistar selama tujuh generasi. Seleksi dilakukan untuk mempertahankan atau mendapatkan karakteristik unggul seperti laktasi tinggi, pertumbuhan cepat, kuat, temperamen baik, dan resistan tinggi terhadap arsenik trioksida (Suckow et al. 2006). Tikus termasuk ke dalam ordo Rodentia dan family Muridae. Tikus dewasa secara umum memiliki berat badan antara 300 dan 500 gr, dengan jantan yang lebih besar daripada betina. Kebanyakan tikus laboratorium adalah albino dengan rambut putih dan mata merah muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus memiliki sifat unggul untuk tujuan percobaan, yaitu rentang kehidupan pendek, waktu kebuntingan pendek, jumlah anak seperindukan banyak, keberagaman genetik besar, biaya pembelian dan pemeliharaannya murah, dan mudah dalam perawatan. Tikus merupakan hewan sosial dan dapat berkembang dengan baik meskipun dikandangkan sendiri atau dalam kelompok kecil yang jumlah 12 individunya sedikit. Tikus jarang berkelahi satu sama lain dan tikus-tikus jantan dapat dikandangkan bersama. Tikus menggali dan membuat sarang untuk tikus muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Kebanyakan galur tikus bersifat jinak, ingin tahu, dan mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan (Reference 2008). Tikus akan menggigit karena takut jika ditangani secara kasar. Data biologi dan reproduksi tikus dapat dilihat pada Tabel 4. Tikus berukuran jauh lebih besar dibandingkan mencit, memiliki kepala berbentuk kerucut, bertubuh silindris panjang, dan ditutupi oleh rambut. Tikus memiliki kaki yang pendek dan berekor panjang. Tikus memiliki lemak coklat yang penting dalam termogenesis. Lemak coklat ditemukan di antara skapula dan di dalam ventral region servikal. Lemak coklat dapat dikelirukan dengan kelenjar saliva atau limfonodus. Anatomi dari sistem gastrointestinal tikus secara umum mirip dengan mencit. Rumus gigi tikus adalah 2(1/1 seri, 0/0 taring, 0/0 premolar, 3/3 molar). Lambung dibagi menjadi aglandular forestomach dan glandular stomach. Tikus tidak dapat muntah karena lipatan pada batas punggung yang memisahkan dua bagian perut yang menutupi jalan masuk esophagus. Hal unik sistem digesti tikus adalah tidak adanya kantung empedu, adanya difus pankreas, serta sejumlah kelenjar saliva dan organ-organ yang mirip kelenjar di kepala dan leher. Sekum tikus sangat berkembang dan berfungsi untuk mencerna selulosa melalui bantuan mikroba seperti pada rumen. Tikus dengan mikroba sekum yang tidak berkembang menjadikan sekum sangat menggembung dan kadang-kadang berputar pada sumbu aksis sehingga dapat terjadi torsio sekal yang fatal (Hrapkiewicz & Medina 1998). Penentuan jenis kelamin neonatal dilakukan melalui perbandingan jarak anogenital dan ukuran tonjolan genital. Tonjolan genital yang lebih besar dan jarak anogenital yang lebih besar merupakan ciri tikus jantan. Jenis kelamin tikus dewasa mudah untuk dibedakan. Tikus jantan memiliki testis di dalam skrotum. Testis dapat ditarik ulur karena pembukaan kanal inguinal. Tikus jantan memiliki os penis pada alat kelamin luarnya (Hrapkiewicz & Medina 1998; Suckow et al. 2006). Tikus betina memiliki jaringan mamari yang luas dan terletak di ventral tubuh dari leher ke daerah inguinal. Tikus memiliki 6 pasang kelenjar mamari, 3 13 pasang terletak di toraks dan 3 pasang terletak di abdominal (Hrapkiewicz & Medina 1998). Gambar 3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tabel 4 Data biologis dan reproduktif tikus Bobot Badan Dewasa Jantan Betina Usia Suhu Tubuh Denyut Jantung Frekuensi Napas Konsumsi makanan Konsumsi air Umur Kawin Jantan Betina Panjang Siklus Estrus Periode Bunting Postpartum Estrus Banyaknya Anak Usia Penyapihan Lama Masa Kawin Jumlah Kromosom (diploid) (Hrapkiewicz & Medina 1998) 300-520 g 250-300 g 2.5-3.5 tahun 35.9-37.5 °C (96.6-99.5 °F) 250-450 kali per menit 70-115 kali per menit 5-6g/100g/ hari 10-12 ml/100g/ hari 65-110 hari 65-110 hari 4-5 hari 21-23 hari Fertil 6-12 21 hari 350-330 hari 42 Anak tikus dilahirkan tanpa rambut, buta, dan tuli. Anak tikus memiliki rambut secara utuh pada umur 7-10 hari, telinga terbuka pada umur 2.5-3.5 hari, dan mata terbuka pada umur 7-14 hari. Usia penyapihan tikus biasanya 21 hari. Suhu ruangan yang nyaman untuk tikus adalah 18-26 °C (64-79 °F) dan kelembaban sebesar 30% dan 70%. Tikus merupakan hewan nokturnal sehingga pada tikus laboratorium perlu dilakukan pengaturan cahaya. Siklus gelap ditujukan untuk aktivitas normal dan proses fisiologis tikus. Siklus terang di dalam laboratorium biasanya diatur oleh alat yang menyediakan 12-14 jam cahaya per hari. Jika siklus terang tidak diatur maka ritme jantung tikus akan terganggu 14 dan merusak hasil manipulasi eksperimental. Tikus dapat dijaga untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar komersial yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak. Tikus dapat makan rata-rata 5-6 g/100 g BB/hari. Tikus dewasa minum rata-rata sebanyak 10-12 ml/100 g BB/hari (Hrapkiewicz & Medina 1998). 2.4 Reproduksi Tikus Betina 2.4.1 Reproduksi Umum Tikus Tikus mencapai pubertas pada usia 6-8 minggu dan biasanya tidak dikawinkan sampai mencapai umur 3 bulan. Panjang siklus berahi pada tikus betina adalah 4-5 hari yang terdiri dari fase proestrus selama 12 jam, estrus selama 12 jam, metestrus selama 21 jam, dan diestrus selama 57 jam (Hrapkiewicz & Medina 1998; Suckow et al. 2006). Vaginal plug terdapat dalam saluran reproduksi betina pada 12-24 jam setelah koitus. Massa seperti keju ini berguna untuk identifikasi telah terjadinya perkawinan. Deteksi siklus berahi dapat dilakukan dengan membuat preparat ulas vagina dan dilihat gambaran sel epitel vaginanya. Deteksi perkawinan bisa juga dilakukan dengan melihat adanya spermatozoa di antara sel-sel epitel tersebut. Periode kebuntingan tikus biasanya selama 21-23 hari. Tikus betina akan kembali estrus pada 2-4 hari setelah lepas sapih. Rata-rata jumlah anak seperindukan adalah 6-12 anak. Jumlah ini dapat bervariasi tergantung galur dan umur tikus (Hrapkiewicz & Medina 1998). 2.4.2 Hormon-hormon yang berperan dalam reproduksi tikus betina Hormon adalah zat perantara kimiawi jarak jauh yang secara spesifik disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin sebagai respon terhadap sinyal yang sesuai. Darah membawa zat perantara ini ke bagian tubuh lain tempat zat tersebut menimbulkan pengaruhnya pada sel sasaran dan terletak jauh dari tempat sekresinya. Kelenjar-kelenjar endokrin yang menjadi tempat sintesa hormon adalah hipotalamus, hipofisis, pineal, tiroid, paratiroid, adrenal, pankreas, plasenta, ginjal, lambung, duodenum, hati, kulit, timus, jantung, dan gonad (ovarium atau testis) (Sherwood 2001). 15 Tabel 5 Efek estrogen dan progesteron Estrogen Efek pada Jaringan Spesifik Seks Esensial utuk pematangan dan pelepasan ovum Merangsang pertumbuhan dan memelihara keseluruhan saluran reproduksi betina Merangsang proliferasi sel granulosa yang menyebabkan pematangan folikel Menipiskan mukus serviks untuk memudahkan penetrasi sperma Meningkatkan transportasi sperma ke oviduk dengan merangsang kontraksi uterus dan kontraksi oviduk ke anterior Merangsang pertumbuhan endomentrium dan miometrium Menginduksi pementukan reseptor progesteron di endometrium dan selama reseptor oksitosin di miometrium selama gestasi Efek Reproduksi Lain Kontrol sekresi GnRH dan gonadotropin Kadar tinggi memicu lonjakan LH Merangsang perkembangan duktus mamae selama kebuntingan Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh prolaktin selama kebuntingan Efek Nonreproduksi Meningkatkan penimbunan lemak Menutup lempeng epifisis Menurunkan kolesterol darah Memiliki efek vaskuler (defisiensi dapat menyebabkan hot flashes pada wanita menaupose) (Sherwood 2001) Progesteron Mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan fetus Meningkatkan pembentukan sumbat mukus yang kental di kanalis servikalis Menghambat sekresi GnRH dan gonadotropin hipotalamus Merangsang perkembangan alveolus mamae selama kebuntingan Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh prolaktin selama kebuntingan Menghambat kontraksi uterus selama kebuntingan Ovarium adalah salah satu organ penghasil hormon yang berfungsi dalam sistem reproduksi primer betina. Ovarium melakukan tugas ganda yaitu menghasilkan ovum (oogenesis) dan mengeluarkan hormon-hormon steroid seks betina seperti estrogen dan progesteron. Estrogen bertanggung jawab untuk pematangan dan pemeliharaan seluruh sistem reproduksi betina. Efek estrogen penting pada masa prakonsepsi untuk pematangan folikel yang secara tidak langsung akan merangsang pengeluaran ovum dan pembentukan berbagai karakteristik fisik yang menarik perhatian jantan secara seksual. Estrogen juga penting untuk mengawali kerja hormon progesteron dalam proses proliferasi selsel pada uterus. Hormon steroid ovarium lain yaitu progesteron berperan penting untuk mempersiapkan lingkungan uterus yang sesuai untuk embrio yang sedang tumbuh, yaitu untuk proses implantasi, dan berperan dalam kemampuan mamari 16 menghasilkan susu (Marks et al. 2000; Sherwood 2001). Progesteron bersamasama dengan estrogen akan lebih memperkaya lingkungan mikro uterus. 2.4.3 Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina Proses reproduksi hewan betina dimulai saat hewan mencapai usia dewasa kelamin. Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin pada umur 6-8 minggu (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus betina sudah dapat memulai aktivitas reproduksinya yang diawali dengan terjadinya vaginal opening dan terjadinya siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Mekanisme siklus berahi juga menyebabkan pergantian fase-fase yang terjadi di dalam ovarium yaitu fase folikular yang berlangsung saat proestrus dan estrus serta fase luteal yang berlangsung saat metestrus dan diestrus (Campbell et al. 2004). Fungsi ovarium secara langsung diatur oleh hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior yaitu FSH dan LH. Kedua hormon ini diatur oleh GonadotropinReleasing Hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya ekspulsif dan memiliki mekanisme umpan balik. FSH dan LH memiliki target organ ovarium. Ovarium berada dalam fase folikular dan fase luteal secara bergantian setelah pubertas karena adanya pengaruh Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Fase folikular didominasi oleh adanya folikel matang yang aktif mensekresi estrogen dan fase luteal ditandai dengan adanya korpus luteum yang aktif mensekresi progesteron (Campbell et al. 2004). Folikel-folikel primer dalam ovarium mulai tumbuh setiap saat sepanjang siklus selama fase folikular dan lingkungan hormonal yang tepat akan mendorong pematangan folikel. FSH adalah hormon yang merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel. Tidak semua folikel berkembang dan menjadi folikel yang matang/dominan. Folikel-folikel yang tidak berkembang dan tidak mendapat bantuan hormon akan mengalami atresia. Folikel-folikel yang berkembang akan memproduksi estrogen. Pengeluaran estrogen yang mencapai puncak dan konsentrasinya yang tinggi akan memicu lonjakan sekresi LH. Lonjakan sekresi LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang sehingga sekresi estrogen menurun setelah ovulasi (Sherwood 2001; Campbell et al. 2004). 17 Sel-sel folikel yang masih tetap berada di ovarium setelah ovulasi, akan berkembang menjadi korpus luteum, yaitu jaringan endokrin yang mensekresikan hormon betina (mengeluarkan progesteron dan sedikit estrogen) selama fase luteal dalam siklus ovarium. Progesteron yang disekresikan akan menghambat sekresi FSH dan LH sehingga kadar kedua hormon tersebut menurun selama fase luteal. Kadar progesteron dan estrogen akan menurun tajam saat korpus luteum berdegenerasi sehingga pengaruh inhibitorik terhadap sekresi FSH dan LH akan hilang. Kadar kedua hormon ini akan kembali meningkat dan merangsang berkembangnya folikel-folikel baru seiring dengan berulangnya fase folikular. Fase-fase uterus juga terjadi bersamaan dengan fase folikular dan fase luteal selama siklus dan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium terhadap uterus. Estrogen yang disekresikan saat fase folikular juga akan digunakan untuk proliferasi sel-sel pada uterus sehingga pada awal fase folikular uterus memiliki lapisan endometrium yang kaya pembuluh darah. Akhir fase folikular dengan kadar estrogen yang meningkat akan semakin menyebabkan penebalan endometrium (fase proliferasi uterus). Progesteron dari korpus luteum setelah ovulasi akan menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi (fase sekretorik atau pregestasional uterus) (Sherwood 2001; Campbell et al. 2004). 2.4.4 Pengaruh Hormon Reproduksi terhadap Kebuntingan dan Laktasi Hormon-hormon yang diproduksi selama kebuntingan selain dipergunakan untuk kebutuhan tumbuh kembangnya fetus juga dipergunakan untuk pertumbuhan organ-organ yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fetus. Estrogen berperan dalam perkembangan kelenjar mamari sebagai antisipasi laktasi dan merangsang pertumbuhan miometrium selama masa kebuntingan, serta meningkatkan kekuatan uterus untuk kelahiran. Progesteron selama masa kebuntingan berperan menekan kontraksi uterus agar lingkungan fetus tenang, mendorong pembentukan sumbat mukus di serviks untuk mencegah kontaminasi 18 uterus, dan membantu mempersiapkan kelenjar mamari untuk laktasi (Marks et al. 2000; Sherwood 2001). Air susu yang diproduksi oleh kelenjar mamari merupakan zat esensial bagi keberlangsungan hidup tikus neonatus. Kelenjar mamari akan dipersiapkan untuk laktasi selama masa gestasi. Kelenjar mamari membentuk struktur dan fungsi kelenjar internal yang penting untuk menghasilkan susu di bawah pengaruh hormon-hormon yang terdapat selama kebuntingan. Kelenjar mamari terdiri dari jaringan duktus yang secara progresif mengecil dan bercabang dari puting mamae dan berakhir di lobulus-lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok alveolus berlapis epitel yang membentuk kelenjar penghasil susu. Susu disintesis oleh sel epitel, disekresikan ke dalam lumen alveolus dan mengalir melalui duktus pengumpul susu ke permukaan puting mamae. Konsentrasi estrogen yang tinggi selama kehamilan akan menyebabkan perkembangan duktus yang ekstensif dan kadar progesteron yang tinggi akan merangsang pembentukan lobules alveolus. Peningkatan konsentrasi prolaktin (suatu hormon hipofisis anterior yang dirangsang oleh peningkatan kadar estrogen) akan menginduksi pembentukan enzim-enzim yang diperlukan untuk menghasilkan susu. Keberlangsungan laktasi setelah persalinan akan dipertahankan oleh prolaktin yang bekerja pada epitel alveolus untuk mensekresikan susu dan oksitosin yang menyebabkan penyemprotan susu. Pengeluaran hormon tersebut dirangsang oleh refleks neuroendokrin yang dipicu oleh rangsangan isapan pada puting mamae (Sherwood 2001). 2.4.5 Organogenesis Organogenesis atau proses pembentukan organ-organ fetus merupakan waktu kritis yang sensitif terhadap agen toksik (Pyror et al. 2000). Proses ini terjadi pada kebuntingan tikus umur 7-17 hari (FSA 2011). Tahapan organogenesis tikus dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Tahapan-tahapan kritis pada perkembangan tikus (FSA 2011). 19 20 Beberapa bahan kimia seperti pestisida, surfaktan, fitoestrogen, logam berat, dan obat-obatan farmasi dapat mengurangi jumlah ketersediaan reseptor estrogen. Hal ini disebabkan oleh kemampuan bahan-bahan kimia tersebut untuk berikatan dengan reseptor estrogen karena sifatnya yang menyerupai estrogen alami. Pemaparan bahan-bahan kimia ini selama organogenesis menyebabkan faktor genetik yang mengontrol maturasi akhir saraf di hipotalamus terganggu, sehingga mempengaruhi program proliferasi sel, migrasi, diferensiasi, dan pembentukan sinaps (Ramesh et al. 2004). Gangguan terhadap beberapa tahapan perkembangan fetus dapat menyebabkan perubahan tahapan selanjutnya dari perkembangan saraf sehingga gangguan jangka pendek dapat menyebabkan gangguan jangka panjang (Schettler et al. 2000). Pemaparan zat kimia toksik pada neonatus telah dilaporkan dapat mempengaruhi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) yang menyebabkan perubahan pengaturan dan aktivasi sehingga HPA sensitif pada tantangan kimia lingkungan saat dewasa (McCormick et al. 1998). Pajanan estrogen selama periode kritis perkembangan fetus dapat merubah morfologi dan fisiologi penanda diferensiasi seksual. Sebuah penelitian dilakukan dengan memberikan 16 mg genistein dan 14 mg daidzein per 100 gram pakan kepada tikus Sparague Dawley bunting dan anak yang dilahirkannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi perpanjangan jarak celah anogenital pada anak tikus betina (Casanova et al. 1999).