bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tempe
Tempe dibuat dari biji kedelai yang difermentasi dengan bantuan ragi (Boga
2005). Ragi yang terdapat dalam pembuatan tempe adalah Rhyzopus oligosporus,
Rhyzopus oryzae, Rhyzopus stolonifer, Rhyzopus chlamdosporus, dan Rhyzopus
arrhizus. Rhyzopus oligosporus lebih banyak mensintesis enzim pemecah protein
(protease) dan Rhyzopus oryzae lebih banyak mensintesis enzim pemecah pati
(alfa amilase) selama proses fermentasi. Kedua jenis ragi tersebut digunakan
dalam pembuatan tempe dengan kadar Rhyzopus oligosporus lebih banyak atau
dengan perbandingan 1:2 (Sarwono 2010). Standar Nasional Indonesia atau SNI
(2009) menyatakan bahwa tempe merupakan produk yang diperoleh dari
fermentasi biji kedelai dengan menggunakan ragi Rhizopus sp., berbentuk padatan
kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan, dan berbau khas tempe.
Tempe adalah makan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia (Sugiarto et al. 2002). Tempe biasa diolah menjadi tempe goreng,
keripik tempe, dan tempe bacem. Beberapa negara telah mengembangkan inovasi
produk olahan tempe seperti pengalengan tempe, sosis tempe, nugget tempe, dan
lain-lain (Santoso 2005). Tempe telah merambah ke lima benua. Tempe mulai
popular di Eropa pada tahun 1946 melalui negeri Belanda. Perusahaan tempe pada
tahun 1984 di Eropa tercatat sebanyak 18 perusahaan, Amerika sebanyak 53
perusahaan, dan Jepang sebanyak 8 perusahaan. Tempe juga sudah mulai dikenal
di beberapa negara lain, seperti Cina, India, Taiwan, Srilanka, Kanada, Australia,
Amerika Latin, dan Afrika walaupun masih dalam kalangan terbatas. Indonesia
merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai
terbesar di Asia. Sebanyak 50% kedelai Indonesia dikonsumsi dalam bentuk
tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco,
kecap, dll). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini
diduga sekitar 6.45 kg. Penduduk Indonesia yang cukup banyak mengonsumsi
tempe adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, Lampung, dan DKI Jakarta (Astawan 2009).
4
Tempe memiliki komposisi dan nilai gizi yang lebih besar daripada kedelai.
Kandungan komposisi zat gizi tempe rata-rata dalam 100 gram adalah 149 kalori,
terdiri dari 64% air, 18.3% protein, 4% lemak, 12.7% karbohidrat, 0.129%
kalsium, 0.154% fosfor, dan 0.01% zat besi (Santoso 2005). Perbandingan
komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe per 100 gram
Faktor Mutu Gizi
Padatan terlarut (%)
Nitrogen terlarut (%)
Asam amino bebas (%)
Asam lemak bebas (%)
Nilai cerna (%)
Nilai efisiensi protein
Skor kimia
(Astawan 2009)
Kedelai Rebus
14
6.5
0.5
0.5
75
1.6
75
Tempe
34
39
7.3-12
21
83
2.1
78
Ragi tempe menghasilkan enzim-enzim perncernaan seperti amilase, lipase,
dan protease. Enzim-enzim pencernaan tersebut mempermudah karbohidrat,
lemak, dan protein untuk dicerna di dalam tubuh (Astawan 2009). Protein kedelai
dipecah menjadi asam amino dan peptida yang lebih kecil serta larut dalam air
selama proses fermentasi tempe. Hal ini menjadikan tempe sebagai pangan
sumber protein nabati esensial. Kandungan beberapa asam amino dalam tempe
kedelai dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi asam amino tempe kedelai
Nama Asam Amino
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Sistin
Fenilalanin
Treonin
Triptofan
Valin
Arginin
Histidin
Alanin
Asam Aspartat
Asam Glutamat
Glisin
Prolin
Serin
(Santoso 2008)
Kadar (mg/g nitrogen total)
333
529
370
71
100
305
245
77
332
407
169
283
715
987
266
308
271
5
Fermentasi kedelai selama 48 jam akan meningkatkan jumlah asam lemak
bebas dari 1% dalam kedelai menjadi 30% setelah menjadi tempe (Santoso 2005).
Asam lemak yang dominan pada tempe adalah asam lemak tidak jenuh yaitu
sekitar 80% dari total asam lemak. Asam lemak tidak jenuh tersebut bersifat
esensial yang berarti tidak disintesa dalam tubuh dan harus diperoleh dari
makanan. Asam lemak tidak jenuh esensial dominan yang terdapat dalam tempe
adalah asam linoleat, asam oleat, dan asam linolenat (Utari 2011). Asam lemak
tidak jenuh mempunyai efek penurunan kandungan kolesterol dalam serum
sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol tubuh (Santoso 2005; Astawan
2009).
Tempe memiliki enzim fitase yang dihasilkan oleh ragi untuk menghidrolisa
asam fitat (asam pengikat beberapa mineral) menjadi fosfor bebas dan inositol
(Santoso 2005; Astawan 2009). Asam fitat yang terurai menjadikan mineralmineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, seng menjadi lebih tersedia
untuk dimanfaatkan tubuh. Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturutturut adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg dalam setiap 100 gram tempe. Jumlah
kalsium dan fosfor dalam 100 gram bahan kering tempe berturut-turut adalah 347
dan 724 mg (Astawan 2009).
Dua kelompok vitamin yang terdapat dalam tempe adalah vitamin larut air
(vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe
merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang
terkandung dalam tempe adalah vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin),
asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan vitamin B12
(sianokobalamin). Selama fermentasi, vitamin B12 jumlahnya meningkat sampai
33 kali, riboflavin meningkat 8-47 kali, piridoksin meningkat 4-14 kali, niasin
meningkat 2-5 kali, biotin meningkat 2-3 kali, asam folat meningkat 4-5 kali, dan
asam pantotenat meningkat 2 kali. Keberadaan vitamin B12 dalam tempe adalah
sangat istimewa karena vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk
hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan bijibijian). Kenaikan jumlah vitamin B12 merupakan kenaikan yang paling mencolok
pada pembuatan tempe sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin B12
yang potensial dari bahan pangan nabati. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar
6
antara 1.5 sampai 6.3 mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah
dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 satu orang per hari. Vitamin B12 sangat
diperlukan dalam pembentukan sel-sel darah merah karena kekurangan vitamin ini
akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa (Astawan 2009).
Tempe mengandung zat antioksidan yang dibutuhkan tubuh untuk
menghentikan pembentukan radikal bebas. Radikal bebas berpotensi untuk
memicu timbulnya kanker. Antioksidan berfungsi untuk mengikat radikal bebas
tersebut sehingga efek negatif radikal bebas dapat dicegah. Antioksidan yang
telah diidentifikasi dalam tempe dikenal dengan nama antioksidan faktor II (6.7.4trihidroksi isoflavon) serta isoflavon (daidzein dan genestein) (Santoso 2005;
Astawan 2009). Antioksidan 6.7.4-trihidroksi isoflavon mempunyai sifat
antioksidan paling kuat. Isoflavon tempe terbukti dapat mencegah kanker prostat
dan kanker payudara berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas North
Carolina Amerika Serikat (Astawan 2009). Kandungan total isoflavon dalam
tempe dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan isoflavon tempe (mg) dalam 100 gram bahan
Jenis Tempe
Tempe
Burger Tempe
Tempe yang
Dimasak
Nutrisi
Daidzein
Genistein
Glycitein
Total Isoflavon
Daidzein
Genistein
Glycitein
Total Isoflavon
Daidzein
Genistein
Glycitein
Total Isoflavon
Rata-rata
17.59
24.85
2.10
45.32
6.40
19.60
3.00
53.00
19.25
31.55
2.20
53.00
Standar Deviasi
3.13
5.47
0.67
8.34
Minimal
4.67
1.11
0.90
6.88
6.40
19.60
3.00
53.00
19.25
31.55
2.20
53.00
Maksimal
27.30
39.77
3.20
62.50
6.40
19.60
3.00
53.00
19.25
31.55
2.20
53.00
(USDA 1999)
2.2
Fitoestrogen
2.2.1
Definisi dan Struktur Kimia Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah zat turunan tanaman yang secara struktural dan secara
fungsional mirip estrogen (Murkies et al. 1998; Whitten & Patisaul 2001) dan
ditemukan terkandung dalam banyak makanan. Makanan yang mengandung
7
senyawa fitoestrogen adalah kedelai dan produk pangan turunannya (tempe, tahu,
kecap, tauco, susu fermentasi, miso), beras merah, gandum, bulgur, sereal,
kacang-kacangan, kacang panjang, buncis, brokoli, tauge, daun bawang, daun
semanggi merah, teh bunga melati, wortel, tomat, jeruk, dan melon (Nadesul
2008; Santoso & Ismail 2009).
Struktur kimia fitoestrogen yang paling khas adalah adanya cincin fenolik
yang menjadi prasyarat ikatan pada reseptor estrogen (Murkies et al. 1998).
Cincin fenolik inilah yang menjadikan fitoestrogen dapat bekerja seperti estrogen
di dalam tubuh.
Gambar 1 Perbandingan struktur kimia kelompok-kelompok fitoestrogen dengan
estrogen endogenous mamalia (Murkies et al. 1998).
2.2.2
Klasifikasi dan Metabolisme Fitoestrogen
Fitoestrogens memiliki tiga kelompok utama (Gambar 2) yaitu isoflavon,
coumestans, dan lignan (Murkies et al. 1998; Rishi 2002). Isoflavon dan lignan
merupakan fitoestrogen yang secara efektif akan bersaing dengan estradiol (E2)
untuk berikatan dengan sel yang memiliki reseptor estrogen pada sitosol (Whitten
& Patisaul 2001).
Gambar 2 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi 2002).
8
Isoflavon merupakan kelompok fitoestrogen yang menarik untuk dipelajari
dalam pandangan kesehatan dan nutrisi. Isoflavon terdiri dari tiga komponen yaitu
daidzein, genistein, dan glisetein (Rishi 2002). Genistein dan daidzein merupakan
dua komponen utama isoflavon. Genistein merupakan inhibitor kuat untuk protein
tirosin kinase (Akiyama et al. 1987) dan dapat mempengaruhi faktor-faktor
pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel (Kim et al. 1998). Aktivitas tirosin
kinase berkaitan dengan reseptor sel untuk faktor-faktor pertumbuhan seperti
faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor), faktor pertumbuhan
turunan platelet (platelet-derived growth factor), insulin, dan faktor pertumbuhan
yang menyerupai insulin (insulin-like growth factor). Oleh karena itu, tirosin
kinase memiliki peranan yang penting dalam proliferasi dan transformasi sel
(Akiyama et al. 1987).
Isoflavon mengalami konversi metabolik kompleks secara enzimatis yang
terjadi dalam saluran pencernaan dan membentuk fenol heterosiklik. Fenol
heterosiklik memiliki kesamaan struktur yang mirip dengan estrogen (Setchell et
al. 1984). Metabolisme yang terjadi di dalam usus merubah genistein menjadi
komponen inaktif pethylphenol (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998;
Anderson et al. 1999) dan daidzein dirubah menjadi equol, dihydrodaidzein, serta
O desmethylangiolensin (O-DMA) (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998;
Anderson et al. 1999). Metabolit equol daidzein memiliki konsentrasi terbesar
dalam darah dan urin manusia (Anderson et al. 1999).
Genistein dan daidzein terdapat pada semua makanan asal kedelai sebagai
bentuk tidak terkonjugasi (aglikon) atau sebagai bentuk terkonjugasi (glikosida)
(Setchell 1998). Glikosida (bentuk terkonjugasi) tersebut terdiri dari 6-Omalonilglikosida, 6-O-asetilglikosida, dan beta-glikosida. Sejumlah kecil glisetein
terkadang juga dapat ditemukan pada makanan asal kedelai. Malonil dan asetil
glikosida merupakan komponen yang rentan terhadap panas dan dapat dirubah
menjadi beta-glikosida yang lebih stabil (Bames et al. 1994). Glikosida-glikosida
ini siap dihidrolisa menjadi aglikon yang aktif secara estrogenik sebagai hasil
proses dan pengolahan kedelai atau sebagai hasil metabolisme mikroflora usus
(Setchell 1998).
9
Hati memiliki peranan yang penting terhadap metabolisme isoflavon
sebagaimana metabolisme hormon steroid. Hati mengkonjugasi isoflavon aglikon
dengan asam glukoronik dan dengan sejumlah kecil asam sulfurik. Tingginya
efisiensi konjugasi isoflavon menyebabkan sedikitnya proporsi isoflavon bebas
yang bersirkulasi. Jaringan epitel gastrointestinal memiliki kapasitas jauh lebih
tinggi untuk glukuronidasi isoflavon daripada jaringan hati walaupun hal tersebut
dapat berbeda pada beberapa spesies (Setchell 1998). Konjugasi usus merupakan
tempat utama glukuronidasi diet isoflavon pada manusia. Waktu paruh isoflavon
di dalam plasma adalah 7-8 jam pada individu dewasa (Setchell 1998).
Coumestan memiliki kemiripan secara struktur, sifat fisika, dan sifat kimia
dengan isoflavon. Coumestrol merupakan komponen coumestan yang paling
banyak ditemukan dalam makanan (Humfrey 1998) dan paling sedikit dipelajari
dalam aktivitas biologi dan metabolismenya (Rishi 2002). Lignan-lignan yang
aktif secara estrogenik, yaitu enterodiol dan enterolaktone merupakan turunan dari
zat sekoisolarisiresinol dan matairesinol yang ditemukan dalam tanaman (Murkies
et al. 1998).
Metabolit fitoestrogen diserap melalui sirkulasi enterohepatik, dieksresikan
dalam empedu (Axelson & Setchell 1981), didekonjugasi oleh flora usus, diserap
kembali, dikonjugasi kembali oleh hati, dan dieksresikan dalam urin (Murkies et
al. 1998). Urin, plasma, feses, semen, empedu, saliva, dan susu dapat
mengandung fitoestrogen (Adlercreutz et al. 1995). Konsentrasi metabolitmetabolitnya berbeda setiap individu meskipun telah diberikan makanan yang
dikontrol kuantitasnya (Murkies et al.1998). Perbedaan ini disebabkan oleh
mikroflora usus, penggunaan antibiotik, penyakit usus, perbedaan jenis kelamin,
dan makanan yang dimakan bersamaan (Setchell et al. 1984; Brown & Setchell
2001).
2.2.3
Pengaruh Pemberian Fitoestrogen terhadap Fisiologi Tubuh
Fitoestrogen dapat menurunkan risiko terjadinya berbagai penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung. Protein kedelai yang mengandung
fitoestrogen bekerja dengan menurunkan penyerapan kolesterol pada usus halus
sehingga menginduksi peningkatan ekskresi fekal asam empedu dan steroid. Hal
10
ini menyebabkan hati lebih banyak mengubah kolesterol tubuh menjadi empedu
sehingga menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan aktivitas reseptor
kolesterol Low Density Lipid (LDL) yang berdampak pada meningkatnya laju
penurunan kadar kolesterol. Pengikatan kolesterol LDL ini mirip dengan
mekanisme kerja estrogen. Studi epidemiologi membuktikan bahwa masyarakat
yang secara teratur mengkonsumsi makanan dari kedelai memiliki kasus kanker
payudara, kolon, dan prostat yang lebih rendah. Fitoestrogen kedelai terbukti
secara penelitian in vitro menghambat enzim tirosin kinase sehingga dapat
menghambat perkembangan sel-sel kanker dan angiogenesis. Fitoestrogen,
terutama
genistein,
menghambat
aktivitas
enzim
tirosin
kinase
yang
bertangungjawab dalam proliferasi sel melalui kemampuan genistein untuk
berkompetisi dengan ATP dan membentuk kompleks enzim-substrat yang tidak
produktif (Akiyama et al. 1987). Hal ini menyebabkan proliferasi sel atau
pertumbuhan tumor terganggu. Fitoestrogen menghambat tumor untuk membuat
pembuluh darah baru untuk menyokong pertumbuhannya. Fitoestrogen terutama
isoflavon terbukti dapat mencegah kerapuhan tulang pada tikus yang digunakan
sebagai model penelitian osteoporosis. Kedelai memiliki kandungan asam amino
bersulfur yang rendah. Keberadaan asam amino bersulfur akan menghambat
resorpsi kalsium oleh ginjal sehingga tubuh akan mengalami kehilangan kalsium
melalui urin sehingga dapat mengurangi densitas tulang. Produk kedelai yang
mengandung isoflavon dapat membantu pengobatan sindrom menopause seperti
hot flashes pada wanita yang memiliki kadar estrogen rendah (Koswara 2006).
Konsumsi produk makanan yang mengandung fitoestrogen seperti kedelai
tidak hanya berdampak positif tetapi juga dapat berdampak buruk terhadap
kesehatan. Fitoestrogen dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara
pada wanita, kerusakan otak pada pria dan wanita, abnormalitas pada bayi,
gangguan tiroid terutama wanita, penurunan asupan mineral karena adanya enzim
fitase, pembentukan batu ginjal, kelemahan sistem imun, serta reaksi alergi yang
parah dan fatal (Mercola & Droege 2004).
Fitoestrogen terbukti dapat meningkatkan kejadian kanker payudara seperti
efek pemberian diethylstilbestrol (DES) pada mencit perinatal yang menyebabkan
tumor mamari (Whitten & Patisaul 2001; Mercola & Droege 2004). Pemberian
11
preparat estrogen atau fitoestrogen, yang bekerja menyerupai estrogen, pada
individu muda akan mempengaruhi kerentanan terhadap kanker mamari.
Proliferasi dan diferensiasi struktur epithelial akan menjadi sensitif terhadap
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh karsinogen akibat pemberian preparat
estrogen atau fitoestrogen (Whitten & Patisaul 2001). Fitoestrogen menyebabkan
hilangnya perkembangan sistem reproduksi fetus jantan karena sifat estrogenik
fitoestrogen dapat menghambat produksi testosteron yang bertanggungjawab
dalam maskulinisasi saluran reproduksi dan genital luar individu jantan (North &
Golding 2000; Williams et al. 2001).
2.3
Biologi Umum Tikus
Tikus laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian adalah Rattus
norvegicus dan berasal dari galur albino tikus Norway. Peternakan tikus pertama
didirikan pada tahun 1925 oleh Mr. Robert Worthington Dawley (1897-1949).
Ahli kimia-fisika Universitas Wisconsin ini memberi nama galur tikus dari
kombinasi nama gadis istrinya (Sprague) dengan namanya sendiri sehingga
membentuk nama Sprague-Dawley. Galur Sprague Dawley dikembangkan dari
hibridisasi tikus jantan yang memiliki ukuran dan tenaga luar biasa dan secara
genetik berwarna setengah putih. Tikus jantan ini dikawinkan dengan tikus betina
putih galur Douredoure yang mungkin berasal dari Wistar selama tujuh generasi.
Seleksi dilakukan untuk mempertahankan atau mendapatkan karakteristik unggul
seperti laktasi tinggi, pertumbuhan cepat, kuat, temperamen baik, dan resistan
tinggi terhadap arsenik trioksida (Suckow et al. 2006).
Tikus termasuk ke dalam ordo Rodentia dan family Muridae. Tikus dewasa
secara umum memiliki berat badan antara 300 dan 500 gr, dengan jantan yang
lebih besar daripada betina. Kebanyakan tikus laboratorium adalah albino dengan
rambut putih dan mata merah muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus
memiliki sifat unggul untuk tujuan percobaan, yaitu rentang kehidupan pendek,
waktu kebuntingan pendek, jumlah anak seperindukan banyak, keberagaman
genetik besar, biaya pembelian dan pemeliharaannya murah, dan mudah dalam
perawatan. Tikus merupakan hewan sosial dan dapat berkembang dengan baik
meskipun dikandangkan sendiri atau dalam kelompok kecil yang jumlah
12
individunya sedikit. Tikus jarang berkelahi satu sama lain dan tikus-tikus jantan
dapat dikandangkan bersama. Tikus menggali dan membuat sarang untuk tikus
muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Kebanyakan galur tikus bersifat jinak, ingin
tahu, dan mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan (Reference 2008). Tikus
akan menggigit karena takut jika ditangani secara kasar. Data biologi dan
reproduksi tikus dapat dilihat pada Tabel 4.
Tikus berukuran jauh lebih besar dibandingkan mencit, memiliki kepala
berbentuk kerucut, bertubuh silindris panjang, dan ditutupi oleh rambut. Tikus
memiliki kaki yang pendek dan berekor panjang. Tikus memiliki lemak coklat
yang penting dalam termogenesis. Lemak coklat ditemukan di antara skapula dan
di dalam ventral region servikal. Lemak coklat dapat dikelirukan dengan kelenjar
saliva atau limfonodus. Anatomi dari sistem gastrointestinal tikus secara umum
mirip dengan mencit. Rumus gigi tikus adalah 2(1/1 seri, 0/0 taring, 0/0 premolar,
3/3 molar). Lambung dibagi menjadi aglandular forestomach dan glandular
stomach. Tikus tidak dapat muntah karena lipatan pada batas punggung yang
memisahkan dua bagian perut yang menutupi jalan masuk esophagus. Hal unik
sistem digesti tikus adalah tidak adanya kantung empedu, adanya difus pankreas,
serta sejumlah kelenjar saliva dan organ-organ yang mirip kelenjar di kepala dan
leher. Sekum tikus sangat berkembang dan berfungsi untuk mencerna selulosa
melalui bantuan mikroba seperti pada rumen. Tikus dengan mikroba sekum yang
tidak berkembang menjadikan sekum sangat menggembung dan kadang-kadang
berputar pada sumbu aksis sehingga dapat terjadi torsio sekal yang fatal
(Hrapkiewicz & Medina 1998).
Penentuan jenis kelamin neonatal dilakukan melalui perbandingan jarak
anogenital dan ukuran tonjolan genital. Tonjolan genital yang lebih besar dan
jarak anogenital yang lebih besar merupakan ciri tikus jantan. Jenis kelamin tikus
dewasa mudah untuk dibedakan. Tikus jantan memiliki testis di dalam skrotum.
Testis dapat ditarik ulur karena pembukaan kanal inguinal. Tikus jantan memiliki
os penis pada alat kelamin luarnya (Hrapkiewicz & Medina 1998; Suckow et al.
2006). Tikus betina memiliki jaringan mamari yang luas dan terletak di ventral
tubuh dari leher ke daerah inguinal. Tikus memiliki 6 pasang kelenjar mamari, 3
13
pasang terletak di toraks dan 3 pasang terletak di abdominal (Hrapkiewicz &
Medina 1998).
Gambar 3
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
(Hrapkiewicz & Medina 1998).
Tabel 4 Data biologis dan reproduktif tikus
Bobot Badan Dewasa
Jantan
Betina
Usia
Suhu Tubuh
Denyut Jantung
Frekuensi Napas
Konsumsi makanan
Konsumsi air
Umur Kawin
Jantan
Betina
Panjang Siklus Estrus
Periode Bunting
Postpartum Estrus
Banyaknya Anak
Usia Penyapihan
Lama Masa Kawin
Jumlah Kromosom (diploid)
(Hrapkiewicz & Medina 1998)
300-520 g
250-300 g
2.5-3.5 tahun
35.9-37.5 °C (96.6-99.5 °F)
250-450 kali per menit
70-115 kali per menit
5-6g/100g/ hari
10-12 ml/100g/ hari
65-110 hari
65-110 hari
4-5 hari
21-23 hari
Fertil
6-12
21 hari
350-330 hari
42
Anak tikus dilahirkan tanpa rambut, buta, dan tuli. Anak tikus memiliki
rambut secara utuh pada umur 7-10 hari, telinga terbuka pada umur 2.5-3.5 hari,
dan mata terbuka pada umur 7-14 hari. Usia penyapihan tikus biasanya 21 hari.
Suhu ruangan yang nyaman untuk tikus adalah 18-26 °C (64-79 °F) dan
kelembaban sebesar 30% dan 70%. Tikus merupakan hewan nokturnal sehingga
pada tikus laboratorium perlu dilakukan pengaturan cahaya. Siklus gelap
ditujukan untuk aktivitas normal dan proses fisiologis tikus. Siklus terang di
dalam laboratorium biasanya diatur oleh alat yang menyediakan 12-14 jam cahaya
per hari. Jika siklus terang tidak diatur maka ritme jantung tikus akan terganggu
14
dan merusak hasil manipulasi eksperimental. Tikus dapat dijaga untuk tumbuh
dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar komersial
yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak. Tikus dapat makan
rata-rata 5-6 g/100 g BB/hari. Tikus dewasa minum rata-rata sebanyak 10-12
ml/100 g BB/hari (Hrapkiewicz & Medina 1998).
2.4
Reproduksi Tikus Betina
2.4.1
Reproduksi Umum Tikus
Tikus mencapai pubertas pada usia 6-8 minggu dan biasanya tidak
dikawinkan sampai mencapai umur 3 bulan. Panjang siklus berahi pada tikus
betina adalah 4-5 hari yang terdiri dari fase proestrus selama 12 jam, estrus selama
12 jam, metestrus selama 21 jam, dan diestrus selama 57 jam (Hrapkiewicz &
Medina 1998; Suckow et al. 2006). Vaginal plug terdapat dalam saluran
reproduksi betina pada 12-24 jam setelah koitus. Massa seperti keju ini berguna
untuk identifikasi telah terjadinya perkawinan. Deteksi siklus berahi dapat
dilakukan dengan membuat preparat ulas vagina dan dilihat gambaran sel epitel
vaginanya. Deteksi perkawinan bisa juga dilakukan dengan melihat adanya
spermatozoa di antara sel-sel epitel tersebut. Periode kebuntingan tikus biasanya
selama 21-23 hari. Tikus betina akan kembali estrus pada 2-4 hari setelah lepas
sapih. Rata-rata jumlah anak seperindukan adalah 6-12 anak. Jumlah ini dapat
bervariasi tergantung galur dan umur tikus (Hrapkiewicz & Medina 1998).
2.4.2
Hormon-hormon yang berperan dalam reproduksi tikus betina
Hormon adalah zat perantara kimiawi jarak jauh yang secara spesifik
disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin sebagai respon terhadap
sinyal yang sesuai. Darah membawa zat perantara ini ke bagian tubuh lain tempat
zat tersebut menimbulkan pengaruhnya pada sel sasaran dan terletak jauh dari
tempat sekresinya. Kelenjar-kelenjar endokrin yang menjadi tempat sintesa
hormon adalah hipotalamus, hipofisis, pineal, tiroid, paratiroid, adrenal, pankreas,
plasenta, ginjal, lambung, duodenum, hati, kulit, timus, jantung, dan gonad
(ovarium atau testis) (Sherwood 2001).
15
Tabel 5 Efek estrogen dan progesteron
Estrogen
Efek pada Jaringan Spesifik Seks
Esensial utuk pematangan dan pelepasan ovum
Merangsang pertumbuhan dan memelihara
keseluruhan saluran reproduksi betina
Merangsang proliferasi sel granulosa yang
menyebabkan pematangan folikel
Menipiskan mukus serviks untuk memudahkan
penetrasi sperma
Meningkatkan transportasi sperma ke oviduk
dengan merangsang kontraksi uterus dan
kontraksi oviduk ke anterior
Merangsang pertumbuhan endomentrium dan
miometrium
Menginduksi pementukan reseptor progesteron
di endometrium dan selama reseptor
oksitosin di miometrium selama gestasi
Efek Reproduksi Lain
Kontrol sekresi GnRH dan gonadotropin
Kadar tinggi memicu lonjakan LH
Merangsang perkembangan duktus mamae
selama kebuntingan
Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh
prolaktin selama kebuntingan
Efek Nonreproduksi
Meningkatkan penimbunan lemak
Menutup lempeng epifisis
Menurunkan kolesterol darah
Memiliki efek vaskuler (defisiensi dapat
menyebabkan hot flashes pada wanita
menaupose)
(Sherwood 2001)
Progesteron
Mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan fetus
Meningkatkan pembentukan sumbat mukus
yang kental di kanalis servikalis
Menghambat sekresi GnRH dan gonadotropin
hipotalamus
Merangsang perkembangan alveolus mamae
selama kebuntingan
Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh
prolaktin selama kebuntingan
Menghambat kontraksi uterus selama
kebuntingan
Ovarium adalah salah satu organ penghasil hormon yang berfungsi dalam
sistem reproduksi primer betina. Ovarium melakukan tugas ganda yaitu
menghasilkan ovum (oogenesis) dan mengeluarkan hormon-hormon steroid seks
betina seperti estrogen dan progesteron. Estrogen bertanggung jawab untuk
pematangan dan pemeliharaan seluruh sistem reproduksi betina. Efek estrogen
penting pada masa prakonsepsi untuk pematangan folikel yang secara tidak
langsung akan merangsang pengeluaran ovum dan pembentukan berbagai
karakteristik fisik yang menarik perhatian jantan secara seksual. Estrogen juga
penting untuk mengawali kerja hormon progesteron dalam proses proliferasi selsel pada uterus. Hormon steroid ovarium lain yaitu progesteron berperan penting
untuk mempersiapkan lingkungan uterus yang sesuai untuk embrio yang sedang
tumbuh, yaitu untuk proses implantasi, dan berperan dalam kemampuan mamari
16
menghasilkan susu (Marks et al. 2000; Sherwood 2001). Progesteron bersamasama dengan estrogen akan lebih memperkaya lingkungan mikro uterus.
2.4.3
Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina
Proses reproduksi hewan betina dimulai saat hewan mencapai usia dewasa
kelamin. Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin pada umur 6-8 minggu
(Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus betina sudah dapat memulai aktivitas
reproduksinya yang diawali dengan terjadinya vaginal opening dan terjadinya
siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Mekanisme siklus
berahi juga menyebabkan pergantian fase-fase yang terjadi di dalam ovarium
yaitu fase folikular yang berlangsung saat proestrus dan estrus serta fase luteal
yang berlangsung saat metestrus dan diestrus (Campbell et al. 2004).
Fungsi ovarium secara langsung diatur oleh hormon-hormon gonadotropik
hipofisis anterior yaitu FSH dan LH. Kedua hormon ini diatur oleh GonadotropinReleasing Hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya ekspulsif dan memiliki
mekanisme umpan balik. FSH dan LH memiliki target organ ovarium. Ovarium
berada dalam fase folikular dan fase luteal secara bergantian setelah pubertas
karena adanya pengaruh Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing
Hormone (LH). Fase folikular didominasi oleh adanya folikel matang yang aktif
mensekresi estrogen dan fase luteal ditandai dengan adanya korpus luteum yang
aktif mensekresi progesteron (Campbell et al. 2004).
Folikel-folikel primer dalam ovarium mulai tumbuh setiap saat sepanjang
siklus selama fase folikular dan lingkungan hormonal yang tepat akan mendorong
pematangan folikel. FSH adalah hormon yang merangsang pertumbuhan dan
pematangan folikel. Tidak semua folikel berkembang dan menjadi folikel yang
matang/dominan. Folikel-folikel yang tidak berkembang dan tidak mendapat
bantuan hormon akan mengalami atresia. Folikel-folikel yang berkembang akan
memproduksi estrogen. Pengeluaran estrogen yang mencapai puncak dan
konsentrasinya yang tinggi akan memicu lonjakan sekresi LH. Lonjakan sekresi
LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang sehingga sekresi estrogen
menurun setelah ovulasi (Sherwood 2001; Campbell et al. 2004).
17
Sel-sel folikel yang masih tetap berada di ovarium setelah ovulasi, akan
berkembang menjadi korpus luteum, yaitu jaringan endokrin yang mensekresikan
hormon betina (mengeluarkan progesteron dan sedikit estrogen) selama fase luteal
dalam siklus ovarium. Progesteron yang disekresikan akan menghambat sekresi
FSH dan LH sehingga kadar kedua hormon tersebut menurun selama fase luteal.
Kadar progesteron dan estrogen akan menurun tajam saat korpus luteum
berdegenerasi sehingga pengaruh inhibitorik terhadap sekresi FSH dan LH akan
hilang. Kadar kedua hormon ini akan kembali meningkat dan merangsang
berkembangnya folikel-folikel baru seiring dengan berulangnya fase folikular.
Fase-fase uterus juga terjadi bersamaan dengan fase folikular dan fase luteal
selama siklus dan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium terhadap
uterus. Estrogen yang disekresikan saat fase folikular juga akan digunakan untuk
proliferasi sel-sel pada uterus sehingga pada awal fase folikular uterus memiliki
lapisan endometrium yang kaya pembuluh darah. Akhir fase folikular dengan
kadar estrogen yang meningkat akan semakin menyebabkan penebalan
endometrium (fase proliferasi uterus). Progesteron dari korpus luteum setelah
ovulasi akan menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium
yang telah dirangsang estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk
implantasi (fase sekretorik atau pregestasional uterus) (Sherwood 2001; Campbell
et al. 2004).
2.4.4
Pengaruh Hormon Reproduksi terhadap Kebuntingan dan
Laktasi
Hormon-hormon yang diproduksi selama kebuntingan selain dipergunakan
untuk
kebutuhan
tumbuh
kembangnya
fetus
juga
dipergunakan
untuk
pertumbuhan organ-organ yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fetus.
Estrogen berperan dalam perkembangan kelenjar mamari sebagai antisipasi laktasi
dan merangsang pertumbuhan miometrium selama masa kebuntingan, serta
meningkatkan kekuatan uterus untuk kelahiran. Progesteron selama masa
kebuntingan berperan menekan kontraksi uterus agar lingkungan fetus tenang,
mendorong pembentukan sumbat mukus di serviks untuk mencegah kontaminasi
18
uterus, dan membantu mempersiapkan kelenjar mamari untuk laktasi (Marks et al.
2000; Sherwood 2001).
Air susu yang diproduksi oleh kelenjar mamari merupakan zat esensial bagi
keberlangsungan hidup tikus neonatus. Kelenjar mamari akan dipersiapkan untuk
laktasi selama masa gestasi. Kelenjar mamari membentuk struktur dan fungsi
kelenjar internal yang penting untuk menghasilkan susu di bawah pengaruh
hormon-hormon yang terdapat selama kebuntingan. Kelenjar mamari terdiri dari
jaringan duktus yang secara progresif mengecil dan bercabang dari puting mamae
dan berakhir di lobulus-lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok alveolus
berlapis epitel yang membentuk kelenjar penghasil susu. Susu disintesis oleh sel
epitel, disekresikan ke dalam lumen alveolus dan mengalir melalui duktus
pengumpul susu ke permukaan puting mamae. Konsentrasi estrogen yang tinggi
selama kehamilan akan menyebabkan perkembangan duktus yang ekstensif dan
kadar progesteron yang tinggi akan merangsang pembentukan lobules alveolus.
Peningkatan konsentrasi prolaktin (suatu hormon hipofisis anterior yang
dirangsang oleh peningkatan kadar estrogen) akan menginduksi pembentukan
enzim-enzim yang diperlukan untuk menghasilkan susu. Keberlangsungan laktasi
setelah persalinan akan dipertahankan oleh prolaktin yang bekerja pada epitel
alveolus
untuk
mensekresikan
susu
dan
oksitosin
yang
menyebabkan
penyemprotan susu. Pengeluaran hormon tersebut dirangsang oleh refleks
neuroendokrin yang dipicu oleh rangsangan isapan pada puting mamae
(Sherwood 2001).
2.4.5
Organogenesis
Organogenesis atau proses pembentukan organ-organ fetus merupakan
waktu kritis yang sensitif terhadap agen toksik (Pyror et al. 2000). Proses ini
terjadi pada kebuntingan tikus umur 7-17 hari (FSA 2011). Tahapan
organogenesis tikus dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan-tahapan kritis pada perkembangan tikus (FSA 2011). 19
20
Beberapa bahan kimia seperti pestisida, surfaktan, fitoestrogen, logam berat,
dan obat-obatan farmasi dapat mengurangi jumlah ketersediaan reseptor estrogen.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan bahan-bahan kimia tersebut untuk berikatan
dengan reseptor estrogen karena sifatnya yang menyerupai estrogen alami.
Pemaparan bahan-bahan kimia ini selama organogenesis menyebabkan faktor
genetik yang mengontrol maturasi akhir saraf di hipotalamus terganggu, sehingga
mempengaruhi program proliferasi sel, migrasi, diferensiasi, dan pembentukan
sinaps (Ramesh et al. 2004). Gangguan terhadap beberapa tahapan perkembangan
fetus dapat menyebabkan perubahan tahapan selanjutnya dari perkembangan saraf
sehingga gangguan jangka pendek dapat menyebabkan gangguan jangka panjang
(Schettler et al. 2000). Pemaparan zat kimia toksik pada neonatus telah dilaporkan
dapat
mempengaruhi
aksis
Hipotalamus-Pituitari-Adrenal
(HPA)
yang
menyebabkan perubahan pengaturan dan aktivasi sehingga HPA sensitif pada
tantangan kimia lingkungan saat dewasa (McCormick et al. 1998). Pajanan
estrogen selama periode kritis perkembangan fetus dapat merubah morfologi dan
fisiologi penanda diferensiasi seksual. Sebuah penelitian dilakukan dengan
memberikan 16 mg genistein dan 14 mg daidzein per 100 gram pakan kepada
tikus Sparague Dawley bunting dan anak yang dilahirkannya. Hasil penelitian
menunjukan bahwa terjadi perpanjangan jarak celah anogenital pada anak tikus
betina (Casanova et al. 1999).
Download