OPINI Berita | Ulasan | Adu Software | Utama | Bisnis | Apa Sih Sebenarnya... | Tutorial I Made Wiryana IGOS Terseok-seok, Pantas Saja BBM Naik T ulisan ini bukan berdasarkan fakta, tapi berdasarkan wangsit, reka-reka, fantasi, dan juga mungkin hanya halusinasi. Bila ada kesamaan dengan kejadian sesungguhnya mungkin itu hanya kebetulan belaka. Dan bila pembaca merasa ini masuk akal, mungkin memang begitu adanya. Tadinya saya mengira keengganan mengadopsi open source di lingkungan badan pemerintahan seperti tergambar dengan terseokseoknya program IGOS, karena faktor teknis ataupun ketiadaan SDM pendukung atau pengoperasi program open source di lingkungan pemerintah. Setelah melihat data yang ada, itu semua bukan alasan. Badan pemerintah di Indonesia belum memiliki kebutuhan yang rumit, dan belum banyak mengembangkan aplikasi yang rumit di platform proprietary. Kantor pemerintah tidak perlu main game, bukan? Berbeda dengan pemerintahan di negara maju seperti di Eropa atau USA, yang sudah terlanjur banyak investasi di platform proprietary. Itupun mereka tetap nekat melakukan migrasi. Ada faktor nonteknis lain yang lebih berpengaruh dalam keengganan pengadopsian open source di Indonesia. Mari kita menerawang bersama-sama, pihak mana yang mungkin enggan dalam mengadopsi open source dalam proyek pemerintah: Pemimpin proyek (pimpro) yang nakal. Seperti yang telah menjadi rahasia umum di Indonesia, banyak pimpro yang bermain mata dalam pelaksanaan proyek badan pemerintahan. Mereka biasanya mendapat keuntungan langsung atau tidak langsung dari komisi, yang berbanding lurus dengan persentase nilai proyek. Mereka tidak peduli apakah ada penghematan di sektor pembelian perangkat lunak atau tidak. Bahkan pembelian lisensi perangkat lunak lebih disukai, karena tidak perlu repot-repot sudah dapat komisi. Yang penting budget tidak terlewati, dan ketika ada pemeriksaan semua bukti sesuai. Apakah pembelian lisensi itu secara makro untuk seluruh Indonesia atau jangka panjang tidak baik? Tidak perlu pusingpusing dipertimbangkan. Belum tentu lima tahun mendatang masih jadi pimpro. Jangan-jangan tahun depan departemennya dihapus? Orang teknis yang memilih enaknya saja. Daripada memikirkan pemilihan distro atau mengembangkan distro yang tepat, lebih baik pakai saja perangkat lunak yang biasa dipakai. Jadi tidak perlu pusing-pusing. Apalagi kalau mendapat komisi dari vendor, tentu makin mahal akan makin baik. Banyak kasus, pemimpin ingin migrasi ke open source, tetapi malah orang teknis merasa enggan. Ditambah lagi dengan pemilihan pada produk vendor besar, maka makin sedikit kemungkinan disalahkan ketika terjadi sesuatu. Pada situasi sekarang, bila ditanya, “Kenapa hang?” Dengan mudah dijawab,”Ini sudah barang termahal, dan lagi produk ini memang sering hang”. Bayangkan kalau nekat mencoba berganti dengan open source, orang akan langsung menyalahkan “Yang mahalan aja masih sering hang, kenapa nekat pakai barang gratisan”. Mirip joke tahun 80-an dalam bidang TI, “Tidak ada orang dipecat karena memilih IBM yang mahal”. Siapa sih yang tidak mau cari selamat zaman sekarang ini? Vendor dan reseller yang cari untung saja. Sebetulnya ini wajar, mereka itu pedagang, jadi harus menjual produk mereka sebanyak-banyaknya. Reseller juga ingin mendapatkan komisi sebanyak-banyaknya dari penjualan perangkat lunak. Semakin konsumen tergantung pada suatu produk, maka bagi mereka semakin baik. Dalam situasi seperti ini, reseller tidak usah pusing-pusing mengembangkan sesuai kustomisasi kebutuhan lokal. Cukup jual lisensi dan dapat komisi. Vendor juga semakin senang, semakin banyak lisensi dibeli, maka semakin gendut pundi-pundinya. Siapa sih yang mau nekat mengubah kondisi yang serba enak ini? Jadi tidak heran kalau harga BBM makin tinggi. Dihubunghubungkan atau tidak, hal ini memang bisa berpengaruh. Mari kita hitung kasar. Misal untuk satu kantor badan pemerintah di satu daerah menggunakan sekitar 200 komputer. Biaya lisensi sistem operasi, dan aplikasi desktop serta database server kecil saja bisa mencapai 1 milyar rupiah. Silakan hitung bila untuk badan pemerintah seluruh Indonesia, lebih dari 30 propinsi dan ada beberapa kantor pemerintah dalam satu propinsi. Berapa milyar yang harus dikeluarkan hanya untuk membayar lisensi perangkat lunak? Ini bukan masalah tool mana yang cocok atau tool mana yang tidak cocok bagi suatu pekerjaan. Ini masalah penghematan secara nasional. Ada faktor nonteknis lain yang lebih berpengaruh dalam keengganan pengadopsian open source... 10 INFOLINUX 12/2005 www.infolinux.web.id Berita | Ulasan | Adu Software | Utama | Bisnis | Apa Sih Sebenarnya... | Tutorial OPINI Budi Rahardjo Secure Intranet M elanjutkan pembahasan arsitektur keamanan, salah satu komponen dari arsitektur tersebut adalah adanya secure intranet. Pengelola jaringan sering terjebak oleh pandangan bahwa serangan terbesar terhadap sistem mereka berasal dari Internet. Padahal kenyataannya, orang dalamlah yang memiliki potensi terbesar sebagai ancaman. Statistik dari berbagai sumber menunjukkan bahwa orang dalam memiliki potensi terbesar, atau nomor dua terbesar, sebagai penyerang. Hal ini dapat dimengerti karena orang dalam lebih mengetahui apa saja aset dari organisasi dan di mana letak aset tersebut. Mereka juga lebih dekat ke aset tersebut, atau bahkan ada yang memiliki akses kepada aset tersebut sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari. Inilah sebabnya pengamanan jaringan intranet harus mendapat perhatian juga. Repotnya, pengamanan dari orang dalam lebih susah daripada pengamanan terhadap penyerang dari luar. Untuk penyerang dari luar kita bisa memisahkan jaringan kita dengan menggunakan firewall. Apakah firewall bisa kita gunakan juga untuk mengamankan jaringan intranet? Sebetulnya bisa, akan tetapi pendekatan ini tidak populer. Jadi bagaimana? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengamanan intranet. Segmentasi jaringan—dengan berbagai cara seperti membatasi routing, menggunakan VLAN, dan bahkan menggunakan firewall —merupakan sebuah langkah yang harus dilakukan untuk mengamankan intranet. Jaringan tidak boleh dibiarkan dalam satu tingkat (flat). Harus ada pembagian segmen. Pencampuran server dan workstation dalam satu segmen rentan terhadap serangan penyadapan. Selain untuk keperluan keamanan, segmentasi juga dapat meningkatkan kinerja karena dapat mengurangi terjadinya packet collision. Jadi, server, workstation, dan perangkat-perangkat lain dipisahkan secara logik sesuai dengan segmennya. Jalur akses ke server kemudian dibatasi hanya untuk yang berhak saja. Shared hub sebaiknya tidak digunakan lagi pada segmen yang ingin diamankan terhadap serangan penyadapan dan digantikan dengan switch, sebab shared hub membuka peluang adanya penyadapan. Di dalam jaringan intranet sering digunakan protokol yang ti- dak aman, seperti telnet, ftp, dan beberapa protokol yang dimulai dengan huruf “r” (seperti rlogin, rsh). Protokol ini menggunakan pasangan userid dan password dalam bentuk teks biasa sehingga mudah disadap. Jika jaringan Anda menggunakan protokol ini, gantikan dengan protokol yang lebih aman. Telnet dapat anda gantikan dengan ssh, sementara ftp dapat anda gantikan dengan scp. Ssh dan scp menggunakan enkripsi untuk komunikasinya sehingga lebih aman terhadap serangan penyadapan. Kemudahan melakukan file sharing membuat orang lupa akan masalah keamanan yang ditimbulkannya. Sering dijumpai workstation yang memberikan akses baca tulis kepada direktori di workstation-nya. Kadang-kadang di direktori tersebut ditemukan berkas yang seharusnya hanya boleh diakses oleh kalangan terbatas. Akses tulis dapat digunakan oleh orang yang tidak berhak untuk menitipkan berkas. Jika berkas tersebut merupakan berkas yang confidential, pemilik workstation bisa mendapat masalah. Lebih jauh lagi, file sharing ini bisa disusupi oleh virus atau trojan horse, baik secara manual (oleh pengguna yang nakal) atau secara otomatis oleh virus itu sendiri. Mekanisme file sharing yang menggunakan port 139 ini sering menjadi target serangan, khususnya pada sistem operasi MS Windows. Banyak contoh program eksploitasi yang ditujukan kepada port ini. Akibatnya komputer menjadi macet, reboot, atau bahkan memberikan akses shell (command prompt) yang dapat diakses dari jarak jauh. Untuk itu, sebaiknya mekanisme file sharing tidak diaktifkan jika tidak benar digunakan. Teknologi wireless (WiFi) membuat permasalahan tersendiri di jaringan intranet. Access point untuk WiFi sudah demikian murah dan mudah dipasang sehingga kadang-kadang ada pengguna yang memasang perangkat tersebut tanpa izin dari pengelola jaringan, tanpa menyadari adanya potensi lubang keamanan. Access point sering kali “bocor” ke luar kantor sehingga dapat diakses orang yang tidak berhak. Melihat permasalahan ini semua, pengelola jaringan tidak bisa menutup mata terhadap masalah keamanan intranet dengan beranggapan bahwa pengguna di dalam adalah orang baik-baik. Jaringan intranet harus diamankan secara sistematis. ...sebaiknya mekanisme file sharing tidak diaktifkan jika tidak benar digunakan. www.infolinux.web.id INFOLINUX 12/2005 11 OPINI Berita | Ulasan | Adu Software | Utama | Bisnis | Apa Sih Sebenarnya... | Tutorial Michael S. Sunggiardi IGOS yang Tertatih-tatih S etelah bervariasi selama dua tahun, IGOS yang kependekan dari Indonesia Go Open Source terjungkal lagi untuk kedua kalinya, karena sampai hari ini, realisasi program IGOS tidak terlihat jalan. Bahkan di beberapa milis disebut mandeg, dan bintang utamanya “warnet” yang diusung menggunakan open source secara meluas, ternyata banyak yang memutar haluan ke teknologi yang sudah mereka terapkan selama tahunan. Hal yang sama sudah penulis alami. Pada saat terjadi boom sistem operasi Linux yang merupakan bagian dari open source di sekitar 2001, semua pihak berantusias untuk menerapkan sistem operasi Linux secara habis-habisan. Setelah berjalan beberapa bulan, kembali lagi para penggunanya menggeser aplikasinya ke Microsoft Windows, karena mereka kesulitan untuk membiasakan diri menggunakan sistem yang sekilas sama, tetapi sering punya konsep yang terbalik. Setelah mengadakan pengenalan Linux lebih dari 22 kota besar-menengah di Indonesia, penulis menyadari, bahwa bangsa ini belum siap untuk menerima yang namanya open source, karena penggunaan sistem yang terbuka cenderung membutuhkan “tune up” atau modifikasi yang lumayan besar, ketimbang menggunakan program siap jalan yang dibeli dengan harga lumayan mahal. Kesulitan penerapan sistem terbuka ini adalah kekurangan tenaga ahli yang dapat memenuhi keinginan para pemakai komputer yang kebanyakan berorientasi ke pekerjaan, bukan menjalankan komputer itu sendiri. Indonesia tergolong negara yang lumayan banyak orang pinternya, terutama untuk hal-hal yang berbau teknis praktis, tetapi tenaga mereka kebanyakan dimanfaatkan oleh perusahaan di luar negeri. Pengembang tersebut khawatir jika dilepas ke pasar dalam negeri, mereka tidak mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan pekerjaannya. Penghargaan yang dimaksud adalah keinginan pemakai peranti lunak untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membiayai si pengembang peranti lunak. Istilahnya membayar ongkos pengembangan dengan harga yang sesuai. Mengembangkan peranti lunak itu bukan masalah sederhana, karena daya upaya dan waktu yang sudah dihabiskan, terkadang melebihi dari standar kerja di kantoran. Dengan catatan, semua ini harus dikaitkan dengan kehidupan si pengembangnya, karena mereka juga butuh makan, rekreasi dan punya masa depan yang dicitacitakan. Jadi, kalau kita hanya mau pakai saja gratisan dan tidak mau menghargai pembuatnya, keadaan seperti sekarang ini tidak akan mensukseskan program yang namanya IGOS. Sudah tentu ada hal lain yang berkaitan dengan kegagalan IGOS masuk ke masyarakat kita. Kegagalan IGOS juga disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah, yang nota bene dari top decision maker, yang masih berpola banyak bicara dan tidak dapat memanfaatkan teknologi Internet secara konsisten. Coba lihat saja, banyak e-mail pejabat yang mental karena mereka tidak sempat membacanya (atau malah sama sekali tidak pernah membacanya), karena mereka menyerahkan e-mail-nya ke asisten atau sekretarisnya. Dengan mental yang pas-pasan tersebut, akan sulit mempercepat keberhasilan IGOS, karena inti dari IGOS adalah pemanfaatan komputer dengan menggunakan aplikasi open source, sementara pemanfaatan komputernya saja masih nol besar. Keadaan yang lebih buruk terjadi di luar kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya, yang pemanfaatkan komputernya hanya sampai taraf bermain kartu atau perang-perangan di layar komputer. Proyek e-gov yang juga memanfaatkan komputer, kebanyakan hanya dalam taraf menjalankan proyek. Artinya hanya memenuhi kebutuhan menghabiskan uang anggaran saja, tidak bermaksud untuk mengefisienkan pekerjaan, apalagi memikirkan bagaimana melayani masyarakat dengan lebih baik dan lebih cepat. Kita perlu memikirkan pendidikan, yang sudah harus dimulai sejak sekolah dasar. Jika kita mengharapkan generasi yang sudah jalan akan berubah pikiran dan paradigmanya, sepertinya tidak bisa jalan dengan baik. Generasi yang sekarang ini lebih ke generasi mau enaknya sendiri, cari solusi yang tidak mau berpikir keras. Walaupun tidak seratus persen, tetapi mayoritas berakhlak seperti itu. Jadi, yang namanya IGOS ini harus juga dibarengi dengan keikutsertaan kementerian pendidikan untuk mulai memikirkan kurikulum berbasis open source, supaya sepuluh tahun mendatang, kita sudah bisa bangga dengan keberhasilan IGOS. Kegagalan IGOS juga disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah... 12 INFOLINUX 12/2005 www.infolinux.web.id