I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dirofilaria immitis

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,
adalah penyebab penyakit parasit yang serius pada anjing, hidup pada ventrikel
kanan dan arteri pulmonalis (Aranda et al., 1998; Cringoli et al., 2001; Atkins,
2005).
Spesies hewan yang dapat terinfeksi D. immitis selain anjing adalah
kucing, serigala, rubah, coyote, ferret, tikus air, singa laut, coatimundi (Atkins,
2005), dan orangutan (Duran-Struuck et al., 2005).
Dirofilaria immitis sebagai agen penyebab penyakit cacing jantung tidak
hanya menimbulkan masalah pada hewan tetapi juga bersifat zoonosis (CruzChan, et al., 2009; Genchi, et al., 2009; Alia et al., 2013).
Kasus pertama pada
manusia dilaporkan pada tahun 1887 (Labarthe dan Guerrero, 2005).
Prevalensi dirofilariasis pada anjing bervariasi antara 0,6% sampai 40%
pada daerah yang berbeda di dunia (Tabel 2). Iskandar et al. (1997) melaporkan
bahwa dari 175 ekor anjing yang diperiksa di Klinik Hewan Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor pada Oktober 1996–Maret 1997, 16 ekor di
antaranya positif terinfeksi D. immitis.
Situasi epidemiologi dirofilariasis saat ini mengalami perubahan yang
sangat cepat, kejadian dirofilariasis di daerah endemis terus mengalami
peningkatan dan bahkan telah terjadi penyebaran ke daerah yang sebelumnya
bebas dirofilariasis walaupun telah banyak dilakukan upaya-upaya untuk
mencegah dan mengontrol infeksi pada anjing. Penyebab yang diduga dapat
1
2
mengakibatkan perluasan infeksi cacing jantung adalah perubahan iklim, irigasi
pertanian, penyebaran nyamuk sebagai vektor, perkembangan jenis inang nonanjing, dan perpindahan anjing yang mikrofilaremik. Kegagalan mengenali infeksi
cacing jantung juga menyebabkan peningkatan penyebaran kasus dirofilariasis
pada suatu populasi (Colby et al., 2011).
Kebanyakan anjing yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala penyakit
untuk jangka waktu lama (Atkins, 2005; Venco, 2007). Cacing D. immitis dapat
mengakibatkan perubahan pada jantung (Wang et al., 2005), paru-paru (Atkins,
2005), hati (Ressang, 1984), dan ginjal (Paes-de-Almeida et al., 2003). Efek
utama pada arteri pulmonalis berupa inflamasi, hipertensi pulmoner, gangguan
keutuhan pembuluh arteri, dan fibrosis. Cacing D. immitis memberikan tekanan
yang berlebihan terhadap jantung. Hipertrofi merupakan kompensasi pertama
yang terjadi, dan pada infeksi yang parah akhirnya akan terjadi dekompensasi
(gagal jantung kanan) (Atkins, 2005).
Gangguan peredaran darah di dalam
jantung kanan menyebabkan terjadinya pembendungan-pembendungan umum
(edema, hati pala, dan sebagainya) (Ressang, 1984).
Pada anjing penderita
dirofilariasis juga dapat terjadi kerusakan ginjal berupa membrano-proliferative
glomerulonephritis.
Adanya
deposit
pada
membran
basal
glomerular
menunjukkan bahwa patogenesis penyakit ginjal pada kasus dirofilariasis
berkaitan dengan deposit kompleks antigen-antibodi (Paes-de-Almeida et al.,
2003).
Untuk mendiagnosis infeksi oleh D.immitis pada anjing telah digunakan
berbagai macam metode, di antaranya pemeriksaan secara klinis, pemeriksaan
3
ulasan darah secara mikroskopik, teknik konsentrasi sampel darah dan Knott’s test
untuk mendeteksi mikrofilaria, pemeriksaan dan identifikasi cacing dewasa pada
nekropsi, radiografi, elektorkardiografi, uji antibodi dan antigen, dan metode
molekuler. Penentuan diagnosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit ditegakkan
karena kebanyakan kasus infeksi cacing jantung adalah asimptomatik (Atkins,
2005) dan gejala penyakit cacing jantung pada anjing yang disebabkan oleh
cacing dewasa, kalau ada, bersifat nonspesifik (Weil, 1989).
Masalah utama dalam penegakan diagnosis dengan metode ulasan darah
secara mikroskopik, teknik konsentrasi sampel darah, dan Knott’s test untuk
mendeteksi mikrofilaria adalah adanya occult infection (infeksi tanpa disertai
adanya mikrofilaria di dalam darah tepi). Jumlah occult infection tersebut dapat
mencapai 10–67% pada anjing yang terinfeksi secara alami (Song et. al., 2002).
Penggunaan metode radiografi dan elektrokardiografi hasilnya juga
kurang akurat. Hasil penelitian Akhtardanesh et al. (2010) menunjukkan bahwa
pada kasus seropositif dirofilariasis, tanda-tanda khas yang ditemukan dengan
metode radiografi hanya terlihat pada 50% kasus dan tanda-tanda khas dengan
elektrokardiografi ditemukan hanya pada 30% kasus.
Penegakan diagnosis
dengan metode molekuler membutuhkan peralatan khusus dan peralatan tersebut
tidak selalu tersedia.
Uji untuk mendeteksi antibodi terhadap D. immitis memiliki beberapa
kelemahan. Masalah utama dalam uji antibodi adalah kurang spesifik. Deteksi
antibodi terhadap Dirofilaria dipengaruhi oleh banyak variabel dan tidak
memberikan bukti langsung terhadap infeksi cacing jantung sehingga uji antibodi
4
tidak diterima sebagai metode serologis untuk mendeteksi cacing jantung pada
anjing (Goodwin, 1998).
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis Dirofilaria menginspirasi upaya
mendeteksi antigen parasit sebagai alternatif diagnosis yang dapat lebih
diandalkan. Untuk mendeteksi antigen D. immitis yang beredar di dalam darah
saat ini telah tersedia berbagai macam uji. Kelemahan diagnosis D. immitis
dengan deteksi antigen di dalam darah adalah sensitivitasnya sangat rendah
apabila jumlah cacing di dalam jantung sangat sedikit. Sebagian uji antigen
D. immitis yang tersedia saat ini hanya mampu mendeteksi antigen cacing betina.
McCall et al. (2000) menyatakan bahwa infeksi oleh cacing jantan saja tidak
dapat dideteksi oleh sepuluh jenis/merk uji antigen D. immitis. Karena itu perlu
dilakukan analisis profil protein excretory-secretory (ES) cacing jantan dan betina.
Keberadaan cacing jantung di Indonesia sudah pernah dipublikasikan,
tetapi penyakit ini masih kurang mendapat perhatian walaupun penyakit ini
bersifat zoonosis. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengidentifikasi cacing jantung secara morfologi, faktor-faktor risiko yang
mempengaruhi infeksi, perbedaan profil protein ES cacing jantan dan betina, dan
perubahan histopatologik yang ditimbulkan pada anjing di Indonesia.
1.2 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang D. immitis yang banyak dilakukan di luar negeri
adalah penelitian tentang epidemiologinya. Analisis profil protein D. immitis
yang telah banyak dipublikasikan adalah profil protein permukaan dan somatik.
Di Indonesia, berdasarkan tinjauan kepustakaan yang ada, publikasi D. immitis
5
yang ada adalah tentang kajian patologik infeksi D. immitis pada anjing oleh
Handharyani dan Wulansari (1995), dan konfirmasi keberadaan cacing D. immitis
pada anjing berdasarkan tanda-tanda klinik oleh Iskandar et al. (1998).
Identifikasi cacing dan mikrofilarianya, korelasi antara jumlah cacing dengan
perubahan histopatologik jantung, paru-paru, hati, dan ginjal, serta kajian tentang
profil protein ES cacing jantan dan betina belum pernah diteliti. Persamaan dan
perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian D. immitis terdahulu dengan
penelitian ini
Judul
Persamaan
Perbedaan
Identifikasi cacing dan
mikrofilaria
Identifikasi cacing
D. immitis
Penelitian ini:
identifikasi mikrofilaria
dan cacing dewasa secara
makroskopis dan
mikroskopis dan analisis
korelasi jumlah cacing
dengan jumlah mikrofilaria
per ml darah.
Iskandar et al., (1998).
Konfirmasi keberadaan cacing
D. immitis pada anjing
berdasarkan tanda-tanda klinik
(kasus klinik di Bogor)
Konfirmasi
keberadaan cacing
D. immitis di
Indonesia.
Penelitian ini:
konfirmasi berdasarkan
pemeriksaan cacing secara
langsung pada jantung.
Suarsana, (1990). Pengaruh
umur terhadap prevalensi
infeksi cacing D. immitis pada
anjing lokal Bali di Kecamatan
Buleleng, Kabupaten Buleleng
Penelitian prevalensi
dan pengaruh umur
Penelitian ini:
selain pengaruh umur juga
disertai analisis faktor
risiko jenis kelamin,
bangsa, dan asal anjing.
Rajulani, (2013). Investigasi
keberadaan D. immitis pada
anjing di tempat pemotongan
anjing di Gorontalo
(identifikasi cacing secara
makroskopis: panjang cacing
jantan dan betina)
Epidemiologi
Banyak publikasi Internasional
tentang epidemiologi D. immitis.
Penelitian epidemilogi D. immitis
di Indonesia:
6
Tabel 1. Lanjutan
Analisis faktor risiko
Penelitian ini:
pemeriksaan cacing secara
langsung pada jantung.
Kaneko et al., (1990).
Antigenic identification of
excretory secretory products of
adult D. immitis
(pada Western Blotting
menggunakan serum anjing
terinfeksi D. immitis)
Identifikasi antigen ES
Penelitian ini:
pada Western Blotting
menggunakan serum
mencit yang diimunisasi
dengan antigen D. immitis.
Karmil et al., (2007).
Karakterisasi ‘gut associated
antigens’ dari larva L3 dan L4
D. immitis isolat lapang
sebagai upaya penyempurnaan
kehandalan kit diagnostik dan
potensi vaksin asal kutikula
Analisis antigen
Penelitian ini:
analisis antigen ekskretorisekretori cacing dewasa.
Handharyani dan Wulansari,
(1995). Infeksi D. immitis pada
anjing: kajian patologik
Kajian patologik
infeksi D. immitis
Penelitian ini:
kajian patologik disertai
analisis korelasi jumlah
cacing dengan perubahan
histopatologik.
Carreton et al., (2012).
Myocardial damage in dogs
affected by D. immitis:
Immunohistochemical study of
cardiac myoglobin and
troponin I in naturally infected
dogs
Pemeriksaan
histopatologik
myokardium
Penelitian ini:
selain jantung juga
pemeriksaan histopatologik
paru-paru, hati, dan ginjal.
Yuvianto, (2008). Kajian
faktor risiko endogen infeksi
cacing jantung pada berbagai
anjing di wilayah Jawa dan
Bali (pemeriksaasn dengan
metode ELISA)
Analisis antigen
Patologi
Paes-de-Almeida et al., (2003). Pemeriksaan
Kidney ultrastructural lessions histopatologik ginjal
in dogs experimentally
infected with D. immitis
Penelitian ini:
penelitian kasus lapangan.
7
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka dapat dirumuskan perma-
salahan sebagai berikut:
1. Bagaimana morfologi mikrofilaria dan cacing jantung yang
ditemukan pada anjing di Indonesia?
2. Apakah ada korelasi antara jumlah cacing dengan jumlah mikrofilaria
di dalam darah tepi?
3. Apa saja faktor risiko yang mempengaruhi prevalensi infeksi cacing
jantung pada anjing di Indonesia?
4. Bagaimana profil protein ES cacing jantan dan betina?
5. Apakah dapat diproduksi antibodi anti-male excretory-secretory
(anti-MES) dan anti-female excretory-secretory (anti-FES) untuk
mendeteksi adanya protein ES pada serum anjing terinfeksi
D. immitis?
6. Bagaimana perubahan histopatologik yang terjadi pada organ anjing?
7. Apakah perubahan histopatologik tersebut berkorelasi dengan jumlah
cacing di dalam jantung?
1.4 Tujuan Penelitian
Peneltian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui morfologi mikrofilaria dan cacing jantung yang
ditemukan pada anjing di Indonesia.
8
2. Mengetahui korelasi antara jumlah cacing dengan jumlah mikrofilaria
di dalam darah tepi.
3. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko yang mempengaruhi infeksi
cacing jantung pada anjing di Indonesia.
4. Mengetahui perbedaan profil protein ES cacing jantan dan betina.
5. Memproduksi antibodi anti-MES dan anti-FES untuk mendeteksi
adanya protein ES pada serum anjing terinfeksi D. immitis.
6. Mengetahui perubahan histopatologik jantung, paru-paru, hati, dan
ginjal anjing terinfeksi cacing jantung.
7. Mengetahui korelasi jumlah cacing dengan perubahan histopatologik
jantung, paru-paru, hati, dan ginjal anjing terinfeksi cacing jantung.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
memberikan
informasi
tentang
keberadaan cacing jantung di Indonesia dalam hal morfologi, faktor-faktor risiko
yang mempengaruhi infeksi, perubahan histopatologik, dan profil protein ES
cacing jantan dan betina, serta kemungkinan dikembangkannya metode diagnosis
dengan menggunakan antibodi anti-FES dan anti-MES.
Download