BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Stoner (1996), manajemen sumber daya manusia adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan rekrutmen, penempatan, pelatihan, dan pengembangan anggota organisasi atau dapat dikatakan sebagai fungsi manajemen yang dilakukan oleh manajer untuk merekrut, menyeleksi, melatih, dan mengembangkan anggota organisasi. Menurut Nawawi (2000), yang dimaksud sebagai SDM yaitu : 1. SDM adalah manusia yang bekerja pada lingkungan pada suatu organisasi, meliputi personil, tenaga kerja, pegawai atau karyawan 2. SDM adalah potensi manusiawi sebagai gerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya. 3. SDM adalah potensi yang merupakan asset dan berfungsi sebagai modal di dalam organisasi bisnis, yang dapat di wujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi. Berdasar dari pemahaman definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pendekatan terhadap manajemen manusia, didasarkan pada nilai manusia dalam hubungannya dengan organisasi. Manusia 11 12 merupakan sumber daya yang penting dalam organisasi dan sangat menentukan efektifitas organisasi. Aktivitas MSDM meliputi peningkatan produktivitas, pemanfaatan sumber daya manusia, dan unsur unsur yang berkaitan dengan SDM seperti : rekrutmen, pengembangan, pemberian imbalan, motivasi, mutasi, dan pemberhentian. Pengembangan SDM dikaitkan dengan masalah produktivitas, dan efisiensi organisasi, penanganan SDM tidak luput dari usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja, dan efisiensi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2.1.2 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Cushway (2002, p6) tujuan dari Manajemen Sumber Daya Manusia bervariasi antara satu organisasi dengan organisasi yang lain, tergantung pada tingkat perkembangan organisasi, yang mencakup hal-hal berikut: 1. Memberikan saran kepada manajemen tentang kebijakan Sumber Daya Manusia guna memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjaannya. 2. Melaksanakan dan memelihara semua kebijakan, dan prosedur Sumber Daya Manusia yang diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi. 3. Membantu perkembangan arah, dan strategi organisasi secara keseluruhan, terutama dengan memperhatikan segi-segi Sumber Daya Manusia. 4. Menyediakan bantuan dan menciptakan kondisi yang dapat membantu manajer lini dalam mencapai tujuan mereka. 13 5. Mengatasi krisis, dan situasi sulit dalam hubungan antar pegawai untuk memastikan tidak adanya gangguan dalam pencapaian tujuan organisasi. 6. Menyediakan sarana komunikasi antara karyawan dengan manajemen organisasi 7. Bertindak sebagai penjamin standar, dan nilai organisasi dalam pengelolaan Sumber daya manusia. 2.1.3 Aktivitas Utama Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Cushway (2002, p7) Aktivitas utama yang membentuk fungsi personalia dapat dikaitkan dengan kegiatan dari sebelum, selama, dan sesudah pengangkatan sebagai pegawai. Dengan kata lain, Manajemen Sumber Daya Manusia adalah kegiatan mendapatkan, mengelola, dan melepaskan sumber-sumber, dalam hal ini adalah manusia. 1. Mendapatkan Sumber Daya merupakan langkah dalam proses penentuan persyaratan organisasi mengenai sumber yang ingin diperoleh dengan memperhatikan kuantitas, tipe, dan kualitas. 2. Mengelola Sumber Daya setelah organisasi mendapatkan semua tenaga kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, prioritas berikutnya adalah memastikan bahwa tenaga kerja tersebut akan tinggal cukup lama di organisasi, sehingga efektif dan dapat menunjukkan kinerja yang bagus selama mereka disana. 14 3. Pemutusan Sumber Daya akan tiba masanya di mana pegawai harus melepaskan diri dari organisasi. Alasannya bisa karena pensiun, mengundurkan diri, selesai kontrak berakhirnya kontrak pelatihan, pemecatan, dan sebagainya. 2.1.4 Fungsi yang Dimiliki Departemen Sumber Daya Manusia Menurut Hasibuan dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia” (2000, p24), fungsi yang dimiliki depertemen sumber daya manusia : 1. Perencanaan sumber daya manusia didesain untuk memastikan bahwa personel yang diperlukan akan selalu terpenuhi secara memadai. Hal tersebut dapat dicapai dengan analisis dua faktor, yaitu : faktor internal seperti kebutuhan keterampilan yang ada sekarang dan yang diharapkan, lowongan, dan perluasan departemen seperti pengurangan. Faktor eksternal (dilingkungan) seperti pasar tenaga kerja. 2. Rekrutmen berkaitan dengan mengembangkan cadangan calon karyawan sejalan dengan rencana sumber daya manusia. Calon karyawan biasanya diperoleh lewat iklan disurat kabar dan jurnal professional, agen tenaga kerja, berita lisan yang tersebar, dan kunjungan kekampus berbagai perguruan tinggi 3. Seleksi termasuk menggunakan formulir lamaran, daftar riwayat hidup, wawancara, pengujian keterampilan, dan mencocokkan informasi dari referensi untuk 15 mengevaluasi dan menyaring calon karyawan bagi manajer, yang akhirnya akan memilih dan menerima calon. 4. Sosialisasi (orientasi) didesain untuk membantu orang yang terpilih menyesuaikan diri dengan mulus kedalam organisasi. Pendatang baru diperkenalkan kepada para rekan sekerja, terbiasa dengan tanggung jawabnya, dan diberi tahu mengenai budaya organisasi, kebijakan, dan harapan yang bersangkutan dengan tingkah laku karyawan. 5. Pelatihan dan pengembangan keduanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam memberikan kontribusi pada efektivitas organisasi. Pelatihan didesain untuk meningkatkan keterampilan dalam pekerjaan yang sekarang; program pengembangan didesain untuk menyiapkan karyawan sebelum dipromosikan. 6. Penilaian prestasi kerja membandingkan prestasi kerja seseorang dengan standar atau tujuan yang dikembangkan untuk posisi orang tersebut. Prestasi yang rendah mungkin menandakan perlunya tindakan korektif, seperti pelatihan tambahan, demosi, atau PHK, bonus, atau promosi. Walaupun supervisor langsung seorang karyawan melakukan penilaian prestasi, departemen manajemen SDM bertanggung jawab untuk bekerja dengan manajemen tingkat atas untuk menetapkan kebijakan yang menjadi pedoman semua penilaian prestasi. 16 7. Promosi, transfer, demosi, dan PHK mencerminkan nilai seorang karyawan bagi organisasi. Karyawan berprestasi tinggi dapat dipromosikan atau ditransfer untuk membantu mengembangkan keterampilan mereka, sedangkan karyawan berprestasi rendah mungkin didemosikan, ditransfer ke posisi yang ke posisi yang kurang penting, atau bahkan PHK. Pilihan apapun pasti akan mempengaruhi perencanaan sumber daya manusia. 2.2 Produktivitas 2.2.1 Produktivitas Kerja Produktivitas kerja merupakan perbandingan antara pengukuran output dengan pengukuran dari berbagai sumber daya yang digunakan (input) untuk menghasilkan output tersebut. Pihak manajemen sekarang sangat memperhatikan produktivitas dikarenakan ia merupakan elemen penting dari efisiensi ketika mulai dibandingkan dengan pesaing (Craig 1972). Ada beberapa alasan utama mengapa produktivitas seharusnya diukur : ‐ Untuk tujuan strategis guna membandingkan dengan pesaing lain dalam bisnis yang sama. ‐ Untuk tujuan taktis, untuk memberikan masukan kepada manajemen guna mengontrol produktivitas perusahaan dari fungsi ataupun produknya. 17 ‐ Untuk tujuan perencanaan, untuk membandingkan keuntungan yang dicapai dari penggunaan berbagai masukan ataupun perbedaan proporsi dari input yang sama. ‐ Untuk tujuan internal manajemen, seperti pedoman untuk melakukan tawarmenawar dengan karyawan. Selain itu, produktivitas kerja mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi. Semakin besar motivasi dan komitmen seseorang di dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, akan semakin tinggi produktivitas yang dicapainya. Hal lain yang juga sangat berpengaruh kepada tingkat produktivitas seseorang adalah tingkat kemampuan seseorang (personal skill) di dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Semakin tinggi kemampuan seseorang, serta ditunjang oleh motivasi dan komitmen yang tinggi, akan semakin tinggi pula tingkat produktivitas yang dapat dihasilkannya. Mali (1978) menyatakan bahwa produktivitas tidak sama dengan produksi, performansi kualitas dan hasil-hasil merupakan komponen dari usaha produktivitas. Dengan demikian produktivitas merupakan suatu kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat diukur berdasarkan pengukuran berikut: Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas tenaga kerja sangat tergantung pada satuan masukan yang diberikan oleh tenaga kerja dan satuan 18 keluaran yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut. Satuan masukan dan satuan keluaran pada produktivitas tenaga kerja hanya tenaga kerja itu sendiri dan hasilnya. Seorang tenaga kerja yang produktif adalah tenaga kerja yang cekatan dan menghasilkan barang dan jasa sesuai mutu yang ditetapkan dengan waktu yang lebih singkat atau bila tenaga kerja tersebut mampu menghasilkan produk atau output yang lebih besar dari tenaga kerja yang lain dalam waktu yang lama. 2.2.2 Kinerja Karyawan Menurut Robbins dalam bukunya “Organizational Behavior” (2001, p6) menyebutkan bahwa secara sederhana kinerja karyawan adalah fungsi dari interaksi antara kemampuan (ability) dan motivasi (motivation), tetapi masih ada bagian yang masih hilang dari fungsi tersebut selain kecerdasan dan keahlian dari seorang individu yang keduanya merupakan bagian dari kemampuan dan motivasi dari setiap karyawan, yaitu kesempatan. Ability Performance Motivation Opportunity Gambar 2.1 Model dari Kinerja 19 Motivasi kerja dan kemampuan merupakan faktor dalam diri yang berpengaruh terhadap pembentukan kinerja. Vroom (1964) dan Sustermeister (1976) mengusulkan persamaan dari kinerja (performance) sebagai berikut: Performance = Ability x Motivation Untuk meningkatkan performa kerja / kinerja maka komponen dari kemampuan atau motivasi harus ditingkatkan. Kinerja individu sangat penting dalam mewujudkan suatu sinergi yang diperlukan dalam tim kerja - dari buku "Personnel or Human Resource Management” yang oleh ditulis Mathis & Jackson (1991), yang menyatakan bahwa individual performance tergantung pada: • Kemauan karyawan untuk berusaha • Pelatihan karyawan • Kemampuan karyawan untuk melakukan hal yang diperlukan Ada tiga perspektif dalam melihat kinerja individu yaitu productivity, innovation, dan loyalty. Performa individu karyawan dapat samakan dengan efisiensi (Mathis, 1991). Ability - Talents - Personality factors - Interests Effort - Incentives - Willingness to work - Presence at work - Self discipline to do the job Training - Knows what is expected - Have skills necessary - Know how to handle problems Performance Gambar 2.2 Komponen Kinerja Individu 20 Produktivitas dari individu memiliki komponen yang terdiri dari kemampuan di mana terdapat unsur talenta, faktor internal perorangan, dan keinginan dari setiap individu, komponen kedua yaitu usaha yang terdiri dari unsur insentif, kemampuan untuk bekerja dan kedisiplinan sedangkan komponen ketiga yaitu latihan bahwa karyawan dapat mengetahui apa yang diharapkan dari pekerjaannya serta mempunyai keahlian untuk mengatasi masalah dalam pekerjaannya. 2.2.3 Penyebab Penurunan Produktivitas Menurut Gasperz (2000) dalam buku yang berjudul Manajemen Produktivitas Total mengatakan bahwa pada umunya terdapat sejumlah faktor penyebab penurunan produktivitas perusahaan, antara lain adalah : 1. Ketidakmampuan manajemen dalam mengukur, mengevaluasi dan mengelola produktivitas perusahaan. 2. Motivasi karyawan yang rendah karena sistem pengukuran dan penghargaan yang diberikan tidak berkaitan dengan produktivitas dan tanggungjawab dari karyawan tersebut. 3. Pengiriman produk yang sering terlambat karena ketidakmampuan memenuhi jadwal yang telah ditetapkan, sehingga mengecewakan pelanggan. 4. Peningkatan biaya-biaya untuk proses produksi dan pemasaran. 5. Tidak dapat memaksimalkan penggunaan sumber daya seperti bahan material yang menumpuk, tenaga kerja yang tidak produktif dan mesin yang tidak pernah dilakukan pengecekan dan pemeliharaan. Hal-hal ini akan 21 menimbulkan bottleneck pada berjalannya proses produksi dan berakhir dengan keterlambatan pengiriman barang ke pembeli. 6. Tidak adanya kerjasama yang efektif dan baik antar masing-masing individu di setiap lini proses produksi. 7. Ketiadaan sistem pendidikan dan pelatihan bagi karyawan untuk meningkatkan pengetahuan tentang teknik-teknik peningkatan kualitas dan produktivitas perusahaan. 8. Tidak adanya sistem perencanaan dan pengendalian dalam hal pengaturan jadwal produksi dan pengaturan aliran persediaan yang baik sehingga target produksi yang sudah direncanakan tidak tercapai. 2.3 Model Kompetensi 2.3.1 Definisi Model Kompetensi Menurut Mitrani, Alain, Dalziel dan Fitt (1992) di dalam bukunya yang berjudul “Competency Based Human Resource Management”, kata kompetensi berarti sebuah karakteristik dari seorang individu yang biasanya berkaitan dengan kinerja kerja yang efektif dan paling baik. Kompetensilah yang membedakan seorang individu yang hebat dengan yang rata-rata. Competency Based Human Resource Management (CBHRM) adalah suatu pola pendekatan di dalam membangun suatu sistem manajemen sumber daya manusia yang handal dengan memanfaatkan kompetensi sebagai titik sentralnya. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat meningkatkan efektifitas dan konsistensi 22 kebijakan seleksi, promosi, kompensasi, penilaian kinerja, pendidikan dan pelatihan, perencanaan karir, manajemen kinerja, maupun perencanaan strategis di bidang sumber daya manusia ke titik yang paling optimum. Kompetensi dapat juga diartikan sebagai keahlian, pengetahuan dan kemampuan serta karakteristik lain yang diperlukan seseorang untuk bekerja secara efektif (Jackson & Schuler, 2003, p232). Karena ada ratusan kompetensi yang mungkin berkaitan dengan kinerja kerja, maka Spencer & McClelland (1994) mengindikasikan bahwa kompetensi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pengetahuan, keahlian dan karakteristik pribadi. Ketiga kategori tersebut adalah: 1. Pengetahuan dari fakta-fakta atau prosedur-prosedur (yang bersifat teknis) seperti kemampuan menganalisa keuangan, keahlian komputer, pengetahuan mengenai produk, berpikir secara konseptual, orientasi pada detail dan sebagainya. 2. Keahlian manajerial seperti mengembangkan orang lain, kerjasama tim dan sebagainya. 3. Karakteristik pribadi atau attribut pribadi seperti kemampuan beradaptasi, percaya diri, toleransi terhadap stress, integritas, dan sebagainya. Dari banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keahlian dan karakteristik pribadi yang dapat diteliti dan diukur yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan suatu kinerja kerja yang efektif dan unggul di suatu lingkup pekerjaan tertentu. Lalu model kompetensi dapat diartikan sebagai sekumpulan kompetensi yang berisi perilaku-perilaku kunci dari suatu lingkup 23 pekerjaan tertentu yang dibutuhkan untuk menciptakan suatu standar agar dapat digunakan dalam banyak hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia sehingga dapat menghasilkan individu-individu yang memberikan suatu kinerja kerja yang unggul. 2.3.2 Manfaat Model Kompetensi Menurut Moinat, Ph.D. (2003), konsultan FullView Solutions, di dalam artikelnya merekomendasikan penggunaan model kompetensi ini karena: • Menyediakan suatu kerangka kerja yang konsisten di dalam pengembangan sistem manajemen sumber daya manusia yang terintegrasi. Model kompetensi menyediakan suatu kerangka kerja yang konsisten tentang suatu tugas dari suatu pekerjaan dan tanggung jawabnya yang dapat diterapkan di seluruh sistem manajemen sumber daya manusia seperti manajemen kinerja, penyeleksian, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia dan perencanaan penerusan kepemimpinan (succession planning). • Membantu pekerja di dalam menyamakan kegiatannya dengan tujuan umum dari strategi organisasi dalam rangka mengembangkan kemampuan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan dari organisasi sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 24 2.3.3 Hubungan Sebab Akibat Kompetensi dengan Kinerja Dalam buku “Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi” (Moeheriono, 2009 : 8) mengemukakan sebenarnya, hubungan antara kompetensi dengan kinerja sangat erat sekali, hal ini tampak pada hubungan dari keduanya, yaitu hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, menurut Spencer, hubungan antara kompetensi karyawan dengan kinerja adalah sangat erat dan penting sekali, relevansinya ada dan kuat akurat, bahkan karyawan apabila ingin meningkatkan kinerjanya, seharusnya mempunyai kompetensi yang sesuai dengan tugas pekerjaannya. Oleh karenanya, ia mengatakan bahwa pengelolaan sumber daya manusia memang harus dikelola secara benar dan seksama agar tujuan dan sasaran organisasi dapat dicapai melalui pengelolaan sumber daya manusia yang optimal. Kemudian ada beberapa tindakan manajemen yang harus dilakukan dalam proses mengelola sumber daya manusia yang meliputi beberapa proses, antara lain organisasi harus mengidentifikasi dan mengembangkan kompetensi individu ke arah kinerja karyawan. Berdasarkan kegiatan tersebut, maka pengelolaan sumber daya manusia, khususnya pada kompetensi harus mengacu dan mengarah pada visi dan misi, strategi serta sasaran organisasi. 2.3.4 Kompetensi Jabatan Dalam buku “Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi” (Moeheriono, 2009 : 22) mengemukakan kompetensi jabatan merupakan peran yang sangat penting dan 25 harus mendapatkan perhatian serius dari pihak manajemen karena aspek kompetensi jabatan ini sudah banyak digunakan sebagai dasar penentu posisi jabatan calon karyawan atau calon penjabat yang akan menduduki suatu jabatan Seorang agar mendapatkan kinerja tinggi secara maksimal seharusnya antara kompetensi individu yang dimiliki, harus sesuai atau cocok dengan kompetensi jabatan yang diembannya, hal ini akan mengakibatkan atau terjadi kecocokan (matching) dan kesesuaian dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengukuran kompetensi jabatan merupakan proses membandingkan atau menyamakan antara kompetensi jabatan yang dipersyaratkan dengan kompetensi yang dimiliki seseorang karyawan, apakah sesuai, lebih besar atau lebih kecil, meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan sikap perilaku (attitude). Berdasarkan standar kompetensi pada kompetensi jabatan, tercakup dua komponen yang mendasar, yaitu • Kompetensi utama, merupakan kompetensi yang harus dimiliki seseorang berkaitan dengan suatu jabatan atau tugas pekerjaan pada lingkup tertentu. Agar pelaksanaan jabatan tersebut berhasil dengan baik, maka meliputi akuntabilitas, organisasi pembelajar, menentuan masalah dan memecahkannya, manajemen perubahan, perencanaan strategik, manajemen kebijakan, manajemen manajemen kerja sama. kinerja, manajemen kualitas pelayanan, dan 26 • Kompetensi pendukung, merupakan kompetensi yang diperlukan untuk membantu atau mendukung terwujudnya pelaksanaan jabatan tertentu, yang terdiri dari komunikasi dan teknologi informasi. 2.4 Motivasi 2.4.1 Teori Motivasi Dalam buku “Organizational Behavior” (McShane & Von Glinow, 2010 : 135) mengemukakan pendapat Maslow, kebutuhan manusia dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan seperti pada gambar berikut: Gambar 2.3 Tingkat Kebutuhan Manusia Manusia akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi ketika kebutuhan pada tingkat di bawahnya sudah terpuaskan. 27 Kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk dipenuhi adalah kebutuhan physiological, yaitu kebutuhan biologis seperti sandang, pangan dan papan. Tingkat selanjutnya adalah kebutuhan dalam bidang safety, yaitu kebutuhan akan lingkungan hidup yang aman dan stabil tanpa ada gangguan dan ancaman. Sedangkan yang tercakup dalam kebutuhan sosial (social) adalah kebutuhan untuk berinteraksi dan berafiliasi dengan orang-orang lain. Setelah mampu berinteraksi dengan baik dalam suatu masyarakat, maka seseorang mulai mengejar kebutuhan esteem, yaitu pengakuan dan penghormatan dari masyarakat. Jika keempat kebutuhan tersebut sudah dipenuhi dengan baik, maka manusia akan mulai mengaktualisasikan dirinya dengan jalan memaksimalkan segala kemampuan yang dipunyai untuk mewujudkan cita-citanya. Menurut McClelland (1994) mengemukakan bahwa banyak kebutuhan yang timbul atau bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat dan dapat dipelajari. Ada tiga macam kebutuhan yang dapat dipelajari, yaitu : a. Kebutuhan berprestasi (n.Ach) b. Kebutuhan berafiliasi (n-Aff) c. Kebutuhan berkuasa (n-Pow) Kebutuhan seseorang dibentuk melalui suatu proses belajar dari pengalaman atau kebudayaan yang terjadi di lingkungannya. Kebutuhan tersebut yang kemudian akan menumbuhkan motivasi untuk membentuk perilaku seseorang. Jadi, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang menempatkan prestasi sebagai hal yang paling utama akan cenderung untuk memotivasi dirinya untuk mencapai prestasi yang tinggi, sebaliknya jika hubungan antar manusia sangat 28 penting dalam lingkungannya, ia akan mengarahkan perilakunya agar dapat membina hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Berdasar dari pemahaman definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang mendorong, merangsang atau menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan yang dilakukannya sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Dorongan ini bisa disebabkan oleh seseorang berusaha memenuhi kebutuhan pada tingkat rendah sebelum kemudian mengubah atau menyesuaikan perilakunya untuk mencapai atau memenuhi kebutuhan pada hirarki diatasnya. Dan kebutuhan seseorang dibentuk melalui suatu proses belajar dari pengalaman atau kebudayaan yang terjadi di lingkungannya. 2.4.2 Kebutuhan dan Keinginan Pegawai Menurut A. Dale Timpe (1999, p 133) dalam bukunya Seri Manajemen Sumber Daya Manusia : Memotivasi Pegawai menyebutkan bahwa : 1. Pegawai ingin dipuji dan diakui. Mereka merasa bahwa mereka diperhatikan hanya karena kesalahan yang mereka perbuat dan bukan untuk pekerjaan baik yang telah mereka kerjakan. 2. Pegawai membutuhkan jaminan pekerjaan. Mereka ingin tahu apakah mereka dapat mengandalkan pekerjaan mereka. 3. Pegawai membutuhkan kesempatan untuk maju dan memperoleh pengalaman baru. 29 4. Pegawai membutuhkan komunikasi. Mereka perlu tahu kedudukan mereka dalam mata pemberi kerja, dan apakah mereka melakukan dengan benar atau salah. 5. Pegawai membutuhkan perasaan ikut terlibat dalam perusahaan. Mereka ingin berpartisitasi dalam pembuatan keputusan, sehingga mereka tahu kemana arah perusahaan. 6. Pegawai membutuhkan perlakuan adil. Hal ini teramat penting jika menyangkut penggajian. 2.5 Supply Chain Management Supply chain management berawal dari kegiatan supply chain management militer yang memiliki peran dalam menentukan kemenangan perang, khususnya pada Perang Dunia II. Ketika jaman perang berlalu, supply chain management dimanfaatkan untuk membatu proses pengiriman barang. Dalam hal ini terjadi kerjasama antara perusahaan pengiriman dengan gudang, dan pihak ketiga ambil bagian dalam mengatur kerjasama ini. Perkembangan selanjutnya, pada era globalisasi mulai banyak perusahaan yang mencari cara bagaimana menurunkan biaya produksi. Banyak perusahaan multinasional memindahkan pabrik ke negara-negara dengan upah buruh murah. Indonesia dan beberapa kawasan di Asia adalah contohnya. Di sini tampak bahwa peranan supply chain management memegang peranan yang lebih penting lagi. 30 Perkembangan supply chain management didukung dengan perkembangan teknologi informasi pada tahun 1980-an. Beberapa faktor, antara lain harga komputer yang semakin terjangkau, kecepatan komputer yang semakin baik, semakin luasnya penggunaan internet, serta bandwidth yang semakin murah, membuat orang semakin mudah berkomunikasi dan berkolaborasi dengan cara yang semakin efisien. Penerapan teknologi informasi yang semakin luas ini menekan kesalahan manusia, menekan biaya produksi, dan meningkatkan kualitas sampai pada tingkat yang signifikan. Supply Chain Management pada akhirnya berkembang menjadi satu bidang ilmu, dengan pendekatan sistem yang terintegrasi, yang meliputi gudang penyimpanan, transporasi, inventory, pemesanan barang, dan jumlah barang. Kelima komponen tersebut harus dioptimalisasi secara keseluruhan. 2.5.1 Pengertian Supply Chain Management Menurut Schroeder (2007), supply chain management adalah sebuah proses bisnis dan informasi yang berulang yang menyediakan produk atau layanan dari pemasok melalui proses pembuatan dan pendistribusian kepada konsumen. Sedangkan menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), supply chain management adalah suatu sistem organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyalur barang tersebut. 31 Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa supply chain management merupakan pengelolaan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah, dilanjutkan kegiatan transformasi sehingga menjadi produk setengah jadi, kemudian menjadi produk jadi dan diteruskan dengan pengiriman ke konsumen melalui sistem distribusi. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup pembelian secara tradisional dan berbagai kegiatan penting lainnya yang berhubungan dengan supplier dan distributor. Adapun tujuan dari supply chain adalah untuk memaksimalkan hubungan potensial antara setiap bagian di dalam rantai supply chain dengan maksud untuk memberikan hasil atau produk yang terbaik kepada konsumen dan mengurangi biayabiaya pada produk akhir. Pada akhirnya, tujuan yang hendak dicapai dari setiap rantai suplai adalah untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan secara keseluruhan (Chopra, 2001, p5). Rantai suplai yang terintegrasi akan meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh rantai suplai tersebut. Di dalam mencapai tujuan-tujuan supply chain tersebut, maka diperlukan suatu pengembangan kompetensi supply chain secara menyeluruh. Di dalam perspektif supply chain management, ada tiga tipe dasar dari kompetensi di dalam supply chain, yaitu : 1. Distinc, hal ini berhubungan dengan kompetensi yang menjamin adanya unit bisnis yang unik sebagai keuntungan yang kompetitif. 2. Qualifying, hal ini berhubungan dengan persaingan kebutuhan di market tertentu, seperti sertifikasi ISO-9000. 3. Basic, berhubungan dengan keperluan dalam mengejar kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak berhubungan langsung dengan produk, 32 misalnya pembayaran rekening telpon perusahaan. (Pires, Silvio, Aravechia, dan Carlos, 2001) 2.5.2 Area Cakupan Supply Chain Management Pujawan (2005) menyatakan kegiatan utama yang termasuk dalam klasifikasi supply chain management adalah : • Kegiatan merancang produk baru (Product Development) • Kegiatan mendapatkan bahan baku (Procurement) • Kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (Planning and Control) • Kegiatan melakukan produksi (Production) • Kegiatan melakukan mengiriman/distribusi (Distribution) Kelima klasifikasi tersebut biasanya tercermin dalam bentuk pembagian departemen atau divisi pada perusahaan manufaktur dan terkait dengan fungsi-fungsi utama supply chain. Pembagian tersebut sering dinamakan functional division karena dikelompokan sesuai dengan fungsinya. Umumnya sebuah perusahaan manufaktur akan memiliki bagian pengembangan produksi, dan bagian pengiriman/distribusi. Tabel 2.1 berikut ini menjelaskan cakupan kegiatan dalam klasifikasi supply chain management (Pujawan, 2005): 33 Tabel 2.1 Klasifikasi Supply Chain Management Bagian Pengembangan Produk Cakupan kegiatan antara lain Melakukan riset pasar, merancang produk baru, melibatkan supplier dalam perancangan produk baru. Pengadaan Memilih supplier, mengevaluasi kinerja supplier, melakukan pembelian bahan baku dan komponen, memonitor supply risk, membina dan memelihara hubungan dengan supplier. Perencanaan dan Demand planning, peramalan permintaan, perencanaan Pengendalian kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan. Operasi / Produksi Eksekusi produksi, pengendalian kualitas. Pengiriman / Distribusi Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan pengiriman, mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan jasa pengiriman, memonitor service level di tiap pusat distribusi. 2.5.3 Manajemen dan Koordinasi Supply Chain Menurut Chopra, Sunil, Meindl (2001) dalam bukunya “Supply Chain Management: Strategy, Planning, and Operations” mengemukakan bahwa koordinasi dalam suatu supply chain dapat meningkat apabila semua pihak yang terlibat dalam setiap tahap mampu bekerja sama untuk meningkatkan nilai dan keuntungan supply chain tersebut secara keseluruhan. Sebaliknya, koordinasi supply chain yang lemah, 34 di mana setiap pihak yang terlibat hanya berusaha untuk mencapai keuntungan demi organisasinya masing-masing, maka akan menurunkan nilai supply chain secara keseluruhan. Lemahnya koordinasi dalam suatu supply chain akan menurunkan nilai dan keuntungan supply chain tersebut secara keseluruhan. Apabila setiap pihak yang terlibat dalam tahapan supply chain hanya berusaha untuk mengoptimalkan kepentingannya sendiri tanpa menyadari keutuhan suatu supply chain, maka akan berakibat menurunnya kinerja supply chain itu sendiri. Koordinasi yang lemah juga akan berakibat terjadinya distorsi informasi sepanjang tahapan-tahapan yang ada dalam supply chain. Berikut ini akan dibahas beberapa akibat dari lemahnya koordinasi dalam suatu supply chain (Chopra, Sunil, Meindl, 2001). • Biaya Produksi (manufacturing cost) Biaya ini meningkat karena digunakan untuk membangun kapasitas produksi yang lebih besar ataupun menambah jumlah barang persediaan, yang ada akhirnya akan meningkatkan biaya produksi per unit. • Biaya Transportasi (Transportation cost) Biaya transportasi berkorelasi dengan pemenuhan permintaan yang ada, sehingga kebutuhan transportasi tersebut juga menjadi berfluktuasi. Akibatnya biaya transportasi ini akan meningkat karena kebutuhan kapasitas transport yang lebih banyak pada waktu terjadi permintaan yang tinggi. • Biaya pekerja untuk pengiriman dan penerimaan barang (labor cost for shipping and receiving) 35 Peningkatan juga terjadi pada biaya pekerja yang menangani pengiriman dan penerimaan barang, terutama pada distributor dan pengecer. Adanya fluktuasi menyebabkan perusahaan harus memilih antara mempunyai jumlah pekerja yang lebih banyak atau menyesuaikan kapasitas pekerja seiring dengan terjadinya fluktuasi permintaan. Kedua pilihan tersebut akhirnya tetap akan menambah biaya pekerja secara keseluruhan • Hubungan sepanjang supply chain (relationships across the supply chain) Ada kecenderungan untuk saling menyalahkan antara satu pihak dengan pihak yang lain, karena masing-masing merasa telah berusaha melakukan yang terbaik. Hal ini dapat berujung pada hilangnya kepercayaan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dalam setiap tahapan supply chain, dan akhirnya akan membuat usaha koordinasi selanjutnya menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Menurut Chopra, Sunil, Meindl (2001), ada beberapa hambatan dalam melakukan koordinasi suatu supply chain, antara lain adalah : • Hambatan insentif (incentive obstacle), adalah suatu hambatan yang mengacu pada situasi di mana insentif yang ditawarkan pada setiap tahapan atau pihak yang ada dalam suatu supply chain akan mengakibatkan terjadinya kegiatan yang meningkatkan variasi dan mengurangi keuntungan total suatu supply chain. • Hambatan proses informasi (information process obstacle), adalah suatu hambatan yang mengacu pada situasi di mana informasi permintaan pasar 36 yang sebenarnya akan terdistorsi seiring dengan informasi tersebut bergerak dari satu tahap ke tahap yang lainnya sepanjang supply chain, yang pada akhirnya akan meningkatkan variasi pesanan dalam supply chain tersebut. • Hambatan operasional (operation obstacle), adalah suatu hambatan yang mengacu pada kegiatan operasional yang terjadi dalam rangka melakukan pesanan dan memenuhi permintaan yang berujung pada meningkatnya variasi. • Hambatan Harga (Pricing obstacle), adalah hambatan yang mengacu pada kebijaan harga untuk suatu produk yang menyebabkan terjadinya variasi pada jumlah pesanan. • Hambatan perilaku (behavioral obstacles), adalah masalah-masalah yang terjadi dalam organisasi yang ikut menimbulkan terjadinya hambatan. Masalah-masalah ini sering terkait dengan struktur suatu supply chain dan bentuk komunikasi yang terjadi di antara setiap tahapannya.