1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit apendisitis merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan di bidang bedah dan memerlukan tindakan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi. Selain itu apendisitis juga merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada masyarakat secara umum, yang tatalaksananya dengan cara apendiktomi, sehingga penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis memerlukan perhatian khusus, karena masih tingginya kemungkinan timbul infeksi paska bedah (Departemen/SMF ilmu bedah, 2009). Apendisitis merupakan kasus yang memerlukan penanganan operasi segera. Oleh karena itu, guna mengurangi angka kematian dan angka kesakitan salah satu upayanya yaitu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis yaitu dengan membuat diagnosa yang tepat (Chidmat, 2005). Pemilihan dan penggunaan antibiotik yang tepat dan rasional dapat menentukan keberhasilan pengobatan dan menghindari kejadian resistensi terhadap bakteri (Worokarti, 2005). Berdasarkan penelitiansebelumnya yang dilakukan di RSUD Pekanbaru, hasil menunjukkan penggunaan antibiotik profilaksis pada 100 pasien bedah di RSUD Pekanbaru pada tahun 2010 meliputi kombinasi Sefazolin dan Metronidazol (47%), kombinasi Sefotaksim dan Metronidazol (18%), Sefotaksim (11%), Sefriakson (11%), Sefuroksim (7%), Seftizoksim (2%), Sefositin (1%), Sefotetan (1%), kombinasi Sefotetan dan Metronidazol (1%), terakhir kombinasi Sefuroksim dan Metronidazol (1%), kemudian ditemukan adanya ketidaktepatan obat (45%), ketidaktepatan pasien (3%), ketidaktepatan dosis kategori besaran (7%), dan ketidaktepatan dosis kategori lama pemberian (12%), dengan menggunakan pembanding pedoman penggunaan antibiotik di bidang bedah 1 2 RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Berdasarkan data, terdapat kasus ketidaksesuaian sebanyak 68 kasus (68%) dan kasus kesesuaian sebanyak 32 kasus (32%) sehingga data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis di RSUD Pekanbaru tahun 2010 masih belum sesuai (Amelia, 2012). Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kualitas penggunaan antibiotik pada pasien yang menjalani operasi apendisitis di RSUD Dr. Moewardi di Surakarta Tahun 2014. Mengingat eratnya kaitan penggunaan antibiotik dengan bedah apendiks maka dilakukan penelitian tentang penggunaan antibiotik pada kasus apendisitis untuk mengevaluasi penggunaannya pada pasien di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2014, apakah sudah sesuai dengan standar terapi yang digunakan dibidang bedah menurut Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, disusunlah permasalahan penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimanakah gambaran penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014? 2. Bagaimanakah ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis diRSUD Dr. Moewarditahun 2014 yang ditinjau dari aspek tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis dibandingkan dengan standar terapi yang digunakan dibidang bedah menurut Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. 2. Mengevaluasi kesesuaian penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 ditinjau dari aspek, 3 tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis dengan standar terapi yang digunakan dibidang bedah menurut Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi? D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Apendisitis a. Definisi Apendiks atau sering disebut juga umbai cacing merupakan ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm, melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi (Brunner dan Sudarth, 2002). Apendisitis akut merupakan salah satu penyakit saluran pencernaan yang paling umum ditemukan dan yang paling sering memberikan keluhan abdomen yang akut (Robbins dan Kumar, 1995). Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Namun, pengangkatan apendiks tidakmenimbulkan efek fungsi sistem imun yang jelas (Sjamsuhidayat, 2005). b. Etiologi Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debrisfekal), atau parasit (Katz, 2009). Studi epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa (Sjamsuhidayat, 2005). c. Patogenesis Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin secretor yang dihasilkan oleh GALT 4 (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks yaitu IgA. Imunnoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 2005). d. Manifestasi Klinis Gejala dan tanda klinis yang ditemukan pada apendisitis menurut Haryono (2012) : Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi. 2. Bedah Apendisitis a. Klasifikasi Pembedahan Operasi apendisitis termasuk dalam klasifikasi urgensi dengan jenis Darurat, di mana pembedahan harus dilakukan segera guna menyelamatkan jiwa atau mempertahankan fungsi organ. Operasi apendisitis merupakan kategori tujuan Ablatif yaitu pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau penyakit (Muttaqin& Kumala, 2009). b. Diagnosis Penegakan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri (Muttaqin& Kumala, 2009). Penyakit apendisitis sendiri jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun, paling 5 sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga. Akan tetapi apendisitis dapat terjadi di semua usia (Grace, 2007). 3. Antibiotik Profilaksis a. Definisi Antibiotik Profilaksis Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain (Setiabudi, 2007). Penggunaan antibiotik harus hati-hati dan dibawah pengawasan dokter, sebab antibiotik dapat memberikan efek yang merugikan bila pemakaiannya tidak dikontrol dengan benar (Widjajanti, 2002). Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada penderita yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk pada penderita (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009). b. Penggunaan Antibiotik Secara Rasional Penggunaan antibiotik secara rasional guna mendapatkan pengobatan yang efektif dan aman, serta dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu yang paling menguntungkan dan sebisa mungkin terjangkau, perlu dilakukan diagnosis yang akurat, pemilihan obat yang tepat, serta meresepkan obat dengan dosis, cara, interval dan lama pemakaian yang tepat pula (Sastramiharja dan Herry, 1997). Untuk menentukan penggunaan antibiotikprofilaksis dalam menangani penyakit infeksi, secara garis besar dapat dipakai prinsip-prinsip umum menurut pedoman penggunaan antibiotik di bidang bedah RSUD Dr. Moewardi Surakartadibawah ini : 1) Dilakukan pewarnaan Gram, kultur, dan tes sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotik. 2) Terapi empirik harus berdasarkan data epidemiologi setempat. 3) Terapi definitif harus berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas kuman patogen penyebab. 4) Pemilihan agen, dosis, cara pemberian, dan durasi terapi antibiotik ditentukan oleh hal-hal berikut : 6 a) Aktivitas spektrum antibiotik tersebut terhadap kuman patogen penyebab. b) Farmakokinetika obat. c) Faktor pejamu, seperti usia, kehamilan, fungsi ginjal, dan fungsi hepar. d) Efek samping yang mungkin timbul pada pejamu atau fetus. 5) Terapi antibiotik yang dipilih harusnya yang paling efektif dan spesifik untuk melawan kuman patogen penyebab, yang paling tidak toksik, dan paling tidak mahal. 6) Kombinasi antibiotik diindikasikan pada keadaan sebagai berikut : a) Efek sinergistik, seperti pada kasus Endokarditis Bakterialis. b) Mencegah resistensi, seperti pada kasus Tuberkulosis. c) Memberi cakupan untuk beberapa kuman patogen pada kasus infeksi campur. d) Memberi cakupan spektrum luas secara empiris pada pasien dengan infeksi yang berpotensi fatal sambil menunggu data bakteriologi. 7) Drainase secara bedah wajib dilakukan untuk mengatasi abses, dengan beberapa pengecualian. 8) Terapi parenteral berdosis tinggi dan lama, penting pada penatalaksanaan Endokarditis Bakterialis, osteomielitis, dan infeksi jaringan yang hampir mati (devitalized tissue). 9) Terkadang perlu untuk menghilangkan material asing untuk menyembuhkan infeksi seperti pada katup jantung prostetik atau implan sendi. c. Mekanisme Resistensi Antibiotik Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Menurut Jawetz (1997), timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut : 7 1) Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotik. Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan betalaktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif. 2) Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten. 3) Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan. 4) Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. 5) Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. d. Mekanisme Aksi Antibiotik Antibiotik berdasarkan mekanisme aksinya menurutSastramihardja (1997): 1) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel atau menginaktivasi enzimyang merusak dinding sel (Penicilin, Sefalosporin, Basitrasin, Vankomisin). 2) Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroba (Polimiksin, Nistamin, Amfoterisin, dan Kolistemetat). 3) Antibiotik yang mempengaruhi fungsi ribosom bakteri sehingga terjadi penghambatan sintesis protein yang reversibel (Eritromisin, Kloramfenikol, Klindamisin, Tetrasiklin). 4) Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam deoksiribonukleat (Aktinomisin D, Rifampisin, Novobiosin, Deoksiribonukleat, Nitramisin, Bleomisin). e. Tujuan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah Apendisitis Secara umum tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis bedah yaitu untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi, tidak menimbulkan efek ikutan, 8 mengurangi terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca bedah, mengurangi lama perawatan dan menurunkan biaya perawatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan antibiotik profilaksis yang bersifat : 1) Aktif terhadap kuman patogen yang terbanyak mengkontaminasi luka. 2) Diberikan dengan dosis yang adekuat dan waktu yang tepat sehingga pada saat insisi telah mencapai kadar cukup tinggi di jaringan yang bersangkutan. 3) Aman. 4) Penggunaan dalam waktu yang singkat untuk mengurangi efek ikutan, mencegah timbulnya resistensi dan menekan biaya yang tidak perlu. (Departemen/SMF Ilmu Bedah, 2009). Untuk apendisitis, rejimen antibiotikyang digunakan harus tergantung pada penampilan apendiks pada saat operasi, yang mungkin normal, meradang, gangren, atau mengalami perforasi. Karena kondisi usus buntu tidak diketahui sebelum operasi, disarankan untuk memberikan agen antibiotik sebelum operasi dilakukan. Rejimen antibiotik yang umum diberikan adalah Sefalosporin, atau jika kondisi pasien sudah parah, Carbapenem atau kombinasi β-laktamdanβ-laktamase inhibitor dapat diberikan (DiPiro, 2008) Tabel 1. Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Bedah Pada Apendisitis Jenis Operasi Bedah Gastrointestinal Appendiktomi Bakteri Pathogen Rekomendasi Keterangan Katgori Rekomendasi Enterik gram Negativ Bacilli, anaerob Sefoxitin atau Sefotetan 1g x1 Dosis intraoperative kedua Sefoxitin mungkin diperlukan jika operasi lebih dari 3 jam IA (Sangat Direkomendasikan) (DiPiro, 2008) Pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yaitu buku pedoman standar penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2011-2012. 9 Tabel 2. Penggunaan AntibiotikProfilaksis Sub Bedah Anak di RSUD Dr. Moewardi Penyakit dan tindakan Bersih terkontaminasi: Apendisitis Kuman Penyakit E.Colli Staphylococcus Rekomendasi Dosis Sefalosporin gen III 50 mg/ kg BB/hari Lama Pemberian 3-5 hari (RSDM, 2011) E. LANDASAN TEORI Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Amelia tahun 2012 di RSUD Pekanbaru, hasil menunjukkan penggunaan antibiotik profilaksis pada 100 pasien bedah di RSUD Pekanbaru pada tahun 2010 meliputi kombinasi Sefazolin dan Metronidazol (47%), kombinasi Sefotaksim dan Metronidazol (18%), Sefotaksim (11%), Seftriakson (11%), Sefuroksim (7%), Seftizoksim (2%), Sefositin (1%), Sefotetan (1%), kombinasi Sefotetan dan Metronidazol (1%), terakhir kombinasi Sefuroksim dan Metronidazol (1%). Dengan menggunakan pembanding pedoman penggunaan antibiotik di bidang bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya, ditemukan adanya ketidaktepatan obat (45%), ketidaktepatan pasien (3%), ketidaktepatan dosis kategori besaran (7%), dan ketidaktepatan dosis kategori lama pemberian (12%). Berdasarkan data, terdapat kasus ketidaksesuaian sebanyak 68 kasus (68%) dan kasus kesesuaian sebanyak 32 kasus (32%) sehingga data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik profilaksis di RSUD Pekanbaru tahun 2010 masih belum tepat. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh kualitas penggunaan antibiotik pada pasien yang menjalani operasi apendisitis di RSUD Dr. Moewardi di Surakarta Tahun 2014.