ISSN 1858-4101 Vol. 1 No. 1 Agustus 2005 Pengantar Redaksi Kapata Arkeologi ISSN 1858-4101 Vol. 1 No. 1 Agustus 2005 Media Penyebarluasan Informasi Arkeologi Indonesia Diterbitkan oleh Balai Arkeologi Ambon di bawah perlindungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Penanggungjawab Redaksi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Pemimpin Redaksi I Wayan Suantika Sekretaris Redaksi GM Sudarmika Sidang Redaksi Wuri Handoko, Marlyn Salhuteru, Marlon NR Ririmasse, Syahruddin Mansyur Tata Letak/Lay Out : Wuri Handoko Desain Sampul: Marlon NR Ririmasse Penerbit : Balai Arkeologi Ambon Alamat Redaksi Jl. Namalatu-Latuhalat, Kodya Ambon 97118 Telp/Faks: 091132374 KAPATA ARKEOLOGI diterbitkan oleh Balai Arkeologi Ambon dua kali setahun. Penerbitan ini bertujuan menggalakkan penelitian arkeologi khususnya di wilayah Maluku Dan Maluku Utara serta umumnya di Indonesia, juga menyebarluaskan hasil-hasilnya baik di kalangan ilmuan maupun masyarakat luas. Redaksi menerima sumbangan tulisan arkeologi, sejarah, etnografi dan disiplin lain yang berkaitan dengan manusia dan kebudayaan Maluku dan Maluku Utara. Tulisan dibuat dengan spasi ganda maksimum 6000 kata. Redaksi berhak menyaring dan menyunting setiap naskah yang masuk tanpa merubah isi tulisan. Karangan yang dimuat bukan berarti pihak redaksi menyetujui isinya. Kapata adalah bahasa daerah Maluku yang artinya tradisi menutur peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dalam bentuk nyanyian bersyair. Mengacu kepada pengertian tersebut, maka penerbitan Kapata Arkeologi dimaksudkan sebagai media untuk menyebarluaskan berbagai informasi berkaitan dengan kebudayaan Maluku pada masa lampau, berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi dan kajian ilmiah arkeologis. Copy right © Balai Arkeologi Ambon 2005 Setelah menunggu waktu cukup lama sejak berdirinya Balai Arkeologi Ambon tahun 1995, akhirnya kali pertama ini kami bisa menerbitkan jurnal arkeologi wilayah Maluku dan Maluku Utara. Memang, sudah cukup lama keinginan itu ada. Namun kami tak cukup energi untuk itu. Jika bisa jadi alasan, tentu banyak yang bisa kami paparkan, misalnya kurangnya tenaga arkeologi di Balai Arkeologi Ambon sejak tahun berdirinya itu. Baru tahun 2005 ini, beberapa tenaga arkeologi bisa mengisi kekosongan yang dimaksud. Selain itu, kita semua tahu, kurun waktu 1999 hingga 2003, wilayah Maluku, diguncang konflik. Hal ini tentu membuat lumpuh hampir seluruh gerak aktifitas dan relasi sosial. Tak pelak, hal ini berimbas pada tidak stabilnya roda pemerintahan. Jadi praktis, baru akhir tahun 2004 semua dibenahi. Demikian pula Balai Arkeologi Ambon. Meski bukan usia yang muda, namun Balai Arkeologi Ambon merupakan instansi arkeologi di daerah yang paling muda jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Bagi kami, terbitan artikel ini menjadi bukti --eksistensi--Balai Arkeologi Ambon. Sebagai introduksi, kami menyadari mungkin terbitan yang terdiri dari kumpulan artikel ini tak banyak memberikan nuansa baru dalam kancah penulisan ilmiah arkeologi di Indonesia. Namun memang bukan itu spirit yang ada pada kami. Tulisan ini hanya langkah awal. Maka apa yang kami kerjakan, adalah stimulan (pendorong) untuk kerja-kerja penulisan atau terbitan berikutnya. Apapun sebutannya, inilah usaha serius yang kami lakukan. Tentu berikutnya, akan memicu kami untuk bekerja dan menulis lebih ‘serius’ lagi. Oleh karena terbitan perdana, sengaja kumpulan artikel ini tak banyak memaparkan berbagai kajian arkeologis untuk melihat kompleksitas budaya. Apa yang kami paparkan dalam tulisan ini tak lebih dari usaha ‘mengenalkan’ dan mencoba ‘mendekatkan’ arkeologi kepada kalangan umum, agar lebih memahami konteks lokal permasalahan arkeologi di wilayah Maluku. Hal ini mungkin berbeda dengan terbitan oleh Balai Arkeologi lainnya. Dari seluruh artikel yang dipaparkan, hampir seluruhnya menuliskan tentang perspektif dan peran arkeologi dalam lingkup wilayah Maluku. I Wayan Suantika misalnya dalam tulisannya mengungkapkan visi dan misi Balai Arkeologi Ambon. Justru karena menyadari potensi arkeologi yang ada di wilayah Maluku, maka menurutnya mewujudkan visi dan misi Balar Ambon, bukan sesuatu yang berlebihan. Dengan cukup gamblang ia menguraikan seluruh potensi arkeologi di wilayah Maluku. Uraiannya itu secara jelas merunutkan babakan sejarah budaya di Maluku, mulai Masa Prasejarah, Klasik, hingga Islam dan Kolonial. Gusti Made Sudarmika, lebih banyak mengungkapkan potensi arkeologi di wilayah Maluku, upaya pengelolaan dan pemanfaatannya, agar suatu saat nanti terwujud publik arkeologi. Ia menyadari banyaknya potensi sumberdaya arkeologi di Maluku, Kapata Arkeologi Vol. 1 No. 1 Agustus / 2005 Balai Arkeologi Ambon i ISSN 1858-4101 Vol. 1 No. 1 Agustus 2005 namun di lain pihak publik di wilayah Maluku, belum begitu memahami peranan sumberdaya arkeologi tersebut. Oleh karena itu melalui tulisannya, ia mencoba mendekatkan publik, khususnya di Maluku terhadap sumberdaya arkeologi yang ada. Marlon Ririmaze, menulis tentang prospek penelitian arkeologi di wilayah Maluku. Dengan cukup teliti ia menguraikan sejarah dan proses penellitian yang pernah di lakukan di wilayah Maluku. Namun ia melihat masih banyak celah dalam keseluruahn penelitian itu. Sehingga prospek penelitian di Maluku, menjadi penting untuk terus di kembangkan. Bahkan menurutnya seluruh penelitian yang sudah ada, tak cukup mengimbangi luasnya wilayah dan banyaknya ‘misteri purba’ yang belum terungkap. Wuri Handoko, lebih menonjolkan soal peran mediasi arkeologi dalam pemulihan sosial paska konflik di Maluku. Menurutnya dalam proses merentang perdamaian dan merangkai harmonisasi di wilayah Pasca konflik, arkeologi sebagai ilmu semestinya mampu menawarkan energi baru di tengah nilai-nilai tradisional perekat sosial mulai memudar. Bobot yang berbeda, karena dalam tulisan tersebut, ia menawarkan penerapan sistem pendidikan arkeologi sejak dini, serta peran Balai Arkeologi Ambon untuk itu. Tema tulisan yang berbeda dipaparkan Syahruddin Mansyur dan Merlyn Salhuteru. Berbeda karena, kedua tulisan itu telah beranjak membahas hasil kajian situs dan data arkeologis. Syahruddin menuliskan tentang permukiman tradisional Tanibarkei di Maluku Tenggara. Menarik dipaparkan, karena wilayah itu mewakili wilayah di Maluku yang masih mempertahankan pola permukiman adat masyarakat. Dengan cukup cermat, ia mengungkapkan pola pemukiman, bentuk adaptasi lingkungan dan sistem mata pencaharian masyarakat tersebut. Sementara Merlyn, mengungkapkan pengaruh Hindu Budha dalam khasanah budaya Maluku melalui data arkeologis. Sangat menarik, karena wilayah Maluku mungkin satu-satunya wilayah Timur Indonesia, yang secara jelas menampakkan pengaruh Hindu yang ditunjukkan oleh data arkeologisnya. Tulisannya mungkin bisa membuka mata semua publik, bahwa kekayaan budaya Maluku tak dapat disangkal lagi. Maluku mewakili seluruh periodesasi budaya. Jawa dan Bali boleh kaya dengan budaya klasiknya. Sulawesi dan Kalimantan boleh kaya dengan budaya gua. Tapi di Maluku, seluruh karakter budaya bisa ditemukan. Redaksi ii Kapata Arkeologi Vol. 1 No. 1 Agustus / 2005 Balai Arkeologi Ambon ISSN 1858-4101 Vol. 1 No. 1 Agustus 2005 DAFTAR ISI Pengantar Redaksi ............................................................................... Daftar Isi .............................................................................................. i ii I Wayan Suantika Visi dan Misi Balai Arkeologi Ambon .................................................. 1 - 20 GM Sudarmika Sumberdaya Arkeologi: Pemanfaatan dan Upaya Pengelolaannya ...... 21 - 34 Marlon NR Ririmasse Jejak dan Prospek Penelitian Arkeologi di Maluku .............................. 35 - 55 Wuri Handoko Pendidikan Arkeologi: Merentang Jalan Harmonisasi Renungan untuk Maluku ........................................................................ 56 - 69 Syahruddin Mansyur Permukiman Tradisional Tanimbarkei .................................................... 70 -87 Marlyn Salhuteru Menelusuri Keberadaan Budaya Hindu Budha Pada Masyarakat Maluku Tenggara ....................................................... 88 - 97 Kapata Arkeologi Vol. 1 No. 1 Agustus / 2005 Balai Arkeologi Ambon iii