TAFSIR AYAT POLIGAMI DALAM ALQURAN Didin

advertisement
TAFSIR AYAT POLIGAMI DALAM ALQURAN
Didin Faqihudin*
Abstract
Polygamy has been a very controversial issue in Islam. The
Orthodox Ulama maintain that it is part of Islamic Shari'ah and
hence men can take up to four wives, if they want to, without
any reasonable cause even. The modernists and champions of
women's rights, on the other hand, argue that polygamy is only
permissible in certain conditions with the strict proviso for
equal justice with all the wives. According to the modernists,
man just cannot take more than one wife simply because he
likes some other woman or gets enamoured of her beauty. They
also argue that the Quranic norm is monogamy but polygamy
is permissible in certain exceptionable circumstances with
strictly enforceable condition for justice
Kata kunci: Alquran, poligami,
Pendahuluan
Dalam diskursus hukum Islam, persoalan poligami merupakan salah
satu wacana yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan.
Dan perdebatan tentang masalah poligami ini selalu berujung pada
ketidaksepakatan. Menurut Hussein Muhammad, kesimpulan dari
perdebatan ini memunculkan tiga pandangan. Pertama, pandangan yang
membolehkan poligami secara longgar. Sebagian penganut pandangan ini
menganggap poligami sebagai sunnah, yaitu mengikuti apa yang dilakukan
Nabi Muhammad Saw. Mereka cenderung mengabaikan syarat keadilan
yang secara eksplisit disebutkan Alquran. Kedua, pandangan yang
membolehkan poligami dengan beberapa syarat yang ketat. Syarat keadilan
harus dipenuhi, yaitu dengan menitik beratkan pada keadilan formaldistributif. Suami harus memenuhi hak-hak ekonomi dan kebutuhan seksual
para istri secara adil; keharusan mendapat izin istri pertama; serta syaratsyarat lainnya. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak.1
1
Hussein Muhammad, Ijtihad Kyai Hussein: Upaya Membangun Keadilan
Gender, Cet. ke-1 (Jakarta: Rahima, 2011), 17-18.
34 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
Yang menarik dari perdebatan sekaligus kontroversi seputar masalah
poligami ini adalah kenyataan bahwa semua kelompok terutama merujuk
pada ayat yang sama, yaitu ayat 2-3 pada surat al-Nisa>’. Hal ini, kata
Hussein, secara jelas membuktikan bahwa teks-teks keagamaan selalu
menyediakan ruang bagi sejumlah tafsir yang berbeda. Perbedaan itu bisa
terjadi setidaknya karena tiga hal: perbedaan refleksi ruang dan waktu,
perbedaan metodologi yang digunakan sebagai pisau analisis, dan perbedaan
kepentingan dan ideologi.2
Tulisan ini mencoba untuk menganalisis ayat yang menjadi sumber
perdebatan wacana poligami dalam Islam, yaitu ayat 2-3 surat al-Nisa>’.
Dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para ulama
terhadap ayat tersebut, diharapkan muncul pencerahan pemahaman tentang
status poligami dalam Islam.
Membaca Ayat Poligami
Seperti telah disebutkan di bagian awal tulisan ini, ayat yang menjadi
sumber perdebatan status poligami adalah ayat 2-3 suart al-Nisa berikut ini:
          
            
            
           
 
‚Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
2
Ibid., 22-23.
Didin Faqihudin, Tafsir Ayat Poligami dalam Alquran
35
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya‛
Dari keseluruhan ayat di atas, jika kita peras lagi, maka yang menjadi
inti persoalan adalah frase:
        
‚Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat‛
Frase ini secara verbal-literal terlihat menganjurkan laki-laki untuk
menikahi wanita, bahkan hingga jumlah empat orang. Inilah yang kemudian
menjadi sumber rujukan bagi kelompok yang membolehkan poligami secara
sangat longgar. Laki-laki boleh menikahi wanita yang dia inginkan hingga
jumlah empat orang.
Pemahaman seperti ini tentu adalah pemahaman yang sangat terburuburu. Padahal dalam memahami ayat-ayat Alquran, seharusnya kita
bersikap ekstra hati-hati. Tidak setiap redaksi perintah dalam Alquran bisa
dipahami mentah-mentah. Kita tentu perlu mengingat bahwa dalam hal
penafsiran Alquran ada satu kaidah yang menyatakan bahwa Alquran
menafsirkan dirinya sendiri. Artinya dalam memahami suatu ayat Alquran,
kita perlu merujuk pada ayat-ayat lain yang memiliki relasi dengan ayat
tersebut.
Menurut Faqihudin Abdul Qadir, poligami memang disebutkan dalam
literal ayat di atas. Namun tidak semua yang disebutkan di dalam Alquran
bisa langsung disimpulkan sebagai anjuran dan tuntunan Alquran. Dengan
menelusuri kitab-kitab tafsir, kita akan menemukan bahwa para ulama tidak
memahami ayat secara literal begitu saja. Setiap ayat dibaca dengan
dampingan ayat-ayat lain dan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw serta
dengan menggunakan bantuan ilmu bahasa dan ilmu-ilmu lain. Membaca
dan menerapkan Alquran pada praktiknya adalah membaca dan menerapkan
tafsir-tafsir yang telah muncul dan berkembang selama hampir 16 abad.3
Contoh yang paling sederhana dalam kasus ini adalah kewenangan
orang muslim menikmati makanan dan minuman pada ayat berikut:
3
Faqihudin Abdul Qadir, Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an
dan Hadis Nabi, Cet. ke-1 (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005), 46.
36 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
       
         
      
‚Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka
Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan‛4
Ayat ini secara literal bisa dipahami sebagai kebebasan orang
mukmin untuk memakan dan meminum apapun secara mutlak. Namun
dengan melihat ayat yang lain, ayat ini tidak boleh dipahami demikian,
bahwa orang Muslim selama beriman dan bertakwa bebas untuk memakan
dan meminum apa saja tanpa aturan. Sebab, sebagaimana diketahui, Islam-baik melalui Alquran maupun hadis--mengharamkan beberapa jenis
makanan dan minuman, seperti khamar, babi dan bangkai, bagi semua orang
muslim, meskipun ia termasuk orang yang sangat bertakwa, beriman dan
beramal saleh.5
Dari paparan di atas, kita dapat menerapkan hal yang sama terhadap
ayat poligami (QS. al-Nisa>’: 2-3). Ayat poligami ini tidak bisa dan tidak
boleh dibaca sepenggal begitu saja. Ayat itu harus dibaca lengkap dengan
kalimat sebelum dan setelahnya, juga dengan ayat lain yang terkait,
sekalipun di surat yang berbeda. Lebih dari itu, ayat tersebut harus dibaca
sesuai dengan alur bahasa penyusunan dan konteks sosial di mana dan kapan
ayat itu turun. Pada saat yang sama, prinsip-prinsip Alquran dalam
membicarakan relasi laki-laki dan perempuan juga harus disertakan sebagai
dasar acuan pemaknaan. Jika kaidah-kaidah ini digunakan, maka dapat
dipastikan bahwa ayat 3 surat al-Nisa>’ tidak dapat dipahami sebagai
promosi terhadap poligami. Alih-alih, ayat tersebut justru memfokuskan
4
5
QS. al-Ma>’idah (5): 93.
Qodir, Memilih Monogami, 47-48.
Didin Faqihudin, Tafsir Ayat Poligami dalam Alquran
37
pada tuntunan moralitas keadilan yang harus dimiliki setiap orang ketika
menjalankan kehidupan perkawinan, terutama pada perkawinan poligami.6
Jika kita melihat kembali redaksi ayat poligami di atas, maka akan
tampak secara literal fokus ayat tersebut adalah anjuran pada dua hal;
pertama, berbuat adil kepada anak yatim, dan kedua, ketika berpoligami
juga harus didasarkan pada moralitas keadilan. Jika khawatir tidak mampu
adil, semestinya mencukupkan diri dengan satu isteri saja agar tidak terjadi
kezaliman dan kenistaan.
Secara sepintas kita sulit memahami keterkaitan antara pemeliharaan
anak yatim dengan kebolehan poligami seperti tertera dalam ayat tersebut.
Hal ini pernah dikemukakan di hadapan ‘A<’ishah binti Abi> Bakr, isteri
Rasulullah Saw. Adalah ‘Urwah bin Zubayr, anak Asma>’, kakak ‘A<’ishah,
yang bertanya mengenai kaitan pemeliharaan anak yatim dengan kebolehan
poligami dengan dua isteri, tiga atau empat. Kaitan ini akan kita lihat pada
penjelasan poligami dalam tafsiran di bawah ini.
Poligami dalam Tafsiran
Melihat latar belakang turunnya ayat (asba>b al-nuzu>l), menurut
banyak ulama tafsir, ayat ini ditengarai tengah merespon ketidakadilan para
pengasuh (wali) anak-anak yatim. Sebagai anak-anak kecil yang belum
dewasa yang ditinggal wafat ayahnya, anak yatim tentu membutuhkan
perlindungan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan, baik secara
finansial (ekonomi), maupun emosional (kasih sayang). Dalam hal ini, Allah
menyerukan agar para pengasuh anak-anak yatim memberikan
perlindungan, pengasuhan dan pemeliharaan secara serius dengan
memperlakukan mereka secara baik dan adil. Jika mereka mempunyai
kekayaan (harta peninggalan), para pengasuh (wali) harus menyerahkannya
ketika mereka dewasa. Para wali tidak diperkenannkan memanipulasi atau
mengkorupsi harta mereka. Para wali hanya diberi hak untuk menggunakan
harta mereka sepanjang diperlukan untuk kepentingan mereka.7
Dalam tafsirnya, Ibn Jari>r al-T{abari> meriwayatkan hadis berikut:
‫طاب لكم من‬
َ ‫"وإن خفتم أال تُقسطوا يف اليتامى فانكحوا ما‬:‫ عن عائشة‬،‫عن عروة‬
‫ فًنغب يف ماهلا‬،‫ ىي اليتيمة تكون يف ِحجر ولِّيها‬،‫ يا ابن أخيت‬:‫ فقالت‬،"‫النساء‬
6
7
Ibid., 49l.
Muhammad, Ijtihad Kyai, 30-31.
38 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
‫ فنهوا أن ينكحوىن إال أن يقسطوا‬،‫ ويريد أن ينكحها بأدىن من ُسنة صداقها‬،‫ومجاهلا‬
‫ وأمروا أن ينكحوا ما سو ُاى َّن من النساء‬،‫هلن يف إكمال الصداق‬
‚Wahai kemenakanku, ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang
dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta dengan harta
walinya. Si wali tertarik dengan harta dan kecantikan anak itu, lalu ia
bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil,
sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena
niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak
yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti
kepada para perempuan lain. Dari pada melangsungkan niat yang
tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan
lain.‛8
Dari riwayat ini, kita dapat melihat penjelasan ‘A<’ishah kepada
‘Urwah bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan kasus
seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia kemudian
ingin mengawininya untuk menguasai hartanya.
Praktik pengasuhan anak yatim pada saat itu cenderung tidak adil.
Para wali tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi mereka secara
proporsional. Di samping itu, mereka juga ingin mengawini anak-anak
yatim perempuan yang diasuhnya dengan tidak membayarkan mas kawin
sama sekali, atau membayar mas kawin di luar ketentuan (tidak wajar).
Ketika hal itu marak terjadi, maka Alquran membolehkan para wali
menikahi perempuan yang sah, selain anak yatim, dua, tiga, atau empat.
Dan mereka harus membayar mas kawinnya secara wajar.
Dari penjelasan itu kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya ayat
3 surat al-Nisa>’ tidak sedang membicarakan poligami, apalagi
menganjurkannya, yang dibicarakannya adalah tindakan semena-mena yang
biasa dilakukan laki-laki terhadap perempuan, baik sebagai perempuan
yatim, perempuan yang akan dipersunting, maupun perempuan yang
dipoligami. Ayat ini memperingatkan laki-laki untuk memberikan hak-hak
kaum perempuan, berlaku adil dan tidak semena-mena terhadap mereka. Inti
ayat lebih memfokuskan pada pentingnya memberikan perhatian terhadap
perempuan, yang sering menjadi korban dari sistem sosial yang berlaaku
pada saat itu.
8
Ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>miʻ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, Tah}qi>q: Dr. ‘Abd
Alla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>, Juz 6, Cet. ke-1 (Kairo: Da>r Hajr, 2001), 358,
23.
Didin Faqihudin, Tafsir Ayat Poligami dalam Alquran
39
Ayat poligami itu sesungguhnya berisi peringatan untuk tidak berlaku
semena-mena terhadap orang yang secara sosial lemah dan marjinal. Mereka
adalah para anak yatim dan perempuan. Ayat tersebut sepertinya memberi
penegasan betapa posisi perempuan pada saat itu sangat lemah dan rentan
terhadap segala bentuk penindasan. Pada konteks ini, Alquran turun untuk
melakukan pembelaan dan pembebasan terhadap mereka dengan bersandar
pada moralitas dan keadilan.9
Abu> Layth al-Samarqandi>, ketika menjelaskan ayat 3 surat al-Nisa>’
ini, menyatakan berikut:
‫وكانوا يتزوجون من النساء ما شاؤوا فنزلت ىذه اآلية " وإن خفتم أال تقسطوا يف‬
‫اليتامى فانكحوا ما طاب لكم " " من النساء مثىن ثالث ورباع فإن خفتم إال‬
‫تعدلوا " يعين فكما خفتم أال تعدلوا يف اليتامى فخافوا يف النساء إذا اجتمعن‬
‫عندكم أال تعدلوا‬
‚Orang-orang pada saat itu) mengawini perempuan sejumlah yang
mereka suka, kemudian turunlah ayat ini. Maksud ayat adalah jika
kamu tidak bisa berbuat adil terhadap para anak yatim, kamu juga
hendaknya takut untuk tidak berbuat adil terhadap istteri-isteri, jika
kamu berpoligami.‛10
Dalam penjelasan sang mufasir tersebut terlihat bahwa ayat al-Nisa>’
itu turun ketika orang-orang pada saat itu mempraktikkan poligami sesuka
mereka. Mereka tidak merasa takut bertindak tidak adil ketika
mempoligami perempuan, sementara mereka merasa takut bertindak tidak
adil terhadap anak yatim. Padahal keduanya berpotensi terhadap tindak
kesewenang-wenangan. Ketidaktakutan terhadap tindak ketidakasilan
poligami ini yang dikritik ayat al-Nisa>’.11
Sementara itu, al-Zamakhshari> juga memiliki pandangan yang sama
tentang ayat al-Nisa>’ ini. Menurut dia, ayat ini mengaitkan kewaspadaan
terhadap monogami dengan kepengurusan anak yatim dari kemungkinan
tindak ketidakadilan. Beliau menulis:
9
Qodir, Memilih Monogami, 53-54.
Abu> Layth al-Samarqandi>, Bah}r al-‘Ulu>m, Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad
Muʻawwidh dan ‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d, Juz 1, Cet. ke-1, (Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 331.
11
Qadir, Memilih Monogami, 55.
10
40 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
‫وكان الرجل منهم رمبا كان حتتو العشر من األزواج والثمان والست فال يقوم‬...
‫حبقوقهن وال يعدل بينهن فقيل هلم ان خفتم ترك العدل يف حقوق اليتامى‬
‫فتحرجتم منها فخافوا ايضا ترك العدل بٌن النساء فقللوا عدد املنكوحات ألن من‬
‫حترج من ذنب أو تاب عنو وىو مرتكب مثلو فهو غًن متحرج وال تائب ألنو امنا‬
...‫وجب ان يتحرج من الذنب ويتاب منو لقبحو والقبح قائم يف كل ذنب‬
‚Dulu seorang laki-laki boleh jadi memiliki sepuluh, atau delapan,
atau enam orang isteri, dan dia tidak memberikan hak-hak mereka
secara benar, dan juga tidak berlaku adil di antara mereka. Maka
dikatakan kepada mereka jika kamu takut tidak bisa berbuat
adilterhadap anak-anak yatim, maka semestinya kamu juga takut
tidak bisa berbuat adil terhadap para perempuan yang kamu poligami.
Maka perkecillah jumlah perempuan yang kamu nikahi. Karena orang
yang takut terhadap suatu dosa, atau bertobat dari suatu dosa, tetapi
dia masih melakukan dosa lain yang sejenis maka dia sama dengan
orang yang tidak takut dosa dan tidak bertobat dari dosa.
Sesungguhnya ketika seseorang diperintahkan untuk takut dan
menjauhi dosa, justeru karena keburukan yang ada di dalamnya, dan
keburukan itu ada dalam setiap dosa …‛12
Pernyataan al-Zamakhshari> ini merupakan penegasan yang lugas
bahwa fokus ayat al-Nisa>’ bukan pada soal poligami, melainkan soal
keadilan, baik terhadap anak-anak yatim maupun terhadap para isteri yang
dipoligami. Dan dua tindak ketidakadilan terhadap anak yatim dan isteri
yang dipoligami adalah dosa.13
Dari beberapa penafsiran di atas, terlihat bahwa kebanyakan ulama
tidak menganjurkan perkawinan poligami. Para ulama tafsir itu justru
memasang pagar pembatas terhadap praktik poligami. Hal ini
mengindikasikan bahwa poligami bukan sesuatu yang direkomendasikan
para ulama mufassir itu. Jika para ulama tafsir tersebut tidak
merekomendasikan poligami, pertanyaan yang muncul adalah mengapa
praktik poligami banyak dilakukan masyarakat Muslim awal, termasuk para
Sahabat dan Tabi’in.
12
Al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f, Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad Muʻawwidh dan
‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d, Juz 2 (Riya>d}: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 15.
13
Qadir, Memilih Monogami, 57.
Didin Faqihudin, Tafsir Ayat Poligami dalam Alquran
41
Menurut Faqihudin Abdul Qadir, praktik poligami yang dilakukan
beberapa orang dari masyarakat muslim awal bukan karena poligami
disebutkan dalam Alquran, melainkan karena budaya yang mereka warisi
dari para leluhur. Poligami merupakan satu praktik yang marak dilakukan
pada masa penurunan Alquran. Poligami pada masa pra-Islam bahkan
dipraktikkan dengan tanpa pertimbangan apa pun terhadap perempuan,
apalagi perlindungan dan perhatian terhadap mereka. Bangsa-bangsa seperti
Yunani, Cina, India, Babilonia, Assyiria dan Mesir telah mempraktikkan
poligami sebelum Islam datang.
Bangsa Arab sebelum masa kelahiran Islam juga tidak jauh berbeda
dengan bangsa-bangsa lain dalam hal praktik poligami. Setelah Islam
datang, masyarakat Muslim awal mempraktikkan poligami lebih karena
pengaruh sosial-budaya yang berlaku pada saat itu. Ketika kita mendengar
beberapa sahabat mempraktikkan poligami, mereka sebenarnya tidak
sedang memenuhi anjuran Alquran, akan tetapi lebih karena budaya pada
saat itu yang memandang lumrah terhadap praktik poligami.14
Dalam beberapa kitab tafsir, diceritakan bahwa poligami beberapa
orang Sahabat juga terjadi sebelum Alquran turun, bahkan sebelum mereka
masuk Islam. Ibn Kathi>r meriwayatkan beberapa hadis terkait masalah ini,
antara lain:
‫ أن غيالن بن‬:‫ عن أبيو‬،‫ عن سامل‬،‫ أنبأنا ابن شهاب‬:‫قال ابن جعفر يف حديثو‬
‫ اخرت‬:‫ فقال لو النيب صلى اهلل عليو وسلم‬،‫َسلَمة الثقفي أسلم وحتتو عشرة نسوة‬
‫منهن أربعا‬
Ibn Jaʻfar berkata,: Ibn Shiha>b melalui riwayat dari Sa>lim, melalui
ayahnya, meberitahukan kepada kami bahwa Ghayla>n ibn Salamah alThaqafi> masuk Islam dan memiliki 10 orang istri (sebelum masuk
Islam).Lalu Nabi berkata kepadanya, ‚Pilihlah empat saja di antara
mereka.‛15
Dan riwayat berikut:
14
Lihat ibid., 62-65.
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Tah}qi>q: Mus}t}afa> Sayyid
Muh}ammad dkk, juz 3, Cet. ke-1 (Ghi>zah: Mu’assasah Qurt}ubah, 2000), 341.
15
42 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
‫ فذكرت‬،‫ أسلمت وعندي مثاين نسوة‬:‫…احلارث بن قيس بن عمًنة األسدي قال‬
" ‫ "اخرت منهن أربعا‬:‫للنيب صلى اهلل عليو وسلم فقال‬
‚…al-H{a>rith ibn Qays ibn ‘Umayrah al-Asadi> berkata: ‚Aku masuk
Islam dan saat itu aku memiliki delapan orang isteri, aku lalu
menyampaikan hal itu kepada Rasulullah. Beliau berkata, ‚Pilihlah
empat saja di antara mereka.‛16
Dua kutipan riwayat di atas menunjukkan bahwa poligami bukan
datang dibawa Islam, melainkan jauh sebelum kedatangan Islam itu sendiri,
persoalan poligami sudah menjadi sesuatu yang mengakar pada masyarakat
Arab saat itu. Dan mereka yang hidup pada masa itu sulit melepaskan diri
dari budaya tersebut. Monogami dianggap sebagai sesuatu yang di luar
kebiasaan.
Dalam konteks seperti ini, poligami tidak bisa dihapuskan secara
tiba-tiba. Sama dengan kasus perbudakan yang juga tidak mungkin dihapus
secara langsung. Di sinilah Alquran memposisikan dirinya untuk mengkritik
dan memberikan batasan-batasan yang menginspirasi pentingnya
transformasi sosial dan pembebasan, baik sebagai manusia untuk kasus
perbudkan, maupun sebagai manusia dan perempuan dalam kasus poligami.
Pembatasan empat isteri oleh Alquran harus dipahami sebagai media
penjelasan bahwa dalam konteks sosial di mana perkawinan dengan banyak
isteri demikian merajalela, maka pembatasan sangat diperlukan, baik secara
kuantitas, yaitu empat, maupun secara kualitas, yaitu moralitas keadilan.
Dari sini bisa dipahami bahwa poligami sebenarnya tidak dianjurkan
Alquran. Yang dilakukan Alquran justeru mengkritik tajam praktik
poligami yang terjadi pada saat itu, terutama kritik moralitas keadilan yang
harus menjadi dasar pertimbangan utama pilihan poligami.17
Prinsip keadilan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama
terkait poligami. Karena sejatinya, prinsip keadilan ini merupakan inti
ajaran Islam. Membaca persoalan ini dengan kaca mata prinsip keadilan,
tampak jelas bahwa keadilan dalam hal ini sama sekali tidak bisa diabaikan.
Jika penggalan pertama ayat poligami menekankan keadilan terhadap para
yatim, maka penggalan kedua keadilan ditujukan kepada para perempuan,
yaitu istri-istrinya. Ini adalah kritik Alquran terhadap praktik poligami yang
banyak dilakukan orang pada saat itu. Bahkan penekanan Alquran pada
keharusan suami untuk berlaku adil demikian seriusnya , sehingga jika dia
16
17
Lihat ibid., 346.
Lihat Qadir, Memilih Monogami, 70-71.
Didin Faqihudin, Tafsir Ayat Poligami dalam Alquran
43
tidak sanggup berbuat adil, maka dia harus merasa cukup dengan seorang
istri (monogami).18 Alquran menyatakan:
    
‚Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja‛19
Keadilan adalah syarat dalam poligami, sebagaimana juga syarat
dalam setiap hukum yang lain. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas
disebutkan dalam Alquran. Dalam hal ini, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>
mengomentari penggalan ayat di atas dengan sangat menarik:
،‫فإن خفتم أن ال تعدلوا بٌن ىذه األعداد كما خفتم ترك العدل فيما فوقها‬
...‫ فالتزموا أو فاختاروا واحدة وذروا اجلمع رأسا‬... ‫فاكتفوا بزوجة واحدة‬
‚Jika kalian takut tidak bisa berbuat adil dengan banyaknya isteri,
maka cukupklah beristri satu … pegang teguh dan pilihlah satu orang
istri saja dan tinggalkan poligami.‛20
Dari paparan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa
perkawinan monogami sejatinya merupakan cita-cita atau kehendak Allah
bagi sebuah perkawinan yang adil. Perkawinan monogami adalah sebuah
pilihan perkawinan yang ideal untuk terbangunnya relasi suami-istri yang
baik.
Penutup
Pembacaan terhadap ayat poligami hendaknya dilakukan dengan
melihat secara lebih mendalam akan makna dan fokus yang dituju oleh ayat.
Ayat tersebut sesungguhnya tidak sedang berbicara tentang anjuran
poligami an sich. Anjuran itu muncul dalam konteks pembicaraan tentang
perwalian terhadap anak yatim yang memiliki harta, dan kemudian sang
wali menginginkan penguasaan terhadap harta itu dengan cara
mengawininya secara tidak adil dengan tidak membayar maharnya.
Alquran menegaskan hal itu tidak boleh dilakukan. Karenanya,
Alquran mengatakan jika tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim maka
18
Muhammad, Ijtihad Kyai, 43.
QS. al-Nisa>’ (4): .3.
20
Lihat Fakh al-Di>n al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r, Juz 9, Cet. ke-1 (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1981), 182.
19
44 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 33-44
nikahilah wanita lainnya bahkan sampai empat, namun dengan catatan
harus berlaku adil. Keadilan inilah fokus utama ayat ini. Jika dikhawatirkan
tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istri yang dipoligami itu, maka
Alquran menyarankan agar memiliki satu istri saja.
Daftar Pustaka
Kathi>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Tah}qi>q: Mus}t}afa> Sayyid Muh}ammad
dkk. Juz 3. Cet. ke-1. Ghi>zah: Mu’assasah Qurt}ubah, 2000.
Muhammad, Hussein. Ijtihad Kyai Hussein: Upaya Membangun Keadilan
Gender. Cet. ke-1. Jakarta: Rahima, 2011.
Qadir, Faqihudin Abdul. Memilih Monogami: Pembacaan Atas Al-Qur’an
dan Hadis Nabi. Cet. ke-1. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005.
al-Ra>zi, Fakhr al-Di>n. al-Tafsi>r al-Kabi>r. Juz 9. Cet. ke-1. Beirut: Dar alFikr, 1981.
al-Samarqandi>, Abu> Layth. Bah}r al-‘Ulu>m. Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad
Mu’awwidh dan ‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d. Juz 1. Cet. ke-1.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
al-T{abari>, Ibn Jari>r. Ja>miʻ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Tah}qi>q: Dr. ‘Abd
Alla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>. Juz 6. Cet. ke-1. Kairo: Da>r Hajr,
2001.
al-Zamakhshari>. al-Kashsha>f. Tah}qi>q: ‘Ali> Muh}ammad Muʻawwidh dan
‘A<dil Ah}mad ‘Abd al-Mawju>d. Juz 2. Riya>d}: Maktabah al-‘Abikan,
1998.
*Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu
Download