anestesi inhalasi

advertisement
Presentasi Kasus
ANESTESI INHALASI
Disusun oleh:
Steven Jonathan, 0706259910
Toto Suryo Efar, 0706259942
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum pertama
yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan kemudian menyusul,
dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena induksinya yang singkat dan
pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen
anestetik yang telah disebutkan tadi telah ditarik dari pasaran.
Sebagai contoh, eter sudah tidak digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan
berisiko mengakibatkan kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa
kerugian yang tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan
sekresi bronkus berlebih. Kloroform juga kini dihindari karena toksik terhadap jantung dan
hepar. Etil klorida, etilen, dan siklopropan pun tidak lagi digunakan sebagai anestetik, baik
karena toksik ataupun mudah terbakar.
Metoksifluran dan enfluran termasuk agen anestetik generasi baru yang sempat
digunakan bertahun-tahun tetapi jarang digunakan lagi karena toksisitas dan efikasinya.
Metoksifluran adalah anestetik inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan pemulihannya
relatif lambat. Lebih lanjut, sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh sitokrom P-450
menghasilkan florida bebas (F–), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain yang bersifat
nefrotoksik. Sementara itu, enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan meningkatkan
sekresi likuor serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran menginduksi perubahan
elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa ditemukan
pada kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik metoksifluran maupun
enfluran penggunaannya telah dibatasi.
Dengan ditariknya berbagai zat anestetik dari peredaran seperti yang dikemukakan di
atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni
nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling
banyak dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena.
Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat
dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan
untuk pasien dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain
induksi, agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat
disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi
mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut farmakodinamik
(bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara umum tentang
farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari
masing-masing agen.
BAB II
ISI
A. Farmakokinetik Anestesi Inhalasi
Meskipun mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti,
para ahli mengasumsikan bahwa efek anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik di
sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar berikut, terdapat beberapa langkah yang
diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari vaporisasi di mesin anestesi hingga
terdeposisi di jaringan otak.
Gambar 1. Perjalanan gas anestetik inhalasi dari mesin anestesia ke otak
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Inspiratori (FI)
Gas segar yang keluar dari mesin anestesia bercampur dengan gas di sirkuit
pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien tidak serta-merta
mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan pengaturan di vaporiser. Komposisi
aktual campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi oleh laju aliran gas segar, volume
dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia. Agen inhalasi yang terhirup
akan semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar dari mesin anestesia apabila laju
aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan absorpsi mesin rendah. Secara
klinis, atribut-atribut demikian ditampilkan sebagai kecepatan induksi dan pemulihan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Alveolar (FA)
Terdapat tiga faktor yang menentukan konsentrasi alveolar, yakni ambilan,
ventilasi, dan konsentrasi.
Ambilan. Jika tidak ada ambilan (uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi
alveolar (FA) akan segera mencapai konsentrasi inspiratori (FI). Karena agen inhalasi
diambil oleh sirkulasi pulmoner selama induksi, konsentrasi alveolar berkisar di bawah
konsentrasi inspiratori (FA/FI < 1). Semakin besar ambilan, semakin lambat
peningkatan konsentrasi alveolar dan semakin rendah pula rasio FA:FI.
Karena konsentrasi suatu gas sebanding dengan tekanan parsialnya, maka
tekanan parsial gas anestetik di alveolus juga lambat peningkatannya. Tekanan parsial
alveolar ini penting karena turut menentukan tekanan parsial agen anestetik tersebut di
darah dan lebih lanjut di otak. Kembali lagi, tekanan parsial gas anestetik di otak secara
langsung memengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis
pada pasien. Jadi, semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan
antara konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspiratori, dan semakin lambat
kecepatan induksi.
Terdapat tiga hal yang dapat memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas dalam
darah, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara udara alveolar dan
darah vena.
Zat yang insolubel seperti nitrous oksida diambil oleh darah lebih lambat
daripada zat yang solubel seperti halotan. Akibatnya, konsentrasi alveolar nitrous
oksida meningkat lebih cepat daripada halotan, dan induksinya lebih cepat. Solubilitas
relatif dari anestetik dalam udara, darah, dan jaringan diekspresikan dalam koefisien
partisi, seperti tampak pada tabel di atas. Masing-masing koefisien adalah rasio
konsentrasi gas anestetik di dua medium saat terjadi kesetimbangan.
Tabel 1. Koefisien parsial anestetik inhalasi pada 37°C
Anestetik
Darah/Udara
Otak/Darah
Otot/Darah
Lemak/Darah
Nitrous oksida
0.47
1.1
1.2
2.3
Halotan
2.4
2.9
3.5
60
Isofluran
1.4
2.6
4.0
45
Desfluran
0.42
1.3
2.0
27
Sevofluran
0.65
1.7
3.1
48
Faktor lain yang ikut memengaruhi ambilan adalah aliran darah alveolar, yang
kurang lebih sama dengan curah jantung. Seiring dengan meningkatnya curah jantung,
ambilan anestetik turut meningkat, dan peningkatan tekanan parsial alveolar semakin
melambat, dan induksi menjadi lebih lambat. Pengaruh mengubah curah jantung
kurang bermakna untuk anestetik insolubel, mengingat yang dapat terdifusi ke darah
alveolar memang sedikit, baik aliran darah di sana lebih deras ataupun lebih tenang.
Keadaan curah jantung yang sedikit merupakan berisiko mengakibatkan overdosis
dengan anestetik sobulel, karena peningkatan konsentrasi alveolar yang terlalu cepat.
Bahkan halotan, yang mempunyai efek depresi myokardial, apabila kadar alveolarnya
lebih dari yang diharapkan akan semakin menurunkan curah jantung dan menciptakan
umpan balik positif yang membahayakan pasien.
Satu faktor lagi yang memengaruhi ambilan anestetik oleh sirkulasi pulmoner
adalah perbedaan tekanan parsial antara gas alveolar dan darah vena. Gradien ini
bergantung pada ambilan oleh jaringan. Transfer anestetik dari darah ke jaringan
ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan ambilan sistemik, yakni solubilitas
agen di jaringan (koefisien partisi jaringan/darah seperti pada tabel halaman
sebelumnya), aliran darah jaringan, dan perbedaan tekanan parsial antara darah arterial
dengan jaringan.
Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi dan solubilitasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin)
adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang signifikan. Grup otot
(kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang pertama, sehingga
ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan oleh grup kedua ini
berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya, perfusi di grup lemak
kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik pada grup lemak yang
luar biasa sekaligus volume jaringan yang relatif besar menghasilkan kapasitas total
yang memerlukan beberapa hari untuk diisi. Grup terakhir beranggotakan jaringan
perfusi minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan
kartilago) hampir tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.
Tabel 2. Klasifikasi jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas
Karakteristik
Vessel Rich
Otot
Lemak
Vessel Poor
Persentase berat badan
10
50
20
20
Persentase curah jantung
75
19
6
0
Perfusi (mL/min/100 g)
75
3
3
0
Solubilitas relatif
1
1
20
0
Ambilan anestesi meng-hasilkan kurva konsentrasi alveolar per waktu yang khas
untuk masing-masing anestetik (diagram 1). Bentuk dari setiap grafik tersebut
ditentukan
jaringan
oleh
ambilan
sesuai
dengan
grupnya (diagram 2). Mulamula
konsentrasi
alveolar
meningkat tajam oleh karena
pengisian
alveolar
melalui
ventilasi. Peningkatan tersebut
kemudian melambat seiring
dengan
terutama
ambilan
oleh
jaringan,
grup
kaya
vaskuler dan grup otot, hingga
mencapai kapasitas totalnya.
Diagram 1. Laju peningkatan konsentrasi alveolar
anestetik inhalasi
Diagram 2. Pengaruh ambilan jaringan terhadap peningkatan tekanan parsial alveolar
Ventilasi. Penurunan tekanan parsial alveolar oleh ambilan jaringan, seperti
tampak pada diagram 2, dapat kembali ditingkatkan dengan ventilasi. Dengan kata lain,
memberikan anestetik secara konstan dapat menstabilisasi konsentrasi alveolar.
Meningkatkan ventilasi secara langsung akan meningkatkan rasio FA:FI untuk anestetik
solubel. Berlawanan dengan agen inhalasi yang mendepresi curah jantung, anestetik
yang mendepresi ventilasi (misalnya halotan) akan menurunkan laju peningkatan
konsentrasi alveolar dan justru menghasilkan umpan balik negatif.
Konsentrasi. Efek ambilan juga dapat dikurangi dengan peningkatan konsentrasi
inspirasi (FI). Menariknya, meningkatkan konsentrasi inspirasi tidak hanya
meningkatkan konsentrasi alveolar, tetapi juga laju peningkatan tersebut (dengan kata
lain meningkatkan FA:FI). Secara khusus, konsentrasi membawa dua fenomena yang
disebut efek konsentrasi (concentration effect). Mungkin agak membingungkan,
fenomena yang pertama adalah efek pengonsentrasian (concentrating effect). Misalkan
50% dari gas anestetik diambil oleh sirkulasi pulmoner, maka konsentrasi inspiratori
sebesar 20% (20 bagian anestetik per 100 bagian gas) akan menghasilkan konsentrasi
alveolar sebesar 11% (10 bagian anestetik tersisa dari total 90 bagian gas). Di sisi lain,
jika konsentrasi inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian anestetik per 100
bagian gas), konsentrasi alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik tersisa dari volume
60 bagian gas). Melihat dua sampel tersebut, konsentrasi inspiratori yang lebih tinggi
akan menghasilkan konsentrasi alveolar yang lebih tinggi secara disproporsional. Di
contoh tadi, peningkatan 4 kali konsentrasi inspiratori akan menghasilkan 6 kali
konsentrasi alveolar.
Fenomena yang kedua adalah efek aliran teraugmentasi (augmented inflow
effect). Meneruskan contoh di atas, untuk mencegah kolapsnya alveoli, 10 bagian
anestetik yang diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus digantikan oleh gas campuran
dengan konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian, konsentrasi alveolar menjadi
12% (10+2 bagian anestetik dari total 100 bagian gas). Lebih kontras, setelah absorpsi
50% anestetik dari gas 80% yang diinspirasi, perlu penggantian sebanyak 40 bagian
menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini akan diperoleh konsentrasi alveolar
meningkat dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian anestetik dari total volume 100
bagian gas).
Kedua fenomena yang termasuk efek konsentrasi di atas lebih dirasakan pada
penggunaan nitrous oksida daripada agen inhalasi lainnya, karena anestetik tersebut
dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi. Sebagai tambahan,
konsentrasi nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi tidak hanya dipengaruhi
oleh ambilan agen itu sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi anestetik inhalasi
lainnya. Fenomena yang satu ini disebut efek gas kedua (second gas effect) yang secara
klinis tidak terlalu bermakna.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi arterial secara
bermakna, yakni ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial
anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi kenyataannya
tekanan parsial arterial secara konstan kurang dari yang diperkirakan. Alasan di balik
kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena, ruang rugi alveolar, dan distribusi
gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya ketidakseimbangan ventilasiperfusi akan semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi alveolar dengan arterial.
Ketidakseimbangan ini dapat diasumsikan sebagai restriksi: meningkatkan tekanan di
depan restriksi, menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan mengurangi aliran di
restriksi itu sendiri.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Eleminasi
Pemulihan pascaanestesia bergantung pada penurunan konsentrasi anestetik di
jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi dengan biotransformasi, kehilangan
transkutaneus, atau ekshalasi. Biotransformasi biasanya tidak terlalu berkontribusi
terhadap penurunan tekanan parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini adalah pada
eleminasi
anestetik
solubel
yang mengalami
metabolisme
ekstensif
seperti
metoksifluran. Biotransformasi halotan yang lebih tinggi daripada isofluran
mengakibatkan eleminasi halotan lebih cepat daripada isofluran. Beberapa isoenzim
sitokrom P-450 terutama CYP 2EI tampak memegang peran penting dalam eleminasi
beberapa agen anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi transkutaneus juga terhitung
tidak terlalu signifikan.
Rute terpenting dalam eleminasi anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui
alveolus. Banyak faktor yang mempercepat induksi rupanya juga mempercepat
eleminasi: rebreathing, tingginya aliran gas segar, rendahnya volume sirkuit,
rendahnya absorpsi oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya solubilitas, tingginya
aliran darah serebral, dan besarnya ventilasi. Eleminasi nitrous oksida sangat cepat
sedemikian sehingga oksigen dan CO2 alveolar menjadi terdilusi; akibatnya terjadi
hipoksia difusi. Risiko demikian dicegah dengan administrasi oksigen 100% selama 5–
10 menit setelah menghentikan nitrous oksida. Laju pemulihan biasanya lebih cepat
daripada induksi karena jaringan yang belum mencapai kesetimbangan akan terus
mengambil anestetik dari darah hingga tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah
daripada tekanan parsial jaringan. Lebih konkret, jaringan lemak akan terus mengambil
anestetik dan mempercepat pemulihan hingga tekanan parsial di sana sama atau lebih
tinggi daripada di alveoli. Redistribusi demikian tidak terjadi setelah anestesia yang
sudah berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan juga dipengaruhi oleh durasi
anestesia.
B. Farmakodinamik Anestesi Inhalasi
Teori-teori mengenai Mekanisme Kerja Anestetik Inhalasi
Anestesia umum adalah keadaan fisiologis yang sengaja disimpangkan, ditandai
dengan kehilangan kesadaran secara reversibel, analgesia seluruh tubuh, amnesia, dan
sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat menghasilkan keadaan anestesia umum sangat
beragam mulai dari elemen inert (xenon), substansi organik sederhana (nitrous oksida),
hidrokarbon terhalogenasi (halotan), dan struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori
yang dapat menyatukan mekanisme kerja anestetik harus dapat mengakomodasi
diversitas struktur yang telah tergambarkan tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen
mungkin menghasilkan anestesia melalui metodenya masing-masing.
Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi makroskopik bersama antara semua
agen inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh berbagai macam anestetik termasuk
reticular activating system (RAS), korteks serebral, nukleus kaudatus, korteks
olfaktorius, dan hipokampus. Anestetik juga menekan transmisi eksitatori pada medula
spinalis, terutama di interneuron kornu dorsalis yang berperan dalam menyampaikan
impuls nyeri. Aspek anestesia yang berbeda mungkin dilatarbelakangi oleh mekanisme
yang berbeda pula. Misalnya, ketidaksadaran dan amnesia mungkin dimediasi oleh aksi
anestetik di korteks, sementara supresi nyeri mungkin berkaitan dengan struktur
subkortikal seperti medula spinalis atau batang otak. Suatu studi mencit bahkan
menunjukkan bahwa pengangkatan korteks serebral tidak mengubah potensi anestetik!
Pada level mikroskopik, transmisi sinaptik lebih sensitif terhadap anestesia
umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis ini beranggapan bahwa semua agen
inhalasi mempunyai suatu mekanisme yang sama di tingkat molekuler. Hal ini
didukung oleh observasi di mana potensi agen-agen inhalasi berkorelasi secara
langsung dengan solubilitasnya dalam lemak (aturan Meyer–Overton). Implikasinya,
anestesia dihasilkan oleh kinerja molekul anestetik di suatu situs lipofilik tertentu.
Relasi antara potensi anestetik dan solubilitasnya dalam lemak secara kasar dapat
dilihat pada diagram 3.
Diagram 3. Relasi potensi anestetik inhalasi dengan solubilitasnya dalam lemak
Membran neuron mengandung situs hidrofobik beragam di bilayer fosfolipidnya.
Ikatan anestetik di situs tersebut dapat memperluas bilayer melebihi jumlah kritisnya
dan mengganggu fungsi membran; hal ini tertuang sebagai hipotesis volume kritis.
Meskipun tampaknya terlalu disimplifikasikan, teori ini dapat menjelaskan fenomena
reversal anestesia akibat peningkatan tekanan: laboratorium mencit yang terekspos
tekanan hidrostatik yang meningkat ternyata resisten terhadap anestetik. Kemungkinan
tekanan tersebut menggantikan sejumlah molekul di membran neuron, sehingga
meningkatkan jumlah anestetik yang diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia
umum dapat muncul akibat alterasi satu atau beberapa sistem seluler seperti kanal ion,
fungsi perantau kedua, atau reseptor neurotransmiter terutama GABA.
Konsentrasi Alveolar Minimum
Konsentrasi alveolar minimum atau minimum
alveolar concentration (MAC) anestetik inhalasi
Agen
MAC%
Nitrous oksida
105
gerakan pada 50% pasien terhadap stimulus standar
Halotan
0.75
seperti insisi bedah. MAC merupakan ukuran yang
Isofluran
1.2
berguna karena merefleksikan tekanan parsial
Desfluran
6.0
Sevofluran
2.0
adalah konsentrasi alveolar yang dapat menghambat
anestetik di otak, sehingga dapat membandingkan
secara langsung potensi setiap anestetik sekaligus
memberikan standar baku untuk penelitian. Meskipun demikian, nilai MAC tetap saja
hanya merupakan angka statistikal belaka pada saat menangani pasien; masing-masing
pasien merupakan individu yang unik dan oleh karena itu memerlukan pendekatan
yang bersifat individual pula, misalnya pada saat menentukan dosis induksi.
C. Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari
udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan
zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk
cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi
lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya dalam
menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan
kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung,
serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan
karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu
(kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat).
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan
penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N2O dapat
menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan
dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi
lebih lama dalam keadaan tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada
sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi
oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi
lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi
tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan
resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan
jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam
jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap
gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat
aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat
muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan Toksisitas
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat
sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain
karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga
induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk
mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat
dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah
dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek relaksasi otot yang
dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan
dalam bentuk utuh melalui paru-[aru dan sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B12, N2O
menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B12, seperti metionin sintetase yang
penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk
sintesis DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum
tulang (anemia megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh
karena efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang hamil
(terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen
inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau
enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.
Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat
tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk
cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol
berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia
dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan.
Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya
hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah
jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos
pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah
terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor
terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan
(sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons
simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah
jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas
vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian
agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi
yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran
darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju
napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi
alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan
disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di
mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi
mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah
dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek
bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi
vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun
aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O2 yang
berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan
meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu
hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi
glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah
arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik,
bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan
klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam
tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol,
dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit
utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian
disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan
status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh:
hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia
hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan
nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan
pada kulit disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah
mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek
depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik
(seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil).
Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase
(MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan
dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia
yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran.
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan
pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang
dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat
induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah,
volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung
dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran
darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan menurunkan tekanan darah
arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner
sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding
halotan atau enfluran), namun ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat
coronary steal (pemindahan aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang
perfusinya baik).
Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni
depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga
berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang
menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding
enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama
dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran
dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap
neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot
depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap
ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin.
Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan
vena porta), fungsi hati tidak terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida
serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah
dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran.
Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot
polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam
sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah pascaoperasi.
Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin
pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih
rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan
induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah
obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih
digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat
iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten dibanding agen
anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja tidak
seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek
terhadap respirasi adalah penurunan volume tidak dan peningkatan laju napas. Secara
keseluruhan terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2.
Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi
peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan
nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia
malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat
pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.
Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam
1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.
Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami
penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada
laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat
mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah
peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah
serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap
neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya
intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan
aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran
menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga
menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Biotransformasi dan Toksisitas
Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi
sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak
menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli
tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal.
Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada
peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di
mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak
dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam
proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik
khusus.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna,
dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi
lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.
Download