10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Batasan Usaha Kecil Sektor perekonomian rakyat dalam bentuk usaha kecil biasa disebut dengan istilah sektor informal, karena usaha kecil ini tidak terdaftar sebagai badan hukum. Sethuraman (1981) dalam Suharto (1991) mendefinisikan sektor informal sebagai sektor yang terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang memproduksi dengan cara mendistribusikan barang dan jasa, dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya masing-masing dan dalam usahanya itu sangat dibatasi oleh faktor modal dan keterampilan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1987, profil usaha kecil Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Hampir setengahnya dari perusahaan kecil hanya mempergunakan kapasitas terpasang 60 persen atau kurang, penyebabnya antara lain: kesalahan dalam perencanaan dan ketidakmampuan memperbesar pasar. b. Lebih dari setengah perusahaan kecil didirikan sebagai pengembangan dari usaha kecil-kecilan. c. Masalah utama yang dihadapi berbeda menurut tahap pengembangan usaha. Pada masalah persiapan (sebelum investasi) terdapat dua masalah yang menonjol yaitu pemodalan dan kemudahan usaha (lokasi dan perijinan). Tahap selanjutnya (pengenalan usaha) sektor usaha kecil menghadapi masalah permodalan dan 11 hubungan usaha, sektor ini kembali menghadapi persoalan permodalan dan pengadaan bahan baku. d. Umumnya sukar untuk meningkatkan pangsa pasar bahkan cenderung mengalami penurunan usaha yang terjadi karena kekurangan modal, tidak mampu memasarkan dan kurang keterampilan teknis dan administrasi. e. Tingkat ketergantungan terhadap bantuan dari pemerintah berupa permodalan, pemasaran dan pengadaan barang atau bahan relatif tinggi. f. Hampir 60 persen dari usaha kecil masih mempergunakan teknologi yang tradisional. g. Hampir 70 persen dari usaha kecil masih melakukan pemasaran langsung kepada konsumen. h. Sebagian besar pengusaha dalam usaha memperoleh bantuan perbankan merasa terlalu rumit, dan dokumenyang harus dipersiapkan sukar dipenuhi. Sutojo (1994) menjelaskan bahwa ciri-ciri yang merupakan kelemahan dari sektor usaha tidak lepas dari profil manajemen profil ini. Pengusaha kecil umumnya merangkap sebagai pengelola. Status rangkap ini hanya menguntungkan pada saat pengusaha mampu mengendalikan kegiatan usahanya. Ketika skala usahanya meningkat, kemampuan untuk mengendalikan makin lemah, di samping itu perangkap ini kurang menguntungkan karena menyebabkan seringkali terjadi konflik kepentingan pribadi dan perusahaan serta kenderungan manajemen yang tertutup. Ciri yang kedua adalah perusahaan berkembang dari usaha kecil-kecilan yang cenderung menyebabkan rasa percaya diri yang berlebihan. Ciri ketiga adalah tidak ada perencanaan dan sistem administrasi pembukuan yang tertib. Umumnya pengusaha kecil mendelegasikan wewenang secara lisan. Ciri lain yang relatif menonjol adalah ketidakmampuan untuk meningkatkan mutu bahkan seringkali 12 saat menghadapi tambahan permintaan, mutu barang yang ditawarkan cenderung menurun. Akibatnya sukar untuk meningkatkan marjin keuntungannya. Ketidakmampuan memperluas usaha menyebabkan pengusaha kecil sangat tergantung pelanggan dan pemasok di sekitar usahanya. Hubungan dengan sumber permodalan (perbankan) juga lemah dan sangat tergantung pada modal sendiri, sedangkan batas mengenai perusahan kecil di Indonesia berbeda-beda tergantung pada masing-masing instansi berdasarkan fokus permasalahan yang dituju. Departemen perindustrian memberi batasan mengenai industri kecil yaitu yang investasi modal mesin-mesin dan peralatan sebesar 70 juta rupiah ke bawah, sedangkan investasi per tenaga kerja sebesar 625 ribu rupiah ke bawah. Departemen perdagangan menganggap bahwa suatu perusahaan dapat disebut kecil apabila modal kekayaan bersihnya adalah di bawah 25 juta rupiah, tidak berbadan hukum, dikelola sendiri atau bersama keluarganya dan keuntungannya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Departemen pertanian menetapkan sebagai kriteria usaha golongan ekonomi lemah, yaitu usaha perorangan dalam bidang pertanian, pertenakan, perikanan dan perdagangan. Mengenai bidang perikanan ditetapkan, yaitu yang modalnya sebesar 20 juta rupiah dan modal kerjanya 5 juta rupiah, dan mesin kapal kira-kira 22 PK dan tenaga kerja 60 orang. Departemen keuangan menetapkan bahwa yang dimaksud dengan pengusaha kecil adalah yang mempunyai modal usaha sebesar 10 juta rupiah, sedangkan untuk keperluan perpajakan ditetapkan bahwa pengusaha kecil adalah yang mempunyai omset perusahaan kurang dari 60 juta rupiah setahun. 2.2. Pengertian, Peranan dan Prinsip Koperasi Menurut Hendrojogi (2000), koperasi adalah perkumpulan otonom dari orangorang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, 13 sosial dan budaya mereka yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis, sedangkan pengertian koperasi berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Peran koperasi berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 antara lain adalah : a. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. b. Berperan serta aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dan koperasi sebagai soko gurunya. d. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokratis ekonomi. Prinsip koperasi menurut Hendrojogi (2000) adalah : a. Keanggotaan yang sukarela dan terbuka. b. Pengawasan demokratis oleh anggota. c. Parrtisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. d. Otonomi dan kemandirian. e. Pendidikan, pelatihan dan penerangan. 14 f. Kerjasama antar koperasi. g. Kepedulian terhadap masyarakat. 2.2.1. Jenis dan Permodalan Koperasi Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1959 terdapat tujuh jenis koperasi, yaitu Koperasi Desa, Koperasi Pertanian, Koperasi Perternakan, Koperasi Perikanan, Koperasi Kerajinan/Industri, Koperasi Simpan Pinjam, dan Koperasi Konsumsi. Menurut Tohir (1964) dalam Hendrojogi (2000) menyebutkan adanya pengklasifikasian koperasi menurut klasik, yaitu : a. Koperasi pemakaian (koperasi warung, koperasi sehari-hari, koperasi distribusi, warung andil dan sebagainya), tujuan berdirinya koperasi ini adalah barang-barang yang dibutuhkan anggota-anggotanya dan membagi barang-barang tersebut kepada mereka. b. Koperasi penghasil atau koperasi produksi yang bertujuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan bersama-sama. c. Koperasi simpan pinjam yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada anggotaanggotanya untuk menyimpan dan meminjam uang. Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi memiliki permodalan yang berasal dari modal sendiri dan modal pinjaman. Adapun perngertian modal sendiri dan modal pinjaman adalah sebagai berikut : a. Modal sendiri adalah modal yang menanggung resiko atau disebut juga modal ekuiti. Modal ini dapat berasal dari : 15 1) Simpanan Pokok, yaitu sejumlah uang yang sama jumlah nominalnya yang wajib dibayarkan oleh setiap anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih terdaftar menjadi anggota. 2) Simpanan Wajib, yaitu jumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama jumlah nominalnya yang wajib dibayar oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan kesempatan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota. 3) Dana cadangan , yaitu sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi apabila diperlukan. 4) Hibah atau Modal Donasi, yaitu bantuan materei yang diberikan kepada koperasi yang dimaksud untuk membantu pengembangan usaha koperasi dan bukan sekalikali untuk menambah keuntungan atau memberi keuntungan cuma-cuma, sekalipun tidak dijanjikan untuk dikembalikan kepada pemberi. Tujuan pemberian bantuan tersebut untuk tidak dihabiskan atau utuh, maka penggolongan donasi sebagai bagian dari modal pemilik atau tempat. b. Modal Pinjaman dapat diperoleh dari anggota, koperasi lainnya dan atau anggotanya, bank dan lembaga keuangan lainnya, penerbitan obligasi dan surat berharga lainnya, dan sumber lain yang sah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa permodalan koperasi juga dapat berasal dari investasi dari pihak-pihak modal penyertaan. di luar Modal penyertaan berbentuk negeri, seperti pemerintah, swasta ataupun 16 masyarakat. Modal penyertaan ikut meanggung resiko. Pemilik modal ini tidak mempunyai hak suara dan rapat anggota dan dalam menentukan kebijaksanaan koperasi secara keseluruhan, namun pemilik modal penyertaan dapat diikutsertakan dalam mengelola dan pengawasan usaha investarsi yang didukung oleh modalnya tersebut sesuai dengan perjanjian. 2.2.2. Usaha Simpan Pinjam Koperasi Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Usaha Simpan Pinjam merupakan suatu kegiatan menghimpun dana untuk permodalan koperasi yang merupakan bagian dari kegiatan usaha koperasi yang bersangkutan. Dana ini kemudian disalurkan melalui kegiatan simpan pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya. Simpanan anggota dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk tabungan, dan simpanan koperasi berjangka, sedangkan pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran sejumlah imbalan. 2.3. Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum (Lembaran Negara 17 Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4382) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut : 1. Semakin meningkatnya kompleksitas usaha dan profil resiko, bank perlu mengidentifikasi permasalahan yang mungkin timbul dari operasional bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi bank Indonesia antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia. 2. Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. 2.4. Penelitian Terdahulu Tingkat kesehatan bank serta tingkat keberhasilan bank dalam menjalankan program dan usahanya sangat dipengaruhi oleh kemampuan bank tersebut dalam melakukan pembinaan kredit kepada nasabahnya. Demikian hasil kesimpulan Welia (1994) tentang pembinaan kredit kepada nasabah oleh BPR, serta pengaruhnya terhadap pengembangan usaha kecil dengan studi kasus di salah satu BPR di Sleman, Yogyakarta. Salvador (1994) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan Analisis Keragaan Finansial PT BPR” dengan studi kasus salah satu BPR di Bogor dan di Bekasi memaparkan bahwa tingkat likuiditas suatu bank (BPR) tidak tergantung dari besarnya 18 harta dan modal yang dimiliki oleh bank bersangkutan melainkan tergantung dari kemampuan bank tersebut dalam menciptakan laba atau menutupi kerugian operasionalnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya, yang menunjukan bahwa BPR yang aset dan modalnya lebih kecil justru lebih likuid dari BPR yang memiliki aset dan modal yang lebih besar. Penelitian Salvador menunjukan bahwa analisis solvabilitas dan rentabilitas ternyata BPR memiliki asset dan modal yang lebih besar memiliki tingkat solvabilitas dan rentabilitas yang lebih tinggi. Hasil analisis yang demikian ditentukan oleh tingkat kemacetan kredit pada BPR yang bersangkutan. BPR yang memiliki aset dan modal lebih kecil, resiko terjadinya kredit macet lebih besar. Kewajiban lancar BPR yang memiliki aset dan modal yang lebih kecil relatif terlalu besar dibandingkan dengan harta lancarnya, sehingga resiko ketidakmampuan BPR membayar kewajiban lancar lainnya lebih besar dan tingkat pengaruh kerugian terhadap penurunan harta juga lebih besar. Admiral (1998) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan dan Efektifitas Pengelolaan Kredit pada BPR Gebu Minang” memaparkan bahwa besarnya dana yang berasil dihimpun dan disalurkan dalam kredit kepada masyarakat, tidak selalu berarti memperoleh laba yang lebih besar pula. Kondisi finansial dua BPR yang diteliti, jika dilihat dari kinerja keuangannya, dipengaruhi oleh tingkat mobilisasi dana, kemampuan permodalan, sistem penyaluran kredit, kemampuan menganalisa kelayakan kredit dan karakteristik nasabah, biaya operasional, pemeliharaan aset produktif dan sebagainya. Efektifitas pengelolaan kredit berdasarkan tanggapan nasabah pada BPR Rangkiang Nagari adalah relatif lebih efektif daripada BPR Carno Nagari. Keefektifan ini diartikan sebagai kemudahan atau kelancaran bank dalam mengelola dan menyalurkan 19 kredit kepada nasabahnya menurut penilaian atau tanggapan nasabah itu sendiri. Bila melihat kepada penilaian bank, maka BPR Carno Nagari relatif lebih efektif dari BPR Rangkiang Nagari. Keefektifan ini didasarkan pada besarnya pinjaman nasabah, rendahnya jumlah tunggakan, luasnya golongan sasaran dan jangkauan pelayanan. Menurut Susilowati (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Pelaksanaan Kemitraan Koperasi dengan Perbankan” bahwa esensi dari kemitraan dapat tercapai bila kedua belah pihak saling mengisi dan menjaga kesinergian usaha. Kemitraan yang dilakukan oleh Bank Bukopin dengan Primkopti Handayani Salatiga menunjukan hasil yang positif dengan adanya kerjasama Swamitra. Keberhasilan kemitraan ini terlihat dari kondisi keragaan koperasi yang membaik seperti Sisa Hasil Usaha (SHU) maupun penghimpunan modal anggota. Namun perlu dicermati bahwa dalam Swamitra ini peran dan kontribusi koperasi dalam kemitraan harus ditingkatkan, khususnya dalam hal permodalan untuk memaksimalkan profit sharing yang akan diterima. Kusafarida (2003) dalam penelitiannya tentang perbandingan analisis kinerja keuangan dan efektifitas penyaluran kredit pada dua BPR di wilayah yang berbeda memberikan kesimpulan bahwa hasil kinerja BPR Bali Dayaupaya Mandiri memiliki kinerja yang relatif labil, hal ini dikarenakan kondisi perekonomian dalam negeri di tahun 1997-1998 yang mengalami krisis membuat BPR dengan sistem konvensional ini membatasi penyaluran kredit karena tingkat pengembalian yang kurang kondusif, sehingga menyebabkan tingkat likuiditas dan solvabilitas yang tinggi namun memiliki tingkat rentabilitas yang rendah. Namun di tahun berikutnya yaitu tahun 2000-2001, BPR konvensional ini mampu menstabilkan tingkat likuiditas dan solvabilitasnya yang diikuti oleh peningkatan rentabilitasnya. Tingkat likuiditas tahun 2002 pada BPR Bali 20 Dayaupaya Mandiri relatif rendah, namun tidak disertai dengan peningkatan rentabilitas. Hal ini dikarenakan tingkat kolektibilitas non lancarnya (NPL) meningkat. BPRS Amanah, jika dilihat berdasarkan analisis likuiditas, rentabilitas maupun solvabilitas menunjukan kinerja yang relatif stabil. BPR sistem syariah ini dengan begitu memiliki kemampuan yang lebih besar dalam mempertahankan kinerja keuangannya atau dengan kata lain BPR ini dapat mempertahankan tingkat kesehatannya.