IX. PEMBAHASAN UMUM Begomovirus adalah virus tanaman yang merupakan salah satu agen etiologi dari penyakit keriting daun yang saat ini muncul dan menjadi ancaman serius pada tanaman hortikultur, termasuk tomat di beberapa daerah sentra produksi di Indonesia. Munculnya penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus tersebut telah diidentifikasi dan dilaporkan oleh beberapa peneliti pada tanaman tomat dan cabai pada beberapa tahun terakhir (Hidayat et al. 1999; Sudiono et al. 2001; Aidawati et al. 2005; Hidayat et al. 2006; Sukamto et al. 2006). Aktivitas manusia dan teknik pertanian modern diduga sebagai faktor kunci penyebab munculnya Begomovirus di beberapa area produksi tomat di dunia, termasuk Indonesia. Perubahan sistem bercocok tanam dengan penggunaan varietas-varietas baru, budidaya tanaman secara luas dengan genotipe rentan, penggunaan pestisida yang berlebihan, introduksi dan penyebaran virus-virus eksotik dan serangga vektornya ke lingkungan yang baru merupakan implikasi munculnya berbagai strain Begomovirus pada tanaman-tanaman yang berbeda (Morales & Anderson 2001; Varma & Malathi 2003). Selain itu, adanya karakteristik dan sifat intrinsik dari Begomovirus itu sendiri seperti kemampuan berevolusi melalui rekombinasi dan pseudo-rekombinasi dapat memunculkan spesies atau varian-varian baru sehingga memicu epidemi penyakit pada suatu daerah (Harrison & Robinson 1999). Pada studi ini, spesies virus tanaman dari genus Begomovirus yang menginfeksi tomat telah berhasil dideteksi, dianalisis dan disekuen untuk menentukan adanya keragaman genetiknya. Di samping itu, pemanfaatan strategi non-PDR dan PDR telah berhasil diaplikasikan masing-masing untuk mengembangkan tanaman tomat dan tembakau (N. tabaccum) sebagai tanaman model yang tahan terhadap Begomovirus. Terdapat variasi gejala-gejala spesifik pada tanaman tomat yang dapat diamati dilapang, seperti misalnya daun menggulung/keriting, ukuran daun menjadi kecil-kecil, daun seperti mangkuk (cupping), mosaik kekuningan, tanaman kerdil. Meskipun gejala-gejala tersebut umumnya berasosiasi dengan infeksi Begomovirus, namun demikian masih mengalami kesulitan untuk 133 menentukan hubungan yang tepat antara suatu tipe gejala dengan spesies virus tertentu dalam kaitannya dengan deteksi dan identifikasi Begomovirus. Tipe gejala yang muncul biasanya sangat bergantung pada genotipe inang, kondisi lingkungan, atau adanya tidaknya infeksi campuran dari beberapa virus (mixed infections). Dengan diperolehnya klon infeksius dari Begomovirus (Abhary et al. 2006), akan memungkinkan untuk mempelajari dan menentukan dengan lebih detail hubungan antara spesies virus dan tipe gejala yang dimunculkan. Akan tetapi, penggunaan klon infeksius ini untuk menentukan hubungan gejala masih kurang praktis, karena infeksi campuran dari beberapa virus banyak ditemukan di lapang. Dengan kenyataan ini, pendekatan yang digunakan untuk karakterisasi dan deteksi Begomovirus yang menginfeksi tomat dalam studi ini mendasarkan pada data molekuler (PCR). Hasil deteksi Begomovirus yang menginfeksi tomat dengan teknik PCR pada studi ini mendukung hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil ini juga membuktikan bahwa Begomovirus telah muncul pada pertanaman tomat di daerah-daerah lain yang sebelumnya belum pernah dideteksi. Dari 75 total sampel tanaman yang dikoleksi dari 7 daerah sentra produksi tomat (4 propinsi), diperoleh sebanyak 39 sampel yang positif menunjukkan adanya Begomovirus. Pemilihan sampel untuk analisis keragaman genetik Begomovirus dilakukan berdasarkan pada lokasi dimana sampel dikoleksi dan menunjukkan hasil positif ketika dideteksi dengan PCR. Analisis sekuen pendahuluan untuk mempelajari keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknik PCR-RFLP menggunakan 4 macam enzim restriksi. Dengan teknik ini, keragaman genetik yang dipelajari hanya mendasarkan pada sekitar 24 nukleotida (dilihat dari panjang situs restriksi yang dikenali oleh enzim) dari total ±1500 nukleotida (fragmen hasil amplifikasi PCR). Fragmen 1500 merupakan fragmen genom Begomovirus yang terdiri dari sekuen parsial ujung N gen AC1 (Rep), daerah intergenik utuh (termasuk origin of replication) dan sekuen parsial ujung N dari gen AV1(coat protein). Analisis delapan isolat Begomovirus yang berasal dari daerah yang berbeda membagi isolat-isolat tersebut menjadi tiga kelompok dan mengindikasikan adanya keragaman genetik di antara isolat-isolat tersebut. Analisis sekuen yang lebih detail untuk melihat keragaman genetik isolat- 134 isolat Begomovirus dilakukan dengan menggunakan sekuen asam amino dari gen AV1 (coat protein). Gen AV1 dari Begomovirus menyandikan protein selubung (coat protein) dan merupakan gen yang paling konservatif (conserved gene). Menurut Komisi Taksonomi Virus Internasional (International Committee on Taxonomy of Viruses), sekuen gen AV1 telah dapat digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi Begomovirus yang belum diketahui (Khan & Ahmad 2005). Pada penelitian ini, analisis sekuen nukleotida dan asam amino gen AV1 dari delapan isolat Begomovirus mengindikasikan adanya keragaman genetik diantara isolatisolat Begomovirus. Berbeda dengan hasil analisis berdasarkan PCR-RFLP, analisis filogenetik berdasarkan sekuen asam amino membagi isolat-isolat tersebut menjadi dua kelompok yang berbeda namun semua isolat mempunyai kemiripan genetik dengan Begomovirus yang lain, yaitu Ageratum yellow vein virus (AYVV) atau Ageratum yellow vein virus-Taiwan (AYVV-Tw). Identitas sekuen gen AV1 dengan AYYV mempunyai tingkat kemiripan sekuen berkisar antara 92-95% (sekuen nukleotida) dan 90-97% (sekuen asam amino). Menurut Rybicki (1998), nilai identitas sekuen nukleotida 90% dapat digunakan untuk mengidentifikasi sebuah virus sebagai spesies (<90%) atau strain yang baru (>90%). Berdasarkan identitas ini, maka isolat-isolat Begomovirus pada penelitian ini dikategorikan sebagai strain AYVV Indonesia. Hal ini juga menggambarkan bahwa isolat-isolat Begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat pada studi ini kemungkinan merupakan satu progenitor yang sama dengan AYVV. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Begomovirus telah mendapat perhatian cukup luas karena beberapa alasan. Selain karena perkembangan Begomovirus baru yang sangat cepat melalui rekombinasi dan pseudorekombinasi di antara strain dan/atau spesies, juga karena kemampuannya untuk menyebabkan kehilangan hasil yang nyata pada beberapa komoditas hortikultur, termasuk tomat dan cabai. Beberapa pendekatan telah digunakan dalam usaha untuk mengendalikan Begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat, namun hanya beberapa saja dari usaha tersebut yang terbukti efektif (Freitas-Astua et al. 2002). Usaha untuk mengendalikan kutu kebul secara biologi juga telah dilakukan di dalam produksi tomat namun hasilnya tidak memuaskan (Mason et al. 2000) Penggunaan varietas tomat yang tahan Begomovirus merupakan salah satu pilihan 135 strategi yang paling murah dan aman terhadap lingkungan. Mengingat adanya rekombinasi yang berkontribusi terhadap keragaman Begomovirus sehingga memunculkan varian-varian dan spesies baru, maka pengembangan tanaman tomat tahan Begomovirus harus diarahkan pada ketahanan yang berspektrum luas dan durabel (broad and durable resistance). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pengembangan tanaman tomat tahan Begomovirus dapat dicapai dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan pathogen derived resistance (PDR) dan non-PDR. Pendekatan PDR dilakukan dengan teknik rekayasa genetik menggunakan sekuen utuh dari gen AV1 (gen CP) untuk mendapatkan tanaman tembakau (N. tabaccum) sebagai tanaman model untuk mempelajari keefektifan gen tersebut dalam ketahanan terhadap Begomovirus. Pendekatan ini telah menghasilkan tanaman transgenik tembakau dengan tingkat ketahanan bervariasi antara yang tahan, toleran dan rentan. Penelitian yang menggunakan gen CP utuh (full-length) dari Begomovirus (TYLCV) juga telah dilakukan oleh Kunik et al. (1994) dan Sinisterra et al. (1999) untuk memperoleh ketahanan terhadap TYLCV pada tanaman tomat dan tembakau dan telah menghasilkan tanaman-tanaman yang mengekspresikan ketahanan bervariasi antara tahan dan sangat rentan. Ketahanan yang dihasilkan pada penelitian pertama ternyata berasoasiasi dengan ekspresi gen CP pada level yang tinggi (coat protein-mediated resistance, CPMR), sedangkan penelitian pada tembakau, ketahanan yang diperoleh berasosiasi dengan transkrip RNA. Pemanfaatan gen CP melalui strategi PDR untuk memperoleh ketahanan terhadap Begomovirus dilaporkan hanya efektif untuk Begomovirus yang monopartit dibandingkan dengan bipartit. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan adanya kenyataan bahwa protein selubung (CP) diperlukan untuk infeksi sistemik pada Begomovirus monopartit (Briddon et al. 1989; Rojas et al. 2001) sehingga tanaman tomat yang mengekspresikan CP dari TYLCV (monopartit) menunjukkan adanya penundaan perkembangan gejala dan penundaan ini sangat bergantung pada tingkat ekspresi dari gen CP (Kunik et al. 1994). Sebaliknya, CP dari Begomovirus bipartit tidak diperlukan untuk penyebaran sistemik dari virus, karena nuclear shuttle protein (NSP) dapat menggantikan fungsi dari CP untuk penyebaran (Ingham et al. 1995; Pooma et al. 1996). Oleh karena itu, strategi menggunakan CP untuk memperoleh ketahanan terhadap Begomovirus bipartit 136 tidak akan menghasilkan ketahanan dengan level yang tinggi. Di Indonesia, strainstrain Begomovirus yang telah dipelajari (berdasarkan sekuen nukleotidanya) merupakan Begomovirus yang monopartit (data tidak ditampilkan). Oleh karena itu, pemanfaatan strategi PDR dengan menggunakan gen CP masih relevan untuk menghasilkan tanaman yang tahan Begomovirus (TYLCV). Pada studi PDR ini, ketahanan yang diperoleh diduga juga karena adanya akumulasi dari produk protein gen AV1. Berbeda dengan penelitian Kunik et al. (1994) yang menganalisis ekspresi gen CP dengan menggunakan pendekatan Western blot, penentuan adanya akumulasi protein dari gen AV1 pada studi ini mendasarkan pada jumlah kopi gen dari analisis molekuler menggunakan Southern blot. Integrasi gen AV1 dengan satu kopi gen menunjukkan adanya tingkat ketahanan yang tinggi terhadap Begomovirus dan sebaliknya jumlah kopi lebih dari satu gen memberikan respon tingkat ketahanan yang rendah. Hal ini diduga karena integrasi gen multikopi menyebabkan tidak berfungsinya gen AV1 karena terjadinya pembungkaman gen (gene silencing) sehingga tidak terbentuk protein. Selain itu, mekanisme ketahanan yang diperoleh melalui pendekatan PDR ini kemungkinan bukan merupakan mekanisme ketahanan yang dimediasi oleh RNA (RNA-mediated resistance). Hal ini didukung oleh beberapa alasan, di antaranya adalah bahwa Begomovirus adalah virus dengan genom DNA, mekanisme ketahanan melalui lintasan pembungkaman RNA alami (natural RNA silencing pathways) berbeda dengan virus dengan genom RNA. Genom RNA virus dapat secara langsung dihancurkan oleh siRNA (small interfering RNA) sesuai dengan mekanisme dari lintasan pembungkaman sitoplasmik (cytoplasmic silencing pathway), sedangkan komponen genom DNA Begomovirus bukan merupakan target dari pembungkaman RNA sitoplasmik. Jadi hanya produk transkripnya yang dapat menjadi target pada mekanisme ini. Namun demikian, untuk mempelajari lebih detail mekanisme ketahanan yang terjadi pada tanaman tembakau transgenik yang membawa gen AV1 Begomovirus maka perlu dilakukan analisis Northern dan Western Blot untuk mengetahui ada tidaknya transkrip dan produk proteinnya. Pendekatan non-PDR dilakukan dengan menggunakan gen-gen ketahanan yang tersedia secara alami (gen R) terutama pada spesies liar dan kemudian gen- 137 gen tersebut diintroduksikan ke varietas rentan dengan program pemuliaan konvensional. Pada penelitian ini, pendekatan non-PDR dilakukan dengan memanfaatkan gen ketahanan (gen R) dari spesies liar yang telah diintroduksikan ke dalam galur tanaman tomat budidaya (galur FLA456 dari AVRDC). Tanamantanaman tomat generasi F1 (F1-TYLCV dan F1-DC) telah dihasilkan melalui persilangan konvensional dengan galur tahan Begomovirus dari AVRDC (FLA456) dan tanaman-tanaman F1 tersebut menunjukkan adanya respon ketahanan terhadap TYLCV (Begomovirus). Tanaman-tanaman F1 tahan yang telah diperoleh akan digunakan sebagai materi untuk mengembangkan tanaman tomat yang stabil mempunyai ketahanan terhadap Begomovirus melalui serangkaian persilangan (silang balik dan silang sendiri). Namun demikian, meskipun dari penelitian tahap awal ini telah dihasilkan beberapa tanaman F1 yang tahan, dari beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tanaman tomat tahan melalui pendekatan tradisional/persilangan masih banyak menemui hambatan. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah sumber gen R biasanya terdapat pada spesies liar dan ini akan sulit untuk memindahkan ke tanaman budidaya karena faktor inkompatibilitas dan sterilitas. Selain itu, introduksi gen R dengan program pemuliaan konvensional banyak memakan waktu dan tenaga, terutama untuk gen R yang bersifat resesif, dan terkadang terjadi linkage drag. Pada studi ini, juga diperoleh informasi bahwa dari dua galur AVRDC yang digunakan, hanya satu galur (FLA456) yang memberikan respon tahan terhadap Begomovirus (TYLCV) sedangkan galur yang lain memberikan respon rentan (FLA478). Hal ini mengindikasikan bahwa galur-galur tahan yang telah ditanam dilapang atau dievaluasi masih menunjukkan respon rentan dengan strain-strain Begomovirus yang lain dan ketahanan yang diperoleh mempunyai spektrum yang sempit. Oleh karena itu, kombinasi dari pendekatan PDR dan nonPDR untuk pengembangan tanaman tomat tahan terhadap virus dengan sifat ketahanan yang berspektrum luas dan tahan lama (durabel) kemungkinan besar akan dapat dicapai. Secara umum, pemanfaatan strategi PDR dengan rekayasa genetik akan memberikan peluang menghasilkan tanaman transgenik yang tahan untuk setiap virus (cross protection) dan akan mempunyai peranan penting pada pertanian 138 modern di masa mendatang. Penggunaan pestisida akan dapat dikurangi atau dihindari dengan pemanfaatan tanaman transgenik yang tahan. Namun demikian, pemanfaatan tanaman transgenik tahan virus masih mengalami kendala untuk diaplikasikan terutama berkaitan dengan penerimaan produk transgenik oleh masyarakat dan masalah keamanan hayati. Selain itu, pengembangan tanaman transgenik tahan virus dengan strategi protein mediated resistance (PMR) masih berhadapan dengan regulasi untuk pelepasannya karena berkaitan dengan produk protein yang dihasilkan (perlu ada pengujian tersendiri) dan ini berbeda dengan tanaman transgenik dari RNA mediated resistance yang biasanya tidak menghasilkan protein. 139