BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1
Pajak Penghasilan
II.1.1 Dasar Pengenaan Pajak dan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Wajib Pajak dalam negeri,dan
Badan Usaha Tetap (BUT) adalah Penghasilan Kena Pajak.
Sedangkan untuk WP luar negeri, yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah
penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk WP Badan, dihitung
sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk WP orang pribadi, besarnya
Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Menurut Gunadi (1999), ada dua cara dalam menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak, yaitu:
1. Penghitungan dengan menggunakan pembukuan, yang diperkenankan bagi
WP yang melakukan pembukuan. Penghitungannya dilakukan dengan
mengurangkan dari penghasilan sebagai objek pajak sesuai dengan Pasal 4
ayat (1) UU PPh dengan biaya sebagaimana ditetapkan sebagai biaya fiskal
sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
2. Penghitungan dengan cara norma penghitungan, dimana tidak lagi
memperhitungkan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh WP, melainkan
telah ditetapkan penghasilan netonya dengan suatu persentase tertentu oleh
Pemerintah.
6
WP yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah WP orang pribadi
yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Peredaran bruto kurang dari Rp.600.000.000,- per tahun.
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun
buku.
3. Menyelenggarakan pencatatan.
Secara umum, penghitungan Pajak yang terutang adalah sama untuk semua jenis
pajak, demikian juga dengan Pajak Penghasilan. Adapun formula umum untuk
menghitung besarnya Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
II.1.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Tarif Pajak Penghasilan
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun , sesuai
dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPh tahun 2000 adalah:
1. Rp.2.880.000,- untuk diri WP orang pribadi
2. Rp. 1.440.000,- untuk WP yang kawin
3. Rp. 2.880.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami, dengan syarat:
ƒ
Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu
pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam
UU PPh pasal 21, dan
ƒ
Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga yang lain.
7
4. Rp.1.440.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis ketentuan lurus satu derajat serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
Tarif Pajak Penghasilan, sesuai dengan Pasal 17 UU PPh tahun 2000,
besarnya tarif pajak penghasilan bagi WP orang pribadi dalam negeri dan Badan
Usaha Tetap, adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.25.000.000,-
5%
Diatas Rp.25.000.000,- s/d Rp.50.000.000,-
10%
Diatas Rp.50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,-
15%
Diatas Rp.100.000.000,- s/d Rp.200.000.000,-
25%
Diatas Rp.200.000.000,
35%
Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.50.000.000,-
10%
Diatas Rp.50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,-
15%
Diatas Rp.100.000.000,-
30%
II.1.3 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25
Ketentuan pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur
tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar
sendiri oleh WP dalam tahun berjalan. Menurut Mardiasmo (2003),
8
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan :
1. WP membayar sendiri (PPh pasal 25)
2. Melalui pemotongan atau pemunggutan oleh pihak ketiga (PPh Pasal
21,22,23,dan 24).
Cara menghitung besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25,
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
WP untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
SPT PPh tahun pajak yang lalu, dikurangi dengan:
a. PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23,
serta PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
b. PPh yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
II.2
Pengertian Penghasilan dan Biaya menurut Ikatan Akuntan Indonesia
dan Undang-Undang Pajak Penghasilan
II.2.1 Penghasilan menurut Ikatan Akuntan Indonesia dan menurut UndangUndang PPh
Menurut IAI (2004), definisi penghasilan adalah “kenaikan manfaat
ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau
penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal”. (h.18)
9
Menurut IAI (2004), menyatakan bahwa pendapatan dapat timbul dalam
pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang
berbeda, seperti: Penjualan, Penghasilan Jasa (Fees), Bunga, Deviden, Royalty
dan sewa.
Sedangkan pengertian penghasilan menurut Waluyo (2000) dalam
Perubahan perundang-undangan perpajakan era reformasi, UU No 17 tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat (1) adalah “setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak , yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan tambahan ekonomis tersebut termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang Undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
10
2
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau
anggota;
3
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah bantuan atau
sumbangan, kecualli yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan kegiatan usaha, pekerjaan kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga
termasuk
premium,diskonto,dan
imbalan
dalam
jaminan
pengembalian hutang;
g. Deviden,dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dalam bentuk
apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalti;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11
k. Keuntungan karena pembebasan hutang kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak” (h.115)
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada WP
maka penghasilan tersebut dapat dikelompokan menjadi :
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dalam praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara dan sebagainya;
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau yang
tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan sebagainya.
12
Menurut Waluyo (2000) dalam Perubahan Perundang-undangan Perpajakan
era reformasi UU No.17 tahun 2000 tentang PPh, pasal 4 ayat 1, “yang tidak
termasuk penghasilan adalah :
a. 1)
Bantuan/sumbangan, termasuk zakat yang diterima dari badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2)
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan kegiatan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
b. Warisan;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah;
13
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa;
f. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri,Koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1)
deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
2)
bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yangmenerima
deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan
harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pasa huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham -saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
14
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa
dana selama 5 tahun sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha;
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan tersebut:
1. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia” (h.115)
II.2.2 Biaya menurut Ikatan Akuntan Indonesia dan menurut Undang-Undang
Pajak Penghasilan
Menurut IAI (2004), mendefinisikan beban adalah sebagai suatu
penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus
keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal”
(h.18)
Dari definisi beban tersebut, mencakup baik kerugian maupun beban yang timbul
dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan.
Beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan meliputi, misalnya:
Beban pokok penjualan, Gaji, Penyusutan.
15
Menurut
Waluyo
(2000)
dalam
Perubahan
Perundang-undangan
Perpajakan era reformasi UU No.17 pasal 6 tahun 2000, mengatakan biaya
sebagai pengorbanan ekonomis untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan. Dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak suatu badan
usaha, maka biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari jumlah penghasilan antara
lain :
a.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya
perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali pajak penghasilan;
b.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa mafaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A;
c.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan;
d.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam pengusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan;
e.
Kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
16
f.
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
g.
Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
h.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang, atau pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus dan;
4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
Menurut Waluyo (2000) dalam Perubahan Perundang-undangan
Perpajakan era reformasi UU No.17 pasal 9 tahun 2000, biaya yang tidak dapat
dikurangkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak yaitu:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
17
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan pitang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
d. Premi Asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberkan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan, makanan,
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
18
h. Pajak Penghasilan;
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
dibidang perpajakan.
II.3
Perbedaan Waktu dan Perbedaan Tetap
Karena terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara
akuntansi dan fiskal, maka menimbulkan perbedaan dalam menghitung
penghasilan kena pajak. Dalam menyusun laporan keuangan fiskal, Wajib Pajak
mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial
yang dibuat berdasarkan PSAK harus dikoreksi fiskal lebih dahulu sebelum
menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. perbedaan waktu (timing difference)
2. perbedaan tetap (permanent difference)
Suandy (2003), mendefinisikan perbedaan waktu adalah “perbedaan yang besifat
sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan
beban antara peraturan perpajakan dengan PSAK” (h.89)
19
Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Perbedaan waktu positif, yang terjadi apabila pengakuan beban untuk
akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak, atau
pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan
penghasilan untuk tujuan akuntansi.
2. Perbedaan waktu negatif, terjadi jika pengakuan beban menurut ketentuan
perpajakan lebih lambat dari pengakuan beban akuntansi komersial, atau
pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi lebih lambat dari
pengakuan penghasilan menurut ketentuan pajak.
Suandy (2003) mendefinisikan perbedaan tetap adalah “perbedaan yang terjadi
karena
peraturan
perpajakan
menghitung
laba
fiskal
berbeda
dengan
penghitungan laba menurut PSAK tanpa ada koreksi dikemudian hari”. (h.89)
Perbedaan tetap, dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Perbedaan tetap permanen atau tetap positif, yang dapat terjadi karena
ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan relief
pajak.
2. Perbedaan permanen atau tetap negatif, disebabkan karena pengeluaran
sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakuui oleh ketentuan fiskal.
20
II.4
Laporan Keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia dan menurut
Undang-Undang Pajak Penghasilan
II.4.1 Laporan Keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia
IAI (2004), menyatakan bahwa “Laporan keuangan merupakan bagian
dari proses pelaporan keuangan, laporan keuangan yang lengkup biasanya
meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan, (misalnya
laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan, dan laporan lain serta materi
penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan”(h.2).
Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan
dengan laporan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri, dan
geografis, serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.
Menurut IAI, pemakai laporan keuangan meliputi investor, karyawan,pemberi
pinjaman, pemasok, dan kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, serta
lembaga-lembaganya dan masyarakat.
Dan yang bertanggung jawab dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan
perusahaan adalah pihak manajeman perusahaan.
IAI(2004), menyatakan “tujuan laporan keuangan adalah untuk menyediakan
informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam
pengambilan keputusan ekonomi”(h.4).
21
IAI (2004), menyatakan “untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun
berdasarkan dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain
diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas dan setara kas diterima atau
dibayar) dan dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan
keuangan pada periode yang bersangkutan.
Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha
perusahaan dan akan melanjutkan usahanya dimasa depan. Oleh karena itu,
perusahaan diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau
mengurangi secara material skala usahanya”(h.6).
Gunadi (1997) mengatakan, “laporan keuangan komersial disusun berdasarkan
konsep kewajaran penyajian dengan implikasi manajemen dapat mengambil
suatu pertimbangan sepanjang batasan toleransi prinsip Akuntansi”(h.20).
Bila terdapat keraguan pengukuran suatu transaksi, prinsip konservatisme dalam
akuntansi komersial cenderung untuk mengambil solusi yang menghasilkan
keadaan under stated, agar laporan keuangan tampak low profile.
Terdapat empat karakteristik kualitatif pokok laporan keuangan, menurut IAI
yaitu:
1. Dapat dipahami, dimana kualitas penting informasi yang ditampung dalam
laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh
pemakai.
22
2. Relevan, agar dapat bermanfaat informasi harus relevan untuk memenuhi
kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan
memiliki kualitas relevan, apabila dapat
keputusan. Informasi
membantu keputusan ekonomi
pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa
kini/masa depan, menegaskan atau mengkoreksi, hasil evaluasi mereka
dimasa lalu.
3. Keandalan, informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang
menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya senagai
penyajian yang tulus atau jujur dari seharusnya disajikan atau yang secara
wajar dapat diharapkan dapat disajikan.
4. Dapat diperbandingkan, pemakai harus dapat membandingkan laporan
keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasi kecenderungan
(trend) posisi dan kinerja keuangan. Juga harus dapat membandingkan
laporan keuangan antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan,
kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
IAI menyatakan adanya beberapa unsur laporan keuangan yang berkaitan secara
langsung dengan pengukuran posisi keuangan, dan yang berkaitan dengan
pengukuran kinerja dalam laporan rugi laba.
Unsur laporan keuangan yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi
keuangan, adalah:
a. Aktiva, yaitu sumber dana yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari
peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dimasa depan
diharapkan akan diperoleh perusahaan.
23
b. Kewajiban, merupakan hutang perusahaan masa kini yang timbul dari
peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar
dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.
c. Ekuitas, yaitu hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua
kewajiban.
Dan unsur laporan keuangan yang berkaitan dengan pengukuran kinerja dalam
laporan rugi laba adalah penghasilan dan beban.
II.4.2 Laporan Keuangan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan
Suandy (2003) mendefinisikan laporan keuangan fiskal, yaitu
“laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan
untuk keperluan penghitungan pajak”(h.87).
Gunadi (1997), mengatakan bahwa “laporan keuangan perpajakan mempunyai
motivasi untuk mempersempit erosi potensi pengenaan pajak dan pemberian
dorongan (realokasi atas pengensalian) investasi”(h.17).
Dalam menyusun laporan keuangan fiskal yang dilampirkan dalam SPT, Wajib
Pajak harus mengacu pada peraturan perpajakan, dimana laporan keuangan
komersial harus disesuaikan atau dikoreksi fiskal dahulu sebelum menghitung
besarnya penghasilan kena pajak.
Pajak merupakan alat untuk menyalurkan sumber daya dari masyarakat kepada
negara. Laporan keuangan fiskal, biasanya kurang memberikan toleransi atau
fleksibilitas pemilihan standar.
24
Gunadi (1997) mengatakan bahwa persamaan perlakuan kepada semua Wajib
Pajak menghendaki adanya keseragaman dan simplifikasi penyelenggaraan dan
pengaturan untuk keperluan penentuan basis pajak.
Ciri kualitatif informasi pelaporan perpajakan umumnya sama dengan ciri
kualitatif informasi keuangan, yaitu: Relevan, dapat dipahami, keandalan, dapat
dipercaya.
Pemakai laporan keuangan fiskal lebih sedikit dari pemakai laporan keuangan
komersial. Pemakai laporan keuangan fiskal selain administrasi pajak (termasuk
manajemen), juga konsultan pajak, dan pihak yang berminat terhadap
perpajakan.
25
Download