PENDAHULUAN Latar Belakang Ubijalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu tanaman karbohidrat non biji yang penting bagi sumber makanan dunia. Indonesia sebagai negara penghasil ubijalar kedua di dunia setelah Cina memiliki produksi ubijalar pada tahun 2007 sebesar 1886.85 ton dengan luas areal panen sebesar 176.93 Ha (Deptan, 2008). Di Indonesia pada umumnya ubijalar digunakan untuk makanan sampingan atau untuk mengurangi kekurangan pangan, namun di Papua dan Maluku ubijalar digunakan sebagai makanan pokok sepanjang tahun. Selain dimanfaatkan dalam bentuk umbi segar, ubijalar juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri saus, pati, kue dan etanol (Balitkabi, 2004). Seiring dengan meningkatnya isu kerawanan pangan, maka ubijalar menjadi salah satu bahan pangan yang potensial untuk diversifikasi pangan. Hal ini dikarenakan ubijalar memiliki kandungan nutrisi yang baik seperti antosianin, betakaroten, vitamin C serta kandungan serat yang tinggi. Akan tetapi di Indonesia teknik budidaya ubijalar masih kurang diperhatikan. Banyak petani masih menganggap ubijalar sebagai bahan pangan sampingan setelah padi dan jagung. Akibatnya terdapat kecenderungan bahwa produksi ubijalar di Indonesia tidak mangalami kenaikan. Penggunaan varietas unggul serta teknik budidaya yang lebih baik dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi ubijalar. Selain ubijalar, bahan pangan lain yang juga potensial untuk dikembangkan seiring dengan meningkatnya isu kerawanan pangan adalah jagung. Jagung merupakan bahan pangan pokok nomor dua setelah beras. Saat ini permintaan terhadap jagung terutama jagung manis meningkat seiring dengan munculnya swalayan yang senantiasa membutuhkan dalam jumlah besar. Sebagai bahan pangan, jagung manis dapat dikonsumsi dalam bentuk kering, bentuk basah, pipilan maupun tepung (Sudaryanto et al.1993). Selain itu jagung manis dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri olahan makanan dan juga pakan ternak. Kualitas dan kuantitas produksi ubijalar dan jagung manis di Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi ubijalar dan jagung manis, diperlukan varietas unggul serta teknik budidaya yang lebih baik. Luas lahan pertanian yang semakin berkurang menyebabkan usaha peningkatan produktivitas ubijalar dan jagung manis melalui ekstensifikasi tidak lagi memungkinkan. Untuk mengatasi hal ini maka pengusahaan tanaman dengan pola tanam tumpangsari dapat dilakukan. Namun beberapa penelitian memperlihatkan bahwa produksi suatu tanaman yang ditanam bersamaan lebih rendah dibandingkan dengan monokultur. Penanaman dengan pola tumpangsari dapat menciptakan agroekosistem pertanaman yang lebih kompleks, mencakup interaksi antara tanaman sejenis maupun dari jenis tanaman lain. Menurut Barker dan Francis (1986), pada tumpang sari harus memperhatikan kombinasi jenis tanaman maupun waktu tanam. Menurut Widodo et al (1993), penanaman jagung dengan ubijalar pada areal yang sama merupakan model yang ideal dan potensial untuk dikembangkan. Jagung yang merupakan tanaman C4 memiliki tingkat kejenuhan cahaya tinggi sedangkan ubijalar yang merupakan tanaman C3 memiliki tingkat kejenuhan cahaya yang rendah sehingga persaingan memperebutkan cahaya dapat dikurangi. Selain itu perbedaan waktu tanam juga berpengaruh terutama untuk mengurangi pengaruh kompetisi yang terjadi pada lahan tersebut. Tujuan Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh waktu tanam jagung manis pada pola tanam tumpangsari terhadap produktivitas 2 klon ubijalar. Hipotesis 1. Waktu tanam jagung manis berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi ubijalar dalam sistem tanam tumpangsari. 2. Waktu tanam jagung manis berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis dalam sistem tumpangsari dengan ubijalar. 3. Terdapat klon ubijalar yang baik untuk ditanam tumpangsari dengan jagung manis.