43 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian Kota Bogor salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dan wilayahnya terletak di tengah-tangah wilayah Kabupaten Bogor. Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT-106°51’00”BT dan 30’30”LS-6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 m, maksimal 350 m dan jarak dari Kota Jakarta ± 56 km. Luas wilayah Kota Bogor yaitu 118.50 km² dan terdistribusi sebagian besar kedalam kegiatan penggunaan lahan permukiman (73.79%), dan sisanya perdagangan dan jasa (3.69%), taman dan lapangan (2.89%), pertanian (2.40%), industri (1.42%) dan lain-lain. Jumlah penduduk Kota Bogor berdasarkan hasil registrasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada tahun 2009 sebanyak 1.061.440 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan dari 2.96% pada tahun 2007 menjadi 5.06% pada tahun 2008 dan kepadatan penduduk mencapai 8.066 jiwa/km². Serta angka pertumbuhan penduduk mencapai 2.79%. Berdasarkan analisis situasi derajat kesehatan masyarakat terlihat bahwa Kota Bogor telah menunjukkan situasi yang relatif baik dan berada di atas ratarata Kota / Kabupaten lain di Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama derajat kesehatan yaitu pada tahun 2009, Angka Harapan Hidup penduduk Kota Bogor mencapai 68.77 tahun, Angka Kematian Bayi (AKB) 26.23/1000 kelahiran hidup (Jawa Barat 39/1000 kelahiran hidup), Angka Kematian Ibu (AKI) wilayah Bogor, Depok, Bekasi 296.17/1000 kelahiran hidup (Jawa Barat 321/1000 kelahiran hidup) (Dinkes Kota Bogor 2010). Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor relatif stabil dengan pertumbuhannya yang cukup baik. Sektor terbesar yang berkontribusi dalam PDRB adalah perdagangan, hotel dan restoran sebesar 39.16%, kemudian sektor industri pengolahan sebesar 25.08%, disusul sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 13.26%, dimana sektor-sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat (Dinkes Kota Bogor 2010). Secara administratif pemerintahan Kota Bogor terbagi dalam enam kecamatan yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sereal, dan mempunyai 68 kelurahan. Batasbatas administratif Kota Bogor sebagai berikut: bagian selatan berbatasan 44 dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor; bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor; bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor; bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor (BPS 2008). Lokasi penelitian ini berada di wilayah Kecamatan Bogor Utara, hal ini ditetapkan secara purposive berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya dalam metodelogi penelitian yaitu mempunyai prevalensi balita dengan gizi kurang tertinggi di Kota Bogor dan terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang dari tahun 2009 ke tahun 2010, di wilayah kerja Puskesmas Warung Jambu yang membawahi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Ciluar, Kelurahan Kedung Halang dan Kelurahan Ciparigi. Gambaran Umum Contoh Umur ibu yang diambil dalam penelitian ini adalah yang berusia 20-40 tahun yang kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan kelompok umur menurut kelompok pada Angka Kecukupan Gizi yaitu rentang usia 20-29 tahun dan 30-40 tahun. Dari hasil penelitian diketahui sebagian besar (53.1%) umur ibu berkisar antara 20-29 tahun, dengan distribusi paling banyak berumur 29 tahun (9.4%). Begitupun pada umur bayi yang diambil dalam penelitian ini adalah yang berusia 3-10 bulan, kemudian dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan tingkat perkembangan bayi yaitu rentang usia 3 bulan, 4-6 bulan, 7-9 bulan dan 10 bulan (Depkes 2006). Bayi berumur antara 46 bulan mempunyai persentase terbesar yaitu 40.6% (Tabel 10), dengan distribusi terbanyak pada bayi berumur 6 bulan dan 10 bulan dengan masingmasing persentase sebesar 18.8%. Persentase terbesar bayi menurut jenis kelamin yaitu terdistribusi pada laki-laki (51.6%), serta sebagian besar (37.5%) contoh merupakan anak kesatu dan anak kedua. 45 Tabel 10 Distribusi ibu dan bayi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan urutan kelahiran Karakteristik Umur Ibu : 20-29 tahun 30-40 tahun Total Umur Bayi : 3 bulan 4-6 bulan 7-9 bulan 9 bulan Total Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan Total Urutan kelahiran (ke-): 1 (satu) 2 (dua) 3 (tiga) 4 (empat) 5 (lima) Total Jumlah n % 34 30 64 53.1 46.9 100.0 3 26 23 12 64 4.7 40.6 35.9 18.8 100.0 33 31 64 51.6 48.4 100.0 24 24 8 7 1 64 37.5 37.5 12.5 10.9 1.6 100.0 Karakteristik Keluarga Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung pada kualitas pendidikan. Pada penelitian ini pendidikan orangtua dikelompokan menjadi rendah (tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SLTP) dan tinggi (tamat SLTA, dan tamat Akademik/PT). Persentase pendidikan kepala keluarga atau ayah mempunyai jumlah yang berbeda, sebanyak 54.7% masuk dalam kategori tinggi, sedangkan kategori rendah sebanyak 45.3%. Pendidikan ayah pada umumnya bervariasi mulai dari yang tidak tamat SD sampai dengan lulusan perguruan tinggi, dengan distribusi tertinggi tamatan SLTA atau sederajat (50%) (Tabel 11). Sedangkan pada pendidikan ibu, sebagian besar termasuk dalam kategori rendah (64.1%) dengan distribusi persentase bervariasi mulai dari tidak tamat SD sampai lulusan perguruan tinggi. Sedangkan persentase pendidikan ibu dalam kategori tinggi yaitu sebesar 35.9% (Tabel 11). 46 Status Bekerja Ibu Pekerjaan orangtua berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima. Dampak Ibu yang bekerja salah satunya dapat mempengaruhi pemberian ASI terutama ASI eksklusif. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar (89.1%) ibu tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga dan sisanya (10.9%) bekerja. Ibu yang bekerja sebagian besar menjadi karyawan pabrik dan sebagian kecil berwiraswasta. Tabel 11 Distribusi contoh berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua Karakteristik keluarga Pendidikan : Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademik Perguruan Tinggi Total Pekerjaan : Pedagang/wiraswasta PNS/ABRI/Polisi Jasa Karyawan swasta Buruh Ibu rumah tangga Total Ayah Ibu n % n % 1 10 18 32 2 1 64 1.6 15.6 28.1 50.0 3.1 1.6 100.0 5 16 20 19 2 2 64 7.8 25.0 31.2 29.7 3.1 3.1 100.0 13 5 8 27 11 0 64 20.3 7.8 12.5 42.2 17.4 0.0 100.0 1 0 0 6 0 57 64 1.6 0.0 0.0 9.4 0.0 89.1 100.0 Besar Keluarga Besar keluarga sangat penting pengaruhnya dan dapat dilihat dari terbatasnya bahan makanan yang tersedia terutama pada keluarga yang berpendapatan rendah dan mempunyai jumlah anggota keluarga yang besar. Pada penelitian rata-rata jumlah keluarga contoh adalah 5.3 orang dengan kisaran antara 3 sampai 10 orang. Data keluarga besar dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang sebanyak 75% dan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang sebanyak 25% (Tabel 12). Besarnya persentase keluarga lebih dari empat orang disebabkan di daerah penelitian masih terdapat keluarga yang tidak hanya didiami oleh keluarga inti saja, namun terdapat juga kakek, nenek, dan anggota keluarga lainnya yang ikut di dalam keluarga tersebut. Bentuk keluarga yang besar ini 47 mempunyai keuntungan dan kerugian bagi keluarga itu sendiri. Diantara keuntungannya yaitu adanya orang lain yang membantu keluarga inti untuk menjaga maupun merawat bayi. Sedangkan kerugiannya, apabila sumberdaya keluarga terbatas maka akan mempengaruhi ketersediaan bahan pangan dan kepadatan dalam rumah juga akan mengganggu kesehatan bayi dengan berbagai macam penyakit infeksi. Tingkat Pendapatan Salah satu ukuran tingkat ekonomi adalah tingkat pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder (Soetjiningsih 1995). Tingkat pendapatan dalam penelitian ini diketahui melalui pendekatan seluruh pengeluaran anggota keluarga baik pengeluaran untuk pangan maupun untuk non pangan, kemudian dijumlahkan dan dibagi seluruh jumlah anggota keluarga sehingga didapat pengeluaran perkapita per bulan. Pengeluaran yang diperoleh seluruh anggota keluarga adalah berkisar antara Rp.886.500.00 sampai Rp.3.930.000.00 dengan rata-rata pengeluaran keluarga per bulan Rp.1.980.006.00±Rp.676.435.00. Sedangkan rata-rata pengeluaran perkapita perbulan yaitu Rp.386.348±Rp.136.773.00. Menurut BPS Kota Bogor tahun 2011, garis kemiskinan Kota Bogor adalah sebesar Rp.256.414.00. Oleh karena itu pada penelitian ini pengeluaran perkapita perbulan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu miskin jika tingkat pengeluaran kurang dari Rp. 256.414.00 dan tidak miskin jika pengeluaran perkapita perbulan lebih dari Rp. 256.414.00. Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga (82.8%) adalah keluarga tidak miskin, sedangkan sisanya sebanyak 17.2% termasuk keluarga miskin. Tabel 12 Distribusi contoh berdasarkan besar keluarga dan pendapatan perkapita perbulan Kategori Besar keluarga: 1. Keluarga Kecil : ≤4 orang 2. Keluarga Besar : >4 orang Total Pendapatan: 1. ≤ Rp. 256.414.00 (miskin) 2. >Rp. 256.414.00 (tidak miskin) Total Jumlah n % 16 48 64 25.0 75.0 100.0 11 53 64 17.2 82.8 100.0 48 Intik Energi dan Protein Ibu Menyusui Tingkat Konsumsi Energi Ibu Menyusui Kebutuhan energi seseorang berbeda-beda (bervariasi) berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu, termasuk ibu menyusui. Pada penelitian ini, konsumsi zat gizi ibu dikumpulkan dengan metode recall selama 2x24 jam. Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan energi ibu menyusui bervariasi, yaitu untuk ibu menyusui usia 19-29 tahun pada enam bulan pertama membutuhkan energi 2400 kkal dan menyusui pada enam bulan berikutnya membutuhkan energi 2450 kkal. Sedangkan untuk ibu menyusui usia 30-49 tahun pada 6 bulan pertama membutuhkan energi 2300 kkal dan untuk menyusui pada 6 bulan berikutnya membutuhkan 2350 kkal. Tingkat konsumsi energi dihitung dari persentase konsumsi dibagi dengan angka kecukupan energi berdasarkan kelompok umur. Hasil penelitian menunjukkan, secara keseluruhan rata-rata tingkat konsumsi energi adalah 81.3±11.9% atau rata-rata konsumsi energi ibu menyusui adalah 1933±266 kkal (Tabel 13), dengan konsumsi energi terendah 1197 kkal dan tertinggi 3025 kkal. Tabel 13 Tingkat konsumsi energi dan rata-rata konsumsi energi ibu menyususi berdasarkan kelompok umur Kelompok umur ibu menyusui (tahun) 20-29 (6 bulan pertama) 20-29 (6 bulan kedua) 30-40 (6 bulan pertama) 30-40 (6 bulan kedua) Total Konsumsi energy Tingkat konsumsi Rata-rata (% AKG) konsumsi (kkal) 75.8 1819 76.8 1882 88.5 2036 85.2 2002 81.3 1933 Hasil recall 2x24 jam pada konsumsi energi ibu menyusui, ditemukan persentase tertinggi tingkat konsumsi energi berada pada defisit ringan (35.9%), sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi energi yaitu termasuk dalam kategori kelebihan yaitu 1.6% (Tabel 14). Selama ibu tidak memiliki penyakit yang mengharuskan ibu melakukan diet tertentu, maka tidak ada pantangan makanan bagi ibu menyusui. Bila kebutuhan zat gizi mencukupi maka diharapkan status gizinya juga akan baik. 49 Tabel 14 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi ibu Energi Kategori Defisit berat: <70% AKG Defisit sedang: 70-79% AKG Defisit ringan: 80-89% AKG Normal: 90-119% AKG Kelebihan : ≥ 120% AKG Total n 8 21 23 11 1 64 % 12.5 32.8 35.9 17.2 1.6 100.0 Tingkat Konsumsi Protein Ibu Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan protein ibu menyusui berdasarkan umur tidak bervariasi, yaitu usia 20-40 tahun baik pada enam bulan pertama maupun enam bulan kedua membutuhkan protein 67 g. Diketahui secara keseluruhan rata-rata tingkat konsumsi protein ibu 84.7±18.6% atau rata-rata konsumsi protein ibu menyusui adalah 56.8±12.5 g, dengan konsumsi protein terendah 34.4 g dan tertinggi 104.5 g (Tabel 15). Tabel 15 Tingkat konsumsi protein dan rata-rata konsumsi protein ibu menyusui berdasarkan kelompok umur Kelompok umur ibu menyusui (tahun) 20-29 (6 bulan pertama) 20-29 (6 bulan kedua) 30-40 (6 bulan pertama) 30-40 (6 bulan kedua) Total Konsumsi protein Tingkat konsumsi Rata-rata (% AKG) konsumsi (g) 79.9 53.3 78.6 52.6 93.0 62.3 95.9 64.3 84.7 56.8 Tabel 16 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (39.1%) tingkat konsumsi protein ibu menyusui pada kategori defisit sedang, sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi protein ibu menyusui adalah termasuk dalam kategori kelebihan yaitu sebanyak 4.7%. Tabel 16 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein ibu Kategori Defisit berat: <70% AKG Defisit sedang: 70-79% AKG Defisit ringan: 80-89% AKG Normal: 90-119% AKG Kelebihan : ≥ 120% AKG Total Protein n 10 25 7 19 3 64 % 15.6 39.1 10.9 29.7 4.7 100.0 50 Status Gizi Ibu Status gizi ibu dihitung menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus berat badan (kg)/tinggi badan (m²). Analisis penelitian memperlihatkan sebagian besar (75%) ibu menyusui mempunyai status gizi normal, diikuti dengan status gizi kategori gemuk tingkat berat sebesar 10.9%. Distribusi status gizi ibu menyusui dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 17, dengan nilai IMT terendah yaitu 15.84 dan nilai IMT tertinggi yaitu 37.50 serta rata-rata IMT ibu menyusui adalah 22.6±3.6. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudjajanto dan Sukandar (2007) di Kabupaten Cianjur, bahwa masih ditemukan ibu menyusui dalam kategori kurus (ringan dan berat) sebesar 10%, dan kategori normal 74% dan kategori gemuk (ringan dan berat) sebesar 16%. Tabel 17 Distribusi contoh berdasarkan status gizi ibu Jumlah Status Gizi Ibu (IMT) n 1 4 48 4 7 64 Kurus (tingkat berat) Kurus (tingkat ringan) Normal Gemuk (tingkat ringan) Gemuk (tingkat berat) Total % 1.6 6.2 75.0 6.2 10.9 100.0 Dukungan Suami terhadap Pemberian ASI Dari semua dukungan bagi ibu menyusui, dukungan sang ayah adalah dukungan yang paling berarti bagi ibu. Ayah dapat berperan aktif dalam keberhasilan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif (Pisacane et al. 2005). Variabel dukungan suami dalam pemberian ASI menggunakan 13 pertanyaan yang kemudian diberi skor dan dibagi dalam kategori kurang (kurang dari ratarata skor) dan kategori baik (lebih dari rata-rata skor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (57.8%) dukungan suami terhadap pemberian ASI yaitu pada kategori kurang, sisanya (42.2%) masuk dalam kategori baik (Tabel 18). Salah satu dukungan yang diberikan suami yaitu dapat berperan dengan memberikan bantuan fisik untuk meringankan beban tugas rumah tangga dan juga memberikan dukungan psikologis untuk meningkatkan kerja hormon yang berperan dalam produksi dan pengeluaran ASI (Sears & Sears 2003). 51 Tabel 18 Distribusi contoh berdasarkan dukungan suami terhadap pemberian ASI Dukungan suami Kurang Baik Total Jumlah n 37 27 64 % 57.8 42.2 100.0 Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Clinical Pediatric pada tahun 1994 yang dikutip oleh Roesli (2004), diketahui bahwa sebanyak 98% keberhasilan menyusui dikarenakan suami mengetahui peranannya. Oleh karena itu keterlibatan ayah dalam keberhasilan menyusui sangat besar berupa pemberian dukungan-dukungan. Status Pemberian ASI Eksklusif ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, karena mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk pertumbuhan dan kesehatan bayi sampai usia enam bulan. Menurut Muchtadi (2002), ASI juga memberikan manfaat lainnya yaitu untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan psikomotor yang terjadi sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat mendukung. Studi meta analisis yang dilakukan oleh Anderson, et al (1999) menunjukkan pemberian ASI mempunyai dampak signifikan terhadap perkembangan neurologi sejak dini pada bayi. Keuntungan yang terkait fungsi kognitif menunjukkan secara positif dan signifikan berkorelasi dengan prestasi belajar, kinerja pekerjaan, prestasi kerja, dan pendapatan serta berbanding terbalik dengan tingkat kenakalan. Kenaikan IQ 3.16 (95% CI: 2.353.98) poin (seperlima dari SD) 100-103 menjadikan seorang individu lebih berpotensi yang dikaitkan dengan prestasi belajar, prestasi kerja, dan penyesuaian dalam lingkungan sosial (Hunter JE. 1986; Anderson. et.al. 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 9.4% bayi mendapatkan ASI eksklusif dan sebagian besar (90.6%) bayi tidak mendapat ASI eksklusif (Tabel 19). Berdasarkan data SDKI cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-5 bulan menurun, pada tahun 2002 mencapai 40% sedangkan pada tahun 2007 hanya mencapai 32%. 52 Tabel 19 Distribusi contoh berdasarkan status pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI Jumlah Tidak eksklusif Eksklusif n 58 6 % 90.6 9.4 Total 64 100.0 Rendahnya jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif dikemukakan berbagai macam alasan diantaranya karena bayi menangis terus atau rewel sehingga pembuat ibu berfikir walaupun sudah diberi ASI bayi masih merasa lapar karena ASI-nya kurang. Alasan berikutnya yaitu ibu merasa ASI-nya encer, ASI pada hari pertama tidak keluar, ibu bekerja dan lain-lain. Sedangkan ibu yang tidak memberikan kolostrum memberikan alasan karena melahirkan dengan Caesar/tindakan operasi sehingga sulit untuk menyusui, bayi diinkubator dan lain-lain. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif juga terdapat dilaporan hasil penelitian Herawati dan kawan-kawan (2007) di Kabupaten Bogor, bahwa hanya 27.6% bayi yang mendapat ASI saja (ASI eksklusif). Gangguan proses pemberian ASI pada prinsipnya bermula dari kurangnya pengetahuan, kurang rasa percaya diri, kurangnya dukungan keluarga serta kurangnya kualitas dan kuantitas gizi. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak bisa menyusui, salah satunya adalah ASI tidak keluar. Air susu yang tidak keluar dapat dipengaruhi antara lain oleh stres mental sampai penyakit fisik, termasuk kekurangan gizi (tingkat berat) (Sulistyoningsih 2011). Menurut Roesli (2000), walaupun banyak ibu yang merasa ASI-nya kurang, tetapi hanya 2-5% ibu yang secara biologis memang kurang produk ASI-nya. Selebihnya 95-98% ibu dapat menghasilkan ASI yang cukup untuk bayinya. Sehingga kekhawatiran ibu bahwa ASI-nya tidak cukup merupakan perasaan takut yang tidak beralasan. Pola Asuh Pemberian Makan Bayi Pola asuh pemberian makan bayi pada penelitian ini meliputi pemberian ASI, kolostrum, MP-ASI, dan PASI. Pola asuh pemberian makan bayi yang diberikan oleh ibu pada penelitian ini dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kurang dan baik. Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi, sementara itu kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh pemberian makan anak yang diterapkan oleh keluarga terutama 53 oleh ibu. Tabel 20 menunjukkan, sebagian besar pola asuh pemberian makan termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 56.2% dan sisanya 43.8% masuk dalam kategori kurang. Tabel 20 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh pemberian makan bayi Pola Asuh Pemberian makan bayi Kurang Baik Total Jumlah n 28 36 64 % 43.8 56.2 100.0 Dilihat dari pertanyaan pola asuh pemberian makan, jawaban yang diberikan oleh ibu berbeda-beda pada setiap bayi. Pemberian kolostrum atau ASI yang pertama kali keluar mempunyai cakupan yang sangat tinggi yaitu sebanyak 85.9% dan hanya 14.1% bayi tidak diberikan kolostrum (Tabel 21). Persentase pemberian kolostrum tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan laporan hasil Riskesdas 2010 baik Jawa Barat maupun di tingkat Nasional yang hanya 73% dan 74.7% (Depkes 2010c). Sebagian besar ibu (85.9%) memberikan ASI pada bayi dengan tidak dijadwalkan atau setiap kali bayi meminta. Diketahui bahwa sebagian besar ibu memberikan makanan/minuman lain selain ASI sejak dini, sebanyak 31.2% bayi mendapat makanan/minuman pada usia kurang dari satu bulan dan 15.6% pada usia dua bulan. Dari 58 bayi (90.6%) yang telah mendapatkan makanan dan minuman, sebagian besar jenis makanan/minuman yang diberikan berupa susu formula (43.8%), bubur kemasan (23.4%), pisang (17.2%) dan sisanya (15.7%) terdistribusi pada madu, tim, bubur ayam, bubur sum-sum, biskkuit serta air tajin. Tabel 21 Distribusi contoh berdasarkan praktek pola asuh pemberian makan Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemberian ASI eksklusif Pemberian kolostrum Pemberian ASI tidak dijadwalkan Kesesuaian jenis MP-ASI yang diberikan MP-ASI buatan rumah MP-ASI yang diberikan bervariasi Memberikan susu formula Praktek pola asuh makan n % 6 9.4 55 85.9 55 85.9 47 73.4 23 35.9 36 56.2 25 39.1 Jenis MP-ASI yang diberikan sebagian besar (73.4%) tidak sesuai dengan umur bayi dan didapat dengan cara membeli (64.1%). Menurut Februhartanty (2009) pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan umur bayi yaitu 6-8 bulan diberikan makanan lumat dan 9-11 bulan diberikan makanan semi 54 padat atau lembek. Lebih lanjut dari hasil penelitian ini, hanya 56.2% bayi diberikan MP-ASI yang bervariasi. Disamping bayi masih diberikan ASI, sebesar 39.1% bayi juga diberikan susu formula (Tabel 21). Ibu memberikan bebagai macam alasan mengapa memberikan susu formula, diantaranya sebagian besar mengatakan bahwa ibu merasa ASI yang dimiliki kurang atau tidak mencukupi bagi bayi sehingga pemberian susu formula dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) mengenai pola menyusui dan status gizi ibu menyusui di Indonesia, menunjukkan sebanyak 39.7% bayi-anak umur 0-23 bulan mendapat ASI predominan (ASI dan cairan lain selain susu formula) dan sebanyak 60.3% bayi-anak yang mendapat ASI parsial (ASI dan makanan/minuman lain dalam cairan, semi padat maupun padat). Pola Asuh Psikososial (HOME Invetory) Data pola asuh psikososial meliputi penerimaan terhadap tanggap rasa dan kata-kata, penerimaan terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan anak, penyediaan alat permainan, keterlibatan ibu terhadap anak, dan kesempatan yang diperoleh anak melalui stimulasi yang diberikan orang tua (Cadwell dan Bradley (1979); Madanijah (2003)). Pola asuh psikososial untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua digunakan untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun). Tabel 22 menunjukkan bahwa, sebagian besar responden (56.2%) termasuk dalam kategori sedang dan hanya 20.3% responden masuk dalam kategori tinggi, terkait dengan pola asuh psikososial terhadap anaknya. Hasil ini masih lebih baik jika dibandingakan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana tahun 2003 di Kota Bogor yaitu sebagian besar pola asuh psikososial yang tergolong kurang (57.7%) dan hanya 1.1% yang tergolong baik. Menurut Karyadi (1985), pengasuhan dipengaruhi oleh karakteristik pengasuh, antara lain status bekerja ibu, pendidikan formal, serta pengetahuan tentang gizi dan pengasuhan. Tabel 22 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh psikososial Pola asuh psikososial Rendah Sedang Tinggi Total Jumlah n 15 36 13 64 % 23.4 56.2 20.3 100.0 55 Menurut Soetjiningsih (1995), pola asuh psikososial adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulus, sehingga dengan tingginya pemberian stimulus psikososial maka perkembangan anak khususnya tingkat perkembangan sosial akan lebih baik. Distribusi pola asuh psikososial yang terdiri dari enam sub-skala mempunyai rincian sebagai berikut. Pada penerimaan terhadap tanggap rasa dan kata-kata (11 item). Pada penerimaan terhadap perilaku anak (8 item). Pengorganisasian lingkungan anak (6 item). Penyediaan alat-alat permainan (9 item). Keterlibatan ibu terhadap anak (6 item), yang terakhir, kesempatan variasi asuhan anak (5 item). Berdasarkan persentase skor, persentase skor terbesar dari enam subskala HOME adalah pengorganisasaian lingkungan anak yaitu 70.6%. sementara itu, persentase skor terendah adalah penerimaan terhadap perilaku anak yaitu 44.3%. Hal ini berarti sebagian besar ibu sudah mampu melaksanakan subskala pengorganisasian lingkungan anak yaitu dengan mengajak anak untuk pergi kepasar, toko atau warung maupun pergi meninggalkan rumah. Rendahnya subskala penerimaan terhadap perilakua anak menandakan masih ada ibu yang mempunyai perilaku negatif seperti melarang anaknya bermain baik dengan kata-kata maupun tindakan, maupun menunjukkan kekecewaannya dengan kata-kata. Hal ini diduga karena kurangnya pengetahuan orang tua karena melihat anaknya yang banyak tingkah disebabkan keingintahuan anak ataupun karena anak belum dapat melakukan sesuatu sehingga ibu menjadi kecewa. Pada umumnya semakin tinggi skor HOME, semakin baik perkembangan anak. Walaupun penemuan-penemuan masing-masing studi sangat bervariasi, namun penemuan-penemuan memperlihatkan masing-masing sub-skala berkorelasi positif dengan IQ dan stimulasi psikososial merupakan bagian dari intervensi dini yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak (Padmonodewo 1993; Anwar 2002). 56 Status Kesehatan Bayi Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak balita terutama bayi sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Hal ini akhirnya akan mengakibatkan anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada umumnya bayi pernah menderita penyakit ISPA dan diare dalam satu bulan terakhir. Penyakit ISPA ditandai dengan gejala batuk, pilek dan demam, sebanyak 57.8% bayi pernah menderita. Sedangkan untuk penyakit diare, sebanyak 39.1% bayi pernah menderita diare (Tabel 23). Pada tahun 2009, dari sepuluh penyakit utama yang ditemukan di Puskesmas di Kota Bogor, ISPA merupakan penyakit dengan persentase tertinggi dibandingkan penyakit lainnya, sedangkan penyakit diare menempati urutan ketiga untuk golongan umur 29 hari sampai 1 tahun (Dinkes Kota Bogor 2010). Tabel 23 Distribusi contoh berdasarkan status kesehatan bayi (ISPA dan diare) Kategori Menderita Tidak menderita Total ISPA n 37 27 64 Diare % 57.8 42.2 100 n 25 39 64 % 39.1 60.9 100.0 Intik Energi dan Protein Bayi Tingkat Konsumsi Energi Bayi Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada umur, jenis kelamin dan berat badan seseorang. Untuk terpenuhinya kebutuhan zat gizi, seseorang harus makan, bila kurang makan maka kemungkinan seseorang akan kekurangan zat gizi. Status gizi kurang dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi pangan baik dalam jumlah maupun mutunya atau oleh status kesehatannya (Suhardjo 2003). Pada penelitian ini cara mengumpulan data konsumsi energi bayi sama dengan cara pengumpulan data konsumsi zat gizi ibu menyusui yaitu dikumpulkan dengan metode recall selama 2x24 jam, melalui wawancara langsung dengan ibunya. Data konsumsi pangan bayi meliputi jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi baik dari ASI, susu formula maupun MP-ASI. Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan energi bayi usia 3-10 bulan bervariasi, yaitu usia 0-6 bulan membutuhkan energi 550 kkal, sedangkan 57 usia 7-12 bulan membutuhkan energi 650 kkal. Tabel 24 menunjukkan, secara umum rata-rata konsumsi energi bayi adalah 606±127 kkal atau rata-rata tingkat konsumsi energi adalah 100±19%, dengan konsumsi energi terendah 336 kkal dan tertinggi 1012 kkal. Tabel 24 Tingkat konsumsi energi dan rata-rata konsumsi energi bayi berdasarkan kelompok umur Konsumsi energi Tingkat konsumsi Rata-rata (% AKG) konsumsi (kkal) 98.3 540 101.7 661 100.0 606 Kelompok umur bayi 3-6 bulan 7-10 bulan Total Persentase tertinggi tingkat konsumsi energi bayi berada pada kategori normal yaitu sebesar 71.9%, sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi energi adalah termasuk dalam kategori defisit berat yaitu sebesar 1.6%. Tabel 25 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi Jumlah Kategori Defisit berat: <70% AKG Defisit sedang: 70-79% AKG Defisit ringan: 80-89% AKG Normal: 90-119% AKG Kelebihan : ≥ 120% AKG) Total n 1 6 6 46 5 64 % 1.6 9.4 9.4 71.9 7.8 100 Rata-rata kecukupan energi balita dari hasil laporan Riskesdas untuk Jawa Barat dan Nasional menunjukkan angka yang lebih tinggi dan termasuk dalam kategori baik. Untuk Jawa Barat rata-rata kecukupan konsumsi energi balita yaitu 102±36% dan untuk tingkat Nasional 102±38%. Masukkan energi dan protein adalah salah satu determinan kuat yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Satoto 1990). Kekurangan energi dan protein dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu dan menyebabkan anak menjadi rewel, tubuhnya lebih kecil dan kurang aktif (Pollit 2000). Tingkat Konsumsi Protein Bayi Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan protein bayi berdasarkan umur bervariasi. Angka kecukupan protein bayi usia 0-6 bulan membutuhkan 10 g, sedangkan untuk bayi usia 7-12 bulan membutuhkan 16 g 58 protein. Tabel 26 menunjukkan, secara umum rata-rata konsumsi protein adalah 13.6±3.9 g atau rata-rata tingkat konsumsi protein adalah 103.4±30.5%. Tabel 26 Tingkat konsumsi protein dan rata-rata konsumsi protein bayi berdasarkan kelompok umur Kelompok umur bayi 3-6 bulan 7-10 bulan Total Konsumsi protein Tingkat konsumsi Rata-rata (% AKG) konsumsi (g) 112.0 11.2 96.1 15.4 103.4 13.6 Persentase tertinggi tingkat konsumsi protein berada pada kategori normal yaitu 46.9%, sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi protein bayi adalah termasuk dalam kategori defisit berat yaitu 6.2% (Tabel 27). Ratarata kecukupan konsumsi protein balita dari hasil laporan Riskesdas untuk Jawa Barat dan Nasional menunjukkan angka yang lebih tinggi. Untuk Jawa Barat konsumsi proteinnya yaitu 133.5±65.7% dan untuk tingkat Nasional 143.5±75.2% (Depkes 2010c). Tabel 27 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein Jumlah Kategori Defisit berat: <70% AKG Defisit sedang: 70-79% AKG Defisit ringan: 80-89% AKG Normal: 90-119% AKG Kelebihan : ≥ 120% AKG) Total n 4 5 11 30 14 64 % 6.2 7.8 17.2 46.9 21.9 100 Status Gizi Bayi Berat badan adalah parameter yang dapat memberikan gambaran massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena adanya penyakit yang dapat menyebabkan berkurangnya asupan makanan. Indeks BB/U dan BB/TB adalah indeks antropomentri yang digunakan untuk menggambarkan status gizi saat ini (Supariasa 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai Z-skor BB/U adalah -0.74±1.23, dengan persentase gizi baik sebesar 78.1%, dan persentase bayi yang bergizi buruk sebanyak 7.8% (Tabel 28). Rata-rata nilai Z-skor BB/PB adalah -0.87±1.63, dengan persentase terbesar yaitu pada bayi yang termasuk kategori normal (56.2%) dan sebesar 10.9% bayi dengan kategori sangat kurus. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil laporan Riskesdas Nasional tahun 59 2010 pada bayi usia 0-11 bulan yang menunjukkan bahwa sebanyak 82% bayi berstatus gizi baik dan prevalensi untuk gizi buruk masih lebih rendah yaitu 4.4% berdasarkan indeks BB/U. Sedangkan status gizi bayi usia 0-11 bulan berdasarkan indeks BB/PB diketahui prevalensi gizi normal sebesar 62.3%, untuk prevalensi balita yang sangat kurus masih lebih rendah yaitu 8.5% (Depkes 2010c). Berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan terlihat pada waktu yang lama. Menurut Supariasa (2001), indeks TB/U merupakan indeks antropometri yang digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Pada penelitian ini jumlah bayi yang PB/U normal jauh lebih besar (87.5%) dibanding yang pendek (12.5%). Tidak jauh berbeda dengan indeks BB/U dan BB/PB, indeks PB/U mempunyai nilai rata-rata Z-skor -0.57±1.14. Hasil tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas Nasional tahun 2010 yang menunjukkan prevalensi bayi usia 0-11 bulan yang normal hanya 69.9%, sedangkan sisanya terbagi hampir sama dalam kategori pendek dan sangat pendek (Depkes 2010c). Tabel 28 Distribusi contoh berdasarkan status gizi (BB/U, BB/PB dan PB/U) Jumlah Indikator Status Gizi BB/U : Gizi Buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total BB/PB : Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total PB/U : Pendek Normal Total n % 5 6 50 3 64 7.8 9.8 78.1 4.7 100.0 7 18 36 3 64 10.9 28.1 56.2 4.7 100.0 8 56 64 12.5 87.5 100.0 Status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U menurut jenis kelamin, diketahui bahwa persentase status gizi baik antara bayi laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu masing-masing 78.8% dan 77.4%, namun kejadian gizi kurang lebih banyak ditemukan pada bayi perempuan (12.9%). Sedangkan 60 status gizi berdasarkan indeks BB/PB diketahui bayi dengan status gizi normal lebih banyak pada bayi perempuan dibanding laki-laki dan untuk kategori kurus lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki dibanding bayi perempuan. Untuk status gizi berdasarkan indeks PB/U diketahui bayi yang normal lebih banyak ditemukan pada bayi perempuan dibanding dengan bayi laki-laki (Tabel 29). Tabel 29 Distribusi contoh berdasarkan status gizi menurut jenis kelamin Status gizi BB/U: Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total BB/PB: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total PB/U: Pendek Normal Total Laki-laki n % Perempuan n % n Total % 3 2 26 2 33 9.1 6.1 78.8 6.1 100.0 2 4 24 1 31 6.4 12.9 77.4 3.2 100.0 5 6 50 3 64 7.8 9.4 78.1 4.7 100.0 3 11 17 2 33 9.1 33.3 51.5 6.1 100.0 4 7 19 1 31 12.9 22.6 61.3 3.2 100.0 7 18 36 3 64 10.9 28.1 56.2 4.7 100.0 5 28 33 15.2 84.8 100.0 3 28 31 9.7 90.3 100.0 8 56 64 12.5 87.5 100.0 Pada Tabel 30 diketahui persentase tertinggi (83.8%) status gizi baik berdasarkan indeks BB/U ditemukan pada bayi umur 7-9 bulan. Pada status gizi normal berdasarkan indeks BB/PB, persentase tertinggi (66.7%) pada bayi umur 3 bulan. Sedangkan bayi yang pendek lebih banyak ditemukan pada bayi usia 7 sampai 9 bulan. Tabel 30 Distribusi contoh berdasarkan status gizi menurut umur Status gizi BB/U: Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total BB/PB: Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total PB/U: Pendek Normal Total Umur bayi (bulan) 4-6 7-9 % n % Total n 3 % 10 n 0 1 2 0 3 0.0 33.3 66.7 0.0 100.0 4 2 17 3 26 15.4 7.7 65.4 11.5 100.0 0 2 21 0 23 0.0 8.7 91.3 0.0 100.0 1 1 10 0 12 8.3 8.3 83.3 0.0 100.0 5 6 50 3 64 7.8 9.4 78.1 4.7 100.0 1 0 2 0 3 33.3 0.0 66.7 0.0 100.0 4 6 13 3 26 15.4 23.1 50.0 11.5 100.0 1 7 15 0 23 4.3 30.4 65.2 0.0 100.0 1 5 6 0 12 8.3 41.6 50.0 0.0 100.0 7 18 36 3 64 10.9 28.1 56.2 4.7 100.0 0 3 3 0.0 100.0 100.0 4 22 26 15.4 84.6 100.0 4 19 23 17.4 82.6 100.0 0 12 12 0.0 100.0 100.0 8 56 64 12.5 87.5 100.0 n % n % 61 Perkembangan Bayi Pengukuran perkembangan bayi dilakukan melalui pengamatan langsung menggunakan instrumen yang dikembangkan untuk stimulasi, deteksi dan intervesi dini tumbuh kembang anak (Depkes 2006), terdiri dari 10 pertanyaan untuk masing-masing kelompok umur yang berbeda, kemudian diberi skor dan dijumlahkan. Pada instrumen ini, aspek-aspek yang diperhatikan yaitu gerakan motorik kasar dan halus, kemampuan bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian. Kategori perkembangan bayi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu terganggu (jika skor ≤6), dicurigai terganggu (jika skor 7-8) dan normal (jika skor 9-10). Tabel 31 menunjukkan, jumlah bayi yang perkembangannya terganggu sebanyak 14.1%, dicurigai terganggu sebanyak 34.4% dan sebagian besar lainnya perkembangan bayi normal sebanyak 51.6%. Diketahui pula persentase bayi yang perkembangannya dicurigai terganggu dan terganggu ditemukan lebih banyak pada bayi laki-laki dibanding perempuan. Hampir serupa dengan hasil penelitian Yuliana (2003) yang dilakukan di Bogor pada bayi usia 8-11 bulan, yaitu sebanyak 46.2% bayi mempunyai perkembangan mental agak lambat dan sisanya 49.5% perkembangan bayi normal. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Depkes tahun 2010 pada 500 anak usia 0-6 tahun, dari lima Wilayah di Provinsi DKI Jakarta, melalui Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) menunjukkan persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 11.9% anak mengalami kelainan tumbuh kembang (Depkes 2010b). Tabel 31 Distribusi contoh berdasarkan perkembangan menurut jenis kelamin Perkembangan Bayi Terganggu Dicurigai terganggu Normal Total Laki-laki n % 5 15.1 11 33.3 17 51.5 33 100.0 Perempuan n % 4 12.9 11 32.2 16 51.6 31 100.0 Total n 9 22 33 64 % 14.1 34.4 51.6 100.0 Sedangakan hasil tabulasi silang menunjukkan persentase terbesar bayi yang perkembangannya dicurigai terganggu terbanyak ditemukan pada kelompok umur 4-6 bulan dan yang terganggu terbanyak ditemukan pada bayi usia tiga bulan (Tabel 32). 62 Tabel 32 Distribusi contoh berdasarkan perkembangan menurut umur Perkembangan Bayi Terganggu Dicurigai terganggu Normal Total Menurut 3 n 1 1 1 3 % 33.3 33.3 33.3 100.0 Direktorat n 5 12 9 26 Bina Umur Bayi (bulan) 4-6 7-9 % n % 19.2 0 0.0 46.1 4 17.4 34.6 19 82.6 100.0 23 100.0 Kesehatan Total 10 n 3 5 4 12 % 25.0 41.7 33.3 100.0 Keluarga, n 9 22 33 64 % 14.1 34.4 51.6 100.0 pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai oleh seorang anak pada umur tertentu terutama untuk perkembangan motoriknya. Adanya potakan tersebut dimaksudkan agar anak yang belum mencapai tahap kemampuan tertentu tersebut perlu dilatih berbagai kemampuan agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Pada bayi umur tiga bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu mengangkat kepala dengan tegak keatas pada posisi badan telungkup, sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur tiga bulan dapat melakukannya yaitu menggerakkan lengan dan tungkai dengan mudah, bayi dapat melihat dan menatap wajah di hadapannya (pada posisi telentang), bayi dapat mengeluarkan suara-suara lain (ngoceh) dan pada posisi telentang, bayi dapat mengikuti gerakan kita dengan menggerakkan kepalanya dari satu sisi hampir sampai pada sisi yang lain. Pada bayi umur 4- 6 bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu meraih mainan yang diletakkan agak jauh namun masih berada dalam jangkauan tangannya dan bayi mengarahkan matanya pada benda kecil sebesar kacang, kismis, atau uang logam. Sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur 4-6 bulan dapat melakukannya yaitu dapat mengikuti gerakan dengan menggerakkan kepala sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain (pada posisi telentang) dan mempertahankan posisi kepala dalam keadaan tegak stabil. Pada bayi umur 7- 9 bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu bayi duduk sendiri selama 60 detik, tanpa disangga oleh bantal, kursi atau dinding, dan bayi memungut benda-benda kecil seperti kismis, kacang-kacangan, potongan biskuit, dengan gerakan miring atau menggerapai. Sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur 7-9 bulan dapat melakukannya yaitu bayi dapat mempertahankan lehernya secara kaku pada posisi bayi telentang, kemudian kedua tangannya ditarik perlahan-lahan ke posisi duduk dan gerakan berikutnya makan kue kering sendiri. Pada bayi umur sepuluh bulan, gerakan yang sulit 63 dilakukan yaitu mempertemukan dua kubus kecil yang ia pegang dan menirukan kata-kata sebanyak 2-3 kata. Sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur sepuluh bulan dapat melakukannya yaitu diantaranya memegang erat pinsil yang diletakkan diatas telapak tanganya. Faktor yang berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks BB/U Pada penelitian ini, untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi digunakan uji Chi-square. Berdasarkan hasil analisis Chi-square diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U yaitu tingkat konsumsi protein bayi (p=0.001), penyakit ISPA (p=0.003), penyakit diare (p=0.005) dan pola asuh psikososial (p=0.000). Kemudian dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor pola asuh psikososial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (Tabel 33). Nilai OR untuk faktor pola asuh psikososial adalah 11.469 (95% CI: 1.613-81.550), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan pola asuh psikososial yang kurang memiliki kecenderungan untuk bayi berstatus gizi kurang 11.469 kali lebih besar dibandingkan pada bayi dengan pola asuh psikososial yang baik (Lampiran 2). Tabel 33 Hasil uji regresi logistik berganda faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U Peubah Tingkat konsumsi protein bayi: 1=Baik 0=Tidak baik Penyakit ISPA: 1=Tidak menderita 0=Menderita Penyakit diare: 1=Tidak menderita 0=Menderita Pola asuh psikososial: 1=Baik 0=Tidak baik Konstanta *signifikan p<0.05 Exp (β) = OR 95.0% C.I. Lower Upper Sig. 2.307 0.179 29.661 0.521 8.477 0.664 108.165 0.100 5.833 1.577 21.572 0.733 11.469 1.613 81.550 0.015* 0.267 0.244 64 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henninger (2010), yang menyimpulkan bahwa anak dengan pola pengasuhan yang kurang, memiliki gejala depresi seperti sulit tidur, gelisah dan lain-lain berkecenderungan lebih besar pada anak dengan status gizi kurang dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik. Menurut Soetjiningsih (1995), pola asuh psikososial merupakan perangsangan (stimulasi) yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Stimulasi yang diterima anak tentunya lebih banyak berasal dari seorang ibu, karena ibu merupakan pengasuh utama dan orang yang paling dekat pada kehidupan anak. Biasanya ibu akan melakukan apa saja agar anaknya mau makan tidak terkecuali melakukan stimulus yang membuat anak senang dan akhirnya mau makan. Tingkat konsumsi protein bayi berhubungan positif dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (p=0.001). Hasil tabulasi silang memperlihatkan terdapat kecenderungan semakin baik tingkat kecukupan protein bayi maka akan semakin baik status gizi bayi, namun setelah diuji regresi logistik tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga karena sebagian besar tingkat konsumsi protein bayi adalah baik. Protein adalah zat gizi makro yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel dan jaringan tubuh, selain itu juga sebagai sumber energi (Almatsier 2001). Menurut Satoto (1990), kekurangan masukan makanan dapat mempengaruhi keadaan gizi dan perkembangan anak, terutama kekurangan energi dan protein terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan otak, khususnya apabila terjadi pada masa-masa kritis pertumbuhan jaringan otak. Protein itu sendiri merupakan salah satu zat gizi utama yang diperlukan manusia dalam proses metabolisme dan pertumbuhan manusia. Pada uji chi-square, penyakit ISPA dan diare diketahui juga berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (p=0.003 dan p=0.005), namun tidak berpengaruh signifikan. Menurut Depkes (2008b), penyakit yang sering terjadi pada bayi antara lain infeksi saluran pernafasan dan diare. WHO (1995) menyatakan bahwa resiko bayi mengalami gizi kurang semakin meningkat apabila sering terkena penyakit ISPA dan diare. Apabila anak terkena infeksi saluran pencernaan seperti diare, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Sedangkan anak yang menderita 65 infeksi saluran pernafasan, maka nafsu makan anak akan menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam (Supariasa 2001). Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks BB/PB Hasil analisis chi-square untuk melihat faktor yang berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB adalah tingkat konsumsi protein bayi (p=0.008), penyakit ISPA (p=0.014), pola asuh psikososial (p=0.004), status gizi ibu berdasarkan IMT (p=0.020) dan pendapatan perkapita (p=0.005). Hasil uji regresi logistik berganda menunjukan bahwa pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB (Tabel 34). Nilai OR untuk faktor pendapatan perkapita adalah 6.985 (95% CI: 1.100-44.349) (Lampiran 2), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi yang berasal dari keluarga yang tingkat pendapatannya kurang (keluarga miskin) memiliki kecenderungan untuk bayi berstatus gizi kurang 6.985 kali lebih besar dibandingkan pada bayi yang berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan perkapita yang baik (keluarga tidak miskin). Tabel 34 Hasil uji regresi logistik berganda faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB Peubah Tingkat konsumsi protein bayi: 1=Baik 0=Tidak baik Penyakit ISPA: 1=Tidak menderita 0=Menderita Pola asuh psikososial: 1=Baik 0=Tidak baik Status gizi ibu: 1=Baik 0=Tidak baik Pendapatan perkapita: 1=Tidak miskin 0=Miskin Konstanta Exp (β) = OR 95.0% C.I. Lower Upper 5.395 0.000 1.718 0.485 6.093 0.402 2.613 0.568 12.015 0.217 1.282 0.660 2.491 0.464 6.985 1.100 44.349 0.039* 0.000 . Sig. 0.999 0.999 *signifikan p<0.05 Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Soekirman (1983) yang dikutip oleh Satoto (1990) bahwa terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan keadaan gizi anak. Hal ini disebabkan tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas 66 dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap status gizi keluarga terutama untuk perkembangan bayi dan balita (Berg 1986). Menurut Soetjiningsih (1995), pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder. Kemiskinan berhubungan dengan faktor kurang gizi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kemiskinan menyebabkan berkurangnya kesempatan dan kemampuan orangtua untuk merangsang perkembangan anak. Anak-anak dalam keluarga miskin yang paling rawan terhadap kekurangan gizi adalah anak yang paling kecil (Satoto 1990). Tingkat konsumsi protein bayi, penyakit ISPA, pola asuh psikososial dan status gizi ibu berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB, namun semuanya tidak berpengaruh signifikan. Menurut Tirtawinata (2006), pada bayi, anak-anak dan remaja, protein sangat diperlukan untuk tumbuh kembang seperti menambah tinggi dan berat badan serta perkembangan psikomotoriknya. Sedangkan anak yang menderita infeksi saluran pernafasan akan berdampak pada nafsu makan yang menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam, dengan demikian berat badan anak akan cepat turun, sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus (Supariasa 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan antara status gizi anak dengan status gizi ibu. Status gizi ibu dapat mempengaruhi aktivitas pengasuhan, yang akhirnya akan mempengaruhi kemampuan ibu dalam mengasuh anaknya, pengasuhan tersebut dapat berupa pengasuhan dalam pemberian makan maupun pengasuhan psikososial dan pemberian stimulasi untuk anak. Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks PB/U Pada status gizi berdasarkan indeks PB/U, setelah dilakukan uji bivariat menggunakan chi-square diketahui bahwa tidak ada variabel yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan indeks PB/U (p>0.05), demikian halnya dengan hasil uji regresi logistik yang menunjukan bahwa tidak ada variabel, yang secara 67 siginifkan berpengaruh terhadap status gizi berdasarkan indeks PB/U (p>0.05). Tidak adanya variabel yang mempengaruhi status gizi berdasarkan indeks PB/U dapat dijelaskan oleh nilai Nagelkerke R Square yaitu 0.595 pada uji regresi logistik, yang mengindikasikan bahwa hanya 59.5% status gizi berdasarkan indeks PB/U dipengaruhi oleh seluruh variabel bebas yang diuji tingkat konsumsi (energi dan protein) bayi, status kesehatan bayi (ISPA dan diare), pola asuh psikososial, pola asuh pemberian makan, status pemberian ASI eksklusif, dukungan suami terhadap pemberian ASI, status gizi ibu, tingkat konsumsi (energi dan protein) ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, pendidikan ayah dan pendidikan ibu (Lampiran 2). Hal ini diduga karena umur sampel yang masih muda dan rentangnya yang pendek (bayi usia 3 sampai 10 bulan), dan berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan terlihat pada waktu yang lama. Meskipun demikian status gizi pada saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anak-anak bahkan masa dewasa (Winarno 1990). Pencapaian status gizi yang baik, didukung oleh konsumsi pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi, bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu. Faktor yang berpengaruh terhadap Perkembangan Bayi Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan (p<0.005) dengan perkembangan bayi adalah status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (p=0.000), indeks BB/PB (p=0.012), penyakit diare (p=0.001), pola asuh psikososial (p=0.001) dan pendidikan ibu (p=0.001). Setelah dilakukan uji regresi logistik berganda menunjukan bahwa faktor status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U dan pendidikan ibu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan bayi (Tabel 36). Nilai OR untuk faktor status gizi bayi berdasarkan BB/U adalah 21.665 (95% CI: 1.386-338.618) (Lampiran 3), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi yang berstatus gizi kurang dengan indeks BB/U mempunyai kecenderungan untuk memiliki perkembangan yang kurang optimal 21.665 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang berstatus gizi baik dengan indeks BB/U. Nilai OR untuk faktor pendidikan ibu adalah 10.176 (95% CI: 1.942-53.330), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi yang ibunya berpendidikan rendah mempunyai kecenderungan untuk memiliki bayi dengan 68 perkembangan yang kurang optimal 10.176 kali lebih besar dibandingkan bayi yang ibunya berpendidikan tinggi. Tabel 35 Hasil uji regresi logistik perkembangan bayi Peubah Status gizi (BB/U): 1=Baik 0=Tidak baik Status gizi (BB/PB): 1=Baik 0=Tidak baik Penyakit Diare: 1=Tidak menderita 0=Menderita Pola asuh psikososial: 1=Baik 0=Tidak baik Pendidikan ibu: 1=Baik 0=Tidak baik Konstanta *signifikan p<0.05 faktor-faktor yang 95.0% C.I mempengaruhi Exp (β) = OR Lower Upper 21.665 1.386 338.618 0.028* 2.166 0.516 9.087 0.291 3.517 0.773 15.997 0.104 2.233 0.276 18.086 0.452 10.176 1.942 53.330 0.006* 0.005 Sig. 0.002 Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2002) yang membuktikan terdapat hubungan yang nyata antara status gizi berdasarkan BB/U dengan perkembangan kognitif pada anak bawah dua tahun. Disebutkan juga bahwa anak yang mengalami keterhambatan pertumbuhan baik berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U memiliki perkembangan kognitif yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami hambatan pertumbuhan. Status gizi yang tidak normal akibat kekurangan gizi pada saat bayi, akan berpengaruh terhadap anatomi dan faal otak. Hal senada juga dikemukakan oleh Malla (2002), menurutnya anak yang memperoleh status gizi yang baik saat usia dua tahun pertama terbukti memperoleh nilai tes kognitif yang lebih baik dari pada anak yang berstatus gizi rendah, keadaan kurang gizi juga mengakibatkan anak tidak aktif dan apatis. Dalam tahap perkembangan psikomotorik, bayi usia 3 sampai 10 bulan mulai banyak aktifitasnya seperti diantaranya tengkurap, belajar duduk sendiri, dan belajar berdiri. Bagi bayi yang tidak normal status gizinya, maka bayi tidak akan mampu melakukan aktifitas tersebut pada umur yang sama, artinya perkembangan psikomotornya dapat juga terhambat. Menurut Satoto (1990), tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan menjamin diberikannya stimulasi yang mendukung perkembangan anak-anaknya 69 dibandingkan orangtua dengan tingkat pendidikan yang rendah, disamping itu ibu yang berpendidikan tinggi secara tidak langsung memiliki kemampuan untuk menyediakan mainan untuk anak tepat sesuai umur yang bermanfaat menunjang perkembangan motoriknya. Sedangkan orangtua yang berpendidikan rendah memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak yang kurang dan kebiasaan mengasuh anak sebagian besar didapat dari orangtuanya terdahulu atau tetangganya. Hai ini didukung oleh hasil penelitain yang dilakukan oleh Yuliana (2003) bahwa tingkat pendidikan ibu mempengaruhi tingkat perkembangan psikomotor. Pendidikan orangtua terutama pendidikan ibu berperan dalam penyusunan pola makan keluarga maupun dalam pola pengasuhan. Ibu yang memiliki pendidikan lebih rendah akan lebih semangat untuk mencari dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dalam pengasuhan anaknya (Khomsan 2002). Pada variabel penyakit diare diketahui berhubungan dengan perkembangan bayi (uji chi-square), namun tidak berpengaruh signifikan. Menurut Pudjiadi (2001), diare dapat mengurangi jumlah makanan yang dapat diserap karena transit time yang memendek. Diare yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan hilangnya berbagai elektrolit, vitamin, dan protein, sehingga kondisi tersebut akhirnya dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan anak. Selain itu juga anak yang sakit cenderung tidak aktif yang akhirnya berdampak pada penurunan perkembangannya (Satoto 1990). Variabel pola asuh psikososial tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan bayi, namun berdasarkan analisis chi-square didapat bahwa pola asuh psikososial berhubungan dengan perkembangan. Jika diperdalam pola asuh psikososial pada masing-masing sub-skala yang dianalisis dengan chisquare, maka sub-skala yang berhubungan dengan perkembangan bayi adalah tanggap rasa dan kata atau penerimaan emosi anak (p=0.000), penerimaan terhadap perilaku anak (p=0.000), keterlibatan ibu terhadap anak (p=0.003) dan kesempatan variasi asuhan anak (p=0.000). Kemudian dilakukan uji regresi logistik, hasil menunjukkan bahwa sub-skala tanggap rasa dan kata berpengaruh signifikan (p=0.026) terhadap perkembangan bayi dengan OR= 4.910 (95% CI: 1.210-19.923) (Lampiran 3), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan pola asuh psikososial yang kurang khususnya mengenai tanggap rasa dan kata atau peneriamaan emosi anak mempunyai kecenderungan untuk memiliki bayi dengan perkembangan yang kurang optimal 4.910 kali lebih besar dibandingkan 70 bayi dengan pola asuh psikososial yang baik khususnya mengenai tanggap rasa dan kata. Hal ini diduga karena ibu belum memahami arti penting stimulasi pola asuh psikososial. Dengan demikian diperlukan peran kader dalam mensosialisasikan stimulasi pola asuh guna mengoptimalkan perkembangan bayi. Home Observation for Measurement of the Environment Inventory (HOME) dianggap sebagai pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur lingkungan pengasuhan di rumah. HOME dapat menjelaskan peran keluarga dalam pengasuhan anak di rumah. Peranan keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin perkembangan yang optimal. Menurut Patmonodewo (1993), sikap tanggap rasa dan kata yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak secara emosional adalah salah satu faktor untuk mendapatkan perkembangan anak yang optimal.