Factors Affecting Infant Growth And Development In

advertisement
43
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Kota Bogor salah satu kota di Provinsi Jawa Barat dan wilayahnya terletak
di tengah-tangah wilayah Kabupaten Bogor. Kota Bogor terletak di antara
106°43’30”BT-106°51’00”BT
dan
30’30”LS-6°41’00”LS
serta
mempunyai
ketinggian rata-rata minimal 190 m, maksimal 350 m dan jarak dari Kota Jakarta
± 56 km.
Luas wilayah Kota Bogor yaitu 118.50 km² dan terdistribusi sebagian besar
kedalam kegiatan penggunaan lahan permukiman (73.79%), dan sisanya
perdagangan dan jasa (3.69%), taman dan lapangan (2.89%), pertanian (2.40%),
industri (1.42%) dan lain-lain. Jumlah penduduk Kota Bogor berdasarkan hasil
registrasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada tahun 2009 sebanyak
1.061.440 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870
jiwa. Laju pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan dari 2.96% pada
tahun 2007 menjadi 5.06% pada tahun 2008 dan kepadatan penduduk mencapai
8.066 jiwa/km². Serta angka pertumbuhan penduduk mencapai 2.79%.
Berdasarkan analisis situasi derajat kesehatan masyarakat terlihat bahwa
Kota Bogor telah menunjukkan situasi yang relatif baik dan berada di atas ratarata Kota / Kabupaten lain di Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama
derajat kesehatan yaitu pada tahun 2009, Angka Harapan Hidup penduduk Kota
Bogor mencapai 68.77 tahun, Angka Kematian Bayi (AKB) 26.23/1000 kelahiran
hidup (Jawa Barat 39/1000 kelahiran hidup), Angka Kematian Ibu (AKI) wilayah
Bogor, Depok, Bekasi 296.17/1000 kelahiran hidup (Jawa Barat 321/1000
kelahiran hidup) (Dinkes Kota Bogor 2010).
Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor relatif stabil dengan
pertumbuhannya yang cukup baik. Sektor terbesar yang berkontribusi dalam
PDRB adalah perdagangan, hotel dan restoran sebesar 39.16%, kemudian
sektor industri pengolahan sebesar 25.08%, disusul sektor pengangkutan dan
komunikasi sebesar 13.26%, dimana sektor-sektor tersebut sangat dipengaruhi
oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat (Dinkes Kota Bogor 2010).
Secara administratif pemerintahan Kota Bogor terbagi dalam enam
kecamatan yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor
Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sereal, dan mempunyai 68 kelurahan. Batasbatas administratif Kota Bogor sebagai berikut: bagian selatan berbatasan
44
dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor; bagian
timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten
Bogor; bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan
Bojong Gede dan Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor; bagian barat
berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor (BPS 2008).
Lokasi penelitian ini berada di wilayah Kecamatan Bogor Utara, hal ini
ditetapkan secara purposive berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan
sebelumnya dalam metodelogi penelitian yaitu mempunyai prevalensi balita
dengan gizi kurang tertinggi di Kota Bogor dan terjadi peningkatan prevalensi gizi
kurang dari tahun 2009 ke tahun 2010, di wilayah kerja Puskesmas Warung
Jambu yang membawahi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Ciluar, Kelurahan
Kedung Halang dan Kelurahan Ciparigi.
Gambaran Umum Contoh
Umur ibu yang diambil dalam penelitian ini adalah yang berusia 20-40
tahun yang kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan
kelompok umur menurut kelompok pada Angka Kecukupan Gizi yaitu rentang
usia 20-29 tahun dan 30-40 tahun. Dari hasil penelitian diketahui sebagian besar
(53.1%) umur ibu berkisar antara 20-29 tahun, dengan distribusi paling banyak
berumur 29 tahun (9.4%). Begitupun
pada umur bayi yang diambil dalam
penelitian ini adalah yang berusia 3-10 bulan, kemudian dikelompokkan menjadi
empat kategori berdasarkan tingkat perkembangan bayi yaitu rentang usia 3
bulan, 4-6 bulan, 7-9 bulan dan 10 bulan (Depkes 2006). Bayi berumur antara 46 bulan mempunyai persentase terbesar yaitu 40.6% (Tabel 10), dengan
distribusi terbanyak pada bayi berumur 6 bulan dan 10 bulan dengan masingmasing persentase sebesar 18.8%. Persentase terbesar bayi menurut jenis
kelamin yaitu terdistribusi pada laki-laki (51.6%), serta sebagian besar (37.5%)
contoh merupakan anak kesatu dan anak kedua.
45
Tabel 10 Distribusi ibu dan bayi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan urutan
kelahiran
Karakteristik
Umur Ibu :
20-29 tahun
30-40 tahun
Total
Umur Bayi :
3 bulan
4-6 bulan
7-9 bulan
9 bulan
Total
Jenis kelamin :
Laki-laki
Perempuan
Total
Urutan kelahiran (ke-):
1 (satu)
2 (dua)
3 (tiga)
4 (empat)
5 (lima)
Total
Jumlah
n
%
34
30
64
53.1
46.9
100.0
3
26
23
12
64
4.7
40.6
35.9
18.8
100.0
33
31
64
51.6
48.4
100.0
24
24
8
7
1
64
37.5
37.5
12.5
10.9
1.6
100.0
Karakteristik Keluarga
Pendidikan Orangtua
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan
dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumber daya manusia sangat
tergantung pada kualitas pendidikan. Pada penelitian ini pendidikan orangtua
dikelompokan menjadi rendah (tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SLTP) dan
tinggi (tamat SLTA, dan tamat Akademik/PT).
Persentase pendidikan kepala keluarga atau ayah mempunyai jumlah
yang berbeda, sebanyak 54.7% masuk dalam kategori
tinggi, sedangkan
kategori rendah sebanyak 45.3%. Pendidikan ayah pada umumnya bervariasi
mulai dari yang tidak tamat SD sampai dengan lulusan perguruan tinggi, dengan
distribusi tertinggi tamatan SLTA atau sederajat (50%) (Tabel 11). Sedangkan
pada pendidikan ibu, sebagian besar termasuk dalam kategori rendah (64.1%)
dengan distribusi persentase bervariasi mulai dari tidak tamat SD sampai lulusan
perguruan tinggi. Sedangkan persentase pendidikan ibu dalam kategori tinggi
yaitu sebesar 35.9% (Tabel 11).
46
Status Bekerja Ibu
Pekerjaan orangtua berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi
keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima. Dampak
Ibu yang bekerja salah satunya dapat mempengaruhi pemberian ASI terutama
ASI eksklusif. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar (89.1%) ibu
tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga dan sisanya (10.9%) bekerja.
Ibu yang bekerja sebagian besar menjadi karyawan pabrik dan sebagian kecil
berwiraswasta.
Tabel 11 Distribusi contoh berdasarkan pendidikan dan pekerjaan orangtua
Karakteristik keluarga
Pendidikan :
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Akademik
Perguruan Tinggi
Total
Pekerjaan :
Pedagang/wiraswasta
PNS/ABRI/Polisi
Jasa
Karyawan swasta
Buruh
Ibu rumah tangga
Total
Ayah
Ibu
n
%
n
%
1
10
18
32
2
1
64
1.6
15.6
28.1
50.0
3.1
1.6
100.0
5
16
20
19
2
2
64
7.8
25.0
31.2
29.7
3.1
3.1
100.0
13
5
8
27
11
0
64
20.3
7.8
12.5
42.2
17.4
0.0
100.0
1
0
0
6
0
57
64
1.6
0.0
0.0
9.4
0.0
89.1
100.0
Besar Keluarga
Besar keluarga sangat penting pengaruhnya dan dapat dilihat dari
terbatasnya bahan makanan yang tersedia terutama pada keluarga yang
berpendapatan rendah dan mempunyai jumlah anggota keluarga yang besar.
Pada penelitian rata-rata jumlah keluarga contoh adalah 5.3 orang dengan
kisaran antara 3 sampai 10 orang. Data keluarga besar dikategorikan menjadi
dua kelompok yaitu keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang
sebanyak 75% dan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang
sebanyak 25% (Tabel 12).
Besarnya persentase keluarga lebih dari empat orang disebabkan di
daerah penelitian masih terdapat keluarga yang tidak hanya didiami oleh
keluarga inti saja, namun terdapat juga kakek, nenek, dan anggota keluarga
lainnya yang ikut di dalam keluarga tersebut. Bentuk keluarga yang besar ini
47
mempunyai keuntungan dan kerugian bagi keluarga itu sendiri. Diantara
keuntungannya yaitu adanya orang lain yang membantu keluarga inti untuk
menjaga maupun merawat bayi. Sedangkan kerugiannya, apabila sumberdaya
keluarga terbatas maka akan mempengaruhi ketersediaan bahan pangan dan
kepadatan dalam rumah juga akan mengganggu kesehatan bayi dengan
berbagai macam penyakit infeksi.
Tingkat Pendapatan
Salah satu ukuran tingkat ekonomi adalah tingkat pendapatan keluarga.
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer
maupun sekunder (Soetjiningsih 1995). Tingkat pendapatan dalam penelitian ini
diketahui melalui pendekatan seluruh pengeluaran anggota keluarga baik
pengeluaran untuk pangan maupun untuk non pangan, kemudian dijumlahkan
dan dibagi seluruh jumlah anggota keluarga sehingga didapat pengeluaran
perkapita per bulan.
Pengeluaran yang diperoleh seluruh anggota keluarga adalah berkisar
antara Rp.886.500.00 sampai Rp.3.930.000.00 dengan rata-rata pengeluaran
keluarga per bulan Rp.1.980.006.00±Rp.676.435.00. Sedangkan rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan yaitu Rp.386.348±Rp.136.773.00. Menurut BPS
Kota Bogor tahun 2011, garis kemiskinan Kota Bogor adalah sebesar
Rp.256.414.00. Oleh karena itu pada penelitian ini pengeluaran perkapita
perbulan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu miskin jika tingkat
pengeluaran kurang dari Rp. 256.414.00 dan tidak miskin jika pengeluaran
perkapita perbulan lebih dari Rp. 256.414.00. Pada Tabel 12 menunjukkan
bahwa sebagian besar keluarga (82.8%) adalah keluarga tidak miskin,
sedangkan sisanya sebanyak 17.2% termasuk keluarga miskin.
Tabel 12 Distribusi contoh berdasarkan besar keluarga dan pendapatan
perkapita perbulan
Kategori
Besar keluarga:
1. Keluarga Kecil : ≤4 orang
2. Keluarga Besar : >4 orang
Total
Pendapatan:
1. ≤ Rp. 256.414.00 (miskin)
2. >Rp. 256.414.00 (tidak miskin)
Total
Jumlah
n
%
16
48
64
25.0
75.0
100.0
11
53
64
17.2
82.8
100.0
48
Intik Energi dan Protein Ibu Menyusui
Tingkat Konsumsi Energi Ibu Menyusui
Kebutuhan energi seseorang berbeda-beda (bervariasi) berdasarkan
kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu, termasuk ibu menyusui.
Pada penelitian ini, konsumsi zat gizi ibu dikumpulkan dengan metode recall
selama 2x24 jam. Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka
kecukupan energi ibu menyusui bervariasi, yaitu untuk ibu menyusui usia 19-29
tahun pada enam bulan pertama membutuhkan energi 2400 kkal dan menyusui
pada enam bulan berikutnya membutuhkan energi 2450 kkal. Sedangkan untuk
ibu menyusui usia 30-49 tahun pada 6 bulan pertama membutuhkan energi 2300
kkal dan untuk menyusui pada 6 bulan berikutnya membutuhkan 2350 kkal.
Tingkat konsumsi energi dihitung dari persentase konsumsi dibagi dengan angka
kecukupan energi berdasarkan kelompok umur.
Hasil penelitian menunjukkan, secara keseluruhan rata-rata tingkat
konsumsi energi adalah 81.3±11.9% atau rata-rata konsumsi energi ibu
menyusui adalah 1933±266 kkal (Tabel 13), dengan konsumsi energi terendah
1197 kkal dan tertinggi 3025 kkal.
Tabel 13 Tingkat konsumsi energi dan rata-rata konsumsi energi ibu menyususi
berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur ibu
menyusui (tahun)
20-29 (6 bulan pertama)
20-29 (6 bulan kedua)
30-40 (6 bulan pertama)
30-40 (6 bulan kedua)
Total
Konsumsi energy
Tingkat konsumsi
Rata-rata
(% AKG)
konsumsi (kkal)
75.8
1819
76.8
1882
88.5
2036
85.2
2002
81.3
1933
Hasil recall 2x24 jam pada konsumsi energi ibu menyusui, ditemukan
persentase tertinggi tingkat konsumsi energi berada pada defisit ringan (35.9%),
sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi energi yaitu termasuk dalam
kategori kelebihan yaitu 1.6% (Tabel 14). Selama ibu tidak memiliki penyakit
yang mengharuskan ibu melakukan diet tertentu, maka tidak ada pantangan
makanan bagi ibu menyusui. Bila kebutuhan zat gizi mencukupi maka diharapkan
status gizinya juga akan baik.
49
Tabel 14 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi ibu
Energi
Kategori
Defisit berat: <70% AKG
Defisit sedang: 70-79% AKG
Defisit ringan: 80-89% AKG
Normal: 90-119% AKG
Kelebihan : ≥ 120% AKG
Total
n
8
21
23
11
1
64
%
12.5
32.8
35.9
17.2
1.6
100.0
Tingkat Konsumsi Protein Ibu
Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan protein
ibu menyusui berdasarkan umur tidak bervariasi, yaitu usia 20-40 tahun baik
pada enam bulan pertama maupun enam bulan kedua membutuhkan protein 67
g. Diketahui secara keseluruhan rata-rata tingkat konsumsi protein ibu
84.7±18.6% atau rata-rata konsumsi protein ibu menyusui adalah 56.8±12.5 g,
dengan konsumsi protein terendah 34.4 g dan tertinggi 104.5 g (Tabel 15).
Tabel 15 Tingkat konsumsi protein dan rata-rata konsumsi protein ibu menyusui
berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur ibu
menyusui (tahun)
20-29 (6 bulan pertama)
20-29 (6 bulan kedua)
30-40 (6 bulan pertama)
30-40 (6 bulan kedua)
Total
Konsumsi protein
Tingkat konsumsi
Rata-rata
(% AKG)
konsumsi (g)
79.9
53.3
78.6
52.6
93.0
62.3
95.9
64.3
84.7
56.8
Tabel 16 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (39.1%) tingkat
konsumsi protein ibu menyusui pada kategori defisit sedang, sedangkan
persentase terendah tingkat konsumsi protein ibu menyusui adalah termasuk
dalam kategori kelebihan yaitu sebanyak 4.7%.
Tabel 16 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein ibu
Kategori
Defisit berat: <70% AKG
Defisit sedang: 70-79% AKG
Defisit ringan: 80-89% AKG
Normal: 90-119% AKG
Kelebihan : ≥ 120% AKG
Total
Protein
n
10
25
7
19
3
64
%
15.6
39.1
10.9
29.7
4.7
100.0
50
Status Gizi Ibu
Status gizi ibu dihitung menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan
rumus berat badan (kg)/tinggi badan (m²). Analisis penelitian memperlihatkan
sebagian besar (75%) ibu menyusui mempunyai status gizi normal, diikuti
dengan status gizi kategori gemuk tingkat berat sebesar 10.9%. Distribusi status
gizi ibu menyusui dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 17, dengan nilai IMT
terendah yaitu 15.84 dan nilai IMT tertinggi yaitu 37.50 serta rata-rata IMT ibu
menyusui adalah 22.6±3.6.
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mudjajanto dan Sukandar (2007) di Kabupaten Cianjur, bahwa masih ditemukan
ibu menyusui dalam kategori kurus (ringan dan berat) sebesar 10%, dan kategori
normal 74% dan kategori gemuk (ringan dan berat) sebesar 16%.
Tabel 17 Distribusi contoh berdasarkan status gizi ibu
Jumlah
Status Gizi Ibu (IMT)
n
1
4
48
4
7
64
Kurus (tingkat berat)
Kurus (tingkat ringan)
Normal
Gemuk (tingkat ringan)
Gemuk (tingkat berat)
Total
%
1.6
6.2
75.0
6.2
10.9
100.0
Dukungan Suami terhadap Pemberian ASI
Dari semua dukungan bagi ibu menyusui, dukungan sang ayah adalah
dukungan yang paling berarti bagi ibu. Ayah dapat berperan aktif dalam
keberhasilan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif (Pisacane et al. 2005).
Variabel dukungan suami dalam pemberian ASI menggunakan 13 pertanyaan
yang kemudian diberi skor dan dibagi dalam kategori kurang (kurang dari ratarata skor) dan kategori baik (lebih dari rata-rata skor).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (57.8%) dukungan
suami terhadap pemberian ASI yaitu pada kategori kurang, sisanya (42.2%)
masuk dalam kategori baik (Tabel 18). Salah satu dukungan yang diberikan
suami
yaitu
dapat
berperan
dengan
memberikan
bantuan fisik
untuk
meringankan beban tugas rumah tangga dan juga memberikan dukungan
psikologis untuk meningkatkan kerja hormon yang berperan dalam produksi dan
pengeluaran ASI (Sears & Sears 2003).
51
Tabel 18 Distribusi contoh berdasarkan dukungan suami terhadap pemberian
ASI
Dukungan suami
Kurang
Baik
Total
Jumlah
n
37
27
64
%
57.8
42.2
100.0
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Clinical Pediatric pada tahun 1994
yang dikutip oleh Roesli (2004), diketahui bahwa sebanyak 98% keberhasilan
menyusui dikarenakan suami mengetahui peranannya. Oleh karena itu
keterlibatan ayah dalam keberhasilan menyusui sangat besar berupa pemberian
dukungan-dukungan.
Status Pemberian ASI Eksklusif
ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, karena mengandung semua
zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk pertumbuhan dan kesehatan bayi sampai
usia enam bulan. Menurut Muchtadi (2002), ASI juga memberikan manfaat
lainnya yaitu untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan psikomotor yang
terjadi sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI
eksklusif akan sangat mendukung. Studi meta analisis yang dilakukan oleh
Anderson, et al (1999) menunjukkan pemberian ASI mempunyai dampak
signifikan terhadap perkembangan neurologi sejak dini pada bayi. Keuntungan
yang terkait fungsi kognitif menunjukkan secara positif dan signifikan berkorelasi
dengan prestasi belajar, kinerja pekerjaan, prestasi kerja, dan pendapatan serta
berbanding terbalik dengan tingkat kenakalan. Kenaikan IQ 3.16 (95% CI: 2.353.98) poin (seperlima dari SD) 100-103 menjadikan seorang individu lebih
berpotensi yang dikaitkan dengan prestasi belajar, prestasi kerja, dan
penyesuaian dalam lingkungan sosial (Hunter JE. 1986; Anderson. et.al. 1999).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 9.4% bayi mendapatkan
ASI eksklusif dan sebagian besar (90.6%) bayi tidak mendapat ASI eksklusif
(Tabel 19). Berdasarkan data SDKI cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi
usia 0-5 bulan menurun, pada tahun 2002 mencapai 40% sedangkan pada tahun
2007 hanya mencapai 32%.
52
Tabel 19 Distribusi contoh berdasarkan status pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI
Jumlah
Tidak eksklusif
Eksklusif
n
58
6
%
90.6
9.4
Total
64
100.0
Rendahnya
jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif dikemukakan
berbagai macam alasan diantaranya karena bayi menangis terus atau rewel
sehingga pembuat ibu berfikir walaupun sudah diberi ASI bayi masih merasa
lapar karena ASI-nya kurang. Alasan berikutnya yaitu ibu merasa ASI-nya encer,
ASI pada hari pertama tidak keluar, ibu bekerja dan lain-lain. Sedangkan ibu
yang tidak memberikan kolostrum memberikan alasan karena melahirkan dengan
Caesar/tindakan operasi sehingga sulit untuk menyusui, bayi diinkubator dan
lain-lain. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif juga terdapat dilaporan
hasil penelitian Herawati dan kawan-kawan (2007) di Kabupaten Bogor, bahwa
hanya 27.6% bayi yang mendapat ASI saja (ASI eksklusif).
Gangguan proses pemberian ASI pada prinsipnya bermula dari
kurangnya pengetahuan, kurang rasa percaya diri, kurangnya dukungan keluarga
serta kurangnya kualitas dan kuantitas gizi. Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang tidak bisa menyusui, salah satunya adalah ASI tidak keluar. Air susu
yang tidak keluar dapat dipengaruhi antara lain oleh stres mental sampai
penyakit fisik, termasuk kekurangan gizi (tingkat berat) (Sulistyoningsih 2011).
Menurut Roesli (2000), walaupun banyak ibu yang merasa ASI-nya kurang, tetapi
hanya 2-5% ibu yang secara biologis memang kurang produk ASI-nya.
Selebihnya 95-98% ibu dapat menghasilkan ASI yang cukup untuk bayinya.
Sehingga kekhawatiran ibu bahwa ASI-nya tidak cukup merupakan perasaan
takut yang tidak beralasan.
Pola Asuh Pemberian Makan Bayi
Pola asuh pemberian makan bayi pada penelitian ini meliputi pemberian
ASI, kolostrum, MP-ASI, dan PASI. Pola asuh pemberian makan bayi yang
diberikan oleh ibu pada penelitian ini dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
kurang dan baik. Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan
gizi yang dikonsumsi, sementara itu kualitas makanan dan gizi sangat tergantung
pada pola asuh pemberian makan anak yang diterapkan oleh keluarga terutama
53
oleh ibu. Tabel 20 menunjukkan, sebagian besar pola asuh pemberian makan
termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 56.2% dan sisanya 43.8% masuk
dalam kategori kurang.
Tabel 20 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh pemberian makan bayi
Pola Asuh Pemberian makan bayi
Kurang
Baik
Total
Jumlah
n
28
36
64
%
43.8
56.2
100.0
Dilihat dari pertanyaan pola asuh pemberian makan, jawaban yang
diberikan oleh ibu berbeda-beda pada setiap bayi. Pemberian kolostrum atau ASI
yang pertama kali keluar mempunyai cakupan yang sangat tinggi yaitu sebanyak
85.9% dan hanya 14.1% bayi tidak diberikan kolostrum (Tabel 21). Persentase
pemberian kolostrum tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan laporan hasil
Riskesdas 2010 baik Jawa Barat maupun di tingkat Nasional yang hanya 73%
dan 74.7% (Depkes 2010c). Sebagian besar ibu (85.9%) memberikan ASI pada
bayi dengan tidak dijadwalkan atau setiap kali bayi meminta. Diketahui bahwa
sebagian besar ibu memberikan makanan/minuman lain selain ASI sejak dini,
sebanyak 31.2% bayi mendapat makanan/minuman pada usia kurang dari satu
bulan dan 15.6% pada usia dua bulan. Dari 58 bayi (90.6%) yang telah
mendapatkan makanan dan minuman, sebagian besar jenis makanan/minuman
yang diberikan berupa susu formula (43.8%), bubur kemasan (23.4%), pisang
(17.2%) dan sisanya (15.7%) terdistribusi pada madu, tim, bubur ayam, bubur
sum-sum, biskkuit serta air tajin.
Tabel 21 Distribusi contoh berdasarkan praktek pola asuh pemberian makan
Pertanyaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemberian ASI eksklusif
Pemberian kolostrum
Pemberian ASI tidak dijadwalkan
Kesesuaian jenis MP-ASI yang diberikan
MP-ASI buatan rumah
MP-ASI yang diberikan bervariasi
Memberikan susu formula
Praktek pola asuh makan
n
%
6
9.4
55
85.9
55
85.9
47
73.4
23
35.9
36
56.2
25
39.1
Jenis MP-ASI yang diberikan sebagian besar (73.4%) tidak sesuai
dengan umur bayi dan didapat dengan cara membeli (64.1%). Menurut
Februhartanty (2009) pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan umur bayi
yaitu 6-8 bulan diberikan makanan lumat dan 9-11 bulan diberikan makanan semi
54
padat atau lembek. Lebih lanjut dari hasil penelitian ini, hanya 56.2% bayi
diberikan MP-ASI yang bervariasi. Disamping bayi masih diberikan ASI, sebesar
39.1% bayi juga diberikan susu formula (Tabel 21). Ibu memberikan bebagai
macam alasan mengapa memberikan susu formula, diantaranya sebagian besar
mengatakan bahwa ibu merasa ASI yang dimiliki kurang atau tidak mencukupi
bagi bayi sehingga pemberian susu formula dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) mengenai pola
menyusui dan status gizi ibu menyusui di Indonesia, menunjukkan sebanyak
39.7% bayi-anak umur 0-23 bulan mendapat ASI predominan (ASI dan cairan
lain selain susu formula) dan sebanyak 60.3% bayi-anak yang mendapat ASI
parsial (ASI dan makanan/minuman lain dalam cairan, semi padat maupun
padat).
Pola Asuh Psikososial (HOME Invetory)
Data pola asuh psikososial meliputi penerimaan terhadap tanggap rasa
dan kata-kata, penerimaan terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan
anak, penyediaan alat permainan, keterlibatan ibu terhadap anak, dan
kesempatan yang diperoleh anak melalui stimulasi yang diberikan orang tua
(Cadwell dan Bradley (1979); Madanijah (2003)). Pola asuh psikososial untuk
mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua digunakan
untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun).
Tabel 22 menunjukkan bahwa, sebagian besar responden (56.2%)
termasuk dalam kategori sedang dan hanya 20.3% responden masuk dalam
kategori tinggi, terkait dengan pola asuh psikososial terhadap anaknya. Hasil ini
masih lebih baik jika dibandingakan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana tahun
2003 di Kota Bogor yaitu sebagian besar pola asuh psikososial yang tergolong
kurang (57.7%) dan hanya 1.1% yang tergolong baik. Menurut Karyadi (1985),
pengasuhan dipengaruhi oleh karakteristik pengasuh, antara lain status bekerja
ibu, pendidikan formal, serta pengetahuan tentang gizi dan pengasuhan.
Tabel 22 Distribusi contoh berdasarkan pola asuh psikososial
Pola asuh psikososial
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Jumlah
n
15
36
13
64
%
23.4
56.2
20.3
100.0
55
Menurut Soetjiningsih (1995), pola asuh psikososial adalah perangsangan
yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam
tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan
lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat
stimulus, sehingga dengan tingginya pemberian stimulus psikososial maka
perkembangan anak khususnya tingkat perkembangan sosial akan lebih baik.
Distribusi pola asuh psikososial yang terdiri dari enam sub-skala
mempunyai rincian sebagai berikut. Pada penerimaan terhadap tanggap rasa
dan kata-kata (11 item). Pada penerimaan terhadap perilaku anak (8 item).
Pengorganisasian lingkungan anak (6 item). Penyediaan alat-alat permainan (9
item). Keterlibatan ibu terhadap anak (6 item), yang terakhir, kesempatan variasi
asuhan anak (5 item).
Berdasarkan persentase skor, persentase skor terbesar dari enam
subskala HOME adalah pengorganisasaian lingkungan anak yaitu 70.6%.
sementara itu, persentase skor terendah adalah penerimaan terhadap perilaku
anak yaitu 44.3%. Hal
ini
berarti
sebagian
besar
ibu
sudah
mampu
melaksanakan subskala pengorganisasian lingkungan anak yaitu dengan
mengajak anak untuk pergi kepasar, toko atau warung maupun pergi
meninggalkan rumah. Rendahnya subskala penerimaan terhadap perilakua anak
menandakan masih ada ibu yang mempunyai perilaku negatif seperti melarang
anaknya
bermain
baik
dengan
kata-kata
maupun
tindakan,
maupun
menunjukkan kekecewaannya dengan kata-kata. Hal ini diduga karena
kurangnya pengetahuan orang tua karena melihat anaknya yang banyak tingkah
disebabkan keingintahuan anak ataupun karena anak belum dapat melakukan
sesuatu sehingga ibu menjadi kecewa.
Pada umumnya semakin tinggi skor HOME, semakin baik perkembangan
anak. Walaupun penemuan-penemuan masing-masing studi sangat bervariasi,
namun
penemuan-penemuan
memperlihatkan
masing-masing
sub-skala
berkorelasi positif dengan IQ dan stimulasi psikososial merupakan bagian dari
intervensi dini yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak (Padmonodewo
1993; Anwar 2002).
56
Status Kesehatan Bayi
Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak balita terutama bayi sangat
rentan terhadap penyakit infeksi. Hal ini akhirnya akan mengakibatkan anak
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Pada umumnya bayi
pernah menderita penyakit ISPA dan diare dalam satu bulan terakhir. Penyakit
ISPA ditandai dengan gejala batuk, pilek dan demam, sebanyak 57.8% bayi
pernah menderita. Sedangkan untuk penyakit diare, sebanyak
39.1% bayi
pernah menderita diare (Tabel 23).
Pada tahun 2009, dari sepuluh penyakit utama yang ditemukan di
Puskesmas di Kota Bogor, ISPA merupakan penyakit dengan persentase
tertinggi dibandingkan penyakit lainnya, sedangkan penyakit diare menempati
urutan ketiga untuk golongan umur 29 hari sampai 1 tahun (Dinkes Kota Bogor
2010).
Tabel 23 Distribusi contoh berdasarkan status kesehatan bayi (ISPA dan diare)
Kategori
Menderita
Tidak menderita
Total
ISPA
n
37
27
64
Diare
%
57.8
42.2
100
n
25
39
64
%
39.1
60.9
100.0
Intik Energi dan Protein Bayi
Tingkat Konsumsi Energi Bayi
Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada umur, jenis
kelamin dan berat badan seseorang. Untuk terpenuhinya kebutuhan zat gizi,
seseorang harus makan, bila kurang makan maka kemungkinan seseorang akan
kekurangan zat gizi. Status gizi kurang dapat disebabkan oleh kurangnya
konsumsi pangan baik dalam jumlah maupun mutunya atau oleh status
kesehatannya (Suhardjo 2003).
Pada penelitian ini cara mengumpulan data konsumsi energi bayi sama
dengan cara pengumpulan data konsumsi zat gizi ibu menyusui yaitu
dikumpulkan dengan metode recall selama 2x24 jam, melalui wawancara
langsung dengan ibunya. Data konsumsi pangan bayi meliputi jenis dan jumlah
pangan yang dikonsumsi baik dari ASI, susu formula maupun MP-ASI. Sesuai
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan energi bayi usia 3-10
bulan bervariasi, yaitu usia 0-6 bulan membutuhkan energi 550 kkal, sedangkan
57
usia 7-12 bulan membutuhkan energi 650 kkal. Tabel 24 menunjukkan, secara
umum rata-rata konsumsi energi bayi adalah 606±127 kkal atau rata-rata tingkat
konsumsi energi adalah 100±19%, dengan konsumsi energi terendah 336 kkal
dan tertinggi 1012 kkal.
Tabel 24 Tingkat konsumsi energi dan rata-rata konsumsi energi bayi
berdasarkan kelompok umur
Konsumsi energi
Tingkat konsumsi
Rata-rata
(% AKG)
konsumsi (kkal)
98.3
540
101.7
661
100.0
606
Kelompok umur bayi
3-6 bulan
7-10 bulan
Total
Persentase tertinggi tingkat konsumsi energi bayi berada pada kategori
normal yaitu sebesar 71.9%, sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi
energi adalah termasuk dalam kategori defisit berat yaitu sebesar 1.6%.
Tabel 25 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi
Jumlah
Kategori
Defisit berat: <70% AKG
Defisit sedang: 70-79% AKG
Defisit ringan: 80-89% AKG
Normal: 90-119% AKG
Kelebihan : ≥ 120% AKG)
Total
n
1
6
6
46
5
64
%
1.6
9.4
9.4
71.9
7.8
100
Rata-rata kecukupan energi balita dari hasil laporan Riskesdas untuk
Jawa Barat dan Nasional menunjukkan angka yang lebih tinggi dan termasuk
dalam kategori baik. Untuk Jawa Barat rata-rata kecukupan konsumsi energi
balita yaitu 102±36% dan untuk tingkat Nasional 102±38%. Masukkan energi dan
protein adalah salah satu determinan kuat yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan anak (Satoto 1990). Kekurangan energi dan protein dapat
menyebabkan
pertumbuhan
dan
perkembangan
anak
terganggu
dan
menyebabkan anak menjadi rewel, tubuhnya lebih kecil dan kurang aktif (Pollit
2000).
Tingkat Konsumsi Protein Bayi
Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), angka kecukupan protein
bayi berdasarkan umur bervariasi. Angka kecukupan protein bayi usia 0-6 bulan
membutuhkan 10 g, sedangkan untuk bayi usia 7-12 bulan membutuhkan 16 g
58
protein. Tabel 26 menunjukkan, secara umum rata-rata konsumsi protein adalah
13.6±3.9 g atau rata-rata tingkat konsumsi protein adalah 103.4±30.5%.
Tabel 26 Tingkat konsumsi protein dan rata-rata konsumsi protein bayi
berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur bayi
3-6 bulan
7-10 bulan
Total
Konsumsi protein
Tingkat konsumsi
Rata-rata
(% AKG)
konsumsi (g)
112.0
11.2
96.1
15.4
103.4
13.6
Persentase tertinggi tingkat konsumsi protein berada pada kategori
normal yaitu 46.9%, sedangkan persentase terendah tingkat konsumsi protein
bayi adalah termasuk dalam kategori defisit berat yaitu 6.2% (Tabel 27). Ratarata kecukupan konsumsi protein balita dari hasil laporan Riskesdas untuk Jawa
Barat dan Nasional menunjukkan angka yang lebih tinggi. Untuk Jawa Barat
konsumsi proteinnya yaitu 133.5±65.7% dan untuk tingkat Nasional 143.5±75.2%
(Depkes 2010c).
Tabel 27 Distribusi contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein
Jumlah
Kategori
Defisit berat: <70% AKG
Defisit sedang: 70-79% AKG
Defisit ringan: 80-89% AKG
Normal: 90-119% AKG
Kelebihan : ≥ 120% AKG)
Total
n
4
5
11
30
14
64
%
6.2
7.8
17.2
46.9
21.9
100
Status Gizi Bayi
Berat badan adalah parameter yang dapat memberikan gambaran massa
tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena adanya penyakit yang dapat menyebabkan berkurangnya
asupan makanan. Indeks BB/U dan BB/TB adalah indeks antropomentri yang
digunakan untuk menggambarkan status gizi saat ini (Supariasa 2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai Z-skor BB/U adalah
-0.74±1.23, dengan persentase gizi baik sebesar 78.1%, dan persentase bayi
yang bergizi buruk sebanyak 7.8% (Tabel 28). Rata-rata nilai Z-skor BB/PB
adalah -0.87±1.63, dengan persentase terbesar yaitu pada bayi yang termasuk
kategori normal (56.2%) dan sebesar 10.9% bayi dengan kategori sangat kurus.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil laporan Riskesdas Nasional tahun
59
2010 pada bayi usia 0-11 bulan yang menunjukkan bahwa sebanyak 82% bayi
berstatus gizi baik dan prevalensi untuk gizi buruk masih lebih rendah yaitu 4.4%
berdasarkan indeks BB/U. Sedangkan status gizi bayi usia 0-11 bulan
berdasarkan indeks BB/PB diketahui prevalensi gizi normal sebesar 62.3%,
untuk prevalensi balita yang sangat kurus masih lebih rendah yaitu 8.5% (Depkes
2010c).
Berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak sensitif terhadap masalah
kurang gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan akan terlihat pada waktu yang lama. Menurut Supariasa (2001), indeks
TB/U merupakan indeks antropometri yang digunakan untuk menggambarkan
status gizi masa lalu. Pada penelitian ini jumlah bayi yang PB/U normal jauh lebih
besar (87.5%) dibanding yang pendek (12.5%). Tidak jauh berbeda dengan
indeks BB/U dan BB/PB, indeks PB/U mempunyai nilai rata-rata Z-skor
-0.57±1.14. Hasil tersebut masih lebih baik jika dibandingkan dengan hasil
Riskesdas Nasional tahun 2010 yang menunjukkan prevalensi bayi usia 0-11
bulan yang normal hanya 69.9%, sedangkan sisanya terbagi hampir sama dalam
kategori pendek dan sangat pendek (Depkes 2010c).
Tabel 28 Distribusi contoh berdasarkan status gizi (BB/U, BB/PB dan PB/U)
Jumlah
Indikator Status Gizi
BB/U :
Gizi Buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Total
BB/PB :
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Total
PB/U :
Pendek
Normal
Total
n
%
5
6
50
3
64
7.8
9.8
78.1
4.7
100.0
7
18
36
3
64
10.9
28.1
56.2
4.7
100.0
8
56
64
12.5
87.5
100.0
Status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U menurut jenis kelamin,
diketahui bahwa persentase status gizi baik antara bayi laki-laki dan perempuan
hampir sama yaitu masing-masing 78.8% dan 77.4%, namun kejadian gizi
kurang lebih banyak ditemukan pada bayi perempuan (12.9%). Sedangkan
60
status gizi berdasarkan indeks BB/PB diketahui bayi dengan status gizi normal
lebih banyak pada bayi perempuan dibanding laki-laki dan untuk kategori kurus
lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki dibanding bayi perempuan. Untuk
status gizi berdasarkan indeks PB/U diketahui bayi yang normal lebih banyak
ditemukan pada bayi perempuan dibanding dengan bayi laki-laki (Tabel 29).
Tabel 29 Distribusi contoh berdasarkan status gizi menurut jenis kelamin
Status gizi
BB/U:
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Total
BB/PB:
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Total
PB/U:
Pendek
Normal
Total
Laki-laki
n
%
Perempuan
n
%
n
Total
%
3
2
26
2
33
9.1
6.1
78.8
6.1
100.0
2
4
24
1
31
6.4
12.9
77.4
3.2
100.0
5
6
50
3
64
7.8
9.4
78.1
4.7
100.0
3
11
17
2
33
9.1
33.3
51.5
6.1
100.0
4
7
19
1
31
12.9
22.6
61.3
3.2
100.0
7
18
36
3
64
10.9
28.1
56.2
4.7
100.0
5
28
33
15.2
84.8
100.0
3
28
31
9.7
90.3
100.0
8
56
64
12.5
87.5
100.0
Pada Tabel 30 diketahui persentase tertinggi (83.8%) status gizi baik
berdasarkan indeks BB/U ditemukan pada bayi umur 7-9 bulan. Pada status gizi
normal berdasarkan indeks BB/PB, persentase tertinggi (66.7%) pada bayi umur
3 bulan. Sedangkan bayi yang pendek lebih banyak ditemukan pada bayi usia 7
sampai 9 bulan.
Tabel 30 Distribusi contoh berdasarkan status gizi menurut umur
Status gizi
BB/U:
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Total
BB/PB:
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Total
PB/U:
Pendek
Normal
Total
Umur bayi (bulan)
4-6
7-9
%
n
%
Total
n
3
%
10
n
0
1
2
0
3
0.0
33.3
66.7
0.0
100.0
4
2
17
3
26
15.4
7.7
65.4
11.5
100.0
0
2
21
0
23
0.0
8.7
91.3
0.0
100.0
1
1
10
0
12
8.3
8.3
83.3
0.0
100.0
5
6
50
3
64
7.8
9.4
78.1
4.7
100.0
1
0
2
0
3
33.3
0.0
66.7
0.0
100.0
4
6
13
3
26
15.4
23.1
50.0
11.5
100.0
1
7
15
0
23
4.3
30.4
65.2
0.0
100.0
1
5
6
0
12
8.3
41.6
50.0
0.0
100.0
7
18
36
3
64
10.9
28.1
56.2
4.7
100.0
0
3
3
0.0
100.0
100.0
4
22
26
15.4
84.6
100.0
4
19
23
17.4
82.6
100.0
0
12
12
0.0
100.0
100.0
8
56
64
12.5
87.5
100.0
n
%
n
%
61
Perkembangan Bayi
Pengukuran perkembangan bayi dilakukan melalui pengamatan langsung
menggunakan instrumen yang dikembangkan untuk stimulasi, deteksi dan
intervesi dini tumbuh kembang anak (Depkes 2006), terdiri dari 10 pertanyaan
untuk masing-masing kelompok umur yang berbeda, kemudian diberi skor dan
dijumlahkan. Pada instrumen ini, aspek-aspek yang diperhatikan yaitu gerakan
motorik kasar dan halus, kemampuan bicara dan bahasa serta sosialisasi dan
kemandirian. Kategori perkembangan bayi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
terganggu (jika skor ≤6), dicurigai terganggu (jika skor 7-8) dan normal (jika skor
9-10). Tabel 31 menunjukkan, jumlah bayi yang perkembangannya terganggu
sebanyak 14.1%, dicurigai terganggu sebanyak 34.4% dan sebagian besar
lainnya perkembangan bayi normal sebanyak 51.6%. Diketahui pula persentase
bayi yang perkembangannya dicurigai terganggu dan terganggu ditemukan lebih
banyak pada bayi laki-laki dibanding perempuan.
Hampir serupa dengan hasil penelitian Yuliana (2003) yang dilakukan di
Bogor pada bayi usia 8-11 bulan, yaitu sebanyak 46.2% bayi mempunyai
perkembangan mental agak lambat dan sisanya 49.5% perkembangan bayi
normal. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Depkes tahun 2010
pada 500 anak usia 0-6 tahun, dari lima Wilayah di Provinsi DKI Jakarta, melalui
Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) menunjukkan
persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 11.9% anak mengalami kelainan
tumbuh kembang (Depkes 2010b).
Tabel 31 Distribusi contoh berdasarkan perkembangan menurut jenis kelamin
Perkembangan Bayi
Terganggu
Dicurigai terganggu
Normal
Total
Laki-laki
n
%
5
15.1
11
33.3
17
51.5
33 100.0
Perempuan
n
%
4
12.9
11
32.2
16
51.6
31 100.0
Total
n
9
22
33
64
%
14.1
34.4
51.6
100.0
Sedangakan hasil tabulasi silang menunjukkan persentase terbesar bayi
yang
perkembangannya
dicurigai
terganggu
terbanyak
ditemukan
pada
kelompok umur 4-6 bulan dan yang terganggu terbanyak ditemukan pada bayi
usia tiga bulan (Tabel 32).
62
Tabel 32 Distribusi contoh berdasarkan perkembangan menurut umur
Perkembangan
Bayi
Terganggu
Dicurigai terganggu
Normal
Total
Menurut
3
n
1
1
1
3
%
33.3
33.3
33.3
100.0
Direktorat
n
5
12
9
26
Bina
Umur Bayi (bulan)
4-6
7-9
%
n
%
19.2
0
0.0
46.1
4
17.4
34.6
19
82.6
100.0 23 100.0
Kesehatan
Total
10
n
3
5
4
12
%
25.0
41.7
33.3
100.0
Keluarga,
n
9
22
33
64
%
14.1
34.4
51.6
100.0
pencapaian
suatu
kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan
umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai oleh seorang anak pada
umur tertentu terutama untuk perkembangan motoriknya. Adanya potakan
tersebut dimaksudkan agar anak yang belum mencapai tahap kemampuan
tertentu tersebut perlu dilatih berbagai kemampuan agar dapat mencapai
perkembangan yang optimal.
Pada bayi umur tiga bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu mengangkat
kepala dengan tegak keatas pada posisi badan telungkup, sedangkan gerakan
yang hampir semua bayi umur tiga bulan dapat melakukannya yaitu
menggerakkan lengan dan tungkai dengan mudah, bayi dapat melihat dan
menatap wajah di hadapannya (pada posisi telentang), bayi dapat mengeluarkan
suara-suara lain (ngoceh) dan pada posisi telentang, bayi dapat mengikuti
gerakan kita dengan menggerakkan kepalanya dari satu sisi hampir sampai pada
sisi yang lain. Pada bayi umur 4- 6 bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu
meraih mainan yang diletakkan agak jauh namun masih berada dalam jangkauan
tangannya dan bayi mengarahkan matanya pada benda kecil sebesar kacang,
kismis, atau uang logam. Sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur 4-6
bulan dapat melakukannya yaitu dapat mengikuti gerakan dengan menggerakkan
kepala sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain (pada posisi telentang) dan
mempertahankan posisi kepala dalam keadaan tegak stabil.
Pada bayi umur 7- 9 bulan, gerakan yang sulit dilakukan yaitu bayi duduk
sendiri selama 60 detik, tanpa disangga oleh bantal, kursi atau dinding, dan bayi
memungut benda-benda kecil seperti kismis, kacang-kacangan, potongan biskuit,
dengan gerakan miring atau menggerapai. Sedangkan gerakan yang hampir
semua
bayi
umur
7-9
bulan
dapat
melakukannya
yaitu
bayi
dapat
mempertahankan lehernya secara kaku pada posisi bayi telentang, kemudian
kedua tangannya ditarik perlahan-lahan ke posisi duduk dan gerakan berikutnya
makan kue kering sendiri. Pada bayi umur sepuluh bulan, gerakan yang sulit
63
dilakukan yaitu mempertemukan dua kubus kecil yang ia pegang dan menirukan
kata-kata sebanyak 2-3 kata. Sedangkan gerakan yang hampir semua bayi umur
sepuluh bulan dapat melakukannya yaitu diantaranya memegang erat pinsil yang
diletakkan diatas telapak tanganya.
Faktor yang berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi
Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks
BB/U
Pada penelitian ini, untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan
status gizi digunakan uji Chi-square. Berdasarkan hasil analisis Chi-square
diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan
indeks BB/U yaitu tingkat konsumsi protein bayi (p=0.001), penyakit ISPA
(p=0.003), penyakit diare (p=0.005) dan pola asuh psikososial (p=0.000).
Kemudian dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh
secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat dengan
menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil uji regresi logistik menunjukkan
bahwa faktor pola asuh psikososial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (Tabel 33). Nilai OR untuk faktor pola
asuh psikososial adalah 11.469 (95% CI: 1.613-81.550), dimana hal ini
menunjukkan bahwa bayi dengan pola asuh psikososial yang kurang memiliki
kecenderungan untuk bayi berstatus gizi kurang 11.469 kali lebih besar
dibandingkan pada bayi dengan pola asuh psikososial yang baik (Lampiran 2).
Tabel 33 Hasil uji regresi logistik berganda faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U
Peubah
Tingkat konsumsi protein bayi:
1=Baik
0=Tidak baik
Penyakit ISPA:
1=Tidak menderita
0=Menderita
Penyakit diare:
1=Tidak menderita
0=Menderita
Pola asuh psikososial:
1=Baik
0=Tidak baik
Konstanta
*signifikan p<0.05
Exp (β)
= OR
95.0% C.I.
Lower
Upper
Sig.
2.307
0.179
29.661
0.521
8.477
0.664
108.165
0.100
5.833
1.577
21.572
0.733
11.469
1.613
81.550
0.015*
0.267
0.244
64
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Henninger (2010), yang menyimpulkan bahwa anak dengan pola pengasuhan
yang kurang, memiliki gejala depresi seperti sulit tidur, gelisah dan lain-lain
berkecenderungan
lebih
besar
pada
anak
dengan
status gizi
kurang
dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik. Menurut Soetjiningsih (1995),
pola asuh psikososial merupakan perangsangan (stimulasi) yang datang dari
lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang
anak. Stimulasi yang diterima anak tentunya lebih banyak berasal dari seorang
ibu, karena ibu merupakan pengasuh utama dan orang yang paling dekat pada
kehidupan anak. Biasanya ibu akan melakukan apa saja agar anaknya mau
makan tidak terkecuali melakukan stimulus yang membuat anak senang dan
akhirnya mau makan.
Tingkat konsumsi protein bayi berhubungan positif dengan status gizi bayi
berdasarkan indeks BB/U (p=0.001). Hasil tabulasi silang memperlihatkan
terdapat kecenderungan semakin baik tingkat kecukupan protein bayi maka akan
semakin baik status gizi bayi, namun setelah diuji regresi logistik tidak
berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga karena sebagian besar tingkat
konsumsi protein bayi adalah baik. Protein adalah zat gizi makro yang
mempunyai fungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel dan jaringan
tubuh, selain itu juga sebagai sumber energi (Almatsier 2001). Menurut Satoto
(1990), kekurangan masukan makanan dapat mempengaruhi keadaan gizi dan
perkembangan anak, terutama kekurangan energi dan protein terhadap
pertumbuhan dan perkembangan jaringan otak, khususnya apabila terjadi pada
masa-masa kritis pertumbuhan jaringan otak. Protein itu sendiri merupakan salah
satu zat gizi utama yang diperlukan manusia dalam proses metabolisme dan
pertumbuhan manusia.
Pada uji chi-square, penyakit ISPA dan diare diketahui juga berhubungan
dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/U (p=0.003 dan p=0.005), namun
tidak berpengaruh signifikan. Menurut Depkes (2008b), penyakit yang sering
terjadi pada bayi antara lain infeksi saluran pernafasan dan diare. WHO (1995)
menyatakan bahwa resiko bayi mengalami gizi kurang semakin meningkat
apabila sering terkena penyakit ISPA dan diare. Apabila anak terkena infeksi
saluran pencernaan seperti diare, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan
mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Sedangkan anak yang menderita
65
infeksi saluran pernafasan, maka nafsu makan anak akan menurun, sementara
kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam (Supariasa 2001).
Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks
BB/PB
Hasil analisis chi-square untuk melihat faktor yang berhubungan dengan
status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB adalah tingkat konsumsi protein bayi
(p=0.008), penyakit ISPA (p=0.014), pola asuh psikososial (p=0.004), status gizi
ibu berdasarkan IMT (p=0.020) dan pendapatan perkapita (p=0.005). Hasil uji
regresi logistik berganda menunjukan bahwa pendapatan keluarga
memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB
(Tabel 34). Nilai OR untuk faktor pendapatan perkapita adalah 6.985 (95% CI:
1.100-44.349) (Lampiran 2), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi yang
berasal dari keluarga yang tingkat pendapatannya kurang (keluarga miskin)
memiliki kecenderungan untuk bayi berstatus gizi kurang 6.985 kali lebih besar
dibandingkan pada bayi yang berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan
perkapita yang baik (keluarga tidak miskin).
Tabel 34 Hasil uji regresi logistik berganda faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB
Peubah
Tingkat konsumsi protein bayi:
1=Baik
0=Tidak baik
Penyakit ISPA:
1=Tidak menderita
0=Menderita
Pola asuh psikososial:
1=Baik
0=Tidak baik
Status gizi ibu:
1=Baik
0=Tidak baik
Pendapatan perkapita:
1=Tidak miskin
0=Miskin
Konstanta
Exp (β)
= OR
95.0% C.I.
Lower
Upper
5.395
0.000
1.718
0.485
6.093
0.402
2.613
0.568
12.015
0.217
1.282
0.660
2.491
0.464
6.985
1.100
44.349
0.039*
0.000
.
Sig.
0.999
0.999
*signifikan p<0.05
Hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Soekirman (1983) yang dikutip oleh Satoto (1990) bahwa terdapat
hubungan antara pendapatan keluarga dengan keadaan gizi anak.
Hal ini
disebabkan tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas
66
dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang rendah menyebabkan
daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam
jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga
dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap status gizi keluarga terutama untuk
perkembangan bayi dan balita (Berg 1986).
Menurut Soetjiningsih (1995), pendapatan keluarga yang memadai akan
menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua
kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder. Kemiskinan berhubungan
dengan faktor kurang gizi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Kemiskinan menyebabkan berkurangnya kesempatan dan
kemampuan orangtua untuk merangsang perkembangan anak. Anak-anak dalam
keluarga miskin yang paling rawan terhadap kekurangan gizi adalah anak yang
paling kecil (Satoto 1990).
Tingkat konsumsi protein bayi, penyakit ISPA, pola asuh psikososial dan
status gizi ibu berhubungan dengan status gizi bayi berdasarkan indeks BB/PB,
namun semuanya tidak berpengaruh signifikan. Menurut Tirtawinata (2006), pada
bayi, anak-anak dan remaja, protein sangat diperlukan untuk tumbuh kembang
seperti menambah tinggi dan berat badan serta perkembangan psikomotoriknya.
Sedangkan anak yang menderita infeksi saluran pernafasan akan berdampak
pada nafsu makan yang menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena
anak mengalami demam, dengan demikian berat badan anak akan cepat turun,
sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus
(Supariasa 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Madanijah (2003) menunjukkan terdapat
hubungan antara status gizi anak dengan status gizi ibu. Status gizi ibu dapat
mempengaruhi aktivitas pengasuhan, yang akhirnya akan mempengaruhi
kemampuan ibu dalam mengasuh anaknya, pengasuhan tersebut dapat berupa
pengasuhan dalam pemberian makan maupun pengasuhan psikososial dan
pemberian stimulasi untuk anak.
Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Bayi berdasarkan Indeks
PB/U
Pada status gizi berdasarkan indeks PB/U, setelah dilakukan uji bivariat
menggunakan chi-square diketahui bahwa tidak ada variabel yang berhubungan
dengan status gizi berdasarkan indeks PB/U (p>0.05), demikian halnya dengan
hasil uji regresi logistik yang menunjukan bahwa tidak ada variabel, yang secara
67
siginifkan berpengaruh terhadap status gizi berdasarkan indeks PB/U (p>0.05).
Tidak adanya variabel yang mempengaruhi status gizi berdasarkan indeks PB/U
dapat dijelaskan oleh nilai Nagelkerke R Square yaitu 0.595 pada uji regresi
logistik, yang mengindikasikan bahwa hanya 59.5% status gizi berdasarkan
indeks PB/U dipengaruhi oleh seluruh variabel bebas yang diuji tingkat konsumsi
(energi dan protein) bayi, status kesehatan bayi (ISPA dan diare), pola asuh
psikososial, pola asuh pemberian makan, status pemberian ASI eksklusif,
dukungan suami terhadap pemberian ASI, status gizi ibu, tingkat konsumsi
(energi dan protein) ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, pendidikan
ayah dan pendidikan ibu (Lampiran 2). Hal ini diduga karena umur sampel yang
masih muda dan rentangnya yang pendek (bayi usia 3 sampai 10 bulan), dan
berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak sensitif terhadap masalah
kurang gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan akan terlihat pada waktu yang lama. Meskipun demikian status gizi pada
saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anak-anak bahkan masa
dewasa (Winarno 1990). Pencapaian status gizi yang baik, didukung oleh
konsumsi pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi,
bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu.
Faktor yang berpengaruh terhadap Perkembangan Bayi
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan
(p<0.005) dengan perkembangan bayi adalah status gizi bayi berdasarkan
indeks BB/U (p=0.000), indeks BB/PB (p=0.012), penyakit diare (p=0.001), pola
asuh psikososial (p=0.001) dan pendidikan ibu (p=0.001). Setelah dilakukan uji
regresi logistik berganda menunjukan bahwa faktor status gizi bayi berdasarkan
indeks BB/U dan pendidikan ibu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan bayi (Tabel 36). Nilai OR untuk faktor status gizi bayi berdasarkan
BB/U adalah 21.665 (95% CI: 1.386-338.618) (Lampiran 3), dimana hal ini
menunjukkan bahwa bayi yang berstatus gizi kurang dengan indeks BB/U
mempunyai kecenderungan untuk memiliki perkembangan yang kurang optimal
21.665 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang berstatus gizi baik
dengan indeks BB/U. Nilai OR untuk faktor pendidikan ibu adalah 10.176 (95%
CI: 1.942-53.330), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi yang ibunya
berpendidikan rendah mempunyai kecenderungan untuk memiliki bayi dengan
68
perkembangan yang kurang optimal 10.176 kali lebih besar dibandingkan bayi
yang ibunya berpendidikan tinggi.
Tabel
35
Hasil uji regresi logistik
perkembangan bayi
Peubah
Status gizi (BB/U):
1=Baik
0=Tidak baik
Status gizi (BB/PB):
1=Baik
0=Tidak baik
Penyakit Diare:
1=Tidak menderita
0=Menderita
Pola asuh psikososial:
1=Baik
0=Tidak baik
Pendidikan ibu:
1=Baik
0=Tidak baik
Konstanta
*signifikan p<0.05
faktor-faktor
yang
95.0% C.I
mempengaruhi
Exp (β)
= OR
Lower
Upper
21.665
1.386
338.618
0.028*
2.166
0.516
9.087
0.291
3.517
0.773
15.997
0.104
2.233
0.276
18.086
0.452
10.176
1.942
53.330
0.006*
0.005
Sig.
0.002
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar
(2002) yang membuktikan terdapat hubungan yang nyata antara status gizi
berdasarkan BB/U dengan perkembangan kognitif pada anak bawah dua tahun.
Disebutkan juga bahwa anak yang mengalami keterhambatan pertumbuhan baik
berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U memiliki perkembangan kognitif yang
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
yang
tidak
mengalami
hambatan
pertumbuhan. Status gizi yang tidak normal akibat kekurangan gizi pada saat
bayi, akan berpengaruh terhadap anatomi dan faal otak.
Hal senada juga dikemukakan oleh Malla (2002), menurutnya anak yang
memperoleh status gizi yang baik saat usia dua tahun pertama terbukti
memperoleh nilai tes kognitif yang lebih baik dari pada anak yang berstatus gizi
rendah, keadaan kurang gizi juga mengakibatkan anak tidak aktif dan apatis.
Dalam tahap perkembangan psikomotorik, bayi usia 3 sampai 10 bulan mulai
banyak aktifitasnya seperti diantaranya tengkurap, belajar duduk sendiri, dan
belajar berdiri. Bagi bayi yang tidak normal status gizinya, maka bayi tidak akan
mampu
melakukan
aktifitas
tersebut
pada
umur
yang
sama,
artinya
perkembangan psikomotornya dapat juga terhambat.
Menurut Satoto (1990), tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan
menjamin diberikannya stimulasi yang mendukung perkembangan anak-anaknya
69
dibandingkan orangtua dengan tingkat pendidikan yang rendah, disamping itu ibu
yang berpendidikan tinggi secara tidak langsung memiliki kemampuan untuk
menyediakan mainan untuk anak tepat sesuai umur yang bermanfaat menunjang
perkembangan motoriknya. Sedangkan orangtua yang berpendidikan rendah
memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak yang kurang
dan kebiasaan mengasuh anak sebagian besar didapat dari orangtuanya
terdahulu atau tetangganya.
Hai ini didukung oleh hasil penelitain yang dilakukan oleh Yuliana (2003)
bahwa tingkat pendidikan ibu mempengaruhi tingkat perkembangan psikomotor.
Pendidikan orangtua terutama pendidikan ibu berperan dalam penyusunan pola
makan keluarga maupun dalam pola pengasuhan. Ibu yang memiliki pendidikan
lebih
rendah
akan
lebih
semangat
untuk
mencari
dan
meningkatkan
pengetahuan serta keterampilan dalam pengasuhan anaknya (Khomsan 2002).
Pada variabel penyakit diare diketahui berhubungan dengan perkembangan bayi
(uji chi-square), namun tidak berpengaruh signifikan. Menurut Pudjiadi (2001),
diare dapat mengurangi jumlah makanan yang dapat diserap karena transit time
yang memendek. Diare yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan
hilangnya berbagai elektrolit, vitamin, dan protein, sehingga kondisi tersebut
akhirnya dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
bayi dan anak. Selain itu juga anak yang sakit cenderung tidak aktif yang
akhirnya berdampak pada penurunan perkembangannya (Satoto 1990).
Variabel pola asuh psikososial tidak berpengaruh signifikan terhadap
perkembangan bayi, namun berdasarkan analisis chi-square didapat bahwa pola
asuh psikososial berhubungan dengan perkembangan. Jika diperdalam pola
asuh psikososial pada masing-masing sub-skala yang dianalisis dengan chisquare, maka sub-skala yang berhubungan dengan perkembangan bayi adalah
tanggap rasa dan kata atau penerimaan emosi anak
(p=0.000), penerimaan
terhadap perilaku anak (p=0.000), keterlibatan ibu terhadap anak (p=0.003) dan
kesempatan variasi asuhan anak (p=0.000). Kemudian dilakukan uji regresi
logistik, hasil menunjukkan bahwa sub-skala tanggap rasa dan kata berpengaruh
signifikan (p=0.026) terhadap perkembangan bayi dengan OR= 4.910 (95% CI:
1.210-19.923) (Lampiran 3), dimana hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan
pola asuh psikososial yang kurang khususnya mengenai tanggap rasa dan kata
atau peneriamaan emosi anak mempunyai kecenderungan untuk memiliki bayi
dengan perkembangan yang kurang optimal 4.910 kali lebih besar dibandingkan
70
bayi dengan pola asuh psikososial yang baik khususnya mengenai tanggap rasa
dan kata. Hal ini diduga karena ibu belum memahami arti penting stimulasi pola
asuh
psikososial.
Dengan
demikian
diperlukan
peran
kader
dalam
mensosialisasikan stimulasi pola asuh guna mengoptimalkan perkembangan
bayi.
Home Observation for Measurement of the Environment Inventory
(HOME) dianggap sebagai pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur
lingkungan pengasuhan di rumah. HOME dapat menjelaskan peran keluarga
dalam pengasuhan anak di rumah. Peranan keluarga terutama ibu dalam
mengasuh anak sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin perkembangan
yang optimal. Menurut Patmonodewo (1993), sikap tanggap rasa dan kata yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anak secara emosional adalah salah satu
faktor untuk mendapatkan perkembangan anak yang optimal.
Download