BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan jenis kanker ke empat terbanyak yang paling umum terjadi pada wanita di seluruh dunia, dengan perkiraan 527.624 kasus baru pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, sekitar 265.672 dari kasus baru kanker serviks menyebabkan kematian di seluruh dunia. Kematian akibat kanker serviks adalah 7, 5 persen dari semua kematian akibat kanker pada wanita. Hampir sembilan dari sepuluh (87 persen) kematian akibat kanker serviks di dunia terjadi pada negara-negara yang kurang berkembang (Globocan,2012). Indonesia memiliki populasi 93.150.000 wanita berusia 15 tahun dan lebih dari 15 tahun yang berisiko terkena kanker serviks pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, sekitar 20.928 kasus baru kanker serviks didiagnosa setiap tahun di Indonesia dan sebanyak 9.498 dari kasus baru kanker serviks (diantaranya) menyebabkan kematian. Kanker serviks menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering (terbanyak) terjadi di kalangan wanita di Indonesia dan kanker ke dua yang paling sering terjadi pada wanita berusia 15 − 44 tahun (ICO,2016). Kanker serviks merupakan kanker yang terbentuk di dalam jaringan epitel serviks yang umumnya disebabkan oleh virus papilloma (Human papillomavirus atau HPV). Infeksi HPV jenis resiko tinggi, atau onkogenik bertindak sebagai karsinogen dalam perkembangan kanker serviks dan kanker dubur kelamin lainnya. Virus HPV jenis resiko tinggi (saat ini termasuk tipe 16 dan 18) dapat menyebabkan kelainan tingkat rendah pada sel leher rahim, berpotensi tinggi terjadi pada sel leher rahim yang merupakan prekursor kanker serviks dan kanker anogenital lainnya. Dalam 99 persen kasus, kanker serviks terjadi sebagai akibat dari riwayat infeksi dengan jenis risiko tinggi HPV. Virus HPV Tipe 16 merupakan penyebab dari sekitar 50 persen dari kanker serviks di seluruh dunia, sedangkan HPV tipe 16 dan 18 1 2 bersama-sama mencapai sekitar 70 persen penyebab kanker serviks (CDC, 2015). Virus HPV dapat menyebabkan penyakit menular seksual. Virus HPV jenis risiko tinggi berpartisipasi dalam pengembangan displasia sel serviks (neoplasia serviks), sedangkan jenis risiko rendah dapat menyebabkan kondiloma genital (Kaspersen ,2011). Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), juga dikenal sebagai displasia serviks dan neoplasia interstitial serviks, adalah kondisi pertumbuhan sel abnormal dari sel-sel skuamosa pada permukaan serviks sebelum menjadi kanker (Kumar dkk , 2007). Lebih lanjut, sebagian kasus CIN akan tetap stabil atau dapat dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh inang tanpa intervensi. Namun, sebagian kecil dari kasus berkembang menjadi kanker serviks yakni karsinoma sel skuamosa serviks jika tidak ditangani (Agorastos dkk,2005). Gradasi histologis CIN didasarkan pada proporsi epitel yang ditempati oleh sel displastik. Epitelium dibagi menjadi tiga yakni CIN I , CIN II , dan CIN III . Namun, Sistem Bethesda untuk diagnosis sitologi membagi prekursor karsinoma sel skuamosa serviks menjadi empat yaitu Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASCUS), low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL), highgrade squamous intraepithelial lesion (GSIL), dan squamous cells carcinoma (SCC) (Adekunle , 2012). Sistem Bethesda pertama sekali diperkenalkan oleh Bethesda pada tahun 1988, dan disempurnakan oleh National Cancer Institute USA. Sistem Bethesda merupakan sistem pelaporan hasil pemeriksaan pap smear. Progresi pertumbuhan karsinoma serviks setelah infeksi HPV ditunjukkan pada gambar berikut: 3 Gambar 1.1 Perkembangan dari lesi serviks jinak untuk invasif kanker serviks dan perubahan struktur jaringan epitel skuamosa serviks (www.medscape.com) Gambar 1.1 menunjukkan proses infeksi HPV dan terjadinya kanker serviks invasif yang berlangsung dalam beberapa tahap (tahapan perubahan sel sehat ke sel prakanker dan akhirnya sel kanker). Tahapan pertama dimulai dari CIN I yakni sel yang terinfeksi HPV akan membuat partikel-partikel virus baru dengan perubahan pada sel-sel serviks masih sedikit atau tidak terlalu signifikan. Selanjutnya, kondisi CIN II sel - sel semakin menunjukkan gejala abnormal pra kanker. kondisi CIN III yakni kondisi dengan abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Kanker serviks yang semakin invasif yang berkembang dari CIN III . Perkembangan kanker adalah proses multi-step yang melibatkan hilangnya secara bertahap regulasi atas pertumbuhan dan kemampuan fungsional dari sel-sel normal. Banyak penelitian telah difokuskan pada berbagai faktor intrinsik dari sel yang mengatur proses ini. Namun, perhatian baru-baru ini telah berubah untuk memahami faktor ekstrinsik dari sel di dalam lingkungan mikro tumor yang muncul 4 sama penting untuk perkembangan dan pengobatan kanker. Salah satu komponen penting dari lingkungan mikro tumor adalah sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran penting dalam mencegah dan mempromosikan perkembangan kanker (Markman dan Shiao,2015). Prosedur bedah adalah prosedur yang efektif dalam pengobatan lesi prakanker, namun setelah prosedur ini, kanker kembali muncul karena reinfeksi baru, atau kegagalan prosedur untuk menghilangkan HPV tersebut. Selain itu, HPV dapat menghambat pengenalan sel ganas oleh sistem kekebalan tubuh yang mengakibatkan perkembangan lesi kanker. Ketika ini terjadi, radioterapi dan kemoterapi kemudian digunakan. Sayangnya, sekitar 50 persen dari pasien kanker-HPV meninggal (Rosales dan Rosales, 2014). Di sisi lain, kemajuan dalam memahami sistem imun alami telah menjadikan penelitian dan pengembangan alternatif pendekatan terapeutik yang disebut imunoterapi sebagai terobosan yang luar biasa di masa depan. Imunoterapi, juga disebut sebagai terapi biologi, merupakan jenis pengobatan kanker yang menggunakan sistem imun tubuh untuk melawan kanker. Imunoterapi digunakan untuk memprovokasi sistem imun tubuh dengan menyerang antigen tersebut sebagai target (Kalanjiam dan Manoharan, 2015). Lebih lanjut, imunoterapi yang digunakan dalam pada penelitian ini adalah imunoterapi dengan pemberian sel T adaptif yaitu Adoptive Celluler Immunotherapy (ACI) digabung dengan terapi sitokin, yaitu penambahan IL-2 pada sel ACI. Sel ACI terdiri dari dua jenis yaitu sel Tumor Infiltrating Lymphocytes (TIL) dan Lymphokine Activated Killer Cells (LAKs). Penelitian mengenai model matematika antara sel tumor, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi telah dilakukan oleh Kirschner dan Panetta (1998). Penelitian tersebut kemudian dikembangkan oleh Adi-Kusumo dan Winanda (2015) pada sel kanker serviks dengan menambahkan perturbasi atau gangguan baru ke sistem yang merupakan gangguan periodik kecil dari interaksi sel efektor dan senyawa IL-2 serta bifurkasi dari sistem. Kemudian dengan memperhatikan aspek difusi sel efektor dan sel-sel tumor, Ko dan Inkyung (2011) membangun sebuah model matematika dinamika tumor dengan sel imun melalui imunoterapi dengan menggunakan 5 sistem persamaan diferensial parsial. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian sejenis setelah mempelajari fakta bahwa terdapat interaksi sel tumor, sel efektor, dan senyawa IL-2 melalui imunoterapi yang melibatkan difusi reaksi. Lebih lanjut, interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dalam lingkungan yang terbatas dapat mempengaruhi konsentrasi masing-masing populasi yakni adanya peningkatan atau penurunan konsentrasinya. Ada kemungkinan salah satu dari tiga populasi yang berinterkasi tersebut konsentrasinya naik atau turun atau bahkan sama-sama naik, atau samasama turun, dan sama-sama dalam keadaan bertahan hidup. Dengan demikian adanya model difusi reaksi sangat bermanfaat untuk memberikan beberapa informasi mengenai perilaku solusi konsentrasi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dalam lingkungan yang terbatas. Lebih lanjut, penulis ingin mengetahui pengaruh difusi reaksi terhadap model yang dibentuk oleh Kirschner dan Panetta (1998) sehingga model yang diformulasikan oleh penulis merupakan suatu sistem persamaan diferensial parsial. Setelah model terbentuk, kemudian dilakukan nondimensionalisasi terhadap variabelvariabel dan parameter-parameter yang digunakan dalam model. Selanjutnya, model yang terbentuk tersebut merupakan suatu kebaruan dalam penelitian ini yang berbeda dengan model yang dibentuk oleh Ko dan Inkyung (2011). Jadi, perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ko dan Ahn terletak pada model setelah nondimensionalisasi dan dikhususkan pada sel kanker serviks. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini akan dikaji mengenai fakta-fakta biologis yang terjadi pada kanker serviks. Selanjutnya, model matematika interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi yang bergantung terhadap waktu dan ruang dibentuk berdasarkan fakta-fakta biologis tersebut. Kemudian model tersebut dianalisis nondimensionalisasi. Hasil analisis nondimensionalisasi kemudian digunakan untuk menentukan solusi ekuilibrium bebas tumor dan solusi ekuilibrium infeksi HPV. Lebih lanjut, penentuan 6 daerah eksistensi ekuilibrium (konstan terhadap x) model dilakukan pada kondisi steady state serta sifat kestabilan ekuilibrium (konstan terhadap x) model dilakukan pada kondisi steady state. Selanjutnya, simulasi numerik dilakukan untuk melihat dinamika solusi di sekitar solusi ekuilibrium diantaranya distribusi spasial konsentrasi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi di dalam jaringan pada saat t tertentu. Terakhir, interpretasi biologis dilakukan untuk menjelaskan analisis model matematika tersebut ke dalam interpretasi pada kehidupan sehari-hari. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mempelajari fakta-fakta biologis yang terjadi pada kanker serviks terkait dengan pemodelan. 2. Menentukan syarat eksistensi ekuilibrium konstan non negatif model pada kondisi steady state dan melakukan analisis kestabilan lokal dari ekuilibrium konstan non negatif model pada kondisi steady state. 3. Membandingkan sifat kestabilan lokal ekuilibrium yang tanpa difusi dengan ekuilibrium konstan non negatif model pada kondisi steady state. 4. Memperoleh gambaran trayektori dan potret fase dari ekuilibrium konstan non negatif model pada kondisi steady state serta memberikan interpretasi hasil analisis tersebut dari tinjauan medis atau biologis. 5. Mengetahui distribusi spasial konsentrasi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi di dalam jaringan pada saat t tertentu. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 7 1. Secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi aplikasi matematika dalam bidang biologi maupun bidang kedokteran terkait interaksi antara sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2. Selain itu, model tersebut juga dapat memberikan alternatif cara pengobatan untuk penderita penyakit kanker serviks. 2. Secara khusus hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan menunjukkan eksistensi solusi ekuilibrium konstan non negatif dan analisis kestabilan pada solusi ekuilibrium konstan non negatif tersebut. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai distribusi spasial konsentrasi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi di dalam jaringan pada saat t tertentu. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh imunoterapi pada kanker serviks untuk berbagai kondisi. Lebih lanjut, model interaksi ini juga dapat menambah referensi medis atau pengetahuan dalam memprediksi kemungkinan kanker serviks akan menyebar ke jaringan di sekitarnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Avcı (2012) dalam jurnalnya membahas tentang papilloma virus dengan protein virus tersusun dalam bentuk simetris ikosahedral berdiameter 55 nm dengan genom virus yang terdiri dari DNA untai melingkar ganda yang mengkode protein awal dan protein akhir. Rosales dan Rosales (2014) membahas mengenai jenis virus infeksi HPV yakni virus HPV jenis risiko tinggi dan virus HPV jenis risiko tinggi. Lebih lanjut, CDC (2015) membahas etiologi kanker serviks yaitu bahwa penyakit ini terutama disebabkan oleh infeksi HPV jenis resiko tinggi yakni 70 persen diantaranya disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Proses infeksi HPV ke jaringan epitel serviks dijelaskan dalam Schulz (2005) dan Schiller dkk (2010) mengakibatkan protein supresor tumor menjadi tidak aktif Jimenez dkk (2015) sedangkan pengembangan displasia kanker serviks disebabkan HPV jenis risiko tinggi di jelaskan dalam Kaspersen (2011). Selanjutnya, gradasi histologis Cervical 8 Intraepithelial Neoplasia (CIN) atau displasia didasarkan pada proporsi epitel yang ditempati oleh sel displastik dijelaskan oleh Kumar dkk (2007), Markman dan Shiao (2015), Agorastos dkk (2005) dan Adekunle (2012). Di buku yang sama, Adekunle (2012) menjelaskan tentang lesi karsinoma serviks yaitu CIN serta klasifikasinya menjadi CIN I, CIN II, dan CIN III. Sistem kekebalan dalam tubuh manusia dirancang untuk mendeteksi keberadaan antigen dijelaskan dalam Adi-Kusumo dan Winanda (2015). Selanjutnya, kemajuan dalam memahami sistem kekebalan alami telah menyebabkan penelitian dan pengembangan alternatif pendekatan terapeutik yang disebut imunoterapi dijelaskan oleh Kalanjiam dan Manoharan (2015) dengan cara melakukan rekayasa genetik limfosit T dengan aktivitas anti-tumor dalam terapi sel transfer adoptif untuk kanker yang dijelaskan oleh Kalanjiam dan Manoharan (2015) dalam jurnal yang sama. Hal serupa dijelaskan oleh Li dkk (2013) dalam jurnalnya. Lebih lanjut, peran dari interleukin-2 (IL-2) dalam merangsang proliferasi limfosit T dijelaskan oleh Baker (2015) dan Alberts dkk (2002). Terapi imun buatan atau Adoptive Celluler Immunotherapy yaitu pembentukan sel efektor secara in vitro (di luar tubuh) dan kemudian diinjeksikan ke dalam tubuh individu juga dijelaskan oleh Kirschner dan Panetta (1998). Perilaku sistem imun dalam responnya terhadap kanker serviks dapat dimodelkan secara matematis yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Carman (2009) dan Springer (1994) menjelaskan proses migrasi leukosit ke dalam jaringan kanker serviks. Lebih lanjut, Wolf dkk (2003) menjelaskan migrasi sel T melalui jaringan kanker serviks, hal yang serupa juga di jelaskan oleh Strell dan Entschladen (2008) dalam jurnalnya. Even-Ram dan Yamada (2005) dalam jurnalnya memberikan ilustrasi migrasi sel melewati jaringan kanker serviks yakni Extraceluller Matrix (ECM) dan secara umum ilustrasi interaksi sel kanker serviks dengan sel efektor dalam proses degradasi matriks ekstraseluler diberikan oleh Lu dkk (2012). Penelitian mengenai dinamik model matematika antara sel tumor, sel efektor, dan senyawa IL-2 dengan imunoterapi telah dilakukan oleh Kirschner dan Panetta (1998). Penelitian tersebut kemudian dikembangkan oleh Adi-Kusumo dan Winanda (2015) pada sel kanker serviks dengan menambahkan perturbasi atau 9 gangguan baru ke sistem yang merupakan gangguan periodik kecil dari interaksi sel efektor dan senyawa IL-2 serta bifurkasi dari sistem. Kemudian dengan memperhatikan aspek difusi, Ko dan Inkyung (2011) membangun sebuah model matematika dinamika tumor dengan sel imun melalui imunoterapi. Lebih lanjut, penulis kemudian mengaplikasikan model yang dibangun oleh Ko dan Inkyung (2011) pada kanker serviks. Penulis memformulasikan model yang dibangun oleh Ko dan Inkyung (2011) pada kanker serviks dengan menggunakan asumsi-asumsi berdasarkan fakta mengenai respon imun terhadap kanker serviks. Model tersebut merupakan model matematika kasus imunoterapi dengan melibatkan aspek difusi pada interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 yang secara lengkap dijelaskan pada pembahasan mengenai formulasi model di Bab IV. Selanjutnya, dalam melakukan analisis terhadap model matematika sel kanker serviks, sel efektor dan senyawa IL-2 ini digunakan beberapa buku dan beberapa jurnal sebagai acuan. Konsep nilai eigen dan polinomial karakteristik merujuk pada Anton (2000). Konsep fungsi terdiferensial kontinu merujuk pada Perko (2001). Konsep sistem persamaan diferensial biasa merujuk pada Ross (1984), Verhulst (1996) dan Perko (2001) sedangkan solusi ekuilibrium merujuk pada Wiggins (1990). Konsep sistem difusi reaksi merujuk pada Casten dan Holland (1977), Smoller (1994), dan Agarwal (2000). Kriteria Routh-Hurwitz merujuk pada Hanh (1967) dan Gantmacher (1959). Metode elemen hingga merujuk pada Lewis (2004) dan Kosasih (2012). Fluks merujuk pada Guetta (2009) dan Thomas (2010) sedangkan divergensi merujuk pada Thomas (2010). Masalah difusi merujuk pada Campbell (2002), Kuttler (2011), dan Sinko (2010). Persamaan reaksi kinetik Michaelis-Menten merujuk pada Tripathi (2010), Murray (2002), Copeland (1996), Berg dkk (2002), dan Oudenaarden (2004). 1.6 Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu studi literatur berupa buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan interaksi sel efektor, sel kanker serviks, dan senyawa IL-2 dan pemodelannya secara matematis. 10 Langkah awal dalam pembentukan model imunoterapi dari interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2 adalah dengan mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai literatur medis yang terkait dengan proses karsinogenesis kanker serviks dan hubungannya dengan sistem imun. Selain literatur medis, penulis juga mempelajari jurnal Kirschner dan Panetta (1998), Adi-Kusumo dan Winanda (2015), dan Ko dan Inkyung (2011) yang digunakan sebagai referensi utama dalam penelitian ini. Kemudian dibuat asumsi-asumsi berdasarkan model matematika yang dibangun oleh peneliti dan ditentukan syarat batas dan syarat awal yang sesuai untuk sistem persamaan diferensial parsial yang dibentuk. Penulis menganalisis model yang analog dengan pendekatan yang telah disusun oleh Ko dan Inkyung (2011). Langkah selanjutnya, sistem persamaan dinondimensionalisasi sehingga diperoleh sistem persamaan yang baru. Setelah diperoleh sistem persamaan baru hasil nondimensionalisasi, langkah selanjutnya adalah menentukan ekuilibrium model pada kondisi steady state kemudian melakukan linearisasi terhadap sistem persamaan untuk mengetahui perilaku solusi di sekitar ekuilibrium secara lokal. Berdasarkan hasil linearisasi ditentukan kestabilan ekuilibrium dengan melihat nilai eigen Matriks Jacobian yang diperoleh. Pada tahap berikutnya, penulis membuat simulasi numerik untuk menggambarkan distribusi spasial sel efektor, sel-sel kanker serviks, dan senyawa IL-2 dengan menggunakan bantuan PDE Solver yang terdapat pada MATLAB. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada Tesis I ini terdiri atas enam bab, yaitu BAB I PENDAHULUAN, BAB II LANDASAN TEORI, BAB III KANKER SERVIKS, BAB IV MODEL MATEMATIKA, BAB V SIMULASI MODEL MATEMATIKA, dan BAB VI PENUTUP. Berikut uraian dari masing-masing bab. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang belakang penulis melakukan penelitian ini. Selain itu dalam bab ini juga diberikan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, 11 tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang digunakan. BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi teori-teori yang menunjang dalam pembahasan penelitian ini yaitu Nilai Eigen dan Polinomial Karakteristik, Fungsi Terdiferensial Kontinu, Sistem Persamaan Diferensial Biasa, Solusi Ekuilibrium, Sistem Difusi Reaksi, Kriteria Routh-Hurwitz, Metode Elemen Hingga, Fluks dan Divergensi, Masalah Difusi, Persamaan Reaksi Kinetik Michaelis-Menten. BAB III KANKER SERVIKS Bab ini berisi mengenai karakteristik kanker serviks yang terkai dengan pemodelan matematika kasus imunoterapi yang melibatkan difusi reaksi pada interaksi sel kanker serviks, sel efektor, dan senyawa IL-2. BAB IV MODEL MATEMATIKA KASUS IMUNOTERAPI YANG MELIBATKAN DIFUSI REAKSI PADA INTERAKSI SEL KANKER SERVIKS, SEL EFEKTOR, DAN SENYAWA IL-2 Bab ini memuat penjelasan mengenai pemodelan matematika kasus imunoterapi yang melibatkan difusi reaksi pada interaksi sel efektor, sel kanker serviks, dan senyawa IL-2 meliputi fakta-fakta biologis terkait serta asumsi-asumsi yang digunakan dalam mengkonstruksi model matematika interaksi sel efektor, sel kanker serviks, dan senyawa IL-2, pembentukan model yang dilengkapi dengan syarat awal dan syarat batas, analisis nondimensionalisasi terhadap sistem persamaan, eksistensi dan ketunggalan solusi ekuilibrium, serta analisis kestabilan lokal solusi ekuilibrium. BAB V SIMULASI NUMERIK DAN INTERPRETASI BIOLOGIS INTERAKSI SEL KANKER SERVIKS, SEL EFEKTOR, DAN SENYAWA IL-2 YANG MELIBATKAN DIFUSI REAKSI Bab ini membahas simulasi numerik menggunakan bantuan software Matlab. Dengan menampilkan gambar potret fase dari masing-masing kasus. Kemudian membahas interpretasi terkait dinamika interaksi sel efektor, sel kanker serviks, dan senyawa IL-2 yang melibatkan difusi reaksi. BAB VI PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan yang memuat rangkuman hasil penelitian 12 dan saran bagi penelitian selanjutnya.