SERBUAN BANGSA MONGOL KE KOTA BAGHDAD DAN DAMPAKNYA TERHADAP KERUNTUHAN DINASTI ABASIYAH SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) Oleh: NURSYAD NIM: 107022001534 JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M. LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya yang asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 18 Agustus 2014 Nursyad i Abstrak Skripsi yang berjudul “Serbuan Bangsa Mongol Ke Kota Baghdad dan Dampaknya Terhadap Keruntuhan Dinasti Abbasiyah” Menginjak tahun 1258, dunia digemparkan oleh tragedi kejatuhan Baghdad, ibukota dinasti Abbasiyah. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh banyak aspek antara lain adalah semakin parahnya intrik politik yang melibatkan pejabat istana dan ulama, penyakit yang menjangkit di beberapa bagian kota dan semakin mengecilnya peran ibukota ini akibat banyak daerah bawahan yang memerdekakan diri. Seakan menjadi penuntas bagi penderitaan itu, datanglah serbuan bangsa Mongol, di bawah pimpinan Hulagu Khan yang memporakporandakan ibukota. Baghdad adalah sasaran Mongol berikutnya, setelah sebelumnya bangsa ini menundukkan beberapa daerah di Persia dan Irak. Kesuksesan menguasai ibukota ini tidak terlepas dari oknum Abbasiyah yang membelot ke pihak Mongol. Setelah mempelajari informasi tersebut, maka pasukan dipersiapkan untuk menerobos benteng kota. Tanpa berselang lama, pasukan dari Asia Timur in sudah memenuhi kota dan mulai menebarkan terror di setiap sudutnya. Suasana tentram yang semula menyelimuti kehidupan Bahdad seketika pecah dibuyarkan oleh derap kuda pasukan Mongol. Korban sudah banyak berjatuhan, namun pembunuhan massal masih terus berlangsung. Selain itu, di sana sini sudah terlihat penjarahan dan perampokan. Serbuan ini membawa perubahan pada kehidupan masyarakat Baghdad. Setidaknya ada empat dampak umum yang bisa dikemukakan; dampak politik, sosial, ekonomi dan peradaban. Setelah serangan tersebut, masyarakat Baghdad yang selamat mau tidak mau menjadi bawahan pasukan Mongol. Terbunuhnya khalifah Baghdad terakhir membuat kegoncangan dalam pemerintahan kota ini. Perpindahan kekuasaan yang terjadi paksa ini membuat suhu politik yang sebelumnya dipenuhi intrik, untuk sementara bisa dikendalikan. Keadaan ini awalnya belumlah diterima oleh penduduk Baghdad. Ketakutan akibat serangan itu masih terngiang di benak mereka. Di bidang ekonomi, kedatangan Mongol membuat kota ini menemukan akhir masa kebesarannya. Sebelumnya, Baghdad merupakan salah satu kota penting dalam Jalur Sutera. Selain menyandarkan pendapatan pada keberadaan pasar, kota ini juga menyandarkan pemasukan lain dari pabrik-pabrik yang berdiri di dalam kota. Begitu Mongol datang, pabrik-pabrik ini tidak luput dari penghancuran. Kemakmuran yang sebelumnya amat kentara dalam Baghdad seketika hilang bersamaan dengan hancurnya struktur sosial di sana. Dampak peradaban menjadi mengalami kemunduran yang paling mencolok. Peradaban dalam hal ini lebih dimaknai secara sempit pada pencapaian manusia di bidang arsitektural. Bangunan umum seperti gedung, masjid, lembaga pendidikan hancur. Istana raja serta bangunan-bangunan monumental lainnya juga banyak yang dibakar. Tamantaman kota pun tak luput dari amukan Mongol. ii KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan sebuah karya yang sederhana ini. Peluh, penat, dan segala macam ujian diri dapat penulis atasi guna menegakkan komitmen akademik seorang pencari ilmu, yakni menulis sebuah karya sejarah (historiografi) ini. Kemudian Shalawat serta Salam tetap tercurahkan kepada baginda yang mulia kita Nabi Muhammad SAW, yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi tegaknya agama islam dan nama Tuhan ( Allah SWT) di muka bumi ini. Sehingga manusia dapat merasakan dampak kebaikan dan kontribusi positif atas perjuangan Nabi besar Muhammad SAW. Kemudian penulis sadar akan kekurangan dalam skripsi yang berjudul “Serbuan Bangsa Mongol ke Kota Baghdad dan Dampaknya terhadap Keruntuhan Dinasti Abasiyah” ini tidak akan bias terselesaikan dengan mudah tanpa bantuan dari semua pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkn ribuan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Prof. Komarudin Hidayat, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. 3. Drs. M. Ma’ruf Misbah, M.A dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Ketua dan Sekertaris jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. 4. H. Nurhasan, M.A, selaku Dosen Pembimbing, yang memberikan kontribusi besar dalam penyempurnaan penulis, dengan arahan, keritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berjalan dengan baik. iii 5. Dra. Hj. Tati Hartimah, M.A, dan Dr. Saidun Derani, M.A. Atas jasa dan waktunya yang telah menguji penulis di saat Munaqasyah, dan seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayan Islam yang memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya. 6. Kedua orang tua tercinta, Bpk. Kadung dan Ny. Tijah, yang telah mengasuh penulis dari kecil hingga dewasa, Allahumma irham huma kamaa rabbayani saghiraa. 7. Penulis juga melayangkan ucapan terimakasih untuk sahabat-sahabat di Jurusan Sejarah Kebudayan Islam, yaitu Johan Wahyudi, Andriyansah, Abdul Kholiq, Nursobahk, Ridwan Syahidin dan Salahuddin Al-Ayyubi. Semoga di jurusan ini, kita mendapat kearifan untuk memintal benang-benang pengabdian bagi keluarga, lingkungan, dan negara. Semoga semuah pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, mendapatkan balasn yang berlipat ganda dari Allah SWT. Kemudian juga penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengarapkan keritik serta saran dari pembaca untuk lebih baiknya skripsi ini. Sebagai akhir kata penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Jakarta, 18 Agustus 2014 Nursyad iv DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAN ……………………………………………….. . i ABSTRAK ………………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR ……………………………………………………. iii DAFTAR ISI ………………………………………………………………. v Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ………………………………………………… 4 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 5 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... 5 E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 6 F. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10 G. Kerangka Teori ……………………………………………………… 11 H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12 Bab II: ASAL USUL BANGSA MONGOL A. Kemunculan Bangsa Mongol .............................................................. 13 B. Kehidupan Bangsa Mongol ................................................................. 16 C. Struktur Sosial Bangsa Mongol ........................................................... 18 D. Konsolidasi Politik Bangsa Mongol .................................................... 22 Bab III: SERBUAN BANGSA MONGOL KE BARAT A. Migrasi Bangsa Mongol ...................................................................... v 27 B. Konflik Antar Khaniyah Mongol ........................................................ 33 C. Terbentuknya Dinasti Ilkhaniyah ........................................................ 40 Bab IV: SERBUAN HULAGU KHAN KE BAGHDAD A. Masa Disintegrasi Baghdad ................................................................. 54 B. Menyerbu Baghdad .............................................................................. 63 C. Dampak Serbuan Mongol ..................................................................... 74 Bab V: PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………………… 82 B. Saran-Saran …………………………………………………………… 86 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... vi 87 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1258, dunia dikejutkan dengan jatuhnya kota Baghdad. Kota yang menjadi ibukota negeri-negeri Muslim ini hancur setelah sebelumnya didera permasalahan-permasalahan yang tidak kunjung selesai. Selain menjadi ajang intrik para pejabat dan ulama1, yang berujung pada tata kelola kota yang kurang efektif, kota ini juga mengalami pelemahan kekuasaan akibat terpisah-pisahnya negeri-negeri Islam yang menjadi bawahannya. Terlepas dari dua latar belakang yang disebutkan itu, terdapat akibat lain yang menyebabkan kota ini menemui masa suramnya, yakni serbuan bangsa Mongol. Bangsa Mongol berasal dari suatu daerah di pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan, Manchuria Barat, dan Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang dikaruniai dua putra kembar bernama Tatar dan Mongol. Kedua putra ini di kemudian hari melahirkan dua suku bangsa yakni Mongol dan Tartar. 2 Pendapat lain dikemukakan oleh George Vernadsky yang mengatakan bahwa daerah bangsa Mongol (Mongolia) terbentang hanya dari Manchuria hingga Hongaria.3 Nama 1 Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Lund Humphries, 1949) hlm. 148. 2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 111. George Vernandsky, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University Press, 1953) hlm. 10. Lihat juga Ignatius Erik SY, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus Kiev Tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009), hlm. 11. 3 1 2 Tartar sebagaimana yang dikenal belakangan, merupakan turunan dari nama leluhurnya, Tatar. Bangsa Mongol tampil ke panggung dunia setelah dipimpin oleh Jengis Khan. Dalam waktu 30 tahun, ia berupaya keras membangun pasukan tempur yang besar yakni dengan cara menyatukan Mongol dengan suku bangsa lainnya. Oleh karena buah karyanya ini, pada tahun 1206, ia mendapat gelar Jengis Khan yang berarti Raja Yang Perkasa. Pasukan yang telah terbentuk dibagi dalam beberapa kelompok besar maupun kecil, mulai dari berjumlah seribu, dua ratus, sampai sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.4 Saat merasa kondisi fisiknya kian lemah, Jengis Khan membagi wilayah kuasanya menjadi empat bagian masing-masing kepada putranya, yakni Juchi, Chagatai, Ogotai, dan Tuli. Juchi membawahi sebagian besar daerah sebagian besar wilayah barat termasuk kawasan Rusia. Chagatai diserahi kekuasaan bagian utara dan timur laut sungai Oxus, wilayah yang lebih dikenal sebagai Transoxania. Ogotai dititahkan membawahi bagian timur. Yang membawahi kawasan Khawarizm adalah Tuli Khan.5 Pada tahun 1256, ia berpulang dan tahtanya diwariskan pada anaknya, Hulagu Khan. Bani Abbas atau khilafah Dinasti Abbasiyah berdiri sebagai pengganti Bani (Dinasti) Umayyah, yang sebelumnya merupakan pemimpin dunia Islam. Dinamakan khilafah Dinasti Abbasiyah, oleh karena pendiri serta penguasa dinasti 4 Bertold Spuler, History of The Mongols (London: Routledge & Kegan Paul, 1972) hlm. 26. 5 Bertold Spuler, The Muslim World; The Mongol Empire, part 2 (Leiden: E. J. Brill, 1969) hlm. 10-11. 3 ini merupakan keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Kekuasaannya berkisar dalam rentang waktu yang panjang yakni dari tahun 750 sampai dengan 1258. Setelah melalui masa-masa yang hebat dan penuh kejayaan, dinasti ini menghadapi ancaman serius yakni pertikaian politik. Dinasti ini menjadi ajang berebut pengaruh orang Turki yang bermazahab Sunni dan orang Persia yang beraliran Syiah. 6 Oleh sebab pergerseran politik inilah menyebabkan pemberontakan-pemberontakan rakyat di ibukota. Keadaan ibukota menjadi semakin tidak terkendali keamanannya.7 Oleh sebab keadaan pemerintahan pusat yang tidak efektif menyebabkan kontrol atas wilayah bawahan menjadi tidak tertib yang berujung pada terlepasnya satu per satu wilayah Abbasiyah. Keadaan ini lebih dikenal sebagai masa disintegrasi Abbasiyah. Hal ini terjadi karena khalifah tidak lagi cukup kuat menertibkan lagi wilayah bawahannya.8 Jika dikaji lebih lajut, memang bukan hanya disintegrasi kekuasaan yang membawa Dinasti Abbasiyah pada kejatuhan. Badri Yatim menilai, setidaknya ada empat hal yang menyebabkan punahnya pengaruh Dinasti Abbasiyah di dunia Islam yakni; 1) persaingan antarbangsa; 2) kemerosotan ekonomi; 3) konflik keagamaan; 4) dan, ancaman dari luar.9 Faktor terakhir di atas, agaknya amat berkaitan dengan kehadiran tentara Mongol di Baghdad. Kegersangan sosial yang telah sedemikian akut di wilayah 6 Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep ukman H. dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm. 591. 7 Philip J. Hitti, History of The Arabs, hlm. 594. 8 W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: P3M, 1988) hlm. 152. 9 Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 80-85. 4 kekuasaan Dinasti Abbasiyah, turut pula dirasakan oleh penduduk kota Baghdad. Hulagu Khan melihat ini sebagai momentum penting untuk memperluas wilayahnya. Sekitar tahun 1258, Hulagu memimpin sekitar 200.000 pasukan Mongol untuk mengepung Baghdad.10 Tanpa menunggu waktu lama, ia berhasil menguasai ibukota umat Islam tersebut. Peristiwa ini menandai akhir dari kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dalam dunia Islam. Bangsa Mongol semakin menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa yang memiliki reputasi teratas dalam peta kekuasaan dunia Islam. Dampak yang disebabkan dari serbuan ini amatlah luas, hampir mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Kota yang sebelumnya menyandang gelar sebagai ibukota dunia Muslim ini kala itu ibarat menemui hari terakhirnya. Begitu Mongol pimpinan Hulagu Khan masuk ke dalam kota, pembunuhan, penjarahan serta perusakan tempat-tempat umum menjadi pemandangan yang terlihat di sana-sini. Paling tidak ada tiga dampak signifikan dari penyerbuan orang Mongol ke kota ini yakni; politik, sosial, ekonomi dan peradaban. Skripsi ini akan membahas mengenai serbuan Mongol atas Baghdad beserta dampaknya. Untuk itu judul dari skripsi ini adalah “Serbuan Bangsa Mongol Ke Kota Baghdad dan Dampaknya Terhadap Keruntuhan Dinasti Abbasiyah”. B. Identifikasi Malasah Mongol mengadakan serangan ke Baghdad, ibukota Abbasiyah yang menyebabkan dinasti tersebut mengalami kehancuran. Serbuan itu menyebabkan 10 Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 114. 5 dampak yang signifikan berupa kemunduran berbagai segi sektor kehidupan manusia. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian di atas, maka timbullah berbagai masalah yang perlu dijawab. Mengingat keterbatasan ruang lingkup pembahasan, maka kami batasi dengan tiga hal, yaitu: - Kondisi dunia Islam sekitar abad 13. - Penetrasi Bangsa Mongol ke negeri-negeri Islam. - Serbuan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan ke Baghdad serta dampaknya. Dari pembatasan tersebut, dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Faktor apa yang melatarbelakangi serbuan bangsa Mongol ke negeri-negeri Islam? 2. Bagaimana kondisi sosial-politik Dinasti Abbasiyah menjelang serbuan pasukan Mongol? 3. Apa dampak serbuan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan terhadap Baghdad dan wilayah Dinasti Abbasiyah secara umum? D. Tujuan dan Manfaat Studi 1. Tujuan Studi Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: a. Mengetahui sejarah persebaran bangsa Mongol. 6 b. Memahami secara mendalam ekspansi bangsa Mongol ke negeri-negeri Islam. c. Mengetahui secara komprehensif serbuan bangsa Mongol ke Baghdad yang ditengarai sebagai punahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di dunia Islam. 2. Manfaat Studi a. Penulisan skripsi ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan dinamika sejarah bangsa Mongol kaitanya dengan Islam. b. Menambah khazanah pengetahuan terkait hal ihwal bangsa Mongol dalam rangka menghapus eksistensi Dinasti Abbasiyah di dunia Islam. E. Metode Penelitian Dalam penuliasan karya ilmiah skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis guna memaparkan temuan baru yang berkaitan dengan topik yang diangkat. Selain itu, di bawah ini terdapat beberapa poin yang menjadi instrumen penting dalam suatu penelitian, antara lain: 1. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah sosial. Yakni dengan meneliti pola kehidupan bangsa Mongol serta aktivitas hidupnya yang nomaden. Kondisi alam yang liar dan keras, tempat mereka hidup, ditengarai menjadi hal yang melatarbelakangi perpindahan mereka. 2. Sumber dan Jenis Data Data ataupun sumber penelitian dapat dikategorikan menjadi dua; data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang merupakan acuan atau rujukan utama yang menjadi referensi keilmiahan. Ditilik dari bentuknya, data- 7 data tersebut bisa berbentuk lisan maupun tulisan.11 Melihat obyek penelitian yang memang telah terjadi pada abad 13, maka data primer yang paling memungkinkan diakses adalah berbentuk tulisan. Sedangkan data sekunder bentuknya sama seperti data primer. Namun, yang membedakannya dengan data primer, adalah bahwa data sekunder tidak berasal dari sekitar atau paling tidak berdekatan waktunya dengan peristiwa yang menjadi obyek penelitian. Penelitian ini sepertinya tidak menitikberatkan pada pengambilan sumber primer melalui wawancara. Pengumpulan data dilakukan dengan studi/kajian pustaka (library research). Studi/kajian pustaka dilakukan dengan menelusuri fakta sejarah secara tertulis, kemudian mengumpulan dokumen, baik berupa tulisan sezaman atau manuskripmanuskrip yang berhubungan dengan peristiwa yang ditelaah. Guna mendapatkan informasi yang valid dan otentik penulis menggunakan sumber primer yang berasal dari dokumen sezaman. Salah satu dari sumber primer yang digunakan adalah karya Ibnu Atsir berjudul al-Kamil di Tarikh Ibnu al-Atsir. Dalam karya ini diceritakan mengenai serangan bangsa Mongol terhadap negeri-negeri Islam. Di mana terdapat bangsa Mongol maka di situ terjadi pembunuhan. 12 Selain itu, penulis juga menggunakan sumber-sumber sekunder yang mempunyai relasi dan relevansi dengan kajian materi pembahasan. Sumber lain untuk melihat kondisi Baghdad abad pertengahan, penulis merujuk kepada kitab Futuh al-Buldan karya Abul Abbas Ahmad bin Jabir alBaladhuri. Dalam hal ini penulis menggunakan kitab Futuh al-Buldan versi 11 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995). Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh; Tarikh Ibn al-Atsir (Riyadh: Baitul Afkar adDauliyyah, tanpa tahun) hlm.1914. 12 8 terjemahan bahasa Inggris oleh Francis Clark Murgotten.13 Penulis mendapatkan kedua sumber itu dari perpustakaan rekan penulis, Johan Wahyudi. Sumber primer mengenai kehidupan bangsa Mongol memang masih sulit ditemukan. Namun begitu terdapat sumber sekunder yang cukup otoritatif yakni buku yang ditulis oleh John Man berjudul Jenghis Khan Legenda Sang Penakluk dari Mongolia (2009). Walaupun buku ini lebih mengetengahkan kisah hidup Jengis Khan, namun aspek kehidupan bangsa Mongol, terkait juga mengenai pola hidup nomaden serta kegemarannya akan ekspansi ke negeri lain turut pula disampaikan. Sumber sekunder lainnya yang cukup informatif adalah berupa kitab berjudul al-Muqaddimah yang ditulis oleh Ibn Khaldun. Penulis menggunakan Muqaddimah berbahasa Indonesia terjemahan Ahmadie Thaha.14 Dalam buku ini, peristiwa serangan bangsa Mongol ke Baghdad disinggung walaupun tidak secara komprehensif. Sedangkan untuk sumber lainnya, terutama untuk sumber sekunder, penulis mendapatkannya lewat hasil penjelajahan di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selain itu, penulis juga mendapatkannya di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora. Beberapa sumber lainnya yang didapat, juga berasal dari pribadi, dan dari teman penulis. 3. Analisa Data 13 Lebih lanjut lihat Ibn Jabir al-Baladhuri, Kitab Futuh aAl-Buldan of al-Imam Abul ‘Abbas Ahmad ibn-Jabir al-Baladhuri Part II transl. Francis Clark Murgotten (New York: Columbia University, 1924). 14 Lebih lanjut lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah; Abd al-Rahman bin Muhammad ibn Khaldun terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986). 9 Data-data yang sudah terkumpul kemudian masuk pada tahap analisis untuk mendapat sumber penelitian yang otentik dan otoritatif. Data tulisan diklasifikasi untuk menentukan waktu penulisan dan isi dari dokumen tersebut. Sumber-sumber yang telah dikumpulkan, kemudian diteliti keaslian dan kesahihan informasinya melalui kritik ekstern dan intern. Kritiks ektern dilakukan untuk memperoleh otentisitas atau keaslian data melalui pengamatan fisiknya. Termasuk dalam pengamatan kritik eksternal, adalah mengetahui keaslian jenis kertas, materai, tinta, gaya penulisan bahasanya dan seluruh aspek yang mencakup bentuk fisiknya. Kritik internal berguna untuk mengungkap kebenaran informasi atau kredibilitas isi dari dokumen atau arsip tersebut.15 Selanjutnya, fakta-fakta yang dikumpulkan masuk ke tahap eksplanasi sejarah. Tahapan ini, memungkinkan sejarawan atau peneliti sejarah melakukan interpretasi atas masalah yang diangkat, sehingga memungkinkan munculnya dinamika baru terhadap suatu rekonstruksi peristiwa masa lalu. Analisa atas masalah berdasarkan sumber yang didapat termasuk dalam tahap ini, sehingga diharapkan dapat memperoleh penjelasan baru dalam suatu kajian historis.16 4. Penulisan (historiografi) Setelah fese di atas, maka tiba pada tahap akhir berupa penulisan sejarah. Historiografi sebagai terminal akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan dengan selalu mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya 15 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112. 16 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 10 didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.17 Pemaparan akan ditengahkan dalam bab per bab dan diakhiri dengan kesimpulan. F. Tinjauan Pustaka Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya akademisi lainnya tentang sejarah Mongol maupun Dinasti Abbasiyah, bahkan ada pula yang menyorot tentang seputar kejatuhan Baghdad. Tetapi, dari semua tulisan itu masih terserak dan belum ada yang menyajikan secara komprehensif terkait hal apa saja yang menyebabkan salah satu imperium terbesar dalam sejarah umat Islam itu mundur dan hilang dari peradaban manusia. Dari penelusuran penulis, salah satu buku yang menjelaskan tentang asal-usul bangsa Mongol adalah tulisan Hasan Ibrahim Hasan berjudul Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Diini wa- al-Tsaqaafi wa al-Ijtima’i (1967). Dalam bab 4 yang berjudul Ghazwatul Mughul – Suqutu Baghdad, dijelaskan perihal siapa bangsa Mongol dan penaklukannya atas negerinegeri Islam, sampai dengan serangannya atas Baghdad. Di samping itu, Abdul Hadi Hairi menulis tesis berjudul Nasir al-Din Tusi: His Supposed Political Role in Mongol Invasion of Baghdad (1968). Dalam karyanya ini Hairi ingin membuktikan temuannya bahwa dalam serangan ke Baghdad, Hulagu Khan banyak memperoleh informasi mengenai ibukota Dinasti Abbasiyah itu dari seorang ulama terkenal masa itu yang bernama Nasir al-Din Tusi. Ulama ini memiliki peran yang penting dalam keberhasilan Hulagu Khan menduduki baghdad. 17 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93. 11 Azeem Beg Chugtai (1997), menulis kertas kerja berjudul The Fall of Baghdad. Azeem memfokuskan perhatiannya pada momen ketika Baghdad diserbu oleh barisan berkuda Mongol pimpinan Hulegu (Hulagu) Khan. Pada awal pembahasannya, ia menyinggung kontak pertama bangsa Mongol, yang kala itu dipimpin oleh Chengiz Khan (Jengis Khan) dengan Islam. Dari beberapa kajian yang telah disebutkan, belum ada yang membahas secara komprehensif aspek sosial, politik, maupun budaya yang melatarbelakangi kemunduran Dinasti Abbasiyah. G. Kerangka Teori Sebagaimana disinggung di atas, penulisan skripsi ini bersandar pada pemaparan sejarah bangsa Mongol terkait hubungannya dengan kejatuhan Baghdad, dengan kaca mata sosial. Maka dari itu, untuk memberikan ulasan yang kaya akan informasi sekaligus sebagai bentuk dinamika dalam penulisan sejarah, maka diperlukan pula ilmu bantu dalam penjelasanya. Dalam kesempatan ini, penulis akan mendukung pemaparan informasi skripsi ini dengan mengetengahkan studi sosiologi, tepatnya mengenai perubahan sosial yang terjadi di kota Baghdad setelah serangan Mongol. Sebagaimana diketahui, serbuan itu membuat kota ini menjadi wilayah yang mengalami kemunduran yang cukup parah. Diharapkan dengan penjelasan melalui sudut pandang sosiologis, maka sejarah jatuhnya kota ini dapat terlihat secara lebih jelas. Dalam salah satu definisi, perubahan sosial dapat dimaknai sebagai berubahnya suatu sistem sosial dalam tiga hal, yakni perubahan pada struktur, kultur dan interaksi sosial. Oleh sebab itu, yang dikatakan perubahan sosial, 12 hendaknya terjadi pada seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang hanya terjadi pada satu fenomena saja, belum dapat dikatakan sebagai perubahan sosial.18 H. Sistematika Penulisan Bab I Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II Membahas tentang asal-usul bangsa Mongol juga pola kehidupan sosialnya. Bab III Membahas tentang migrasi Mongol, baik ke dunia bagian timur maupun barat. Selain itu akan dipaparkan pula motif bangsa Mongol memilih kehidupan nomaden. Dalam bab ini juga diketengahkan penaklukan Mongol atas peradabanperadaban besar, khususnya di dunia Islam. Bab IV Membahas tentang dampak serbuan bangsa Mongol terhadap Baghdad. Kehancuran yang ditimbulkan atas serbuan ini diklasifikasikan menjadi tiga subbab, yakni kehancuran kota, kehancuran kemanusiaan, dan kehancuran Dinasti Abbasiyah. Yang tak kalah penting adalah dampak dari serangan itu sendiri yang diklasifikasikan menjadi tiga; dampak politik, sosial-ekonomi, dan peradaban. Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan, saran-saran, lampiran, dan daftar pustaka. 18 Yusron Razak, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) hlm. 180. BAB II ASAL-USUL BANGSA MONGOL A. Kemunculan Bangsa Mongol Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang daerahnya terbentang dari kawasan Asia Tengah hingga menyentuh Siberia Utara, Tibet Selatan hingga ke Manchuria Barat, dan Turkistan Timur.19 Ada pula yang berpendapan Bangsa Mongol tinggal di kawasan yang terbentang dari Manchuria hingga Hongaria.20 Menurut suatu sumber arkeologis, nenek moyang bangsa Mongol diperkirakan telah mendiami sebelah selatan gurun Gobi pada 100.000 sampai 200.000 tahun yang lalu. Tepatnya pada masa Zaman Batu Awal. Sekitar abad pertama sebelum masehi, telah ada komunitas-komunitas manusia yang memiliki kebudayaan perunggu. Kebudayaan perunggu merujuk pada penggunaan alat-alat perunggu dalam pekerjaannya (bronze-working peoples). Memasuki abad ketiga SM, orang-orang Mongol mulai membentuk aliansi kesukuan untuk mengancam Cina. Mereka juga mulai menyebar ke pedalaman Asia sebagai pemburu di hutan maupun suku nomad. Terkait mengenai jejak prasejarah di kawasan Asia Tengah, Bertold Spuler mengatakan bahwa setelah sekitar 200 SM, terjadi migrasi besar-besaran ke wilayah timur yang dilakukan oleh orang Indo-Eropa yang kemudian menetap di 19 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 111. George Vernandsky, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University Press, 1953) hlm. 10. Lihat juga Ignatius Erik SY, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus Kiev Tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009), hlm. 11. 20 13 14 sana. Tempat yang semula menjadi lokasi berkumpulnya para pendatang IndoEropa, menjadi bentuk awal dari gambaran populasi dan bentuk karakter yang khas di kawasan Asia Tengah hingga hari ini. Daerah ini didiami oleh dua bangsa yang hidup berdampingan yang memiliki beberapa ciri umum yang serupa, namun berbeda dalam bahasanya. Kedua bangsa ini adalah Turk dan Mongol. Sejak dimulainya era Kristen, aktivitas kedua bangsa ini telah banyak ditemukan dalam sumber-sumber sejarah Cina. Mereka dikenal dengan serbuan-serbuannya yang bertujuan mendapatkan jarahan, sampai ketika bangsa Cina berhasil membangun tembok besar Cina (The Great Wall) untuk menghentikan aksi pengrusakan mereka.21 Peneliti serta masyarakat luas dewasa ini, tentu amat sulit mendapatkan sumber terpercaya mengenai peninggalan arkeologis bangsa Mongol. Menurut Gulugjab Tagghudai, kelangkaan ini bukanlah tanpa sebab, melainkan bertalian erat dengan historisitas bangsa Cina yang pernah menduduki daerah yang semula didiami oleh bangsa Mongol. Pada beberapa abad yang lalu, bangsa Cina banyak menghancurkan artefak yang dipelihara orang Mongol sejak masa Jengis Khan. Bahkan, di beberapa wilayah Cina yang terdapat monumen atau suatu pertanda yang menghormati Jangis Khan dihancurkan pula. Ironisnya, di seluruh dunia sejarah Jengis Khan dan bangsa Cina selalu disebutkan sebagai suatu masa keemasan peradaban Cina (glorious China).22 Seiring berjalannya waktu, bangsa Mongol mulai mendiami kawasan yang sangat luas mulai dari semenanjung Korea di timur melewati bagian utara dataran 21 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm.1. Gulugjab Tagghudai, “General Concept in Mongol persona”, hlm.2, dari http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:AH3OObJL8M8J:silverhorde.viahistoria. com/GeneralConceptsInMongolPersona.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk, diunduh pada tangal 14 Juli 2013, pukul 14.08. 22 15 tinggi Cina sampai ke wilayah Kazakhstan. Mereka juga mendiami pegunungan Pemir dan danau Balkash di sebelah barat. Nama Mongol sendiri kemudian baru dikenal sebagai salah satu bangsa utama dari banyak sebaran orang yang berasal dari Mongolia pada abad 8 SM yang memiliki karakter etnologis tertentu. 23 Merujuk pada penjelasan Badri Yatim yang mengutip dari Ahmad Syalabi yang menyebutkan bahwa nenek moyang orang Mongol bernama Alanja Khan yang memiliki dua putra kembar bernama Mongol dan Tatar. Mongol memiliki anak bernama Ilkhan yang di kemudian hari menjadi pemimpin bangsa Mongol.24 Sedangkan menurut Hasan Ibrahim Hasan, nama Mongol sendiri memiliki kaitan historis dengan istilah Tatar. Namun begitu, Hasan lebih condong untuk menggunakan istilah Tatar untuk menyebut bangsa Mongol. Tatar sendiri memiliki makna “suatu tahun di mana terjadi beberapa pergantian masa”. Pemaknaan ini tidak lain lahir dari dua kabilah Tatar yang menghubungkan diri pada penggambaran Urkhun Turki yang terdapat pada masa abad 2 H (sekitar abad 8 M). Pemaknaan yang sama juga ditujukan pada Mongol secara keseluruhan maupun bagi kabilah sejenis.25 Ketika memasuki abad 13, serbuan pasukan Mongol ke barat di bawah pimpinan Jengis Khan menyebabkan perkawinan silang antara kebudayaan dan masyarakat di seluruh benua Asia. Walaupun pada kenyataannya, Jengis Khan tidak menghilangkan Tatar sebagai suku, orang Mongolia keturunan Turk juga dikenal dengan sebutan Tatar. Namun, bangsa Eropa menggunakan istilah ini 23 http://www.mongabay.com/history/mongolia/mongoliaorigins_of_the_mongols_early_de velopment,_ca_220_bc-ad_1206.html diunduh pada tanggal 15 Juli 2013 pukul 09.47. 24 Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, hlm. 111. 25 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqofi wa al-Ijtima’i Juz 4 (Kairo, Maktabah al-Nahdhlatul Misriyyah, 1968), hlm. 130. 16 tanpa melihat aspek perbedaannya dalam segi apapun. Bagi semua bangsa pengembara dikategorikan sebagai orang barbar yang kasar yang menurut mereka hanya menyebarkan ketakutan dan kebencian. Oleh karena itu, mereka mengeja nama Tartar dari Tartarus yang merupakan neraka gelap dalam mitologi Yunani. Dewasa ini, baik penyebutan Mongol maupun Tartar sering digunakan secara bergantian.26 B. Kehidupan Bangsa Mongol Bangsa Mongol banyak menghabiskan hidupnya dari stepa ke stepa. Mereka hidup berdampingan dengan suku-suku nomad lain yang nantinya merupakan leluhur dari orang Iran dan Turki. Suku-suku nomad ini memiliki kesamaan bentuk dalam cara hidup maupun organisasi sosialnya. Stepa merupakan suatu padang rumput luas, umumnya datar dan hanya diselingi sedikit pepohonan. Keputusan mereka untuk menjalani kehidupan dengan cara berpindah-pindah bukanlah tanpa sebab. Hal ini berhubungan dengan kondisi tanah Mongolia yang keadaannya kurang subur dan diperparah dengan keadaan iklimnya yang ganas. Menginjak musim dingin yang dapat berlangsung 6 bulan dalam setahun, persediaan air menipis. Penyebab utamanya adalah karena sungai-sungai mengalir ke kutub utara, yang tentu saja bisa berubah keadaannya menjadi es sehingga sulit untuk digunakan.27 Ira M. Lapidus mengatakan bahwa daerah padang rumput yang gersang di sebelah utara, tepatnya di sekitar Laut Kaspia, Laut Aral, dan Danau Balkh, 26 Justin Marozzi, Timur Leng; Panglima Islam Penakluk Dunia (Bandung: Mizan, 2013) hlm. 9. 27 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999) hlm. 638. 17 banyak dihuni oleh warga pastoral yang berprofesi sebagai penggembala berbagai binatang ternak seperti kuda, domba, biri-biri, dan unta. Lebih jauh Lapidus menjelaskan bahwa, pola hidup masyarakat pastoral yang nomaden memungkinkan mereka menjalin relasi dengan komunitas lain, termasuk masyarakat pemukim. Kebiasaan ini telah terjadi selama berabad-abad yang lampau. Lapidus mengetengahkan contoh bahwa meskipun peradaban Cina dan Timur Tengah memiliki corak kedinastian dan pertanian, tidak menutup kemungkinan adanya kelompok masyarakat pastoral yang sekedar mampir atau berdiam selama beberapa waktu di kota maupun pedesaannya. Beberapa daerah, di Cina maupun di Timur Tengah, yang memiliki kondisi geografis padang rumput dan daerah beroase, malah banyak didiami kaum pastoral penggembala yang memelihara kuda maupun biri-birinya di sekitar tempat itu. Di kemudian hari, penduduk pastoral ini kemudian diorganisir menjadi suatu kumpulan (konfederasi) kelompok-kelompok yang lebih besar. Warga pemukiman yang telah terbiasa menjalin hubungan dengan masyarakat pastoral tersebar di wilayah Transoxania, Khawarizm, Farghana, dan Kashgar serta di beberapa kota yang termasuk dalam jalur dagang yang menghubungkan Cina, Timur Tengah, dan Eropa.28 Menurut Hasan Ibrahim Hasan, bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan tidak kenal takut sekalipun harus berhadapan dengan kematian dalam mencapai keinginannya.29 Bangsa Mongol juga memiliki jiwa militer yang kuat.30 28 Ira Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 638-639. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, hlm. 132; lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 112. 30 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 21, 24-25. 29 18 C. Struktur Sosial Bangsa Mongol Bangsa Mongol terbagi ke dalam dua kelompok besar yakni (1) suku Mongol yang mendiami kawasan stepa dan (2) mereka yang bertempat tinggal di dalam hutan. Suku Mongol yang tinggal di stepa, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, berprofesi sebagai penggembala sedangkan yang tinggal di hutan umumnya menggantungkan hidup pada berburu dan menangkap ikan di sungai. Kedua golongan ini menjalin hubungan yang baik dan saling menguntungkan. Suku Mongol hutan memasok kebutuhan bulu bagi suku Mongol stepa yang nantinya digunakan sebagai penghangat ketika musim dingin datang. Sedangkan suku Mongol stepa ada pula yang membiasakan diri menempa besi menjadi senjata yang selain digunakan sendiri juga didistribusikan ke suku Mongol hutan. Masyarakat bangsa Mongol terbagi ke dalam sejumlah komunitas pengguna bahasa Turki-Altaic serta membentuk suatu sistem sosial yang memiliki unsur patrilineal (berhubungan dengan garis dari ayah). Warga padang rumput ini kemudian membentuk satuan keluarga, klan, maupun konfederasi (gerombolan). Klan sendiri berfungsi menjadi unit dasar pengumpul pajak, pengorganisasian militer, penengah perselisihan, serta beragam kegiatan politik lainnya. Ketika beberapa kelompok kecil didasarkan pada garis keturunan, maka suatu konsep politik atau teritorial menginspirasi pembentukan beberapa peringkat organisasi yang lebih tinggi. Sistem patrineal ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam dinamika sosial bangsa Mongol. Menurut Ignatius Erik, sistem sosial masyarakat Mongol pada abad 12 malah didasarkan pada sistem patrineal. Pola perkawinan yang 19 dilakukan orang Mongol bersifat eksogami, yakni pernikahan dengan sesama anggota suku dilarang, pernikahan baru bisa dilaksanakan dengan anggota suku lain. Laki-laki diperbolehkan berisitri lebih dari satu (poligami). Pada praktiknya, pola pernikahan seperti ini kerapkali menimbulkan pertikaian antarsuku, oleh karena seringnya terjadi kasus penculikan istri. Guna mencegah kasus tersebut, beberapa suku membuat perjanjian bersama untuk menikahkan anak mereka. Setiap orang Mongol diajarkan tentang silsilah suku serta relasi antarsuku sejak umur belia. Ilmu pengetahuan ini disakralkan oleh orang Mongol dan wajib diwariskan secara turun-temurun. Persatuan suku tidak hanya diikat melalui hubungan darah melainkan juga hubungan spiritual. Bagi setiap suku, baik anggotanya masih ada atau telah mangkat, mulai nenek moyang hingga keturunannya merupakan grup relijius yang independen (mandiri) dan dianggap abadi keberadaannya. Pada wilayah keluarga, ikatan tersebut dapat senantiasa dihidupkan melalui suatu ritual.31 Dalam pernikahan, binatang peliharaan seperti kuda, unta, kambing, dan domba memiliki nilai tersendiri. Ketika seorang laki-laki menginginkan isteri, maka ia menebusnya (sebagai mas kawin) dengan binatang atau hak menggembala.32 Kepercayaan yang dianut oleh bangsa Mongol adalah Syamanisme, yakni praktik menyembah bintang dan sujud ketika matahari terbit.33 Baru ketika di bawah Jengis Khan berkuasa, agama Budha dan kepercayaan Tibet Lama telah banyak dianut bangsa Mongol. Ketika jengis Khan mangkat, 31 Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.14. Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 25. 33 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam, jilid IV, hlm. 133. 32 20 banyak pengikutnya yang kembali ke kepercayaan semula. 200 tahun kemudian, agama Budha dan kepercayaan Tibet Lama diperkenalkan kembali berbarengan dengan munculnya suatu kepercayaan neo-Syamanisme. Kepercayaan ini dianut oleh bangsa Mongol hingga timbulnya komunisme di Cina pada abad 20 yang menerapkan kebijakan anti-agama disertai pembunuhan besar-besaran para biksu dan penghancuran rumah-rumah ibadah. Ketika bangsa Mongol masuk ke negerinegeri Islam, seperti Persia, banyak di antara mereka yang menjali Muslim.34 Pembagian strata sosial bangsa Mongol terdiri atas anggota ksatria Mongol yang disebut bagatur atau sechen. Pemimpin dari golongan ksatria ini dinamakan noyan.35 Kelompok orang kebanyakan atau penduduk biasa dinamakan karachu, dan di bawahnya lagi adalah golongan budak. Ketika bangsa Mongol sudah mulai berhubungan dengan Dinasti Jin dari Cina yang mengakui entitas (keberadaan) Mongol sebagai suatu vassal atau negeri bawahan. Beberapa di antara noyan ada yang diberi gelar mengikuti struktur pemerintahan Dinasti Jin, seperti taishi (gubernur) dan wang (raja).36 Hubungan antara warga pastoral dan perkotaan ini dapat terjalin dimulai ketika seorang khan Mongol, Ambaghi Khan, ditaklukan oleh suku Tatar yang dibantu oleh pasukan Dinasti Jin. Dinasti Jin sendiri memiliki agenda terselubung untuk mencegah persatuan suku-suku Mongol, sehingga dalam upayanya itu ia bermitra dengan suku Tatar. Sematan khan merupakan gelar yang disandang oleh seorang pemimpin suku Mongol.37 34 Gulugjab Tagghudai, “General Concept in Mongol persona”, hlm. 6. George Vernadsky, Mongol and Russia, hlm. 15; lihat juga Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.15. 36 George Vernadsky, Mongol and Russia, hlm. 15; lihat juga Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.15. 37 Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.15. 35 21 Dalam struktur sosial masyarakat Mongol, wanita dan pria memiliki kedudukan yang sama. Hal ini bisa ditelisik dari tradisi penggembala nomaden Mongol yang telah berurat akar selama berabad-abad yang memastikan kemandirian yang sama baik pria maupun wanitanya. Menurut John Man, wanita Mongol bahkan hingga saat ini, tidak hanya berdiam di rumah, memasak atau menjahit baju, serta mengasuh anak, mereka juga mampu berburu dan menggembala jika merasa perlu melakukannya. Dua pekerjaan terakhir, lazimnya merupakan tugas kaum pria.38 Ira M. Lapidus mengungkapkan lebih jauh, bahwa antara masyarakat penetap dan pastoral bukan hanya menjalin hubungan saling mengenal, melainkan juga telah berkembang dalam relasi perniagaan, produksi, dan juga terlibat dalam kafilah perdagangan. Seiring berjalannya waktu, warga pastoral sendiri telah mulai terbiasa hidup seperti warga mukim, dengan membiasakan diri mencari nafkah melalui pertanian. Kemudian, setelah merasa betah, mereka pun banyak yang mulai menjadi petani tetap bahkan juga warga perkotaan. Terkadang, mereka berada dalam jajaran menengah masyarakat, dengan menjadi penguasa serta tuan tanah.39 Mekipun bangsa Mongol terkenal akan serbuannya yang menyejarah ke hampir mencakup dua benua, pemimpin Mongol, Jengis Khan telah pandai membaca situasi yang mengharuskan ia menetapkan suatu undang-undang yang ditaati oleh seluruh orang Mongol, semata-mata diberlakukan untuk menciptakan keteraturan. Undang-undang ini dinamakan yasa (alyasak, atau alyasah). Di 38 John Man, Kubilai Khan; Legenda Sang Penguasa Terbesar Dalam Sejarah (Tangerang; Alvabet, 2010) hlm. 11-12. 39 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 699. 22 dalamnya termaktub peraturan yang antara lain menyebutkan bahwa wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi ke dalam beberapa kelompok besar maupun kecil, berjumlah seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.40 D. Konsolidasi Politik Bangsa Mongol Bangsa Mongol mencapai kemajuan sosial secara mencolok ketika dipimpin oleh Yasugi Bahadur Khan (Yesugai), setelah sebelumnya hidup secara terpisah dalam suku-suku kecil. Dengan tidak mengenal lelah, ia menyatukan 13 suku Mongol di bawah komandonya.41 Yasugi merupakan keturunan dari keluarga bangsawan tua dari suku Mangkhol. Spuler menyebut bahwa Yasugi merupakan seorang komandan yang membawahi sepuluh orang dan banyak yang meyakini, ia merupakan seorang pangeran yang independen. Kehidupannya dipenuhi dengan pertarungan mempertahankan tanahnya serta kewibawaannya.42 Hal ini tentu masih berkaitan dengan pola “penertiban” yang dilakukan oleh Dinasti Jin atas suku-suku nomad. Menginjak tahun 1165, Yasugi mangkat. Ia meninggalkan beberapa orang anak dan yang tertua bernama Temujin (Jengis Khan), saat itu berusia 10 tahun. menurut adat Mongol, ia digadang-gadang menjadi pemimpin Mongol masa depan. Namun, kenyataan belum berjalan sesuai dengan ketentuan itu. Ia sepenuhnya menyadari bahwa dalam mempertahankan warisan leluhur, maka ia membutuhkan banyak laskar yang siap membantunya.43 40 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 112. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 112. 42 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 2-3. 43 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 3. 41 23 Jengis Khan dikenal sebagai jenderal perang Mongol yang ulung. Ia mereorganisasi tata kemiliteran Mongol sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kekuatan yang ditakuti oleh lawan-lawannya. Kehidupan stepa yang serba keras, dipadati dengan latihan berkuda dan berperang menempatkannya sebagai sosok yang membawa fajar baru bagi bangsa Mongol. Dengan segera ia memugar kembali kepercayaan kaumnya, lewat pembentukan tentara berkuda yang menjadi kepanjangan tangannya meraih cita-cita sebagai seorang penguasa yang paling disegani dalam sejarah.44 Setelah menaklukkan daerah-daerah Cina.45 Pandangan sang Khan kini mengarah ke Barat. Lewat serangkaian pengaturan arus balik yang teratur, pasukan berkuda sang Khan mulai merayap keluar dari daerah Cina dan memacu kudanya ke barat. Beberapa mil di depannya, terdapat daerah Dinasti Khawarizm, yang kala itu dipimpin oleh Muhammad II. Di masanya Khawarizm sedang menikmati masa-masa keemasannya. Sejak masuknya wilayah Uighur pada kekuasaan Jengis Khan pada 1207, Dinasti Khawarizm merupakan lawan terberat pasukan Khan di samping kekaisaran Cina.46 Ketika mengetahui iring-iringan pasukan Jengis Khan akan menghampiri negerinya, Muhammad II47, Syah Khawarizm, mengutus seorang utusan yang membawa surat perdamaian kepada Jengis Khan. Isi surat tersebut adalah keinginan khalifah Dinasti Abbasiyah untuk menjalin relasi perdagangan dengan 44 Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.20-22. Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 14-15. 46 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 8. 47 Sumber lain mengatakan namanya adalah Sultan Alauddin, sedangkan nama Muhammad sendiri menurut Bertold Spuler merupakan Muhammad II dan ada pula yang menyebutnya Alauddin Muhammad yang merupakan syah terbesar dinasti ini. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 113; Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 8. 45 24 Mongol. Sumber lain mengatakan bahwa, sebenarnya baik sang utusan maupun Syah Khawarizm tidak mengetahui isi surat yang ternyata memang berasal dari Baghdad itu. Sebenarnya, isinya adalah mempersilahkan Jengis Khan menyerang Khawarizm, bahkan khalifah Baghdad akan membantu pasukan Mongol. Semuanya kemudian berjalan baik, Khawarizm tidak jadi diserang hingga suatu ketika pada tahun 1218, konflik antara keduanya pecah. Saat itu Syah Khawarizm kedatangan tiga pedagang Muslim kaya yang mewakili Jangis Khan untuk menyampaikan salam hangat kepada Khawarizm, yang dengan bahasa diplomatik sedemikian halus merujuk pada maksud agar Khawarizm bersedia menjadi vassal dari Mongol. Syah Khawarizm amat tersinggung dengan ucapan itu. Segera setelahnya, ia membunuh duta-duta Mongol itu dan merampas barangbarang karavannya. Pun dengan utusan kedua Mongol yang juga dibunuh, sama sekali tidak ada rasa bersalah dari sang Syah, malahan hal ini dilakukan untuk memenuhi kepuasannya. Menanggapi kabar kematian utusannya, Jengis Khan menganggapnya sebagai bentuk pelecehan. Tiada kata lain untuk membalasnya, selain membumihanguskan Khawarizm. Pasukannya digerakkan menuju Khawarizm. Sang Syah segera dibangunkan dan menempatkan pasukannya di Samarkand, sedangkan ia memilih bertahan untuk memperkuat bentengnya. Tentara Khawarizm porak poranda. Yang paling menakutkan adalah apa yang dikisahkah Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi at-Tarikh-nya terkait pembunuhan yang dilakukan oleh tentara sang Khan. Setiap tempat yang terdapat manusia, maka di situ pasti terjadi pembunuhan. Korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan 25 juga anak-anak.48 Kala itu, pertempuran melawan Syah diserahkan kapada anak Jengis Khan, sedangkan sang Khan sendiri memilih menaklukkan Bukhara. Pasukan Syah mundur hingga ke Balkh lalu ke Nisapur. Ketika Jengis Khan berhasil menguasai Samarkand. Ia mengirim beberapa detasemen untuk mengejar Syah Khawarizm. Kisah Syah Khawarizm berakhir dengan tragis, ia ditemukan mati terbunuh di pulau kecil di Laut Kaspia pada tahun 1220.49 Manurut Badri Yatim, gelombang kekuatan balasan Khawarizm sempat muncul dan menantang pasukan Mongol. Kali ini Khawarizm langsung dipimpin oleh Jalaluddin, syah baru yang juga anak Muhammad. Pertempuran pun segera pecah di Attock pada tahun 1224. Ketika itu, pasukannya terdesak hebat, Jalaluddin segera melarikan diri ke India, dari sana pasukan Mongol tetap bergerak hingga sampai di Azerbaijan.50 Di negeri ini, kerusakan yang terlihat semakin parah. Menurut Ibn al-Atsir selain mengadakan penghancuran, tentara Mongol juga melakukan penjarahan harta benda.51 Orang-orang Khawarizm merupakan pemeluk Islam aliran Syiah. Setelah merasa kedudukannya kuat, mereka mendirikan kerajaan baru, yakni kerajaan Syah Khawarizm. Orang-orang Muslim Syiah Khawarizm ini kemudian berhasil mengikat wilayah bagian barat Asia, dari sebelumnya terpecah-pecah menjadi suatu kesatuan politik. Di sisi lain, para elite kerajaan belum mampu menciptakan hal yang sama di ranah kehidupan beragama. Hal ini dikarenakan penggantian Islam Syiah sebagai agama resmi kerajaan menggantikan Islam Sunni yang 48 Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh; Tarikh, hlm.1914. Karl Brockelman, History of the Islamic, hlm. 240-241. 50 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 113. 51 Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, hlm. 1945. 49 26 menjadi agama resmi di era Turki Seljuk, belum semampunya dapat diterima oleh semua kalangan. Belakangan masalah ini ternyata menjadi sumber kerapuhan kerajaan Khawarizm. Umat Islam yang berada di bawahnya memiliki potensi terkoyak oleh konflik agama. Selanjutnya, para elite Khawarizm berupaya untuk terus memperlebar sayap wilayahnya, kali ini pandangan ditujukan ke Baghdad. Namun, cita-cita ini menemukan jalan terjal bahkan tidak terlaksana sama sekali, oleh karena beberapa waktu kemudian segala elemen masyarakat kerajaan ini hancur lebur dipukul serbuan bangsa Mongol.52 52 Muhammad Tohir, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 413-414. BAB III SERBUAN BANGSA MONGOL KE BARAT A. Migrasi Bangsa Mongol Menginjak tahun 1227, Jengis Khan sudah tidak mampu lagi memacu kudanya lebih cepat. Agaknya ketuaan telah beberapa tahun sebelumnya menghantui dirinya. Tepatnya pada 18 Agustus 1227, ia mangkat dengan meninggalkan istri, anak, keluarga, dan pengikutnya. Ketika ia meninggal, kerajaan Mongol sudah sedemikian luas terbangun dan tentu saja bayang-bayang akan tantangan mempertahankan eksistensinya dengan cepat berhembus. Sudah tentu, mereka yang berhak mewarisi kerja kerasnya itu adalah anak-anaknya. Jengis Khan dikaruniai empat anak. Kesatuan kerajaan bisa saja tercerai berai akibat perebutan tahta. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada bangsa Mongol. Undang-undang Mongol telah menetapkan bahwa anak termuda diserahi tugas untuk mewarisi kepemimpinan dan menjaga tanah pihak ayahnya. Dengan kata lain, tanah air atau tanah tumpah darah bangsa Mongol diwariskan kepada putra termuda yang bernama Tuli. Sedangkan untuk ketiga anaknya yang lain, Jagatai (Chagatai) mendapatkan bagian utara dan sebelah timur laut Oxus. Daerah ini lebih dikenal dengan nama Transoxania. Sedangkan untuk Ogedei diwariskan daerah bagian timur, dan untuk yang anak tertua, Jochi, diserahi tugas mengurus sebagian besar daerah barat, termsuk kawasan Rusia. Enam tahun berselang sejak kematian Jengis Khan, Jochi 27 28 berpulang, kedudukannya digantikan anaknya.53 Semasa hidupnya, Jengis Khan senantiasa memimpikan kerajaan besarnya berada dalam kesatuan terpusat. Walaupun dihadapkan pada realitas wilayah yang amat luas, bukanlah dianggap menjadi masalah utama. Ia tidak menyetujui konsep desentralisasi kekuasaan yang berarti pula membagi wewenang kekuasaan pada penguasa-peguasa di bawahnya. Hal tersebut dipahami betul oleh keempat anak Jengis Khan. Salah satu di antara mereka harus ada yang menduduki Khan Agung tertinggi (Great Khan) yang membawahi empat wilayah pembagian Mongol. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1229, diselenggarakan dewan rakyat Mongol yang dikenal dengan nama Qurultay. Pertemuan para pemuka Mongol itu menghasilkan keputusan bahwa Ogedei-lah yang didaulat menjadi Khan Agung. Sosok Khan Agung ini diceritakan mewarisi kemampuan bertempur ayahnya. Sikapnya terlihat tenang dan mencerminkan pemimpin yang tidak gegabah memimpin kerajaan tinggalan ayahnya. Segera ia mengadakan beberapa tindakan membangun birokrasinya dengan membuat ibukota baru di Qara Qum (Karakum). Daerah ini dikenal sebagai gurun liar yang diupayakan sebagai daerah subur tempat tumbuhnya buah-buahan dan sayur mayur yang nantinya didistribusikan ke Mongolia dan China. Kota ini dikenal pula sebagai salah satu titik jalur dagang dan memiliki potensi strategis menjalin relasi niaga di antara India dan Asia Barat.54 Walaupun telah mendapat bagian-bagian, namun nafsu untuk memperlebar sayap ekspansi belum juga surut di jiwa anak serta keturunan Jengis Khan. Batu Khan, anak Jochi, setelah membentuk tentara yang kuat mulai 53 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 10-11. Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 11.; lihat juga Justin Marozzi, Timur Leng, 54 hlm.13. 29 memberangkatkan pasukannya menyerbu Rusia, Polandia, Bulgaria, dan Magyar/Hongaria (di Eropa Timur). Sesampainya di pintu gerbang Eropa tersebut hasratnya tak kunjung padam, ia mengarahkan pandangan untuk menaklukkan Konstantinopel. Namun begitu, agaknya ia harus memendam cita-citanya. Ia mangkat sebelum pasukannya menyentuh kota itu.55 Salah satu episode perang yang menarik adalah ketika tentara berkuda Mongol pimpinan Ogodei dihadang oleh kawanan kavaleri gajah TurkiKhawarizm, sebagaimana yang diceritakan oleh Juvaini (Juwaini?):56 And when the path of combat was closed to them, and the two parties had become entangled on the chess board of war, and the valiant knights were no longer able to manoeuvre their horses upon the plain, they threw in their elephants; but the Mongols did not turn tail, on the contrary, with their King-checking arrows they liberated those who were held in check by the elephants until broke up the ranks of the infantry. When the elephants had received wounds ami were of no more use than the foot soldiers of chess, they turned back, tramping many people underneath their feet. (ketika jejak pertempuran menghampiri mereka, pergerakan dua pasukan menjadi seperti perang di papan catur. Manuver berkuda prajurit Mongol tertahan dan hanya mengitari tanah datar, mereka memanahi gajah-gajah tersebut. Mongol tidak terpengaruh dengan mengekor pasukan musuhnya. Malahan, dibawah kendali raja mereka, serangan panah dialamatkan ke gajah sehingga menyebabkan kerusakan bagi infantri musuh. Pasukan gajah tersebut menghancurkan infantri catur. Pasukan bergajah berbalik menuju prajurit musuh dan mencederai banyak orang yang dilewati sang gajah). Bagaikan menjalankan bidak catur, ketika mengetahui pergerakan pasukan berkuda terhenti oleh dominasi pasukan gajah Khawarizm, alih-alih mengadakan serangan mengekor, yakni melalui belakang, pasukan Mongol yang kala itu dipimpin oleh Jochi, memilih menghujani pasukan gajah dengan panah. Ketika 55 Hamka, Sejarah Umat Islam jilid III (Bukittinggi: N. V. Nusantara, 1961), hlm. 24. Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 21-22. 56 30 gajah-gajah panik, para pawangnya tidak bisa mengendalikannya dan sang gajah berbalik menghancurkan infantri Khawarizm. Setelah memperoleh kemenangan yang gilang gemilang di Khawarizm, pasukan Mongol melanjutkan penaklukan atas seluruh Persia. Bukan hanya kawasan landai, pasukan Mongol juga menghampiri dataran tinggi Mesopotamia dan menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentangnya. Gruzia (Georgia) pun ditundukkan dan Anatolia dihancurkan. Semua pemuka wilayah serta rakyatnya menyatakan tunduk di depan Mongol. Tak berhenti sampai di situ. Pintu gerbang Eropa pun didobrak, yakni ketika Rusia digempur, Polandia dijajah dan Hongaria dibuat menderita. Iring-iringan Mongol pun sampai di pintu gerbang Wina (Austria). Namun, kelanjutan penaklukan Eropa nyatanya belum terpenuhi ketika Ogodei berpulang. Eropa pun mengelus dada tanda selamat dari petaka pasukan Mongol. Sebagai bentuk pengakuan atas kehebatan Mongol menyentuh Eropa, Paus Innocent IV memberi izin kepada Universitas Paris untuk membuka program bahasa asing, yaitu Arab dan Tatar. Selain itu, Paus juga mengirimkan duta-dutanya secara berkala ke istana Qara Qum, sehingga seorang rahib dari ordo Frasiskan bisa mengikuti upacara penahbisan raja Mogol (Mongulistan), Goyuk. Mogol atau Moghulistan merupakan pecahan dari keluarga Chagatay. Sepeninggal Ogedei, tampuk kepemimpinan sempat diserahkan kepada istrinya yang bernama Toregene dan tak lama kemudian tahta tersebut diserahkan kepada Guyuk. Sesuatu yang nantinya menimbulkan ketegangan di antara keluarga Mongol. Batu pemimpin Golden Horde, menyatakan 31 ketidaksepakatannya dengan pengangkatan Guyuk.57 Sama seperti kakeknya, Batu juga dikenal sebagai penakluk ulung. Golden Horde merujuk pada pengikut Jochi yang berarti Gerombolan Emas.58 Sepeninggal putra tertua Jengis Khan, Jochi, pada 1227, wilayahnya diwariskan kepada putra sulungnya, Orda. Daerah kekuasaannya yang meliputi bagian barat sungai Irtish di Siberia, daerah yang paling jauh dari pusat pemerintahan Khan Agung di Qara Qum. Menurut sejarawan Persia abad 13, Juwaini, daerah ini disebut juga “sejauh daerah yang pernah diinjak oleh kaki kuda Mongol”. Orda mendapat bagian Siberia barat dan koridor wilayah di antara sungai Amu Darya dan Irtish yang dikenal sebagai “wilayah sayap timur ulus Jochi”. Setelahnya, daerah ini dikenal sebagai tempat berdiamnya Gerombolan Putih (White Horde) dan Gerombolan Biru (Blue Horde). Di kemudian hari, wilayah tersebut jatuh ke tangan Batu yang langsung mengonsolidasikan kekuasaannya di daerah barat-cabang paling barat dari kekaisaran Mongol. Kedua gerombolan ini digabungkan menjadi suatu gerombolan baru bernama Gerombolan Emas (Golden Horde) yang nantinya segera mengadakan ekspansi wilayah. Menginjak tahun 1235, Batu memperoleh kesempatan pertamanya untuk mewujudkan mimpinya. Ogedei menunjuknya sebagai komandan pasukan Mongol sebesar 150.000 orang untuk menundukkan bangsa Bulgar di Sungai Volga dan bangsa Kipchak. Bangsa Bulgar merupakan bangsa nomaden yang kebanyakan dari mereka telah memeluk Islam dan mendirikan negara/kerajaan dengan ibukotanya di Bulgar, terletak di pertemuan sungai Volga dan Kama. 57 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 14. Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 17 58 32 Mereka hidup di tenda dan menggantungkan kehidupannya dengan beternak, berdagang bulu binatang dan budak di pasar-pasar Ma wara’a al-nahr yang nantinya ditukar dengan persenjataan dan barang manufaktur. Sedangkan bangsa Kipchak merupakan konfederasi penggembala Turki yang kuat dan mendiami wilayah stepa bagian sebelah utara laut Kaspia, membentang dari Siberia barat hingga sungai Danube. Ma wara’a al-nahr atau “tempat di balik sungai” dalam peta atlas modern dimulai dari wilayah yang termasuk dalam bekas jajahan Uni Soviet yang kemudian membentuk negara-negera merdeka di Asia Tengah mulai dari Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan, Tajikistan terus membentang hingga mencapai Xinjiang barat laut di China. Daerah ini dikenal pula dengan nama Transoxiana yang di tengah-tengahnya terdapat lorong daratan selebar 500 Km yang diapit dua sungai terbesar di Asia Tengah, Amu Darya dan Sir Darya, atau nama klasiknya Oxus dan Jaxarte.59 Lewat serangkaian serangan sistemastis bangsa Bulgar dapat ditaklukkan dan kotanya pun dihancurkan. Ketika pasukan sampai di wilayah Kipchak, mereka sempat tertahan oleh gelombang aksi heroik pejuang Kipchak yang langsung dikomandoi oleh pemimpinnya Bachman. Namun keadaan tersebut tidak bertahan lama, tembok pertahanan kokoh yang digalang pasukan Kipchak berhasil dijebol dan dengan cepat pasukannya ditundukkan. Batu melanjutkan serangannya hingga mencapai sungai Ural pada tahun 1237, melintasi Rusia dan menghancurkan kota-kota besar seperti Moskow dan Kiev, yakni dengan 59 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 12. 33 mengadu domba para pangeran Rusia yang telah terpecah belah. Pasukan terus berlanjut menaklukkan Polandia hingga Wina.60 Di kemudian hari Golden Horde pimpinan Batu menjadi pasukan Mongol yang disegani baik di antara keluarga maupun musuh-musuhnya. Di bagian timur jauh, keturunan Jengis Khan lainnya pun sedang mengusahakan suatu dominasi atas Cina. Dimulai dari Mongke, putra Tului, yang mengusahakan kekuasaan atas negeri ini. Ambisinya terhenti dengan kematiannya pada 6 September 1259. Cita-citanya diteruskan oleh adiknya Kubilai dan Aryg Boge. Setelah melewati beberapa peperangan penting Kubilai berhasil merebut tahta tertinggi Cina dan menjadi kaisar sekaligus mendirikan dinasti baru, yakni dinasti Yuan. Pada perkembangannya, Yuan amat identik dengan tradisi dan budaya Cina ketimbang Mongol.61 B. Konflik antar Khaniyah Mongol Persatuan sejatinya sudah tidak melihat lagi pengedepanan hasrat pribadi. Kekuasaan yang sedemikian luas, ditambah dengan banyaknya bangsawanbangsawan Mongol yang memiliki ambisi pribadi untuk selangkah lebih terdepan dibanding saudaranya yang lain menyebabkan persatuan yang sebelumnya telah berhasil diwujudkan kini mendapat ancaman keretakan. Pun ketika mengetahui Goyuk, putra Ogedei akan ditunjuk menjadi Khan Agung menggantikan ayahnya, hati Batu seakan tidak terima dan memutuskan untuk berseberangan dengan saudara-saudaranya yang lain. Pada akhirnya kedua pangeran Mongol tersebut 60 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 85-86. Bertold Spuler, The Islamic World, hlm. 18 dan 21. 61 34 harus merelakan jabatan Khan Agung yang ternyata ditetapkan kepada Mongke, putra sulung Tului, yang juga masih mewarisi darah Jengis Khan.62 Jika pertikaian sudah melanda kalangan elitenya, maka dengan serta merta ikut pula memecah belah kebersatuan bangsa Mongol. Pertikaian Batu dengan pangeran Mongol tersebut, pertanda perpecahan ternyata akan berkepanjangan dan merusak ikatan keluarga antara Jochi dan Tului di satu sisi dan antara Ogedei dan Chagatay di sisi lainnya. Batu sendiri memiliki ambisi pribadi untuk menduduki istana Qara Qum yang bermakna pula menjadi Khan Agung. Untuk itu, hal ini pula yang mendorong Batu tidak meneruskan ekspansinya ke bagian barat dan memilih kembali untuk menghadiri sidang Qurultay yang memiliki agenda pemilihan khan baru, di mana permasalahan itu menghabiskan beberapa tahun lamanya. Jika saja Ogedei mampu hidup lebih lama, maka dapat dipastikan kekuasaan Mongol akan sampai pada tepi pantai Samudra Atlantik. Selain untuk memastikan jabatan Khan Agung baginya, ia juga bermaksud menetapkan kerajaan dan wilayahnya sendiri. Sejak tahun 1242 hingga 1254, ia menyibukkan diri membangun ibukotanya, Sarai Lama, di tepi timur sungai Akhtuba yang merupakan anak sungai Volga, kira-kira seratus kilometer barat laut Astrakhan. Setelah kemenangan atas Rusia dan Eropa, hasil tersebut kemudian diperuntukkan bagi dirinya seorang, yang berarti pula semakin luasnya daerah kekuasaannya, dari yang sebelumnya hanya berada pada wilayah utara laut Kaspia yang sederhana memanjang mencakup daerah barat daya Nizhniy, Novgorod dan Voronezh di Rusia hingga Kiev di Ukraina serta ungai Prut di 62 Bertold Spuler, The Islamic World, hlm. 18. 35 perbatasan Rumania. Di timur, pengaruhnya terpancang meliputi Khawarizm dan kota Urganch yang terkenal.63 Walaupun telah mendirikan pusat kekuasaannya sendiri, api pertikaian antara Batu dan Guyuk belum juga padam. Menurut Brockelmann, Guyuk terlibat perang terbuka dengan Batu di Balkan, sesaat setelah dirinya ditahbiskan menjadi Khan Agung. Sekitar dua tahun berselang, Batu melancarkan serangan ke bagian barat kekuasaan Guyuk. Kebetulan Guyuk berada tidak jauh dari iring-iringan pasukan Batu. Didorong oleh api kemarahan yang membakar, Guyuk memacu kudanya beserta pasukannya dan terlibat pertarungan dengan saudara sepupunya itu. Pertempuran mencapai akhirnya ketika Batu berhasil membunuh Guyuk.64 Setelah Batu mangkat pada sekitar tahun 1255 atau 1258, tampuk khan Golden Horde diberikan kepada Berke, adiknya. Sang Khan baru mendirikan kota baru lainnya, Saray Baru, yang juga berada di tepi sungai Akhtuba di sebelah timur Volgograd. Saray Baru dipilih menjadi ibukota baru ketika khan Gerombolan Emas ini dijabat oleh Uzbek yang memerintah mulai tauh 1313 hingga 1341 yang juga menjadi puncak kegemilangan Golden Horde. Pada masa itu, pasukan Golden Horde berhasil memukul mundur pasukan Mongol Chagatay sekaligus memasukkan wilayah kekuasaan Chagatay ke dalam wilayah Golden Emas. Di wilayah ini terhampar potensi niaga yang besar yakni adanya jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Eropa. Sekitar tahun 1330, Ibn Battuta sempat mengunjungi kota ini dan menemukan sebuah kota kosmopolitan yang luar biasa dihuni oleh orang Mongol, Kipchak, Sirkassia, Rusia, dan Yunani, 63 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 87. Carl Brobkelmann, History of the Islamic, hlm. 249. 64 36 masing-masing hidup di komunitasnya sendiri. Saat itu, di Saray Baru sudah berdiri tiga belas gereja dan sejumlah masjid. Ibn Battuta mengatakan bahwa kota ini merupakan “salah satu kota terbaik yang sangat luas, terletak di dataran yang dipenuhi dengan warga yang menyelenggarakan pasar besar, jalannya pun terlihat lebar.” Sepeninggal Uzbek, tahta kerajaan diamanatkan kepada anaknya, Janibeg, yang mulai berkuasa pada tahun 1337. Di masa pemerintahannnya, potensi masyarakat dan daerahnya dilemahkan oleh serbuan Wabah Hitam yang membunuh sekitar 80.000 orang hanya di daerah Crimea saja, dan belum di daerah lainnya. Golden Horde pun berada di masa kemundurannya. Serangkaian pertikaian antar bangsawan keturunan Batu menyebabkan keutuhan kerajaan semakin tidak terkendali lalu kemudian terpecah menjadi wilayah-wilayah merdeka yang saling bermusuhan.65 Konflik internal tidak saja melanda Gerombolan Emas, namun juga menghancurleburkan persatuan keluarga Mongol Chagatay. Sekitar akhir abad ke 13, ketegangan serius mulai muncul di wilayah Chagatay. Saat itu, terjadi perselisihan antara bangsawan Mongol yang memilih cara hidup menetap, baik di kota maupun desa, sebagian besar berasal dari Ma wara’a al-nahr, mereka adalah Mongol yang Muslim dengan saudara mereka yang mempraktikkan pola hidup militer pengembara, mendiami wilayah timur dan yang masih menyembah berhala. Bangsawan pengembara mencibir Mongol penetap sebagai bukan Mongol sejati melainkan hanya peranakan. Sedangkan Mongol penetap 65 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 87-90. 37 menganggap mereka yang masih hidup mengembara sebagai jete, perampok, atau jat. Semakin lama, pertikaian ini semakin sulit dilerai, malah semakin menumbuhkan kebencian di antara kedua Mongol beda profesi ini. Ketegangan semakin membesar dengan adanya penerapan sistem keistimewaan yang diberikan kepada kaum militer oleh khan. Keistimewaan ini membebani masyarakat yang hidup di bawah kemiskinan. Mereka dipaksa memberikan makanan, pakaian, dan persenjataan bagi tentara.66 Pun di bagian Timur Jauh, kegemilangan yang dicapai oleh Kubilai, ternyata mengundang api perselisihan dengan saudaranya seperjuangan dulu, Aryq Boge. Sepeninggal Mongke, Aryg Boge ditengarai berambisi menjadi Khan Agung menggantikan kakaknya. Hal tersebut diketahui oleh Kubilai yang juga berhasrat menjadi Khan Agung. Jabatan ini tentu saja akan semakin meningkatkan reputasinya sebagai salah satu penguasa dunia yang berpengaruh. Selain menjadi kaisar atas Cina, negeri yang memiliki peradaban teragung dan tersohor di balahan dunia manapun, posisi Khan Agung akan semakin menahbiskan dirinya sebagai satu-satunya penguasa tertinggi bagi seluruh orang Mongol, bangsa yang dikenal sejarah memiliki reputasi menakutkan sepanjang sejarah umat manusia. Dikatakan demikian mengingat Mongol merupakan bangsa yang tak pandang bulu menghancurkan lawannya, membunuh, merampok dan hanya menjadikan hal itu sebagai keharusan. Setelah melakukan hal itu, mereka tidak memiliki cita-cita untuk membangun wilayah taklukkan itu kembali. Baru pada 66 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 26. 38 keturunan Mongol berikutnya yang telah berakulturasi dengan budaya lain sadar akan pembangunan peradaban. Pada akhirnya, Kubilai berhasil memenangkan perburuan gelar dan menjadi Khan Agung selanjutnya.67 Di balik pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuka Mongol ini, terdapat benang merah yang dapat ditarik, yakni bangsa Mongol menjadi penguasa terbesar di seluruh dunia. Kendati sebelumnya lebih banyak mempraktikkan pola hidup pastoral atau nomaden, beberapa dari mereka mulai tersadar bahwa untuk melanggengkan nama serta kerja keras yang mereka lakukan selama ini maka membangun suatu peradaban merupakan langkah yang harus diwujudkan selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan berbagai ibukota yang menjadi sentral kekuasaan. Batu membangun Saray Lama, Kubilai Khan meenjadi penguasa Cina dan menandai kelahiran dinasti baru yakni Yuan. Di masa-masa setelahnya, kekuatan bangsa pastoral yang bukan saja berasal dari suku Mongol pun mampu membuat peradaban. Negeri-negeri Asia Tengah mulai disanjung karena keindahannya ketika Timur Leng bertahta di Samarkand, bahkan bangunan gaya Timuriyah (yakni dengan atap menyerupai kubah dan didominasi oleh warna biru) menjadi inspirasi pembangunan istana Kremlin Russia.68 Belum lagi tentang pasukan Turki Seljuk yang menjadi momok menakutkan bagi kerajaan Byzantium. Kekalahan pasukan Salib, pada serentetan Perang Salib juga terjadi ketika tidak mampu menandingi manuver tajam pasukan Seljuk. Bahkan dalam pertempuran Manzikert yang terjadi tahun 1071, Turki Seljuk berhasil mengalahkan 67 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 22. Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 271. 68 39 Byzantium.69 Perebutan Konstantinopel pada 1453, oleh Muhammad II, Sultan Turki Usmani, menjadi pembuktian bahwa bangsa stepa memiliki formula jitu sebagai penguasa dunia.70 Selain Mongol, saudara mereka, bangsa Turki juga sebelumnya menjalani hidup sebagai bangsa berkuda yang mendiami kawasan Asia Tengah. Belakangan ketika mereka telah semakin berkembang karena ditempa pengalaman, mereka kerapkali bersitegang dan saling berebut pengaruh. Ikatan persaudaraan ketika di padang rumput dahulu, agaknya semakin memudar oleh karena agenda politik masing-masing. Kendati kerap terjadi silang pendapat dan tak jarang berakhir dengan perang saudara, Mongol telah membuktikan diri sebagai bangsa besar yang sejarahnya mampu menandingi penguasa besar lainnya dalam sejarah manusia, seperti Alexander Agung, Napoleon Bonaparte, Frederick The Great atau Harun alRasyid. Hanya saja perbincangan mengenai Mongol kerapkali lebih dikedepankan hanya seputar kesadisan serta “piramida manusia” yang kerap dibuatnya ketika menaklukkan suatu kota. Seakan tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang dikenang sejarah sebagai penakluk besar, Hulagu Khan memiliki ambisi pula untuk menjadi khan yang memiliki jalannya sendiri. Sematan Mongol dalam dirinya serta pasukan berkudanya belakangan lebih dikenal dengan Tatar. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebutan Tatar kerapkali digunakan secara bergantian 69 Tim Penulis, Perang yang Mengubah Sejarah; Buku Pertama: dari Pertempuran Megiddo (1457 SM) hingga Blenheim (1704) (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013) hlm. 135. 70 Tim Penulis, Perang yang Mengubah, hlm. 184. 40 dengan Mongol. Hulagu mengukir sejarahnya sendiri sebagai penakluk kekhilafahan Baghdad yang juga memiliki peradaban besar, tak kalah dengan Cina. C. Terbentuknya Dinasti Ilkhaniyah Menginjak pertengahan abad ke-13, pemerintahan Muslim di Persia masih berada pada kondisi yang labil. Ketika itu dunia perpolitikan diteror oleh sekumpulan ahli-ahli seni pembunuhan yang dikenal sebagai Hasyasyin (Assassin). Mereka kerap mengadakan teror gelap di mana-mana. Muhammad Tohir menilai bahwa kelompok ini sejatinya merupakan kumpulan penyamun yang banyak bergerak dalam wilayah politik, sehingga tak jarang membungkus agenda politiknya melalui serangkaian aksi kriminal. Sebenarnya, para pemuka Turki Seljuk telah melakukan berbagai cara untuk membasmi gerakan ini, namun masih belum berhasil. Bangsawan-bangsawan Suriah pun mengambil keuntungan dengan melumpuhkan dan menyabotase jaringan perdagangan sehingga keuntungan berpihak kepada mereka. Keadaan inilah yang mengundang Hulagu untuk menjajal kemampuannya dalam menata kembali kelanjutan dinasti Jengis Khan.71 Merujuk pada penjelasan Brockelmann, pada perkembangannya, pasca mundurnya keturunan Chagatai dan Ogedei dari perburuan menjadi Khan Agung, keturunan mereka terlibat dalam pertikaian pelik yang berujung pada saling membunuh. Dalam keadaan yang serba kacau tersebut, kekaisaran Mongol terbagi ke dalam dua otoritas (spheres of authority), yang terbentang di stepa di antara 71 Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 424-425. 41 sungai Talas dan Chui. Ketika keturunan Batu menghujamkan pengaruhnya di Eropa Timur, adik Mangu (Mongke), Hulagu berjaya menguasai timur dekat (Asia Barat).72 Berbeda dengan saudaranya yang lain, Hulagu merupakan pemeluk Budha yang taat, lahir dari ibu yang beragama Nasrani dan beristrikan pula seorang Nasrani. Pasukan Hulagu terdiri atas orang Turki Asia Tengah yang kebanyakan beragama Nasrani (sekte Nestorian). Setelah persiapan dirasa cukup, Hulagu dan pasukannya memilih menundukkan Persia sebagai ajang unjuk kekuatannya. Keadaan Persia yang penuh dengan teror kaum Hasyasyin, dirasa tepat oleh karena keadaan negerinya yang memang tidak stabil sehingga dipandang lebih mudah ditaklukkan. Ketika itu, gerombolan Hasyasyin sudah mengetahui akan datangnya pasukan Tatar pimpinan Hulagu. Baik Hasyasyin maupun para penguasa Seljuk di Bagdad memiliki kesatuan visi mencegah terjadinya persatuan Mongol di seluruh Asia. Hasyasyin atau Assassins sendiri, merupakan gerakan radikal yang ditakuti, yang pengikutnya berasal dari sempalan sekte Syiah Ismailiyah dan selama berabad-abad melakukan teror atas para penguasa Muslim.73 Mereka bersemayam di benteng-benteng di kawasan Alamut di pegunungan bagian selatan Kaukasia.74 Nama Alamut sendiri memiliki makna “sarang elang”, oleh karena merujuk pada letak geografisnya yang berada di ketinggian. Dengan susah payah, Hulagu beserta pasukannya berhasil mengalahkan kelompok ini.75 Pasca masuknya orangorang Mongol ke Persia, terjadi gelombang konversi (perpindahan) agama yang 72 Carl Brockelmann, History of Islamic, hlm. 249. Marsha E. Ackermann dkk, ed, Encyclopedia of World History; The Expanding World 600 c.e. to 1450, vol. II (New York: Facts On File, 2008) hlm. 183. 74 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 18. 75 Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 57. 73 42 unik di kalangan khan Mongol yang berkedudukan di wilayah ini. Pelan namun pasti, mereka mulai beralih agama ke Islam. Keadaan ini membawa serta pada perubahan sifat maupun perangai dari sebelumnya berwatak kasar, kejam, dan beringas menjadi pribadi yang lebih mengedepankan perasaan lagi berkelakukan halus. Hulagu Khan yang mengetahui peristiwa tersebut ternyata amat tidak senang dengan banyaknya orang-orang Mongol ke Islam. Setelah diselidiki, ternyata bukan hanya para pemuka Mongol Persia saja yang masuk Islam, melainkan mereka yang berkedudukan di wilayah Turkistan dan Asia Selatan telah banyak pula yang menjadi Muslim. Segera pasukan Hulagu Khan dipacu ke arah Turkistan untuk menaklukkan saudara-saudaranya, terhitung masih putra pamannya sendiri, yang menjadi Muslim tersebut. Perlahan namun pasti, perang saudara yang sepertinya bermotifkan perbedaan keyakinan itu mulai terjadi. Kendati Hulagu Khan merupakan pengikut Budha yang taat dan akan menyerang saudaranya yang Muslim, ternyata, latar belakang serangannya bukanlah sematamata karena kepentingan agama. Beberapa dekade sebelum upaya penaklukkan Hulagu ke Persia, daerah tersebut telah terlebih dahulu dikuasai bangsa Mongol, yakni dari wangsa Chagatay yang mewarisi daerah yang dalam sejarah dikenal dengan nama Mogol atau Moghulistan. Sepeninggal Chagatay, daerah ini jatuh dalam pertikaian internal yang sengit, masing-masing pemimpin Mongol tidak ada yang mau mengalah. Persia pun akhirnya terpacah-pecah ke dalam beberapa kekuasaan/kerajaan yang kecil-kecil dan saling terpisah-pisah. Masing-masing 43 dikepalai oleh pemuka Mongol setempat. Kerajaan-kerajaan ini ada yang masih mengadopsi tradisi kepemimpinan Mongol, tetapi tidak sedikit pula yang mengambil pengaruh dari corak tata pemerintahan Persia. Di antara mereka ada yang menganut mazhab Sunni dan ada pula yang Syi’ah. Masing-masing dari mereka kerapkali terlibat bentrokan bersenjata, yang diakibatkan dari pertentangan antar golongan maupun kepentingan kesukuan dan sebagainya, sehingga lambat laun membuat dominasi Mongol atas Persia menjadi rapuh. Latar belakang demikianlah yang sepertinya menginspirasi Hulagu untuk menaklukkan kembali Persia agar berada di bawah kesatuan Mongol yang kuat. Ia khawatir hal serupa juga cepat atau lambat akan terjadi di wilayah Rusia Selatan maupun Turkistan. Dalam pada itu, berbekal pasukan terlatih dan berpengalaman, Hulagu Khan memimpin untuk mengembalikan kembali kebesaran Jengis Khan yakni menyatukan wilayah-wilayah yang terpecah ke dalam bendera kekaisaran Mongol Raya, seperti yang dilakukan leluhurnya itu di masa lalu.76 Penghacuran Hulagu yang paling dikenal dalam catatan sejarah adalah atas ibukota umat Islam dunia kala itu, Bahgdad. Lewat serangkaian pengepungan yang terstruktur kota ini berhasil ditaklukkan. Khalifah Dinasti Abbasiyah beserta keluarganya mati dibunuh oleh bala tentara Hulagu Khan. Bangunan-bangunan dimusnahkan. Korban yang jatuh di kalangan penduduk sipil antara 90.000 sampai 250.000.77 Bahgdad mengalami peristiwa terkelamnya kala itu. Umat Muslim pun jatuh dalam kesengsaraan. Setelah puas menjarah dan membunuh warga Baghdad, 76 Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 429-430. Marsha E. Ackermann dkk, ed, Encyclopedia of World History, hlm. 183. 77 44 pasukan Hulagu melanjutkan pengembaraannya ke barat. Sesampainya di Suriah, oleh karena sudah mendengar keganasan yang ditorehkan pasukan Tatar sebelumnya, beberapa pangeran/amir memilih menyerah dan berdamai. Tantangan tangguh nyatanya telah menunggu di depan. Pasukan Dinasti Mamluk yang berpengalaman dalam Perang Salib menunggu dengan tenang dan waspada. Manuver pasukan Tatar yang dikenal cepat, luput dari sergapan patroli pasukan Dinasti Mamluk. Namun begitu, lewat kegigihannya, pasukan Dinasti Mamluk berhasil memepet rapat pergerakan bangsa Tatar. Merasa terjepit, Hulagu melancarkan strategi klasik para leluhurnya, yakni menyatakan menyerah dan membawa kembali pasukannya. Tanpa disangka, setelah menjauh dari patroli mamluk, Hulagu membuat gerakan memutar dan mengarahkan kuda-kudanya menyerbu Palestina. Pada 3 September 1260, rangkaian penaklukkan Hulagu terhenti di Ain Jalut dekat Nablus. Pasukan Dinasti Mamluk mengadakan serangkaian serangan yang membuyarkan pertahanan Tatar. Kali ini Hulagu menelan kekalahan dan memutuskan menarik pasukan dari kawasan Suriah.78 M. A. Enan memberikan keterangan yang berbeda mengenai kontak pasukan Tatar dengan Mesir yang kala itu dikuasai Dinasti Mamluk. Beberapa waktu setelah Hulagu menaklukkan Baghdad, para petinggi Dinasti Mamluk digelayuti rasa kekhawatiran dan kecemasan yang tidak terkira. Mesir sendiri dalam perjalanan sejarahnya kerapkali dikoyak oleh penakluk-penakluk dari belahan timur dunia. Sejarah mencatat hanya pasukan Dinasti Mamluklah yang berhasil menghentikan laju Hulagu. Segera setelah berhadapan, pasukan Dinasti 78 Carl Brockelmann, History of the Islamic, hlm. 250-251. 45 Mamluk pun segera terlibat dalam pertempuran seru melawan pasukan Hulagu. Lewat serangkaian gebrakan, pasukan Dinasti Mamluk berhasil memukul mundur pasukan Tatar ini. Pasukan Tatar yang selamat memilih mengundurkan diri ke timur. Inilah salah satu kekalahan besar yang di derita bangsa Mongol, yang sebelumnya terkenal selalu berhasil mematahkan serangan pasukan-pasukan negeri Islam lalu kemudian menjarahnya. Kairo pun terselamatkan. Sang sultan tak henti-hentinya memanjatkan puji syukur.79 Setelah penaklukkan Baghdad, Hulagu Khan tidak lantas menikmati masamasa liburnya dengan tenang. Pikirannya disibukkan dengan rancanganrancangan untuk merawat serta menjaga keutuhan daerah-daerah yang sebelumnya telah dikuasainya. Khurasan merupakan wilayah yang kemudian menjadi benteng terkuat Tatar dan di kemudian hari banyak ditinggali oleh koloni-koloni Mongol dan Turki. Wilayah penting selanjutnya adalah Azerbaijan yang di kemudian hari banyak pula didatangi oleh suku-suku Turki yang hidup berdampingan dengan orang-orang Persia yang telah terlebih dahulu mendiami kawasan ini sejak abad 9. Orang-orang Persia ini dulunya berprofesi sebagai tentara bagi khalifah Dinasti Abbasiyah. Banyak di antara pasukan Hulagu yang berasal dari suku Turki dan wilayah ini tentu amat cocok untuk disinggahi pasukan Turkinya. Selanjutnya, masih termasuk dalam wilayah Hulagu adalah padang rumput Mughan yang terhampar di utara Tabriz. Kualitas rumput di sana tergolong baik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan kuda dan ternak lainnya. Kota Tabriz 79 Lebih lanjut lihat M.A. Enan, Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1979) hlm. 184-191. 46 dan Maraghah dijadikan tempat tinggal sang khan yang lantas menjadi ibukota Dinasti Ilkhan yang memiliki potensi bisnis dan perdagangan yang bagus. Pengaruh Persia-Arab pun mulai merebak di seluruh masyarakat Ilkhan, yang tentunya merupakan keniscayaan akibat pengaruh budaya maupun tradisi setempat.80 Nama “Ilkhan” sendiri amat lekat dengan diri Hulagu Khan. Masa-masa keemasan Hulagu Khan berbarengan dengan prestasi gemilang yang dicapai saudaranya, Kubilai Khan di Cina. Segera setelah Kubilai telah berhasil meraih posisinya sebagai Khan Agung, hubugannya dengan penguasa Mongol Persia itu kian dekat. Kubilai merestui Hulagu menjadi “Ilkhan”, viceroy, atau wakil Khan Agung di Persia yang tak lain merupakan bagian dari otoritas Khan di Cina. Di wilayah kebudayaan, hubungan keduanya pun kian rekat dan membuahkan hasil yang membanggakan.81 Kegemilangan yang dicapai Hulagu, nyatanya memiliki reputasi sebaliknya bagi bangsa Persia. Secara keseluruhan, pemerintahan Mongol merupakan masamasa terpahit sekaligus traumatis bagi bangsa Persia. Justin Marozzi merujuk pada uraian al-Qazwaini menyatakan bahwa, masa ribuan tahun kiranya tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh pembantaian Jengis Khan. Pun menurut Juwaini, salah seorang sejarawan terkenal yang hidup di kala Persia di bawah pendudukan Mongol, mengatakan bahwa “setiap kota dan desa” menjadi korban pembunuhan dan penjarahan yang dilakukan secara berulangulang sedemikian parah sehingga populasi penduduknya tidak pernah menyentuh 80 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 25. Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 22. 81 47 angka 10 persen dari populasi sebelumnya. Penduduk sipil kota-kota besar seperti di Merv, Balkh, Nisyapur, Hamadan, Tus, Rayy, Qazwain, dan Herat secara bergantian dibunuh. Seiring dengan tindakan ini, ladang-ladang pertanian dimusnahkan saat petani-petani lari menyelamatkan diri dan meninggalkan pertaniannya. Aliran irigasi hancur, dan gurun perlahan memakan daerah-daerah yang semula subur. Proses kemunduran ini dipercepat dengan kedatangan bangsa Mongol pengembara yang membawa serta ternak dan kemudian digembalakan di lahan-lahan tersebut. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Kekuasaan Ilkhan membawa serta pengaruh baru, yakni tersambungnya komunikasi antara Timur dan Barat. Aliran kafilah-kafilah dagang yang hilir mudik di antara kedua daerah tersebut ikut serta menyokong kemajuan ini. Pelbagai bentuk pertentangan religi yang semula menghantui lingkungan orang-orang Persia, perlahan menurun intensitasnya. Salah satu hal yang ikut serta mengikis pertikaian keagamaan tersebut adalah adanya asimilasi yang dilakukan bangsa Mongol, yang dipandu langsung oleh para penguasanya, ke dalam dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu pengaruh Arabisasi yang semula amat identik dengan Islam perlahan memudar dan bahasa Persia menjadi bahasa pengantar serta bahasa pengetahuan yang juga merupakan bahasa kebudayaan tertinggi. Penguasa Mongol di Persia juga menjadi saksi kelahiran historiografi (penulisan sejarah) resmi Persia. Adalah Rasyiddin, seorang ilmuwan yang memelopori penulisan sejarah tanah dan bangsanya tersebut. Langkah mulianya tersebut diikuti pula oleh dua perdana menteri (PM) Ilkhan, Juwaini dan Wassaf. 48 Di era tersebut, muncul pula varian baru dari dunia lukisan, yakni dengan meningginya corak atau gaya melukis lanskap Cina yang mulai digunakan oleh para pelukis-pelukis Persia. Perlahan kehancuran budaya dipugar dan menemukan era keemasannya kembali. Koneksi (hubungan) yang sedemikian erat antara Cina dan Persia atau SinoIran mendapat perhatian yang serius dari Thomas Allsen. Menurutnya, hubungan ini merupakan dampak dari berkembangnya pertukaran antarbudaya (crosscultural exchange), yang amat dekat dengan peran para agen-agen Mongol.82 Senada dengan penjelasan Allsen, Nicola di Cosmo menegaskan beberapa hal yang melatarbelakangi hubungan harmonis keduanya adalah akibat adanya distribusi manusia, barang, maupun pemikiran dari Asia Barat ke wilayah yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan tersebut banyak pula diinisiasi dan dilakukan oleh bangsa Mongol. Jadi yang dinamakan relasi “Cross-Cultural” merujuk pada upaya filterisasi (penyaringan) dan adaptasi yang diberlakukan oleh para pemimpin Mongol. Mereka mengawasi fenomena ini beriringan dengan semakin membesarnya jumlah perpindahan manusia di seluruh Eurasia.83 Walaupun Persia sedikit demi sedikit berdiri menyandang kebesarannya, hal tersebut agaknya diluar persepsi David Morgan. Lewat penelitian terbarunya berjudul Medieval Persia: 1040-1797 (1992), ia menyangsikan kontribusi Mongol dalam pembangunan kembali Persia. Menurutnya: “Kita pastinya memiliki keraguan tentang sikap masyarakat Persia, waktu mereka berusaha keras berkelit 82 Thomas T. Allsen, Culture and Conquest, hlm. 189-211. Nicola di Cosmo, “Mongols and Merchants on The Black Sea Frontier in the Thirteenth and Fourteenth Centuries: Convergences and Conflicts” dalam http://www.storia.unipd.it/PROFILI/MATERIALE/MATERIALIDIDATTICI/1235484113174559 878946449.pdf. diakses pada pukul 13.24 hari Kamis 15 Agustus 2013. 83 49 dari para petugas pajak Mongol, dalam memandang perkembangan keahlian melukis. Bagi bangsa Persia, era pendudukan Mongol merupakan masa malapetaka yang sangat besar dan tidak tertandingi.”84 Ilkhan merupkan suatu kekhanan yang memberikan keistimewaan kepada umat Kristen Nestorian. Mereka yang banyak ditemui di ibukota kerajaan berasal dari Mesopotamia Utara. Sejak gelombang kedatangannya ke kawasan Asia Tengah mereka termasuk dalam golongan istimewa dibanding penduduk kerajaan lainnya. Istri Hulagu, Doquz Khatun merupakan pemeluk Kristen. Di beberapa wilayah, gereja-gereja maupun kapel-kepel banyak dibangun. Bukan hanya Kristen Nestorian saja yang menyandang status istimewa, mereka yang berasal dari sekte lain, seperti Jacobin Suriah dan Monofisit Armenia serta Ortodoks Georgia juga menikmati fasilitas serupa. Sebagaimana disinggung sebelumnya, Hulagu sendiri merupakan seorang Budhis (penganut Budha). Kepercayaannya ini lebih dipengaruhi oleh Budha yang berkembang di Mongol bukan yang berasal dari tradisi Cina. Orang Mongol memiliki agamawan Budha sendiri yang dikenal dengan sebutan Bakhsyis. Mereka banyak didatangkan untuk meramaikan istana. Semula, Hulagu merupakan pemabuk berat, namun begitu memeluk Budha kebiasaannya tersebut ditinggalkan. Pada tangga 8 Februari 1265, Hulagu berpulang dan beberapa waktu kemudian istrinya menyusul suaminya. Sepeninggal Hulagu, tahta Ilkhan diberikan kepada anaknya Abaqa (12651282) yang beragama Kristen. Tidak berselang lama, kapasitas khan baru ini 84 Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 134-135. 50 mulai diuji oleh serangkaian problem eksternal yang mengancam keutuhan kerajaan. Di daerah Kaukasus, Mongol Golden Horde pimpinan Berke melakukan beberapa aksi pencaplokan wilayah. Segera, Abaqa mengirim kekuatan tempurnya. Benteng-benteng berbahan dasar kayu didirikan di sepanjang tepi selatan sungai Kur. Pasukan yang berkubu ini berharap dapat meletupkan suatu manuver yang akan menghentikan laju tentara Berke. Di pihak lain, Berke ternyata berhasil menemukan akses lain, sehigga tidak bertemu dengan pasukan Ilkhan, dan setelah menyeberangi sungai Kur, ia melanjutkan perjalanannya ke barat. Laju pasukan mereka terhenti di suatu kota Georgia kuno bernama Mtskheth. Di sana tentara Ilkhan bertempur dengan pasukan Berke dengan sengitnya. Dalam pertempuran ini, kira-kira tahun 1267, Berke berhasil dibunuh dan pasukannya berhasil dihancukan. Untuk sementara, Abaqa dapat bernafas lega. Namun begitu, ini merupakan permulaan dari rangkaian aksi teror yang nantinya banyak ditemukan di bagian utara dan tenggara Dinasti Ilkhan. Kondisi geografis Persia memiliki andil besar dalam perjalanan sejarah negeri ini. Persia dikelilingi oleh rangkaian pegunungan yang besar. Di sebelah barat laut terhampar pegunungan Kaukasus, sedangkan pegunungan Zagros melintang di sebelah barat dan barat daya, serta dataran tinggi Pamir dan Hindu Kush terletak di sebelah timurnya. Hanya di belahan timur laut, tepatnya di wilayah Oxus-Jaxartes yang terbuka. Daerah tersebut, menginjak masa pemerintahan Abaqa, mulai berada dalam ancaman musuh. Golden Horde membentuk aliansi dengan penguasa Transoxania untuk melancarkan serangan 51 gabungan ke wilayah Ilkhan. Namun serangan itu nyatanya hanyalah kabar burung dan tidak benar-benar terjadi. Lagi-lagi Abaqa masih bisa bernafas lega. Pertempuran benar-benar pecah, ketika penguasa Transoxania melancarkan pukulan terjadap Khurasan pada tahun 1268. Setelah membentuk satuan tempurnya, Abaqa melancarkan serangan balasan dan berhasil memukul mundur musuhnya. Dari arah timurlaut ancaman lain mengintip dari balik horizon. Menurut Spuler, salah satu perhatian utama dari para penguasa Persia sejak masa lalu adalah mengamankan kontrol tidak hanya Mesopotamia, melainkan juga Suriah dan akses menuju Mediterrania. Untuk menyetir Suriah, adalah memiliki konsekuensi terlibat perang terbuka dengan Mesir, dan sebelumnya harus melewati terlebih dahulu pesisir sungai Eufrat. Kekalahan Hulagu melawan pasukan Dinasti Mamluk di Ain Jalut menjadi bukti tak terbantahkan betapa ancaman yang terdapat di bagian timur amat berat dan tangguh. Kala itu sultan Baybars, penguasa Dinasti Mamluk, dari markasnya di Suriah, telah rajin mengadakan invasi ke beberapa wilayah Mesopotamia. Ia juga sempat terlibat pertempuran dengan kerajaan Armenia Kecil di Cilicia yang memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan pemimpin Mongol. Pada 1277, pasukan Dinasti Mamluk melancarkan penguasaan atas kota Malatya dan berhasil mengeksekusi walikotanya yang ternyata adalah orang Mongol. Di kota ini gereja-gereja tak luput dari aksi pembakaran dan penghancuran. Para pengungsi Kristen Ortodoks dan Armenia meminta bantuan kepada Abaqa, yang langsung direspons dengan pengiriman pasukan untuk menghentikan serangan tentara Dinasti Mamluk. Keuntungan masih berada di pihak Abaqa. Ketika pertempuran 52 pasukan Ilkhan masih berada pada tahap awal, Baybars diberitakan mangkat dan pertempuran berangsur-angsur mereda. Beberapa waktu kemudian, kawasan ini berada pada kondisi yang stabil kembali. Bagaimaapun, selain memang memiliki persediaan pasukan yang memadai, faktor geografis juga turut menjaga keutuhan Dinasti Ilkhan dari serangan musuh-musuhnya.85 Kedudukan Abaqa sebagai raja Dinasti Ilkhan digantikan oleh raja ketiga yang bernama Ahmad Teguder (1282-1284). Baru pada periode ini, raja Dinasti Ilkhan beragama Islam dan dengan serta merta membawa pengaruh Islam ke lingkungan istana. Keputusannya masuk Islam, ditentang oleh pejabat istana dan berujung pada penangkapannya. Dalam suatu kesempatan, ia dibunuh oleh Arghun, anaknya sendiri. Arghun kemudian didaulat menjadi Raja Dinasti Ilkhan selanjutnya. Ia menjabat sejak 1284 hinga 1291. Raja keempat ini dikenal amat kejam terhadap umat Islam. Di antara mereka ada yang dibunuh atau diusir. Kebebasan Muslim kembali terasa ketika Dinasti Ilkhan berada di bawah kekuasaan suksesor pengganti Arghun, yang tak lain adalah keponakannya sendiri yang bernama Mahmud Ghazna (1295-1304). Di bawah titahnya, Islam kembali bersemi. Orang-orang Persia pun mendapatkan lagi kebebasannya. Mulai dari Ghazna hingga seterusnya, Ilkhan dipimpin oleh raja-raja Muslim. Berbeda dengan para pendahulunya, Ghazna dikenal sebagai sosok yang memperhatikan tumbuh kembang peradaban. Ia juga dikenal amat mencintai dunia sastra dan ilmu pengetahuan, tertutama mengenai ilmu arsitektur dan ilmu alam seperti astronomi, kimia, minerologi, metalurgi, dan botani. Kesenian juga menjadi hiburannya yang 85 Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 26-27. 53 menyenangkannya. Ia membangun semacam biara untuk para darwis dan menyeponsori pembangunan perguruan tinggi yang intens mengkaji mazhab Syafi’i dan Hanafi. Pun dengan fasilitas pendukungnya, seperti perpustakaan dan observatorium serta gedung-gedung umum lainnya juga mulai banyak didirikan. Karya emasnya terhenti ketika ia berpulang dalam usia yang amat muda, yakni sekitar 32 tahun. Kedudukan Ghazna digantikan oleh adiknya, Muhammad Khudabanda Oljaytu yang memerintah dari tahun 1304 hingga 1317. Berbeda dengan kakaknya, Oljaytu merupakan pengikut Syiah yang ekstrem. Ia mendirikan kota raja Sulthaniyah di dekat Zanjan. Oljaytu digantikan oleh Abu Said (1317-1335). Pada masa itu, Dinasti Ilkhan dilanda bencana kelaparan yang parah dan diterjang bencana angin topan dan hujan es yang mengundang malapetaka. Dinasti Ilkhan lambat laun menemui masa-masa kehancurannya sepeninggal Abu Said. Keluarga kerajaan terlibat dalam pertikaian yang berujung pada perang saudara. Setelah terpecah-pecah kerajaan ini ditaklukkan oleh Timur Leng.86 86 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 115-117. BAB IV SERBUAN BANGSA MONGOL KE BAGHDAD A. Masa Disintegrasi Abbasiyah Berdirinya Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah. Walaupun, jika ditilik dari keluarga maupun pusat kekuasaannya berbeda, namun tetap bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari estafet kepemimpinan dalam dunia Islam. Pendiri dan penguasa Dinasti Abbasiyah merupakan keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad saw. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Masa berkuasanya dinasti ini amatlah lama, yakni sejak tahun 750 hingga 1258. Selama dinasti ini berdiri, tata kepemimpinan yang digunakannya berbeda-beda, tergantung dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, periode pertama (750-847 M) yang dilalui dinasti ini merupakan periode keemasan, di mana segala bentuk harapan akan berdirinya suatu kejayaan kepemimpinan Islam yang besar dapat diwujudkan. Ditilik dari segi politis, para khalifah yang memimpin di era ini merupakan sosok pemimpin yang kuat dan bukan hanya menempati jabatan politik tertinggi melainkan juga dipandang sebagai pemuka agama sekaligus. Di tataran masyarakat, kemakmuran dan kesejahteraan berada pada tingkat yang memuaskan dan tergolong dalam peringkat tertinggi sepanjang daulah ini berdiri. Di era ini, ilmu pengetahuan juga semakin berkembang dengan pesatnya. Para ilmuwan telah berhasil merumuskan landasan bagi perkembangan filsafat 54 55 dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, awan gelap segera menyelimuti dinasti ini ketika periode pertama ini berakhir. Secara berangsur-angsur kedaulatan politik dinasti ini kian menurun, walaupun ilmu pengetahuan terus menunjukkan perkembangannya. Satu hal yang menjadi ciri khas dari Dinasti Abbasiyah adalah bahwa kekhilafahan ini dibangun oleh banyak bangsa. Bukan hanya Arab, Persia dan Turki juga memiliki andil besar dalam membangun dinasti ini. Banyaknya bangsa yang terlibat dalam pengembangan dinasti ini menyulut terjadinya perebutan dominasi yang kerapkali berbalik merugikannya. Menjelang abad ke-13, pertikaian antar golongan yang tak kunjung berhenti di istana membuat kontrol atas wilayah-wilayah kekuasaan semakin jarang dilakukan.87 Wibawa khalifah merosot tajam, seiring dengan berkuasanya bangsa Turki atas pemerintahan dinasti ini. Di daerah-daerah mulai banyak bermunculan pemuka-pemuka masyarakat berpengaruh, yang lantas memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka mulai mendirikan dinasti-dinasti kecil yang berdaulat dan independen. Terdapat kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan simbolik serta pembayaran upeti yang rutin. Tidak ada upaya khalifah untuk mengadakan inspeksi atau sekedar mengetahui informasi terakhir dari para raja-raja kecil di bawahnya. Pun, sepertinya tidak ada perhatian yang rutin sebagai bentuk pengikat antara pemerintah daerah dan pusat, sehingga para pemimpin-pemimpin di daerah merasa menjalankan pemerintahannya sendiri dan 87 Carl Brockelmann, The History of Islamic, hlm. 148. 56 apa yang mereka perbuat luput dari perhatian khalifah. Badri Yatim memiliki dua alasan mengapa khalifah terkesan abai terhadap negeri-negeri bawahannya. Pertama, kemungkinan para khalifah tidak memiliki wibawa yang disegani dan cukup kuat untuk membuat bawahannya tunduk kepadanya. Kedua, penguasa Dinasti Abbasiyah pada era keemasannya lebih memperhatikan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang wilayah politik dan ekspansi.88 Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting berkaitan dengan gaya hidup glamor yang ditunjukkan khalifah.89 Kendati hal ini bukanlah menjadi masalah utama, namun cukup menjadi penyebab mengapa sendi-sendi penting di istana menjadi longgar, sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh beragam oknum dalam hal ini para pemuka bangsa Arab, Persia, atau Turki yang membawa agenda tertentu yang tentu saja demi kepentingan golongannya. Khalifah menjadi percaya begitu saja dengan orang-orang terdekatnya sehingga dengan mudah menyerahkan persoalan politik yang juga berarti masalah tulang punggung kerajaan kepada kelompok yang memiliki maksud pribadi untuk memperkuat posisinya di tataran istana. Akibat dari fokus khalifah terkait upaya mengembangkan peradaban, ilmu, serta kebudayaan membuat daerah-daerah merasa memiliki kekuatan politik untuk tidak mengakui kekuasaan khalifah secara sebenar-benarnya. Bisa diibaratkan, pengakuan hanya sampai pada tataran lisan bukan diresapi hingga sampai hati serta pemikiran para raja-raja kecil itu dan menyatakan lepas dari pemerintah pusat. Hal ini bisa terjadi serta diupayakan dalam dua cara, yakni; 1) seorang 88 Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007) hlm.85. Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 85. 89 57 pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Dinasti Umayyah II di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko; 2) seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah berpengaruh, seperti Diinasti Aghlabiyah di Tunisia dan Dinasti Thahiriyah di Khurasan.90 Kecuali Dinasti Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, provinsiprovinsi itu awalnya menunjukkan kepatuhannya dengan membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah sanggup meredam pergolakanpergolakan yang muncul. Namun, ketika wibawa khalifah kian terbenam, mereka perlahan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menguasai sedikit demi sedikit wilayah kekhalifahan, di antara mereka ada pula yang ingin menguasai khalifah itu sendiri. Beberapa dinasti yang memisahkan diri dari Abbasiyah adalah: 1. Yang berbangsa Persia: a. Thahiriyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M). b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/869-901 M). c. Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M) d. Sajiyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M) e. Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/932-1055 M) 2. Yang berbangsa Turki a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M) b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1189 M) 90 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 64. 58 c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M) d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya: 1) Seljuk Besar atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek bin Mikail bin Seljuk bin Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127 M) 2) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M) 3) Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M). 4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M) 5) Seljuk Rum atau Asia Kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M). 3. Yang berbangsa Kurdi: a. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M). b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M). c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M). 4. Yang berbangsa Arab: a. Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M). b. Aghlabiyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M). c. Dulafiyah di Kudistan, (210-285 H/825-898 M). d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M). e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M). f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M). g. Ukailiyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M). h. Mirdasiyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M). 59 1. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah: a. Umawiyah (Umayyah) di Spanyol b. Fathimiyah di Mesir. Dari uraian di atas nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki untuk berlomba-lomba membangun dinasti yang besar. Di samping dilatarbelakangi motif kebangsaan, kemunculan dinasti-dinasti tersebut juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang memiliki corak Sunni maupun Syiah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa banyak provinsi di Dinasti Abbasiyah yang memerdekakan diri, antara lain:91 1. Luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah membuat komunikasi antara daerah dengan pusat menjadi tersendat. Di samping itu, secara berangsurangsur tingkat kepercayaan di kalangan para pejabat maupun pegawai pemerintahan menurun kian tajam. 2. Pembentukan tenaga militer profesional membuat ketergantungan khalifah akan mereka amat tinggi. 3. Besarnya biaya persediaan militer utamanya gaji untuk tentara, membuat persediaan harta kerajaan semakin berkurang. Di sisi lain, khalifah tidak mempunya wibawa yang besar untuk memaksa daerah-daerah bawahannya mengirim upeti dalam jumlah yang dikehendakinya. Dalam beberapa kasus, pemerintah Baghdad, yang semakin sibuk dengan intrik politik internal, tidak mampu untuk menerbitkan tokoh-tokoh lokal yang berusaha keluar dari pengaruh Dinasti Abbasiyah. Bahkan, pemerintah pusat 91 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 65-67. 60 malah merelakan beberapa kerajaan lain untuk memerdekakan diri dari khalifah di Baghdad. Salah satu contohnya terjadi pada tahun 800 M, di mana khalifah Dinasti Abbasiyah bersedia melepaskan pengaruhnya di daerah-daerah Afrika Utara. Khalifah membiarkan begitu saja para penguasa-penguasa lokal mengangkat diri layaknya seorang raja dan mengadakan pemerintahan independen asal saja tetap membayar upeti ke Baghdad. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi berdirinya kerajaan lokal Dinasti Aghlabiyah.92 Di ibu kota sendiri, terdapat permasalahan lain yang jauh lebih besar, oleh karena mengancam keberlangsungan eksistensi Dinasti Abbasiyah di era selanjutnya. Kondisi kerajaan pada periode kedua dipenuhi oleh campur tangan bangsa Turki. Terjadi perubahan yang signifikan ketika Dinasti Abbasiyah memasuki periode ketiga (334-447 H/945-1055). Pada periode itu, dunia Islam dihebohkan dengan kemunculan Dinasti Buwaihi yang berpusat di Syiraz. Dinasti ini dipimpin oleh tiga bersaudara yang bernama Ali, Hasan, dan Ahmad. Dengan cepat mereka mulai menguasai daerah-daerah penting di Persia seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berhasil meneror khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah, guna menyerahkan legalitas kekuasaannya. Iring-iringan pengikut mereka kemudian melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith lalu diteruskan hingga ke Baghdad. Setelah meredam beberapa intrik istana, Dinasti Buwaihi akhirnya menguasai Baghdad, ibukota Dinasti Abbasiyah, dan khalifah pada akhirnya hanya tinggal sebutan jabatan saja. 92 Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 105-106. 61 Dinasti Buwaihi pun nyatanya tidak berhasil menciptakan basis kekuatan politik yang kuat. Para petinggi Dinasti Buwaihi terlibat dalam pertikaian perebutan jabatan yang berlarut-larut sehingga tidak memikirkan lagi jalannya roda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Melihat ibukotanya dikoyak-koyak oleh api pertikaian, membuat khalifah mengambil langkah sepihak dengan mengundang Dinasti Saljuk untuk masuk ke Baghdad dan membersihkan semua unsur-unsur Dinasti Buwaihi. Pada tanggal 18 Desember 1055 M, pasukan Dinasti Saljuk memasuki ibukota dipimpin oleh Tughrul Bek. Dinasti Saljuk sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz yang berdiam di wilayah Turkistan. Mereka semua dipersatukan oleh Saljuk bin Tuqaq yang setelahnya namanya diabadikan sebagai identitas mereka, yakni orang-orang Saljuk. Selama beberapa waktu mereka malang melintang mengembara, menjadi pasukan bayaran di wilayah Asia Tengah dan sekitarnya hingga masa kepemimpinan Tughrul Bek, bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannnya. Sebelum memasuki Baghdad, bangsa Saljuk telah berhasil menguasai Merv (Marwa), Nisapur, yang sebelumnya merupakan kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Rayy, dan Isfahan. Posisi khalifah tidak kunjung membaik, karena hanya diberikan kekuasaan dalam bidang agama. Sebelumnya, oleh karena Dinasti Buwaihi beraliran Syiah dan khalifah Dinasti Abbasiyah beraliran Sunni, wibawa khalifah di bidang keagamaan diberagus dan Syiah ditetapkan menjadi agama kerajaan. Namun 62 begitu Turki datang, legitimasi keagamaan Ahlussunnah dikembalikan ke khalifah.93 Masuknya pengaruh Turki Saljuk membuat pertikaian antarbangsa, agama, dan politik kembali memanas. Orang-orang Persia yang notabene bisa dikatakan pribumi Baghdad tidak rela jika jabatan-jabatan strategis dengan semena-mena diduduki orang-orang Dinasti Saljuk. Pun dengan orang Arab yang masih berkerabat dengan khalifah juga tidak begitu saja sepakat dengan masuknya pendatang baru tersebut. Di ranah agama, pertikaian yang terjadi tidak kalah sengitnya. Munculnya kelompok-kelompok baru seperti Qaramithah, Ismailiyah, Hasyasyin dan semacamnya semakin memperkeruh konflik keagamaan yang juga dibalut konflik politik. Konteks persatuan keummatan, sebagaimana yang didengungkan zaman nabi Muhammad saw dan empat khalifahnya tidak lagi mampu menyatukan negeri-negeri Muslim. Di samping itu, kondisi perekonimian Dinasti Abbasiyah pun menunjukkan angka penurunan yang mengkhawatirkan. Pembebanan pajak dan pengaturan wilayah-wilayah provinsi demi keuntungan kelas penguasa telah melumpuhkan bidang pertanian dan industri. Ketika penguasa semakin kaya, rakyat justru semakin miskin. Di daerah-daerah terdapat banyak catatan kriminal para penguasa yang menipu rakyatnya. Konflik antarbangsa dan agama juga menyeret langkanya jumlah manusia yang mengurusi lahan pertanian. Bencana alam berupa banjir di dataran rendah Mesopotamia yang terkadang membawa malapetaka kelaparan menjadi bukti betapa alam mengutuk perilaku para pejabat istana di Baghdad. 93 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 71-74. 63 Tidak jarang, wabah penyakit yang menjangkiti lingkungan masyarakat Dinasti Abbasiyah seperti pes, cacar, dan malaria telah membawa kematian di beberapa wilayah kerajaan. Menurut Phillip K. Hitti kurang lebih sebanyak 40 jenis penyakit rajin menghampiri penduduk. Kemunduran di bidang ekonomi membawa dampak buruk di bidang kesejahteraan yang berarti kekeringan pula di bidang ilmu pengetahuan. Sulitnya mencari penghidupan ikut menyumbat para ilmuwan dan pemikir untuk menghasilkan suatu sajian ilmu pengetahuan yang baru.94 B. Serbuan Hulagu Khan ke Baghdad Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor ikut pula menjadi penyebab mengapa dominasi Dinasti Saljuk atas Baghdad kian melemah. Dari luar, rentetan perang Salib dengan gabungan kerajaan Eropa sepanjang abad ke-13, cukup menguras tenaga militer Dinasti Saljuk. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan Ismailiyah dan teror maut yang rajin dilakukan oleh kelompok Hasyasyin pun turut mengikis pemikiran para petinggi Dinasti Saljuk. Setelah posisinya menguat, ternyata para pemimpin dinasti Saljuk memiliki ambisi sendiri-sendiri sehingga fanatisme kabilahnya mulai tumbuh. Faktor internal inilah yang menjadi penyebab utama melemahnya pengaruh penguasa Dinasti Saljuk atas Baghdad. Ahmad Syalabi menyebutkan bahwa kala itu mulai tumbuh wilayah-wilayah Amiriyah Atabikah.95 Ketika awal berdirinya keamiran Atabek ini, tidak membahayakan kesatuan kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Saljuk pusat di Baghdad. 94 Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 616-618. A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 344. 95 64 Dengan begitu maka lahirlah Atabek Damasqus, Atabek Mausil, Atabek Jazirah, dan sebagainya. Ironisnya, beberapa dari mereka ada yang menyalahgunakan legitimasi Dinasti Saljuk pusat untuk memperluas kekuasaan demi keuntungan pribadi. Sebagian Utabak, menggunakan nama Sultan Seljuk untuk memperluas kekuasaannya. Sekitar awal abad ke-13, al-Nasir li-Dinillah khalifah Dinasti Abbasiyah kala itu menjadi saksi atas berakhirnya kekuasaan Dinasti Saljuk atas Dinasti Abbasiyah. Ia pun mulai menata kembali roda pemerintahannya guna kelangsungan hidup dinasti ini. Khalifah-khalifah setelahnya al-Zahir, alMuntasir, dan al-Musta’shim melanjutkan perbaikan-pebaikan yang diinisiasi alNasir.96 Satu hal yang masih menjadi kebiasaan buruk khalifah Dinasti Abbasiyah masih dilakukan oleh mereka yakni bergaya hidup mewah yang serta merta menumpulkan kewibawaan mereka. Kebiasaan minum-minuman serta terhanyut dalam suka cita bermusik, disebut Farag Fouda, menjadi penyakit kebanyakan khalifah Abbasiyah setelah al-Mutawakkil hingga masa khalifah terakhir.97 Beberapa mil dari Baghdad, dunia Islam sedang digemparkan oleh penaklukan yang dilakukan oleh para keturunan Jengis Khan. Satu yang paling berbahaya adalah Hulagu Khan. Kebetulan, ia mendapatkan wilayah-wilayah kerajaan Islam yang beberapa merupakan bekas bawahan Dinasti Abbasiyah. Ketika al-Musta’shim bertahta, Hulagu telah menguasai hampir seluruh Persia. Saat itu pertikaian antar suku dan aliran agama kembali mengemuka di Baghdad dan al-Musta’shim kembali dipusingkan akan hal itu. Persaingan antara orang 96 A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 343-345. Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang, Terj. Novriantoni (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan Dian Rakyat, 2008) hlm. 170. 97 65 Turki yang Sunni dengan Persia yang Syiah belum menemui penyelesaian. Begitu pula antara Muslim dan orang dzimmi (non-Muslim yang mendapat perlindungan pemerintah) juga sedang mengalami perpecahan.98 Sebenarnya khalifah mengetahui akan keganasan Mongol yang mengoyak negeri-negeri Islam. Namun entah kenapa, ia tidak memiliki tindakan taktis untuk mengantisipasi serbuan Mongol, tetapi malah mengabaikannya begitu saja. Tanpa banyak diketahui oleh para petinggi kerajaan, suatu hari pada tahun 1258, pasukan berkuda Hulagu sudah bersiap dekat kota Baghdad. Hulagu segera mengirim surat yang juga berarti perang urat syaraf kepada khalifah, berikut penggalan kalimatnya: ... Ketika aku mengepung Rudbar, aku memintamu (khalifah) untuk mengirimkan bantuan namun tidak satu orang pun darimu kujumpai. Hari ini merupakan waktu yang tepat bagimu untuk belajar bagimana jika kau kehilangan pedang dan tongkat kekuasaanmu...99 Penggalan surat itu dimaksudkan untuk melamahkan keberanian khalifah. Di samping itu, Hulagu sekaligus ingin menebarkan kecemasan terhadap para pejabat Abbasiyah. Setelah ditunggu selama beberapa lama, khalifah tidak juga menunjukkan reaksinya. Pengepungan segera dilakukan. Teror awal Mongol kali ini, bukan berasal dari deretan busur mereka, melainkan dari hujan lontaran batu dan nafta (sejenis bom molotov sederhana). Setelah pengepungan selama 40 hari, pihak Baghdad mulai bergeming. Para bangsawan mulai keluar menemui Hulagu untuk 98 Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 617. Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm. 7-13. Bab Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh Azhar Abidi dalam The Annual of Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533-534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/ pdf/18/47ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18. 99 66 bernegosiasi. Hulagu juga mengundang pejabat istana dan khalifah dan tidak lama ketika mereka datang segera dibunuhnya. Setelah itu, pasukan berbondongbondong memasuki kota. Baghdad yang dileburkan oleh pasukan Hulagu, adalah gambaran kota metropolis, indah, dan pesonanya masih terjaga selama 500 tahun. Dari masa ke masa, para khalifah Dinasti Abbasiyah telah mengoleksi pelbagai bentuk barang antik nan mahal dari beragam peradaban.100 Sumber lain menceritakan bahwa ketika pada bulan September tahun 1257, ketika masih berada di jalan raya Khurasan, Hulagu sempat mengirimkan ultimatum kepada khalifah untuk memberi pasukan Tatar jalan masuk ke Baghdad dengan meruntuhkan tembok luar kota. Menurut penuturan al-Baladhuri, Khurasan pada masa khalifah al-Musta’shim Billah sudah dikenal sebagai daerah operasi militer melawan Turki. Bukan hanya dilakukan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah, para penduduk Khurasan pun mulai berpartisipasi menghadapi para pengembara Turki.101 Sudah seharusnya bekal militer penduduk Khurasan cukup untuk menghadapi gempuran pasukan Hulagu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, kekuatan Khurasan dapat dipatahkan dan berada di bawah kekuasaan Tatar. Setelah mengetahui ultimatum tersebut, khalifah sama sekali tidak begeming dan enggan memberikan jawaban. Menginjak Januari 1258, tentara Hulagu sudah sampai di Baghdad lantas langsung meruntuhkan tembok ibukota. 100 Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin, hlm. 533. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/ pdf/18/47ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18. 101 Ibn Jabir al- Baladhuri, Kitab Futuh Al-Buldan jilid 2, hlm.205. 67 Tidak lama kemudian usaha mereka membuahkan hasil, salah satu menara benteng berhasil dirobohkan. Mengetahui hal tersebut, dengan tergopoh-gopoh wazir (perdana menteri) Dinasti Abbasiyah kala itu Ibn Alqami ditemani seorang Katolik Nestorian mendatangi Hulagu dan meminta tenggat waktu. Permintaan itu ditolak Hulagu. Segala bentuk peringatan akan munculnya bahaya jika menghancurkan Baghdad diacuhkan Hulagu. Pada 10 Februari, pasukan Tatar sudah memasuki kota. Khalifah yang amat ketakutan beserta tiga ratus pejabat dan qadhi bersegera menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian, mereka menemui ajalnya. Ibukota Dinasti Abbasiyah menghadapi masa terkelamnya. Penjarahan dan pembakaran di mana-mana. Mayoritas penduduk, termasuk keluarga khalifah dibantai. Bau busuk segera merebak keluar dari jasad-jasad yang malang melintang di jalan tanpa sempat dikuburkan. Mengetahui kota dipenuhi bau mayat, Hulagu menarik diri keluar kota selama beberapa hari. Tidak semua bangunan dihancurkan pasukan Tatar, kemungkinan Hulagu akan menggunakannya sebagai kediamannya kelak. Oleh karena Hulagu seorang Kristen, ia menganugerahkan sejumlah sekolah dan masjid yang kosong atau dibangun kembali kepada kepala keluarga pengikut Nestorian. Untuk kali pertama dalam sejarah Islam, dunia Muslim terbengkalai tanpa khalifah yang namanya wajib disebut ketika prosesi shalat Jumat.102 Adalah suatu karya berjudul Tabakat-i-Nasri (dibuat pada 1260) karya Rasyiduddin, sejarawan Persia, yang menceritakan detik-detik menjelang pengepungan Baghdad. Setelah mengadakan 102 Hitti, History of The Arabs, hlm. 619-620. 68 serangkaian penaklukan di wilayah barat Persia, pasukan Mongol pimpinan Hulagu segera mengarahkan kendalinya ke Khurasan melewati daerah Hulwan untuk selanjutnya menuju ke bagian timur Baghdad. Sebagai langkah awal, ia menitahkan pasukannya melaju lebih dulu dengan perintah melewati sungai Tigris melalui Tikrit, lalu menaklukkan Eufrat dan Anbar. Pasukan ini selanjutnya akan sampai di bagian barat Baghdad melalui kanal Isa. Sesampainya di Baghdad, Hulagu yang bergabung dengan pasukan timur lantas mendirikan tenda di bagian timur Baghdad. Serangan utamanya dilancarkan dengan menusuk Baghdad sebelah kiri yakni di lokasi Burj Ajami dan pintu gerbang Halabah. Pasukan sayap kanan Mongol ditempatkan di bagian utara kota tepatnya di pintu gerbang Sultan (Bab as-Sultan). Selanjutnya, pasukan sayap kiri ditempatkan di sekitar pintu gerbang Kalwadha yang terletak di selatan bagian timur Baghdad. Suatu detasemen diperintahkan menyisir tepi timur Tigris dan berhasil melumpuhkan tentara khalifah di sana lalu mengambil alih posisi mereka. Pasukan ini dibagi dua, yang satu ditempatkan dekat rumah sakit al-Adudi dan yang satunya di dekat istana khalifah. Di tepi barat sungai, tidak ketinggalan, disesaki pula oleh pasukan Mongol, tepatnya di sekitar Dulab-i-Bakal (Mabkalah). Setelah beberapa waktu memaksimalkan pengepungan luar kota, tiba-tiba muncul kabar berpihaknya kaum Syiah kepada Mongol, yang tinggal di kawasan Kazim Ain. Besar kemungkinan, kaum Syiah memberi kemudahan kepada pasukan Mongol untuk memasuki kota. Kelompok Syiah sendiri merupakan golongan yang dipinggirkan oleh khalifah, setelah Sunni dikembalikan menjadi 69 mazhab kerajaan. Di sisi lain kota, Setelah 5 hari pengepungan, tibalah waktunya pintu gerbang Halabah dan wilayah timur Bahgdad dikuasai oleh Mongol. Segera setelahnya khalifah dan keluarganya ditangkap dan ditahan di tenda Mongol. Tentara Mongol segera membanjiri kota dan Hulagu segera menguasai tempat tinggal khalifah yang bernama Maymuniyah (Rumah Kera) yang terletak di Baghdad bagian timur. Demikian pula dengan belahan barat kota Baghdad, terjadi pembantaian besar-besaran. Selama 40 hari Bahdad berada pada masa-masa paling menyeramkan. Pembunuhan rakyat marak terjadi. Pasukan Mongol menghancurkan masjid khalifah, tempat suci Imam Musa al-Kadzim, serta pemakaman para khalifah di Rusafah. Kemudian, eksekusi atas al-Musta’ashim dan anak-anaknya tiba. Khalifah menemui ajal sebagaimana rakyatnya yang lain. Belakangan diketahui Hulagu membangun kembali masjid khalifah dan makam Imam Musa al-Kadzim yang sebelumnya dihancurkan.103 Hancurnya Baghdad yang menandai tamatnya pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sesungguhnya merupakan akhir dari problem sosial yang melanda dinasti ini dan provinsi-provinsi di bawahnya. Jika melihat luasnya wilayah dinasti ini dan besarnya sumber daya manusia dalam hal ini pasukan perang, paling tidak dapat mengimbangi atau bahkan mengalahkan tentara Mongol yang notabene masih menggunakan cara-cara tradisional dalam seni perangnya. Jika para khalifah berhasil membangun tata kota yang sedemikian indah dan maju di zamannya, maka sudah dapat dipastikan sistem keamanan kotanya pun telah terbentuk sedemikian kuat. Hal tersebut, kendati belum banyak disebutkan 103 Guy Le Strange, Baghdad During The Abbasid Caliphate (Oxford, Clarendon Press, 1900) hlm.341-344. 70 dalam sumber-sumber lain yang telah dikutip, sepertinya tidak disorot terlalu dalam. Dari beberapa sumber yang telah didapatkan, rata-rata hanya menyoroti masalah pertikaian antar golongan yang menjadi penyebab utama lumpuhnya sistem keamanan Baghdad. Demikian pula dengan kota-kota lain yang memiliki khazanah peradaban yang tinggi seperti Khurasan, Samarkand, dan Damaskus, sebenarnya telah memiliki pula sistem keamanan kota yang memadai. Jika mengandaikan Dinasti Abbasiyah masih berada pada masa-masa kejayaannya, tentu saja kejatuhan Baghdad tidak mungkin terjadi. Pergerakan pasukan Mongol, mungkin saja dapat dihentikan sebelum memasuki Persia. AlBaladhuri menyebutkan bahwa Islam menjadi agama yang dominan di Khurasan pada masa khalifah al-Ma’mun. Hal ini bukan serta merta terjadi begitu saja, melainkan setelah terjadi beberapa upaya islamisasi, salah satunya ke daerah Uhrusanah yang dipimpin oleh Kawis. Kawis yang mengalami kekalahan melawan pasukan Dinasti Abbasiyah akhirnya menyatakan keislamannya dan oleh khalifah al-Ma’mun, ia didudukkan kembali sebagai pemimpin Uhrusanah. Negeri ini menjadi pusat penghasil tenaga militer bagi Dinasti Abbasiyah di era khalifah al-Ma’mun. Di negeri ini terdapat wilayah yang bernama Transoxiana, yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang pandai dalam seni perang yang berasal dari Sogdania, Ferghana, Uhrusanah, ash-Shash dan negeri-negeri lainnya. Bukan hanya itu, penduduk negeri ini juga dikenal memiliki ilmu bela diri yang memadai sehingga berhasil menahan serbuan pasukan Turki pengembara.104 Jika melihat tipikal bertarungnya, antara Turki dan Mongol tentu tidak terdapat banyak 104 Al-Baladhuri, Futuh al-Buldan, hlm. 204-205. 71 perbedaan dalam seni perangnya. Terlebih setelah sebelumnya disebutkan, banyak di kalangan pasukan Mongol adalah orang-orang Turki. Jika saja pasukanpasukan Dinasti Abbasiyah bergabung dan bersatu dengan para pendekar asal Khurasan ini untuk membendung pasukan Mongol di Khurasan tentu masih dapat menghentikan laju tentara Hulagu Khan, atau paling tidak mempersulitnya, sehingga negeri-negeri yang lain dapat mengungsikan penduduk kota, atau bahkan memperkuat benteng serta sistem pertahanan dalam kota masing-masing. Sayangnya, apa yang terjadi di masa khalifah al-Ma’mun dulu, tidak sama dengan yang terjadi di masa al-Musta’shim pada tahun 1258. Khurasan yang dikenal memiliki wilayah Transoxiana tempat berkumpulnya para pendekar, tidak lagi terdengar eksistensinya. Besar kemungkinan daerah ini termasuk dalam wilayah yang memisahkan diri dari Baghdad. Kemenangan gilang-gemilang yang diraih para pengembara Mongol bukan merupakan sesuatu yang terjadi tiba-tiba melainkan telah didahului perencanaan yang matang. Mewujudkan suatu rencana tentu amat berkaitan dengan faktor pembawaan manusianya. Tentu saja, hal ini bukan bermaksud menyangsikan pasukan Dinasti Abbasiyah yang memiliki keterampilan perang tidak kalah hebatnya dengan bangsa Mongol. Saat mendudukkan tipologi pasukan Mongol dan pasukan Dinasti Abbasiyah maka sama halnya dengan membicarakan status mereka sebagai penduduk kota (menetap) dengan penduduk badui (nomaden). Ibn Khaldun memiliki teori yang relevan untuk mengupas lebih dalam tipologi kedua macam masyarakat ini. 72 Menurutnya, penduduk kota merupakan pribadi yang malas dan cenderung akan hal-hal yang tidak merepotkan atau yang tidak memberatkannya.105 Kehidupan mereka dijalani dengan penuh kenikmatan serta kemewahan. Mereka menggantungkan masalah keamanan harta dan diri mereka kepada pejabat terkait atau langsung pada gubernur (al-wali) serta kepada raja yang memimpinnya. Mereka banyak menerima jaminan dan perlindungan diri lewat kokohnya temboktembok yang mengelilingi serta benteng-benteng yang memagari mereka. Tidak ada suara serta teriakan keras yang menganggu mereka, dan tidak ada binatang liar yang tiba-tiba memangsa mereka. Kehidupan mereka terjamin keamanannya dan tidak pernah memegang apalagi terlatih menggunakan senjata. Keadaan damai dan santai demikian juga dialami keturunan serta generasi penerus mereka. Mereka amat mirip dengan wanita dan anak-anak yang berada di bawah pengawasan rumah tangga. Hal ini seiring berjalannya waktu menjadi tabiat mereka. Berbeda dengan penduduk kota, masyarakat badui hidup mengucilkan diri dari masyarakat berperadaban tinggi. Mereka hidup liar di tempat-tempat yang jauh dari keramaian kota dan masyarakat pada umumnya dan tidak pula mendapat pengawasan dari tentara. Kediaman mereka tidak dikelilingi tembok (benteng) dan tidak pula memiliki pintu gerbang, seperti kota. Oleh sebab itu, mereka menjaga keamanan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini pula yang melandasi mengapa kemanapun mereka pergi selalu membawa senjata. Mereka dikenal memiliki kepekaan diri tinggi dalam mendeteksi adanya bahaya. Jika 105 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 146. 73 malam tiba, mereka tidur lebih cepat, kecuali jika terdapat agenda berkumpul dengan kelompok mereka, atau ketika mereka berada di atas pelana. Mereka awas mendengar suara dan gerak burung. Kerapkali mereka hidup memencil di padang pasir, disertai keteguhan jiwa dan kepercayaan kepada diri sendiri. Keteguhan jiwa telah menjadi sifat mereka, dan tabiat mereka penuh dengan keberanian. Mereka menyandarkan pada keteguhan jiwa dan keberanian itu apabila mendengar panggilan atau harus lari oleh teriakan.106 Baghdad merupakan kota metropolis yang memiliki tingkat kesibukan maupun rutinitas yang tinggi. Hal ini bisa ditelisik dengan posisinya sebagai salah satu pusat perdagangan dunia.107 Manusia dari berbagai suku bangsa yang ada disibukkan dengan aktivitas mereka masing-masing dan tentu saja menggantungkan keamanan pada institusi terkait seperti tentara. Wajib militer pun sepertinya tidak diberlakukan di kota ini, mengingat posisi kota yang terjamin keamanannya. Hal ini tentu saja membuat masyarakatnya lebih mementingkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi tanpa harus bersusah-susah dalam suatu latihan militer. Hal ini belum ditambah kekacauan sosial seperti pertentangan antar golongan yang tentunya menjadi bara dalam sekam di pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Berkurangnya perhatian pada sektor pertahanan kota tentu berhubungan pula dengan turunnya soliditas pasukan penjaga. Apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tentang masyarakat badui “tidak terlelap di atas pelana” besar kemungkinan ditujukan bagi bangsa Mongol atau Tatar. Hal ini 106 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 146-147. Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 100. 107 74 mengingat kedua bangsa ini merupakan bangsa yang menghabiskan sebagian hidupnya dapat diibaratkan di atas pelana kuda. Penggambaran sifat masyarakat badui sedikit banyak amat mirip dengan yang terdapat dalam karakteristik bangsa Mongol. Dengan jumlah yang besar disertai keterampilan perang yang memadai, membantai ribuan warga Baghdad bukanlah perkara yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Terlebih ketika melihat gaya perang mereka yang mengandalkan pada kecepatan, yakni menggunakan panah sekaligus berkuda. C. Dampak serbuan Mongol terhadap Baghdad Keberadaan bangsa Mongol di Baghdad menyisakan pilu yang berkepanjangan. Dunia Islam seperti menemukan masa akhirnya. Ibukota yang merupakan simbol pencapaian terbaik dalam sejarah panjang umat Islam kini terkoyak oleh serangan pasukan berkuda dari Asia Tengah. Kebakaran bukan hanya melanda bangunan fisik semata, namun ikut pula menghanguskan harapan serta cita-cita masyarakat Baghdad. Badai serangan bangsa Mongol menghempaskan kota ini hingga sampai pada titik nadirnya. Berbagai dampak negatif mulai datang setelah beberapa waktu setelah jatuhnya kota ini. Merujuk pada penejelasan Peter Burke, perubahan sosial dapat dimaknai pula sebagai fase regresif (kemunduran) dari suatu kerajaan atau kepemerintahan. Seringkali faktor internal, seperti penaklukkan, memicu lahirnya perubahan sosial. Jatuhnya kekaisaran Romawi di tangan orang Barbar pada abad 3 M misalnya, merupakan contoh yang relevan. Hampir sama seperti kasus Baghdad, saat itu, sebelum didatangi pasukan Barbar, Romawi mengalami krisis yang tidak saja 75 terdapat di pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah. Serangan Barbar menyebabkan jatuhnya pemerintahan pusat, berkurangnya peranan kota-kota dan meningkatnya kecenderungan untuk memberdayakan ekonomi dan politik lokal.108 1. Dampak Politik Kejatuhan Baghdad merupakan momok menakutkan dalam sejarah Islam. Kisah-kisah kelam yang menyertainya bagaikan deretan panjang catatan hitam yang tidak terhitung. Langit-langit peradaban semakin pekat oleh ketakutan manusia. Perbaikan fisik dan mental kiranya tidak bisa diupayakan dalam waktu yang singkat. Kekeruhan bukan hanya membayangi kondisi masyarakat kota Baghdad melainkan dunia Islam pada umumnya. Kondisi perpolitikan pasca serangan bangsa Mongol dengan cepat berubah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, munculnya bangsa Mongol sebagai kekuatan baru benar-benar menjadi ancaman serius bagi negeri-negeri Islam lainnya. Serangkaian penaklukan yang telah dimulai sejak masa Jengis Khan hingga cucunya Hulagu Khan telah mengacaukan alunan ritme kepemimpinan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya, pada 1258, ketika Baghdad ditaklukkan, kondisi perpolitikan Islam yang semula memang telah terpecah, menjadi kian terpisah disertai dengan ketakutan yang sangat. Namun begitu, di balik setiap kejatuhan tentunya akan timbul suatu kebangkitan. Di tengah haru biru kengerian masyarakat Islam di belahan dunia Arab dan sekitarnya, muncul fenomena politik yang tergolong baru, utamanya 108 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 204 dan 207. 76 menyangkut siapa subyeknya. Kejatuhan Baghdad benar-benar menjadi bukti bahwa bangsa Mongol memiliki DNA untuk menjadi penguasa peradaban Islam serta pemimpin Muslim di dunia. Dikatakan demikian oleh karena terlepas dari kekejaman yang ditimbulkannya, mereka telah berhasil menghempaskan kekuatan-kekuatan bangsa yang sejak lama dikenal sebagai pengawal keberlangsungan peradaban Islam di kancah global. Bangsa Arab menjadi bangsa pertama yang memimpin tumbuh kembang Islam. Mulai kelahiran Islam hingga berakhirnya Dinasti Umayyah menjadi momen sepak terjang bangsa Arab dalam perpolitikan Islam. Berganti pada berdiri dan berkembangnya Dinasti Abbasiyah menjadi pembuktian bangsa Persia dan Turki bahwa mereka juga memiliki potensi menjadi pemimpin atas seluruh dataran Islam. Baik Arab maupun Persia telah mampu menyihir dunia berkat kerja kerasnya membangun kemegahan Islam sehingga menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan dunia.109 2. Dampak Sosial Kedatangan bangsa Mongol ke Baghdad merupakan petaka besar dalam sejarah Islam. Pembantaian-pembantaian yang terjadi menjadi pemandangan yang amat memilukan. Hampir di setiap jalan-jalan kota dipenuhi dengan mayat. Ibarat gerombolan serigala lapar, bangsa Mongol berlarian mengejar penduduk kota berbekal pedang dan senjata pembunuh lainnya. Jerit ketakutan mewarnai langit kota, saling sahut menyahut sungguh memilukan. Mereka yang mati bukan hanya karena terkena sayatan pedang atau hujaman panah, melainkan banyak pula yang 109 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 42-50. 77 mati dengan cara lainnya, seperti ditenggelamkan. Banyak dari penduduk ada yang setelah ditangkap oleh pasukan Mongol kemudian digiring ke sungai Tigris lalu ditenggelamkan. Jumlah korban yang dicatat dalam sejarah sampai pada kisaran 800.000 orang. Laki-laki, wanita, dan anak-anak meregang nyawa di jalanan maupun di rumah. Pembakaran terjadi di mana-mana, sehingga membuat aktivitas kota lumpuh total. Begitu mengetahui kota ini telah porak poranda, barulah pembunuhan dihentikan. Pasukan Hulagu bersiap untuk melanjutkan ekspedisinya.110 Pembunuhan yang seakan tiada berujung itu ikut pula membawa dampak buruk bagi segi perekonomian kota ini. Baghdad selain dikenal sebagai ibukota umat Islam, sekaligus simbol peradaban Islam, juga diperkaya dengan sektor industrinya. Kota ini memiliki 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik. Selain itu, di kota ini juga berdiri industri barang-barang mewah (lux). Kota ini juga dipenuhi dengan aneka ragam pasar seperti pasar besi, pasar kayu jati, pasar keramik, pasar tekstil, dan sebagainya. Selain itu, pemerintah kota Baghdad juga memberikan fasilitas-fasilitas yang memanjakan kafilah-kafilah dagang. Di jalan-jalan yang biasa dilalui para saudagar banyak dibangun sumur dan tempat istirahat. Pengamanan juga diperkuat untuk melindungi armada dagang dari para bajak laut. Upaya ini amat berguna dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Sungai Tigris dan Eufrat pun tidak ketinggalan, semakin diramaikan kapal-kapal dagang asing. Dengan begitu, bisa dikatakan, Baghdad merupakan salah satu pusat dari 110 J.J. Saunders, A History of Medieval Islam (t. tp: Taylor & Francis e-Library: 2002) hlm. 182-183. 78 perdagangan dunia.111 Serbuan bangsa Mongol membuat sektor pengiriman barang dari dan ke Baghdad menjadi lumpuh. Dengan tidak adanya aktivitas ini, dapat dipastikan kehidupan ekonomi masyarakat Baghdad telah hancur lebur. Pasar-pasar juga bisa dipastikan sepi, mengingat banyak orang yang menjadi korban. Langkanya sumber penghasilan ikut pula membawa masyarakat Dinasti Abbasiyah yang masih tersisa mengalami masa-masa ekonomi sulit yang berarti pula hilangnya kesejahteraan sosial. Diakui oleh Philip D. Curtin, kejatuhan Baghdad membawa dampak yang buruk bagi perkembangan kota ini kedepannya. Posisi Baghdad yang merupakan jalur penting dalam peta perdagangan Cina-Mediterania kehilangan masa keemasannya. Bahkan, dalam perdagangan di Samudera Hindia, Dinasti Abbasiyah sebelumnya dikenal memiliki hubungan erat dalam aktivitas perdagangan maritim dengan Cina. Pasca serbuan bangsa Mongol, daerah-daerah di Irak dan Iran amat lambat dalam mengejar ketertinggalannya. Akibatnya posisi Baghdad sebagai titik penting jalur dagang kemudian diambil alih oleh daerah Muslim lainnya. Sebagai gantinya, dikenallah tiga pusat kekuatan dagang dunia yakni Eropa-India-Cina. Kiblat perdagangan Muslim dunia dengan kata lain digantikan salah satunya oleh India.112 3. Dampak Peradaban Baghdad bukan hanya memiliki arti sebagai pusat pemerintahan Islam, melainkan juga adalah salah satu wajah peradaban Islam tertinggi. Baghdad merupakan Ctesiphon baru yang dikemas melalui peradaban Islam yang panjang. 111 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 241-242. Philip D. Curtin, Cross-cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge University Press, 2002) hlm. 91, 106-107 dan 121. 112 79 Ctesiphon merupakan ibukota Persia kuna yang amat terkenal sejak masa pra Islam. Perpindahan kekuasaan kerajaan Persia ke tangan umat Islam tidak lantas memudarkan pesona Persia yang dahulu kala menjadi penantang utama peradaban Yunani kuna. J. J. Saunders mengungkapkan bahwa Baghdad merupakan kiblat kehidupan intelektual bangsa Arab. Kota ini tidak ubahnya rumah kuna kebudayaan (the ancient home of culture) sejak peradaban Sumeria kuna. Kota ini juga merupakan titik pertemuan kebudayaan Hellenis (Yunani) dengan Persia. Di kota ini hidup berbagai penganut kepercayaan dengan rukun. Beberapa kepercayaan yang tumbuh subur di Baghdad selain Islam antara lain Yahudi, Zoroaster, Nestorian, Monofisit, Kristen Ortodoks Yunani, Gnostik, Manichean, penganut pagan Harran dan sekte Mandaean. Selain dikenal sebagai rumah besar lintas kepercayaan, Baghdad juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Keberadaannya ditopang oleh kota setelit Basra dan Kufah yang kala itu dikenal sebagai pusat kajian filologi (studi naskah) Arab dan hukum Islam (fiqih). Adalah al-Ma’mun, khalifah Dinasti Abbasiyah yang membangun dan mengembangkan pusat riset besar Baitul Hikmah. Dalam komplek ini bukan hanya dapat ditemukan observatorium, melainkan dilengkapi pula dengan perpustakaan dan universitas. Manusia dari berbagai ras dan kepercayaan membanjiri Baghdad untuk melanjutkan studinya. Hal ini semakin menandaskan Baghdad sebagai kotanya para sarjana dan gelar ini terus disandangnya hingga kota ini luluh lantak oleh 80 serangan bangsa Mongol.113 Jatuhnya Baghdad merupakan pukulan telak bagi perkembangan peradaban Islam. Serangan yang bertubi-tubi disertai pembunuhan yang banyak dilakukan sudah barang tentu membuat aktivitas keilmuan lumpuh. Mandegnya roda intelektual di kota ini sudah tentu menjadi gangguan serta ancaman bagi keberlangsungan peradaban Islam. Banyak para sarjana dan gurugurunya menemui ajal di bawah pedang bangsa Mongol. Banyak buku-buku yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam kala itu dirusak. Sebagian yang lainnya dibuang di sungai Tigris. Pengetahuanpengetahuan yang dipelihara dari masa ke masa, melalui catatan serta buku-buku yang tersimpan di Baitul Hikmah hilang selamanya. Benda-benda bersejarah dari peradaban Mesopotamia, Persia, dan Arab dijarah dan menghilang dari tempat penyimpanan. Apa yang dilakukan Mongol bukan hanya pembantaian, tetapi juga upaya menghapus Baghdad dari peta peradaban umat manusia.114 Bangunan-bangunan yang merupakan simbol kemegahan peradaban Islam pun tidak luput dari penghancuran. Baghdad yang menjadi pusat peradaban dunia abad ke-13 sebelumnya banyak dipenuhi oleh bangunan-bangunan indah dan megah. Di kota ini terdapat beberapa istana raja yang mengagumkan sekaligus menjadi ikon kemajuan peradaban pada masanya. Khlifah al-Mansur membangun istana di pusat kota bernama Qashr al-Zahab (istana emas) yang luasnya mencapai 160.000 hasta. Sedangkan masjid jami’ yang dibangun di depannya seluas 40.000 hasta persegi. Kota ini dikelilingi pagar bertembok kokoh yang kuat 113 J. J. Saunders, History of Medieval Islam, hlm. 191-192. Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm. 7-13. Bab Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh Azhar Abidi dalam The Annual of Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533-534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/pdf/18/47 ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18. 114 81 lagi tinggi. Terdapat empat pintu masuk pada empat penjuru. Kota ini dilengkapi pula dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan masjid dan tempat rekreasi.115 Serangan ini tentu amat merugikan dan dianggap sebagai kemunduran masa kejayaan Islam. Baghdad, di atas segala bentuk intrik politiknya, merupakan kota indah yang senantiasa dibanggakan sebagai wadah peradaban umat manusia. Penghancuran-penghancuran atas bangunan-bangunan megah Baghdad mengakibatkan kerugian tersendiri bagi umat Islam di belahan dunia manapun. Serbuan Mongol ke penjuru negeri Muslim membawa dampak yang besar bagi perkembangan kelompok mereka sendiri. Datangnya bangsa Mongol ke wilayah-wilayah belahan Barat dan Timur Asia, selain didorong oleh nafsu invasi, juga dilatarbelakangi oleh semangat merubah nasib dan peruntungan. Persentuhan budaya melalui perdagangan dengan saudagar Muslim dan Cina yang kebetulan berniaga atau lewat di daerah kekuasaan Mongol, iikut menggugah orang Mongol untuk mendapat status kemulyaan yang kemudian dihormati bangsa lain. Perjumpaan dengan pedagang, iring-iringan perjalanan kerajaan, maupun orang berstatus di luar kelompok mereka akan selalu memancing pemikiran mereka untuk setidaknya mengikuti unsur luar yang mereka anggap baik. Pola kehidupan padang rumput yang serba keras dan sulit mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih untuk memenuhi kebutuhan mereka. 115 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 330-331. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Keberadaan bangsa Mongol dalam lembaran sejarah Islam menempati posisi tersendiri. Kehadiran mereka kerapkali dianggap sebagai penghancur peradaban Islam dan penghukum para raja-raja maupun khalifah yang menjelang abad ke-13 tengah menikmati masa-masa kenikmatan di atas perpecahan politik di bawah kuasa Dinasti Abbasiyah. Barisan tempur mereka yang bersisikan penunggang berbusur menjadi momok menakutkan bagi setiap negeri-negeri Islam yang dilewatinya. Sebagaimana telah diutarakan, ketika pasukan bangsa Mongol, terhitung sejak masa Jengis Khan, memasuki dunia Islam, keadaan umat Muslim telah mengalami perpecahan. Masing-masing amir atau kepala daerah membebaskan diri dari khalifah Baghdad, walaupun dalam praktiknya mereka masih mengakui kekuasaan khalifah Dinasti Abbasiyah secara simbolik yakni dengan pengiriman upeti bagi pemerintah pusat. Namun begitu, tidak ada upaya khalifah dan jajarannya untuk mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Masing-masing pihak mengurusi pemerintahanya sendiri-sendiri secara independen. Terputusnya komunikasi antara Baghdad dengan daerah-daerah bawahannya ditengarai karena adanya masalah kronis dalam tubuh internal kepemerintahan Baghdad. Pertikaian yang terjadi antar golongan (Arab, Persia, 82 83 dan Turki) hampir selama perjalanan sejarah Dinasti Abbasiyah menjadi masalah yang ikut serta memperkecil wibawa pemerintah di mata para pemuka daerah. Belum lagi pertikaian lain yang dilatarbelakangi oleh visi keagamaan, seperi Sunni dan Syia’h yang juga mulai memengaruhi jalannya pemerintahan. Kompetisi yang membekukan dinamika kerajaan ini membawa efek buruk bagi Dinasti Abbasiyah. Di luar kota, daerah-daerah telah melepaskan diri dan di dalam kota pun masyarakat terbelah ke dalam beberapa faksi (kelompok) politik. Kondisi perpolitikan yang tidak nyaman tersebut membawa dampak buruk bagi masyarakat luas. Kesejahteraan sosial yang sebelumnya dirasakan, perlahan mulai sulit dijumpai. Begitu pula dengan fungsi instansi-instansi lainnya, berangsur-angsur mangkir dari tugasnya sehingga sistem keamanan kerajaan menjadi longgar. Hal lain ditunjang dengan karakter masyarakat kota, sebagaimana yang disampaikan Ibn Khaldun, menyerahkan sepenuhnya keamanan kota kepada pemerintah. Di sisi lain pemerintah yang dipercayai untuk menangani masalah itu malah sibuk dengan agenda pribadinya, yakni saling berebut pengaruh di pusat. Kondisi masyarakat yang abai terhadap sistem keamanan kota juga terlihat di Baghdad. Sebagaimana diketahui, Baghdad bukan saja merupakan pusat pemerintahan Islam melainkan juga pusat perdagangan dunia juga menjadi kiblat intelektual termuka seantero dunia Islam. Bisa dibayangkan, bagaimana tingginya tingkat kesibukan manusia di sana. Aktivitas niaga yang mereka lakukan dan kegiatan belajar mengajar membutuhkan ketenangan tersendiri. Untuk itu, sistem 84 keamanan kota yang memadai seyogyanya dibutuhkan untuk menunjang beragam aktivitas di kota metropolis ini. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kondisi sosial masyarakat yang mengidap penyakit itu, diketahui oleh bangsa Mongol, yang pasca mangkatnya Jengis Khan, masih rajin melakukan ekspansi wilayah. Kemunculan mereka di panggung sejarah dilatarbelakangi oleh motif penguasaan wilayah sekaligus penegakkan kedaulatan. Setelah berhasil menundukkan sebagian besar Asia Tengah, mereka mulai meluaskan sayapnya ke wilayah barat, tempat dunia Muslim berada. Adalah Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, yang melanjutkan ekspansinya hingga menghencurkan Baghdad, ibukota dinasti Abbasiyah pada 1258 M. Akibat yang ditimbulkan dari serangan ini amatlah besar. Paling tidak dampak dari serangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga; dampak politik, dampak sosial dan dampak peradaban. Di bidang politik, munculnya bangsa Mongol sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan menemukan momentum puncaknya ketika berhasil menaklukkan Baghdad, sebagai simbol dari kedudukan tertinggi dari kepemimpinan Islam. Walaupun sebelumnya, langkah penaklukan negeri-negeri Muslim telah dilakukan oleh Jengis Khan, apa yang telah dilakukan Hulagu Khan terhadap Baghdad merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Mongol. Sebagaimana diketahui, politik Islam sejak masa awalnya memunculkan Arab sebagai aktor intelektualnya, dilanjutkan oleh kompetitor lain, yakni bangsa Persia dan Turki. Walaupun Hulagu bukanlah seorang Muslim, namun para pemimpin besar Islam berikutnya banyak yang berdarah Mongol, Timur Lenk misalnya. 85 Dampak besar lainnya terjadi di wilayah sosial. Banyaknya korban yang jatuh di kota Baghdad menyebabkan hampir semua sektor kehidupan lumpuh total. Salah satu bencana yang paling dirasakan umat Islam adalah kehancuran sektor ekonomi. Baghdad merupakan salah satu pusat perdagangan dunia. Kedudukannya dalam jalur dagang Cina ke Mediterrania amat penting dalam peta perniagaan dunia. Bukan hanya di daratan namun juga di lautan. Hancurnya Baghdad menandai masa akhir kebesaran perdagangan Dinasti Abbasiyah yang dengan cepat diambil alih oleh kerajaan atau negeri Islam lainnya. Kemilau Baghdad sebagai berkumpulnya para pedagang dunia agaknya menemui saat-saat kritisnya. Dampak besar lainnya adalah dampak peradaban. Sebagaimana dijelaskan, Baghdad merupakan kota peradaban dunia, bukan hanya sejak masa Islam tetapi sejak masa terdahulu, yakni Persia kuna. Di sanalah dua peradaban besar Hellenisme dan Persia bertemu lantas dikembangkan bersama-sama dalam payung Islam. Salah satu produk peradaban yang penting adalag ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah merupakan bukti keseriusan Dinasti Abbasiyah dalam merawat dan mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan. Tempat ini menjadi magnet penarik bagi para pelajar di seluruh belahan dunia untuk melanjutkan studi. Serangan pasukan Hulagu Khan nyatanya tidak sebatas pada pembantaian manusia, namun juga penghapusan peradaban, yakni dengan menghancurkan lembaga-lembaga pendidikan, observatorium, dan laboratorium. Belum lagi upayanya membakar dan meruntuhkan bangunan-bangunan simbol ketinggian peradaban seperti 86 masjid, istana, makam suci, dan taman kota mengakibatkan kemunduran besar dalam peradaban Islam. B. Saran-Saran Studi yang telah dilakukan penulis merupakan satu dari kajian-kajian yang telah terlebih dahulu mengupas sejarah bangsa Mongol. Tidak bisa dipungkiri, kendati mereka bukan berasal dari daerah penghasil wacana kebesaran Islam, seperti Arab dan Persia, bahkan identik dengan anggapan bangsa keras, bengis dan kejam, mereka memiliki kontribusi dalam kemajuan peradaban Islam. Berdirinya dinasti Ilkhan dan beberapa dinasti lain yang memiliki darah keturunan Mongol merupakan bukti sejarah yang tak terbantahkan. Telaah yang telah penulis ketengahkan ini, memang belum lengkap menampilkan potret masa lalu Mongol secara lengkap dan dalam. Harapan penulis, semoga di masa depan, tulisan ini dapat mengilhami atau mendorong para sejarawan ataupun akademisi lintas disiplin ilmu untuk mengkaji bangsa Mongol secara lebih dinamis dan kaya. DAFTAR PUSTAKA Sumber Primer Al-Atsir, Ibn, al-Kamil fi at-Tarikh; Tarikh Ibn al-Atsir (Riyadh: Baitul Afkar adDauliyyah, tanpa tahun). Al-Baladhuri , Ibn Jabir, Kitab Futuh Al-Buldan of al-Imam Abul ‘Abbas Ahmad ibn-Jabir al-Baladhuri Part II transl. Francis Clark Murgotten (New York: Columbia University, 1924). Sumber Sekunder Ackermann, Marsha E. dkk, ed, Encyclopedia of World History; The Expanding World 600 c.e. to 1450, vol. II (New York: Facts On File, 2008). Brockelmann, Carl L., History of The Islamic Peoples (London: Routledge & Kegan Paul, 1949). Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011). Curtin, Philip D. Cross-cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999). Enan, M. A., Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1979). Fouda, Farag, Kebenaran yang Hilang, Terj. Novriantoni (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan Dian Rakyat, 2008). Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006). Hamka, Sejarah Umat Islam jilid III (Bukittinggi: N. V. Nusantara, 1961). Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa alIjtima’i Juz 4 (Kairo, Maktabah an-Nahdhlatul Misriyyah, 1968). Hitti, Phillip K., History of Arabs (Jakarta: Serambi, 2008). Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) . Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam jilid I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999). Le Strange, Guy, Baghdad During The Abbasid Caliphate (Oxford, Clarendon Press, 1900). Man, John, Jenghis Khan Legenda Sang Penakluk dari Mongolia (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009). 87 88 Man, John, Kubilai Khan; Legenda Sang Penguasa Terbesar Dalam Sejarah (Tangerang; Alvabet, 2010). Marozzi, Justin, Timur Leng; Panglima Islam Penakluk Dunia (Bandung: Mizan, 2013). Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1985). Saepudin, Didin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007). Saunders, J. J., A History of Medieval Islam (t. tp: Taylor & Francis e-Library: 2002). Spuler, Bertold, History of The Mongols (London: Routledge & Kegan Paul, 1972). Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam jilid 3 (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1993). SY, Ignatius Erik, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus Kiev tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009). Tim Penulis, Perang yang Mengubah Sejarah; buku pertama: dari pertempuran Megiddo (1457 SM) hingga Blenheim (1704) (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013). Tohir, Muhammad, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). Turnbull, Stephen, Gengghis Khan and The Mongol Qonquest 1190-1400 (Great Britain: Osprey Publishing, 2003). Vernandsky, George, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University Press, 1953). Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Razak, Yusron, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) On Line Chugtai, Azeem Beg, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm. 7-13. Bab Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh Azhar Abidi dalam The Annual of Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/pdf/18/47AbegChughtai Baghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18. di Cosmo, Nicola, “Mongols and Merchants on The Black Sea Frontier in the Thirteenth and Fourteenth Centuries: Convergences and Conflicts” dalam http://www.storia.unipd.it/PROFILI/MATERIALE/MATERIALIDIDAT TICI/1235484113174559878946449.pdf. diakses pada pukul 13.24 hari Kamis 15 Agustus 2013. 89 http://www.mongabay.com/history/mongolia/mongoliaorigins_of_the_mongols_e arly_development,_ca_220_bc-ad_1206.html diunduh pada tanggal 15 Juli 2013 pukul 09.47. Tagghudai, Gulugjab, “General Concept in Mongol persona”, hlm.2, dari http:// webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:AH3OObJL8M8J:silve rhorde.viahistoria.com/GeneralConceptsInMongolPersona.pdf+&cd=1&h l=en&ct=clnk, diunduh pada tangal 14 Juli 2013, pukul 14.08. Sumber: mapcollection.wordpress.com Gambar 1: Peta Kekuasaan Kekaisaran Mongol Gambar 2: Para Keturunan Jenghis Khan Sumber: http://forum.paradoxplaza.com/forum/showthread.php?290578-A-Year-sEducation-Russia-Megacampaign-pt.-I/page14 Gambar 3: Ilustrasi Pasukan Mongol Sumber: http://www.worldaffairsboard.com Gambar 4: Ilustrasi rumah Mongol (yurt) Sumber: www.mongolianshop.com Gambar 5: Kehidupan padang rumput Sumber: www.mongoliatravelguide.mo Gambar 6: Ilustrasi Serangan Mongol ke Baghdad Sumber: en.wikipedia.org.