Skripsi Nursyad - Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah

advertisement
SERBUAN BANGSA MONGOL KE KOTA BAGHDAD DAN DAMPAKNYA
TERHADAP KERUNTUHAN DINASTI ABASIYAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
NURSYAD
NIM: 107022001534
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya yang asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Agustus 2014
Nursyad
i
Abstrak
Skripsi yang berjudul “Serbuan Bangsa Mongol Ke Kota Baghdad dan Dampaknya
Terhadap Keruntuhan Dinasti Abbasiyah”
Menginjak tahun 1258, dunia digemparkan oleh tragedi kejatuhan Baghdad, ibukota
dinasti Abbasiyah. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh banyak aspek antara lain adalah
semakin parahnya intrik politik yang melibatkan pejabat istana dan ulama, penyakit yang
menjangkit di beberapa bagian kota dan semakin mengecilnya peran ibukota ini akibat
banyak daerah bawahan yang memerdekakan diri. Seakan menjadi penuntas bagi penderitaan
itu, datanglah serbuan bangsa Mongol, di bawah pimpinan Hulagu Khan yang
memporakporandakan ibukota.
Baghdad adalah sasaran Mongol berikutnya, setelah sebelumnya bangsa ini
menundukkan beberapa daerah di Persia dan Irak. Kesuksesan menguasai ibukota ini tidak
terlepas dari oknum Abbasiyah yang membelot ke pihak Mongol. Setelah mempelajari
informasi tersebut, maka pasukan dipersiapkan untuk menerobos benteng kota. Tanpa
berselang lama, pasukan dari Asia Timur in sudah memenuhi kota dan mulai menebarkan
terror di setiap sudutnya. Suasana tentram yang semula menyelimuti kehidupan Bahdad
seketika pecah dibuyarkan oleh derap kuda pasukan Mongol. Korban sudah banyak
berjatuhan, namun pembunuhan massal masih terus berlangsung. Selain itu, di sana sini
sudah terlihat penjarahan dan perampokan. Serbuan ini membawa perubahan pada kehidupan
masyarakat Baghdad. Setidaknya ada empat dampak umum yang bisa dikemukakan; dampak
politik, sosial, ekonomi dan peradaban.
Setelah serangan tersebut, masyarakat Baghdad yang selamat mau tidak mau menjadi
bawahan pasukan Mongol. Terbunuhnya khalifah Baghdad terakhir membuat kegoncangan
dalam pemerintahan kota ini. Perpindahan kekuasaan yang terjadi paksa ini membuat suhu
politik yang sebelumnya dipenuhi intrik, untuk sementara bisa dikendalikan. Keadaan ini
awalnya belumlah diterima oleh penduduk Baghdad. Ketakutan akibat serangan itu masih
terngiang di benak mereka. Di bidang ekonomi, kedatangan Mongol membuat kota ini
menemukan akhir masa kebesarannya. Sebelumnya, Baghdad merupakan salah satu kota
penting dalam Jalur Sutera. Selain menyandarkan pendapatan pada keberadaan pasar, kota ini
juga menyandarkan pemasukan lain dari pabrik-pabrik yang berdiri di dalam kota. Begitu
Mongol datang, pabrik-pabrik ini tidak luput dari penghancuran. Kemakmuran yang
sebelumnya amat kentara dalam Baghdad seketika hilang bersamaan dengan hancurnya
struktur sosial di sana. Dampak peradaban menjadi mengalami kemunduran yang paling
mencolok. Peradaban dalam hal ini lebih dimaknai secara sempit pada pencapaian manusia di
bidang arsitektural. Bangunan umum seperti gedung, masjid, lembaga pendidikan hancur.
Istana raja serta bangunan-bangunan monumental lainnya juga banyak yang dibakar. Tamantaman kota pun tak luput dari amukan Mongol.
ii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan sebuah karya yang sederhana ini. Peluh, penat, dan segala macam ujian diri
dapat penulis atasi guna menegakkan komitmen akademik seorang pencari ilmu, yakni
menulis sebuah karya sejarah (historiografi) ini. Kemudian Shalawat serta Salam tetap
tercurahkan kepada baginda yang mulia kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
mengorbankan jiwa dan raganya demi tegaknya agama islam dan nama Tuhan ( Allah SWT)
di muka bumi ini. Sehingga manusia dapat merasakan dampak kebaikan dan kontribusi
positif atas perjuangan Nabi besar Muhammad SAW.
Kemudian penulis sadar akan kekurangan dalam skripsi yang berjudul “Serbuan
Bangsa Mongol ke Kota Baghdad dan Dampaknya terhadap Keruntuhan Dinasti Abasiyah”
ini tidak akan bias terselesaikan dengan mudah tanpa bantuan dari semua pihak, baik moril
maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkn ribuan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada:
1. Prof. Komarudin Hidayat, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
3. Drs. M. Ma’ruf Misbah, M.A dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Ketua dan
Sekertaris jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
4. H. Nurhasan, M.A, selaku Dosen Pembimbing, yang memberikan kontribusi besar
dalam penyempurnaan penulis, dengan arahan, keritik dan saran, terutama kesediaan
waktunya dalam membimbing. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
berjalan dengan baik.
iii
5. Dra. Hj. Tati Hartimah, M.A, dan Dr. Saidun Derani, M.A. Atas jasa dan waktunya
yang telah menguji penulis di saat Munaqasyah, dan seluruh dosen Jurusan Sejarah
dan Kebudayan Islam yang memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.
6. Kedua orang tua tercinta, Bpk. Kadung dan Ny. Tijah, yang telah mengasuh penulis
dari kecil hingga dewasa, Allahumma irham huma kamaa rabbayani saghiraa.
7. Penulis juga melayangkan ucapan terimakasih untuk sahabat-sahabat di Jurusan
Sejarah Kebudayan Islam, yaitu Johan Wahyudi, Andriyansah, Abdul Kholiq,
Nursobahk, Ridwan Syahidin dan Salahuddin Al-Ayyubi. Semoga di jurusan ini, kita
mendapat kearifan untuk memintal benang-benang pengabdian bagi keluarga,
lingkungan, dan negara.
Semoga semuah pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
mendapatkan balasn yang berlipat ganda dari Allah SWT. Kemudian juga penulis menyadari
bahwasanya skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis
mengarapkan keritik serta saran dari pembaca untuk lebih baiknya skripsi ini. Sebagai akhir
kata penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 18 Agustus 2014
Nursyad
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAN ……………………………………………….. .
i
ABSTRAK …………………………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
v
Bab I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................
1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………………
4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................
5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .........................................................
5
E. Metodologi Penelitian ..........................................................................
6
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
10
G. Kerangka Teori ………………………………………………………
11
H. Sistematika Penulisan ..........................................................................
12
Bab II: ASAL USUL BANGSA MONGOL
A. Kemunculan Bangsa Mongol ..............................................................
13
B. Kehidupan Bangsa Mongol .................................................................
16
C. Struktur Sosial Bangsa Mongol ...........................................................
18
D. Konsolidasi Politik Bangsa Mongol ....................................................
22
Bab III: SERBUAN BANGSA MONGOL KE BARAT
A. Migrasi Bangsa Mongol ......................................................................
v
27
B. Konflik Antar Khaniyah Mongol ........................................................
33
C. Terbentuknya Dinasti Ilkhaniyah ........................................................
40
Bab IV: SERBUAN HULAGU KHAN KE BAGHDAD
A. Masa Disintegrasi Baghdad .................................................................
54
B. Menyerbu Baghdad ..............................................................................
63
C. Dampak Serbuan Mongol .....................................................................
74
Bab V: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………
82
B. Saran-Saran ……………………………………………………………
86
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
vi
87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1258, dunia dikejutkan dengan jatuhnya kota Baghdad. Kota
yang menjadi ibukota negeri-negeri Muslim ini hancur setelah sebelumnya didera
permasalahan-permasalahan yang tidak kunjung selesai. Selain menjadi ajang
intrik para pejabat dan ulama1, yang berujung pada tata kelola kota yang kurang
efektif, kota ini juga mengalami pelemahan kekuasaan akibat terpisah-pisahnya
negeri-negeri Islam yang menjadi bawahannya. Terlepas dari dua latar belakang
yang disebutkan itu, terdapat akibat lain yang menyebabkan kota ini menemui
masa suramnya, yakni serbuan bangsa Mongol.
Bangsa Mongol berasal dari suatu daerah di pegunungan Mongolia yang
membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan, Manchuria
Barat, dan Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang
dikaruniai dua putra kembar bernama Tatar dan Mongol. Kedua putra ini di
kemudian hari melahirkan dua suku bangsa yakni Mongol dan Tartar. 2 Pendapat
lain dikemukakan oleh George Vernadsky yang mengatakan bahwa daerah bangsa
Mongol (Mongolia) terbentang hanya dari Manchuria hingga Hongaria.3 Nama
1
Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Lund Humphries, 1949) hlm.
148.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 111.
George Vernandsky, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University Press, 1953)
hlm. 10. Lihat juga Ignatius Erik SY, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus
Kiev Tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009), hlm. 11.
3
1
2
Tartar sebagaimana yang dikenal belakangan, merupakan turunan dari nama
leluhurnya, Tatar.
Bangsa Mongol tampil ke panggung dunia setelah dipimpin oleh Jengis
Khan. Dalam waktu 30 tahun, ia berupaya keras membangun pasukan tempur
yang besar yakni dengan cara menyatukan Mongol dengan suku bangsa lainnya.
Oleh karena buah karyanya ini, pada tahun 1206, ia mendapat gelar Jengis Khan
yang berarti Raja Yang Perkasa. Pasukan yang telah terbentuk dibagi dalam
beberapa kelompok besar maupun kecil, mulai dari berjumlah seribu, dua ratus,
sampai sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.4
Saat merasa kondisi fisiknya kian lemah, Jengis Khan membagi wilayah
kuasanya menjadi empat bagian masing-masing kepada putranya, yakni Juchi,
Chagatai, Ogotai, dan Tuli. Juchi membawahi sebagian besar daerah sebagian
besar wilayah barat termasuk kawasan Rusia. Chagatai diserahi kekuasaan bagian
utara dan timur laut sungai Oxus, wilayah yang lebih dikenal sebagai
Transoxania. Ogotai dititahkan membawahi bagian timur. Yang membawahi
kawasan Khawarizm adalah Tuli Khan.5 Pada tahun 1256, ia berpulang dan
tahtanya diwariskan pada anaknya, Hulagu Khan.
Bani Abbas atau khilafah Dinasti Abbasiyah berdiri sebagai pengganti Bani
(Dinasti) Umayyah, yang sebelumnya merupakan pemimpin dunia Islam.
Dinamakan khilafah Dinasti Abbasiyah, oleh karena pendiri serta penguasa dinasti
4
Bertold Spuler, History of The Mongols (London: Routledge & Kegan Paul, 1972) hlm.
26.
5
Bertold Spuler, The Muslim World; The Mongol Empire, part 2 (Leiden: E. J. Brill, 1969)
hlm. 10-11.
3
ini merupakan keturunan al-Abbas, paman nabi Muhammad saw. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin al-Abbas. Kekuasaannya berkisar dalam rentang waktu yang
panjang yakni dari tahun 750 sampai dengan 1258. Setelah melalui masa-masa
yang hebat dan penuh kejayaan, dinasti ini menghadapi ancaman serius yakni
pertikaian politik. Dinasti ini menjadi ajang berebut pengaruh orang Turki yang
bermazahab Sunni dan orang Persia yang beraliran Syiah. 6 Oleh sebab
pergerseran politik inilah menyebabkan pemberontakan-pemberontakan rakyat di
ibukota. Keadaan ibukota menjadi semakin tidak terkendali keamanannya.7
Oleh sebab keadaan pemerintahan pusat yang tidak efektif menyebabkan
kontrol atas wilayah bawahan menjadi tidak tertib yang berujung pada terlepasnya
satu per satu wilayah Abbasiyah. Keadaan ini lebih dikenal sebagai masa
disintegrasi Abbasiyah. Hal ini terjadi karena khalifah tidak lagi cukup kuat
menertibkan lagi wilayah bawahannya.8 Jika dikaji lebih lajut, memang bukan
hanya disintegrasi kekuasaan yang membawa Dinasti Abbasiyah pada kejatuhan.
Badri Yatim menilai, setidaknya ada empat hal yang menyebabkan punahnya
pengaruh Dinasti Abbasiyah di dunia Islam yakni; 1) persaingan antarbangsa; 2)
kemerosotan ekonomi; 3) konflik keagamaan; 4) dan, ancaman dari luar.9
Faktor terakhir di atas, agaknya amat berkaitan dengan kehadiran tentara
Mongol di Baghdad. Kegersangan sosial yang telah sedemikian akut di wilayah
6
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep ukman H. dkk (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2008) hlm. 591.
7
Philip J. Hitti, History of The Arabs, hlm. 594.
8
W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: P3M, 1988) hlm. 152.
9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 80-85.
4
kekuasaan Dinasti Abbasiyah, turut pula dirasakan oleh penduduk kota Baghdad.
Hulagu Khan melihat ini sebagai momentum penting untuk memperluas
wilayahnya. Sekitar tahun 1258, Hulagu memimpin sekitar 200.000 pasukan
Mongol untuk mengepung Baghdad.10 Tanpa menunggu waktu lama, ia berhasil
menguasai ibukota umat Islam tersebut. Peristiwa ini menandai akhir dari
kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dalam dunia Islam. Bangsa Mongol semakin
menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa yang memiliki reputasi teratas dalam
peta kekuasaan dunia Islam. Dampak yang disebabkan dari serbuan ini amatlah
luas, hampir mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Kota yang sebelumnya
menyandang gelar sebagai ibukota dunia Muslim ini kala itu ibarat menemui hari
terakhirnya. Begitu Mongol pimpinan Hulagu Khan masuk ke dalam kota,
pembunuhan, penjarahan serta perusakan tempat-tempat umum menjadi
pemandangan yang terlihat di sana-sini. Paling tidak ada tiga dampak signifikan
dari penyerbuan orang Mongol ke kota ini yakni; politik, sosial, ekonomi dan
peradaban.
Skripsi ini akan membahas mengenai serbuan Mongol atas Baghdad beserta
dampaknya. Untuk itu judul dari skripsi ini adalah “Serbuan Bangsa Mongol Ke
Kota Baghdad dan Dampaknya Terhadap Keruntuhan Dinasti Abbasiyah”.
B. Identifikasi Malasah
Mongol mengadakan serangan ke Baghdad, ibukota Abbasiyah yang
menyebabkan dinasti tersebut mengalami kehancuran. Serbuan itu menyebabkan
10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 114.
5
dampak yang signifikan berupa kemunduran berbagai segi sektor kehidupan
manusia.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka timbullah berbagai masalah yang perlu dijawab.
Mengingat keterbatasan ruang lingkup pembahasan, maka kami batasi dengan tiga
hal, yaitu:
- Kondisi dunia Islam sekitar abad 13.
- Penetrasi Bangsa Mongol ke negeri-negeri Islam.
- Serbuan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan ke Baghdad serta
dampaknya.
Dari pembatasan tersebut, dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Faktor apa yang melatarbelakangi serbuan bangsa Mongol ke negeri-negeri
Islam?
2. Bagaimana kondisi sosial-politik Dinasti Abbasiyah menjelang serbuan
pasukan Mongol?
3. Apa dampak serbuan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan terhadap
Baghdad dan wilayah Dinasti Abbasiyah secara umum?
D. Tujuan dan Manfaat Studi
1. Tujuan Studi
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Mengetahui sejarah persebaran bangsa Mongol.
6
b. Memahami secara mendalam ekspansi bangsa Mongol ke negeri-negeri
Islam.
c. Mengetahui secara komprehensif serbuan bangsa Mongol ke Baghdad yang
ditengarai sebagai punahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di dunia Islam.
2. Manfaat Studi
a. Penulisan skripsi ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan
dinamika sejarah bangsa Mongol kaitanya dengan Islam.
b. Menambah khazanah pengetahuan terkait hal ihwal bangsa Mongol dalam
rangka menghapus eksistensi Dinasti Abbasiyah di dunia Islam.
E. Metode Penelitian
Dalam penuliasan karya ilmiah skripsi ini, penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis guna memaparkan temuan baru yang berkaitan dengan topik
yang diangkat. Selain itu, di bawah ini terdapat beberapa poin yang menjadi
instrumen penting dalam suatu penelitian, antara lain:
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah sosial. Yakni dengan
meneliti pola kehidupan bangsa Mongol serta aktivitas hidupnya yang nomaden.
Kondisi alam yang liar dan keras, tempat mereka hidup, ditengarai menjadi hal
yang melatarbelakangi perpindahan mereka.
2. Sumber dan Jenis Data
Data ataupun sumber penelitian dapat dikategorikan menjadi dua; data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang merupakan acuan atau
rujukan utama yang menjadi referensi keilmiahan. Ditilik dari bentuknya, data-
7
data tersebut bisa berbentuk lisan maupun tulisan.11 Melihat obyek penelitian
yang memang telah terjadi pada abad 13, maka data primer yang paling
memungkinkan diakses adalah berbentuk tulisan.
Sedangkan data sekunder bentuknya sama seperti data primer. Namun, yang
membedakannya dengan data primer, adalah bahwa data sekunder tidak berasal
dari sekitar atau paling tidak berdekatan waktunya dengan peristiwa yang menjadi
obyek penelitian. Penelitian ini sepertinya tidak menitikberatkan pada
pengambilan sumber primer melalui wawancara.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi/kajian pustaka (library research).
Studi/kajian pustaka dilakukan dengan menelusuri fakta sejarah secara tertulis,
kemudian mengumpulan dokumen, baik berupa tulisan sezaman atau manuskripmanuskrip yang berhubungan dengan peristiwa yang ditelaah. Guna mendapatkan
informasi yang valid dan otentik penulis menggunakan sumber primer yang
berasal dari dokumen sezaman. Salah satu dari sumber primer yang digunakan
adalah karya Ibnu Atsir berjudul al-Kamil di Tarikh Ibnu al-Atsir. Dalam karya
ini diceritakan mengenai serangan bangsa Mongol terhadap negeri-negeri Islam.
Di mana terdapat bangsa Mongol maka di situ terjadi pembunuhan. 12 Selain itu,
penulis juga menggunakan sumber-sumber sekunder yang mempunyai relasi dan
relevansi dengan kajian materi pembahasan.
Sumber lain untuk melihat kondisi Baghdad abad pertengahan, penulis
merujuk kepada kitab Futuh al-Buldan karya Abul Abbas Ahmad bin Jabir alBaladhuri. Dalam hal ini penulis menggunakan kitab Futuh al-Buldan versi
11
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995).
Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh; Tarikh Ibn al-Atsir (Riyadh: Baitul Afkar adDauliyyah, tanpa tahun) hlm.1914.
12
8
terjemahan bahasa Inggris oleh Francis Clark Murgotten.13 Penulis mendapatkan
kedua sumber itu dari perpustakaan rekan penulis, Johan Wahyudi.
Sumber primer mengenai kehidupan bangsa Mongol memang masih sulit
ditemukan. Namun begitu terdapat sumber sekunder yang cukup otoritatif yakni
buku yang ditulis oleh John Man berjudul Jenghis Khan Legenda Sang Penakluk
dari Mongolia (2009). Walaupun buku ini lebih mengetengahkan kisah hidup
Jengis Khan, namun aspek kehidupan bangsa Mongol, terkait juga mengenai pola
hidup nomaden serta kegemarannya akan ekspansi ke negeri lain turut pula
disampaikan.
Sumber sekunder lainnya yang cukup informatif adalah berupa kitab
berjudul al-Muqaddimah yang ditulis oleh Ibn Khaldun. Penulis menggunakan
Muqaddimah berbahasa Indonesia terjemahan Ahmadie Thaha.14 Dalam buku ini,
peristiwa serangan bangsa Mongol ke Baghdad disinggung walaupun tidak secara
komprehensif.
Sedangkan untuk sumber lainnya, terutama untuk sumber sekunder, penulis
mendapatkannya lewat hasil penjelajahan di Perpustakaan Utama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selain itu, penulis juga mendapatkannya di
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora. Beberapa sumber lainnya yang
didapat, juga berasal dari pribadi, dan dari teman penulis.
3. Analisa Data
13
Lebih lanjut lihat Ibn Jabir al-Baladhuri, Kitab Futuh aAl-Buldan of al-Imam Abul ‘Abbas
Ahmad ibn-Jabir al-Baladhuri Part II transl. Francis Clark Murgotten (New York: Columbia
University, 1924).
14
Lebih lanjut lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah; Abd al-Rahman bin Muhammad ibn
Khaldun terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).
9
Data-data yang sudah terkumpul kemudian masuk pada tahap analisis untuk
mendapat sumber penelitian yang otentik dan otoritatif. Data tulisan diklasifikasi
untuk menentukan waktu penulisan dan isi dari dokumen tersebut.
Sumber-sumber yang telah dikumpulkan, kemudian diteliti keaslian dan
kesahihan informasinya melalui kritik ekstern dan intern. Kritiks ektern dilakukan
untuk memperoleh otentisitas atau keaslian data melalui pengamatan fisiknya.
Termasuk dalam pengamatan kritik eksternal, adalah mengetahui keaslian jenis
kertas, materai, tinta, gaya penulisan bahasanya dan seluruh aspek yang mencakup
bentuk fisiknya. Kritik internal berguna untuk mengungkap kebenaran informasi
atau kredibilitas isi dari dokumen atau arsip tersebut.15
Selanjutnya, fakta-fakta yang dikumpulkan masuk ke tahap eksplanasi
sejarah. Tahapan ini, memungkinkan sejarawan atau peneliti sejarah melakukan
interpretasi atas masalah yang diangkat, sehingga memungkinkan munculnya
dinamika baru terhadap suatu rekonstruksi peristiwa masa lalu. Analisa atas
masalah berdasarkan sumber yang didapat termasuk dalam tahap ini, sehingga
diharapkan dapat memperoleh penjelasan baru dalam suatu kajian historis.16
4. Penulisan (historiografi)
Setelah fese di atas, maka tiba pada tahap akhir berupa penulisan sejarah.
Historiografi sebagai terminal akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan
dengan selalu mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya
15
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100; lihat
juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006)
hlm. 98-99 dan 112.
16
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100.
10
didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap perkembangan tema
terkait.17 Pemaparan akan ditengahkan dalam bab per bab dan diakhiri dengan
kesimpulan.
F. Tinjauan Pustaka
Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya akademisi lainnya
tentang sejarah Mongol maupun Dinasti Abbasiyah, bahkan ada pula yang
menyorot tentang seputar kejatuhan Baghdad. Tetapi, dari semua tulisan itu masih
terserak dan belum ada yang menyajikan secara komprehensif terkait hal apa saja
yang menyebabkan salah satu imperium terbesar dalam sejarah umat Islam itu
mundur dan hilang dari peradaban manusia. Dari penelusuran penulis, salah satu
buku yang menjelaskan tentang asal-usul bangsa Mongol adalah tulisan Hasan
Ibrahim Hasan berjudul Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Diini wa- al-Tsaqaafi wa
al-Ijtima’i (1967). Dalam bab 4 yang berjudul Ghazwatul Mughul – Suqutu
Baghdad, dijelaskan perihal siapa bangsa Mongol dan penaklukannya atas negerinegeri Islam, sampai dengan serangannya atas Baghdad.
Di samping itu, Abdul Hadi Hairi menulis tesis berjudul Nasir al-Din Tusi:
His Supposed Political Role in Mongol Invasion of Baghdad (1968). Dalam
karyanya ini Hairi ingin membuktikan temuannya bahwa dalam serangan ke
Baghdad, Hulagu Khan banyak memperoleh informasi mengenai ibukota Dinasti
Abbasiyah itu dari seorang ulama terkenal masa itu yang bernama Nasir al-Din
Tusi. Ulama ini memiliki peran yang penting dalam keberhasilan Hulagu Khan
menduduki baghdad.
17
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu,
1999) hlm. 91-93.
11
Azeem Beg Chugtai (1997), menulis kertas kerja berjudul The Fall of
Baghdad. Azeem memfokuskan perhatiannya pada momen ketika Baghdad
diserbu oleh barisan berkuda Mongol pimpinan Hulegu (Hulagu) Khan. Pada awal
pembahasannya, ia menyinggung kontak pertama bangsa Mongol, yang kala itu
dipimpin oleh Chengiz Khan (Jengis Khan) dengan Islam. Dari beberapa kajian
yang telah disebutkan, belum ada yang membahas secara komprehensif aspek
sosial, politik, maupun budaya yang melatarbelakangi kemunduran Dinasti
Abbasiyah.
G. Kerangka Teori
Sebagaimana disinggung di atas, penulisan skripsi ini bersandar pada
pemaparan sejarah bangsa Mongol terkait hubungannya dengan kejatuhan
Baghdad, dengan kaca mata sosial. Maka dari itu, untuk memberikan ulasan yang
kaya akan informasi sekaligus sebagai bentuk dinamika dalam penulisan sejarah,
maka diperlukan pula ilmu bantu dalam penjelasanya.
Dalam kesempatan ini, penulis akan mendukung pemaparan informasi
skripsi ini dengan mengetengahkan studi sosiologi, tepatnya mengenai perubahan
sosial yang terjadi di kota Baghdad setelah serangan Mongol. Sebagaimana
diketahui, serbuan itu membuat kota ini menjadi wilayah yang mengalami
kemunduran yang cukup parah. Diharapkan dengan penjelasan melalui sudut
pandang sosiologis, maka sejarah jatuhnya kota ini dapat terlihat secara lebih
jelas. Dalam salah satu definisi, perubahan sosial dapat dimaknai sebagai
berubahnya suatu sistem sosial dalam tiga hal, yakni perubahan pada struktur,
kultur dan interaksi sosial. Oleh sebab itu, yang dikatakan perubahan sosial,
12
hendaknya terjadi pada seluruh aspek kehidupan. Perubahan yang hanya terjadi
pada satu fenomena saja, belum dapat dikatakan sebagai perubahan sosial.18
H. Sistematika Penulisan
Bab I
Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan
masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II
Membahas tentang asal-usul bangsa Mongol juga pola kehidupan sosialnya.
Bab III
Membahas tentang migrasi Mongol, baik ke dunia bagian timur maupun
barat. Selain itu akan dipaparkan pula motif bangsa Mongol memilih kehidupan
nomaden. Dalam bab ini juga diketengahkan penaklukan Mongol atas peradabanperadaban besar, khususnya di dunia Islam.
Bab IV
Membahas tentang dampak serbuan bangsa Mongol terhadap Baghdad.
Kehancuran yang ditimbulkan atas serbuan ini diklasifikasikan menjadi tiga
subbab, yakni kehancuran kota, kehancuran kemanusiaan, dan kehancuran Dinasti
Abbasiyah. Yang tak kalah penting adalah dampak dari serangan itu sendiri yang
diklasifikasikan menjadi tiga; dampak politik, sosial-ekonomi, dan peradaban.
Bab V
Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan, saran-saran, lampiran, dan
daftar pustaka.
18
Yusron Razak, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif
Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) hlm. 180.
BAB II
ASAL-USUL BANGSA MONGOL
A. Kemunculan Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang daerahnya
terbentang dari kawasan Asia Tengah hingga menyentuh Siberia Utara, Tibet
Selatan hingga ke Manchuria Barat, dan Turkistan Timur.19 Ada pula yang
berpendapan Bangsa Mongol tinggal di kawasan yang terbentang dari Manchuria
hingga Hongaria.20
Menurut suatu sumber arkeologis, nenek moyang bangsa Mongol
diperkirakan telah mendiami sebelah selatan gurun Gobi pada 100.000 sampai
200.000 tahun yang lalu. Tepatnya pada masa Zaman Batu Awal. Sekitar abad
pertama sebelum masehi, telah ada komunitas-komunitas manusia yang memiliki
kebudayaan perunggu. Kebudayaan perunggu merujuk pada penggunaan alat-alat
perunggu dalam pekerjaannya (bronze-working peoples). Memasuki abad ketiga
SM, orang-orang Mongol mulai membentuk aliansi kesukuan untuk mengancam
Cina. Mereka juga mulai menyebar ke pedalaman Asia sebagai pemburu di hutan
maupun suku nomad.
Terkait mengenai jejak prasejarah di kawasan Asia Tengah, Bertold Spuler
mengatakan bahwa setelah sekitar 200 SM, terjadi migrasi besar-besaran ke
wilayah timur yang dilakukan oleh orang Indo-Eropa yang kemudian menetap di
19
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 111.
George Vernandsky, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University Press, 1953)
hlm. 10. Lihat juga Ignatius Erik SY, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus
Kiev Tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009), hlm. 11.
20
13
14
sana. Tempat yang semula menjadi lokasi berkumpulnya para pendatang IndoEropa, menjadi bentuk awal dari gambaran populasi dan bentuk karakter yang
khas di kawasan Asia Tengah hingga hari ini. Daerah ini didiami oleh dua bangsa
yang hidup berdampingan yang memiliki beberapa ciri umum yang serupa, namun
berbeda dalam bahasanya. Kedua bangsa ini adalah Turk dan Mongol. Sejak
dimulainya era Kristen, aktivitas kedua bangsa ini telah banyak ditemukan dalam
sumber-sumber sejarah Cina. Mereka dikenal dengan serbuan-serbuannya yang
bertujuan mendapatkan jarahan, sampai ketika bangsa Cina berhasil membangun
tembok besar Cina (The Great Wall) untuk menghentikan aksi pengrusakan
mereka.21 Peneliti serta masyarakat luas dewasa ini, tentu amat sulit mendapatkan
sumber terpercaya mengenai peninggalan arkeologis bangsa Mongol. Menurut
Gulugjab Tagghudai, kelangkaan ini bukanlah tanpa sebab, melainkan bertalian
erat dengan historisitas bangsa Cina yang pernah menduduki daerah yang semula
didiami oleh bangsa Mongol. Pada beberapa abad yang lalu, bangsa Cina banyak
menghancurkan artefak yang dipelihara orang Mongol sejak masa Jengis Khan.
Bahkan, di beberapa wilayah Cina yang terdapat monumen atau suatu pertanda
yang menghormati Jangis Khan dihancurkan pula. Ironisnya, di seluruh dunia
sejarah Jengis Khan dan bangsa Cina selalu disebutkan sebagai suatu masa
keemasan peradaban Cina (glorious China).22
Seiring berjalannya waktu, bangsa Mongol mulai mendiami kawasan yang
sangat luas mulai dari semenanjung Korea di timur melewati bagian utara dataran
21
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm.1.
Gulugjab Tagghudai, “General Concept in Mongol persona”, hlm.2, dari
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:AH3OObJL8M8J:silverhorde.viahistoria.
com/GeneralConceptsInMongolPersona.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk, diunduh pada tangal 14 Juli
2013, pukul 14.08.
22
15
tinggi Cina sampai ke wilayah Kazakhstan. Mereka juga mendiami pegunungan
Pemir dan danau Balkash di sebelah barat. Nama Mongol sendiri kemudian baru
dikenal sebagai salah satu bangsa utama dari banyak sebaran orang yang berasal
dari Mongolia pada abad 8 SM yang memiliki karakter etnologis tertentu. 23
Merujuk pada penjelasan Badri Yatim yang mengutip dari Ahmad Syalabi
yang menyebutkan bahwa nenek moyang orang Mongol bernama Alanja Khan
yang memiliki dua putra kembar bernama Mongol dan Tatar. Mongol memiliki
anak bernama Ilkhan yang di kemudian hari menjadi pemimpin bangsa Mongol.24
Sedangkan menurut Hasan Ibrahim Hasan, nama Mongol sendiri memiliki
kaitan historis dengan istilah Tatar. Namun begitu, Hasan lebih condong untuk
menggunakan istilah Tatar untuk menyebut bangsa Mongol. Tatar sendiri
memiliki makna “suatu tahun di mana terjadi beberapa pergantian masa”.
Pemaknaan ini tidak lain lahir dari dua kabilah Tatar yang menghubungkan diri
pada penggambaran Urkhun Turki yang terdapat pada masa abad 2 H (sekitar
abad 8 M). Pemaknaan yang sama juga ditujukan pada Mongol secara
keseluruhan maupun bagi kabilah sejenis.25
Ketika memasuki abad 13, serbuan pasukan Mongol ke barat di bawah
pimpinan Jengis Khan menyebabkan perkawinan silang antara kebudayaan dan
masyarakat di seluruh benua Asia. Walaupun pada kenyataannya, Jengis Khan
tidak menghilangkan Tatar sebagai suku, orang Mongolia keturunan Turk juga
dikenal dengan sebutan Tatar. Namun, bangsa Eropa menggunakan istilah ini
23
http://www.mongabay.com/history/mongolia/mongoliaorigins_of_the_mongols_early_de
velopment,_ca_220_bc-ad_1206.html diunduh pada tanggal 15 Juli 2013 pukul 09.47.
24
Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, hlm. 111.
25
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqofi wa al-Ijtima’i
Juz 4 (Kairo, Maktabah al-Nahdhlatul Misriyyah, 1968), hlm. 130.
16
tanpa melihat aspek perbedaannya dalam segi apapun. Bagi semua bangsa
pengembara dikategorikan sebagai orang barbar yang kasar yang menurut mereka
hanya menyebarkan ketakutan dan kebencian. Oleh karena itu, mereka mengeja
nama Tartar dari Tartarus yang merupakan neraka gelap dalam mitologi Yunani.
Dewasa ini, baik penyebutan Mongol maupun Tartar sering digunakan secara
bergantian.26
B. Kehidupan Bangsa Mongol
Bangsa Mongol banyak menghabiskan hidupnya dari stepa ke stepa. Mereka
hidup berdampingan dengan suku-suku nomad lain yang nantinya merupakan
leluhur dari orang Iran dan Turki. Suku-suku nomad ini memiliki kesamaan
bentuk dalam cara hidup maupun organisasi sosialnya. Stepa merupakan suatu
padang rumput luas, umumnya datar dan hanya diselingi sedikit pepohonan.
Keputusan mereka untuk menjalani kehidupan dengan cara berpindah-pindah
bukanlah tanpa sebab. Hal ini berhubungan dengan kondisi tanah Mongolia yang
keadaannya kurang subur dan diperparah dengan keadaan iklimnya yang ganas.
Menginjak musim dingin yang dapat berlangsung 6 bulan dalam setahun,
persediaan air menipis. Penyebab utamanya adalah karena sungai-sungai mengalir
ke kutub utara, yang tentu saja bisa berubah keadaannya menjadi es sehingga sulit
untuk digunakan.27
Ira M. Lapidus mengatakan bahwa daerah padang rumput yang gersang di
sebelah utara, tepatnya di sekitar Laut Kaspia, Laut Aral, dan Danau Balkh,
26
Justin Marozzi, Timur Leng; Panglima Islam Penakluk Dunia (Bandung: Mizan, 2013)
hlm. 9.
27
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999)
hlm. 638.
17
banyak dihuni oleh warga pastoral yang berprofesi sebagai penggembala berbagai
binatang ternak seperti kuda, domba, biri-biri, dan unta.
Lebih jauh Lapidus menjelaskan bahwa, pola hidup masyarakat pastoral
yang nomaden memungkinkan mereka menjalin relasi dengan komunitas lain,
termasuk masyarakat pemukim. Kebiasaan ini telah terjadi selama berabad-abad
yang lampau. Lapidus mengetengahkan contoh bahwa meskipun peradaban Cina
dan Timur Tengah memiliki corak kedinastian dan pertanian, tidak menutup
kemungkinan adanya kelompok masyarakat pastoral yang sekedar mampir atau
berdiam selama beberapa waktu di kota maupun pedesaannya. Beberapa daerah,
di Cina maupun di Timur Tengah, yang memiliki kondisi geografis padang
rumput dan daerah beroase, malah banyak didiami kaum pastoral penggembala
yang memelihara kuda maupun biri-birinya di sekitar tempat itu. Di kemudian
hari, penduduk pastoral ini kemudian diorganisir menjadi suatu kumpulan
(konfederasi) kelompok-kelompok yang lebih besar. Warga pemukiman yang
telah terbiasa menjalin hubungan dengan masyarakat pastoral tersebar di wilayah
Transoxania, Khawarizm, Farghana, dan Kashgar serta di beberapa kota yang
termasuk dalam jalur dagang yang menghubungkan Cina, Timur Tengah, dan
Eropa.28 Menurut Hasan Ibrahim Hasan, bangsa Mongol mempunyai watak yang
kasar, suka berperang, dan tidak kenal takut sekalipun harus berhadapan dengan
kematian dalam mencapai keinginannya.29 Bangsa Mongol juga memiliki jiwa
militer yang kuat.30
28
Ira Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 638-639.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, hlm. 132; lihat juga Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 112.
30
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 21, 24-25.
29
18
C. Struktur Sosial Bangsa Mongol
Bangsa Mongol terbagi ke dalam dua kelompok besar yakni (1) suku
Mongol yang mendiami kawasan stepa dan (2) mereka yang bertempat tinggal di
dalam hutan. Suku Mongol yang tinggal di stepa, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, berprofesi sebagai penggembala sedangkan yang tinggal di hutan
umumnya menggantungkan hidup pada berburu dan menangkap ikan di sungai.
Kedua golongan ini menjalin hubungan yang baik dan saling menguntungkan.
Suku Mongol hutan memasok kebutuhan bulu bagi suku Mongol stepa yang
nantinya digunakan sebagai penghangat ketika musim dingin datang. Sedangkan
suku Mongol stepa ada pula yang membiasakan diri menempa besi menjadi
senjata yang selain digunakan sendiri juga didistribusikan ke suku Mongol hutan.
Masyarakat bangsa Mongol terbagi ke dalam sejumlah komunitas pengguna
bahasa Turki-Altaic serta membentuk suatu sistem sosial yang memiliki unsur
patrilineal (berhubungan dengan garis dari ayah). Warga padang rumput ini
kemudian membentuk satuan keluarga, klan, maupun konfederasi (gerombolan).
Klan sendiri berfungsi menjadi unit dasar pengumpul pajak, pengorganisasian
militer, penengah perselisihan, serta beragam kegiatan politik lainnya. Ketika
beberapa kelompok kecil didasarkan pada garis keturunan, maka suatu konsep
politik atau teritorial menginspirasi pembentukan beberapa peringkat organisasi
yang lebih tinggi.
Sistem patrineal ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam dinamika
sosial bangsa Mongol. Menurut Ignatius Erik, sistem sosial masyarakat Mongol
pada abad 12 malah didasarkan pada sistem patrineal. Pola perkawinan yang
19
dilakukan orang Mongol bersifat eksogami, yakni pernikahan dengan sesama
anggota suku dilarang, pernikahan baru bisa dilaksanakan dengan anggota suku
lain. Laki-laki diperbolehkan berisitri lebih dari satu (poligami). Pada praktiknya,
pola pernikahan seperti ini kerapkali menimbulkan pertikaian antarsuku, oleh
karena seringnya terjadi kasus penculikan istri.
Guna mencegah kasus tersebut, beberapa suku membuat perjanjian bersama
untuk menikahkan anak mereka. Setiap orang Mongol diajarkan tentang silsilah
suku serta relasi antarsuku sejak umur belia. Ilmu pengetahuan ini disakralkan
oleh orang Mongol dan wajib diwariskan secara turun-temurun. Persatuan suku
tidak hanya diikat melalui hubungan darah melainkan juga hubungan spiritual.
Bagi setiap suku, baik anggotanya masih ada atau telah mangkat, mulai nenek
moyang hingga keturunannya merupakan grup relijius yang independen (mandiri)
dan dianggap abadi keberadaannya. Pada wilayah keluarga, ikatan tersebut dapat
senantiasa dihidupkan melalui suatu ritual.31
Dalam pernikahan, binatang peliharaan seperti kuda, unta, kambing, dan
domba memiliki nilai tersendiri. Ketika seorang laki-laki menginginkan isteri,
maka ia menebusnya (sebagai mas kawin) dengan binatang atau hak
menggembala.32 Kepercayaan yang dianut oleh bangsa Mongol adalah
Syamanisme, yakni praktik menyembah bintang dan sujud ketika matahari
terbit.33
Baru ketika di bawah Jengis Khan berkuasa, agama Budha dan kepercayaan
Tibet Lama telah banyak dianut bangsa Mongol. Ketika jengis Khan mangkat,
31
Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.14.
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 25.
33
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Islam, jilid IV, hlm. 133.
32
20
banyak pengikutnya yang kembali ke kepercayaan semula. 200 tahun kemudian,
agama Budha dan kepercayaan Tibet Lama diperkenalkan kembali berbarengan
dengan munculnya suatu kepercayaan neo-Syamanisme. Kepercayaan ini dianut
oleh bangsa Mongol hingga timbulnya komunisme di Cina pada abad 20 yang
menerapkan kebijakan anti-agama disertai pembunuhan besar-besaran para biksu
dan penghancuran rumah-rumah ibadah. Ketika bangsa Mongol masuk ke negerinegeri Islam, seperti Persia, banyak di antara mereka yang menjali Muslim.34
Pembagian strata sosial bangsa Mongol terdiri atas anggota ksatria Mongol
yang disebut bagatur atau sechen. Pemimpin dari golongan ksatria ini dinamakan
noyan.35 Kelompok orang kebanyakan atau penduduk biasa dinamakan karachu,
dan di bawahnya lagi adalah golongan budak. Ketika bangsa Mongol sudah mulai
berhubungan dengan Dinasti Jin dari Cina yang mengakui entitas (keberadaan)
Mongol sebagai suatu vassal atau negeri bawahan. Beberapa di antara noyan ada
yang diberi gelar mengikuti struktur pemerintahan Dinasti Jin, seperti taishi
(gubernur) dan wang (raja).36 Hubungan antara warga pastoral dan perkotaan ini
dapat terjalin dimulai ketika seorang khan Mongol, Ambaghi Khan, ditaklukan
oleh suku Tatar yang dibantu oleh pasukan Dinasti Jin. Dinasti Jin sendiri
memiliki agenda terselubung untuk mencegah persatuan suku-suku Mongol,
sehingga dalam upayanya itu ia bermitra dengan suku Tatar. Sematan khan
merupakan gelar yang disandang oleh seorang pemimpin suku Mongol.37
34
Gulugjab Tagghudai, “General Concept in Mongol persona”, hlm. 6.
George Vernadsky, Mongol and Russia, hlm. 15; lihat juga Ignatius Erik, Peranan
Mongol, hlm.15.
36
George Vernadsky, Mongol and Russia, hlm. 15; lihat juga Ignatius Erik, Peranan
Mongol, hlm.15.
37
Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.15.
35
21
Dalam struktur sosial masyarakat Mongol, wanita dan pria memiliki
kedudukan yang sama. Hal ini bisa ditelisik dari tradisi penggembala nomaden
Mongol yang telah berurat akar selama berabad-abad yang memastikan
kemandirian yang sama baik pria maupun wanitanya. Menurut John Man, wanita
Mongol bahkan hingga saat ini, tidak hanya berdiam di rumah, memasak atau
menjahit baju, serta mengasuh anak, mereka juga mampu berburu dan
menggembala jika merasa perlu melakukannya. Dua pekerjaan terakhir, lazimnya
merupakan tugas kaum pria.38
Ira M. Lapidus mengungkapkan lebih jauh, bahwa antara masyarakat
penetap dan pastoral bukan hanya menjalin hubungan saling mengenal, melainkan
juga telah berkembang dalam relasi perniagaan, produksi, dan juga terlibat dalam
kafilah perdagangan. Seiring berjalannya waktu, warga pastoral sendiri telah
mulai terbiasa hidup seperti warga mukim, dengan membiasakan diri mencari
nafkah melalui pertanian. Kemudian, setelah merasa betah, mereka pun banyak
yang mulai menjadi petani tetap bahkan juga warga perkotaan. Terkadang, mereka
berada dalam jajaran menengah masyarakat, dengan menjadi penguasa serta tuan
tanah.39
Mekipun bangsa Mongol terkenal akan serbuannya yang menyejarah ke
hampir mencakup dua benua, pemimpin Mongol, Jengis Khan telah pandai
membaca situasi yang mengharuskan ia menetapkan suatu undang-undang yang
ditaati oleh seluruh orang Mongol, semata-mata diberlakukan untuk menciptakan
keteraturan. Undang-undang ini dinamakan yasa (alyasak, atau alyasah). Di
38
John Man, Kubilai Khan; Legenda Sang Penguasa Terbesar Dalam Sejarah (Tangerang;
Alvabet, 2010) hlm. 11-12.
39
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 699.
22
dalamnya termaktub peraturan yang antara lain menyebutkan bahwa wanita
mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan
perang dibagi ke dalam beberapa kelompok besar maupun kecil, berjumlah seribu,
dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang
komandan.40
D. Konsolidasi Politik Bangsa Mongol
Bangsa Mongol mencapai kemajuan sosial secara mencolok ketika dipimpin
oleh Yasugi Bahadur Khan (Yesugai), setelah sebelumnya hidup secara terpisah
dalam suku-suku kecil. Dengan tidak mengenal lelah, ia menyatukan 13 suku
Mongol di bawah komandonya.41 Yasugi merupakan keturunan dari keluarga
bangsawan tua dari suku Mangkhol. Spuler menyebut bahwa Yasugi merupakan
seorang komandan yang membawahi sepuluh orang dan banyak yang meyakini, ia
merupakan seorang pangeran yang independen. Kehidupannya dipenuhi dengan
pertarungan mempertahankan tanahnya serta kewibawaannya.42 Hal ini tentu
masih berkaitan dengan pola “penertiban” yang dilakukan oleh Dinasti Jin atas
suku-suku nomad. Menginjak tahun 1165, Yasugi mangkat. Ia meninggalkan
beberapa orang anak dan yang tertua bernama Temujin (Jengis Khan), saat itu
berusia 10 tahun. menurut adat Mongol, ia digadang-gadang menjadi pemimpin
Mongol masa depan. Namun, kenyataan belum berjalan sesuai dengan ketentuan
itu. Ia sepenuhnya menyadari bahwa dalam mempertahankan warisan leluhur,
maka ia membutuhkan banyak laskar yang siap membantunya.43
40
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 112.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 112.
42
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 2-3.
43
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 3.
41
23
Jengis Khan dikenal sebagai jenderal perang Mongol yang ulung. Ia
mereorganisasi tata kemiliteran Mongol sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
kekuatan yang ditakuti oleh lawan-lawannya. Kehidupan stepa yang serba keras,
dipadati dengan latihan berkuda dan berperang menempatkannya sebagai sosok
yang membawa fajar baru bagi bangsa Mongol. Dengan segera ia memugar
kembali kepercayaan kaumnya, lewat pembentukan tentara berkuda yang menjadi
kepanjangan tangannya meraih cita-cita sebagai seorang penguasa yang paling
disegani dalam sejarah.44
Setelah menaklukkan daerah-daerah Cina.45 Pandangan sang Khan kini
mengarah ke Barat. Lewat serangkaian pengaturan arus balik yang teratur,
pasukan berkuda sang Khan mulai merayap keluar dari daerah Cina dan memacu
kudanya ke barat. Beberapa mil di depannya, terdapat daerah Dinasti Khawarizm,
yang kala itu dipimpin oleh Muhammad II. Di masanya Khawarizm sedang
menikmati masa-masa keemasannya. Sejak masuknya wilayah Uighur pada
kekuasaan Jengis Khan pada 1207, Dinasti Khawarizm merupakan lawan terberat
pasukan Khan di samping kekaisaran Cina.46
Ketika mengetahui iring-iringan pasukan Jengis Khan akan menghampiri
negerinya, Muhammad II47, Syah Khawarizm, mengutus seorang utusan yang
membawa surat perdamaian kepada Jengis Khan. Isi surat tersebut adalah
keinginan khalifah Dinasti Abbasiyah untuk menjalin relasi perdagangan dengan
44
Ignatius Erik, Peranan Mongol, hlm.20-22.
Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 14-15.
46
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 8.
47
Sumber lain mengatakan namanya adalah Sultan Alauddin, sedangkan nama Muhammad
sendiri menurut Bertold Spuler merupakan Muhammad II dan ada pula yang menyebutnya
Alauddin Muhammad yang merupakan syah terbesar dinasti ini. Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 113; Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 8.
45
24
Mongol. Sumber lain mengatakan bahwa, sebenarnya baik sang utusan maupun
Syah Khawarizm tidak mengetahui isi surat yang ternyata memang berasal dari
Baghdad itu. Sebenarnya, isinya adalah mempersilahkan Jengis Khan menyerang
Khawarizm, bahkan khalifah Baghdad akan membantu pasukan Mongol.
Semuanya kemudian berjalan baik, Khawarizm tidak jadi diserang hingga
suatu ketika pada tahun 1218, konflik antara keduanya pecah. Saat itu Syah
Khawarizm kedatangan tiga pedagang Muslim kaya yang mewakili Jangis Khan
untuk menyampaikan salam hangat kepada Khawarizm, yang dengan bahasa
diplomatik sedemikian halus merujuk pada maksud agar Khawarizm bersedia
menjadi vassal dari Mongol. Syah Khawarizm amat tersinggung dengan ucapan
itu. Segera setelahnya, ia membunuh duta-duta Mongol itu dan merampas barangbarang karavannya. Pun dengan utusan kedua Mongol yang juga dibunuh, sama
sekali tidak ada rasa bersalah dari sang Syah, malahan hal ini dilakukan untuk
memenuhi kepuasannya.
Menanggapi kabar kematian utusannya, Jengis Khan menganggapnya
sebagai bentuk pelecehan. Tiada kata lain untuk membalasnya, selain
membumihanguskan
Khawarizm.
Pasukannya
digerakkan menuju Khawarizm. Sang Syah
segera
dibangunkan
dan
menempatkan pasukannya di
Samarkand, sedangkan ia memilih bertahan untuk memperkuat bentengnya.
Tentara Khawarizm porak poranda. Yang paling menakutkan adalah apa yang
dikisahkah Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi at-Tarikh-nya terkait pembunuhan yang
dilakukan oleh tentara sang Khan. Setiap tempat yang terdapat manusia, maka di
situ pasti terjadi pembunuhan. Korbannya bukan hanya orang dewasa melainkan
25
juga anak-anak.48 Kala itu, pertempuran melawan Syah diserahkan kapada anak
Jengis Khan, sedangkan sang Khan sendiri memilih menaklukkan Bukhara.
Pasukan Syah mundur hingga ke Balkh lalu ke Nisapur. Ketika Jengis Khan
berhasil menguasai Samarkand. Ia mengirim beberapa detasemen untuk mengejar
Syah Khawarizm. Kisah Syah Khawarizm berakhir dengan tragis, ia ditemukan
mati terbunuh di pulau kecil di Laut Kaspia pada tahun 1220.49 Manurut Badri
Yatim, gelombang kekuatan balasan Khawarizm sempat muncul dan menantang
pasukan Mongol. Kali ini Khawarizm langsung dipimpin oleh Jalaluddin, syah
baru yang juga anak Muhammad. Pertempuran pun segera pecah di Attock pada
tahun 1224. Ketika itu, pasukannya terdesak hebat, Jalaluddin segera melarikan
diri ke India, dari sana pasukan Mongol tetap bergerak hingga sampai di
Azerbaijan.50 Di negeri ini, kerusakan yang terlihat semakin parah. Menurut Ibn
al-Atsir selain mengadakan penghancuran, tentara Mongol juga melakukan
penjarahan harta benda.51
Orang-orang Khawarizm merupakan pemeluk Islam aliran Syiah. Setelah
merasa kedudukannya kuat, mereka mendirikan kerajaan baru, yakni kerajaan
Syah Khawarizm. Orang-orang Muslim Syiah Khawarizm ini kemudian berhasil
mengikat wilayah bagian barat Asia, dari sebelumnya terpecah-pecah menjadi
suatu kesatuan politik. Di sisi lain, para elite kerajaan belum mampu menciptakan
hal yang sama di ranah kehidupan beragama. Hal ini dikarenakan penggantian
Islam Syiah sebagai agama resmi kerajaan menggantikan Islam Sunni yang
48
Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh; Tarikh, hlm.1914.
Karl Brockelman, History of the Islamic, hlm. 240-241.
50
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 113.
51
Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, hlm. 1945.
49
26
menjadi agama resmi di era Turki Seljuk, belum semampunya dapat diterima oleh
semua kalangan. Belakangan masalah ini ternyata menjadi sumber kerapuhan
kerajaan Khawarizm. Umat Islam yang berada di bawahnya memiliki potensi
terkoyak oleh konflik agama.
Selanjutnya, para elite Khawarizm berupaya untuk terus memperlebar sayap
wilayahnya, kali ini pandangan ditujukan ke Baghdad. Namun, cita-cita ini
menemukan jalan terjal bahkan tidak terlaksana sama sekali, oleh karena beberapa
waktu kemudian segala elemen masyarakat kerajaan ini hancur lebur dipukul
serbuan bangsa Mongol.52
52
Muhammad Tohir, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus (Jakarta: Pustaka Jaya,
1981), hlm. 413-414.
BAB III
SERBUAN BANGSA MONGOL KE BARAT
A. Migrasi Bangsa Mongol
Menginjak tahun 1227, Jengis Khan sudah tidak mampu lagi memacu
kudanya lebih cepat. Agaknya ketuaan telah beberapa tahun sebelumnya
menghantui dirinya. Tepatnya pada 18 Agustus 1227, ia mangkat dengan
meninggalkan istri, anak, keluarga, dan pengikutnya.
Ketika ia meninggal, kerajaan Mongol sudah sedemikian luas terbangun dan
tentu saja bayang-bayang akan tantangan mempertahankan eksistensinya dengan
cepat berhembus. Sudah tentu, mereka yang berhak mewarisi kerja kerasnya itu
adalah anak-anaknya. Jengis Khan dikaruniai empat anak. Kesatuan kerajaan bisa
saja tercerai berai akibat perebutan tahta. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada
bangsa Mongol. Undang-undang Mongol telah menetapkan bahwa anak termuda
diserahi tugas untuk mewarisi kepemimpinan dan menjaga tanah pihak ayahnya.
Dengan kata lain, tanah air atau tanah tumpah darah bangsa Mongol diwariskan
kepada putra termuda yang bernama Tuli.
Sedangkan untuk ketiga anaknya yang lain, Jagatai (Chagatai) mendapatkan
bagian utara dan sebelah timur laut Oxus. Daerah ini lebih dikenal dengan nama
Transoxania. Sedangkan untuk Ogedei diwariskan daerah bagian timur, dan untuk
yang anak tertua, Jochi, diserahi tugas mengurus sebagian besar daerah barat,
termsuk kawasan Rusia. Enam tahun berselang sejak kematian Jengis Khan, Jochi
27
28
berpulang, kedudukannya digantikan anaknya.53 Semasa hidupnya, Jengis Khan
senantiasa memimpikan kerajaan besarnya berada dalam kesatuan terpusat.
Walaupun dihadapkan pada realitas wilayah yang amat luas, bukanlah dianggap
menjadi masalah utama. Ia tidak menyetujui konsep desentralisasi kekuasaan yang
berarti pula membagi wewenang kekuasaan pada penguasa-peguasa di bawahnya.
Hal tersebut dipahami betul oleh keempat anak Jengis Khan. Salah satu di antara
mereka harus ada yang menduduki Khan Agung tertinggi (Great Khan) yang
membawahi empat wilayah pembagian Mongol.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1229, diselenggarakan dewan
rakyat Mongol yang dikenal dengan nama Qurultay. Pertemuan para pemuka
Mongol itu menghasilkan keputusan bahwa Ogedei-lah yang didaulat menjadi
Khan Agung. Sosok Khan Agung ini diceritakan mewarisi kemampuan bertempur
ayahnya. Sikapnya terlihat tenang dan mencerminkan pemimpin yang tidak
gegabah memimpin kerajaan tinggalan ayahnya. Segera ia mengadakan beberapa
tindakan membangun birokrasinya dengan membuat ibukota baru di Qara Qum
(Karakum).
Daerah ini dikenal sebagai gurun liar yang diupayakan sebagai
daerah subur tempat tumbuhnya buah-buahan dan sayur mayur yang nantinya
didistribusikan ke Mongolia dan China. Kota ini dikenal pula sebagai salah satu
titik jalur dagang dan memiliki potensi strategis menjalin relasi niaga di antara
India dan Asia Barat.54 Walaupun telah mendapat bagian-bagian, namun nafsu
untuk memperlebar sayap ekspansi belum juga surut di jiwa anak serta keturunan
Jengis Khan. Batu Khan, anak Jochi, setelah membentuk tentara yang kuat mulai
53
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 10-11.
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 11.; lihat juga Justin Marozzi, Timur Leng,
54
hlm.13.
29
memberangkatkan pasukannya menyerbu Rusia, Polandia, Bulgaria, dan
Magyar/Hongaria (di Eropa Timur). Sesampainya di pintu gerbang Eropa tersebut
hasratnya tak kunjung padam, ia mengarahkan pandangan untuk menaklukkan
Konstantinopel. Namun begitu, agaknya ia harus memendam cita-citanya. Ia
mangkat sebelum pasukannya menyentuh kota itu.55
Salah satu episode perang yang menarik adalah ketika tentara berkuda
Mongol pimpinan Ogodei dihadang oleh kawanan kavaleri gajah TurkiKhawarizm, sebagaimana yang diceritakan oleh Juvaini (Juwaini?):56
And when the path of combat was closed to them, and the two parties
had become entangled on the chess board of war, and the valiant
knights were no longer able to manoeuvre their horses upon the
plain, they threw in their elephants; but the Mongols did not turn
tail, on the contrary, with their King-checking arrows they liberated
those who were held in check by the elephants until broke up the
ranks of the infantry. When the elephants had received wounds ami
were of no more use than the foot soldiers of chess, they turned back,
tramping many people underneath their feet.
(ketika jejak pertempuran menghampiri mereka, pergerakan dua
pasukan menjadi seperti perang di papan catur. Manuver berkuda
prajurit Mongol tertahan dan hanya mengitari tanah datar, mereka
memanahi gajah-gajah tersebut. Mongol tidak terpengaruh dengan
mengekor pasukan musuhnya. Malahan, dibawah kendali raja
mereka, serangan panah dialamatkan ke gajah sehingga
menyebabkan kerusakan bagi infantri musuh. Pasukan gajah
tersebut menghancurkan infantri catur. Pasukan bergajah berbalik
menuju prajurit musuh dan mencederai banyak orang yang dilewati
sang gajah).
Bagaikan menjalankan bidak catur, ketika mengetahui pergerakan pasukan
berkuda terhenti oleh dominasi pasukan gajah Khawarizm, alih-alih mengadakan
serangan mengekor, yakni melalui belakang, pasukan Mongol yang kala itu
dipimpin oleh Jochi, memilih menghujani pasukan gajah dengan panah. Ketika
55
Hamka, Sejarah Umat Islam jilid III (Bukittinggi: N. V. Nusantara, 1961), hlm. 24.
Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 21-22.
56
30
gajah-gajah panik, para pawangnya tidak bisa mengendalikannya dan sang gajah
berbalik menghancurkan infantri Khawarizm.
Setelah memperoleh kemenangan yang gilang gemilang di Khawarizm,
pasukan Mongol melanjutkan penaklukan atas seluruh Persia. Bukan hanya
kawasan landai, pasukan Mongol juga menghampiri dataran tinggi Mesopotamia
dan menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentangnya. Gruzia (Georgia)
pun ditundukkan dan Anatolia dihancurkan. Semua pemuka wilayah serta
rakyatnya menyatakan tunduk di depan Mongol. Tak berhenti sampai di situ.
Pintu gerbang Eropa pun didobrak, yakni ketika Rusia digempur, Polandia dijajah
dan Hongaria dibuat menderita. Iring-iringan Mongol pun sampai di pintu
gerbang Wina (Austria). Namun, kelanjutan penaklukan Eropa nyatanya belum
terpenuhi ketika Ogodei berpulang. Eropa pun mengelus dada tanda selamat dari
petaka pasukan Mongol. Sebagai bentuk pengakuan atas kehebatan Mongol
menyentuh Eropa, Paus Innocent IV memberi izin kepada Universitas Paris untuk
membuka program bahasa asing, yaitu Arab dan Tatar. Selain itu, Paus juga
mengirimkan duta-dutanya secara berkala ke istana Qara Qum, sehingga seorang
rahib dari ordo Frasiskan bisa mengikuti upacara penahbisan raja Mogol
(Mongulistan), Goyuk. Mogol atau Moghulistan merupakan pecahan dari keluarga
Chagatay.
Sepeninggal Ogedei, tampuk kepemimpinan sempat diserahkan kepada
istrinya yang bernama Toregene dan tak lama kemudian tahta tersebut diserahkan
kepada Guyuk. Sesuatu yang nantinya menimbulkan ketegangan di antara
keluarga
Mongol.
Batu
pemimpin
Golden
Horde,
menyatakan
31
ketidaksepakatannya dengan pengangkatan Guyuk.57 Sama seperti kakeknya, Batu
juga dikenal sebagai penakluk ulung. Golden Horde merujuk pada pengikut Jochi
yang berarti Gerombolan Emas.58
Sepeninggal putra tertua Jengis Khan, Jochi,
pada 1227, wilayahnya
diwariskan kepada putra sulungnya, Orda. Daerah kekuasaannya yang meliputi
bagian barat sungai Irtish di Siberia, daerah yang paling jauh dari pusat
pemerintahan Khan Agung di Qara Qum. Menurut sejarawan Persia abad 13,
Juwaini, daerah ini disebut juga “sejauh daerah yang pernah diinjak oleh kaki
kuda Mongol”. Orda mendapat bagian Siberia barat dan koridor wilayah di antara
sungai Amu Darya dan Irtish yang dikenal sebagai “wilayah sayap timur ulus
Jochi”. Setelahnya, daerah ini dikenal sebagai tempat berdiamnya Gerombolan
Putih (White Horde) dan Gerombolan Biru (Blue Horde). Di kemudian hari,
wilayah tersebut jatuh ke tangan Batu yang langsung mengonsolidasikan
kekuasaannya di daerah barat-cabang paling barat dari kekaisaran Mongol. Kedua
gerombolan ini digabungkan menjadi suatu gerombolan baru bernama
Gerombolan Emas (Golden Horde) yang nantinya segera mengadakan ekspansi
wilayah. Menginjak tahun 1235, Batu memperoleh kesempatan pertamanya untuk
mewujudkan mimpinya. Ogedei menunjuknya sebagai komandan pasukan
Mongol sebesar 150.000 orang untuk menundukkan bangsa Bulgar di Sungai
Volga dan bangsa Kipchak. Bangsa Bulgar merupakan bangsa nomaden yang
kebanyakan dari mereka telah memeluk Islam dan mendirikan negara/kerajaan
dengan ibukotanya di Bulgar, terletak di pertemuan sungai Volga dan Kama.
57
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 14.
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 17
58
32
Mereka hidup di tenda dan menggantungkan kehidupannya dengan beternak,
berdagang bulu binatang dan budak di pasar-pasar Ma wara’a al-nahr yang
nantinya ditukar dengan persenjataan dan barang manufaktur. Sedangkan bangsa
Kipchak merupakan konfederasi penggembala Turki yang kuat dan mendiami
wilayah stepa bagian sebelah utara laut Kaspia, membentang dari Siberia barat
hingga sungai Danube.
Ma wara’a al-nahr atau “tempat di balik sungai” dalam peta atlas modern
dimulai dari wilayah yang termasuk dalam bekas jajahan Uni Soviet yang
kemudian membentuk negara-negera merdeka di Asia Tengah mulai dari
Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan, Tajikistan terus membentang hingga
mencapai Xinjiang barat laut di China. Daerah ini dikenal pula dengan nama
Transoxiana yang di tengah-tengahnya terdapat lorong daratan selebar 500 Km
yang diapit dua sungai terbesar di Asia Tengah, Amu Darya dan Sir Darya, atau
nama klasiknya Oxus dan Jaxarte.59
Lewat serangkaian serangan sistemastis bangsa Bulgar dapat ditaklukkan
dan kotanya pun dihancurkan. Ketika pasukan sampai di wilayah Kipchak,
mereka sempat tertahan oleh gelombang aksi heroik pejuang Kipchak yang
langsung dikomandoi oleh pemimpinnya Bachman. Namun keadaan tersebut tidak
bertahan lama, tembok pertahanan kokoh yang digalang pasukan Kipchak berhasil
dijebol dan dengan cepat pasukannya ditundukkan. Batu melanjutkan serangannya
hingga mencapai sungai Ural pada tahun 1237, melintasi Rusia dan
menghancurkan kota-kota besar seperti Moskow dan Kiev, yakni dengan
59
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 12.
33
mengadu domba para pangeran Rusia yang telah terpecah belah. Pasukan terus
berlanjut menaklukkan Polandia hingga Wina.60 Di kemudian hari Golden Horde
pimpinan Batu menjadi pasukan Mongol yang disegani baik di antara keluarga
maupun musuh-musuhnya.
Di bagian timur jauh, keturunan Jengis Khan lainnya pun sedang
mengusahakan suatu dominasi atas Cina. Dimulai dari Mongke, putra Tului, yang
mengusahakan kekuasaan atas negeri ini. Ambisinya terhenti dengan kematiannya
pada 6 September 1259. Cita-citanya diteruskan oleh adiknya Kubilai dan Aryg
Boge. Setelah melewati beberapa peperangan penting Kubilai berhasil merebut
tahta tertinggi Cina dan menjadi kaisar sekaligus mendirikan dinasti baru, yakni
dinasti Yuan. Pada perkembangannya, Yuan amat identik dengan tradisi dan
budaya Cina ketimbang Mongol.61
B. Konflik antar Khaniyah Mongol
Persatuan sejatinya sudah tidak melihat lagi pengedepanan hasrat pribadi.
Kekuasaan yang sedemikian luas, ditambah dengan banyaknya bangsawanbangsawan Mongol yang memiliki ambisi pribadi untuk selangkah lebih terdepan
dibanding saudaranya yang lain menyebabkan persatuan yang sebelumnya telah
berhasil diwujudkan kini mendapat ancaman keretakan. Pun ketika mengetahui
Goyuk, putra Ogedei akan ditunjuk menjadi Khan Agung menggantikan ayahnya,
hati Batu seakan tidak terima dan memutuskan untuk berseberangan dengan
saudara-saudaranya yang lain. Pada akhirnya kedua pangeran Mongol tersebut
60
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 85-86.
Bertold Spuler, The Islamic World, hlm. 18 dan 21.
61
34
harus merelakan jabatan Khan Agung yang ternyata ditetapkan kepada Mongke,
putra sulung Tului, yang juga masih mewarisi darah Jengis Khan.62
Jika pertikaian sudah melanda kalangan elitenya, maka dengan serta merta
ikut pula memecah belah kebersatuan bangsa Mongol. Pertikaian Batu dengan
pangeran Mongol tersebut, pertanda perpecahan ternyata akan berkepanjangan
dan merusak ikatan keluarga antara Jochi dan Tului di satu sisi dan antara Ogedei
dan Chagatay di sisi lainnya. Batu sendiri memiliki ambisi pribadi untuk
menduduki istana Qara Qum yang bermakna pula menjadi Khan Agung. Untuk
itu, hal ini pula yang mendorong Batu tidak meneruskan ekspansinya ke bagian
barat dan memilih kembali untuk menghadiri sidang Qurultay yang memiliki
agenda pemilihan khan baru, di mana permasalahan itu menghabiskan beberapa
tahun lamanya. Jika saja Ogedei mampu hidup lebih lama, maka dapat dipastikan
kekuasaan Mongol akan sampai pada tepi pantai Samudra Atlantik.
Selain untuk memastikan jabatan Khan Agung baginya, ia juga bermaksud
menetapkan kerajaan dan wilayahnya sendiri. Sejak tahun 1242 hingga 1254, ia
menyibukkan diri membangun ibukotanya, Sarai Lama, di tepi timur sungai
Akhtuba yang merupakan anak sungai Volga, kira-kira seratus kilometer barat
laut Astrakhan. Setelah kemenangan atas Rusia dan Eropa, hasil tersebut
kemudian diperuntukkan bagi dirinya seorang, yang berarti pula semakin luasnya
daerah kekuasaannya, dari yang sebelumnya hanya berada pada wilayah utara laut
Kaspia yang sederhana memanjang mencakup daerah barat daya Nizhniy,
Novgorod dan Voronezh di Rusia hingga Kiev di Ukraina serta ungai Prut di
62
Bertold Spuler, The Islamic World, hlm. 18.
35
perbatasan Rumania. Di timur, pengaruhnya terpancang meliputi Khawarizm dan
kota Urganch yang terkenal.63
Walaupun telah mendirikan pusat kekuasaannya sendiri, api pertikaian
antara Batu dan Guyuk belum juga padam. Menurut Brockelmann, Guyuk terlibat
perang terbuka dengan Batu di Balkan, sesaat setelah dirinya ditahbiskan menjadi
Khan Agung. Sekitar dua tahun berselang, Batu melancarkan serangan ke bagian
barat kekuasaan Guyuk. Kebetulan Guyuk berada tidak jauh dari iring-iringan
pasukan Batu. Didorong oleh api kemarahan yang membakar, Guyuk memacu
kudanya beserta pasukannya dan terlibat pertarungan dengan saudara sepupunya
itu. Pertempuran mencapai akhirnya ketika Batu berhasil membunuh Guyuk.64
Setelah Batu mangkat pada sekitar tahun 1255 atau 1258, tampuk khan
Golden Horde diberikan kepada Berke, adiknya. Sang Khan baru mendirikan kota
baru lainnya, Saray Baru, yang juga berada di tepi sungai Akhtuba di sebelah
timur Volgograd. Saray Baru dipilih menjadi ibukota baru ketika khan
Gerombolan Emas ini dijabat oleh Uzbek yang memerintah mulai tauh 1313
hingga 1341 yang juga menjadi puncak kegemilangan Golden Horde. Pada masa
itu, pasukan Golden Horde berhasil memukul mundur pasukan Mongol Chagatay
sekaligus memasukkan wilayah kekuasaan Chagatay ke dalam wilayah Golden
Emas. Di wilayah ini terhampar potensi niaga yang besar yakni adanya jalur
perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Eropa. Sekitar tahun 1330, Ibn
Battuta sempat mengunjungi kota ini dan menemukan sebuah kota kosmopolitan
yang luar biasa dihuni oleh orang Mongol, Kipchak, Sirkassia, Rusia, dan Yunani,
63
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 87.
Carl Brobkelmann, History of the Islamic, hlm. 249.
64
36
masing-masing hidup di komunitasnya sendiri. Saat itu, di Saray Baru sudah
berdiri tiga belas gereja dan sejumlah masjid. Ibn Battuta mengatakan bahwa kota
ini merupakan “salah satu kota terbaik yang sangat luas, terletak di dataran yang
dipenuhi dengan warga yang menyelenggarakan pasar besar, jalannya pun terlihat
lebar.”
Sepeninggal Uzbek, tahta kerajaan diamanatkan kepada anaknya, Janibeg,
yang mulai berkuasa pada tahun 1337. Di masa pemerintahannnya, potensi
masyarakat dan daerahnya dilemahkan oleh serbuan Wabah Hitam yang
membunuh sekitar 80.000 orang hanya di daerah Crimea saja, dan belum di
daerah lainnya. Golden Horde pun berada di masa kemundurannya. Serangkaian
pertikaian antar bangsawan keturunan Batu menyebabkan keutuhan kerajaan
semakin tidak terkendali lalu kemudian terpecah menjadi wilayah-wilayah
merdeka yang saling bermusuhan.65
Konflik internal tidak saja melanda Gerombolan Emas, namun juga
menghancurleburkan persatuan keluarga Mongol Chagatay. Sekitar akhir abad ke
13, ketegangan serius mulai muncul di wilayah Chagatay. Saat itu, terjadi
perselisihan antara bangsawan Mongol yang memilih cara hidup menetap, baik di
kota maupun desa, sebagian besar berasal dari Ma wara’a al-nahr, mereka adalah
Mongol yang Muslim dengan saudara mereka yang mempraktikkan pola hidup
militer pengembara, mendiami wilayah timur dan yang masih menyembah
berhala. Bangsawan pengembara mencibir Mongol penetap sebagai bukan
Mongol sejati melainkan hanya peranakan. Sedangkan Mongol penetap
65
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 87-90.
37
menganggap mereka yang masih hidup mengembara sebagai jete, perampok, atau
jat.
Semakin lama, pertikaian ini semakin sulit dilerai, malah semakin
menumbuhkan kebencian di antara kedua Mongol beda profesi ini. Ketegangan
semakin membesar dengan adanya penerapan sistem keistimewaan yang diberikan
kepada kaum militer oleh khan. Keistimewaan ini membebani masyarakat yang
hidup di bawah kemiskinan. Mereka dipaksa memberikan makanan, pakaian, dan
persenjataan bagi tentara.66
Pun di bagian Timur Jauh, kegemilangan yang dicapai oleh Kubilai,
ternyata mengundang api perselisihan dengan saudaranya seperjuangan dulu,
Aryq Boge. Sepeninggal Mongke, Aryg Boge ditengarai berambisi menjadi Khan
Agung menggantikan kakaknya. Hal tersebut diketahui oleh Kubilai yang juga
berhasrat menjadi Khan Agung. Jabatan ini tentu saja akan semakin meningkatkan
reputasinya sebagai salah satu penguasa dunia yang berpengaruh. Selain menjadi
kaisar atas Cina, negeri yang memiliki peradaban teragung dan tersohor di
balahan dunia manapun, posisi Khan Agung akan semakin menahbiskan dirinya
sebagai satu-satunya penguasa tertinggi bagi seluruh orang Mongol, bangsa yang
dikenal sejarah memiliki reputasi menakutkan sepanjang sejarah umat manusia.
Dikatakan demikian mengingat Mongol merupakan bangsa yang tak
pandang bulu menghancurkan lawannya, membunuh, merampok dan hanya
menjadikan hal itu sebagai keharusan. Setelah melakukan hal itu, mereka tidak
memiliki cita-cita untuk membangun wilayah taklukkan itu kembali. Baru pada
66
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 26.
38
keturunan Mongol berikutnya yang telah berakulturasi dengan budaya lain sadar
akan pembangunan peradaban. Pada akhirnya, Kubilai berhasil memenangkan
perburuan gelar dan menjadi Khan Agung selanjutnya.67
Di balik pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuka Mongol ini,
terdapat benang merah yang dapat ditarik, yakni bangsa Mongol menjadi
penguasa terbesar di seluruh dunia. Kendati sebelumnya lebih banyak
mempraktikkan pola hidup pastoral atau nomaden, beberapa dari mereka mulai
tersadar bahwa untuk melanggengkan nama serta kerja keras yang mereka
lakukan selama ini maka membangun suatu peradaban merupakan langkah yang
harus diwujudkan selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan berbagai
ibukota yang menjadi sentral kekuasaan.
Batu membangun Saray Lama, Kubilai Khan meenjadi penguasa Cina dan
menandai kelahiran dinasti baru yakni Yuan. Di masa-masa setelahnya, kekuatan
bangsa pastoral yang bukan saja berasal dari suku Mongol pun mampu membuat
peradaban. Negeri-negeri Asia Tengah mulai disanjung karena keindahannya
ketika Timur Leng bertahta di Samarkand, bahkan bangunan gaya Timuriyah
(yakni dengan atap menyerupai kubah dan didominasi oleh warna biru) menjadi
inspirasi pembangunan istana Kremlin Russia.68 Belum lagi tentang pasukan
Turki Seljuk yang menjadi momok menakutkan bagi kerajaan Byzantium.
Kekalahan pasukan Salib, pada serentetan Perang Salib juga terjadi ketika tidak
mampu menandingi manuver tajam pasukan Seljuk. Bahkan dalam pertempuran
Manzikert yang terjadi tahun 1071, Turki Seljuk berhasil mengalahkan
67
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 22.
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 271.
68
39
Byzantium.69 Perebutan Konstantinopel pada 1453, oleh Muhammad II, Sultan
Turki Usmani, menjadi pembuktian bahwa bangsa stepa memiliki formula jitu
sebagai penguasa dunia.70
Selain Mongol, saudara mereka, bangsa Turki juga sebelumnya menjalani
hidup sebagai bangsa berkuda yang mendiami kawasan Asia Tengah. Belakangan
ketika mereka telah semakin berkembang karena ditempa pengalaman, mereka
kerapkali bersitegang dan saling berebut pengaruh. Ikatan persaudaraan ketika di
padang rumput dahulu, agaknya semakin memudar oleh karena agenda politik
masing-masing.
Kendati kerap terjadi silang pendapat dan tak jarang berakhir dengan perang
saudara, Mongol telah membuktikan diri sebagai bangsa besar yang sejarahnya
mampu menandingi penguasa besar lainnya dalam sejarah manusia, seperti
Alexander Agung, Napoleon Bonaparte, Frederick The Great atau Harun alRasyid. Hanya saja perbincangan mengenai Mongol kerapkali lebih dikedepankan
hanya seputar kesadisan serta “piramida manusia” yang kerap dibuatnya ketika
menaklukkan suatu kota.
Seakan tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang dikenang sejarah
sebagai penakluk besar, Hulagu Khan memiliki ambisi pula untuk menjadi khan
yang memiliki jalannya sendiri. Sematan Mongol dalam dirinya serta pasukan
berkudanya belakangan lebih dikenal dengan Tatar. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, sebutan Tatar kerapkali digunakan secara bergantian
69
Tim Penulis, Perang yang Mengubah Sejarah; Buku Pertama: dari Pertempuran
Megiddo (1457 SM) hingga Blenheim (1704) (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013) hlm.
135.
70
Tim Penulis, Perang yang Mengubah, hlm. 184.
40
dengan Mongol. Hulagu mengukir sejarahnya sendiri sebagai penakluk
kekhilafahan Baghdad yang juga memiliki peradaban besar, tak kalah dengan
Cina.
C. Terbentuknya Dinasti Ilkhaniyah
Menginjak pertengahan abad ke-13, pemerintahan Muslim di Persia masih
berada pada kondisi yang labil. Ketika itu dunia perpolitikan diteror oleh
sekumpulan ahli-ahli seni pembunuhan yang dikenal sebagai Hasyasyin
(Assassin). Mereka kerap mengadakan teror gelap di mana-mana. Muhammad
Tohir menilai bahwa kelompok ini sejatinya merupakan kumpulan penyamun
yang banyak bergerak dalam wilayah politik, sehingga tak jarang membungkus
agenda politiknya melalui serangkaian aksi kriminal.
Sebenarnya, para pemuka Turki Seljuk telah melakukan berbagai cara untuk
membasmi gerakan ini, namun masih belum berhasil. Bangsawan-bangsawan
Suriah pun mengambil keuntungan dengan melumpuhkan dan menyabotase
jaringan perdagangan sehingga keuntungan berpihak kepada mereka. Keadaan
inilah yang mengundang Hulagu untuk menjajal kemampuannya dalam menata
kembali kelanjutan dinasti Jengis Khan.71
Merujuk pada penjelasan Brockelmann, pada perkembangannya, pasca
mundurnya keturunan Chagatai dan Ogedei dari perburuan menjadi Khan Agung,
keturunan mereka terlibat dalam pertikaian pelik yang berujung pada saling
membunuh. Dalam keadaan yang serba kacau tersebut, kekaisaran Mongol terbagi
ke dalam dua otoritas (spheres of authority), yang terbentang di stepa di antara
71
Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 424-425.
41
sungai Talas dan Chui. Ketika keturunan Batu menghujamkan pengaruhnya di
Eropa Timur, adik Mangu (Mongke), Hulagu berjaya menguasai timur dekat
(Asia Barat).72 Berbeda dengan saudaranya yang lain, Hulagu merupakan
pemeluk Budha yang taat, lahir dari ibu yang beragama Nasrani dan beristrikan
pula seorang Nasrani. Pasukan Hulagu terdiri atas orang Turki Asia Tengah yang
kebanyakan beragama Nasrani (sekte Nestorian). Setelah persiapan dirasa cukup,
Hulagu dan pasukannya memilih menundukkan Persia sebagai ajang unjuk
kekuatannya. Keadaan Persia yang penuh dengan teror kaum Hasyasyin, dirasa
tepat oleh karena keadaan negerinya yang memang tidak stabil sehingga
dipandang lebih mudah ditaklukkan. Ketika itu, gerombolan Hasyasyin sudah
mengetahui akan datangnya pasukan Tatar pimpinan Hulagu. Baik Hasyasyin
maupun para penguasa Seljuk di Bagdad memiliki kesatuan visi mencegah
terjadinya persatuan Mongol di seluruh Asia.
Hasyasyin atau Assassins sendiri, merupakan gerakan radikal yang ditakuti,
yang pengikutnya berasal dari sempalan sekte Syiah Ismailiyah dan selama
berabad-abad melakukan teror atas para penguasa Muslim.73 Mereka bersemayam
di benteng-benteng di kawasan Alamut di pegunungan bagian selatan Kaukasia.74
Nama Alamut sendiri memiliki makna “sarang elang”, oleh karena merujuk pada
letak geografisnya yang berada di ketinggian. Dengan susah payah, Hulagu
beserta pasukannya berhasil mengalahkan kelompok ini.75 Pasca masuknya orangorang Mongol ke Persia, terjadi gelombang konversi (perpindahan) agama yang
72
Carl Brockelmann, History of Islamic, hlm. 249.
Marsha E. Ackermann dkk, ed, Encyclopedia of World History; The Expanding World
600 c.e. to 1450, vol. II (New York: Facts On File, 2008) hlm. 183.
74
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 18.
75
Stephen Turnbull, Gengghis Khan, hlm. 57.
73
42
unik di kalangan khan Mongol yang berkedudukan di wilayah ini. Pelan namun
pasti, mereka mulai beralih agama ke Islam. Keadaan ini membawa serta pada
perubahan sifat maupun perangai dari sebelumnya berwatak kasar, kejam, dan
beringas menjadi pribadi yang lebih mengedepankan perasaan lagi berkelakukan
halus.
Hulagu Khan yang mengetahui peristiwa tersebut ternyata amat tidak
senang dengan banyaknya orang-orang Mongol ke Islam. Setelah diselidiki,
ternyata bukan hanya para pemuka Mongol Persia saja yang masuk Islam,
melainkan mereka yang berkedudukan di wilayah Turkistan dan Asia Selatan
telah banyak pula yang menjadi Muslim. Segera pasukan Hulagu Khan dipacu ke
arah Turkistan untuk menaklukkan saudara-saudaranya, terhitung masih putra
pamannya sendiri, yang menjadi Muslim tersebut. Perlahan namun pasti, perang
saudara yang sepertinya bermotifkan perbedaan keyakinan itu mulai terjadi.
Kendati Hulagu Khan merupakan pengikut Budha yang taat dan akan menyerang
saudaranya yang Muslim, ternyata, latar belakang serangannya bukanlah sematamata karena kepentingan agama.
Beberapa dekade sebelum upaya penaklukkan Hulagu ke Persia, daerah
tersebut telah terlebih dahulu dikuasai bangsa Mongol, yakni dari wangsa
Chagatay yang mewarisi daerah yang dalam sejarah dikenal dengan nama Mogol
atau Moghulistan. Sepeninggal Chagatay, daerah ini jatuh dalam pertikaian
internal yang sengit, masing-masing pemimpin Mongol tidak ada yang mau
mengalah.
Persia
pun
akhirnya
terpacah-pecah
ke
dalam
beberapa
kekuasaan/kerajaan yang kecil-kecil dan saling terpisah-pisah. Masing-masing
43
dikepalai oleh pemuka Mongol setempat. Kerajaan-kerajaan ini ada yang masih
mengadopsi tradisi kepemimpinan Mongol, tetapi tidak sedikit pula yang
mengambil pengaruh dari corak tata pemerintahan Persia. Di antara mereka ada
yang menganut mazhab Sunni dan ada pula yang Syi’ah. Masing-masing dari
mereka
kerapkali
terlibat
bentrokan
bersenjata,
yang diakibatkan
dari
pertentangan antar golongan maupun kepentingan kesukuan dan sebagainya,
sehingga lambat laun membuat dominasi Mongol atas Persia menjadi rapuh.
Latar belakang demikianlah yang sepertinya menginspirasi Hulagu untuk
menaklukkan kembali Persia agar berada di bawah kesatuan Mongol yang kuat. Ia
khawatir hal serupa juga cepat atau lambat akan terjadi di wilayah Rusia Selatan
maupun Turkistan. Dalam pada itu, berbekal pasukan terlatih dan berpengalaman,
Hulagu Khan memimpin untuk mengembalikan kembali kebesaran Jengis Khan
yakni menyatukan wilayah-wilayah yang terpecah ke dalam bendera kekaisaran
Mongol Raya, seperti yang dilakukan leluhurnya itu di masa lalu.76
Penghacuran Hulagu yang paling dikenal dalam catatan sejarah adalah atas
ibukota umat Islam dunia kala itu, Bahgdad. Lewat serangkaian pengepungan
yang terstruktur kota ini berhasil ditaklukkan. Khalifah Dinasti Abbasiyah beserta
keluarganya mati dibunuh oleh bala tentara Hulagu Khan. Bangunan-bangunan
dimusnahkan. Korban yang jatuh di kalangan penduduk sipil antara 90.000
sampai 250.000.77
Bahgdad mengalami peristiwa terkelamnya kala itu. Umat Muslim pun jatuh
dalam kesengsaraan. Setelah puas menjarah dan membunuh warga Baghdad,
76
Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 429-430.
Marsha E. Ackermann dkk, ed, Encyclopedia of World History, hlm. 183.
77
44
pasukan Hulagu melanjutkan pengembaraannya ke barat. Sesampainya di Suriah,
oleh karena sudah mendengar keganasan yang ditorehkan pasukan Tatar
sebelumnya, beberapa pangeran/amir memilih menyerah dan berdamai.
Tantangan tangguh nyatanya telah menunggu di depan. Pasukan Dinasti Mamluk
yang berpengalaman dalam Perang Salib menunggu dengan tenang dan waspada.
Manuver pasukan Tatar yang dikenal cepat, luput dari sergapan patroli
pasukan Dinasti Mamluk. Namun begitu, lewat kegigihannya, pasukan Dinasti
Mamluk berhasil memepet rapat pergerakan bangsa Tatar. Merasa terjepit, Hulagu
melancarkan strategi klasik para leluhurnya, yakni menyatakan menyerah dan
membawa kembali pasukannya. Tanpa disangka, setelah menjauh dari patroli
mamluk, Hulagu membuat gerakan memutar dan mengarahkan kuda-kudanya
menyerbu Palestina. Pada 3 September 1260, rangkaian penaklukkan Hulagu
terhenti di Ain Jalut dekat Nablus. Pasukan Dinasti Mamluk mengadakan
serangkaian serangan yang membuyarkan pertahanan Tatar. Kali ini Hulagu
menelan kekalahan dan memutuskan menarik pasukan dari kawasan Suriah.78
M. A. Enan memberikan keterangan yang berbeda mengenai kontak
pasukan Tatar dengan Mesir yang kala itu dikuasai Dinasti Mamluk. Beberapa
waktu setelah Hulagu menaklukkan Baghdad, para petinggi Dinasti Mamluk
digelayuti rasa kekhawatiran dan kecemasan yang tidak terkira. Mesir sendiri
dalam perjalanan sejarahnya kerapkali dikoyak oleh penakluk-penakluk dari
belahan timur dunia. Sejarah mencatat hanya pasukan Dinasti Mamluklah yang
berhasil menghentikan laju Hulagu. Segera setelah berhadapan, pasukan Dinasti
78
Carl Brockelmann, History of the Islamic, hlm. 250-251.
45
Mamluk pun segera terlibat dalam pertempuran seru melawan pasukan Hulagu.
Lewat serangkaian gebrakan, pasukan Dinasti Mamluk berhasil memukul mundur
pasukan Tatar ini. Pasukan Tatar yang selamat memilih mengundurkan diri ke
timur. Inilah salah satu kekalahan besar yang di derita bangsa Mongol, yang
sebelumnya terkenal selalu berhasil mematahkan serangan pasukan-pasukan
negeri Islam lalu kemudian menjarahnya. Kairo pun terselamatkan. Sang sultan
tak henti-hentinya memanjatkan puji syukur.79
Setelah penaklukkan Baghdad, Hulagu Khan tidak lantas menikmati masamasa liburnya dengan tenang. Pikirannya disibukkan dengan rancanganrancangan untuk merawat serta menjaga keutuhan daerah-daerah yang
sebelumnya telah dikuasainya. Khurasan merupakan wilayah yang kemudian
menjadi benteng terkuat Tatar dan di kemudian hari banyak
ditinggali oleh
koloni-koloni Mongol dan Turki. Wilayah penting selanjutnya adalah Azerbaijan
yang di kemudian hari banyak pula didatangi oleh suku-suku Turki yang hidup
berdampingan dengan orang-orang Persia yang telah terlebih dahulu mendiami
kawasan ini sejak abad 9.
Orang-orang Persia ini dulunya berprofesi sebagai tentara bagi khalifah
Dinasti Abbasiyah. Banyak di antara pasukan Hulagu yang berasal dari suku
Turki dan wilayah ini tentu amat cocok untuk disinggahi pasukan Turkinya.
Selanjutnya, masih termasuk dalam wilayah Hulagu adalah padang rumput
Mughan yang terhampar di utara Tabriz. Kualitas rumput di sana tergolong baik,
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan kuda dan ternak lainnya. Kota Tabriz
79
Lebih lanjut lihat M.A. Enan, Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya:
Bina Ilmu, 1979) hlm. 184-191.
46
dan Maraghah dijadikan tempat tinggal sang khan yang lantas menjadi ibukota
Dinasti Ilkhan yang memiliki potensi bisnis dan perdagangan yang bagus.
Pengaruh Persia-Arab pun mulai merebak di seluruh masyarakat Ilkhan, yang
tentunya merupakan keniscayaan akibat pengaruh budaya maupun tradisi
setempat.80
Nama “Ilkhan” sendiri amat lekat dengan diri Hulagu Khan. Masa-masa
keemasan Hulagu Khan berbarengan dengan prestasi gemilang yang dicapai
saudaranya, Kubilai Khan di Cina. Segera setelah Kubilai telah berhasil meraih
posisinya sebagai Khan Agung, hubugannya dengan penguasa Mongol Persia itu
kian dekat. Kubilai merestui Hulagu menjadi “Ilkhan”, viceroy, atau wakil Khan
Agung di Persia yang tak lain merupakan bagian dari otoritas Khan di Cina. Di
wilayah kebudayaan, hubungan keduanya pun kian rekat dan membuahkan hasil
yang membanggakan.81
Kegemilangan yang dicapai Hulagu, nyatanya memiliki reputasi sebaliknya
bagi bangsa Persia. Secara keseluruhan, pemerintahan Mongol merupakan masamasa terpahit sekaligus traumatis bagi bangsa Persia. Justin Marozzi merujuk
pada uraian al-Qazwaini menyatakan bahwa, masa ribuan tahun kiranya tidak
cukup untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh pembantaian Jengis
Khan. Pun menurut Juwaini, salah seorang sejarawan terkenal yang hidup di kala
Persia di bawah pendudukan Mongol, mengatakan bahwa “setiap kota dan desa”
menjadi korban pembunuhan dan penjarahan yang dilakukan secara berulangulang sedemikian parah sehingga populasi penduduknya tidak pernah menyentuh
80
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 25.
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 22.
81
47
angka 10 persen dari populasi sebelumnya. Penduduk sipil kota-kota besar seperti
di Merv, Balkh, Nisyapur, Hamadan, Tus, Rayy, Qazwain, dan Herat secara
bergantian dibunuh. Seiring dengan tindakan ini, ladang-ladang pertanian
dimusnahkan saat petani-petani lari menyelamatkan diri dan meninggalkan
pertaniannya. Aliran irigasi hancur, dan gurun perlahan memakan daerah-daerah
yang semula subur. Proses kemunduran ini dipercepat dengan kedatangan bangsa
Mongol pengembara yang membawa serta ternak dan kemudian digembalakan di
lahan-lahan tersebut.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Kekuasaan Ilkhan membawa
serta pengaruh baru, yakni tersambungnya komunikasi antara Timur dan Barat.
Aliran kafilah-kafilah dagang yang hilir mudik di antara kedua daerah tersebut
ikut serta menyokong kemajuan ini. Pelbagai bentuk pertentangan religi yang
semula
menghantui
lingkungan
orang-orang
Persia,
perlahan
menurun
intensitasnya. Salah satu hal yang ikut serta mengikis pertikaian keagamaan
tersebut adalah adanya asimilasi yang dilakukan bangsa Mongol, yang dipandu
langsung oleh para penguasanya, ke dalam dunia Islam.
Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu pengaruh Arabisasi yang semula amat
identik dengan Islam perlahan memudar dan bahasa Persia menjadi bahasa
pengantar serta bahasa pengetahuan yang juga merupakan bahasa kebudayaan
tertinggi. Penguasa Mongol di Persia juga menjadi saksi kelahiran historiografi
(penulisan sejarah) resmi Persia. Adalah Rasyiddin, seorang ilmuwan yang
memelopori penulisan sejarah tanah dan bangsanya tersebut. Langkah mulianya
tersebut diikuti pula oleh dua perdana menteri (PM) Ilkhan, Juwaini dan Wassaf.
48
Di era tersebut, muncul pula varian baru dari dunia lukisan, yakni dengan
meningginya corak atau gaya melukis lanskap Cina yang mulai digunakan oleh
para pelukis-pelukis Persia. Perlahan kehancuran budaya dipugar dan menemukan
era keemasannya kembali.
Koneksi (hubungan) yang sedemikian erat antara Cina dan Persia atau SinoIran mendapat perhatian yang serius dari Thomas Allsen. Menurutnya, hubungan
ini merupakan dampak dari berkembangnya pertukaran antarbudaya (crosscultural exchange), yang amat dekat dengan peran para agen-agen Mongol.82
Senada dengan penjelasan Allsen, Nicola di Cosmo menegaskan beberapa
hal yang melatarbelakangi hubungan harmonis keduanya adalah akibat adanya
distribusi manusia, barang, maupun pemikiran dari Asia Barat ke wilayah yang
lebih luas. Kegiatan-kegiatan tersebut banyak pula diinisiasi dan dilakukan oleh
bangsa Mongol. Jadi yang dinamakan relasi “Cross-Cultural” merujuk pada
upaya filterisasi (penyaringan) dan adaptasi yang diberlakukan oleh para
pemimpin Mongol. Mereka mengawasi fenomena ini beriringan dengan semakin
membesarnya jumlah perpindahan manusia di seluruh Eurasia.83
Walaupun Persia sedikit demi sedikit berdiri menyandang kebesarannya, hal
tersebut agaknya diluar persepsi David Morgan. Lewat penelitian terbarunya
berjudul Medieval Persia: 1040-1797 (1992), ia menyangsikan kontribusi Mongol
dalam pembangunan kembali Persia. Menurutnya: “Kita pastinya memiliki
keraguan tentang sikap masyarakat Persia, waktu mereka berusaha keras berkelit
82
Thomas T. Allsen, Culture and Conquest, hlm. 189-211.
Nicola di Cosmo, “Mongols and Merchants on The Black Sea Frontier in the Thirteenth
and
Fourteenth
Centuries:
Convergences
and
Conflicts”
dalam
http://www.storia.unipd.it/PROFILI/MATERIALE/MATERIALIDIDATTICI/1235484113174559
878946449.pdf. diakses pada pukul 13.24 hari Kamis 15 Agustus 2013.
83
49
dari para petugas pajak Mongol, dalam memandang perkembangan keahlian
melukis. Bagi bangsa Persia, era pendudukan Mongol merupakan masa
malapetaka yang sangat besar dan tidak tertandingi.”84
Ilkhan merupkan suatu kekhanan yang memberikan keistimewaan kepada
umat Kristen Nestorian. Mereka yang banyak ditemui di ibukota kerajaan berasal
dari Mesopotamia Utara. Sejak gelombang kedatangannya ke kawasan Asia
Tengah mereka termasuk dalam golongan istimewa dibanding penduduk kerajaan
lainnya. Istri Hulagu, Doquz Khatun merupakan pemeluk Kristen. Di beberapa
wilayah, gereja-gereja maupun kapel-kepel banyak dibangun. Bukan hanya
Kristen Nestorian saja yang menyandang status istimewa, mereka yang berasal
dari sekte lain, seperti Jacobin Suriah dan Monofisit Armenia serta Ortodoks
Georgia juga menikmati fasilitas serupa.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Hulagu sendiri merupakan seorang
Budhis (penganut Budha). Kepercayaannya ini lebih dipengaruhi oleh Budha yang
berkembang di Mongol bukan yang berasal dari tradisi Cina. Orang Mongol
memiliki agamawan Budha sendiri yang dikenal dengan sebutan Bakhsyis.
Mereka banyak didatangkan untuk meramaikan istana. Semula, Hulagu
merupakan pemabuk berat, namun begitu memeluk Budha kebiasaannya tersebut
ditinggalkan. Pada tangga 8 Februari 1265, Hulagu berpulang dan beberapa waktu
kemudian istrinya menyusul suaminya.
Sepeninggal Hulagu, tahta Ilkhan diberikan kepada anaknya Abaqa (12651282) yang beragama Kristen. Tidak berselang lama, kapasitas khan baru ini
84
Justin Marozzi, Timur Leng, hlm. 134-135.
50
mulai diuji oleh serangkaian problem eksternal yang mengancam keutuhan
kerajaan. Di daerah Kaukasus, Mongol Golden Horde pimpinan Berke melakukan
beberapa aksi pencaplokan wilayah. Segera, Abaqa mengirim kekuatan
tempurnya. Benteng-benteng berbahan dasar kayu didirikan di sepanjang tepi
selatan sungai Kur. Pasukan yang berkubu ini berharap dapat meletupkan suatu
manuver yang akan menghentikan laju tentara Berke.
Di pihak lain, Berke ternyata berhasil menemukan akses lain, sehigga tidak
bertemu dengan pasukan Ilkhan, dan setelah menyeberangi sungai Kur, ia
melanjutkan perjalanannya ke barat. Laju pasukan mereka terhenti di suatu kota
Georgia kuno bernama Mtskheth. Di sana tentara Ilkhan bertempur dengan
pasukan Berke dengan sengitnya. Dalam pertempuran ini, kira-kira tahun 1267,
Berke berhasil dibunuh dan pasukannya berhasil dihancukan. Untuk sementara,
Abaqa dapat bernafas lega. Namun begitu, ini merupakan permulaan dari
rangkaian aksi teror yang nantinya banyak ditemukan di bagian utara dan tenggara
Dinasti Ilkhan.
Kondisi geografis Persia memiliki andil besar dalam perjalanan sejarah
negeri ini. Persia dikelilingi oleh rangkaian pegunungan yang besar. Di sebelah
barat laut terhampar pegunungan Kaukasus, sedangkan pegunungan Zagros
melintang di sebelah barat dan barat daya, serta dataran tinggi Pamir dan Hindu
Kush terletak di sebelah timurnya. Hanya di belahan timur laut, tepatnya di
wilayah Oxus-Jaxartes yang terbuka. Daerah tersebut, menginjak masa
pemerintahan Abaqa, mulai berada dalam ancaman musuh. Golden Horde
membentuk aliansi dengan penguasa Transoxania untuk melancarkan serangan
51
gabungan ke wilayah Ilkhan. Namun serangan itu nyatanya hanyalah kabar
burung dan tidak benar-benar terjadi. Lagi-lagi Abaqa masih bisa bernafas lega.
Pertempuran benar-benar pecah, ketika penguasa Transoxania melancarkan
pukulan terjadap Khurasan pada tahun 1268. Setelah membentuk satuan
tempurnya, Abaqa melancarkan serangan balasan dan berhasil memukul mundur
musuhnya. Dari arah timurlaut ancaman lain mengintip dari balik horizon.
Menurut Spuler, salah satu perhatian utama dari para penguasa Persia sejak
masa lalu adalah mengamankan kontrol tidak hanya Mesopotamia, melainkan
juga Suriah dan akses menuju Mediterrania. Untuk menyetir Suriah, adalah
memiliki konsekuensi terlibat perang terbuka dengan Mesir, dan sebelumnya
harus melewati terlebih dahulu pesisir sungai Eufrat. Kekalahan Hulagu melawan
pasukan Dinasti Mamluk di Ain Jalut menjadi bukti tak terbantahkan betapa
ancaman yang terdapat di bagian timur amat berat dan tangguh.
Kala itu sultan Baybars, penguasa Dinasti Mamluk, dari markasnya di
Suriah, telah rajin mengadakan invasi ke beberapa wilayah Mesopotamia. Ia juga
sempat terlibat pertempuran dengan kerajaan Armenia Kecil di Cilicia yang
memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan pemimpin Mongol. Pada 1277,
pasukan Dinasti Mamluk melancarkan penguasaan atas kota Malatya dan berhasil
mengeksekusi walikotanya yang ternyata adalah orang Mongol. Di kota ini
gereja-gereja tak luput dari aksi pembakaran dan penghancuran. Para pengungsi
Kristen Ortodoks dan Armenia meminta bantuan kepada Abaqa, yang langsung
direspons dengan pengiriman pasukan untuk menghentikan serangan tentara
Dinasti Mamluk. Keuntungan masih berada di pihak Abaqa. Ketika pertempuran
52
pasukan Ilkhan masih berada pada tahap awal, Baybars diberitakan mangkat dan
pertempuran berangsur-angsur mereda. Beberapa waktu kemudian, kawasan ini
berada pada kondisi yang stabil kembali. Bagaimaapun, selain memang memiliki
persediaan pasukan yang memadai, faktor geografis juga turut menjaga keutuhan
Dinasti Ilkhan dari serangan musuh-musuhnya.85
Kedudukan Abaqa sebagai raja Dinasti Ilkhan digantikan oleh raja ketiga
yang bernama Ahmad Teguder (1282-1284). Baru pada periode ini, raja Dinasti
Ilkhan beragama Islam dan dengan serta merta membawa pengaruh Islam ke
lingkungan istana. Keputusannya masuk Islam, ditentang oleh pejabat istana dan
berujung pada penangkapannya. Dalam suatu kesempatan, ia dibunuh oleh
Arghun, anaknya sendiri. Arghun kemudian didaulat menjadi Raja Dinasti Ilkhan
selanjutnya. Ia menjabat sejak 1284 hinga 1291. Raja keempat ini dikenal amat
kejam terhadap umat Islam. Di antara mereka ada yang dibunuh atau diusir.
Kebebasan Muslim kembali terasa ketika Dinasti Ilkhan berada di bawah
kekuasaan suksesor pengganti Arghun, yang tak lain adalah keponakannya sendiri
yang bernama Mahmud Ghazna (1295-1304). Di bawah titahnya, Islam kembali
bersemi. Orang-orang Persia pun mendapatkan lagi kebebasannya. Mulai dari
Ghazna hingga seterusnya, Ilkhan dipimpin oleh raja-raja Muslim. Berbeda
dengan para pendahulunya, Ghazna dikenal sebagai sosok yang memperhatikan
tumbuh kembang peradaban. Ia juga dikenal amat mencintai dunia sastra dan ilmu
pengetahuan, tertutama mengenai ilmu arsitektur dan ilmu alam seperti astronomi,
kimia, minerologi, metalurgi, dan botani. Kesenian juga menjadi hiburannya yang
85
Bertold Spuler, The Muslim World, hlm. 26-27.
53
menyenangkannya. Ia membangun semacam biara untuk para darwis dan
menyeponsori pembangunan perguruan tinggi yang intens mengkaji mazhab
Syafi’i dan Hanafi. Pun dengan fasilitas pendukungnya, seperti perpustakaan dan
observatorium serta gedung-gedung umum lainnya juga mulai banyak didirikan.
Karya emasnya terhenti ketika ia berpulang dalam usia yang amat muda, yakni
sekitar 32 tahun.
Kedudukan Ghazna digantikan oleh adiknya, Muhammad Khudabanda
Oljaytu yang memerintah dari tahun 1304 hingga 1317. Berbeda dengan
kakaknya, Oljaytu merupakan pengikut Syiah yang ekstrem. Ia mendirikan kota
raja Sulthaniyah di dekat Zanjan. Oljaytu digantikan oleh Abu Said (1317-1335).
Pada masa itu, Dinasti Ilkhan dilanda bencana kelaparan yang parah dan diterjang
bencana angin topan dan hujan es yang mengundang malapetaka. Dinasti Ilkhan
lambat laun menemui masa-masa kehancurannya sepeninggal Abu Said. Keluarga
kerajaan terlibat dalam pertikaian yang berujung pada perang saudara. Setelah
terpecah-pecah kerajaan ini ditaklukkan oleh Timur Leng.86
86
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 115-117.
BAB IV
SERBUAN BANGSA MONGOL KE BAGHDAD
A. Masa Disintegrasi Abbasiyah
Berdirinya Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah.
Walaupun, jika ditilik dari keluarga maupun pusat kekuasaannya berbeda, namun
tetap bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari estafet kepemimpinan dalam dunia
Islam. Pendiri dan penguasa Dinasti Abbasiyah merupakan keturunan al-Abbas,
paman nabi Muhammad saw. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas. Masa berkuasanya dinasti ini
amatlah lama, yakni sejak tahun 750 hingga 1258. Selama dinasti ini berdiri, tata
kepemimpinan yang digunakannya berbeda-beda, tergantung dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, periode pertama (750-847 M) yang
dilalui dinasti ini merupakan periode keemasan, di mana segala bentuk harapan
akan berdirinya suatu kejayaan kepemimpinan Islam yang besar dapat
diwujudkan. Ditilik dari segi politis, para khalifah yang memimpin di era ini
merupakan sosok pemimpin yang kuat dan bukan hanya menempati jabatan
politik tertinggi melainkan juga dipandang sebagai pemuka agama sekaligus. Di
tataran masyarakat, kemakmuran dan kesejahteraan berada pada tingkat yang
memuaskan dan tergolong dalam peringkat tertinggi sepanjang daulah ini berdiri.
Di era ini, ilmu pengetahuan juga semakin berkembang dengan pesatnya.
Para ilmuwan telah berhasil merumuskan landasan bagi perkembangan filsafat
54
55
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, awan gelap segera menyelimuti
dinasti ini ketika periode pertama ini berakhir. Secara berangsur-angsur
kedaulatan politik dinasti ini kian menurun, walaupun ilmu pengetahuan terus
menunjukkan perkembangannya.
Satu hal yang menjadi ciri khas dari Dinasti Abbasiyah adalah bahwa
kekhilafahan ini dibangun oleh banyak bangsa. Bukan hanya Arab, Persia dan
Turki juga memiliki andil besar dalam membangun dinasti ini. Banyaknya bangsa
yang terlibat dalam pengembangan dinasti ini menyulut terjadinya perebutan
dominasi yang kerapkali berbalik merugikannya. Menjelang abad ke-13,
pertikaian antar golongan yang tak kunjung berhenti di istana membuat kontrol
atas wilayah-wilayah kekuasaan semakin jarang dilakukan.87 Wibawa khalifah
merosot tajam, seiring dengan berkuasanya bangsa Turki atas pemerintahan
dinasti ini. Di daerah-daerah mulai banyak bermunculan pemuka-pemuka
masyarakat berpengaruh, yang lantas memerdekakan diri dari kekuasaan
Baghdad. Mereka mulai mendirikan dinasti-dinasti kecil yang berdaulat dan
independen.
Terdapat kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas
dengan pengakuan simbolik serta pembayaran upeti yang rutin. Tidak ada upaya
khalifah untuk mengadakan inspeksi atau sekedar mengetahui informasi terakhir
dari para raja-raja kecil di bawahnya. Pun, sepertinya tidak ada perhatian yang
rutin sebagai bentuk pengikat antara pemerintah daerah dan pusat, sehingga para
pemimpin-pemimpin di daerah merasa menjalankan pemerintahannya sendiri dan
87
Carl Brockelmann, The History of Islamic, hlm. 148.
56
apa yang mereka perbuat luput dari perhatian khalifah. Badri Yatim memiliki dua
alasan mengapa khalifah terkesan abai terhadap negeri-negeri bawahannya.
Pertama, kemungkinan para khalifah tidak memiliki wibawa yang disegani dan
cukup kuat untuk membuat bawahannya tunduk kepadanya. Kedua, penguasa
Dinasti Abbasiyah pada era keemasannya lebih memperhatikan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang wilayah politik dan ekspansi.88
Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting berkaitan dengan gaya hidup
glamor yang ditunjukkan khalifah.89 Kendati hal ini bukanlah menjadi masalah
utama, namun cukup menjadi penyebab mengapa sendi-sendi penting di istana
menjadi longgar, sehingga dengan mudah dapat disusupi oleh beragam oknum
dalam hal ini para pemuka bangsa Arab, Persia, atau Turki yang membawa
agenda tertentu yang tentu saja demi kepentingan golongannya. Khalifah menjadi
percaya begitu saja dengan orang-orang terdekatnya sehingga dengan mudah
menyerahkan persoalan politik yang juga berarti masalah tulang punggung
kerajaan kepada kelompok yang memiliki maksud pribadi untuk memperkuat
posisinya di tataran istana.
Akibat dari fokus khalifah terkait upaya mengembangkan peradaban, ilmu,
serta kebudayaan membuat daerah-daerah merasa memiliki kekuatan politik untuk
tidak mengakui kekuasaan khalifah secara sebenar-benarnya. Bisa diibaratkan,
pengakuan hanya sampai pada tataran lisan bukan diresapi hingga sampai hati
serta pemikiran para raja-raja kecil itu dan menyatakan lepas dari pemerintah
pusat. Hal ini bisa terjadi serta diupayakan dalam dua cara, yakni; 1) seorang
88
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007) hlm.85.
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 85.
89
57
pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti Dinasti Umayyah II di Spanyol dan Idrisiyah di
Marokko; 2) seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah berpengaruh, seperti Diinasti Aghlabiyah di
Tunisia dan Dinasti Thahiriyah di Khurasan.90
Kecuali Dinasti Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, provinsiprovinsi itu awalnya menunjukkan kepatuhannya dengan membayar upeti selama
mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah sanggup meredam pergolakanpergolakan yang muncul. Namun, ketika wibawa khalifah kian terbenam, mereka
perlahan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menguasai
sedikit demi sedikit wilayah kekhalifahan, di antara mereka ada pula yang ingin
menguasai khalifah itu sendiri.
Beberapa dinasti yang memisahkan diri dari Abbasiyah adalah:
1. Yang berbangsa Persia:
a. Thahiriyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/869-901 M).
c. Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M)
d. Sajiyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M)
e. Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/932-1055 M)
2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1189 M)
90
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 64.
58
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1) Seljuk Besar atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib
Tuqhrul Bek bin Mikail bin Seljuk bin Tuqaq. Seljuk ini menguasai
Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522 H/1037-1127
M)
2) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M)
3) Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M)
5) Seljuk Rum atau Asia Kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).
3. Yang berbangsa Kurdi:
a. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
4. Yang berbangsa Arab:
a. Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M).
b. Aghlabiyah di Tunisia, (184-289 H/800-900 M).
c. Dulafiyah di Kudistan, (210-285 H/825-898 M).
d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929-1002 M).
f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g. Ukailiyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M).
h. Mirdasiyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
59
1. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah (Umayyah) di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.
Dari uraian di atas nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama
antara Arab, Persia, dan Turki untuk berlomba-lomba membangun dinasti yang
besar. Di samping dilatarbelakangi motif kebangsaan, kemunculan dinasti-dinasti
tersebut juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang memiliki corak Sunni
maupun Syiah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa banyak
provinsi di Dinasti Abbasiyah yang memerdekakan diri, antara lain:91
1. Luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah membuat komunikasi antara
daerah dengan pusat menjadi tersendat. Di samping itu, secara berangsurangsur tingkat kepercayaan di kalangan para pejabat maupun pegawai
pemerintahan menurun kian tajam.
2. Pembentukan tenaga militer profesional membuat ketergantungan khalifah
akan mereka amat tinggi.
3. Besarnya biaya persediaan militer utamanya gaji untuk tentara, membuat
persediaan harta kerajaan semakin berkurang. Di sisi lain, khalifah tidak
mempunya wibawa yang besar untuk memaksa daerah-daerah bawahannya
mengirim upeti dalam jumlah yang dikehendakinya.
Dalam beberapa kasus, pemerintah Baghdad, yang semakin sibuk dengan
intrik politik internal, tidak mampu untuk menerbitkan tokoh-tokoh lokal yang
berusaha keluar dari pengaruh Dinasti Abbasiyah. Bahkan, pemerintah pusat
91
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 65-67.
60
malah merelakan beberapa kerajaan lain untuk memerdekakan diri dari khalifah di
Baghdad. Salah satu contohnya terjadi pada tahun 800 M, di mana khalifah
Dinasti Abbasiyah bersedia melepaskan pengaruhnya di daerah-daerah Afrika
Utara. Khalifah membiarkan begitu saja para penguasa-penguasa lokal
mengangkat diri layaknya seorang raja dan mengadakan pemerintahan independen
asal
saja
tetap
membayar
upeti
ke
Baghdad.
Peristiwa
inilah
yang
melatarbelakangi berdirinya kerajaan lokal Dinasti Aghlabiyah.92
Di ibu kota sendiri, terdapat permasalahan lain yang jauh lebih besar, oleh
karena mengancam keberlangsungan eksistensi Dinasti Abbasiyah di era
selanjutnya. Kondisi kerajaan pada periode kedua dipenuhi oleh campur tangan
bangsa Turki. Terjadi perubahan yang signifikan ketika Dinasti Abbasiyah
memasuki periode ketiga (334-447 H/945-1055). Pada periode itu, dunia Islam
dihebohkan dengan kemunculan Dinasti Buwaihi yang berpusat di Syiraz. Dinasti
ini dipimpin oleh tiga bersaudara yang bernama Ali, Hasan, dan Ahmad. Dengan
cepat mereka mulai menguasai daerah-daerah penting di Persia seperti Rayy,
Isfahan, dan daerah-daerah Jabal.
Ali berhasil meneror khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah, guna
menyerahkan legalitas kekuasaannya. Iring-iringan pengikut mereka kemudian
melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith lalu diteruskan hingga ke
Baghdad. Setelah meredam beberapa intrik istana, Dinasti Buwaihi akhirnya
menguasai Baghdad, ibukota Dinasti Abbasiyah, dan khalifah pada akhirnya
hanya tinggal sebutan jabatan saja.
92
Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 105-106.
61
Dinasti Buwaihi pun nyatanya tidak berhasil menciptakan basis kekuatan
politik yang kuat. Para petinggi Dinasti Buwaihi terlibat dalam pertikaian
perebutan jabatan yang berlarut-larut sehingga tidak memikirkan lagi jalannya
roda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Melihat ibukotanya dikoyak-koyak oleh
api
pertikaian, membuat
khalifah mengambil
langkah sepihak
dengan
mengundang Dinasti Saljuk untuk masuk ke Baghdad dan membersihkan semua
unsur-unsur Dinasti Buwaihi. Pada tanggal 18 Desember 1055 M, pasukan
Dinasti Saljuk memasuki ibukota dipimpin oleh Tughrul Bek.
Dinasti Saljuk sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa kabilah kecil
rumpun suku Ghuz yang berdiam di wilayah Turkistan. Mereka semua
dipersatukan oleh Saljuk bin Tuqaq yang setelahnya namanya diabadikan sebagai
identitas mereka, yakni orang-orang Saljuk. Selama beberapa waktu mereka
malang melintang mengembara, menjadi pasukan bayaran di wilayah Asia Tengah
dan sekitarnya hingga masa kepemimpinan Tughrul Bek, bangsa ini
memproklamirkan kemerdekaannnya. Sebelum memasuki Baghdad, bangsa
Saljuk telah berhasil menguasai Merv (Marwa), Nisapur, yang sebelumnya
merupakan kekuasaan
Dinasti
Ghaznawiyah, Balkh,
Jurjan, Tabaristan,
Khawarizm, Rayy, dan Isfahan.
Posisi khalifah tidak kunjung membaik, karena hanya diberikan kekuasaan
dalam bidang agama. Sebelumnya, oleh karena Dinasti Buwaihi beraliran Syiah
dan khalifah Dinasti Abbasiyah beraliran Sunni, wibawa khalifah di bidang
keagamaan diberagus dan Syiah ditetapkan menjadi agama kerajaan. Namun
62
begitu Turki datang, legitimasi keagamaan Ahlussunnah dikembalikan ke
khalifah.93
Masuknya pengaruh Turki Saljuk membuat pertikaian antarbangsa, agama,
dan politik kembali memanas. Orang-orang Persia yang notabene bisa dikatakan
pribumi Baghdad tidak rela jika jabatan-jabatan strategis dengan semena-mena
diduduki orang-orang Dinasti Saljuk. Pun dengan orang Arab yang masih
berkerabat dengan khalifah juga tidak begitu saja sepakat dengan masuknya
pendatang baru tersebut. Di ranah agama, pertikaian yang terjadi tidak kalah
sengitnya. Munculnya kelompok-kelompok baru seperti Qaramithah, Ismailiyah,
Hasyasyin dan semacamnya semakin memperkeruh konflik keagamaan yang juga
dibalut konflik politik. Konteks persatuan keummatan, sebagaimana yang
didengungkan zaman nabi Muhammad saw dan empat khalifahnya tidak lagi
mampu menyatukan negeri-negeri Muslim.
Di samping itu, kondisi perekonimian Dinasti Abbasiyah pun menunjukkan
angka penurunan yang mengkhawatirkan. Pembebanan pajak dan pengaturan
wilayah-wilayah provinsi demi keuntungan kelas penguasa telah melumpuhkan
bidang pertanian dan industri. Ketika penguasa semakin kaya, rakyat justru
semakin miskin. Di daerah-daerah terdapat banyak catatan kriminal para penguasa
yang menipu rakyatnya. Konflik antarbangsa dan agama juga menyeret langkanya
jumlah manusia yang mengurusi lahan pertanian. Bencana alam berupa banjir di
dataran rendah Mesopotamia yang terkadang membawa malapetaka kelaparan
menjadi bukti betapa alam mengutuk perilaku para pejabat istana di Baghdad.
93
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 71-74.
63
Tidak jarang, wabah penyakit yang menjangkiti lingkungan masyarakat Dinasti
Abbasiyah seperti pes, cacar, dan malaria telah membawa kematian di beberapa
wilayah kerajaan. Menurut Phillip K. Hitti kurang lebih sebanyak 40 jenis
penyakit rajin menghampiri penduduk. Kemunduran di bidang ekonomi
membawa dampak buruk di bidang kesejahteraan yang berarti kekeringan pula di
bidang ilmu pengetahuan. Sulitnya mencari penghidupan ikut menyumbat para
ilmuwan dan pemikir untuk menghasilkan suatu sajian ilmu pengetahuan yang
baru.94
B. Serbuan Hulagu Khan ke Baghdad
Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor ikut pula menjadi penyebab
mengapa dominasi Dinasti Saljuk atas Baghdad kian melemah. Dari luar, rentetan
perang Salib dengan gabungan kerajaan Eropa sepanjang abad ke-13, cukup
menguras tenaga militer Dinasti Saljuk. Pemberontakan yang dilakukan oleh
golongan Ismailiyah dan teror maut yang rajin dilakukan oleh kelompok
Hasyasyin pun turut mengikis pemikiran para petinggi Dinasti Saljuk. Setelah
posisinya menguat, ternyata para pemimpin dinasti Saljuk memiliki ambisi
sendiri-sendiri sehingga fanatisme kabilahnya mulai tumbuh. Faktor internal
inilah yang menjadi penyebab utama melemahnya pengaruh penguasa Dinasti
Saljuk atas Baghdad. Ahmad Syalabi menyebutkan bahwa kala itu mulai tumbuh
wilayah-wilayah Amiriyah Atabikah.95 Ketika awal berdirinya keamiran Atabek
ini, tidak membahayakan kesatuan kerajaan. Namun, seiring berjalannya waktu,
mereka mulai memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Saljuk pusat di Baghdad.
94
Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 616-618.
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 344.
95
64
Dengan begitu maka lahirlah Atabek Damasqus, Atabek Mausil, Atabek Jazirah,
dan sebagainya. Ironisnya, beberapa dari mereka ada yang menyalahgunakan
legitimasi Dinasti Saljuk pusat untuk memperluas kekuasaan demi keuntungan
pribadi. Sebagian Utabak, menggunakan nama Sultan Seljuk untuk memperluas
kekuasaannya.
Sekitar awal abad ke-13, al-Nasir li-Dinillah khalifah Dinasti Abbasiyah
kala itu menjadi saksi atas berakhirnya kekuasaan Dinasti Saljuk atas Dinasti
Abbasiyah. Ia pun mulai menata kembali roda pemerintahannya guna
kelangsungan hidup dinasti ini. Khalifah-khalifah setelahnya al-Zahir, alMuntasir, dan al-Musta’shim melanjutkan perbaikan-pebaikan yang diinisiasi alNasir.96 Satu hal yang masih menjadi kebiasaan buruk khalifah Dinasti Abbasiyah
masih dilakukan oleh mereka yakni bergaya hidup mewah yang serta merta
menumpulkan kewibawaan mereka. Kebiasaan minum-minuman serta terhanyut
dalam suka cita bermusik, disebut Farag Fouda, menjadi penyakit kebanyakan
khalifah Abbasiyah setelah al-Mutawakkil hingga masa khalifah terakhir.97
Beberapa mil dari Baghdad, dunia Islam sedang digemparkan oleh
penaklukan yang dilakukan oleh para keturunan Jengis Khan. Satu yang paling
berbahaya adalah Hulagu Khan. Kebetulan, ia mendapatkan wilayah-wilayah
kerajaan Islam yang beberapa merupakan bekas bawahan Dinasti Abbasiyah.
Ketika al-Musta’shim bertahta, Hulagu telah menguasai hampir seluruh Persia.
Saat itu pertikaian antar suku dan aliran agama kembali mengemuka di Baghdad
dan al-Musta’shim kembali dipusingkan akan hal itu. Persaingan antara orang
96
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 343-345.
Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang, Terj. Novriantoni (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina dan Dian Rakyat, 2008) hlm. 170.
97
65
Turki yang Sunni dengan Persia yang Syiah belum menemui penyelesaian. Begitu
pula antara Muslim dan orang dzimmi (non-Muslim yang mendapat perlindungan
pemerintah) juga sedang mengalami perpecahan.98
Sebenarnya khalifah mengetahui akan keganasan Mongol yang mengoyak
negeri-negeri Islam. Namun entah kenapa, ia tidak memiliki tindakan taktis untuk
mengantisipasi serbuan Mongol, tetapi malah mengabaikannya begitu saja. Tanpa
banyak diketahui oleh para petinggi kerajaan, suatu hari pada tahun 1258, pasukan
berkuda Hulagu sudah bersiap dekat kota Baghdad. Hulagu segera mengirim surat
yang juga berarti perang urat syaraf kepada khalifah, berikut penggalan
kalimatnya:
... Ketika aku mengepung Rudbar, aku memintamu (khalifah) untuk
mengirimkan bantuan namun tidak satu orang pun darimu kujumpai.
Hari ini merupakan waktu yang tepat bagimu untuk belajar
bagimana jika kau kehilangan pedang dan tongkat kekuasaanmu...99
Penggalan surat itu dimaksudkan untuk melamahkan keberanian khalifah.
Di samping itu, Hulagu sekaligus ingin menebarkan kecemasan terhadap para
pejabat Abbasiyah.
Setelah ditunggu selama beberapa lama, khalifah tidak juga menunjukkan
reaksinya. Pengepungan segera dilakukan. Teror awal Mongol kali ini, bukan
berasal dari deretan busur mereka, melainkan dari hujan lontaran batu dan nafta
(sejenis bom molotov sederhana). Setelah pengepungan selama 40 hari, pihak
Baghdad mulai bergeming. Para bangsawan mulai keluar menemui Hulagu untuk
98
Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 617.
Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm. 7-13. Bab
Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh Azhar Abidi dalam The Annual of
Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533-534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/
pdf/18/47ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18.
99
66
bernegosiasi. Hulagu juga mengundang pejabat istana dan khalifah dan tidak lama
ketika mereka datang segera dibunuhnya. Setelah itu, pasukan berbondongbondong memasuki kota.
Baghdad yang dileburkan oleh pasukan Hulagu, adalah gambaran kota
metropolis, indah, dan pesonanya masih terjaga selama 500 tahun. Dari masa ke
masa, para khalifah Dinasti Abbasiyah telah mengoleksi pelbagai bentuk barang
antik nan mahal dari beragam peradaban.100
Sumber lain menceritakan bahwa ketika pada bulan September tahun 1257,
ketika masih berada di jalan raya Khurasan, Hulagu sempat mengirimkan
ultimatum kepada khalifah untuk memberi pasukan Tatar jalan masuk ke Baghdad
dengan meruntuhkan tembok luar kota. Menurut penuturan al-Baladhuri,
Khurasan pada masa khalifah al-Musta’shim Billah sudah dikenal sebagai daerah
operasi militer melawan Turki. Bukan hanya dilakukan oleh pasukan Dinasti
Abbasiyah, para penduduk Khurasan pun mulai berpartisipasi menghadapi para
pengembara Turki.101 Sudah seharusnya bekal militer penduduk Khurasan cukup
untuk menghadapi gempuran pasukan Hulagu. Namun, yang terjadi malah
sebaliknya, kekuatan Khurasan dapat dipatahkan dan berada di bawah kekuasaan
Tatar.
Setelah mengetahui ultimatum tersebut, khalifah sama sekali tidak
begeming dan enggan memberikan jawaban. Menginjak Januari 1258, tentara
Hulagu sudah sampai di Baghdad lantas langsung meruntuhkan tembok ibukota.
100
Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin, hlm. 533. Diunduh dari
http://www.urdustudies.com/ pdf/18/47ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13
September 2013, pukul 2.18.
101
Ibn Jabir al- Baladhuri, Kitab Futuh Al-Buldan jilid 2, hlm.205.
67
Tidak lama kemudian usaha mereka membuahkan hasil, salah satu menara
benteng berhasil dirobohkan.
Mengetahui hal tersebut, dengan tergopoh-gopoh wazir (perdana menteri)
Dinasti Abbasiyah kala itu Ibn Alqami ditemani seorang Katolik Nestorian
mendatangi Hulagu dan meminta tenggat waktu. Permintaan itu ditolak Hulagu.
Segala bentuk peringatan akan munculnya bahaya jika menghancurkan Baghdad
diacuhkan Hulagu. Pada 10 Februari, pasukan Tatar sudah memasuki kota.
Khalifah yang amat ketakutan beserta tiga ratus pejabat dan qadhi bersegera
menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Sepuluh hari kemudian, mereka
menemui ajalnya. Ibukota Dinasti Abbasiyah menghadapi masa terkelamnya.
Penjarahan dan pembakaran di mana-mana. Mayoritas penduduk, termasuk
keluarga khalifah dibantai. Bau busuk segera merebak keluar dari jasad-jasad
yang malang melintang di jalan tanpa sempat dikuburkan. Mengetahui kota
dipenuhi bau mayat, Hulagu menarik diri keluar kota selama beberapa hari. Tidak
semua bangunan dihancurkan pasukan Tatar, kemungkinan Hulagu akan
menggunakannya sebagai kediamannya kelak. Oleh karena Hulagu seorang
Kristen, ia menganugerahkan sejumlah sekolah dan masjid yang kosong atau
dibangun kembali kepada kepala keluarga pengikut Nestorian. Untuk kali pertama
dalam sejarah Islam, dunia Muslim terbengkalai tanpa khalifah yang namanya
wajib disebut ketika prosesi shalat Jumat.102
Adalah suatu karya berjudul
Tabakat-i-Nasri (dibuat pada 1260) karya Rasyiduddin, sejarawan Persia, yang
menceritakan detik-detik menjelang pengepungan Baghdad. Setelah mengadakan
102
Hitti, History of The Arabs, hlm. 619-620.
68
serangkaian penaklukan di wilayah barat Persia, pasukan Mongol pimpinan
Hulagu segera mengarahkan kendalinya ke Khurasan melewati daerah Hulwan
untuk selanjutnya menuju ke bagian timur Baghdad. Sebagai langkah awal, ia
menitahkan pasukannya melaju lebih dulu dengan perintah melewati sungai Tigris
melalui Tikrit, lalu menaklukkan Eufrat dan Anbar. Pasukan ini selanjutnya akan
sampai di bagian barat Baghdad melalui kanal Isa.
Sesampainya di Baghdad, Hulagu yang bergabung dengan pasukan timur
lantas mendirikan tenda di bagian timur Baghdad. Serangan utamanya dilancarkan
dengan menusuk Baghdad sebelah kiri yakni di lokasi Burj Ajami dan pintu
gerbang Halabah. Pasukan sayap kanan Mongol ditempatkan di bagian utara kota
tepatnya di pintu gerbang Sultan (Bab as-Sultan). Selanjutnya, pasukan sayap kiri
ditempatkan di sekitar pintu gerbang Kalwadha yang terletak di selatan bagian
timur Baghdad. Suatu detasemen diperintahkan menyisir tepi timur Tigris dan
berhasil melumpuhkan tentara khalifah di sana lalu mengambil alih posisi mereka.
Pasukan ini dibagi dua, yang satu ditempatkan dekat rumah sakit al-Adudi dan
yang satunya di dekat istana khalifah. Di tepi barat sungai, tidak ketinggalan,
disesaki pula oleh pasukan Mongol, tepatnya di sekitar Dulab-i-Bakal
(Mabkalah).
Setelah beberapa waktu memaksimalkan pengepungan luar kota, tiba-tiba
muncul kabar berpihaknya kaum Syiah kepada Mongol, yang tinggal di kawasan
Kazim Ain. Besar kemungkinan, kaum Syiah memberi kemudahan kepada
pasukan Mongol untuk memasuki kota. Kelompok Syiah sendiri merupakan
golongan yang dipinggirkan oleh khalifah, setelah Sunni dikembalikan menjadi
69
mazhab kerajaan. Di sisi lain kota, Setelah 5 hari pengepungan, tibalah waktunya
pintu gerbang Halabah dan wilayah timur Bahgdad dikuasai oleh Mongol. Segera
setelahnya khalifah dan keluarganya ditangkap dan ditahan di tenda Mongol.
Tentara Mongol segera membanjiri kota dan Hulagu segera menguasai tempat
tinggal khalifah yang bernama Maymuniyah (Rumah Kera) yang terletak di
Baghdad bagian timur. Demikian pula dengan belahan barat kota Baghdad, terjadi
pembantaian besar-besaran. Selama 40 hari Bahdad berada pada masa-masa
paling menyeramkan. Pembunuhan rakyat marak terjadi. Pasukan Mongol
menghancurkan masjid khalifah, tempat suci Imam Musa al-Kadzim, serta
pemakaman para khalifah di Rusafah. Kemudian, eksekusi atas al-Musta’ashim
dan anak-anaknya tiba. Khalifah menemui ajal sebagaimana rakyatnya yang lain.
Belakangan diketahui Hulagu membangun kembali masjid khalifah dan makam
Imam Musa al-Kadzim yang sebelumnya dihancurkan.103
Hancurnya Baghdad yang menandai tamatnya pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, sesungguhnya merupakan akhir dari problem sosial yang melanda
dinasti ini dan provinsi-provinsi di bawahnya. Jika melihat luasnya wilayah
dinasti ini dan besarnya sumber daya manusia dalam hal ini pasukan perang,
paling tidak dapat mengimbangi atau bahkan mengalahkan tentara Mongol yang
notabene masih menggunakan cara-cara tradisional dalam seni perangnya.
Jika para khalifah berhasil membangun tata kota yang sedemikian indah dan
maju di zamannya, maka sudah dapat dipastikan sistem keamanan kotanya pun
telah terbentuk sedemikian kuat. Hal tersebut, kendati belum banyak disebutkan
103
Guy Le Strange, Baghdad During The Abbasid Caliphate (Oxford, Clarendon Press,
1900) hlm.341-344.
70
dalam sumber-sumber lain yang telah dikutip, sepertinya tidak disorot terlalu
dalam. Dari beberapa sumber yang telah didapatkan, rata-rata hanya menyoroti
masalah pertikaian antar golongan yang menjadi penyebab utama lumpuhnya
sistem keamanan Baghdad. Demikian pula dengan kota-kota lain yang memiliki
khazanah peradaban yang tinggi seperti Khurasan, Samarkand, dan Damaskus,
sebenarnya telah memiliki pula sistem keamanan kota yang memadai.
Jika mengandaikan Dinasti Abbasiyah masih berada pada masa-masa
kejayaannya, tentu saja kejatuhan Baghdad tidak mungkin terjadi. Pergerakan
pasukan Mongol, mungkin saja dapat dihentikan sebelum memasuki Persia. AlBaladhuri menyebutkan bahwa Islam menjadi agama yang dominan di Khurasan
pada masa khalifah al-Ma’mun. Hal ini bukan serta merta terjadi begitu saja,
melainkan setelah terjadi beberapa upaya islamisasi, salah satunya ke daerah
Uhrusanah yang dipimpin oleh Kawis. Kawis yang mengalami kekalahan
melawan pasukan Dinasti Abbasiyah akhirnya menyatakan keislamannya dan oleh
khalifah al-Ma’mun, ia didudukkan kembali sebagai pemimpin Uhrusanah. Negeri
ini menjadi pusat penghasil tenaga militer bagi Dinasti Abbasiyah di era khalifah
al-Ma’mun. Di negeri ini terdapat wilayah yang bernama Transoxiana, yang
merupakan tempat berkumpulnya orang-orang pandai dalam seni perang yang
berasal dari Sogdania, Ferghana, Uhrusanah, ash-Shash dan negeri-negeri lainnya.
Bukan hanya itu, penduduk negeri ini juga dikenal memiliki ilmu bela diri yang
memadai sehingga berhasil menahan serbuan pasukan Turki pengembara.104 Jika
melihat tipikal bertarungnya, antara Turki dan Mongol tentu tidak terdapat banyak
104
Al-Baladhuri, Futuh al-Buldan, hlm. 204-205.
71
perbedaan dalam seni perangnya. Terlebih setelah sebelumnya disebutkan, banyak
di kalangan pasukan Mongol adalah orang-orang Turki. Jika saja pasukanpasukan Dinasti Abbasiyah bergabung dan bersatu dengan para pendekar asal
Khurasan ini untuk membendung pasukan Mongol di Khurasan tentu masih dapat
menghentikan laju tentara Hulagu Khan, atau paling tidak mempersulitnya,
sehingga negeri-negeri yang lain dapat mengungsikan penduduk kota, atau bahkan
memperkuat benteng serta sistem pertahanan dalam kota masing-masing.
Sayangnya, apa yang terjadi di masa khalifah al-Ma’mun dulu, tidak sama
dengan yang terjadi di masa al-Musta’shim pada tahun 1258. Khurasan yang
dikenal memiliki wilayah Transoxiana tempat berkumpulnya para pendekar, tidak
lagi terdengar eksistensinya. Besar kemungkinan daerah ini termasuk dalam
wilayah yang memisahkan diri dari Baghdad.
Kemenangan gilang-gemilang yang diraih para pengembara Mongol bukan
merupakan sesuatu yang terjadi tiba-tiba melainkan telah didahului perencanaan
yang matang. Mewujudkan suatu rencana tentu amat berkaitan dengan faktor
pembawaan manusianya. Tentu saja, hal ini bukan bermaksud menyangsikan
pasukan Dinasti Abbasiyah yang memiliki keterampilan perang tidak kalah
hebatnya dengan bangsa Mongol.
Saat mendudukkan tipologi pasukan Mongol dan pasukan Dinasti
Abbasiyah maka sama halnya dengan membicarakan status mereka sebagai
penduduk kota (menetap) dengan penduduk badui (nomaden). Ibn Khaldun
memiliki teori yang relevan untuk mengupas lebih dalam tipologi kedua macam
masyarakat ini.
72
Menurutnya, penduduk kota merupakan pribadi yang malas dan cenderung
akan hal-hal yang tidak merepotkan atau yang tidak memberatkannya.105
Kehidupan mereka dijalani dengan penuh kenikmatan serta kemewahan. Mereka
menggantungkan masalah keamanan harta dan diri mereka kepada pejabat terkait
atau langsung pada gubernur (al-wali) serta kepada raja yang memimpinnya.
Mereka banyak menerima jaminan dan perlindungan diri lewat kokohnya temboktembok yang mengelilingi serta benteng-benteng yang memagari mereka. Tidak
ada suara serta teriakan keras yang menganggu mereka, dan tidak ada binatang
liar yang tiba-tiba memangsa mereka. Kehidupan mereka terjamin keamanannya
dan tidak pernah memegang apalagi terlatih menggunakan senjata. Keadaan
damai dan santai demikian juga dialami keturunan serta generasi penerus mereka.
Mereka amat mirip dengan wanita dan anak-anak yang berada di bawah
pengawasan rumah tangga. Hal ini seiring berjalannya waktu menjadi tabiat
mereka.
Berbeda dengan penduduk kota, masyarakat badui hidup mengucilkan diri
dari masyarakat berperadaban tinggi. Mereka hidup liar di tempat-tempat yang
jauh dari keramaian kota dan masyarakat pada umumnya dan tidak pula mendapat
pengawasan dari tentara. Kediaman mereka tidak dikelilingi tembok (benteng)
dan tidak pula memiliki pintu gerbang, seperti kota. Oleh sebab itu, mereka
menjaga keamanan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini pula yang
melandasi mengapa kemanapun mereka pergi selalu membawa senjata. Mereka
dikenal memiliki kepekaan diri tinggi dalam mendeteksi adanya bahaya. Jika
105
Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 146.
73
malam tiba, mereka tidur lebih cepat, kecuali jika terdapat agenda berkumpul
dengan kelompok mereka, atau ketika mereka berada di atas pelana. Mereka awas
mendengar suara dan gerak burung. Kerapkali mereka hidup memencil di padang
pasir, disertai keteguhan jiwa dan kepercayaan kepada diri sendiri. Keteguhan
jiwa telah menjadi sifat mereka, dan tabiat mereka penuh dengan keberanian.
Mereka menyandarkan pada keteguhan jiwa dan keberanian itu apabila
mendengar panggilan atau harus lari oleh teriakan.106
Baghdad merupakan kota metropolis yang memiliki tingkat kesibukan
maupun rutinitas yang tinggi. Hal ini bisa ditelisik dengan posisinya sebagai salah
satu pusat perdagangan dunia.107 Manusia dari berbagai suku bangsa yang ada
disibukkan
dengan
aktivitas
mereka
masing-masing
dan
tentu
saja
menggantungkan keamanan pada institusi terkait seperti tentara. Wajib militer pun
sepertinya tidak diberlakukan di kota ini, mengingat posisi kota yang terjamin
keamanannya. Hal ini tentu saja membuat masyarakatnya lebih mementingkan
pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi tanpa harus bersusah-susah dalam
suatu latihan militer.
Hal ini belum ditambah kekacauan sosial seperti pertentangan antar
golongan yang tentunya menjadi bara dalam sekam di pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Berkurangnya perhatian pada sektor pertahanan kota tentu
berhubungan pula dengan turunnya soliditas pasukan penjaga. Apa yang
dikatakan oleh Ibn Khaldun tentang masyarakat badui “tidak terlelap di atas
pelana” besar kemungkinan ditujukan bagi bangsa Mongol atau Tatar. Hal ini
106
Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 146-147.
Muhammad Tohir, Sejarah Islam, hlm. 100.
107
74
mengingat kedua bangsa ini merupakan bangsa yang menghabiskan sebagian
hidupnya dapat diibaratkan di atas pelana kuda.
Penggambaran sifat masyarakat badui sedikit banyak amat mirip dengan
yang terdapat dalam karakteristik bangsa Mongol. Dengan jumlah yang besar
disertai keterampilan perang yang memadai, membantai ribuan warga Baghdad
bukanlah perkara yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Terlebih ketika
melihat gaya perang mereka yang mengandalkan pada kecepatan, yakni
menggunakan panah sekaligus berkuda.
C. Dampak serbuan Mongol terhadap Baghdad
Keberadaan
bangsa
Mongol
di
Baghdad
menyisakan
pilu
yang
berkepanjangan. Dunia Islam seperti menemukan masa akhirnya. Ibukota yang
merupakan simbol pencapaian terbaik dalam sejarah panjang umat Islam kini
terkoyak oleh serangan pasukan berkuda dari Asia Tengah. Kebakaran bukan
hanya melanda bangunan fisik semata, namun ikut pula menghanguskan harapan
serta
cita-cita
masyarakat
Baghdad.
Badai
serangan
bangsa
Mongol
menghempaskan kota ini hingga sampai pada titik nadirnya. Berbagai dampak
negatif mulai datang setelah beberapa waktu setelah jatuhnya kota ini.
Merujuk pada penejelasan Peter Burke, perubahan sosial dapat dimaknai
pula sebagai fase regresif (kemunduran) dari suatu kerajaan atau kepemerintahan.
Seringkali faktor internal, seperti penaklukkan, memicu lahirnya perubahan sosial.
Jatuhnya kekaisaran Romawi di tangan orang Barbar pada abad 3 M misalnya,
merupakan contoh yang relevan. Hampir sama seperti kasus Baghdad, saat itu,
sebelum didatangi pasukan Barbar, Romawi mengalami krisis yang tidak saja
75
terdapat di pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah. Serangan Barbar
menyebabkan jatuhnya pemerintahan pusat, berkurangnya peranan kota-kota dan
meningkatnya kecenderungan untuk memberdayakan ekonomi dan politik
lokal.108
1. Dampak Politik
Kejatuhan Baghdad merupakan momok menakutkan dalam sejarah Islam.
Kisah-kisah kelam yang menyertainya bagaikan deretan panjang catatan hitam
yang tidak terhitung. Langit-langit peradaban semakin pekat oleh ketakutan
manusia. Perbaikan fisik dan mental kiranya tidak bisa diupayakan dalam waktu
yang singkat. Kekeruhan bukan hanya membayangi kondisi masyarakat kota
Baghdad melainkan dunia Islam pada umumnya.
Kondisi perpolitikan pasca serangan bangsa Mongol dengan cepat berubah.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, munculnya bangsa Mongol sebagai
kekuatan baru benar-benar menjadi ancaman serius bagi negeri-negeri Islam
lainnya. Serangkaian penaklukan yang telah dimulai sejak masa Jengis Khan
hingga cucunya Hulagu Khan telah mengacaukan alunan ritme kepemimpinan
kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya, pada 1258, ketika Baghdad ditaklukkan,
kondisi perpolitikan Islam yang semula memang telah terpecah, menjadi kian
terpisah disertai dengan ketakutan yang sangat.
Namun begitu, di balik setiap kejatuhan tentunya akan timbul suatu
kebangkitan. Di tengah haru biru kengerian masyarakat Islam di belahan dunia
Arab dan sekitarnya, muncul fenomena politik yang tergolong baru, utamanya
108
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dkk, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011) hlm. 204 dan 207.
76
menyangkut siapa subyeknya. Kejatuhan Baghdad benar-benar menjadi bukti
bahwa bangsa Mongol memiliki DNA untuk menjadi penguasa peradaban Islam
serta pemimpin Muslim di dunia. Dikatakan demikian oleh karena terlepas dari
kekejaman yang ditimbulkannya, mereka telah berhasil menghempaskan
kekuatan-kekuatan bangsa
yang sejak lama dikenal
sebagai
pengawal
keberlangsungan peradaban Islam di kancah global.
Bangsa Arab menjadi bangsa pertama yang memimpin tumbuh kembang
Islam. Mulai kelahiran Islam hingga berakhirnya Dinasti Umayyah menjadi
momen sepak terjang bangsa Arab dalam perpolitikan Islam. Berganti pada
berdiri dan berkembangnya Dinasti Abbasiyah menjadi pembuktian bangsa Persia
dan Turki bahwa mereka juga memiliki potensi menjadi pemimpin atas seluruh
dataran Islam. Baik Arab maupun Persia telah mampu menyihir dunia berkat kerja
kerasnya membangun kemegahan Islam sehingga menjadi salah satu kekuatan
yang diperhitungkan dunia.109
2. Dampak Sosial
Kedatangan bangsa Mongol ke Baghdad merupakan petaka besar dalam
sejarah Islam. Pembantaian-pembantaian yang terjadi menjadi pemandangan yang
amat memilukan. Hampir di setiap jalan-jalan kota dipenuhi dengan mayat. Ibarat
gerombolan serigala lapar, bangsa Mongol berlarian mengejar penduduk kota
berbekal pedang dan senjata pembunuh lainnya. Jerit ketakutan mewarnai langit
kota, saling sahut menyahut sungguh memilukan. Mereka yang mati bukan hanya
karena terkena sayatan pedang atau hujaman panah, melainkan banyak pula yang
109
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 42-50.
77
mati dengan cara lainnya, seperti ditenggelamkan. Banyak dari penduduk ada
yang setelah ditangkap oleh pasukan Mongol kemudian digiring ke sungai Tigris
lalu ditenggelamkan. Jumlah korban yang dicatat dalam sejarah sampai pada
kisaran 800.000 orang. Laki-laki, wanita, dan anak-anak meregang nyawa di
jalanan maupun di rumah. Pembakaran terjadi di mana-mana, sehingga membuat
aktivitas kota lumpuh total. Begitu mengetahui kota ini telah porak poranda,
barulah pembunuhan dihentikan. Pasukan Hulagu bersiap untuk melanjutkan
ekspedisinya.110
Pembunuhan yang seakan tiada berujung itu ikut pula membawa dampak
buruk bagi segi perekonomian kota ini. Baghdad selain dikenal sebagai ibukota
umat Islam, sekaligus simbol peradaban Islam, juga diperkaya dengan sektor
industrinya. Kota ini memiliki 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000
kilang keramik. Selain itu, di kota ini juga berdiri industri barang-barang mewah
(lux). Kota ini juga dipenuhi dengan aneka ragam pasar seperti pasar besi, pasar
kayu jati, pasar keramik, pasar tekstil, dan sebagainya.
Selain itu, pemerintah kota Baghdad juga memberikan fasilitas-fasilitas
yang memanjakan kafilah-kafilah dagang. Di jalan-jalan yang biasa dilalui para
saudagar banyak dibangun sumur dan tempat istirahat. Pengamanan juga
diperkuat untuk melindungi armada dagang dari para bajak laut. Upaya ini amat
berguna dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Sungai Tigris
dan Eufrat pun tidak ketinggalan, semakin diramaikan kapal-kapal dagang asing.
Dengan begitu, bisa dikatakan, Baghdad merupakan salah satu pusat dari
110
J.J. Saunders, A History of Medieval Islam (t. tp: Taylor & Francis e-Library: 2002) hlm.
182-183.
78
perdagangan dunia.111 Serbuan bangsa Mongol membuat sektor pengiriman
barang dari dan ke Baghdad menjadi lumpuh. Dengan tidak adanya aktivitas ini,
dapat dipastikan kehidupan ekonomi masyarakat Baghdad telah hancur lebur.
Pasar-pasar juga bisa dipastikan sepi, mengingat banyak orang yang menjadi
korban. Langkanya sumber penghasilan ikut pula membawa masyarakat Dinasti
Abbasiyah yang masih tersisa mengalami masa-masa ekonomi sulit yang berarti
pula hilangnya kesejahteraan sosial.
Diakui oleh Philip D. Curtin, kejatuhan Baghdad membawa dampak yang
buruk bagi perkembangan kota ini kedepannya. Posisi Baghdad yang merupakan
jalur penting dalam peta perdagangan Cina-Mediterania kehilangan masa
keemasannya. Bahkan, dalam perdagangan di Samudera Hindia, Dinasti
Abbasiyah sebelumnya dikenal memiliki hubungan erat dalam aktivitas
perdagangan maritim dengan Cina. Pasca serbuan bangsa Mongol, daerah-daerah
di Irak dan Iran amat lambat dalam mengejar ketertinggalannya. Akibatnya posisi
Baghdad sebagai titik penting jalur dagang kemudian diambil alih oleh daerah
Muslim lainnya. Sebagai gantinya, dikenallah tiga pusat kekuatan dagang dunia
yakni Eropa-India-Cina. Kiblat perdagangan Muslim dunia dengan kata lain
digantikan salah satunya oleh India.112
3. Dampak Peradaban
Baghdad bukan hanya memiliki arti sebagai pusat pemerintahan Islam,
melainkan juga adalah salah satu wajah peradaban Islam tertinggi. Baghdad
merupakan Ctesiphon baru yang dikemas melalui peradaban Islam yang panjang.
111
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 241-242.
Philip D. Curtin, Cross-cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002) hlm. 91, 106-107 dan 121.
112
79
Ctesiphon merupakan ibukota Persia kuna yang amat terkenal sejak masa pra
Islam. Perpindahan kekuasaan kerajaan Persia ke tangan umat Islam tidak lantas
memudarkan pesona Persia yang dahulu kala menjadi penantang utama peradaban
Yunani kuna.
J. J. Saunders mengungkapkan bahwa Baghdad merupakan kiblat kehidupan
intelektual bangsa Arab. Kota ini tidak ubahnya rumah kuna kebudayaan (the
ancient home of culture) sejak peradaban Sumeria kuna. Kota ini juga merupakan
titik pertemuan kebudayaan Hellenis (Yunani) dengan Persia. Di kota ini hidup
berbagai penganut kepercayaan dengan rukun. Beberapa kepercayaan yang
tumbuh subur di Baghdad selain Islam antara lain Yahudi, Zoroaster, Nestorian,
Monofisit, Kristen Ortodoks Yunani, Gnostik, Manichean, penganut pagan Harran
dan sekte Mandaean.
Selain dikenal sebagai rumah besar lintas kepercayaan, Baghdad juga
dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Keberadaannya
ditopang oleh kota setelit Basra dan Kufah yang kala itu dikenal sebagai pusat
kajian filologi (studi naskah) Arab dan hukum Islam (fiqih). Adalah al-Ma’mun,
khalifah Dinasti Abbasiyah yang membangun dan mengembangkan pusat riset
besar Baitul Hikmah. Dalam komplek ini bukan hanya dapat ditemukan
observatorium, melainkan dilengkapi pula dengan perpustakaan dan universitas.
Manusia dari berbagai ras dan kepercayaan membanjiri Baghdad untuk
melanjutkan studinya. Hal ini semakin menandaskan Baghdad sebagai kotanya
para sarjana dan gelar ini terus disandangnya hingga kota ini luluh lantak oleh
80
serangan bangsa Mongol.113 Jatuhnya Baghdad merupakan pukulan telak bagi
perkembangan peradaban Islam. Serangan yang bertubi-tubi disertai pembunuhan
yang banyak dilakukan sudah barang tentu membuat aktivitas keilmuan lumpuh.
Mandegnya roda intelektual di kota ini sudah tentu menjadi gangguan serta
ancaman bagi keberlangsungan peradaban Islam. Banyak para sarjana dan gurugurunya menemui ajal di bawah pedang bangsa Mongol.
Banyak buku-buku yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam kala itu
dirusak. Sebagian yang lainnya dibuang di sungai Tigris. Pengetahuanpengetahuan yang dipelihara dari masa ke masa, melalui catatan serta buku-buku
yang tersimpan di Baitul Hikmah hilang selamanya. Benda-benda bersejarah dari
peradaban Mesopotamia, Persia, dan Arab dijarah dan menghilang dari tempat
penyimpanan. Apa yang dilakukan Mongol bukan hanya pembantaian, tetapi juga
upaya menghapus Baghdad dari peta peradaban umat manusia.114
Bangunan-bangunan yang merupakan simbol kemegahan peradaban Islam
pun tidak luput dari penghancuran. Baghdad yang menjadi pusat peradaban dunia
abad ke-13 sebelumnya banyak dipenuhi oleh bangunan-bangunan indah dan
megah. Di kota ini terdapat beberapa istana raja yang mengagumkan sekaligus
menjadi ikon kemajuan peradaban pada masanya. Khlifah al-Mansur membangun
istana di pusat kota bernama Qashr al-Zahab (istana emas) yang luasnya
mencapai 160.000 hasta. Sedangkan masjid jami’ yang dibangun di depannya
seluas 40.000 hasta persegi. Kota ini dikelilingi pagar bertembok kokoh yang kuat
113
J. J. Saunders, History of Medieval Islam, hlm. 191-192.
Azeem Beg Chugtai, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm. 7-13.
Bab Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh Azhar Abidi dalam The Annual
of Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533-534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/pdf/18/47
ABegChughtaiBaghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18.
114
81
lagi tinggi. Terdapat empat pintu masuk pada empat penjuru. Kota ini dilengkapi
pula dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan masjid dan tempat
rekreasi.115
Serangan ini tentu amat merugikan dan dianggap sebagai kemunduran masa
kejayaan Islam. Baghdad, di atas segala bentuk intrik politiknya, merupakan kota
indah yang senantiasa dibanggakan sebagai wadah peradaban umat manusia.
Penghancuran-penghancuran
atas
bangunan-bangunan
megah
Baghdad
mengakibatkan kerugian tersendiri bagi umat Islam di belahan dunia manapun.
Serbuan Mongol ke penjuru negeri Muslim membawa dampak yang besar
bagi perkembangan kelompok mereka sendiri. Datangnya bangsa Mongol ke
wilayah-wilayah belahan Barat dan Timur Asia, selain didorong oleh nafsu invasi,
juga dilatarbelakangi oleh semangat merubah nasib dan peruntungan.
Persentuhan budaya melalui perdagangan dengan saudagar Muslim dan
Cina yang kebetulan berniaga atau lewat di daerah kekuasaan Mongol, iikut
menggugah orang Mongol untuk mendapat status kemulyaan yang kemudian
dihormati bangsa lain. Perjumpaan dengan pedagang, iring-iringan perjalanan
kerajaan, maupun orang berstatus di luar kelompok mereka akan selalu
memancing pemikiran mereka untuk setidaknya mengikuti unsur luar yang
mereka anggap baik. Pola kehidupan padang rumput yang serba keras dan sulit
mendorong mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
115
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 330-331.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan bangsa Mongol dalam lembaran sejarah Islam menempati
posisi tersendiri. Kehadiran mereka kerapkali dianggap sebagai penghancur
peradaban Islam dan penghukum para raja-raja maupun khalifah yang menjelang
abad ke-13 tengah menikmati masa-masa kenikmatan di atas perpecahan politik di
bawah kuasa Dinasti Abbasiyah. Barisan tempur mereka yang bersisikan
penunggang berbusur menjadi momok menakutkan bagi setiap negeri-negeri
Islam yang dilewatinya.
Sebagaimana telah diutarakan, ketika pasukan bangsa Mongol, terhitung
sejak masa Jengis Khan, memasuki dunia Islam, keadaan umat Muslim telah
mengalami perpecahan. Masing-masing amir atau kepala daerah membebaskan
diri dari khalifah Baghdad, walaupun dalam praktiknya mereka masih mengakui
kekuasaan khalifah Dinasti Abbasiyah secara simbolik yakni dengan pengiriman
upeti bagi pemerintah pusat. Namun begitu, tidak ada upaya khalifah dan
jajarannya untuk mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Masing-masing
pihak
mengurusi
pemerintahanya
sendiri-sendiri
secara
independen.
Terputusnya
komunikasi
antara
Baghdad
dengan
daerah-daerah
bawahannya ditengarai karena adanya masalah kronis dalam tubuh internal
kepemerintahan Baghdad. Pertikaian yang terjadi antar golongan (Arab, Persia,
82
83
dan Turki) hampir selama perjalanan sejarah Dinasti Abbasiyah menjadi masalah
yang ikut serta memperkecil wibawa pemerintah di mata para pemuka daerah.
Belum lagi pertikaian lain yang dilatarbelakangi oleh visi keagamaan, seperi
Sunni dan Syia’h yang juga mulai memengaruhi jalannya pemerintahan.
Kompetisi yang membekukan dinamika kerajaan ini membawa efek buruk bagi
Dinasti Abbasiyah. Di luar kota, daerah-daerah telah melepaskan diri dan di
dalam kota pun masyarakat terbelah ke dalam beberapa faksi (kelompok) politik.
Kondisi perpolitikan yang tidak nyaman tersebut membawa dampak buruk
bagi masyarakat luas. Kesejahteraan sosial yang sebelumnya dirasakan, perlahan
mulai sulit dijumpai. Begitu pula dengan fungsi instansi-instansi lainnya,
berangsur-angsur mangkir dari tugasnya sehingga sistem keamanan kerajaan
menjadi longgar. Hal lain ditunjang dengan karakter masyarakat kota,
sebagaimana yang disampaikan Ibn Khaldun, menyerahkan sepenuhnya
keamanan kota kepada pemerintah. Di sisi lain pemerintah yang dipercayai untuk
menangani masalah itu malah sibuk dengan agenda pribadinya, yakni saling
berebut pengaruh di pusat.
Kondisi masyarakat yang abai terhadap sistem keamanan kota juga terlihat
di Baghdad. Sebagaimana diketahui, Baghdad bukan saja merupakan pusat
pemerintahan Islam melainkan juga pusat perdagangan dunia juga menjadi kiblat
intelektual termuka seantero dunia Islam. Bisa dibayangkan, bagaimana tingginya
tingkat kesibukan manusia di sana. Aktivitas niaga yang mereka lakukan dan
kegiatan belajar mengajar membutuhkan ketenangan tersendiri. Untuk itu, sistem
84
keamanan kota yang memadai seyogyanya dibutuhkan untuk menunjang beragam
aktivitas di kota metropolis ini. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Kondisi sosial masyarakat yang mengidap penyakit itu, diketahui oleh
bangsa Mongol, yang pasca mangkatnya Jengis Khan, masih rajin melakukan
ekspansi wilayah. Kemunculan mereka di panggung sejarah dilatarbelakangi oleh
motif penguasaan wilayah sekaligus penegakkan kedaulatan. Setelah berhasil
menundukkan sebagian besar Asia Tengah, mereka mulai meluaskan sayapnya ke
wilayah barat, tempat dunia Muslim berada. Adalah Hulagu Khan, cucu Jengis
Khan, yang melanjutkan ekspansinya hingga menghencurkan Baghdad, ibukota
dinasti Abbasiyah pada 1258 M.
Akibat yang ditimbulkan dari serangan ini amatlah besar. Paling tidak
dampak dari serangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga; dampak politik,
dampak sosial dan dampak peradaban. Di bidang politik, munculnya bangsa
Mongol sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan menemukan momentum
puncaknya ketika berhasil menaklukkan Baghdad, sebagai simbol dari kedudukan
tertinggi dari kepemimpinan Islam. Walaupun sebelumnya, langkah penaklukan
negeri-negeri Muslim telah dilakukan oleh Jengis Khan, apa yang telah dilakukan
Hulagu Khan terhadap Baghdad merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa
Mongol. Sebagaimana diketahui, politik Islam sejak masa awalnya memunculkan
Arab sebagai aktor intelektualnya, dilanjutkan oleh kompetitor lain, yakni bangsa
Persia dan Turki. Walaupun Hulagu bukanlah seorang Muslim, namun para
pemimpin besar Islam berikutnya banyak yang berdarah Mongol, Timur Lenk
misalnya.
85
Dampak besar lainnya terjadi di wilayah sosial. Banyaknya korban yang
jatuh di kota Baghdad menyebabkan hampir semua sektor kehidupan lumpuh
total. Salah satu bencana yang paling dirasakan umat Islam adalah kehancuran
sektor ekonomi. Baghdad merupakan salah satu pusat perdagangan dunia.
Kedudukannya dalam jalur dagang Cina ke Mediterrania amat penting dalam peta
perniagaan dunia. Bukan hanya di daratan namun juga di lautan. Hancurnya
Baghdad menandai masa akhir kebesaran perdagangan Dinasti Abbasiyah yang
dengan cepat diambil alih oleh kerajaan atau negeri Islam lainnya. Kemilau
Baghdad sebagai berkumpulnya para pedagang dunia agaknya menemui saat-saat
kritisnya.
Dampak besar lainnya adalah dampak peradaban. Sebagaimana dijelaskan,
Baghdad merupakan kota peradaban dunia, bukan hanya sejak masa Islam tetapi
sejak masa terdahulu, yakni Persia kuna. Di sanalah dua peradaban besar
Hellenisme dan Persia bertemu lantas dikembangkan bersama-sama dalam payung
Islam. Salah satu produk peradaban yang penting adalag ilmu pengetahuan. Baitul
Hikmah merupakan bukti keseriusan Dinasti Abbasiyah dalam merawat dan
mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan. Tempat ini menjadi magnet penarik
bagi para pelajar di seluruh belahan dunia untuk melanjutkan studi. Serangan
pasukan Hulagu Khan nyatanya tidak sebatas pada pembantaian manusia, namun
juga penghapusan peradaban, yakni dengan menghancurkan lembaga-lembaga
pendidikan, observatorium, dan laboratorium. Belum lagi upayanya membakar
dan meruntuhkan bangunan-bangunan simbol ketinggian peradaban seperti
86
masjid, istana, makam suci, dan taman kota mengakibatkan kemunduran besar
dalam peradaban Islam.
B. Saran-Saran
Studi yang telah dilakukan penulis merupakan satu dari kajian-kajian yang
telah terlebih dahulu mengupas sejarah bangsa Mongol. Tidak bisa dipungkiri,
kendati mereka bukan berasal dari daerah penghasil wacana kebesaran Islam,
seperti Arab dan Persia, bahkan identik dengan anggapan bangsa keras, bengis
dan kejam, mereka memiliki kontribusi dalam kemajuan peradaban Islam.
Berdirinya dinasti Ilkhan dan beberapa dinasti lain yang memiliki darah keturunan
Mongol merupakan bukti sejarah yang tak terbantahkan.
Telaah yang telah penulis ketengahkan ini, memang belum lengkap
menampilkan potret masa lalu Mongol secara lengkap dan dalam. Harapan
penulis, semoga di masa depan, tulisan ini dapat mengilhami atau mendorong para
sejarawan ataupun akademisi lintas disiplin ilmu untuk mengkaji bangsa Mongol
secara lebih dinamis dan kaya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
Al-Atsir, Ibn, al-Kamil fi at-Tarikh; Tarikh Ibn al-Atsir (Riyadh: Baitul Afkar adDauliyyah, tanpa tahun).
Al-Baladhuri , Ibn Jabir, Kitab Futuh Al-Buldan of al-Imam Abul ‘Abbas Ahmad
ibn-Jabir al-Baladhuri Part II transl. Francis Clark Murgotten (New York:
Columbia University, 1924).
Sumber Sekunder
Ackermann, Marsha E. dkk, ed, Encyclopedia of World History; The Expanding
World 600 c.e. to 1450, vol. II (New York: Facts On File, 2008).
Brockelmann, Carl L., History of The Islamic Peoples (London: Routledge &
Kegan Paul, 1949).
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dkk, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2011).
Curtin, Philip D. Cross-cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002).
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana
Ilmu, 1999).
Enan, M. A., Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya: Bina Ilmu,
1979).
Fouda, Farag, Kebenaran yang Hilang, Terj. Novriantoni (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina dan Dian Rakyat, 2008).
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press,
2006).
Hamka, Sejarah Umat Islam jilid III (Bukittinggi: N. V. Nusantara, 1961).
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa alIjtima’i Juz 4 (Kairo, Maktabah an-Nahdhlatul Misriyyah, 1968).
Hitti, Phillip K., History of Arabs (Jakarta: Serambi, 2008).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) .
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam jilid I (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1999).
Le Strange, Guy, Baghdad During The Abbasid Caliphate (Oxford, Clarendon
Press, 1900).
Man, John, Jenghis Khan Legenda Sang Penakluk dari Mongolia (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2009).
87
88
Man, John, Kubilai Khan; Legenda Sang Penguasa Terbesar Dalam Sejarah
(Tangerang; Alvabet, 2010).
Marozzi, Justin, Timur Leng; Panglima Islam Penakluk Dunia (Bandung: Mizan,
2013).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1 (Jakarta: UI
Press, 1985).
Saepudin, Didin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007).
Saunders, J. J., A History of Medieval Islam (t. tp: Taylor & Francis e-Library:
2002).
Spuler, Bertold, History of The Mongols (London: Routledge & Kegan Paul,
1972).
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam jilid 3 (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1993).
SY, Ignatius Erik, Peranan Mongol terhadap Keruntuhan Kepangeran Rus Kiev
tahun 1237 – 1240 (skripsi) (tidak diterbitkan, 2009).
Tim Penulis, Perang yang Mengubah Sejarah; buku pertama: dari pertempuran
Megiddo (1457 SM) hingga Blenheim (1704) (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2013).
Tohir, Muhammad, Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1981).
Turnbull, Stephen, Gengghis Khan and The Mongol Qonquest 1190-1400 (Great
Britain: Osprey Publishing, 2003).
Vernandsky, George, The Mongol and Russia (New Haven: Yale University
Press, 1953).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Razak, Yusron, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008)
On Line
Chugtai, Azeem Beg, Dastan, Drame, Mazamin (Lahore: Sang-e Mil, 1997) hlm.
7-13. Bab Zaval-e Baghdad (The Fall of Baghdad), diterjemahkan oleh
Azhar Abidi dalam The Annual of Urdu Studies,vol.18, 2003 hlm. 533534. Diunduh dari http://www.urdustudies.com/pdf/18/47AbegChughtai
Baghdad.pdf. pada hari Jumat, 13 September 2013, pukul 2.18.
di Cosmo, Nicola, “Mongols and Merchants on The Black Sea Frontier in the
Thirteenth and Fourteenth Centuries: Convergences and Conflicts” dalam
http://www.storia.unipd.it/PROFILI/MATERIALE/MATERIALIDIDAT
TICI/1235484113174559878946449.pdf. diakses pada pukul 13.24 hari
Kamis 15 Agustus 2013.
89
http://www.mongabay.com/history/mongolia/mongoliaorigins_of_the_mongols_e
arly_development,_ca_220_bc-ad_1206.html diunduh pada tanggal 15
Juli 2013 pukul 09.47.
Tagghudai, Gulugjab, “General Concept in Mongol persona”, hlm.2, dari http://
webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:AH3OObJL8M8J:silve
rhorde.viahistoria.com/GeneralConceptsInMongolPersona.pdf+&cd=1&h
l=en&ct=clnk, diunduh pada tangal 14 Juli 2013, pukul 14.08.
Sumber: mapcollection.wordpress.com
Gambar 1: Peta Kekuasaan Kekaisaran Mongol
Gambar 2: Para Keturunan Jenghis Khan
Sumber: http://forum.paradoxplaza.com/forum/showthread.php?290578-A-Year-sEducation-Russia-Megacampaign-pt.-I/page14
Gambar 3: Ilustrasi Pasukan Mongol
Sumber: http://www.worldaffairsboard.com
Gambar 4: Ilustrasi rumah Mongol (yurt)
Sumber: www.mongolianshop.com
Gambar 5: Kehidupan padang rumput
Sumber: www.mongoliatravelguide.mo
Gambar 6: Ilustrasi Serangan Mongol ke Baghdad
Sumber: en.wikipedia.org.
Download