BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Menopause
2.1.1 Pengertian Menopause
Menopause merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak arti, “men” dan
“pauseis” adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan
berhentinya haid. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan
menopause sebagai periode berhentinya haid secara alamiah yang biasanya terjadi
antara usia 45 sampai 50 tahun (Kasdu, 2004).
Menurut WHO, menopause adalah berhentinya menstruasi secara permanen
akibat tidak bekerjanya folikel ovarium. Sehingga untuk menentukan onset dilakukan
recara retrospektif, yaitu dimulai dari amenorea spontan sampai 12 bulan kemudian,
seiring dengan peningkatan follicle-stimulating hormone (FSH). Menopause
merupakan kegagalan ovarium dengan onset pada usia dewasa, ditandai dengan tidak
adanya estrogen, progesteron, dan androgen ovarium (Spencer dan Brown, 2007).
Glasier & Gebbie (2006) mendefinisikan menopause sebagai periode
menstruasi spontan yang terakhir pada seorang wanita dan merupakan diagnosa yang
ditegakkan secara retrospektif setelah amenorrhea selama 12 bulan. Menopause
terjadi pada usia rata-rata 51 tahun. Fase transisi fluktuasi fungsi ovarium yang terjadi
di sekitar waktu perdarahan menstruasi terakhir dari seorang wanita dikenal sebagai
10
Universitas Sumatera Utara
“perimenopause” atau “klimakterium”. Wanita secara universal menyebut fase
klimakterium sebagai “mengalami menopause”.
Menopause adalah periode kehidupan pada seorang wanita dengan terhentinya
menstruasi, sinonim dengan klimakterik (Chalpin, 1999).
Nugroho dan Setiawan (2010) mendefinisikan menopause sebagai proses
alami dari penuaan, yaitu ketika wanita tidak lagi mendapat haid selama 1 tahun.
Penyebab berhentinya haid karena ovarium tidak lagi memproduksi hormon estrogen
dan progesteron, dan rata-rata terjadi menopause pada usia 50 tahun.
Shimp & Smith (2000) mendefinisikan menopause sebagai akhir periode
menstruasi, tetapi seorang wanita tidak diperhitungkan post menopause sampai
wanita tersebut telah megalami amenorrhea. Menopause membuat berakhirnya fase
reproduksi pada kehidupan wanita.
Menopause adalah berhentinya siklus haid terutama karena ketidakmampuan
sistem neurohumoral untuk mempertahankan stimulasi periodiknya pada sistem
endokrin (Potter & Perry, 1997), Baziad (2003) menyebutkan menopause sebagai
perdarahan rahim terakhir yang masih diatur oleh hormon ovarium. Istilah menopause
digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang
wanita mengalami periode terakhir masa haid (Kasdu, 2004).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menopause adalah masa setahun
setelah berhentinya haid yang disebabkan oleh menurunnya produksi hormon
estrogen dan progesteron di ovarium sehingga masa reproduksi wanita menjadi
berakhir.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Tahap-Tahap dalam Menopause
Menurut Manuaba (1999), perubahan wanita menuju masa menopause antara
usia 48-65 tahun dengan melewati beberapa fase yaitu :
a. Fase pra-menopause (klimakterium), pada fase ini seorang wanita akan
mengalami kekacauan pola menstruasi, terjadi perubahan psikologis/kejiwaan,
terjadi perubahan fisik. Berlangsung selama 4-5 tahun. Terjadi pada usia
antara 48-55 tahun.
b. Fase menopause, terhentinya menstruasi. Perubahan pada keluhan psikologis
dan fisik makin menonjol. Berlangsung sekitar 3-4 tahun. Pada usia antara 5660 tahun.
c. Fase pasca-menopause (senium), terjadi pada usia 61-65 tahun. Wanita
beradaptasi terhadap perubahan psikologis dan fisik. Keluhan makin
berkurang.
Nugroho dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa tahapan menopause
bermula dari tahap reproduksi sampai berakhir pada awal senium, antara usia 40-65
tahun yaitu :
a.
Pra-menopause merupakan masa 4-5 tahun sebelum menopause, fungsi
reproduksi mulai menurun, timbul keluhan tanda-tanda menopause, seperti
perdarahan tidak teratur.
b.
Menopause, terjadi pada usia sekitar 50 tahun, perdarahan uterus terakhir
yang masih dikendalikan oleh ovarium, masa wanita mengalami akhir
Universitas Sumatera Utara
datangnya haid sampai berhenti, periode dengan keluhan memuncak,
rentangan 1-2 tahun sebelum dan 1 tahun sesudah menopause.
c.
Pasca-menopause,
masa
3-5
tahun
setelah
menopause,
munculnya
perubahan-perubahan patologi secara permanen disertai memburuknya
kondisi fisik pada usia lanjut (senium).
d.
Ooforopause, saat ovarium kehilangan fungsi hormonalnya sama sekali.
2.1.3 Fisiologis Menopause dan Perimenopause
Perubahan endokrin dan metabolik yang dihubungkan dengan menopause
tetap belum dipahami sepenuhnya. Telah diketahui bahwa beberapa tahun sebelum
menopause, ovarium mulai kehabisan persediaan oosit dan struktur di sekitarnya
yang menghasilkan sebagian besar estrogen yang ada selama masa reproduksi.
Penurunan fungsi folikel ovarium dan penurunan estrogen yang bersirkulasi juga
menyebabkan perubahan dalam produksi hormon seks dari hipotalamus, kelenjar
hipofisis, dan kelenjar adrenal (Scharbo-De Haan et al., 1991 dalam Reeder, dkk,
2011). Misalnya, penurunan produksi estradiol dan progesteron memungkinkan
pelepasan sejumlah besar gonadotropin dari hipofisis, yang menghasilkan
peningkatan kadar FSH dan LH yang bersirkulasi. Hipotalamus menyekresi GnRH
dalam jumlah besar ke sirkulasi portal dengan cara berdenyut, yang diyakini
bertanggung jawab menyebabkan hot flushes yang sering kali menyertai menopause
(Wren,
1992
dalam
Reeder,
dkk,
2011).
Dengan
penurunan
estrogen,
neurotransmitter menurunkan aktivitas endorphin dan serotonin (Rinehart et al., 1985
Universitas Sumatera Utara
dalam Reeder, dkk, 2011). Fluktuasi kadar hormon tersebut berkontribusi pada
perubahan emosi.
Dampak fisiologis perimenopause dapat menyebabkan wanita mengalami
berbagai gejala. Perubahan mukosa vagina bervariasi di antara wanita perimenopause.
Bahkan, perubahan minimal dapat menyebabkan rasa nyeri saat berhubungan seksual
(dispareunia). Penipisan lapisan vagina dan penurunan estrogen lubrikasi dapat
diatasi dengan pemberian estrogen secara oral atau lokal dengan supositoria vagina
atau krim. Dispareunia merupakan gejala umum yang tidak boleh diabaikan dalam
penatalaksanaan wanita pasca-menopause.
Tiap wanita bereaksi berbeda terhadap perubahan fungsi endokrin pada masa
menopause. Reaksi tersebut tidak dapat diduga dan dalam beberapa hal bergantung
pada riwayat emosional wanita, sistem pendukungnya dalam keluarga dan fakta
bahwa sistem reproduksi-endokrin di masa menopause dapat sangat labil selama
kurun waktu tersebut, yang dapat berlangsung selama 8 atau 9 tahun (Ravnikar, 1990,
Ferguson et, al., 1989 dalam Reeder, dkk, 2011).
Beberapa kesulitan selama masa perimenopause dapat dikurangi melalui
penyuluhan mengenai penuaan, menopause, dan masalah yang terkait (Cook, 1993
dalam Reeder, dkk, 2011). Sangat penting untuk memberikan konseling pada wanita
mengenai peningkatan risiko perubahan yang merugikan terkait dengan penurunan
estrogen (misalnya, osteoporosis, aterosklerosis, infark miokardium, stroke, dan
kanker) dan metode untuk meningkatkan kesehatan selama proses penuaan (Reeder,
dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Perubahan yang terjadi pada Menopause
Perubahan yang terjadi selama menopause adalah :
2.1.4.1
Perubahan Organ Reproduksi
Akibat berhentinya haid, berbagai organ reproduksi akan mengalami
perubahan.
1) Rahim
Rahim mengalami atropi, panjangnya menyusut dan dindingnya menipis.
Jaringan miometrium (otot rahim) menjadi sedikit dan lebih banyak
mengandung jaringan fibrotik (sifat serabut secara berlebihan). Leher rahim
(serviks) menyusut tidak menonjol ke dalam vagina, bahkan lama-lama akan
merata dengan dinding vagina (Kasdu, 2004).
2) Saluran telur
Lipatan-lipatan saluran menjadi lebih pendek, menipis, dan mengerut.
Rambut getar yang ada pada ujung saluran telur atau fimbria menghilang.
3) Indung telur
Setelah wanita melewati akhir usia 30-an, produksi indung telur
berangsur-angsur menurun. Dengan demikian, pelepasan sel telur tidak selalu
pada setiap siklus haid. Pada saat ini, jarak haid menjadi agak tidak teratur,
yaitu terjadi pada selang waktu yang lebih lama, pola cairan haid berubah
menjadi semakin sedikit atau semakin banyak. Sampai akhirnya, pelepasan sel
telur tidak lagi terjadi dan haid pun berhenti. Didapatkan sekitar 33% dari
seluruh konsultasi ginekologi berhubungan dengan perdarahan abnormal, dan
Universitas Sumatera Utara
meningkat menjadi 69% pada wanita menopause dan post-menopause.
Penelitian klinik pada wanita menopause menunjukkan bahwa lebih kurang
90% wanita selama menopause mengalami ketidakteraturan haid; hanya 1012% dari wanita premenopause yang mengalami amenore mandadak(Kasdu,
2004).
Haid terakhir merupakan titik puncak dari suatu proses perubahan dalam
kadar hormon dan fungsi indung telur yang bisa jadi membutuhkan waktu hingga
sepuluh tahun. Akan tetapi, estrogen yang jumlahnya lebih sedikit terus dihasilkan
oleh indung telur selama 10 hingga 20 tahun setelah menopause. Kelenjar-kelenjar
adrenalin dan sel-sel lemak juga dapat menghasilkan estrogen.
Dengan menurunnya produksi indung telur maka terjadi juga penurunan
hormon. Indung telur memproduksi tiga hormon yaitu estrogen, progesteron, dan
androgen. Kadar estrogen dan progesteron mulai menurun secara berangsur-angsur
atau secara tidak teratur. Berhentinya ovulasi (keluarnya sel telur dari indung telur),
progesteron tidak diproduksi lagi. Namun, pada wanita perimenopause dan
pascamenopause dengan indung telur utuh, untuk jangka waktu tertentu hormon
androgen terus diproduksi bersamaan dengan hormon estrogen (Reeder, dkk, 2011).
Akibat proses tersebut, terjadi perubahan pada organ reproduksi wanita
sebagai berikut :
a. Ukuran indung telur mengecil dan permukaannya akan menjadi keriput
sebagai akibat atropi dari medulla (sumsum). Tidak mengandung korpus
Universitas Sumatera Utara
luteum (badan kuning), dan tunika albugenia-nya (selaput pembungkus)
menebal
b. Terjadi sklerosis (penebalan) dini pada sistem pembuluh darah indung telur
sehingga diperkirakan sebagai penyebab utama gangguan vaskularisasi
(pembuluh darah) indung telur.
c. Sirkulasi menjadi anovulasi (tidak ada ovulasi), folikel primer (pertumbuhan
sel telur awal) tidak dapat matang secara baik di samping tingginya kadar
hormon gonadotropin. Akibatnya, secara metabolism dan proses pertumbuhan
zat pada indung telur menurun dan jaringan ikat makin meningkat. Oleh
karena itu indung telur menjadi atrofi
d. Produksi hormon estrogen turun sehingga tidak terjadi lagi perubahan
endometrium
e. FSH dan LH meningkat, tetapi plasma estradiol (bentuk dari estrogen) sangat
rendah (Kasdu, 2004).
4) Serviks (leher rahim)
Seperti halnya Rahim dan indung telur, serviks juga mengalami
pengerutan dan memendek.
5) Vagina
Vagina mengalami kontraktur (melemahnya otot jaringan), panjang dan
lebar vagina juga mengalami pengecilan. Forniks (dinding vagina bagian
belakang dekat mulut rahim) menjadi dangkal. Atropi vagina berangsurangsur menghilang. Selaput lendir alat kelamin akan menipis dan tidak lagi
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan elastisitasnya akibat fibrosis (pembentukan jaringan ikat
dalam alat atau bagian tubuh dalam jumlah yang melampaui keadaan biasa).
Perlu diketahui, perubahan ini sampai batas tertentu dipengaruhi oleh
keberlangsungan dalam aktivitas seksual. Artinya, makin lama kegiatan
tersebut dilakukan makin kurang laju pendangkalan atau pengecilan alat
kelamin bagian luar wanita (genitalia eksterna) (Mackenzie, 1992).
6) Vulva (mulut kemaluan)
Jaringannya menipis karena berkurang dan hilangnya jaringan lemak serta
jaringan elastik. Kulitnya menipis dan pembuluh darah berkurang sehingga
menyebabkan pengerutan lipatan vulva. Terjadi gangguan rasa gatal dan juga
hilangnya sekret kulit
serta mengerutnya lubang masuk kemaluan.
Berkurangnya serabut pembuluh darah dan serabut elastik. Semua keadaan ini
memengaruhi munculnya gangguan nyeri waktu sanggama (Yatim, 2001).
2.1.4.2
Perubahan Hormon
Sesuatu yang berlebihan atau kurang, tentu mengakibatkan timbulnya suatu
reaksi. Pada kondisi menopause reaksi yang nyata adalah perubahan hormon estrogen
yang menjadi berkurang. Meskipun perubahan terjadi juga pada hormon lainnya,
seperti progesteron, tetapi perubahan yang memengaruhi langsung kondisi fisik tubuh
maupun organ reproduksi, juga psikis adalah akibat perubahan hormon estrogen.
Menurunnya kadar hormon ini menyebabkan terjadi perubahan haid menjadi
sedikit, jarang, bahkan siklus haidnya mulai terganggu. Hal ini disebabkan tidak
Universitas Sumatera Utara
tumbuhnya selaput lendir rahim akibat rendahnya hormon estrogen (Spencer dan
Brown, 2007).
2.1.4.3
Perubahan Fisik
Akibat perubahan organ reproduksi maupun hormon tubuh pada saat
menopause memengaruhi berbagai keadaan fisik tubuh seorang wanita. Keadaan ini
berupa keluhan-keluhan ketidaknyamanan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
1) Hot flushes (perasaan panas)
Hot flushes adalah rasa panas yang luar biasa pada wajah dan tubuh bagian
atas (seperti leher dan dada). Dengan perabaan tangan akan terasa adanya
peningkatan suhu pada daerah tersebut.
Gejolak panas terjadi karena jaringan-jaringan yang sensitif atau yang
bergantung pada estrogen akan terpengaruh sewaktu kadar estrogen menurun.
Pancaran panas diperkirakan merupakan akibat dari pengaruh hormon pada
bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengatur temperatur tubuh.
Gejala ini sering timbul pada malam hari menyebabkan yang bersangkutan
sulit tidur. Pada keadaan cuaca dingin, gejolak panas terjadi lebih jarang dan
singkat dibandingkan jika cuaca panas. Makan makanan atau minuman panas
atau makanan pedas, alkohol, kafein, dan stres dapat menyebabkan terjadinya
hot flushes.
Intensitas, lamanya serta frekuensi dari gejala tersebut sangat bervariasi.
Kadang kala seorang wanita mengalami 40 kali hot flushes setiap hari,
beberapa yang lain mengalami 1-2 kali perhari dan merasa sangat susah dan
Universitas Sumatera Utara
terganggu. Lamanya hot flushes umumnya 1-5 menit dan hanya 6% yang
mengalami > 6 menit. Gejala ini lebih banyak dialami oleh wanita di Amerika
Utara, Eropa dan Australia sekitar 50-85% dan terjadi secara periodik selama
1-5 tahun. Hanya 10-20% wanita Indonesia dan 10-25% wanita China yang
mengalami hot flushes.
Gejolak panas timbul ketika wanita akan memasuki usia menopause atau
pada saat menopause dan akan menghilang sekitar 4-5 tahun pascamenopause (Kasdu, 2004; Mackenzie, 1992).
2) Keringat di malam hari
Berkeringat malam hari, bangun bersimbah peluh. Sehingga perlu
mengganti pakaian di malam hari. Berkeringat malam hari tidak saja
menggangu tidur melainkan juga teman atau pasangan tidur. Akibatnya di
antara keduanya merasa lelah dan lebih mudah tersinggung, karena tidak
dapat tidur nyenyak.
Cara bekerjanya secara persis tidak diketahui, tetapi pancaran panas pada
tubuh akibat pengaruh hormon yang mengatur thermostat tubuh pada suhu
yang lebih rendah. Akibatnya, suhu udara yang semula dirasakan nyaman,
mendadak menjadi terlalu panas dan tubuh mulai menjadi panas serta
mengeluarkan keringat untuk mendinginkan diri (Reitz, 1993).
3) Vagina kering
Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali mensekresikan
lendir. Penyebabnya adalah kekurangan estrogen yang menyebabkan liang
Universitas Sumatera Utara
vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan kurang elastis. Alat kelamin mulai
mengerut, liang sanggama kering sehingga menimbulkan nyeri pada saat
sanggama, keputihan, rasa sakit pada saat kencing. Keadaan ini membuat
hubungan seksual akan terasa sakit. Selain itu, akibat berkurangnya estrogen
menyebabkan keluhan gangguan pada epitel vagina, jaringan penunjang dan
elastisitas dinding vagina. Padahal, epitel vagina mengandung banyak reseptor
estrogen yang sangat membantu mengurangi rasa sakit dalam berhubungan
seksual (Sibagariang, dkk, 2010).
4) Tidak dapat menahan air seni
Ketika usia bertambah tua, air seni sering tidak dapat ditahan pada saat
bersin atau batuk. Hal ini akibat estrogen yang menurun sehingga salah satu
dampaknya adalah inkontinensia urin (tidak dapat mengendalikan fungsi
kandung kemih). Dinding serta lapisan otot polos uretra wanita juga
mengandung banyak reseptor estrogen. Kekurangan estrogen menyebabkan
terjadinya gangguan penutupan uretra dan perubahan pola aliran urin menjadi
abnormal sehingga mudah terjadi infeksi pada saluran kemih bagian bawah
(Kasdu, 2004).
5) Kulit
Rendahnya kadar estrogen dalam tubuh berpengaruh pada jaringan kolagen
yang berfungsi sebagai jaringan penunjang pada tubuh. Hilangnya kolagen
menyebabkan kulit kering dan keriput, rambut terbelah-belah, rontok, gigi
Universitas Sumatera Utara
mudah goyang dan gusi berdarah, sariawan, kuku rusak, serta timbulnya rasa
sakit dan ngilu pada persendian (Muchtadi, 2009).
6) Penambahan berat badan
Saat wanita mulai menginjak usia 40-an, biasanya tubuh mudah menjadi
gemuk, tetapi sebaliknya sangat sulit untuk menurunkan berat badan.
Berdasarkan penelitian ditemukan 29% wanita pada masa menopause
memperlihatkan kenaikan berat badan dan 20% diantaranya memperlihatkan
kenaikan yang mencolok. Hal ini diduga ada hubungannya dengan turunnya
estrogen dan gangguan pertukaran zat dasar metabolism lemak.
Kulitpun mejadi lebih kendur sehingga mudah menjadi tempat simpanan
lemak. Bahkan dengan bertambah usia, aktivitas tubuh juga berkurang. Hal ini
menyebabkan gerak tubuh berkurang sehingga lemak semakin banyak
tersimpan, apalagi tidak dibarengi dengan pengaturan makanan yang tepat
(Kasdu, 2004).
Memasuki menopause mengubah cara tubuh menyimpan lemak, sebelum
menopause wanita biasanya menyimpan kelebihan lemak di sekitar panggul
dan paha, yang menyebabkan bentuk tubuh wanita seperti ‘buah pear’. Setelah
menopause kelebihan lemak disimpan di sekitar pinggang dan perut yang
menyebabkan bentuk tubuh seperti ‘buah apel’ (Spencer dan Brown, 2007).
7) Gangguan mata
Kurang dan hilangnya estrogen memengaruhi produksi kelenjar air mata
sehingga mata terasa kering.
Universitas Sumatera Utara
8) Nyeri tulang dan sendi
Seiring meningkatnya usia maka beberapa organ tidak lagi mengadakan
remodeling, di antaranya tulang. Bahkan, mengalami proses penurunan karena
pengaruh dari perubahan organ lain. Selain itu, dengan bertambahnya usia
penyakit yang timbul semakin beragam. Hal ini tentu saja berkaitan dengan
kebugaran dan kesehatan tubuh seorang wanita (Jones, 1997).
9) Osteoporosis
Osteoporosis (pengeroposan tulang) adalah suatu penyakit metabolik yang
ditandai dengan menurunya massa tulang dan mikroarsitektur dari jaringan
tulang akibat berkurangnnya hormon estrogen (Spencer dan Brown, 2007).
Estrogen juga membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang, sehingga
wanita yang telah mengalami menopause mempunyai risiko lebih terkena
osteoporosis. Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal yang
dimulai sekitar 40 tahun, dan meningkat pada wanita postmenopause, yaitu
rata-rata kehilangan massa tulang 2% tiap tahun. Pada tahun-tahun awal
setelah menopause, kehilangan massa tulang berlangsung sangat cepat dan
risiko jangka panjang untuk terjadinya patah tulang meningkat (Kasdu, 2004).
Lebih dari 90% pasien osteoporosis adalah wanita postmenopause.
Diperkirakan antara 25% dan 44% wanita post menopause mengalami fraktur
karena osteoporosis, terlebih pada tulang belakang, sendi tulang paha dan
lengan bawah. Pada wanita kulit putih kira-kira 8 dari 1000 mengalami fraktur
osteoporosis, dan pada wanita kulit hitam 3 dari 1000. Walaupun wanita kulit
Universitas Sumatera Utara
putih dan wanita Asia mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadi fraktur
karena osteoporosis, wanita kulit hitam mempunyai angka kematian lebih
tinggi pada 6 bulan pertama setelah fraktur sendi tulang paha dibandingkan
wanita kulit putih yaitu 20% dan 11% (Shimp & Smith, 2000).
Penelitian yang dilakukan Pramono (1998) dalam Kasdu (2004)
menemukan bahwa pada lansia berusia 75-78 tahun sering ditemukan
osteoporosis, dan pada golongan ini wanita dua kali lebih banyak
dibandingkan pria. Secara kumulatif, selama hidupnya wanita akan
mengalami kehilangan 40%-50% massa tulangnya, sedangkan pria hanya
kehilangan sebanyak 20%-30%. Dengan demikian wanita lebih berisiko
menderita osteoporosis dan patah tulang.
10) Penyakit jantung koroner
Kelainan kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan
pada wanita menopause. Pada tahun 2000, 38% wanita di Amerika Serikat
berumur 45 tahun atau lebih, pada tahun 2015 proporsi ini akan meningkat
menjadi 45%. Satu dari sembilan wanita berumur 45-64 tahun menderita
berbagai macam penyakit kardiovaskular dan setelah 65 tahun rasionya
meningkat menjadi 1 banding 3. Kira-kira 40% penyakit koroner pada wanita
berakibat fatal dan 67% dari semua kematian mendadak yang terjadi pada
wanita tersebut tanpa riwayat penyakit jantung koroner. Mereka kehilangan
daya tahan terhadap penyakit jantung koroner akibat berkembangnya
menopause, dan meningkatnya insiden penyakit ini bukan karena perubahan
Universitas Sumatera Utara
gaya hidup atau faktor risiko tetapi karena perubahan lipoprotein yang terjadi
pada menopause.
Penurunan estrogen juga mengakibatkan penurunan hight density
lipoprotein (HDL) dan menigkatkan low density lipoprotein (LDL),
trigliserida, dan kolesterol total, yang dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner. Penelitian yang dilakukan oleh Gallup (1995) dalam Kasdu
(2004) ditemukan bahwa wanita berpeluang dua kali lebih besar terkena
penyakit jantung koroner daripada kanker payudara, dan terjadinya penyakit
jantung koroner pada wanita menopause menjadi dua kali lipat dibanding pria
pada usia yang sama.
2.1.4.4 Perubahan Psikologis Wanita Menopause
Pada wanita yang menghadapi periode menopause, munculnya simtomsimtom psikologis sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan pada aspek fisikfisiologis sebagai akibat dari berkurang dan berhentinya produksi hormon estrogen.
Selain fisik, perubahan psikologis juga sangat memengaruhi wanita dalam menjalani
masa menoapuse. Perubahan yang terjadi pada wanita menopause adalah perubahan
mood, irritabilitas, kecemasan, labilitas emosi, merasa tidak berdaya, gangguan daya
ingat, konsentrasi berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga
(Glasier & Gebbie, 2005; Ibrahim, 2002).
Stres kehidupan setengah baya dapat memperburuk menopause. Menghadapi
anak remaja, emptynest syndrome, perpisahan atau ketidakharmonisan perkawinan,
sakit atau kematian teman dan keluarga, kurangnya kepuasan pada pekerjaan,
Universitas Sumatera Utara
penambahan berat badan atau kegemukan adalah beberapa bentuk stres yang
mengakibatkan risiko masalah emosional yang serius (Bobak et al, 2005).
Emptynest syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi pada saat anak-anak
meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan masing-masing. Anggapan bahwa
tugas sebagai orang tua berakhir saat setelah anak-anak meninggalkan rumah sering
membuat orang tua menjadi stres terutama bagi para ibu yang merasa kehilangan arti
atau makna hidup bagi dirinya (Rini, 2004).
Perubahan psikologis pada masa menopause sangat tergantung pada
pandangan masing-masing wanita terhadap menopause, termasuk pengetahuan yang
cukup akan membantu wanita memahami dan menyesuaikan dirinya menjalani masa
masa menopause dengan lebih baik. Latar belakang masing-masing wanita sangat
berpengaruh terhadap kondisi wanita dalam mengalami masa menopause, misalnya
apakah wanita tersebut menikah atau tidak, apakah wanita tersebut mempunyai
suami, anak, cucu, atau kehidupan keluarga yang membahagiakannya, serta pekerjaan
yang mengisi aktivitas sehari-harinya (Kasdu, 2004).
Peran budaya
juga memengaruhi status emosi selama menopause.
Kebanyakan orang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia
tua dan menghubungkannya dengan hilangnya kecantikan. Budaya Barat menghargai
masa muda dan kecantikan fisik, sementara orang tua menderita akibat kehilangan
status, fungsi dan peran (Bobak et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Penyesuaian Diri
Istilah penyesuaian diri merupakan terjemahan dari kata “adjustment”
(Inggris). Konsep ini kerap digunakan dalam bidang Psikologi, terutama untuk
menekankan pada unsur individu serta bagaimana seorang individu mengatur
hidupnya. Penyesuaian diri memiliki pengertian yang luas, dimana konsep ini
berkaitan dengan semua reaksi seorang individu menghadapi tuntutan dari lingkungan
maupun dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, konsep ini dapat dipergunakan
selama respon yang ditampilkan seorang individu mengarah kepada usahanya untuk
mengurangi atau meredusir tututan-tuntutan yang masuk sebagai usaha penyesuaian
diri, yang dialami individu tersebut dalam menghadapi menopause.
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai : suatu proses
yang mencakup respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar
berhasil mengatasi dan meguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik, dan
frustrasi yang dialaminya. Tujuan dari usaha itu adalah untuk memperoleh
keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang
diharapkan oleh lingkungan di mana ia berada.
Definisi yang dikemukakan Schneiders, memperlihatkan bahwa apa yang
disebut sebagai penyesuaian diri pada dasarnya adalah semua upaya yang dilakukan
oleh seorang individu untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan bagi
dirinya dalam menghadapi menopause. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,
kondisi fisik dan psikologis yang dirasakan tidak menyenangkan, adalah sangat
tergantung dari bagaimana individu tersebut megevaluasi keadaan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
menyenangkan tersebut. Artinya, bagi seorang wanita menopause, arti dan makna
menopause tergantung dari bagaimana ia mengevaluasi atau menilai menopause
tersebut. Apabila menopause itu dinilai sebagai suatu situasi yang tidak
menyenangkan dan ia menjadi frustrasi karenanya, maka akan muncul reaksi
emosional tertentu sebagai kodisi yang mewarnai frustrasi (bisa sangat sedih, marah,
tidak berguna lagi, dan sebagainya). Sudah tentu, kondisi ini berusaha untuk
diatasinya, sebagai nilai dasar dari kemanusiaan yang dimiliki setiap individu untuk
mempertahankan hidupnya.
Setiap individu memberikan reaksi yang berbeda dalam menghadapi suatu
situasi dan hal ini tergantung pada proses pendekatannya. Seseorang mungkin akan
dapat bereaksi tanpa adanya beban, akan tetapi orang lain menganggapnya sebagai
situasi yang membebaninya (mengancam). Perbedaan tersebut
menyangkut
bagaimana seorang individu melakukan persepsi, penilaian (appraisal), dan evaluasi
terhadap situasi yang dihadapinya serta sumber daya apa (potensi) yang dimiliki
individu itu sendiri yang dipergunakan untuk solusi dari masalah yang dihadapi. Jadi,
frustrasi (pada akhirnya stres/terancam atau terbebani) atau tidaknya seorang wanita
menopause akibat menopause yang dialaminya adalah tergantung bagaimana ia
mempersepsikan, menilai, dan menevaluasi dari menopause yang dihadapinya.
Individu tidak akan bisa menghilangkan atau mengabaikan realitas. Individu
berreaksi pada apa yang dialaminya dan dipersepsikannya. Proses persepsi yang
dilakukan seorang individu tidak akan terlepas dari kebutuhan-kebutuhan (needs) dan
nilai-nilai (values) yang terdapat dalam dirinya, sebagai usaha individu menjaga dan
Universitas Sumatera Utara
memelihara keseimbangan dan keharmonisan di dalam dirinya. Persepsi terhadap
realitas inilah yang disebut sebagai realitas individu, yang artinya kenyataan yang
sebagaimana mestinya, yang diterima oleh individu tersebut setelah melalui proses
penyesuaian diri. Tegasnya, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pada diri seorang
individu memengaruhi proses persepsi (beserta atribusi) yang dilakukannya dan akan
melalui proses penyesuaian diri sebelum diterima sebagai suatu realitas individu.
Agar dapat dengan mudah dipahami, maksud uraian ini secara lebih sederhana dapat
dimodelkan dalam Gambar Bagan 2.1 berikut:
PERSEPSI DAN ATRIBUSI
REALITAS
INDIVIDU
NEEDS DAN VALUES
REALITAS
INDIVIDU
PENYESUAIAN DIRI
Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Needs dan Values dalam Persepsi, Atribusi, dan
Penyesuaian Diri
Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penyesuaian diri seorang individu terhadap
realitas individu selalu ditentukan oleh cara tertentu dalam ia mempersepsikan dan
mengatribusikan realitas. Cara individu mengamati, menilai, dan mengevaluasi
realitas (termasuk dirinya sendiri) ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilainilai dari individu tersebut. Dengan kata lain, untuk mengetahui hubungan antara
Universitas Sumatera Utara
dinamika psikis dan penyesuaian diri terhadap realitas individu, yang perlu diingat
adalah bahwa realitas sebagai sesuatu hal yang diusahakan seorang individu supaya ia
dapat menyesuaikan diri, akan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai
yang dianut oleh individu.
Proses persepsi dan atribusi yang dilakukan seorang individu dalam
menghadapi menopause, akan dilakukan individu melalui pembuatan sejumlah
asumsi dalam dirinya, yang meliputi asumsi tentang dirinya sendiri dan asumsi di luar
dirinya. Pembuatan asumsi ini dilakukan individu melalui konsep diri yang
dimilikinya, yang diperolehnya melalui proses belajar disepanjang hidupnya. Hal
senada dikemukakan oleh Coleman (1976), yang menyebutkan : pembuatan sejumlah
asumsi oleh individu dalam mempersepsi suatu situasi sebagai fungsi dari sistem diri
(self system). Berfungsinya “self system” pada diri seorang individu mencakup
terbetuknya asumsi-asumsi yang dibuat oleh individu itu sendiri. Asumsi-asumsi
inilah yang akhirnya membentuk kerangka rujukan (frame of reference) yang
merupakan suatu pandangan yang menetap pada diri seorang individu dalam ia
menghadapi menopause dan juga yang merupakan hal penting dalam mengarahkan
tingkah lakunya.
Beberapa aspek dari kerangka rujukan yang dimiliki oleh setiap individu,
memiliki pengertian yang mendalam pada:
1. Asumsi individu tentang realitas, kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai
yang dimilikinya, yang mengarahkan individu pada identitas dirinya. Hal
tersebut merupakan realisasi dari siapa dirinya dan juga ideal dirinya.
Universitas Sumatera Utara
2. Pola-pola asumsi individu mendukung pada konsistensi dalam berpikir,
mempersepsi, merasakan, dan bertindak, yang merupakan gaya hidupnya
(style of life).
3. Asumsi-asumsi individu, tidak hanya berperan sebagai pengarah tingkah laku,
tetapi juga merupakan pengendalian dari dalam diri.
Kerangka rujukan (frame or reference) yang dimiliki individu, dalam
beberapa hal, merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman baru
dengan
dunianya
melalui
kemampuan
menghadapi
menopause.
Sebagai
konsekuensinya, seorang individu cenderung mempertahankan asumsi-asumsi yang
sudah dimilikinya dan menolak informasi baru yang berlainan dengan nilai yang
terdapat dalam konsep dirinya atau sistem dirinya.
Perbedaan yang ada pada individu dalam penyesuaian diri, menyebabkan
konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya. Artinya, tidak dapat dibuat suatu
alternatif pilihan tentang cara-cara dalam menghadapi ancaman/beban tertentu yang
dialami oleh seorang individu secara pasti. Dengan perkataan lain, tidak ada suatu
formula tunggal sebagai usaha utuk mengatasi stress, ancaman, atau beban tertentu
yang dialami seorang individu. Hal ini dikemukakan pula oleh Schneiders (1964),
yang menyatakan penyesuaian diri bersifat relatif dikarenakan :
1) Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemampuan
seseorang untuk merubah atau untuk mengatasi tuntutan dari lingkungannya
yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah, sesuai dengan nilai
kepribadian dan tahap perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
2) Kualitas dari penyesuaian diri juga berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai
pada masyarakat dan kebudayaan (lingkungan) tempat dimana ia tinggal dan
dibesarkan.
3) Adanya perbedaan individual, yang merupakan variasi tertentu yang dimiliki
oleh masing-masing individu.
Meskipun terdapat perbedaan pola reaksi penyesuaian diri yang dilakukan
seorang individu, namun tidak dapat diabaikan pula adanya kenyataan bahwa terdapat
derajat atau tingkatan dari penyesuaian diri itu sendiri, yaitu sebagai yang berhasil
(well adjusted) dan yang tidak berhasil. Berdasarkan kenyataan ini, Schneiders (1964)
mengemukakan bahwa : seorang individu yang berhasil dalam penyesuaian dirinya
adalah individu yang dengan keterbatasannya, kemampuannya, serta bentuk
kepribadiannya, telah belajar untuk bereaksi terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya dengan cara yang matang, bermanfaat, efisiensi, dan memuaskan.
Selain itu, individu ini dapat atau mampu menyelesaikan konflik-konflik mental,
frustrasi, dan dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam diri maupun kesulitan
yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya, dengan tidak mengembangkan atau
menimbulkan tingkah laku yang menyimpang.
Schneiders (1964) juga mengemukakan beberapa kriteria yang penting dan
spesifik dari dasar hubungan yang terdapat di seluruh tahapan penyesuaian diri dalam
menghadapi menopause, yaitu :
1) Pengetahuan diri dan kesadaran diri (self knowledge and self insight). Hal ini
dibutuhkan untuk menghadapi tututan-tuntutan, menyelesaikan konflik,
Universitas Sumatera Utara
frustrasi, dan untuk menghadapi masalah-masalah atau situasi secara efektif.
Dalam penyusuaian diri yang berhasil, maka seorang individu harus tahu dan
sadar terlebih dahulu atas kemampuan-kemampuan dan keterbatasanketerbatasan dirinya. Jelasnya, pengetahuan dan kesadaran diri membutuhkan
investarisasi intelijen dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
individu. Dengan mengetahui apa kelemahan diri, maka individu dapat
mengurangi, menambah, atau meningkatkan pengaruhnya pada penyesuaian
dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Sebagian jalan keluar dari hal ini, harus
bermula dari keberanian dan ketetapan hati untuk menghadapi kenyataan.
Harus ada kesadaran untuk mengakui kelemahan, kegagalan, atau kesalahan
diri.
Tidak
malah
melakukan
rasionalisasi,
membodohkan
atau
mencemoohkan diri sendiri atau orang lain. Dalam kenyataannya, hal ini tidak
mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam penyesuaian diri yang baik selalu
membutuhkan adanya pengetahuan dan kesadaran akan diri sediri.
Adanya pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri, berarti juga sadar
terhadap adanya motivasi dan pandangan ke depan, yang akan mengarah pada
tindakan atau perilaku yang merupakan kebiasaan individu. Apabila
pengetahuan
dan
kesadaran
diri
terhambat
karena
suatu
motif,
peristiwa/tindakan tertentu, atas oleh sifat dari kepribadian, maka dengan
mudah individu dapat dibuat bingung dengan tuntutan, konflik, ataupun
problem yang dihadapinya. Sebagai akibatnya, individu akan mengalami
kegagalan dalam menghadapi menopause. Dalam hal ini, sering terjadi,
Universitas Sumatera Utara
individu membenarkan atau merasionalisasikan tindakannya (perilakunya),
yang pada dasarnya tidak adekuat; atau memproyeksikan kegagalannya
sendiri untuk lepas dari tanggung jawab, yang semuanya ini sebenarnya
merupakan bentuk mekanisme dari pertahanan diri.
Pengetahuan atau kesadaran diri, dalam hal ini bukan diartikan sebagai analisa
diri (self analysis). Hal ini dikarenakan, analisa ataupun intropeksi seseorang
terhadap dirinya sendiri seringkali sangat berlebihan. Oleh karena itu, batasan
untuk pengetahuan diri dan kesadaran diri adalah merupakan kemampuan
seorang individu untuk mengetahui motif perasaan dan tindakannya sendiri,
tanpa harus terlarut didalamnya. Artinya, apabila seseorang mengetahui halhal mana yang baik dan tidak baik dari tingkah lakunya ia akan bereaksi
secara tidak berlebihan.
2) Obyektifitas diri dan penerimaan diri (self objectivity and self acceptance).
Penggunaan yang sehat dari prinsip pengetahuan dan kesadaran diri, menurut
Schneiders akan mengarah kepada obyektifitas diri dan terutama penerimaan
diri dalam menghadapi menopause seorang individu. Keduanya merupakan
kualitas tambahan, dimana penyesuaian diri dapat dievaluasi. Perilaku atau
pernyataan diri yang adekuat adalah merupakan sikap yang obyektif terhadap
keterbatasan diri. Sebaliknya, sikap yang subyektif atau pernyataan subyektif
seringkali dimiliki oleh individu yang tergantung dan penyesuaian diri yang
tidak baik. Sebagai contoh apabila seorang individu mempunyai rasa rendah
diri yang kuat, ia dapat belajar untuk mengenal kualitas dirinya sendiri
Universitas Sumatera Utara
melalui penilaian diri secara obyektif. Dengan demikian, individu dapat
menghindari kesalahan yang dapat merusak nilai dirinya, yang didapatnya
dari hubungannya dengan orang lain. Dengan perkataan lain, individu dapat
mengukur sejauh mana akibat yang muncul dari perasaan rendah dirinya, yang
dalam hal ini merupakan proses untuk menjadi obyektif terhadap dirinya
sendiri.
Obyektifitas diri akan mengarah pada penerimaan diri, yang didasarkan pada
pengetahuan obyektif dan penghargaan diri sendiri secara positif. Ini tidak
berarti memanfaatkan kelemahan atau kekurangan yang dimiliki seseorang,
karena sikap seperti ini hanya akan menghambat usaha penyesuaian diri yang
baik.
3) Kontrol diri dan pengembangan diri (self control and self development).
Kontrol diri dalam penyesuaian diri dimaksudkan sebagai kemampuan
seorang individu untuk mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan,
pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap, dan tingkah laku dalam menghadapi
menopause. Kemampuan kontrol diri ini penting bagi penyesuaian diri yang
baik, karena kontrol diri adalah bagian dari kewajiban manusia terhadap
dirinya
sendiri
dan
masyarakatnya/lingkungannya.
Dalam
arti
lain,
penyesuaian terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosial,
membutuhkan keselarasan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku, dengan
patokan yang dapat diterima oleh masyarakat. Apabila individu tidak mampu
mengendalikan faktor-faktor yang ada dalam kepribadiannya, maka individu
Universitas Sumatera Utara
tidak akan berhasil mengatasi persoalan dan masalah yang dihadapinya. Ini
berarti, seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah tidak kaku
dalam mengontrol reaksi dirinya sendiri dan mampu berempati atau
beradaptasi dengan orang lain secara baik dalam mengahadapi menopause.
Individu seperti ini, megarahkan tingkah lakunya pada tujuan dan
keberhasilan. Di sisi lain, kontrol diri adalah dasar dari pengembangan diri.
Hal ini berarti bahwa langkah-langkah pengembangan kepribadian seorang
individu diarahkan pada tujuan yang matang (mature). Pengembangan diri
dalam hal ini hanya dapat dimengerti dalam tahapan realisasi diri ke arah
kematangan, di mana kontrol diri yang kontinyu sangat diperlukan.
Kesimpulan dari kriteria yang penting dan spesifik dalam penyesuaian diri
yang baik dalam menghadapi menopause, seperti yang telah dikemukakan adalah
merupakan dasar dari tindakan individu dalam melakukan penyesuaian diri, baik
dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain di lingkungannya yang
termanifestasikan dalam perilaku menghadapi menopause.
Schneiders (1964) menyatakan : penyesuaian diri berdasarkan klasifikasi atas
jenis respon yang ditampilkan mencakup 5 aspek, yaitu (1) penyesuaian diri yang
normal (normal adjustments); (2) penyesuaian diri dalam bentuk reaksi pertahanan
diri (adjustments by means of defence reaction); (3) penyesuaian diri dengan perilaku
menghindar (adjustments by escape and withdrawing); (4) penyesuaian diri dalam
bentuk sakit (adjustments by illness); dan (5) penyesuaian diri dalam bentuk agresi
(adjustments by aggression). Pedekatan atas jenis respon yang ditampilkan (patterns
Universitas Sumatera Utara
of adjustment) dalam membahas penyesuaian diri adalah untuk menjelaskan
bagaimana seorang individu bereaksi terhadap ancaman, konflik pribadi, frustrasi,
serta tuntutan-tuntutan dari lingkungan. Pendekatan ini akan menunjukkan pada jenis
respon yang ditampilkan oleh individu untuk menghadapi persoalan, kesulitan, dan
tuntutan (ancaman) apapun juga. Sedangkan pendekatan penyesuaian berdasarkan
masalah dan situasi yang dihadapi (varieties of adjustment), diartikan sebagai
penyesuaian diri yang dilakukan seseorang dalam usahanya mengatasi dan
menyelesaikan tuntutan dari dalam diri dan lingkungannya.
Penyesuaian diri dalam klasifikasi ini meliputi 6 aspek, yaitu (penyesuaian
diri terhadap pribadi/personal; (2) penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial; (3)
penyesuaian diri terhadap keluarga dan kerabat; (4) penyesuaian diri terhadap
pendidikan; (5) penyesuaian diri terhadap pekerjaan; dan (6) penyesuaian diri
terhadap perkawinan.
Kedua pendekatan dari penyesuaian diri ini merupakan landasan dasar dari
studi tentang penyesuaian diri manusia pada umumnya (human adjustments) yang
ditinjau dari sudut pandang situasi (situational context) dari respon-respon individu
dalam menghadapi menopause. Artinya, bagaimana respon seorang individu wanita
yang mengalami menopause terhadap dirinya sendiri, lingkungan sosialnya, keluarga
dan kerabatnya, pendidikannya, pekerjaannya, dan perkawiannya, melalui perilaku
dalam menghadapi menopause.
Kriteria yang spesifik dari penyesuaian diri yang telah dikemukakan adalah
merupakan dasar dari tindakan individu dalam melakukan penyesuaian diri, baik
Universitas Sumatera Utara
dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya. Sekalipun kriteria yang
spesifik dari penyesuaian diri ini dapat dianggap sebagai batasan dari kemampuan
penyesuaian diri yang baik, akan tetapi aktualisasinya akan lebih nyata bila dilihat
dari karakteristik penyesuaian diri yang normal.
Masing-masing lingkungan sosial dimana individu berada, memiliki tuntutan
atau kriteria tertentu yang berbeda dan harus dipenuhi agar individu dapat dikatakan
telah mampu menyesuaikan diri dengan baik. Misalnya untuk dapat menyesuaikan
diri dengan normal di lingkungan sosial keluarga, seorang individu harus mampu
menerima otoritas orangtuanya, dapat membina relasi yang baik antar anggota
keluarga, mampu mencapai kemandirian tanpa tergantung pada orangtuanya, mau
membantu keluarga dalam mencapai tujuan keluarga, dan sebagainya.
Karaktersitik penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964), terdiri
atas 7 karakteristik, yaitu :
1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (Absence of Excessive
Emotionality). Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan adanya
emosi yang relatif tidak berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi
yang merusak. Individu yang kurang tanggap atau bahkan terlalu menanggapi
situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal, akan selalu
disertai dengan ketenangan dan kontrol emosi yang baik. Dengan demikian
individu mampu mengatasi masalah bagaimanapun sulitnya. Ketiadaan emosi
di sini bukan dimaksudkan sebagai suatu keadaan yang abnormal, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
merupakan lebih sebagai pengontrolan emosi yang positif agar dapat
mengatasi tuntutan dan situasi yang dihadapinya dengan berhasil.
2. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (Absence of Psychological
Mechanisms). Dimaksudkan di sini bahwa aspek kedua menjelaskan
pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal
dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme
pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi.
Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang
dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian diri jika individu
mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga
untuk dicapai.
3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (Absence of The Sense of Personal
Frustration). Adanya perasaan frustrasi, akan membuat individu sulit atau
bahkan tidak mungkin berreaksi secara normal terhadap situasi maupun
masalah yang dihadapinya. Individu ini akan menghadapi kesulitan dalam
mengolah pemikiran, perasaan, motif atau tingkah lakunya secara efisien
dalam menghadapi situasi atau masalah.
4. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (Rational Deliberation and Self
Direction). Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila
disertai dengan emosi yang berlebihan, sehingga individu tidak dapat
mengarahkan dirinya.
Universitas Sumatera Utara
5. Kemampuan untuk belajar (Ability to Learn). Proses penyesuaian diri yang
normal
selalu
dapat
ditandai
dengan
sejumlah
pertumbuhan
dan
perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu
menyelasikan situasi atau ancaman bagi dirinya. Melalui belajar secara
kontinyu, individu akan dapat mengembangkan kualitas dirinya serta mampu
menghadapi tuntutan dari lingkungannya dalam kehidupan kesehariannya.
6. Pemanfaatan pengalaman (Utilization of Past Experience). Adanya kesediaan
individu untuk belajar dari pengalaman dan memanfaatkannya merupakan hal
yang penting bagi penyesuaian diri normal. Artinya, dibutuhkan kesediaan
seorang individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalamannya, maka ia
tidak akan mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu situasi yang sama.
7. Sikap-sikap yang realistis dan obyektif (Realistic and Objective Attitudes).
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap
realitas yang dihadapinya. Sikap yang realistik dan obyektif, didasarkan pada
proses belajar. Dalam hal ini, pengalaman masa lalu dan pemikiran-pemikiran
yang rasional, memungkinkan seorang individu menilai situasi, masalah
ataupun kekurangannya secara obyektif. Oleh karena itu, kegagalan untuk
menilai kualitas diri ini, tidak terlepas dari adanya perasaan curiga yang akan
mempersulit individu dalam berreaksi secara normal terhadap tuntutan dan
situasi yang dihadapinya.
Pentingnya faktor kepribadian individu dalam proses penyesuaian diri yang
dilakukan seorang individu adalah sangat erat terkait. Hal ini dikarenakan dalam
Universitas Sumatera Utara
menghadapi tuntutan dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri,
individu akan berreaksi dengan caranya sendiri. Adanya keunikan individu inilah
yang disebut oleh Adler (1954) sebagai gaya hidup (style of life) dari kepribadian
seseorang.
Untuk mengerti interaksi individu dengan lingkungannya, para Adlerian
(1954) mengemukakan 2 hukum umum dari dinamika kepribadian dalam konteks
sosial, yaitu (1) melalui persepsi individu yang unik, dunia ini dapat dimengerti; dan
(2) individu tidak melihat dirinya dan melihat dunia seperti kebanyakan orang lain
melihatnya.
Dari kedua hukum umum dinamika kepribadian individu, dapat disimpulkan
bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah merupakan produk, perkembangan,
dan contoh nilai-nilai (budaya) masyarakatnya/lingkungannya. Akan tetapi, pada saat
yang sama individu adalah kreasinya sendiri. Hal ini berarti bahwa individu menjadi
unik dalam cara menanggapi, cara mencapai tujuannya, dan arah pergerakannya, yang
diselaraskan dengan minat dan kedekatannya dengan orang-orang di sekitarnya.
Dalam konteks inilah, peyesuaian diri menjadi penting dalam kepribadian seorang
individu (Agustiani, 2006).
Tingkatan kualitas penyesuaian diri individu dalam menjalani masa
menopause, dapat dikategorikan ke dalam penyesuaian diri yang berhasil
(welladjusted) atau penyesuaian diri yang tidak berhasil (maladjusted). Menurut
Schneiders (1964) : “kualitas penyesuaian diri sangat erat kaitannya degan sifat dasar
dari penyesuaian diri itu sendiri. Semakin individu memahami perbedaan antara
Universitas Sumatera Utara
penyesuaian diri yang berhasil dan tidak berhasil dalam menjalani menopause yang
dialaminya, semakin pula individu paham akan sifat dasar dari proses penyesuaian
diri itu”.
Schneiders lebih jauh mengemukakan bahwa perbedaan antara penyesuaian
diri yang berhasil dan yang tidak berhasil dalam menjalani menopause adalah terletak
pada derajat atau tingkatan penyesuaian diri, dimana hal ini dapat ditentukan oleh
kriteria dari respon-respon yang ditampilkan oleh individu. Dengan perkataan lain,
semakin respon-respon yang ditampilkan oleh individu memenuhi kriteria yang
ditentukan, maka akan semakin besar tingkat penyesuaian dirinya. Secara lebih jelas,
kualitas dari penyesuaian diri ditampilkan oleh Schneiders (1964) dalam Gambar 2.2
berikut :
PD buruk
PD sangat
Kurang
PD kurang
PD sedang
PD baik
PD sangat
Baik
Keterangan :
PD = Penyesuaian Diri
Gambar 2.2 Bagan Kontinum dari Proses Penyesuaian Diri
Sumber : Schneiders, 1964
Bagan 2.2 memperlihatkan gambaran dari kontinum proses penyesuaian diri,
dari titik ekstrim penyesuaian dirinya (buruk) sampai ke titik sangat baik penyesuaian
dirinya. Biasanya, sebagian besar respon-respon individu dalam penyesuaian diri
Universitas Sumatera Utara
pada masa menopause, cenderung mengelompokkan di bagian tengah kontinum, yaitu
antara titik penyesuaian diri sedang dan penyesuaian diri kurang.
Individu dikatakan gagal atau tidak berhasil dalam penyesuaian dirinya, yaitu
apabila ia tidak mampu untuk mengatasi berbagai konflik yang dihadapi pada masa
menopause, sehingga dapat menimbulkan frustasi pada dirinya. Frustasi ini dapat
terjadi bila tuntutan hidup sangat membebani individu, karena ia tidak menemukan
cara yang sesuai untuk mengatasi masalah tuntutan-tuntutan tadi, maka fungsi
penyesuaian diri individu akan menjadi lemah dan berkurang. Keadaan ini, pada
akhirnya akan mengganggu efektifitas penyesuaian dirinya.
2.3 Konsep Diri
2.3.1 Pengertian Konsep Diri
Untuk membahas pengertian konsep diri secara lebih jelas, terlebih dahulu
akan dibahas pengertian diri. Hal ini dikarenakan, konsep diri merupakan salah satu
aspek dari diri.
Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan : diri dapat didefinisikan sebagai
suatu susunan konsep hipotesis yang merujuk pada perangkat kompleks dari
karakteristik proses fisik, perilaku, dan kejiwaan dari seseorang. Diri sebagai sebuah
konstruk hipotetik diartikan tidak dapat dibuktikan keberadaannya melalui panca
indera, tetapi ia ada karena dibutuhkan sebagai suatu kesatuan istilah untuk
menggambarkan segala sesuatu yang lain, yang dapat dialami manusia melalui panca
Universitas Sumatera Utara
inderanya. Manusia memberi sebutan “diri” adalah untuk apa yang diyakininya
merupakan kesatuan dari prinsip, yang mempersatukan banyak aspek kepribadiannya.
Banyak aspek yang terdapat pada diri merupakan hal yang biasa dalam
psikologi. Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan ada 5 aspek dari diri, yaitu :
1. Fisik diri merupakan tubuh dan semua aktifitas biologis yang berlangsung di
dalamnya. Meskipun banyak orang mengidentifikasikan diri mereka lebih
pada akal pikiran daripada dengan fisik mereka sendiri, tidak dapat disangkal
bahwa manakala fisik terancam bahaya atau cedera, maka pengertian diri
menjadi terganggu;
2. Diri sebagai proses merupakan suatu aliran akal pikiran, emosi, dan perilaku
manusia yang konstan. Apabila manusia mendapat suatu masalah yang
membutuhkan tanggapan respon secara emosional, maka manusia membuat
suatu perencanaan, seperti misalnya : bagaimana memecahkannya dan
melakukan tindakan apa. Semua peristiwa tersebut adalah bagian dari diri
sebagai proses;
3. Diri sosial dari akal pikiran dan perilaku yang dilakukan manusia sebagai
respon secara umum terhadap orang lain dan masyarakat (Gergen, 1972 dalam
Calhoun dan Acocella, 1990). Dalam masyarakatnya, manusia memainkan
peran-peran tertentu, misalnya peran ayah, anak, guru, murid, dan sebagainya,
dimana manusia mengidentifikasikan dirinya dengan peran-peran tersebut
secara kuat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan perkataan lain, satu aspek dari diri dirancang untuk kebutuhan sosial
atau umum;
4. Konsep diri merupakan suatu pandangan pribadi yang dimiliki manusia
tentang dirinya masing-masing. Masing-masing manusia melukis sebuah
gambaran mental tentang dirinya sendiri, dan meskipun gambaran ini
mungkin sangat tidak realistis, semua hal tersebut tetap miliknya dan
berpengaruh besar pada pemikiran dan perilakunya. Dengan perkataan lain,
konsep diri manusia adalah apa yang terlintas dalam pikirannya saat dia
berpikir tentang “dirinya”;
5. Cita diri merupakan apa yang manusia inginkan. Aspek cita diri berkaitan
dengan aspek konsep diri, dimana cita diri seorang manusia akan menentukan
konsep dirinya atau dengan perkataan lain cita diri merupakan faktor penting
dari perilaku manusia.
Berbagai aspek tentang diri yang telah dikemukakan saling tergantung satu
dengan yang lain. Secara bersama mereka menampilkan suatu kesatuan yang utuh
dari pegertian diri, dan meski manusia berubah dari situasi yang satu ke situasi yang
lain, diri juga memiliki kontinuitas dan kedinamisan.
Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai konsep diri.
Agustiani (2006) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang
dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman
yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan
dengan pendapat Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992), bahwa konsep diri
Universitas Sumatera Utara
adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang
lain. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya,
interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.
Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran
mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian
berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis,
sosial, dan moral. Sejalan dengan definisi tersebut Burn (1993) mendefinisikan
konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan,
evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita.
Demikian juga
Arini (2006)
menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan
keyakinan-keyakinan yang kita miliki mengenai diri kita sendiri dan hubungannya
dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu.
Konsep diri juga dapat diartikan sebagai penilaian keseluruhan terhadap
penampilan, perilaku, perasaan, sikap-sikap, kemampuan serta sumber daya yang
dimiliki seseorang (Sunaryo, 2004). Konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap
diri
juga dijelaskan dalam definisi
konsep diri
yang dikemukakan oleh
Suryabrata (2005) yaitu bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu
menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana
yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral,
keluarga, personal, dan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Konsep sikap diri, dari definisi-definisi yang ada, menurut Mar’at (1984)
adalah : “terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimasukkan, yaitu (1) adanya
suatu keyakinan atau pengetahuan atau komponen kognitif; (2) suatu komponen yang
afektif atau emosional; (3) adanya suatu evaluasi; dan (4) suatu kecenderungan untuk
merespon (konatif)”.
Pengertian konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella
(1990), yaitu bahwa konsep diri adalah pandangan pribadi yang dimiliki
seseorang tentang dirinya sendiri. Potret mental ini memiliki 3 dimensi yaitu (1)
pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, (2) pengharapan individu terhadap
dirinya sendiri, dan (3) penilaian individu tentang dirinya sendiri.
Konsep Fitts tentang konsep diri yang digunakan sebagai patokan pengertian
konsep diri dalam penelitian ini, mengatakan bahwa : konsep diri merupakan aspek
penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka
acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi degan lingkungannya. Konsep diri
adalah yang dilihat, dihayati, dan dialami seorang individu. Konsep diri mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Mengetahui konsep diri seorang
akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Individu
dalam mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan
penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, menunjukkan pada suatu
kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri
untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada di
Universitas Sumatera Utara
dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu
disebut konsep diri.
2.3.2 Pembentukan Konsep Diri
Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut
di sepanjang kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan
bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan,
melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan
perseptif. Selama periode awal kehidupan, perkembangan konsep diri individu
sepenuhnya didasari oleh persepsi mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan
bertambahnya usia, pandangan mengenai diri sendiri ini mulai dipengaruhi oleh
nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor dalam
Agustiani, 2006).
Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep
diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang
lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata
lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang
lain. Hal ini sejalan dengan istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh
Cooley (dalam Calhoun & Acocella, 1995), yaitu ketika individu memandang
dirinya berdasarkan interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya.
2.3.3 Dimensi-dimensi Konsep Diri
Calhoun dan Acocella menjelaskan bahwa konsep diri terdiri atas tiga dimensi
yang meliputi:
Universitas Sumatera Utara
1.
Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin,
kebangsaan, suku, pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi
daftar julukan yang menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial,
kelompok umur, kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok
tertentu lainnya.
2.
Pengharapan
mengenai diri sendiri
yaitu pandangan tentang
kemungkinan yang diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa
depan. Pengharapan ini merupakan diri ideal
3.
Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan
mengenai diri
seseorang
dengan
standar
dirinya
yang
akan
menghasilkan rasa harga diri yang dapat berarti seberapa besar seseorang
menyukai dirinya sendiri.
Fitts (1971) menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus
juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan, serta
penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta
dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya Fitts membagi konsep diri ke
dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu :
1. Dimensi internal yang terdiri dari :
a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self)
b. Diri sebagai perilaku (behavior self)
c. Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self)
Universitas Sumatera Utara
2. Dimensi eksternal yang terdiri dari :
a. Diri fisik (physical self)
b. Diri moral-etik (moral-ethical self)
c. Diri personal (personal self)
d.
Diri keluarga (family self)
e.
Diri sosial (social self)
Kesemua dimensi diri dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts
adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk
lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu
persatu.
Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal
frame of reference) adalah
bila seorang individu melakukan penilaian terhadap
dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri
terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan
internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas 3 (tiga)
bentuk, yaitu :
1. Diri Identitas (Identity Self)
Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar.
Konsep ini mengacu pada pertanyaan “siapakah saya?”, dimana didalamnya
tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu
yang
bersangkutan untuk
menggambarkan
dirinya
dan membangun
identitasnya. Misalnya “saya Isyanti“ dan kemudian sejalan dengan
Universitas Sumatera Utara
bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan
semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri sehingga individu
tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih
kompleks, seperti: “saya Isyanti”, “saya seorang ibu dari tiga orang anak”,
“saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri”, dan sebagainya. Selanjutnya
setiap elemen dari identitas diri akan memengaruhi cara individu
mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya
sendiri sebagaimana ia berfungsi.
Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai
perilaku. Identitas diri sangat memengaruhi tingkah laku seorang individu,
dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai perilaku. Sejak
kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang
lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang
dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu
seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan
sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu.
2. Diri Perilaku (Behavioral Self)
Diri perilaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah
lakunya. Diri perilaku berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang
dilakukan oleh diri”. Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri
sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian
antara identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan
Universitas Sumatera Utara
menerima baik dirinya, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai
perilaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
3. Diri Pengamat/Penilai (Judging Self)
Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar serta
pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri
identitas dengan diri perilaku.
Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang
dipersepsikannya. Oleh karena itu label-label yang dikenakan kepada dirinya
bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga sarat dengan
nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam
menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.
Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau
seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan
menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan
ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh
kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi,
kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang
bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokuskan energi serta
perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif.
Diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena
sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen
Universitas Sumatera Utara
utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan
harga diri.
Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1)
dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil
mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standar ini dapat
berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya.
Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang
lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan dari
orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah
laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu
sendiri. Oleh karea itu, walaupun harga diri (self esteem) merupakan hal yang
mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri.
Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan
bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya
saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) dalam konsep diri
(self concept) secara utuh dan menyeluruh.
Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut Fitts (1971) dengan
dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan
dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari
dunia luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang
sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun yang
dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi
Universitas Sumatera Utara
semua orang. Bagian-bagian dimensi eksteral ini dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk,
yaitu:
a. Diri Fisik (Physical Self)
Diri fisik menyakut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya
secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai
kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan
tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus).
b. Diri Moral-Etik (Moral-Ethical Self)
Diri moral merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya
sendiri, yang dilihat dari standar pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini
menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,
kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral
yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c. Diri Pribadi (Personal Self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap
keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau
hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana
seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana seorang
individu merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d. Diri Keluarga (Family Self)
Diri keluarga menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu
dalam kedudukanya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri
sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang
dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga.
e. Diri Sosial (Social Self)
Diri sosial merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi
dirinya dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam
dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan
orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri
fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa
secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu
tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa adanya
tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia
memang memiliki pribadi yang baik.
Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagain dan antar bagian pada dimensi
internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas
keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan dalam konsep diri.
Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat
konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri
maupun degan individu-individu yang lain.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Sumber Informasi untuk Konsep Diri
Calhoun dan Acocella (1990) mengungkapkan ada beberapa sumber informasi
untuk konsep diri seseorang, yaitu:
1. Orang Tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami dan
yang paling berpengaruh. Orang tua sangat penting bagi seorang anak,
sehingga
apa
yang mereka
komunikasikan
akan
lebih
berpengaruh
daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orang
tua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri anak. Orang
tua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan
anak bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian
tersebut akan terus terbawa sampai anak menjadi dewasa.
2. Teman Sebaya
Setelah orang tua, kelompok teman sebaya juga cukup memengaruhi
konsep diri individu. Penerimaan maupun penolakan kelompok teman
sebaya
terhadap seorang anak akan berpengaruh pada konsep diri anak
tersebut. Peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya dapat
memberi pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya
sendiri dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang dimilikinya
akan cenderung terus berlangsung dalam hubungan sosial ketika ia dewasa.
Universitas Sumatera Utara
3. Masyarakat
Sama
seperti
orang
tua
dan
teman
sebaya,
masyarakat
juga
memberitahu individu bagaimana mendefinisikan diri sendiri. Penilaian
dan pengharapan masyarakat terhadap individu dapat masuk ke dalam
konsep
diri
individu
dan individu akan berperilaku sesuai dengan
pengharapan tersebut.
4. Belajar
Konsep diri merupakan hasil belajar. Belajar dapat didefenisikan
sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam
diri seseorang sebagai akibat dari pengalaman. Dalam memperlajari
konsep diri, terdapat tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan, yaitu:
asosiasi, ganjaran dan motivasi.
2.3.5 Jenis-jenis Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep
diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
1. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu
dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep
diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki
konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang
sangat
bermacam-macam
tentang
dirinya
sendiri
sehingga
evaluasi
Universitas Sumatera Utara
terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa
adanya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuantujuan yang
sesuai
dengan
realitas,
yaitu
tujuan
yang
memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan
di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.
2. Konsep Diri Negatif
Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi
dua tipe, yaitu:
a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak
memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut
benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya
atau yang dihargai dalam kehidupannya.
b. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini
bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras,
sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya
penyimpangan dari seperangkat
hukum
yang
dalam
pikirannya
merupakan cara hidup yang tepat.
2.4 Landasan Teori
Pengamatan manusia terhadap dirinya sendiri mengantarkannya pada
gambaran dan penilaian dirinya. Inilah yang disebut konsep diri. Jadi, konsep diri
Universitas Sumatera Utara
meliputi apa yang manusia pikirkan dan rasakan tentang dirinya. Tegasnya, konsep
diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian manusia tentang
dirinya sendiri. Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi, menurut Fitts
(1971) adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memehami manusia dan
tingkah lakunya serta merupakan sesuatu yang dipelajari manusia melalui komunikasi
dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan nyata di sekitarnya. Konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang
merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi atau bergaul
dengan lingkungannya.
Taylor et al. (1977) sependapat dengan Fitts, yang mendefinisikan konsep diri
sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan individu tentang dirinya, yang meliputi
keseluruhan kepercayaan dan sikap-sikap yang diyakini tentang dirinya.
Persepktif yang senada dengan Fitts juga dikemukakan oleh Rogers (1959),
dimana Fitts maupun Rogers menganggap bahwa : diri seorang individu adalah
sebagai obyek yang sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi
persepsi, pengamatan, serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang
diobservasi, dialami serta dinilai yang diperolehnya melalui komunikasi yang
dilakukannya, inilah yang disebut konsep diri.
Kondisi menopause akan membawa banyak pengaruh pada diri manusia.
Hurlock (1996) menyatakan bahwa keadaan fisik yang terganggu akan berpengaruh
pula terhadap self dalam arti ini konsep diri seseorang. Pengaruh yang muncul bisa
Universitas Sumatera Utara
langsung (misalnya rasa sakit) dan tidak langsung (misalnya bagaimana persepsi dan
sikap orang lain terhadap dirinya).
Pengaruh dari keadaan menopause pada seseorang, secara khusus tidak selalu
sama pada setiap individu, karena besar kecilnya pengaruh yang dirasakan adalah
sangat tergantung dari persepsi individu tentang dirinya. Dalam arti, persepsi tentang
dirinya dan pandangan individu lain terhadap dirinya, berpengaruh terhadap
penyesuian diri yang dilakukannya. Sebagai contoh, bila individu mengalami
menopause mempunyai kosep diri yang positif maka ia akan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan menopause yang sedang dialaminya. Akan tetapi, ia bisa
mempersepsikan sebaliknya bila konsep diri individu negatif maka ia akan sulit untuk
menyesuaikan diri dengan menopause yang dialaminya. Bisa jadi, ia merasa rendah
diri, tidak menarik, tidak cantik dan tidak bugar lagi serta menganggap dirinya
berbeda dengan orang lain secara fisik. Perasaan ini pada akhirnya akan menjadi
hambatan bagi dirinya untuk dapat bergaul secara luas degan orang-orang di
sekitarnya, bahkan lebih parah lagi dapat menimbulkan ancaman atau stress pada
dirinya.
Penyesuaian diri dalam perspektif psikologi kerap digunakan terutama untuk
menekankan pada unsur individu serta bagaimana individu mengatur hidupnya.
Schneiders (1964) medefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang
mencakup respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu agar
berhasil mengatasi dan menguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik dan
frustrasi yang dialaminya. Tujuan dari usaha ini adalah untuk memperoleh
Universitas Sumatera Utara
keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang
diharapkan oleh lingkungan.
Setiap individu akan berreaksi berbeda dalam menghadapi suatu situasi, ini
tergantung pada proses persepsi melalui penyesuaian diri yang dilakukannya. Seorang
individu mungkin dapat berreaksi tanpa adanya beban terhadap menopause, akan
tetapi individu yang lainnya mungkin menganggapnya sebagai situasi yang
membebaninya (mengancam). Perbedaan ini dapat terjadi tergantung pada bagaimana
cara seorang individu mempersepsikan, menilai, dan mengevaluasi situasi yang
dihadapinya, yang diperolehnya melalui penyesuaian diri yang dilakukannya.
Pembahasan
dinamika
konsep
diri
menurut
Schneiders
(1964)
memperlihatkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh setiap individu memiliki
peranan yang sangat besar. Ini dikarenakan, bagaimana seorang individu menilai
dirinya secara positif, juga sama pentingnya dengan bagaimana ia menerima realitas
secara objektif dalam proses penyesuaian diri. Jadi, konsep diri yang positif
menghasilkan penyesuaian diri yang berhasil dan adekuat.
Timbulnya rasa rendah diri, tidak menarik, tidak bugar, dan tidak cantik,
terancam, dan tidak berdaya pada manusia yang mangalami menopause adalah
tergantung dari bagaimana individu tersebut mempersepsikan masa menopause
melaui penyesuaian diri yang dilakukannya.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori yang dikemukakan di atas,
kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel Independen
Konsep Diri :
a. Diri Internal
- Diri Identitas
- Diri Perilaku
- Diri Pengamat
b. Diri Eksternal
- Diri Fisik
- Diri Moral Etik
- Diri Personal
- Diri Keluarga
- Diri Sosial
Variabel Dependen
Penyesuaian Diri pada Masa
Menopause
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download