BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause 2.1.1 Pengertian Menopause Menopause merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak arti, “men” dan “pauseis” adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan menopause sebagai periode berhentinya haid secara alamiah yang biasanya terjadi antara usia 45 sampai 50 tahun (Kasdu, 2004). Menurut WHO, menopause adalah berhentinya menstruasi secara permanen akibat tidak bekerjanya folikel ovarium. Sehingga untuk menentukan onset dilakukan recara retrospektif, yaitu dimulai dari amenorea spontan sampai 12 bulan kemudian, seiring dengan peningkatan follicle-stimulating hormone (FSH). Menopause merupakan kegagalan ovarium dengan onset pada usia dewasa, ditandai dengan tidak adanya estrogen, progesteron, dan androgen ovarium (Spencer dan Brown, 2007). Glasier & Gebbie (2006) mendefinisikan menopause sebagai periode menstruasi spontan yang terakhir pada seorang wanita dan merupakan diagnosa yang ditegakkan secara retrospektif setelah amenorrhea selama 12 bulan. Menopause terjadi pada usia rata-rata 51 tahun. Fase transisi fluktuasi fungsi ovarium yang terjadi di sekitar waktu perdarahan menstruasi terakhir dari seorang wanita dikenal sebagai 10 Universitas Sumatera Utara “perimenopause” atau “klimakterium”. Wanita secara universal menyebut fase klimakterium sebagai “mengalami menopause”. Menopause adalah periode kehidupan pada seorang wanita dengan terhentinya menstruasi, sinonim dengan klimakterik (Chalpin, 1999). Nugroho dan Setiawan (2010) mendefinisikan menopause sebagai proses alami dari penuaan, yaitu ketika wanita tidak lagi mendapat haid selama 1 tahun. Penyebab berhentinya haid karena ovarium tidak lagi memproduksi hormon estrogen dan progesteron, dan rata-rata terjadi menopause pada usia 50 tahun. Shimp & Smith (2000) mendefinisikan menopause sebagai akhir periode menstruasi, tetapi seorang wanita tidak diperhitungkan post menopause sampai wanita tersebut telah megalami amenorrhea. Menopause membuat berakhirnya fase reproduksi pada kehidupan wanita. Menopause adalah berhentinya siklus haid terutama karena ketidakmampuan sistem neurohumoral untuk mempertahankan stimulasi periodiknya pada sistem endokrin (Potter & Perry, 1997), Baziad (2003) menyebutkan menopause sebagai perdarahan rahim terakhir yang masih diatur oleh hormon ovarium. Istilah menopause digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang wanita mengalami periode terakhir masa haid (Kasdu, 2004). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menopause adalah masa setahun setelah berhentinya haid yang disebabkan oleh menurunnya produksi hormon estrogen dan progesteron di ovarium sehingga masa reproduksi wanita menjadi berakhir. Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Tahap-Tahap dalam Menopause Menurut Manuaba (1999), perubahan wanita menuju masa menopause antara usia 48-65 tahun dengan melewati beberapa fase yaitu : a. Fase pra-menopause (klimakterium), pada fase ini seorang wanita akan mengalami kekacauan pola menstruasi, terjadi perubahan psikologis/kejiwaan, terjadi perubahan fisik. Berlangsung selama 4-5 tahun. Terjadi pada usia antara 48-55 tahun. b. Fase menopause, terhentinya menstruasi. Perubahan pada keluhan psikologis dan fisik makin menonjol. Berlangsung sekitar 3-4 tahun. Pada usia antara 5660 tahun. c. Fase pasca-menopause (senium), terjadi pada usia 61-65 tahun. Wanita beradaptasi terhadap perubahan psikologis dan fisik. Keluhan makin berkurang. Nugroho dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa tahapan menopause bermula dari tahap reproduksi sampai berakhir pada awal senium, antara usia 40-65 tahun yaitu : a. Pra-menopause merupakan masa 4-5 tahun sebelum menopause, fungsi reproduksi mulai menurun, timbul keluhan tanda-tanda menopause, seperti perdarahan tidak teratur. b. Menopause, terjadi pada usia sekitar 50 tahun, perdarahan uterus terakhir yang masih dikendalikan oleh ovarium, masa wanita mengalami akhir Universitas Sumatera Utara datangnya haid sampai berhenti, periode dengan keluhan memuncak, rentangan 1-2 tahun sebelum dan 1 tahun sesudah menopause. c. Pasca-menopause, masa 3-5 tahun setelah menopause, munculnya perubahan-perubahan patologi secara permanen disertai memburuknya kondisi fisik pada usia lanjut (senium). d. Ooforopause, saat ovarium kehilangan fungsi hormonalnya sama sekali. 2.1.3 Fisiologis Menopause dan Perimenopause Perubahan endokrin dan metabolik yang dihubungkan dengan menopause tetap belum dipahami sepenuhnya. Telah diketahui bahwa beberapa tahun sebelum menopause, ovarium mulai kehabisan persediaan oosit dan struktur di sekitarnya yang menghasilkan sebagian besar estrogen yang ada selama masa reproduksi. Penurunan fungsi folikel ovarium dan penurunan estrogen yang bersirkulasi juga menyebabkan perubahan dalam produksi hormon seks dari hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan kelenjar adrenal (Scharbo-De Haan et al., 1991 dalam Reeder, dkk, 2011). Misalnya, penurunan produksi estradiol dan progesteron memungkinkan pelepasan sejumlah besar gonadotropin dari hipofisis, yang menghasilkan peningkatan kadar FSH dan LH yang bersirkulasi. Hipotalamus menyekresi GnRH dalam jumlah besar ke sirkulasi portal dengan cara berdenyut, yang diyakini bertanggung jawab menyebabkan hot flushes yang sering kali menyertai menopause (Wren, 1992 dalam Reeder, dkk, 2011). Dengan penurunan estrogen, neurotransmitter menurunkan aktivitas endorphin dan serotonin (Rinehart et al., 1985 Universitas Sumatera Utara dalam Reeder, dkk, 2011). Fluktuasi kadar hormon tersebut berkontribusi pada perubahan emosi. Dampak fisiologis perimenopause dapat menyebabkan wanita mengalami berbagai gejala. Perubahan mukosa vagina bervariasi di antara wanita perimenopause. Bahkan, perubahan minimal dapat menyebabkan rasa nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia). Penipisan lapisan vagina dan penurunan estrogen lubrikasi dapat diatasi dengan pemberian estrogen secara oral atau lokal dengan supositoria vagina atau krim. Dispareunia merupakan gejala umum yang tidak boleh diabaikan dalam penatalaksanaan wanita pasca-menopause. Tiap wanita bereaksi berbeda terhadap perubahan fungsi endokrin pada masa menopause. Reaksi tersebut tidak dapat diduga dan dalam beberapa hal bergantung pada riwayat emosional wanita, sistem pendukungnya dalam keluarga dan fakta bahwa sistem reproduksi-endokrin di masa menopause dapat sangat labil selama kurun waktu tersebut, yang dapat berlangsung selama 8 atau 9 tahun (Ravnikar, 1990, Ferguson et, al., 1989 dalam Reeder, dkk, 2011). Beberapa kesulitan selama masa perimenopause dapat dikurangi melalui penyuluhan mengenai penuaan, menopause, dan masalah yang terkait (Cook, 1993 dalam Reeder, dkk, 2011). Sangat penting untuk memberikan konseling pada wanita mengenai peningkatan risiko perubahan yang merugikan terkait dengan penurunan estrogen (misalnya, osteoporosis, aterosklerosis, infark miokardium, stroke, dan kanker) dan metode untuk meningkatkan kesehatan selama proses penuaan (Reeder, dkk, 2011). Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Perubahan yang terjadi pada Menopause Perubahan yang terjadi selama menopause adalah : 2.1.4.1 Perubahan Organ Reproduksi Akibat berhentinya haid, berbagai organ reproduksi akan mengalami perubahan. 1) Rahim Rahim mengalami atropi, panjangnya menyusut dan dindingnya menipis. Jaringan miometrium (otot rahim) menjadi sedikit dan lebih banyak mengandung jaringan fibrotik (sifat serabut secara berlebihan). Leher rahim (serviks) menyusut tidak menonjol ke dalam vagina, bahkan lama-lama akan merata dengan dinding vagina (Kasdu, 2004). 2) Saluran telur Lipatan-lipatan saluran menjadi lebih pendek, menipis, dan mengerut. Rambut getar yang ada pada ujung saluran telur atau fimbria menghilang. 3) Indung telur Setelah wanita melewati akhir usia 30-an, produksi indung telur berangsur-angsur menurun. Dengan demikian, pelepasan sel telur tidak selalu pada setiap siklus haid. Pada saat ini, jarak haid menjadi agak tidak teratur, yaitu terjadi pada selang waktu yang lebih lama, pola cairan haid berubah menjadi semakin sedikit atau semakin banyak. Sampai akhirnya, pelepasan sel telur tidak lagi terjadi dan haid pun berhenti. Didapatkan sekitar 33% dari seluruh konsultasi ginekologi berhubungan dengan perdarahan abnormal, dan Universitas Sumatera Utara meningkat menjadi 69% pada wanita menopause dan post-menopause. Penelitian klinik pada wanita menopause menunjukkan bahwa lebih kurang 90% wanita selama menopause mengalami ketidakteraturan haid; hanya 1012% dari wanita premenopause yang mengalami amenore mandadak(Kasdu, 2004). Haid terakhir merupakan titik puncak dari suatu proses perubahan dalam kadar hormon dan fungsi indung telur yang bisa jadi membutuhkan waktu hingga sepuluh tahun. Akan tetapi, estrogen yang jumlahnya lebih sedikit terus dihasilkan oleh indung telur selama 10 hingga 20 tahun setelah menopause. Kelenjar-kelenjar adrenalin dan sel-sel lemak juga dapat menghasilkan estrogen. Dengan menurunnya produksi indung telur maka terjadi juga penurunan hormon. Indung telur memproduksi tiga hormon yaitu estrogen, progesteron, dan androgen. Kadar estrogen dan progesteron mulai menurun secara berangsur-angsur atau secara tidak teratur. Berhentinya ovulasi (keluarnya sel telur dari indung telur), progesteron tidak diproduksi lagi. Namun, pada wanita perimenopause dan pascamenopause dengan indung telur utuh, untuk jangka waktu tertentu hormon androgen terus diproduksi bersamaan dengan hormon estrogen (Reeder, dkk, 2011). Akibat proses tersebut, terjadi perubahan pada organ reproduksi wanita sebagai berikut : a. Ukuran indung telur mengecil dan permukaannya akan menjadi keriput sebagai akibat atropi dari medulla (sumsum). Tidak mengandung korpus Universitas Sumatera Utara luteum (badan kuning), dan tunika albugenia-nya (selaput pembungkus) menebal b. Terjadi sklerosis (penebalan) dini pada sistem pembuluh darah indung telur sehingga diperkirakan sebagai penyebab utama gangguan vaskularisasi (pembuluh darah) indung telur. c. Sirkulasi menjadi anovulasi (tidak ada ovulasi), folikel primer (pertumbuhan sel telur awal) tidak dapat matang secara baik di samping tingginya kadar hormon gonadotropin. Akibatnya, secara metabolism dan proses pertumbuhan zat pada indung telur menurun dan jaringan ikat makin meningkat. Oleh karena itu indung telur menjadi atrofi d. Produksi hormon estrogen turun sehingga tidak terjadi lagi perubahan endometrium e. FSH dan LH meningkat, tetapi plasma estradiol (bentuk dari estrogen) sangat rendah (Kasdu, 2004). 4) Serviks (leher rahim) Seperti halnya Rahim dan indung telur, serviks juga mengalami pengerutan dan memendek. 5) Vagina Vagina mengalami kontraktur (melemahnya otot jaringan), panjang dan lebar vagina juga mengalami pengecilan. Forniks (dinding vagina bagian belakang dekat mulut rahim) menjadi dangkal. Atropi vagina berangsurangsur menghilang. Selaput lendir alat kelamin akan menipis dan tidak lagi Universitas Sumatera Utara mempertahankan elastisitasnya akibat fibrosis (pembentukan jaringan ikat dalam alat atau bagian tubuh dalam jumlah yang melampaui keadaan biasa). Perlu diketahui, perubahan ini sampai batas tertentu dipengaruhi oleh keberlangsungan dalam aktivitas seksual. Artinya, makin lama kegiatan tersebut dilakukan makin kurang laju pendangkalan atau pengecilan alat kelamin bagian luar wanita (genitalia eksterna) (Mackenzie, 1992). 6) Vulva (mulut kemaluan) Jaringannya menipis karena berkurang dan hilangnya jaringan lemak serta jaringan elastik. Kulitnya menipis dan pembuluh darah berkurang sehingga menyebabkan pengerutan lipatan vulva. Terjadi gangguan rasa gatal dan juga hilangnya sekret kulit serta mengerutnya lubang masuk kemaluan. Berkurangnya serabut pembuluh darah dan serabut elastik. Semua keadaan ini memengaruhi munculnya gangguan nyeri waktu sanggama (Yatim, 2001). 2.1.4.2 Perubahan Hormon Sesuatu yang berlebihan atau kurang, tentu mengakibatkan timbulnya suatu reaksi. Pada kondisi menopause reaksi yang nyata adalah perubahan hormon estrogen yang menjadi berkurang. Meskipun perubahan terjadi juga pada hormon lainnya, seperti progesteron, tetapi perubahan yang memengaruhi langsung kondisi fisik tubuh maupun organ reproduksi, juga psikis adalah akibat perubahan hormon estrogen. Menurunnya kadar hormon ini menyebabkan terjadi perubahan haid menjadi sedikit, jarang, bahkan siklus haidnya mulai terganggu. Hal ini disebabkan tidak Universitas Sumatera Utara tumbuhnya selaput lendir rahim akibat rendahnya hormon estrogen (Spencer dan Brown, 2007). 2.1.4.3 Perubahan Fisik Akibat perubahan organ reproduksi maupun hormon tubuh pada saat menopause memengaruhi berbagai keadaan fisik tubuh seorang wanita. Keadaan ini berupa keluhan-keluhan ketidaknyamanan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. 1) Hot flushes (perasaan panas) Hot flushes adalah rasa panas yang luar biasa pada wajah dan tubuh bagian atas (seperti leher dan dada). Dengan perabaan tangan akan terasa adanya peningkatan suhu pada daerah tersebut. Gejolak panas terjadi karena jaringan-jaringan yang sensitif atau yang bergantung pada estrogen akan terpengaruh sewaktu kadar estrogen menurun. Pancaran panas diperkirakan merupakan akibat dari pengaruh hormon pada bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengatur temperatur tubuh. Gejala ini sering timbul pada malam hari menyebabkan yang bersangkutan sulit tidur. Pada keadaan cuaca dingin, gejolak panas terjadi lebih jarang dan singkat dibandingkan jika cuaca panas. Makan makanan atau minuman panas atau makanan pedas, alkohol, kafein, dan stres dapat menyebabkan terjadinya hot flushes. Intensitas, lamanya serta frekuensi dari gejala tersebut sangat bervariasi. Kadang kala seorang wanita mengalami 40 kali hot flushes setiap hari, beberapa yang lain mengalami 1-2 kali perhari dan merasa sangat susah dan Universitas Sumatera Utara terganggu. Lamanya hot flushes umumnya 1-5 menit dan hanya 6% yang mengalami > 6 menit. Gejala ini lebih banyak dialami oleh wanita di Amerika Utara, Eropa dan Australia sekitar 50-85% dan terjadi secara periodik selama 1-5 tahun. Hanya 10-20% wanita Indonesia dan 10-25% wanita China yang mengalami hot flushes. Gejolak panas timbul ketika wanita akan memasuki usia menopause atau pada saat menopause dan akan menghilang sekitar 4-5 tahun pascamenopause (Kasdu, 2004; Mackenzie, 1992). 2) Keringat di malam hari Berkeringat malam hari, bangun bersimbah peluh. Sehingga perlu mengganti pakaian di malam hari. Berkeringat malam hari tidak saja menggangu tidur melainkan juga teman atau pasangan tidur. Akibatnya di antara keduanya merasa lelah dan lebih mudah tersinggung, karena tidak dapat tidur nyenyak. Cara bekerjanya secara persis tidak diketahui, tetapi pancaran panas pada tubuh akibat pengaruh hormon yang mengatur thermostat tubuh pada suhu yang lebih rendah. Akibatnya, suhu udara yang semula dirasakan nyaman, mendadak menjadi terlalu panas dan tubuh mulai menjadi panas serta mengeluarkan keringat untuk mendinginkan diri (Reitz, 1993). 3) Vagina kering Kekeringan vagina terjadi karena leher rahim sedikit sekali mensekresikan lendir. Penyebabnya adalah kekurangan estrogen yang menyebabkan liang Universitas Sumatera Utara vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan kurang elastis. Alat kelamin mulai mengerut, liang sanggama kering sehingga menimbulkan nyeri pada saat sanggama, keputihan, rasa sakit pada saat kencing. Keadaan ini membuat hubungan seksual akan terasa sakit. Selain itu, akibat berkurangnya estrogen menyebabkan keluhan gangguan pada epitel vagina, jaringan penunjang dan elastisitas dinding vagina. Padahal, epitel vagina mengandung banyak reseptor estrogen yang sangat membantu mengurangi rasa sakit dalam berhubungan seksual (Sibagariang, dkk, 2010). 4) Tidak dapat menahan air seni Ketika usia bertambah tua, air seni sering tidak dapat ditahan pada saat bersin atau batuk. Hal ini akibat estrogen yang menurun sehingga salah satu dampaknya adalah inkontinensia urin (tidak dapat mengendalikan fungsi kandung kemih). Dinding serta lapisan otot polos uretra wanita juga mengandung banyak reseptor estrogen. Kekurangan estrogen menyebabkan terjadinya gangguan penutupan uretra dan perubahan pola aliran urin menjadi abnormal sehingga mudah terjadi infeksi pada saluran kemih bagian bawah (Kasdu, 2004). 5) Kulit Rendahnya kadar estrogen dalam tubuh berpengaruh pada jaringan kolagen yang berfungsi sebagai jaringan penunjang pada tubuh. Hilangnya kolagen menyebabkan kulit kering dan keriput, rambut terbelah-belah, rontok, gigi Universitas Sumatera Utara mudah goyang dan gusi berdarah, sariawan, kuku rusak, serta timbulnya rasa sakit dan ngilu pada persendian (Muchtadi, 2009). 6) Penambahan berat badan Saat wanita mulai menginjak usia 40-an, biasanya tubuh mudah menjadi gemuk, tetapi sebaliknya sangat sulit untuk menurunkan berat badan. Berdasarkan penelitian ditemukan 29% wanita pada masa menopause memperlihatkan kenaikan berat badan dan 20% diantaranya memperlihatkan kenaikan yang mencolok. Hal ini diduga ada hubungannya dengan turunnya estrogen dan gangguan pertukaran zat dasar metabolism lemak. Kulitpun mejadi lebih kendur sehingga mudah menjadi tempat simpanan lemak. Bahkan dengan bertambah usia, aktivitas tubuh juga berkurang. Hal ini menyebabkan gerak tubuh berkurang sehingga lemak semakin banyak tersimpan, apalagi tidak dibarengi dengan pengaturan makanan yang tepat (Kasdu, 2004). Memasuki menopause mengubah cara tubuh menyimpan lemak, sebelum menopause wanita biasanya menyimpan kelebihan lemak di sekitar panggul dan paha, yang menyebabkan bentuk tubuh wanita seperti ‘buah pear’. Setelah menopause kelebihan lemak disimpan di sekitar pinggang dan perut yang menyebabkan bentuk tubuh seperti ‘buah apel’ (Spencer dan Brown, 2007). 7) Gangguan mata Kurang dan hilangnya estrogen memengaruhi produksi kelenjar air mata sehingga mata terasa kering. Universitas Sumatera Utara 8) Nyeri tulang dan sendi Seiring meningkatnya usia maka beberapa organ tidak lagi mengadakan remodeling, di antaranya tulang. Bahkan, mengalami proses penurunan karena pengaruh dari perubahan organ lain. Selain itu, dengan bertambahnya usia penyakit yang timbul semakin beragam. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kebugaran dan kesehatan tubuh seorang wanita (Jones, 1997). 9) Osteoporosis Osteoporosis (pengeroposan tulang) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan menurunya massa tulang dan mikroarsitektur dari jaringan tulang akibat berkurangnnya hormon estrogen (Spencer dan Brown, 2007). Estrogen juga membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang, sehingga wanita yang telah mengalami menopause mempunyai risiko lebih terkena osteoporosis. Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal yang dimulai sekitar 40 tahun, dan meningkat pada wanita postmenopause, yaitu rata-rata kehilangan massa tulang 2% tiap tahun. Pada tahun-tahun awal setelah menopause, kehilangan massa tulang berlangsung sangat cepat dan risiko jangka panjang untuk terjadinya patah tulang meningkat (Kasdu, 2004). Lebih dari 90% pasien osteoporosis adalah wanita postmenopause. Diperkirakan antara 25% dan 44% wanita post menopause mengalami fraktur karena osteoporosis, terlebih pada tulang belakang, sendi tulang paha dan lengan bawah. Pada wanita kulit putih kira-kira 8 dari 1000 mengalami fraktur osteoporosis, dan pada wanita kulit hitam 3 dari 1000. Walaupun wanita kulit Universitas Sumatera Utara putih dan wanita Asia mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadi fraktur karena osteoporosis, wanita kulit hitam mempunyai angka kematian lebih tinggi pada 6 bulan pertama setelah fraktur sendi tulang paha dibandingkan wanita kulit putih yaitu 20% dan 11% (Shimp & Smith, 2000). Penelitian yang dilakukan Pramono (1998) dalam Kasdu (2004) menemukan bahwa pada lansia berusia 75-78 tahun sering ditemukan osteoporosis, dan pada golongan ini wanita dua kali lebih banyak dibandingkan pria. Secara kumulatif, selama hidupnya wanita akan mengalami kehilangan 40%-50% massa tulangnya, sedangkan pria hanya kehilangan sebanyak 20%-30%. Dengan demikian wanita lebih berisiko menderita osteoporosis dan patah tulang. 10) Penyakit jantung koroner Kelainan kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian dan kesakitan pada wanita menopause. Pada tahun 2000, 38% wanita di Amerika Serikat berumur 45 tahun atau lebih, pada tahun 2015 proporsi ini akan meningkat menjadi 45%. Satu dari sembilan wanita berumur 45-64 tahun menderita berbagai macam penyakit kardiovaskular dan setelah 65 tahun rasionya meningkat menjadi 1 banding 3. Kira-kira 40% penyakit koroner pada wanita berakibat fatal dan 67% dari semua kematian mendadak yang terjadi pada wanita tersebut tanpa riwayat penyakit jantung koroner. Mereka kehilangan daya tahan terhadap penyakit jantung koroner akibat berkembangnya menopause, dan meningkatnya insiden penyakit ini bukan karena perubahan Universitas Sumatera Utara gaya hidup atau faktor risiko tetapi karena perubahan lipoprotein yang terjadi pada menopause. Penurunan estrogen juga mengakibatkan penurunan hight density lipoprotein (HDL) dan menigkatkan low density lipoprotein (LDL), trigliserida, dan kolesterol total, yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Penelitian yang dilakukan oleh Gallup (1995) dalam Kasdu (2004) ditemukan bahwa wanita berpeluang dua kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner daripada kanker payudara, dan terjadinya penyakit jantung koroner pada wanita menopause menjadi dua kali lipat dibanding pria pada usia yang sama. 2.1.4.4 Perubahan Psikologis Wanita Menopause Pada wanita yang menghadapi periode menopause, munculnya simtomsimtom psikologis sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan pada aspek fisikfisiologis sebagai akibat dari berkurang dan berhentinya produksi hormon estrogen. Selain fisik, perubahan psikologis juga sangat memengaruhi wanita dalam menjalani masa menoapuse. Perubahan yang terjadi pada wanita menopause adalah perubahan mood, irritabilitas, kecemasan, labilitas emosi, merasa tidak berdaya, gangguan daya ingat, konsentrasi berkurang, sulit mengambil keputusan, dan merasa tidak berharga (Glasier & Gebbie, 2005; Ibrahim, 2002). Stres kehidupan setengah baya dapat memperburuk menopause. Menghadapi anak remaja, emptynest syndrome, perpisahan atau ketidakharmonisan perkawinan, sakit atau kematian teman dan keluarga, kurangnya kepuasan pada pekerjaan, Universitas Sumatera Utara penambahan berat badan atau kegemukan adalah beberapa bentuk stres yang mengakibatkan risiko masalah emosional yang serius (Bobak et al, 2005). Emptynest syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi pada saat anak-anak meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan masing-masing. Anggapan bahwa tugas sebagai orang tua berakhir saat setelah anak-anak meninggalkan rumah sering membuat orang tua menjadi stres terutama bagi para ibu yang merasa kehilangan arti atau makna hidup bagi dirinya (Rini, 2004). Perubahan psikologis pada masa menopause sangat tergantung pada pandangan masing-masing wanita terhadap menopause, termasuk pengetahuan yang cukup akan membantu wanita memahami dan menyesuaikan dirinya menjalani masa masa menopause dengan lebih baik. Latar belakang masing-masing wanita sangat berpengaruh terhadap kondisi wanita dalam mengalami masa menopause, misalnya apakah wanita tersebut menikah atau tidak, apakah wanita tersebut mempunyai suami, anak, cucu, atau kehidupan keluarga yang membahagiakannya, serta pekerjaan yang mengisi aktivitas sehari-harinya (Kasdu, 2004). Peran budaya juga memengaruhi status emosi selama menopause. Kebanyakan orang melihat menopause sebagai langkah pertama untuk masuk ke usia tua dan menghubungkannya dengan hilangnya kecantikan. Budaya Barat menghargai masa muda dan kecantikan fisik, sementara orang tua menderita akibat kehilangan status, fungsi dan peran (Bobak et al., 2005). Universitas Sumatera Utara 2.2 Penyesuaian Diri Istilah penyesuaian diri merupakan terjemahan dari kata “adjustment” (Inggris). Konsep ini kerap digunakan dalam bidang Psikologi, terutama untuk menekankan pada unsur individu serta bagaimana seorang individu mengatur hidupnya. Penyesuaian diri memiliki pengertian yang luas, dimana konsep ini berkaitan dengan semua reaksi seorang individu menghadapi tuntutan dari lingkungan maupun dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, konsep ini dapat dipergunakan selama respon yang ditampilkan seorang individu mengarah kepada usahanya untuk mengurangi atau meredusir tututan-tuntutan yang masuk sebagai usaha penyesuaian diri, yang dialami individu tersebut dalam menghadapi menopause. Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai : suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi dan meguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialaminya. Tujuan dari usaha itu adalah untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia berada. Definisi yang dikemukakan Schneiders, memperlihatkan bahwa apa yang disebut sebagai penyesuaian diri pada dasarnya adalah semua upaya yang dilakukan oleh seorang individu untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan bagi dirinya dalam menghadapi menopause. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kondisi fisik dan psikologis yang dirasakan tidak menyenangkan, adalah sangat tergantung dari bagaimana individu tersebut megevaluasi keadaan yang tidak Universitas Sumatera Utara menyenangkan tersebut. Artinya, bagi seorang wanita menopause, arti dan makna menopause tergantung dari bagaimana ia mengevaluasi atau menilai menopause tersebut. Apabila menopause itu dinilai sebagai suatu situasi yang tidak menyenangkan dan ia menjadi frustrasi karenanya, maka akan muncul reaksi emosional tertentu sebagai kodisi yang mewarnai frustrasi (bisa sangat sedih, marah, tidak berguna lagi, dan sebagainya). Sudah tentu, kondisi ini berusaha untuk diatasinya, sebagai nilai dasar dari kemanusiaan yang dimiliki setiap individu untuk mempertahankan hidupnya. Setiap individu memberikan reaksi yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi dan hal ini tergantung pada proses pendekatannya. Seseorang mungkin akan dapat bereaksi tanpa adanya beban, akan tetapi orang lain menganggapnya sebagai situasi yang membebaninya (mengancam). Perbedaan tersebut menyangkut bagaimana seorang individu melakukan persepsi, penilaian (appraisal), dan evaluasi terhadap situasi yang dihadapinya serta sumber daya apa (potensi) yang dimiliki individu itu sendiri yang dipergunakan untuk solusi dari masalah yang dihadapi. Jadi, frustrasi (pada akhirnya stres/terancam atau terbebani) atau tidaknya seorang wanita menopause akibat menopause yang dialaminya adalah tergantung bagaimana ia mempersepsikan, menilai, dan menevaluasi dari menopause yang dihadapinya. Individu tidak akan bisa menghilangkan atau mengabaikan realitas. Individu berreaksi pada apa yang dialaminya dan dipersepsikannya. Proses persepsi yang dilakukan seorang individu tidak akan terlepas dari kebutuhan-kebutuhan (needs) dan nilai-nilai (values) yang terdapat dalam dirinya, sebagai usaha individu menjaga dan Universitas Sumatera Utara memelihara keseimbangan dan keharmonisan di dalam dirinya. Persepsi terhadap realitas inilah yang disebut sebagai realitas individu, yang artinya kenyataan yang sebagaimana mestinya, yang diterima oleh individu tersebut setelah melalui proses penyesuaian diri. Tegasnya, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pada diri seorang individu memengaruhi proses persepsi (beserta atribusi) yang dilakukannya dan akan melalui proses penyesuaian diri sebelum diterima sebagai suatu realitas individu. Agar dapat dengan mudah dipahami, maksud uraian ini secara lebih sederhana dapat dimodelkan dalam Gambar Bagan 2.1 berikut: PERSEPSI DAN ATRIBUSI REALITAS INDIVIDU NEEDS DAN VALUES REALITAS INDIVIDU PENYESUAIAN DIRI Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Needs dan Values dalam Persepsi, Atribusi, dan Penyesuaian Diri Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penyesuaian diri seorang individu terhadap realitas individu selalu ditentukan oleh cara tertentu dalam ia mempersepsikan dan mengatribusikan realitas. Cara individu mengamati, menilai, dan mengevaluasi realitas (termasuk dirinya sendiri) ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilainilai dari individu tersebut. Dengan kata lain, untuk mengetahui hubungan antara Universitas Sumatera Utara dinamika psikis dan penyesuaian diri terhadap realitas individu, yang perlu diingat adalah bahwa realitas sebagai sesuatu hal yang diusahakan seorang individu supaya ia dapat menyesuaikan diri, akan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Proses persepsi dan atribusi yang dilakukan seorang individu dalam menghadapi menopause, akan dilakukan individu melalui pembuatan sejumlah asumsi dalam dirinya, yang meliputi asumsi tentang dirinya sendiri dan asumsi di luar dirinya. Pembuatan asumsi ini dilakukan individu melalui konsep diri yang dimilikinya, yang diperolehnya melalui proses belajar disepanjang hidupnya. Hal senada dikemukakan oleh Coleman (1976), yang menyebutkan : pembuatan sejumlah asumsi oleh individu dalam mempersepsi suatu situasi sebagai fungsi dari sistem diri (self system). Berfungsinya “self system” pada diri seorang individu mencakup terbetuknya asumsi-asumsi yang dibuat oleh individu itu sendiri. Asumsi-asumsi inilah yang akhirnya membentuk kerangka rujukan (frame of reference) yang merupakan suatu pandangan yang menetap pada diri seorang individu dalam ia menghadapi menopause dan juga yang merupakan hal penting dalam mengarahkan tingkah lakunya. Beberapa aspek dari kerangka rujukan yang dimiliki oleh setiap individu, memiliki pengertian yang mendalam pada: 1. Asumsi individu tentang realitas, kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang dimilikinya, yang mengarahkan individu pada identitas dirinya. Hal tersebut merupakan realisasi dari siapa dirinya dan juga ideal dirinya. Universitas Sumatera Utara 2. Pola-pola asumsi individu mendukung pada konsistensi dalam berpikir, mempersepsi, merasakan, dan bertindak, yang merupakan gaya hidupnya (style of life). 3. Asumsi-asumsi individu, tidak hanya berperan sebagai pengarah tingkah laku, tetapi juga merupakan pengendalian dari dalam diri. Kerangka rujukan (frame or reference) yang dimiliki individu, dalam beberapa hal, merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman baru dengan dunianya melalui kemampuan menghadapi menopause. Sebagai konsekuensinya, seorang individu cenderung mempertahankan asumsi-asumsi yang sudah dimilikinya dan menolak informasi baru yang berlainan dengan nilai yang terdapat dalam konsep dirinya atau sistem dirinya. Perbedaan yang ada pada individu dalam penyesuaian diri, menyebabkan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya. Artinya, tidak dapat dibuat suatu alternatif pilihan tentang cara-cara dalam menghadapi ancaman/beban tertentu yang dialami oleh seorang individu secara pasti. Dengan perkataan lain, tidak ada suatu formula tunggal sebagai usaha utuk mengatasi stress, ancaman, atau beban tertentu yang dialami seorang individu. Hal ini dikemukakan pula oleh Schneiders (1964), yang menyatakan penyesuaian diri bersifat relatif dikarenakan : 1) Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemampuan seseorang untuk merubah atau untuk mengatasi tuntutan dari lingkungannya yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah, sesuai dengan nilai kepribadian dan tahap perkembangannya. Universitas Sumatera Utara 2) Kualitas dari penyesuaian diri juga berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai pada masyarakat dan kebudayaan (lingkungan) tempat dimana ia tinggal dan dibesarkan. 3) Adanya perbedaan individual, yang merupakan variasi tertentu yang dimiliki oleh masing-masing individu. Meskipun terdapat perbedaan pola reaksi penyesuaian diri yang dilakukan seorang individu, namun tidak dapat diabaikan pula adanya kenyataan bahwa terdapat derajat atau tingkatan dari penyesuaian diri itu sendiri, yaitu sebagai yang berhasil (well adjusted) dan yang tidak berhasil. Berdasarkan kenyataan ini, Schneiders (1964) mengemukakan bahwa : seorang individu yang berhasil dalam penyesuaian dirinya adalah individu yang dengan keterbatasannya, kemampuannya, serta bentuk kepribadiannya, telah belajar untuk bereaksi terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya dengan cara yang matang, bermanfaat, efisiensi, dan memuaskan. Selain itu, individu ini dapat atau mampu menyelesaikan konflik-konflik mental, frustrasi, dan dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan dalam diri maupun kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya, dengan tidak mengembangkan atau menimbulkan tingkah laku yang menyimpang. Schneiders (1964) juga mengemukakan beberapa kriteria yang penting dan spesifik dari dasar hubungan yang terdapat di seluruh tahapan penyesuaian diri dalam menghadapi menopause, yaitu : 1) Pengetahuan diri dan kesadaran diri (self knowledge and self insight). Hal ini dibutuhkan untuk menghadapi tututan-tuntutan, menyelesaikan konflik, Universitas Sumatera Utara frustrasi, dan untuk menghadapi masalah-masalah atau situasi secara efektif. Dalam penyusuaian diri yang berhasil, maka seorang individu harus tahu dan sadar terlebih dahulu atas kemampuan-kemampuan dan keterbatasanketerbatasan dirinya. Jelasnya, pengetahuan dan kesadaran diri membutuhkan investarisasi intelijen dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri individu. Dengan mengetahui apa kelemahan diri, maka individu dapat mengurangi, menambah, atau meningkatkan pengaruhnya pada penyesuaian dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Sebagian jalan keluar dari hal ini, harus bermula dari keberanian dan ketetapan hati untuk menghadapi kenyataan. Harus ada kesadaran untuk mengakui kelemahan, kegagalan, atau kesalahan diri. Tidak malah melakukan rasionalisasi, membodohkan atau mencemoohkan diri sendiri atau orang lain. Dalam kenyataannya, hal ini tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam penyesuaian diri yang baik selalu membutuhkan adanya pengetahuan dan kesadaran akan diri sediri. Adanya pengetahuan dan kesadaran terhadap diri sendiri, berarti juga sadar terhadap adanya motivasi dan pandangan ke depan, yang akan mengarah pada tindakan atau perilaku yang merupakan kebiasaan individu. Apabila pengetahuan dan kesadaran diri terhambat karena suatu motif, peristiwa/tindakan tertentu, atas oleh sifat dari kepribadian, maka dengan mudah individu dapat dibuat bingung dengan tuntutan, konflik, ataupun problem yang dihadapinya. Sebagai akibatnya, individu akan mengalami kegagalan dalam menghadapi menopause. Dalam hal ini, sering terjadi, Universitas Sumatera Utara individu membenarkan atau merasionalisasikan tindakannya (perilakunya), yang pada dasarnya tidak adekuat; atau memproyeksikan kegagalannya sendiri untuk lepas dari tanggung jawab, yang semuanya ini sebenarnya merupakan bentuk mekanisme dari pertahanan diri. Pengetahuan atau kesadaran diri, dalam hal ini bukan diartikan sebagai analisa diri (self analysis). Hal ini dikarenakan, analisa ataupun intropeksi seseorang terhadap dirinya sendiri seringkali sangat berlebihan. Oleh karena itu, batasan untuk pengetahuan diri dan kesadaran diri adalah merupakan kemampuan seorang individu untuk mengetahui motif perasaan dan tindakannya sendiri, tanpa harus terlarut didalamnya. Artinya, apabila seseorang mengetahui halhal mana yang baik dan tidak baik dari tingkah lakunya ia akan bereaksi secara tidak berlebihan. 2) Obyektifitas diri dan penerimaan diri (self objectivity and self acceptance). Penggunaan yang sehat dari prinsip pengetahuan dan kesadaran diri, menurut Schneiders akan mengarah kepada obyektifitas diri dan terutama penerimaan diri dalam menghadapi menopause seorang individu. Keduanya merupakan kualitas tambahan, dimana penyesuaian diri dapat dievaluasi. Perilaku atau pernyataan diri yang adekuat adalah merupakan sikap yang obyektif terhadap keterbatasan diri. Sebaliknya, sikap yang subyektif atau pernyataan subyektif seringkali dimiliki oleh individu yang tergantung dan penyesuaian diri yang tidak baik. Sebagai contoh apabila seorang individu mempunyai rasa rendah diri yang kuat, ia dapat belajar untuk mengenal kualitas dirinya sendiri Universitas Sumatera Utara melalui penilaian diri secara obyektif. Dengan demikian, individu dapat menghindari kesalahan yang dapat merusak nilai dirinya, yang didapatnya dari hubungannya dengan orang lain. Dengan perkataan lain, individu dapat mengukur sejauh mana akibat yang muncul dari perasaan rendah dirinya, yang dalam hal ini merupakan proses untuk menjadi obyektif terhadap dirinya sendiri. Obyektifitas diri akan mengarah pada penerimaan diri, yang didasarkan pada pengetahuan obyektif dan penghargaan diri sendiri secara positif. Ini tidak berarti memanfaatkan kelemahan atau kekurangan yang dimiliki seseorang, karena sikap seperti ini hanya akan menghambat usaha penyesuaian diri yang baik. 3) Kontrol diri dan pengembangan diri (self control and self development). Kontrol diri dalam penyesuaian diri dimaksudkan sebagai kemampuan seorang individu untuk mengarahkan dan mengatur dorongan-dorongan, pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap, dan tingkah laku dalam menghadapi menopause. Kemampuan kontrol diri ini penting bagi penyesuaian diri yang baik, karena kontrol diri adalah bagian dari kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan masyarakatnya/lingkungannya. Dalam arti lain, penyesuaian terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sosial, membutuhkan keselarasan pemikiran, perasaan, dan tingkah laku, dengan patokan yang dapat diterima oleh masyarakat. Apabila individu tidak mampu mengendalikan faktor-faktor yang ada dalam kepribadiannya, maka individu Universitas Sumatera Utara tidak akan berhasil mengatasi persoalan dan masalah yang dihadapinya. Ini berarti, seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah tidak kaku dalam mengontrol reaksi dirinya sendiri dan mampu berempati atau beradaptasi dengan orang lain secara baik dalam mengahadapi menopause. Individu seperti ini, megarahkan tingkah lakunya pada tujuan dan keberhasilan. Di sisi lain, kontrol diri adalah dasar dari pengembangan diri. Hal ini berarti bahwa langkah-langkah pengembangan kepribadian seorang individu diarahkan pada tujuan yang matang (mature). Pengembangan diri dalam hal ini hanya dapat dimengerti dalam tahapan realisasi diri ke arah kematangan, di mana kontrol diri yang kontinyu sangat diperlukan. Kesimpulan dari kriteria yang penting dan spesifik dalam penyesuaian diri yang baik dalam menghadapi menopause, seperti yang telah dikemukakan adalah merupakan dasar dari tindakan individu dalam melakukan penyesuaian diri, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain di lingkungannya yang termanifestasikan dalam perilaku menghadapi menopause. Schneiders (1964) menyatakan : penyesuaian diri berdasarkan klasifikasi atas jenis respon yang ditampilkan mencakup 5 aspek, yaitu (1) penyesuaian diri yang normal (normal adjustments); (2) penyesuaian diri dalam bentuk reaksi pertahanan diri (adjustments by means of defence reaction); (3) penyesuaian diri dengan perilaku menghindar (adjustments by escape and withdrawing); (4) penyesuaian diri dalam bentuk sakit (adjustments by illness); dan (5) penyesuaian diri dalam bentuk agresi (adjustments by aggression). Pedekatan atas jenis respon yang ditampilkan (patterns Universitas Sumatera Utara of adjustment) dalam membahas penyesuaian diri adalah untuk menjelaskan bagaimana seorang individu bereaksi terhadap ancaman, konflik pribadi, frustrasi, serta tuntutan-tuntutan dari lingkungan. Pendekatan ini akan menunjukkan pada jenis respon yang ditampilkan oleh individu untuk menghadapi persoalan, kesulitan, dan tuntutan (ancaman) apapun juga. Sedangkan pendekatan penyesuaian berdasarkan masalah dan situasi yang dihadapi (varieties of adjustment), diartikan sebagai penyesuaian diri yang dilakukan seseorang dalam usahanya mengatasi dan menyelesaikan tuntutan dari dalam diri dan lingkungannya. Penyesuaian diri dalam klasifikasi ini meliputi 6 aspek, yaitu (penyesuaian diri terhadap pribadi/personal; (2) penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial; (3) penyesuaian diri terhadap keluarga dan kerabat; (4) penyesuaian diri terhadap pendidikan; (5) penyesuaian diri terhadap pekerjaan; dan (6) penyesuaian diri terhadap perkawinan. Kedua pendekatan dari penyesuaian diri ini merupakan landasan dasar dari studi tentang penyesuaian diri manusia pada umumnya (human adjustments) yang ditinjau dari sudut pandang situasi (situational context) dari respon-respon individu dalam menghadapi menopause. Artinya, bagaimana respon seorang individu wanita yang mengalami menopause terhadap dirinya sendiri, lingkungan sosialnya, keluarga dan kerabatnya, pendidikannya, pekerjaannya, dan perkawiannya, melalui perilaku dalam menghadapi menopause. Kriteria yang spesifik dari penyesuaian diri yang telah dikemukakan adalah merupakan dasar dari tindakan individu dalam melakukan penyesuaian diri, baik Universitas Sumatera Utara dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya. Sekalipun kriteria yang spesifik dari penyesuaian diri ini dapat dianggap sebagai batasan dari kemampuan penyesuaian diri yang baik, akan tetapi aktualisasinya akan lebih nyata bila dilihat dari karakteristik penyesuaian diri yang normal. Masing-masing lingkungan sosial dimana individu berada, memiliki tuntutan atau kriteria tertentu yang berbeda dan harus dipenuhi agar individu dapat dikatakan telah mampu menyesuaikan diri dengan baik. Misalnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan normal di lingkungan sosial keluarga, seorang individu harus mampu menerima otoritas orangtuanya, dapat membina relasi yang baik antar anggota keluarga, mampu mencapai kemandirian tanpa tergantung pada orangtuanya, mau membantu keluarga dalam mencapai tujuan keluarga, dan sebagainya. Karaktersitik penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964), terdiri atas 7 karakteristik, yaitu : 1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (Absence of Excessive Emotionality). Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan adanya emosi yang relatif tidak berlebihan atau tidak terdapatnya gangguan emosi yang merusak. Individu yang kurang tanggap atau bahkan terlalu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal, akan selalu disertai dengan ketenangan dan kontrol emosi yang baik. Dengan demikian individu mampu mengatasi masalah bagaimanapun sulitnya. Ketiadaan emosi di sini bukan dimaksudkan sebagai suatu keadaan yang abnormal, akan tetapi Universitas Sumatera Utara merupakan lebih sebagai pengontrolan emosi yang positif agar dapat mengatasi tuntutan dan situasi yang dihadapinya dengan berhasil. 2. Tidak terdapat mekanisme pertahanan diri (Absence of Psychological Mechanisms). Dimaksudkan di sini bahwa aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian diri jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. 3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (Absence of The Sense of Personal Frustration). Adanya perasaan frustrasi, akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin berreaksi secara normal terhadap situasi maupun masalah yang dihadapinya. Individu ini akan menghadapi kesulitan dalam mengolah pemikiran, perasaan, motif atau tingkah lakunya secara efisien dalam menghadapi situasi atau masalah. 4. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (Rational Deliberation and Self Direction). Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan, sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Universitas Sumatera Utara 5. Kemampuan untuk belajar (Ability to Learn). Proses penyesuaian diri yang normal selalu dapat ditandai dengan sejumlah pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan cara-cara seorang individu menyelasikan situasi atau ancaman bagi dirinya. Melalui belajar secara kontinyu, individu akan dapat mengembangkan kualitas dirinya serta mampu menghadapi tuntutan dari lingkungannya dalam kehidupan kesehariannya. 6. Pemanfaatan pengalaman (Utilization of Past Experience). Adanya kesediaan individu untuk belajar dari pengalaman dan memanfaatkannya merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri normal. Artinya, dibutuhkan kesediaan seorang individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalamannya, maka ia tidak akan mengalami kesulitan dalam menghadapi suatu situasi yang sama. 7. Sikap-sikap yang realistis dan obyektif (Realistic and Objective Attitudes). Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seorang individu terhadap realitas yang dihadapinya. Sikap yang realistik dan obyektif, didasarkan pada proses belajar. Dalam hal ini, pengalaman masa lalu dan pemikiran-pemikiran yang rasional, memungkinkan seorang individu menilai situasi, masalah ataupun kekurangannya secara obyektif. Oleh karena itu, kegagalan untuk menilai kualitas diri ini, tidak terlepas dari adanya perasaan curiga yang akan mempersulit individu dalam berreaksi secara normal terhadap tuntutan dan situasi yang dihadapinya. Pentingnya faktor kepribadian individu dalam proses penyesuaian diri yang dilakukan seorang individu adalah sangat erat terkait. Hal ini dikarenakan dalam Universitas Sumatera Utara menghadapi tuntutan dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri, individu akan berreaksi dengan caranya sendiri. Adanya keunikan individu inilah yang disebut oleh Adler (1954) sebagai gaya hidup (style of life) dari kepribadian seseorang. Untuk mengerti interaksi individu dengan lingkungannya, para Adlerian (1954) mengemukakan 2 hukum umum dari dinamika kepribadian dalam konteks sosial, yaitu (1) melalui persepsi individu yang unik, dunia ini dapat dimengerti; dan (2) individu tidak melihat dirinya dan melihat dunia seperti kebanyakan orang lain melihatnya. Dari kedua hukum umum dinamika kepribadian individu, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah merupakan produk, perkembangan, dan contoh nilai-nilai (budaya) masyarakatnya/lingkungannya. Akan tetapi, pada saat yang sama individu adalah kreasinya sendiri. Hal ini berarti bahwa individu menjadi unik dalam cara menanggapi, cara mencapai tujuannya, dan arah pergerakannya, yang diselaraskan dengan minat dan kedekatannya dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks inilah, peyesuaian diri menjadi penting dalam kepribadian seorang individu (Agustiani, 2006). Tingkatan kualitas penyesuaian diri individu dalam menjalani masa menopause, dapat dikategorikan ke dalam penyesuaian diri yang berhasil (welladjusted) atau penyesuaian diri yang tidak berhasil (maladjusted). Menurut Schneiders (1964) : “kualitas penyesuaian diri sangat erat kaitannya degan sifat dasar dari penyesuaian diri itu sendiri. Semakin individu memahami perbedaan antara Universitas Sumatera Utara penyesuaian diri yang berhasil dan tidak berhasil dalam menjalani menopause yang dialaminya, semakin pula individu paham akan sifat dasar dari proses penyesuaian diri itu”. Schneiders lebih jauh mengemukakan bahwa perbedaan antara penyesuaian diri yang berhasil dan yang tidak berhasil dalam menjalani menopause adalah terletak pada derajat atau tingkatan penyesuaian diri, dimana hal ini dapat ditentukan oleh kriteria dari respon-respon yang ditampilkan oleh individu. Dengan perkataan lain, semakin respon-respon yang ditampilkan oleh individu memenuhi kriteria yang ditentukan, maka akan semakin besar tingkat penyesuaian dirinya. Secara lebih jelas, kualitas dari penyesuaian diri ditampilkan oleh Schneiders (1964) dalam Gambar 2.2 berikut : PD buruk PD sangat Kurang PD kurang PD sedang PD baik PD sangat Baik Keterangan : PD = Penyesuaian Diri Gambar 2.2 Bagan Kontinum dari Proses Penyesuaian Diri Sumber : Schneiders, 1964 Bagan 2.2 memperlihatkan gambaran dari kontinum proses penyesuaian diri, dari titik ekstrim penyesuaian dirinya (buruk) sampai ke titik sangat baik penyesuaian dirinya. Biasanya, sebagian besar respon-respon individu dalam penyesuaian diri Universitas Sumatera Utara pada masa menopause, cenderung mengelompokkan di bagian tengah kontinum, yaitu antara titik penyesuaian diri sedang dan penyesuaian diri kurang. Individu dikatakan gagal atau tidak berhasil dalam penyesuaian dirinya, yaitu apabila ia tidak mampu untuk mengatasi berbagai konflik yang dihadapi pada masa menopause, sehingga dapat menimbulkan frustasi pada dirinya. Frustasi ini dapat terjadi bila tuntutan hidup sangat membebani individu, karena ia tidak menemukan cara yang sesuai untuk mengatasi masalah tuntutan-tuntutan tadi, maka fungsi penyesuaian diri individu akan menjadi lemah dan berkurang. Keadaan ini, pada akhirnya akan mengganggu efektifitas penyesuaian dirinya. 2.3 Konsep Diri 2.3.1 Pengertian Konsep Diri Untuk membahas pengertian konsep diri secara lebih jelas, terlebih dahulu akan dibahas pengertian diri. Hal ini dikarenakan, konsep diri merupakan salah satu aspek dari diri. Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan : diri dapat didefinisikan sebagai suatu susunan konsep hipotesis yang merujuk pada perangkat kompleks dari karakteristik proses fisik, perilaku, dan kejiwaan dari seseorang. Diri sebagai sebuah konstruk hipotetik diartikan tidak dapat dibuktikan keberadaannya melalui panca indera, tetapi ia ada karena dibutuhkan sebagai suatu kesatuan istilah untuk menggambarkan segala sesuatu yang lain, yang dapat dialami manusia melalui panca Universitas Sumatera Utara inderanya. Manusia memberi sebutan “diri” adalah untuk apa yang diyakininya merupakan kesatuan dari prinsip, yang mempersatukan banyak aspek kepribadiannya. Banyak aspek yang terdapat pada diri merupakan hal yang biasa dalam psikologi. Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan ada 5 aspek dari diri, yaitu : 1. Fisik diri merupakan tubuh dan semua aktifitas biologis yang berlangsung di dalamnya. Meskipun banyak orang mengidentifikasikan diri mereka lebih pada akal pikiran daripada dengan fisik mereka sendiri, tidak dapat disangkal bahwa manakala fisik terancam bahaya atau cedera, maka pengertian diri menjadi terganggu; 2. Diri sebagai proses merupakan suatu aliran akal pikiran, emosi, dan perilaku manusia yang konstan. Apabila manusia mendapat suatu masalah yang membutuhkan tanggapan respon secara emosional, maka manusia membuat suatu perencanaan, seperti misalnya : bagaimana memecahkannya dan melakukan tindakan apa. Semua peristiwa tersebut adalah bagian dari diri sebagai proses; 3. Diri sosial dari akal pikiran dan perilaku yang dilakukan manusia sebagai respon secara umum terhadap orang lain dan masyarakat (Gergen, 1972 dalam Calhoun dan Acocella, 1990). Dalam masyarakatnya, manusia memainkan peran-peran tertentu, misalnya peran ayah, anak, guru, murid, dan sebagainya, dimana manusia mengidentifikasikan dirinya dengan peran-peran tersebut secara kuat. Universitas Sumatera Utara Dengan perkataan lain, satu aspek dari diri dirancang untuk kebutuhan sosial atau umum; 4. Konsep diri merupakan suatu pandangan pribadi yang dimiliki manusia tentang dirinya masing-masing. Masing-masing manusia melukis sebuah gambaran mental tentang dirinya sendiri, dan meskipun gambaran ini mungkin sangat tidak realistis, semua hal tersebut tetap miliknya dan berpengaruh besar pada pemikiran dan perilakunya. Dengan perkataan lain, konsep diri manusia adalah apa yang terlintas dalam pikirannya saat dia berpikir tentang “dirinya”; 5. Cita diri merupakan apa yang manusia inginkan. Aspek cita diri berkaitan dengan aspek konsep diri, dimana cita diri seorang manusia akan menentukan konsep dirinya atau dengan perkataan lain cita diri merupakan faktor penting dari perilaku manusia. Berbagai aspek tentang diri yang telah dikemukakan saling tergantung satu dengan yang lain. Secara bersama mereka menampilkan suatu kesatuan yang utuh dari pegertian diri, dan meski manusia berubah dari situasi yang satu ke situasi yang lain, diri juga memiliki kontinuitas dan kedinamisan. Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai konsep diri. Agustiani (2006) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992), bahwa konsep diri Universitas Sumatera Utara adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Sejalan dengan definisi tersebut Burn (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan, evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita. Demikian juga Arini (2006) menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan-keyakinan yang kita miliki mengenai diri kita sendiri dan hubungannya dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu. Konsep diri juga dapat diartikan sebagai penilaian keseluruhan terhadap penampilan, perilaku, perasaan, sikap-sikap, kemampuan serta sumber daya yang dimiliki seseorang (Sunaryo, 2004). Konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap diri juga dijelaskan dalam definisi konsep diri yang dikemukakan oleh Suryabrata (2005) yaitu bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal, dan sosial. Universitas Sumatera Utara Konsep sikap diri, dari definisi-definisi yang ada, menurut Mar’at (1984) adalah : “terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimasukkan, yaitu (1) adanya suatu keyakinan atau pengetahuan atau komponen kognitif; (2) suatu komponen yang afektif atau emosional; (3) adanya suatu evaluasi; dan (4) suatu kecenderungan untuk merespon (konatif)”. Pengertian konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella (1990), yaitu bahwa konsep diri adalah pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Potret mental ini memiliki 3 dimensi yaitu (1) pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, (2) pengharapan individu terhadap dirinya sendiri, dan (3) penilaian individu tentang dirinya sendiri. Konsep Fitts tentang konsep diri yang digunakan sebagai patokan pengertian konsep diri dalam penelitian ini, mengatakan bahwa : konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi degan lingkungannya. Konsep diri adalah yang dilihat, dihayati, dan dialami seorang individu. Konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Mengetahui konsep diri seorang akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Individu dalam mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, menunjukkan pada suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada di Universitas Sumatera Utara dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu disebut konsep diri. 2.3.2 Pembentukan Konsep Diri Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan, melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan perseptif. Selama periode awal kehidupan, perkembangan konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan bertambahnya usia, pandangan mengenai diri sendiri ini mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor dalam Agustiani, 2006). Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (dalam Calhoun & Acocella, 1995), yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya. 2.3.3 Dimensi-dimensi Konsep Diri Calhoun dan Acocella menjelaskan bahwa konsep diri terdiri atas tiga dimensi yang meliputi: Universitas Sumatera Utara 1. Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi daftar julukan yang menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial, kelompok umur, kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok tertentu lainnya. 2. Pengharapan mengenai diri sendiri yaitu pandangan tentang kemungkinan yang diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa depan. Pengharapan ini merupakan diri ideal 3. Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan mengenai diri seseorang dengan standar dirinya yang akan menghasilkan rasa harga diri yang dapat berarti seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri. Fitts (1971) menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan, serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya Fitts membagi konsep diri ke dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu : 1. Dimensi internal yang terdiri dari : a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self) b. Diri sebagai perilaku (behavior self) c. Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self) Universitas Sumatera Utara 2. Dimensi eksternal yang terdiri dari : a. Diri fisik (physical self) b. Diri moral-etik (moral-ethical self) c. Diri personal (personal self) d. Diri keluarga (family self) e. Diri sosial (social self) Kesemua dimensi diri dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu persatu. Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas 3 (tiga) bentuk, yaitu : 1. Diri Identitas (Identity Self) Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan “siapakah saya?”, dimana didalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya “saya Isyanti“ dan kemudian sejalan dengan Universitas Sumatera Utara bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri sehingga individu tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti: “saya Isyanti”, “saya seorang ibu dari tiga orang anak”, “saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri”, dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari identitas diri akan memengaruhi cara individu mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia berfungsi. Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai perilaku. Identitas diri sangat memengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai perilaku. Sejak kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu. 2. Diri Perilaku (Behavioral Self) Diri perilaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah lakunya. Diri perilaku berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan Universitas Sumatera Utara menerima baik dirinya, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai perilaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai. 3. Diri Pengamat/Penilai (Judging Self) Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar serta pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dengan diri perilaku. Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif. Diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen Universitas Sumatera Utara utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri. Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standar ini dapat berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya. Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan dari orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karea itu, walaupun harga diri (self esteem) merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri. Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) dalam konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh. Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut Fitts (1971) dengan dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun yang dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi Universitas Sumatera Utara semua orang. Bagian-bagian dimensi eksteral ini dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk, yaitu: a. Diri Fisik (Physical Self) Diri fisik menyakut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus). b. Diri Moral-Etik (Moral-Ethical Self) Diri moral merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya sendiri, yang dilihat dari standar pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk. c. Diri Pribadi (Personal Self) Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana seorang individu merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. d. Diri Keluarga (Family Self) Diri keluarga menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu dalam kedudukanya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan Universitas Sumatera Utara seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga. e. Diri Sosial (Social Self) Diri sosial merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa adanya tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik. Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagain dan antar bagian pada dimensi internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan dalam konsep diri. Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri maupun degan individu-individu yang lain. Universitas Sumatera Utara 2.3.4 Sumber Informasi untuk Konsep Diri Calhoun dan Acocella (1990) mengungkapkan ada beberapa sumber informasi untuk konsep diri seseorang, yaitu: 1. Orang Tua Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami dan yang paling berpengaruh. Orang tua sangat penting bagi seorang anak, sehingga apa yang mereka komunikasikan akan lebih berpengaruh daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orang tua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri anak. Orang tua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan anak bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian tersebut akan terus terbawa sampai anak menjadi dewasa. 2. Teman Sebaya Setelah orang tua, kelompok teman sebaya juga cukup memengaruhi konsep diri individu. Penerimaan maupun penolakan kelompok teman sebaya terhadap seorang anak akan berpengaruh pada konsep diri anak tersebut. Peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya dapat memberi pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya sendiri dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang dimilikinya akan cenderung terus berlangsung dalam hubungan sosial ketika ia dewasa. Universitas Sumatera Utara 3. Masyarakat Sama seperti orang tua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu individu bagaimana mendefinisikan diri sendiri. Penilaian dan pengharapan masyarakat terhadap individu dapat masuk ke dalam konsep diri individu dan individu akan berperilaku sesuai dengan pengharapan tersebut. 4. Belajar Konsep diri merupakan hasil belajar. Belajar dapat didefenisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri seseorang sebagai akibat dari pengalaman. Dalam memperlajari konsep diri, terdapat tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan, yaitu: asosiasi, ganjaran dan motivasi. 2.3.5 Jenis-jenis Konsep Diri Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. 1. Konsep Diri Positif Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi Universitas Sumatera Utara terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuantujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan. 2. Konsep Diri Negatif Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu: a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya. b. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. 2.4 Landasan Teori Pengamatan manusia terhadap dirinya sendiri mengantarkannya pada gambaran dan penilaian dirinya. Inilah yang disebut konsep diri. Jadi, konsep diri Universitas Sumatera Utara meliputi apa yang manusia pikirkan dan rasakan tentang dirinya. Tegasnya, konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian manusia tentang dirinya sendiri. Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi, menurut Fitts (1971) adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memehami manusia dan tingkah lakunya serta merupakan sesuatu yang dipelajari manusia melalui komunikasi dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan nyata di sekitarnya. Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi atau bergaul dengan lingkungannya. Taylor et al. (1977) sependapat dengan Fitts, yang mendefinisikan konsep diri sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan individu tentang dirinya, yang meliputi keseluruhan kepercayaan dan sikap-sikap yang diyakini tentang dirinya. Persepktif yang senada dengan Fitts juga dikemukakan oleh Rogers (1959), dimana Fitts maupun Rogers menganggap bahwa : diri seorang individu adalah sebagai obyek yang sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan, serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai yang diperolehnya melalui komunikasi yang dilakukannya, inilah yang disebut konsep diri. Kondisi menopause akan membawa banyak pengaruh pada diri manusia. Hurlock (1996) menyatakan bahwa keadaan fisik yang terganggu akan berpengaruh pula terhadap self dalam arti ini konsep diri seseorang. Pengaruh yang muncul bisa Universitas Sumatera Utara langsung (misalnya rasa sakit) dan tidak langsung (misalnya bagaimana persepsi dan sikap orang lain terhadap dirinya). Pengaruh dari keadaan menopause pada seseorang, secara khusus tidak selalu sama pada setiap individu, karena besar kecilnya pengaruh yang dirasakan adalah sangat tergantung dari persepsi individu tentang dirinya. Dalam arti, persepsi tentang dirinya dan pandangan individu lain terhadap dirinya, berpengaruh terhadap penyesuian diri yang dilakukannya. Sebagai contoh, bila individu mengalami menopause mempunyai kosep diri yang positif maka ia akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan menopause yang sedang dialaminya. Akan tetapi, ia bisa mempersepsikan sebaliknya bila konsep diri individu negatif maka ia akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan menopause yang dialaminya. Bisa jadi, ia merasa rendah diri, tidak menarik, tidak cantik dan tidak bugar lagi serta menganggap dirinya berbeda dengan orang lain secara fisik. Perasaan ini pada akhirnya akan menjadi hambatan bagi dirinya untuk dapat bergaul secara luas degan orang-orang di sekitarnya, bahkan lebih parah lagi dapat menimbulkan ancaman atau stress pada dirinya. Penyesuaian diri dalam perspektif psikologi kerap digunakan terutama untuk menekankan pada unsur individu serta bagaimana individu mengatur hidupnya. Schneiders (1964) medefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi dan menguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik dan frustrasi yang dialaminya. Tujuan dari usaha ini adalah untuk memperoleh Universitas Sumatera Utara keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Setiap individu akan berreaksi berbeda dalam menghadapi suatu situasi, ini tergantung pada proses persepsi melalui penyesuaian diri yang dilakukannya. Seorang individu mungkin dapat berreaksi tanpa adanya beban terhadap menopause, akan tetapi individu yang lainnya mungkin menganggapnya sebagai situasi yang membebaninya (mengancam). Perbedaan ini dapat terjadi tergantung pada bagaimana cara seorang individu mempersepsikan, menilai, dan mengevaluasi situasi yang dihadapinya, yang diperolehnya melalui penyesuaian diri yang dilakukannya. Pembahasan dinamika konsep diri menurut Schneiders (1964) memperlihatkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh setiap individu memiliki peranan yang sangat besar. Ini dikarenakan, bagaimana seorang individu menilai dirinya secara positif, juga sama pentingnya dengan bagaimana ia menerima realitas secara objektif dalam proses penyesuaian diri. Jadi, konsep diri yang positif menghasilkan penyesuaian diri yang berhasil dan adekuat. Timbulnya rasa rendah diri, tidak menarik, tidak bugar, dan tidak cantik, terancam, dan tidak berdaya pada manusia yang mangalami menopause adalah tergantung dari bagaimana individu tersebut mempersepsikan masa menopause melaui penyesuaian diri yang dilakukannya. Universitas Sumatera Utara 2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori yang dikemukakan di atas, kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut : Variabel Independen Konsep Diri : a. Diri Internal - Diri Identitas - Diri Perilaku - Diri Pengamat b. Diri Eksternal - Diri Fisik - Diri Moral Etik - Diri Personal - Diri Keluarga - Diri Sosial Variabel Dependen Penyesuaian Diri pada Masa Menopause Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara