PDF RITA - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil-Transmitted Helminths
Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths
(STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan
tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Terdapat empat
jenis STH yang paling sering ditemukan, yaitu cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang atau
hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Serra, 2011).
2.1.1 Cacing gelang (A. lumbricoides)
Cacing gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah
tropis dan sub tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang
dewasa habitatnya terdapat di usus halus manusia dan stadium larvanya
mengalami migrasi ke paru-paru. Cacing dewasa berbentuk silindris
memanjang berwarna krem keputihan dengan panjang dapat mencapai 40 cm.
Ukuran cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan cacing jantan
15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. Umur yang normal dari cacing dewasa
adalah 12 bulan, paling lama bisa lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat
memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan
telur yang tidak dibuahi. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap
bertahan hidup selama bertahun-tahun (Pacifico, 2001).
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di
dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi
telur yang infektif (mengandung larva cacing) dalam waktu 2-3 minggu.
Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut, di
dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat
keluar untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan masuk ke vena
porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung,
paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa
migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva cacing menuju
Universitas Sumatera Utara
6
bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, esofagus, turun
ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva akan
tumbuh menjadi cacing dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur yang
infektif), seekor cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2008).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
2.1.2 Cacing cambuk (T. trichiura)
Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang
merupakan tiga perlima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali cambuk,
sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan
cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor
melengkung ke arah ventral, mempunyai satu spikulum yang terselubung
refraktil. Cacing betina panjangnya 5 cm dengan bagian caudal membulat
tumpul seperti koma. Telur berwarna coklat mirip biji melon, berukuran sekitar
50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih yang menonjol (Pacifico, 2001).
Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur yang infektif sesudah telur
mengalami pematangan di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Di dalam usus halus
Universitas Sumatera Utara
7
dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang
menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus
terutama di daerah sekum dan kolon dengan membenamkan kepalanya di
dalam dinding usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut,
cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat
hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Serra, 2011).
Gambar 2.2. Siklus Hidup Trichuris trichiura
2.1.3 Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus)
Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing
betina panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm,
mempunyai bursa kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi telurnya
mirip antara satu spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong tidak
berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan
berisi embrio (Soedarto, 2008).
Universitas Sumatera Utara
8
Dalam siklus hidupnya cacing tambang mempunyai dua stadium larva,
yaitu larva rhabditiform (tidak infektif), bentuk tubuhnya agak gemuk dengan
panjang sekitar 250 mikron, dan larva filariform (infektif) yang berbentuk
langsing dengan panjang tubuhnya sekitar 600 mikron. Telur yang keluar
bersama tinja penderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di tanah menjadi
larva rhabditiform.
rhabditiform. Sesudah berganti kulit sebanyak 2 kali, dalam waktu satu
minggu akan berkembang menjadi larva filariform. Larva filariform dapat
tahan di tanah selama 7-8 minggu. Jika larva filariform menembus kulit
manusia, memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah,
masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva
menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli, kemudian migrasi ke
bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya tertelan masuk ke esofagus. Larva
filariform A.duodenale jika tertelan juga dapat menyebabkan infeksi. Di
esofagus larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya. Migrasi ini
berlangsung sekitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti
kulit untuk yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam
waktu satu bulan cacing betina sudah mampu bertelur (Pacifico, 2001).
Gambar 2.3. Siklus Hidup Cacing Tambang
Universitas Sumatera Utara
9
2.2 Epidemiologi
Cacing STH tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, terutama di
daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan di negara berkembang. Intensitas
infeksi merupakan indeks epidemiologi yang menggambarkan infeksi STH,
karena morbiditas dan penularan cacing ini berhubungan langsung dengan
jumlah cacing di dalam tubuh manusia. Intensitas infeksi terbesar didapatkan
pada anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah. Hal ini karena anak-anak
tersebut terpapar dengan banyak faktor resiko. Beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan tingginya infeksi STH adalah kondisi geografis yang
sesuai untuk perkembangan cacing, fasilitas jamban yang belum memadai,
higiene pribadi yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan, status sosial
ekonomi yang lemah (Serra, 2011).
2.2.1 Kondisi Geografis
Kondisi geografis yang sesuai untuk perkembangan cacing STH
meliputi iklim dan kondisi tanah (Suriptiastuti, 2006).
a. Iklim
Faktor iklim yang terdiri dari temperatur, curah hujan, cahaya matahari,
dan angin, merupakan faktor utama dari penyebaran infeksi STH. Temperatur
sangat penting untuk cacing ini melanjutkan siklus hidupnya, setiap jenis
cacing mempunyai temperatur optimum yang berbeda. Untuk perkembangan
telur A. lumbricoides memerlukan temperatur 200C-250C, T. trichiura
memerlukan temperatur 300C, dan cacing tambang antara 280C-320C. Curah
hujan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Cahaya matahari berperan
dalam memberikan panas, terutama terhadap telur dan larva yang ada pada
permukaan tanah. Angin berperan dalam mempercepat proses pengeringan dan
penyebaran telur-telur cacing yang infektif melalui debu (Serra, 2011).
b. Tanah
Jenis tanah merupakan faktor yang mempengaruhi epidemiologi STH
yang berperan sebagai penunjang perkembangan dan penyebaran cacing, yaitu
terdiri dari pasir, lumpur, dan tanah liat. Ketiga jenis tanah ini dibedakan
Universitas Sumatera Utara
10
berdasarkan diameter partikelnya dan kelembaban yang ditimbulkan atau
jumlah air yang diperlukan untuk membuatnya lembab. Untuk perkembangan
telurnya, A. lumbricoides dan T. trichiura memerlukan tanah yang liat, lembab,
dan terlindung dari cahaya matahari. Kondisi tanah yang paling sesuai dan
menguntungkan bagi pertumbuhan larva cacing tambang adalah tanah berpasir,
gembur, berhumus dan terlindung dari cahaya matahari langsung, karena larva
cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Karakteristik lainnya
dari ketiga jenis tanah yang juga menguntungkan pertumbuhan dan
perkembangan telur cacing adalah berat jenis masing-masing jenis tanah, pasir
memiliki berat jenis paling besar dibandingkan dengan lumpur dan tanah liat
dan pasir akan tenggelam di air, oleh karena itu pasir ditemukan didasar sungai.
Lumpur memiliki berat jenis sama dengan air, maka lumpur akan melayanglayang di air, sedangkan tanah liat memiliki berat jenis lebih kecil daripada air
dan tanah liat terdapat di lapisan atas air sungai. Berat jenis telur A.
lumbricoides dan T. trichiura sama dengan berat jenis air, oleh karena itu
apabila telur-telur cacing tersebut jatuh ke dalam sungai akan bersama-sama
dengan lumpur dan keadaan seperti itu akan melindungi telur-telur tersebut dari
sinar matahari. Jenis tanah pasir akan sangat menguntungkan telur cacing
tambang, sedangkan jenis tanah lumpur sangat menguntungkan telur
A.lumbricoides dan T. Trichiura. Kelembaban merupakan faktor penting untuk
mempertahankan hidup cacing. Bila kelembaban rendah maka telur A.
lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik, dan larva
cacing tambang akan cepat mati. Kelembaban tanah tergantung pada besarnya
curah hujan (Suriptiastuti, 2006).
Pencemaran tanah oleh STH ditandai dengan adanya telur/larva STH
pada tanah permukaan. Dengan indikasi tanah tersebut telah tercemar oleh
kotoran manusia yang terinfeksi STH. Hal ini erat kaitannya dengan
ketersediaan jamban keluarga. Di daerah endemis cacing, pencemaran tanah
oleh STH umumnya meliputi telur A.lumbricoides dan telur T.trichiura, dan
larva cacing tambang. Lingkungan rumah tangga yang berpotensi tercemar
telur STH meliputi bagian dalam rumah (dapur, ruang keluarga, kamar mandi),
teras atau halaman, kebun, tempat mencuci, area pembuangan limbah, sekitar
Universitas Sumatera Utara
11
jamban, di bawah pohon, jalan kecil/gang, dan lapangan yang berumput.
Singkatnya tempat-tempat dimana manusia biasanya berkumpul dan tempat
dimana manusia buang air besar akan berpotensi tinggi tercemar (Gyoten,
2010).
Tanah yang tercemar telur/larva STH dapat terbawa jauh karena
menempel pada kaki atau alas kaki, juga melalui debu yang terbawa angin.
Tanah pekarangan rumah maupun sekolah yang tercemar telur/larva cacing
akan menjadi sumber penularan infeksi STH terutama pada anak-anak karena
anak usia sekolah memiliki frekuensi bermain yang relatif tinggi baik di
sekolah, di rumah, dan di kebun. Anak-anak dipedesaan lazimnya bermain
bersama-sama. Perilaku bermain anak-anak sering tidak bisa dilepaskan dari
terjadinya kontak dengan tanah (Ziegelbauer, 2012).
Terdapat hubungan yang konsisten antara infeksi dan pencemaran tanah
pada askariasis dan trichuriasis, sehingga pemeriksaan telur A.lumbricoides
dan T.trichiura akan bermanfaat untuk memprediksi infeksi ini pada anggota
keluarga. Hubungan antara rasio pencemaran tanah oleh telur STH dengan
prevalensi kecacingan adalah signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan
tingkat pencemaran tanah oleh telur STH merupakan refleksi status infeksi
cacing pada masyarakat (Gyoten, 2010).
2.2.2 Fasilitas Jamban Yang Belum Memadai
Fasilitas jamban dapat mengurangi setengah resiko terinfeksi oleh STH.
Ziegelbauer (2012) menemukan bahwa ketersediaan dan penggunaan jamban
berhubungan signifikan terhadap pencegahan infeksi STH yaitu odds ratio
(OR) = 0,51 (95% CI= 0,44–0,61). Dibandingkan dengan orang tanpa akses ke
jamban, kesempatan terinfeksi STH orang-orang yang memiliki akses ke
jamban adalah 0,49. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan orang-orang
yang menggunakan jamban lebih kecil untuk terinfeksi parasit cacing.
Penyediaan sarana pembuangan tinja masyarakat tidaklah mudah, karena
menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya
dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Pembuangan
tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan
Universitas Sumatera Utara
12
yang banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai
media bibit penyakit. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Jamban keluarga adalah suatu
bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia
yang lazim disebut kakus atau WC. Pemanfaatan jamban keluarga sangat
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Tujuan
program JAGA (jamban keluarga) yaitu tidak membuang tinja ditempat
terbuka melainkan membangun jamban untuk diri sendiri dan keluarga.
Penggunaan jamban yang baik adalah kotoran yang masuk hendaknya disiram
dengan air yang cukup, hal ini selalu dikerjakan sehabis buang air besar
sehingga kotoran tidak tampak lagi. Secara periodik, leher angsa dan lantai
jamban digunakan dan dipelihara dengan baik, sedangkan pada jamban
cemplung lubang harus selalu ditutup jika jamban tidak digunakan lagi agar
tidak kemasukan benda-benda lain. Umar (2006) menyatakan bahwa perilaku
buang air besar tidak di jamban menyebabkan pencemaran tanah dan
lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing yang dapat menginfeksi anakanak karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan
yang terkontaminasi telur cacing.
2.2.3 Higiene Pribadi Yang Buruk
Higiene perorangan atau usaha kesehatan pribadi merupakan upaya dari
seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri,
yang meliputi: memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang
teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari
terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi
rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat, dan pemeriksaan kesehatan
(Entjang, 2001). Menurut WHO (2008) higiene adalah merupakan praktek atau
tindakan untuk menjaga diri dan lingkungan seseorang agar tetap bersih dan
bebas dari resiko infeksi. Ada banyak praktek higiene yang dapat membantu
mencegah penyakit, salah satunya yang terbukti efektif dan efisien di negara
berkembang adalah cuci tangan pakai sabun.
Universitas Sumatera Utara
13
Ada beberapa aspek higiene pribadi yang berhubungan dengan infeksi
STH seperti mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air
besar, buang air besar di jamban, kebersihan kuku, dan memakai alas kaki.
Mencuci tangan menggunakan air dan sabun memiliki peran yang penting
dalam pencegahan infeksi STH. Tangan adalah merupakan vektor yang dapat
membawa agan penyakit dari satu orang ke orang lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tangan yang telah kontak dengan feses, tanah, atau
makanan yang tercemar dan tidak dicuci dengan bersih dapat membawa telur
cacing (WHO, 2008). Mencuci tangan dengan air saja lebih umum dilakukan,
namun hal ini terbukti tidak efektif dalam menjaga kesehatan dibandingkan
dengan mencuci tangan dengan sabun. Penggunaan sabun menjadi efektif
karena meningkatkan waktu kontak kedua tangan, memfasilitasi gesekan, dan
memecah lemak dan kotoran sehingga lemak dan kotoran yang menempel akan
terlepas saat tangan digosok dan bergesekan pada waktu mencuci tangan. Di
dalam lemak dan kotoran yang menempel di tangan inilah kuman penyakit
hidup. Transmisi STH dapat dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun
oleh karena dapat memindahkan secara mekanis debu, tanah, atau kotoran yang
mengandung telur cacing dari tangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara mencuci tangan pakai sabun biasa dengan mencuci tangan pakai sabun
anti septik. Hal ini karena patogen lepas dari tangan oleh sabun dan air, bukan
karena aktifitas antiseptik yang mematikan kuman (Luby, 2005).
Pada anak-anak infeksi sering terjadi melalui tangan yang tercemar telur
yang infektif karena anak-anak suka memasukkan jari-jari ke dalam mulut,
atau makan tanpa mencuci tangan. Transmisi STH pada manusia melalui
tangan atau kuku jari yang kotor mengandung telur cacing (Sofiana, 2011).
Manusia yang terinfeksi STH akan mengeluarkan telur cacing bersama
fesesnya sehingga di daerah dimana masyarakatnya lazim buang air besar di
tempat terbuka seperti di sungai, selokan air, di bawah pohon dan di sekitar
rumah pada anak-anak, maka akan mencemari lingkungan dan pada kondisi
yang sesuai telur cacing tersebut akan berkembang menjadi bentuk infektif.
Infeksi terjadi bila tertelan telur yang infektif melalui makanan atau minuman,
seperti makan sayur mentah yang tidak dicuci bersih, tidak mencuci tangan
Universitas Sumatera Utara
14
setelah memegang tanah yang tercemar telur cacing, atau pada infeksi cacing
tambang terjadi saat larva filariform menembus kulit manusia yang tidak
memakai alas kaki (Ziegelbauer, 2012).
2.2.4 Rendahnya Tingkat Pendidikan
Pendidikan orang tua terutama ibu adalah faktor penting yang
mempengaruhi infeksi parasit usus pada anak-anak. Ibu yang berpendidikan
akan lebih peduli atau memperhatikan pentingnya sanitasi dan kebersihan,
sehingga bisa menerapkan higiene yang baik pada anak-anaknya yang
berdampak pada menurunnya prevalensi infeksi parasit usus. Anak-anak yang
dibesarkan ibu dengan pendidikan minimal SMA memiliki prevalensi parasit
usus lebih rendah (17,1%) dibandingkan dengan ibu yang tidak berpendidikan
atau berpendidikan lebih rendah (59,8%) (Chaudry, 2004).
2.2.5 Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor resiko infeksi
parasit usus. Dampak status sosial ekonomi yang rendah terhadap resiko
penyakit infeksi secara umum, dimana infeksi parasit merupakan bagiannya
adalah kompleks dan berkontribusi dengan beberapa faktor lain seperti
minimnya fasilitas air bersih, higiene lingkungan yang buruk, rendahnya akses
pendidikan dan kondisi tempat tinggal yang padat (Mehraj, 2008).
2.3 Gejala klinik
Gejala klinik dari infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang
berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut
serta kronik akibat dari cacing dewasa berada di saluran pencernaan (Bethony,
2006).
2.3.1 Migrasi larva
Migrasi larva STH dapat menimbulkan reaksi pada jaringan yang
dilalui. Larva ascaris yang melalui paru-paru dapat menimbulkan reaksi
Universitas Sumatera Utara
15
hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat
menyebabkan gejala seperti asma, misalnya batuk, demam, dan sesak nafas.
Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik granuloma
pada jaringan paru yang dikenal dengan sindrom Loffler’s, dan hipersensitifitas
lokal menyebabkan peningkatan sekresi mukus, inflamasi bronkiolar, dan
eksudat serosa. Larva yang mati saat migrasi menimbulkan vaskulitis dengan
reaksi granuloma perivaskuler. Larva filariform cacing tambang saat penetrasi
menembus kulit menyebabkan perubahan pada kulit seperti pruritus dan
eritema yang disebut Ground itch. Bila larva cacing tambang masuk secara oral
dapat mengakibatkan nausea, muntah, iritasi faring, batuk, sesak nafas, dan
suara serak (Bethony, 2006).
2.3.2 Parasit di intestinal
Manifestasi klinik akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal
umumnya terjadi bila intensitas infeksinya sedang dan berat, dengan intensitas
infeksi yang paling tinggi pada anak-anak (Suriptiastuti, 2006).
Cacing dewasa A.lumbricoides dalam jumlah yang besar di usus halus
dapat menyebabkan distensi abdomen dan rasa sakit, juga dapat membentuk
bolus yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal. Juga dapat menyebabkan
intoleransi laktosa, malabsorpsi vitamin A, dan menghisap karbohidrat dan
protein yang berpengaruh pada gangguan nutrisi dan pertumbuhan. Migrasi
cacing dewasa dari duodenum ke saluran empedu bisa menyebabkan kolik
empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, abses hepar, migrasi ke saluran
appendiks menyebabkan appendiksitis (Soedarto, 2008).
Cacing cambuk dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan
trauma dan kerusakan pada jaringan usus sehingga sering terjadi infeksi
sekunder dengan parasit usus lainnya seperti Entamoeba histolityca, Shigella.
Pada infeksi berat akan timbul gejala berupa anemia, diare berdarah, nyeri
perut, mual dan muntah, berat badan menurun, kadang terjadi prolaps rectum.
Kelainan akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah yang
disebabkan invasi ke mukosa dan sub mukosa usus halus. Hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
16
terjadinya anemia defisiensi besi, daya kognitif yang menurun, dan malnutrisi
protein (Bethony, 2006).
2.4 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur, atau larva, atau cacing
dewasa dalam feses (Soedarto, 2008)
2.5 Pencegahan dan pemberantasan
Secara garis besar dapat dilakukan dengan tiga intervensi untuk
mengendalikan infeksi STH, yaitu pemberian obat antelmintik, sanitasi dan
pendidikan kesehatan (Serra, 2011). Tujuan pemberian obat antelmintik adalah
mengurangi kesakitan dengan menurunkan gangguan akibat infeksi STH dan
memutuskan rantai penularan. Pemberian obat berulang kali secara teratur
dengan interval tertentu pada kelompok resiko tinggi mampu menurunkan
angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Anak
usia pra sekolah (1-5 tahun) dan anak usia sekolah (5-15 tahun) merupakan
kelompok resiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas yang
tinggi. Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di
masyarakat adalah benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, atau
pyrantel pamoate (Kappagoda, 2011). Sanitasi atau fasilitas jamban bertujuan
untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi
air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan
infeksi STH, tetapi agar efektif harus mencakup populasi yang luas dan
memerlukan waktu bertahun-tahun serta memerlukan biaya yang tidak sedikit
(Serra, 2011) . Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan
terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Dengan
pendidikan kesehatan diharapkan dapat mengurangi kontaminasi STH dengan
tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan.
Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar tidak di jamban, pengobatan secara
teratur tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi STH, hal ini karena
setelah keberhasilan pengobatan akan terjadi lagi reinfeksi (Ziegelbauer, 2012).
Universitas Sumatera Utara
17
2.6 Kerangka Konsep
Higiene Perorangan
Cuci tangan sebelum makan
CTPS sebelum makan
Cuci tangan setelah main tanah
CTPS setelah main tanah
Infeksi STH
Main di tanah
Memakai alas kaki
Makan jajanan/makanan waktu main
di tanah
Menghisap jari/gigit kuku
Kuku pendek dan bersih
BAB di wc
Keterangan:
CTPS : Cuci tangan pakai sabun
BAB : Buang air besar
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download