16 TINJAUAN PUSTAKA Lerak (Sapindus rarak

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Lerak (Sapindus rarak)
Lerak (S. rarak) merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara
yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim,
dari daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 450-1500 m dari
permukaan laut. Menurut Afriastini (1990), bahwa lerak (S. rarak) diklasifikasikan
sebagai berikut.
Taksonomi tanaman lerak yaitu:
Divisi
Sub divisi
Kelas
Sub kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis
:
:
:
:
:
:
:
:
Spermatophyta
Angiospermae
Dicotyledons
Rosidae
Sapindales
Sapindaceae
S a p in d u s
Sapindus mukorossi
Gambar 1. Buah Tanaman Lerak (Plantus, 2008)
Bentuk daun lerak bundar telur, perbungaan majemuk, malai, terdapat di
ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng kalau sudah tua
atau masak, warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat,
bijinya bundar berwarna hitam. Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi
(Plantus, 2008).
Pengujian secara kualitatif senyawa yang terdapat pada daging buah
diantaranya adalah triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan
minyak atsiri (Sunaryadi, 1999). Wina et al. (2005) menyatakan bahwa kulit buah,
biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit
buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak
mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah
senyawa–senyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen.
16
Saponin
Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama
yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002).
Saponin yang merupakan suatu glikosida banyak terdapat pada beberapa tanaman. Saponin
ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan
dipengaruhi oleh varietas dan tahap pertumbuhan. Sifat yang khas dari saponin antara lain
berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang
berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun
bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat anti eksudatif dan mempunyai sifat anti
inflamatori. Beberapa jenis saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu
menjadi penting dan dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan
baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson,
1995).
Saponin sebagian besar terkandung dalam tanaman, namun saponin juga terkandung
dalam beberapa jenis hewan seperti sea cucumber. Saponin yang terkandung dalam tanaman
banyak ditemukan pada bagian akar, umbi, kulit pohon, biji dan buah. Mayoritas saponin
yang terdapat di alam terutama pada tumbuhan jenis saponin triterpen. Saponin terdapat pada
berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Saponin juga banyak
ditemukan dalam tanaman yang digunakan sebagai hijauan pakan ternak ruminansia dan jenis
tanaman lain yang berpotensi sebagai macam spesies Sapindus (Wina et al., 2005).
Spesies tanaman Sapindus seperti Sapindus saponaria, S. rarak, S. emarginatus, S.
drummonii dan S. delavay pada umumnya mempunyai kandungan saponin yang tinggi. Salah
satu jenis Sapindus yang mempunyai kandungan saponin tinggi dan dapat dimanfaatkan
sebagai imbuhan pakan pada ruminansia adalah S. rarak (lerak). Buah dalam bentuk hasil
ekstraksi dengan metanol telah dilaporkan mengandung saponin dengan kadar tinggi daripada
buahnya yang tanpa diekstrak (Thalib, 2004), hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Suharti et al. (2009) yang menggunakan buah lerak (S. rarak) yang diekstraksi dengan air
pada konsentrasi 3 dan 5% kandungan saponinnya dan buah lerak yang diekstraksi dengan
metanol dengan kandungan saponin 81,5%. Buah lerak dalam ekstraksi metanol dapat
mematikan hampir seluruh populasi protozoa uji dalam waktu 30 menit, sedangkan pada
konsentrasi 3% ekstrak air tepung lerak dapat menurunkan populasi protozoa sampai 89%.
Namun demikian, ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% sudah efektif mematikan
hampir seluruh protozoa pada waktu 60 menit, hal ini membuktikan bahwa lerak dalam
bentuk ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% dapat dijadikan agen defaunasi pada
protozoa rumen. Menurut Sunaryadi (1999) mengandung saponin total hasil ekstraksi
tanaman lerak banyak terdapat di bagian daging buah yaitu sekitar 48,87%.
Pengaruh Saponin terhadap Sistem Rumen
Pemanfaatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah mulai
berkembang sebagai alternatif penggunaan bahan-bahan kimia industri/sintetik untuk
menekan populasi protozoa dalam rumen (Thalib, 2004). Saponin mempunyai pengaruh yang
lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia.
Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi
pakan dan kesehatan ternak. Saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan
menurunkan degradabilitas protein dalam rumen. Penurunan degradasi protein dalam rumen
dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-tanin yang sedikit tercerna dan terkait
dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi yang menyebabkan penurunan total
populasi prozoa rumen. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan
terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa,
menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel
eukariotik (termasuk protozoa) dan tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik,
memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai
daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan
karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin,
bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut yang
menghilangkan rantai karbohidtrat (Suparjo, 2008).
Secara kimia saponin memiliki diversifikasi struktur yang luas dan senyawa-senyawa
saponin tertentu dengan sifat surfaktannya dapat menyebabkan terjadinya lisis pada dinding
sel protozoa, dengan demikian dapat digunakan untuk defaunasi protozoa. Penelitian Thalib
(2004) menyatakan bahwa ekstrak buah Sapindus rarak digunakan untuk menghambat
produksi gas CH4, dan efektivitasnya sebagai inhibitor metanogenesis
Mikroba Rumen
Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis mikroorganisme
anaerob yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus. Penghuni
rumen yang fungsional paling penting adalah bakteri, dalam 1 ml cairan rumen terkandung
109 sampai 1010 sel dan merupakan 5-10% masa kering isi perut besar (Schlegel, 1994).
Jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit bila dibanding dengan jumlah bakteri yaitu
sekitar 106 sel/ml. Ukuran tubuhnya lebih besar dengan panjang tubuh berkisar antara 20-200
mikron, oleh karena biomassa total dari protozoa hampir sama dengan biomassa total bakteri
(McDonald et al., 2002).
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen
adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan
potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Pola pertumbuhan bakteri dan protozoa rumen
dipengaruhi oleh pola fermentasi yang ditunjukkan oleh proporsi molar VFA dan pH rumen.
Perkembangan populasi mikroba rumen terutama bakteri rumen akan dibatasi oleh kadar
amonia, karena amonia sangat diperlukan oleh bakteri sebagai sumber N untuk membangun
selnya dan sifat predasi dari protozoa (Preston dan Leng, 1987).
Kekurangan mineral sulfur (S) dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan
mikroba terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Indikasi
kebutuhan mineral fospor (P) untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba
rumen. Kalsium dan magnesium diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996).
Protozoa Rumen
Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah lebih
sedikit jika dibandingkan dengan bakteri yaitu sekitar 1 juta/ml (McDonal et al., 2002). Pada
ruminansia, protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen dan membantu pencernaan
zat–zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar. Protozoa jenis Holotrica
terutama memecah gula terlarut seperti glukosa, maltosa, sukrosa dan pati terlarut dan
melepaskan asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO2, H2 dan amilopektin. Amilopektin
sebagai simpanan energi bagi protozoa digunakan apabila substrat dalam lingkungan rumen
berkurang.
Keadaan kelaparan atau kekurangan makanan jangka lama merupakan faktor utama
penyebab berkurangannya jumlah protozoa secara drastis. Protozoa mempunyai kemampuan
sangat kecil untuk mensintesa asam amino dan vitamin B kompleks. Protozoa memperoleh
dua golongan zat makanan tersebut dari bakteri dan dapat menghidrogenasi asam–asam
lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Arora, 1989). Sebagian besar protozoa memakan
bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein
protozoa, bersama dengan itu memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta
rumen.
Protozoa berpengaruh pada pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikelpartikel pati yang menyebabkan kadar VFA rendah dan menyebabkan perubahan rasio butirat
dan propionat juga berubah (Arora, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi populasi
protozoa adalah jenis pakan, bangsa ternak, konsentrasi NH3, VFA rumen, pH rumen dan
sintesis pemberian pakan (Arora, 1989) dan frekuensi pemberian pakan (Dehority 2001).
Suharti et al. (2009) menyatakan bahwa buah biji lerak yang diekstrasikan dengan
metanol mengandung senyawa aktif saponin yang sangat tinggi yaitu sebesar 81,5% BK.
Senyawa saponin diketahui dapat memodifikasi mikroba rumen dengan menekan
pertumbuhan protozoa (defaunasi) secara parsial. Pemberian ekstrak lerak 200 mg/kg BB
pada sapi potong yang mendapatkan ransum hijauan tinggi (70%) menurunkan populasi
protozoa dan kosentrasi NH3 dalam rumen pada fermentasi in vivo. Penurunan populasi
protozoa mempunyai beberapa implikasi yaitu perubahan keragaman bakteri rumen karena
penurunan populasi protozoa dengan penambahan ektrak lerak. Sensitifitas protozoa terhadap
ekstrak lerak dapat dikarenakan kemampuan saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol
sehingga saponin tersebut akan mengikat sterol pada membran protozoa dan menyebabkan
kerusakan membran yang menyebabkan lisis atau kematian.
Bakteri Rumen
Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total
bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel pada partikel
makanan. Beberapa jenis bakteri dari spesies Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus,
Corynebacterium, Lactobacillus, Fusobacterium dan Propionibacteriun menempel pada
epitel dinding rumen, disamping itu terdapat spesies bakteri metanogen yang hidup
menempel pada protozoa (Dehority, 2004).
Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi melalui
hubungan simbiosa dan menghasilkan produk-produk yang khas seperti selulosa,
hemiselulosa, dan pati melalui pencernaan polimer tumbuhan. Bakteri rumen spesies tertentu
seperti Ruminococcus flavifaciens, R. albus, Butyrivibrio fibrisolvens, dan Selenomonas
ruminantium bertanggung jawab dalam fermentasi pregastrik membentuk asetat, propionat,
butirat, CO2 dan H2. Fermentasi akan diikuti meningkatnya pertumbuhan mikroba dan sintesis
protein sel sebagai sumber protein untuk ternak. Bakteri dalam rumen mampu mensintesis
vitamin-vitamin golongan B komplek (Arora, 1989). Berbagai macam tipe bakteri terdapat di
dalam rumen dan masing-masing memiliki fungsi berbeda sehingga berbagai karbohidrat
kompleks dapat diubah menjadi asam organik dan dapat dimanfaatkan oleh ternak
ruminansia. Bakteri menempel pada partikel pakan kasar dan perlahan-lahan mengikis
material tercerna (Arora, 1989).
Interaksi antara mikroorganisme juga terjadi dalam rumen yang tergantung pada
kondisi pakan. Pada ransum yang bahan dasarnya pakan serat bermutu rendah, protozoa
cenderung memangsa bakteri. Protozoa dan bakteri di dalam rumen selalu bersaing dalam
menggunakan beberapa nutrien yang diberikan. Apabila kondisi suplai makanan kurang
menguntungkan, protozoa akan memakan bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehingga populasi bakteri dalam rumen akan berkurang. Hal ini karena peranan bakteri rumen
memiliki fungsi yang sangat penting terhadap fermentasi serat dan tanaman berpolimer
(Arora, 1989).
Beberapa penelitian yang mengevaluasi tanaman sumber saponin untuk menekan
populasi protozoa juga telah banyak dilaporkan. Wang et al. (1998) melaporkan adanya
aktivitas antiprotozoa dari ekstrak Yucca dalam percobaan dengan Rusitec dan adanya
peningkatan aktivitas protease mikroba rumen. Thalib et al. (1996) melaporkan bahwa
ekstrak methanol buah lerak menyebabkan 57% penurunan jumlah protozoa dan 69%
meningkatkan populasi bakteri yang mengakibatkan perbaikan efisiensi konversi pakan dan
pertumbuhan bobot hidup ternak domba. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai bahan
suplemen dalam mengendalikan pertumbuhan protozoa rumen untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan pakan. Diperkirakan ekstrak saponin buah lerak berdaya defaunasi sangat tinggi
sehingga takaran pemakaian ppm (mg/kg) cukup efektif untuk mengurangi populasi protozoa,
tanpa merugikan aktifitas fermentasi bakteri rumen (Sunaryadi, 1999). Sementara itu,
protozoa sering memangsa bakteri rumen untuk memenuhi kebutuhan proteinnya (Hart et al.,
2008).
pH Rumen
Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan temperature 38-420C. Tekanan
osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh adanya
absorpsi asam lemak dan amonia. Saliva yang masuk kedalam rumen berfungsi sebagai
buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Saliva bertipe cair, berfungsi
sebagai penyangga (buffer), hasil fermentasi mikroba rumen. Selain itu juga saliva
merupakan zat pelumas dan merupakan surfactant yang membantu didalam proses mastikasi
dan ruminasi. Saliva mengandung elektrolit-elektrolit tertentu seperti Na, K, Ca, Mg, P, dan
urea yang mempertinggi kecepatan fermentasi mikroba. Sekresi saliva dipengaruhi oleh
bentuk fisik pakan, kandungan bahan kering, volume cairan isi perut dan stimulasi psikologis
( Arora, 1989 ).
Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa pada pH cairan rumen lebih kecil dari 6,2 maka
kecernaan serat mulai terganggu. Penurunan pH diduga karena perlakuan defaunasi
mengurangi populasi protozoa, sehingga pemanfaatan produk fermentasi rumen tertentu asam
laktat menjadi berkurang, mengakibatkan terjadinya akumulasi asam laktat yang diproduksi
oleh bakteri pembentukan asam laktat, sehingga pH cairan rumen menjadi turun.
Volatile Fatty Acid (VFA)
Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan
energi barupa asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionat,
butirat, valerat dan format dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 50-70% asetat,
17-21% propionat, 14-20% butirat, valerat dan format hanya terdapat dalam jumlah kecil
(Schlegel, 1994). VFA dapat diperoleh dari proses hidrolisis lemak oleh bakteri lipolitik
manjadi asam lemak dan glikserol, kemudian gliserol tersebut difermentasikan lebih lanjut
menjadi asetat, propionat, butirat dan valerat. VFA juga merupakan produk akhir fermentasi
karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah
VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen.
Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi
pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi
merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Produksi VFA di dalam cairan
rumen dapat digunakan sebagai batas ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998).
Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Polisakarida di dalam rumen dihidrolisa menjadi monosakarida, seperti glukosa
difermentasi menjadi VFA berupa asetat, propionat, butirat, dan gas CH 4 serta CO2. VFA
diserap melalui dinding rumen melalui penonjolan-penonjolan yang menyerupai jari yang
disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung retikulorumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya 5%
diserap di usus halus (McDonal et al., 2002). Proses metabolisme karbohidrat dan
pembentukan VFA pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 3.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui
dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat
termetabolisme dalam dinding rumen. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi yang
merupakan salah satu ciri khas enzim mikroba (S) dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya
pakan yang tidak tercerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh
enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik.
Menurut Abreu et al., (2004), melaporkan bahwa pemberian buah Sapindus saponaria
yang mengandung saponin, tidak menurunkan populasi protozoa, namun secara keseluruhan
dapat memperbaiki profil VFA, dan efisiensi fermentasi oleh mikroba rumen. Suharti (2010),
menyatakan bahwa penambahan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml menurunkan nilai pH sampai
6,25 pada inkubasi 48 jam. Meskipun penggunaan ekstrak lerak tidak mempengaruhi
kosentrat VFA total, namun produksi propionat meningkat, sementara produksi asetat,
butirat, isovalerat dan valerat menurun.
Selulosa
Pati
Selubiosa
Maltosa
Glukosa-1-phosphat
Isomaltosa
Glukosa
Glukosa-6-phosphat
Pektin
Asam Uronat
Hemiselulosa
Sukrosa
Pentosa
Pentosa
Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktan-1,6-diphosphat
Asam Piruvat
Format
Asetil CoA
Malonil
CO2 H2
CoA
Asetoasetil Laktil
CoA
β-Hidroksibutiril
Metan
Laktan
Oksaloasetat
Metilmalonil CoA
Malat
CoA
Akrilil
CoA
CoA
Krotonil
Propionil
CoA
CoA
Fumarat
Asetil phosphat
Butiril CoA
Asetat
Butirat
Propionat
Suksinat
Suksinil CoA
Gambar 2. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak
Ruminansia
(McDonald et al., 2002).
Kondisi tersebut menurunkan proporsi asetat dan butirat dengan pemberian ekstrak
lerak 1 mg/ml diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan pola fementasi yang
mempengaruhi propionat. Pada sistem metabolisme rumen, karbohidrat pakan (termasuk
serat pakan) akan diubah menjadi asam piruvat yang selanjutnya terbagi menjadi 2 jalur yaitu
diubah manjadi laktat untuk pembentukan propionat dan jalur lain dirubah menjadi asetil
koenzim A untuk pembentukan asetat dan butirat. Maka hal tersebut mengakibatkan
perubahan komposisi bakteri rumen akibat pemberian ekstrak lerak dapat mengarahkan
pembentukan laktat dari piruvat yang selanjutnya dirubah menjadi propionat.
Penambahan saponin dan senyawa mirip saponin telah diketahui dapat meningkatkan
konsentrasi propionat dan rasio relatifnya terhadap total VFA dalam rumen khususnya ketika
saponin dengan konsentrasi tinggi diberikan (Wina et al., 2005). Saponin yang diekstrak dari
keseluruhan buah dan biji lerak yang dievaluasi dapat meningkatkan produksi propionat
tanpa menurunkan produksi total VFA (Suharti, 2010). Propionat merupakan sumber energi
utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogenesis (Murray et al., 2006), sehingga
peningkatan konsentrasi propionat akan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan oleh
ternak.
Amonia (NH3)
Seluruh protein yang berasal dari makanan pertama kali dihidrolisa oleh mikroba
rumen. Hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk
membebaskan amonia (NH3). Sumber lain amonia dalam rumen adalah melalui hidrolisa urea
yang dapat berasal dari saliva atau makanan (Arora, 1989).
Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sistem protein mikroba
(Sakina, 2005). Menurut Astuti et al., (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat
penting mengingat bahwa prekursor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber
karbon, makin tinggi kadar NH3 di rumen maka kemungkinan makin banyak protein mikroba
yang terbentuk sebagai sumber protein dalam tubuh. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5
mg persen setara dengan 3,57 mM sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Amonia
hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikro, sebagian akan diserap ke
dalam darah. Amonia yang dikeluarkan melalui urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar
saliva. Proses metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH 3) ditunjukkan pada
Gambar 4.
Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam
cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002).
Konsentrasi amonia berbeda-beda diantara jenis ternak ruminansia tergantung kemampuan
mikroba rumennya. Menurut Suharti et al., (2009), menyatakan bahwa secara in vivo
konsentrasi NH3 menurun dengan ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB pada sapi potong.
Hal ini diduga terkait dengan aktivitas saponin buah lerak sebagai agen defaunasi. Protozoa
merupakan proteolitik aktif, sehingga penghambatan populasi protozoa dapat menurunkan
konsentrasi NH3. Laju degradasi protein pakan dan N bukan protein juga menentukan
kosentrasi NH3 dalam rumen. Selain itu, dengan terhambatnya protozoa diduga penggunaan
NH3 oleh bakteri meningkat dan akibatnya konsentrasi dalam rumen akan turun.
Pakan
Protein
Non-protein N
Sulit
Mudah
Didegradasi
Endogenous Protein
Kelenjar
Saliva
Non-protein N
Didegradasi
Enzim protease
Peptida
Enzim peptidase
Deaminasi
Asam Amino
Hati
NH3 Urea
Amonia
Protein Mikroba
Ginjal
Dicerna di Usus
Halus
(urine)
Protein Pakan
Endogenous Protein
Diekskresikan
Gambar 3. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia
(McDonald et al., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Thalib (2004) yang menyatakan bahwa suplementasi
ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada
ransum domba menghasilkan konsentrasi NH3 yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun,
Wina et al., (2006) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak metanol daging buah lerak
dengan taraf 0,42 dan 0,72 g/kg BB dalam ransum domba yang tersusun dari rumput gajah
dan pollard (65:35) nyata menurunkan konsentrasi NH3.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan in vitro adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mencampurkan
cairan rumen dengan larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini
ditempatkan dalam tabung fermentor. Kombinasi ini kemudian difermentasi pada temperatur
rumen yaitu 39º C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam (Pond et al., 1995).
Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage, metode ini paling banyak
digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam larutan
buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua
yaitu pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry, 1963; McDonald et
al., 2002).
Menurut Putra (2006), bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik dipengaruhi
oleh faktor pakan dan jenis mikroba. Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang
dialami pakan dalam alat pencernaan, perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi
butiran-butiran atau partikel kecil. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang
menentukan kualitas pakan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et
al., 2002). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan rumen,
pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel
sampel dan
larutan penyangga (Selly, 1994). Derajat keasaman pH cairan pencernaan ruminansia,
sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum dalam saluran pencernaan
ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum (Anggorodi,
1994).
Penelitian Hess et al., (2003) menunjukkan hasil yang sama bahwa kecernaan bahan
organik ransum yang disuplementasi ekstrak Sapindus saponaria sebanyak 100 mg/g BK
(kandungan saponin 12% BK) ke dalam ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda
dengan kontrol. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Thalib (2004), menyatakan
bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar
saponin 15%) pada ransum domba menunjukkan nilai kecernaan yang tidak berbeda dengan
kontrol. Begitu juga dengan nilai kecernaan bahan kering dari hasil penelitian Kurniawati
(2009), menyatakan bahwa ransum yang diberi tambahan ekstrak lerak dengan taraf 0,09%
dan 0,18% dalam bentuk pakan blok tidak signifikan mempengaruhi kecernaan bahan kering
(KCBK) dan menunjukkan nilai hasil yang sama dengan ransum kontrol.
Hal tersebut
menandakan bahwa suplementasi ekstrak lerak tidak mempengaruhi kecernaan pakan dan
aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan.
Sintesis Protein Mikoba Rumen
Menurut Suryapratama (2005), bahwa semakin tinggi penggunaan rumput dalam
pakan ternak ruminansia, semakin rendah sintesis protein mikroorganismenya. Hal tersebut
karena prekursor untuk sintesis protein mikroba semakin berkurang sebagai akibat kualitas
rumput lapang lebih rendah daripada konsentrat. Pemberian konsentrat sebagai pakan ternak
dalam jumlah tertentu sangat diperlukan sebagai penambah asupan nutrien yang baik dan
membantu meningkatkan kecernaan dalam sistem rumen, karena kandungan nutrien utama
dalam konsentrat merupakan protein tinggi. Kandungan protein kosentrat mengalami proses
degradasi di dalam rumen oleh enzim proteolitik menjadi asam-asam amino, kemudian
sebagian besar asam-asam amino mengalami katabolisme menjadi asam-asam organik,
amonia dan CO2. Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena
amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis
protein mikroba (Arora, 1989). Sekitar 3,5-14 mM amonia (NH3) digunakan oleh mikroba
rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Menurut McDonald et al., (2002)
bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam
cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM.
Menurut McSweeney (2001) keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan
sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur
dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam
meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang
ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah
daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981).
Suharti (2010) menyatakan bahwa pemberian ekstrak lerak sampai level 200 mg/kg
BB belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba pada sapi potong yang mendapatkan
rumput lapang dalam jumlah tinggi. Walaupun pemberian ekstrak lerak sudah dapat
meningkatkan produksi VFA yang merupakan sumber energi dan kerangka karbon untuk
sintesis bakteri, namun konsentrasi NH3 rumen rendah (4 mM), hal ini menyebabkan kurang
seimbangnya rasio protein/energi (P/E) yang sangat menentukan dalam sintesis protein
bakteri. Selain itu, proses sintesis protein bakteri juga dipengaruhi oleh konsentrasi trace
minerals dan vitamin (Karsli et al., 2000). Mineral sulfur (S) telah diketahui mempengaruhi
pertumbuhan bakteri terutama untuk sintesis metionin dan sintesis yang berkisar antara 0,110,2% dari total pakan dan tergantung pada status ternak. Selain itu, mineral sulfur juga
mengakibatkan lignin pada pakan berserat akan terhidrolisis sehingga kecernaan bahan
organik akan meningkat. Mineral fosfor juga sangat diperlukan untuk ATP dan sintesis
protein oleh mikroba. Suharti (2010) menyatakan bahwa jika hijauan yang digunakan berupa
rumput lapang dengan kandungan mineral sulfur dan fosfatnya relatif rendah, maka defisiensi
mineral tersebut juga berpengaruh terhadap sintesis protein bakteri. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh saponin terhadap sintesis protein mikroba sangat bervariasi
tergantung pada sumber saponin dan level saponin yang digunakan.
Mineral (Ca, P, Mg, dan S)
Mineral adalah elemen yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai nutrien (Cheeke,
1999). Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat-zat
makanan.
Mineral mikro dan makro di dalam alat pencernaan ternak dapat saling
berinteraksi positif atau negatif dan faktor lainnya seperti asam fitat, serat kasar, dan zat-zat
lainnya dapat menurunkan ketersediaan mineral (Muhtarudin, 2003 dan Muhtarudin et al.,
2003).
Hogan (1996) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan yang
optimal, mikroba rumen membutuhkan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S). Menurut Maramis
dan Evitayani (2001) bahwa suplementasi mineral Ca, P, S dan Mg berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan dan aktifitas mikroba pencerna dalam rumen. Hal ini sesuai dengan
pendapat Komisarczuk dan Durand (1991) bahwa sulfur penting bagi pencernaan serat dalam
rumen. Suplai sulfur yang cukup dapat mengoptimalkan degradasi selulosa melalui stimulasi
spesifik bakteri selulolitik, aktifitas protozoa ciliata dan fungi anaerob rumen. Maramis dan
Evitayani (2009) menyatakan bahwa kombinasi suplementasi mineral Ca, P, Mg dan S yang
ditambahkan ke dalam ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40%, tidak mempengaruhi pH
dan konsentrasi NH3-N, namun memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
peningkatan konsentrasi total VFA. Konsentrasi total VFA pada ransum yang hanya di
suplementasi mineral Ca dan P serta yang hanya dikombinasi dengan mineral Mg, P dan S
menurunkan konsentrasi VFA. Konsentrasi NH3-N dan total VFA yang tertinggi diperoleh
pada ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40% dengan penambahan komponen mineral
mix (Ca, P, Mg dan S), namun yang memiliki peranan yang cukup baik adalah konsentrasi
NH3-N berada diatas konsentrasi optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. Adapun
sumber mineral Ca dan P digunakan CaCO3 dan CaHPO42H2O, untuk Mg digunakan MgO
dan sebagai sumber mineral S digunakan Na2SO3.
Menurut McSweeney (2007), keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan
sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur
dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam
meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang
ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah
daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981). Berdasarkan
acuan buku Beef Cattle Animal of Nutrition, bahwa kebutuhan mineral (Ca, P, Mg dan S)
untuk sapi potong dalam masa pertumbuhan adalah berturut-turut (0,54; 0,37; 0,23 dan 0,1%)
(NRC, 1994).
Mekanisme peran mineral kalsium (Ca), posfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S)
sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat secara
maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA. Mineral Ca juga berperan
dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan
kerusakan pertumbuhan dan proses-proses metabolisme yang membutuhkan Ca. mineral P
esensial untuk semua mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan
beberapa koenzim. Sekitar 80 % dari total P dalam bakteri rumen terdapat dalam asam
nukleat dan 10 % pada posfolipid. Level 100 mg/liter dari P yang tersedia dalam rumen
mencukupi untuk pertumbuhan bakteri dan aktivitas selulolitik. Mineral Mg sangat penting
untuk berbagai proses seluler sehingga diperlukan oleh semua mikroorganisme. Sejumlah
besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba.
Selain itu, mineral S juga esensial bagi bakteri selulolitik untuk memperoleh kecernaan serat
yang optimal diperlukan 10–20 ppm S dalam cairan rumen (Maramis dan Evitayani, 2009).
Download