2 tinjauan pustaka

advertisement
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Buah Bakau( Rhizophora mucronata Lamk.)
Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau
genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan
banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut.
Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau
memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam,
pada bagian luar kulit terlihat retak-retak.
Bentuk akar tanaman ini menyerupai
akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan
karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh
menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin
yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003).
Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap
dengan panjang tangkai 17-35 mm.
Tanaman ini umumnya memiliki bunga
berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai
kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April
sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang
umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al. 2003).
Daerah penyebaran tumbuhan ini meliputi Sri Lanka, seluruh Malaysia dan
Indonesia hingga Australia dan Kepulauan Pasifik (Duke 2006).
Klasifikasi tumbuhan bakau (R. mucronata) menurut Duke (2006) adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Mytales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Rizhophora
Spesies
: Rizhophora mucronata Lamk.
Gambar buah bakau (R. mucronata Lamk.) dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Buah bakau (R. mucronata Lamk.) (Peter et al. 2001).
2.2
Antioksidan
Secara kimia, pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi
elektron atau reduktan.
menginaktivasi
Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
berkembangnya
radikal
bebas
melalui
reaksi
oksidasi.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa
yang bersifat oksigen sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat
(Winarsi 2007).
Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak
stabil
dan
tidak
memiliki
pasangan
elektron
pada
orbit
terluarnya.
Ketidakstabilan ini disebabkan atom tersebut hanya memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan.
Pembentukan senyawa radikal bebas tidak
hanya terjadi dari proses kimia dalam tubuh, akan tetapi bisa terbentuk dari
senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal namun sifatnya dapat berubah
menjadi radikal. Kelompok senyawa ini sering disebut Reactive Oxygen Species
(ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) (Winarsi 2007).
Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species akan mencapai
kestabilan dengan menerima elektron dari molekul lain atau mentransfer elektron
tidak berpasangan ke molekul lain. Senyawa ini cenderung mengambil partikel
dari molekul lain, misalnya DNA, membran/selaput sel, membran liposom
(bagian sel yang mengandung enzim hidrolitik), mitokondria (tempat produksi
energi sel), enzim-enzim, lemak, protein, serta komponen jaringan lainnya.
Secara alami, ROS dan RNS terbentuk dari hasil metabolisme tubuh. Sel-sel
tubuh telah memiliki beberapa mekanisme untuk mengeluarkan senyawa tersebut.
5
Mekanisme ini menggunakan molekul yang disebut dengan antioksidan
(Winarno 2008).
Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat
aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan.
Menurut Zheng et al. (2011), aktivitas antioksidan dinyatakan dengan presentase
penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi
absorbansi sampel. Persen inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara
absorban DPPH dengan serapan yang diukur dengan spektrofotometer. Parameter
yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah Inhibitor
Concentration (IC50). Suratmo (2009) menyatakan bahwa IC50 adalah konsentrasi
suatu zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan 50%. Nilai IC50
yang semakin kecil menandakan bahwa sampel yang digunakan memiliki aktivitas
antioksidan yang kuat dan penggunaan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas
radikal bebas semakin sedikit.
Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan
Molyneux (2004) bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya
semakin tinggi.
2.2.1 Mekanisme antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan
yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan
minyak. Penambahan ini untuk mencegah terjadinya ketengikan pada makanan
yang disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang merupakan produk akhir
dari reaksi autooksidasi. Menurut Rita et al. (2009) bahwa reaksi autooksidasi
merupakan suatu reaksi berantai dimana inisiator dan propagatornya adalah
radikal bebas.
Proses autooksidasi melalui tiga tahap reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan
terminasi. Inisiasi ditandai dengan terlepasnya atom hidrogen dari molekul asam
lemak (LH) sehingga terbentuk radikal bebas alkil (L). Tahap propagasi yaitu saat
radikal bebas alkil yang terbentuk pada tahap inisiasi bereaksi dengan oksigen
atmosfir membentuk radikal bebas peroksil (LOO-). Radikal bebas peroksil yang
terbentuk bereaksi dengan atom hidrogen yang terlepas dari asam lemak tidak
jenuh lain membentuk hidroperoksida (LOOH). Antioksidan (AH) memberikan
atom oksigen pada radikal bebas peroksil (LOO-) dan membentuk radikal lemak
6
yang stabil (LOOH).
Hasil produk dari reaksi tersebut adalah terbentuknya
senyawa-senyawa lain misalnya : aldehid, keton, alkohol, asam dan alkali. Skema
autooksidasi lipid disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Skema autooksidasi lipid (Sampaio et al. 2006).
Proses penambahan antioksidan dapat menghalangi reaksi oksidasi pada
tahap inisiasi maupun propagasi. Antioksidan akan mengurangi peroksida yang
dapat merangsang terjadinya proses ketengikan yang terbentuk pada permulaan
autooksidasi. Antioksidan akan dioksidasi secara langsung dengan peroksida
sehingga mencegah reaksi oksidasi langsung atau tidak langsung dengan
memutuskan rantai reaksi pembentukan gugusan peroksida tersebut. Molekul
aktif dari lemak bereaksi dengan oksigen menghasilkan peroksida aktif.
Peroksida aktif memberikan energinya kepada molekul lemak lain sehingga
terbentuk reaksi rantai. Adanya antioksidan, menyebabkan sejumlah peroksida
yang aktif dipisahkan dari rantai reaksi dengan memindahkan energinya kepada
antioksidan. Molekul aktif dari antioksidan akan teroksidasi dan menjadi tidak
aktif lagi karena lemahnya pemindahan energi kepada molekul lemak tersebut
(Goutara et al. 1980).
Antioksidan berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) dibagi
menjadi 3 tipe, yaitu:
a) Tipe pemutus
rantai
reaksi
pembentuk radikal bebas
dengan
cara
menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E dan vitamin C.
b) Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe2+ dan Cu2+),
contohnya flavonoid, asam sitrat dan Ethylene Diamine Tetra Acetat (EDTA).
7
c) Antioksidan seluler yang mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi
bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal Super Oksida Dismutase
(SOD), katalase, glutation peroksidase.
Hasil penelitian Musthafa et al. (2000) menunjukkan bahwa antioksidan
mempunyai dampak positif dalam menghambat komplikasi dari penyakit diabetes
mellitus serta penyakit aterosklerosis yang sangat berperan dalam terjadinya
penyakit jantung koroner.
Valko et al. (2006) menyatakan bahwa produksi
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) yang
berlebihan dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat merusak lipid, protein
dan DNA pada sel normal.
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan
Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi dua kategori dasar, yaitu
antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Saat ini, ketertarikan masyarakat pada
antioksidan alami meningkat tajam baik untuk digunakan dalam bahan pangan
ataupun sebagai material obat menggantikan antioksidan sintetik. Wang (2006)
menyatakan bahwa antioksidan sintetik berbahaya bagi kesehatan karena
berpotensi menyebabkan penyakit kanker.
Antioksidan alami banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan.
Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol,
karoten dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan. Antioksidan
alami yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol yang
terdapat dalam bentuk α, β, γ, δ-tokoferol (Winarno 2008).
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa
fenol. Penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, misalnya
tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan,
efektif pada konsentrasi rendah, mudah didapat, dan ekonomis.
Antioksidan
sintetik yang sering digunakan adalah butylated hydroxyanisole (BHA), dan
butylated
hydroxytoluene
(BHT)
(Winarno
2008).
Struktur
butylated
hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT) disajikan pada
Gambar 3.
8
Gambar 3 Struktur BHA dan BHT (FDA 2012).
2.3
Komponen Bioaktif
Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang
terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis.
Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik, misalnya
polifenol. Menurut Kannan et al. (2009) komponen bioaktif tidak terbatas pada
hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang
memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida.
Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan
metode uji fitokimia.
Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) berarti kimia tanaman.
Fitokimia menguraikan aspek kimia dari suatu tanaman.
Kajian fitokimia
meliputi uraian tentang isolasi senyawa kimia dalam tanaman, perbandingan
struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari
bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian untuk pengembangan senyawa
kimia dalam tanaman (Sirait 2007).
2.3.1
Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang
merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloid biasanya
tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan
(misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984).
Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang
farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin
9
(analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata),
skopolamin (sedatif/obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik),
piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin
(analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi ereksi),
mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat
kanker) (Harborne 1984). Struktur alkaloid disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Struktur alkaloid (Liaw et al. 1998).
2.3.2 Steroid/Triterpenoid
Steroid/Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang
disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30
hidrokarbon asiklik.
Triterpenoid
mempunyai struktur siklik yang relatif
kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini
umumnya berbentuk kristalin dan mempunyai titik lebur tinggi. Steroid yang
dites dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidridatH2SO4 pekat), akan membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen
dan sterolnya (Sirait 2007).
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Sterol dalam tumbuhan tingkat tinggi disebut fitosterol dan
jenis lainnya antara lain sitosterol, stigmasterol dan kampesterol.
Sterol yang
terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah adalah ergosterol yang hanya terdapat
dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain yang terdapat dalam tumbuhan
tingkat rendah tetapi kadang-kadang ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi
yaitu fukosterol. Fukosterol
merupakan steroid utama pada alga coklat dan
terdapat juga pada kelapa (Harborne 1984).
Gambar 5.
Struktur steroid disajikan pada
10
Gambar 5 Struktur Steroid (Gasior et al. 1999).
2.3.3
Flavonoid
Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah,
tepung sari dan akar dalam bentuk glikosida.
Flavonoid diklasifikasikan menjadi
flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,
antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).
Senyawa flavonoid larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol
70%. Flavonoid mengandung sistem aromatik dan menunjukkan pita serapan
kuat pada daerah spektrum Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak
(Harborne 1984). Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga dilapisan amil
alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid.
Gambar struktur
flavonoid disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Struktur flavonoid (Markham 1982).
2.3.4
Saponin
Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna
akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau
genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,
11
diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan
glukoronat.
Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun.
Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis sel darah.
Senyawa saponin terkadang
bersifat toksik dan
menimbulkan keracunan pada ternak (misalnya saponin alfalfa) (Harborne 1984).
Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada
epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan
menimbulkan efek diuretika. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat
oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregangkan partikel tak larut dan
menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan
(Sirait 2007). Struktur senyawa saponin disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Struktur saponin (Markham 1982).
2.3.5 Fenol hidrokuinon
Senyawa fenolat merupakan senyawa aromatik yang berikatan dengan
satu atau lebih gugus hidroksil dimana gugus hidroksil dapat digantikan dengan
gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen
tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan umumnya terdapat
dalam vakuola sel.
Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon, dan isoprenoid kuinon.
Sebagian besar kelompok kuinon memiliki sifat fenol, sedangkan
isoprenoid kuinon tidak bersifat fenol. Isoprenoid kuinon umumnya banyak
12
ditemukan pada saat respirasi seluler (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon)
(Harborne 1984).
Struktur fenol hidrokuinon dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Struktur fenol hidrokuinon (Preechaworapun et al. 2008).
2.3.6 Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan.
Senyawa tanin merupakan turunan polifenol dengan karakteristiknya yang dapat
membentuk senyawa kompleks dengan makromolekul lainnya. Umumnya
senyawa tanin larut dalam air (polar). Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu
tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.
Tanin terkondensasi tersebar luas
pada tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan berkayu.
Tanin terhidrolisis
penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1984).
Sumber tanin di Indonesia diperoleh dari tumbuhan akasia (Acacia sp.),
eukaliptus (Eucalyptus sp.), pinus (Pinus sp.)
dan beberapa jenis bakau.
Senyawa tanin seringkali menyebabkan beberapa tumbuhan memiliki rasa sepat
sehingga dihindari oleh banyak hewan pemangsanya. Adanya senyawa tanin
di dalam rumen sapi menyebabkan populasi bakteri proteolitik Lotus corniculatus
mengalami penurunan. Senyawa tanin akan berikatan langsung dengan dinding
sel, membran dan protein ekstrakseluler pada bakteri. Smith et al. (2005)
menyatakan bahwa tanin
dapat berikatan langsung dengan dinding sel
mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikoorganisme atau
aktivitas enzim. Struktur tanin disajikan pada Gambar 9.
13
Gambar 9 Struktur tanin (Oladoja et al. 2010).
2.4
Ekstraksi
Tumbuhan sudah dikenal sejak lama mengandung komponen metabolit
sekunder yang umumnya terdapat dalam daun, bunga, akar, buah dan biji.
Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan komponen metabolit sekunder, salah
satunya dengan menggunakan ekstraksi. Tiwari et al. (2011) menyatakan bahwa
ekstraksi adalah suatu pemisahan komponen aktif dalam suatu jaringan tanaman
dan jaringan hewan menggunakan pelarut yang telah ditentukan oleh standar.
Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi ke dalam material padat dan
berdifusi kepada komponen yang memiliki kepolaran yang sama.
Teknik
ekstraksi yang sering dilakukan antara lain maserasi, perkolasi, soxhlet, ekstraksi
air-alkohol. Perbedaan dalam proses ekstraksi akan menghasilkan jumlah dan
komposisi metabolit sekunder yang berbeda-beda. Faktor yang mempengaruhinya
antara lain: tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, suhu, pelarut organik, konsentrasi
pelarut dan kepolaran. Hal yang perlu dilakukan dalam menentukan pelarut yang
akan digunakan dalam proses ekstrasi antara lain: pelarut memiliki toksisitas
rendah, mudah untuk dievaporasi dalam suhu rendah, serta cepat dalam menyerap
ekstrak.
Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses
ekstraksi. Beberapa jenis pelarut yang umum digunakan dalam proses ekstraksi
menurut Tiwari et al. (2011) yaitu:
1) Air: digunakan dalam proses ekstraksi tanaman.
2) Aseton: digunakan untuk komponen hidrophilik maupun lipofilik.
3) Alkohol
(etanol):
jumlah
polifenol
yang
diekstrak
dengan
etanol
menghasilkan aktivitas lebih tinggi dibandingkan polifenol yang diekstrak
dengan air.
14
4) Kloroform dan ether: digunakan untuk mengekstraksi komponen bioaktif
yang larut lemak.
Pemilihan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah
rendemen yang didapatkan dari suatu bahan. Metode ekstraksi menurut
Harborne (1984) meliputi:
1) Maserasi: metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan.
2) Diakolasi: metode ekstraksi dengan penambahan tekanan udara.
3) Dekoksi
(rebus):
metode
paling
sederhana
dan
mudah
dilakukan
menggunakan bahan yang larut air dan stabil terhadap panas.
4) Ekstraksi lengkap: metode ekstraksi yang melibatkan ekstraksi berturut-turut
menggunakan pelarut non polar, semi polar dan pelarut polar.
5) Arus balik: metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel
dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan.
6) Sonikasi: metode ekstraksi menggunakan gelombang suara atau getaran
dengan frekuensi antara 20 KHz-2000 KHz.
2.5
Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Aktivitas antioksidan pada suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai
cara antara lain, metode Nitro Blue Tetrozolium (NBT), metode tiosianat, metode
Carotene bleaching dan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Metode
pengujian antioksidan dengan menggunakan DPPH dipilih karena mudah
dilakukan, metodenya sederhana, menggunakan sampel sedikit serta dapat
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan.
Kristal DPPH yang digunakan dalam proses pengujian
aktivitas antioksidan umumnya dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol.
Menurut Tiwari et al. (2011) pelarut etanol cenderung banyak digunakan karena
lebih murah dan tidak toksik dibanding pelarut polar lainnya.
Senyawa 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) merupakan senyawa
radikal bebas yang stabil dalam suhu kamar dan sering digunakan untuk
mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa ekstrak bahan alam.
Senyawa
radikal DPPH akan membentuk interaksi dengan antioksidan dari bahan yang
digunakan. Molyneux (2004) mengatakan bahwa senyawa DPPH dapat bereaksi
15
dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk senyawa
dihenylpicrylhydrazine yang berwarna kuning pucat. Struktur kimia DPPH dalam
bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2) dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH
(Molyneux 2004).
Hasil yang dicapai jika semua elektron radikal bebas DPPH menjadi
berpasangan dan menyebabkan berubahnya warna ungu menjadi kuning dapat
diukur secara stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidogen yang
ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan. Suratmo (2009)
mengatakan bahwa prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan DPPH baik secara
transfer elektron atau radikal hidrogen akan menetralkan karakter radikal bebas
dari DPPH tersebut. Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH dapat dilihat
pada Gambar 11.
16
Gambar 11 Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH
(Suratmo 2009).
Mekanisme reaksi antara antioksidan dengan DPPH dibagi menjadi tiga
tahap yang dicontohkan dengan menggunakan senyawa manofenolat.
Tahap
pertama adalah delokalisasi elektron pada gugus yang tersubtitusi dari senyawa
tersebut. Adanya atom hidrogen akan menyebabkan DPPH menjadi tereduksi.
Langkah berikutnya adalah dimerisasi antara dua radikal fenoksil yang
mentransfer radikal hidrogen yang akan bereaksi lagi dengan radikal DPPH.
Tahap yang terakhir adalah pembentukan komplek antara radikal aril dengan
DPPH. Pembentukan dimer maupun komplek antara zat antioksidan dengan
DPPH tergantung pada kesetabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya
(Brand-Williams 1955 dalam Suratmo 2009).
2.6
Mekanisme Oksidasi Lemak
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak atau lemak. Reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau
tengik pada minyak dan lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar
kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak
dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi (Ketaren 1986).
17
Mekanisme oksidasi lemak dipengaruhi oleh kondisi oksidasi, yaitu
temperatur, tipe asam lemak, dan bentuk ikatan ganda serta jumlah oksigen yang
tersedia. Mekanisme oksidasi dibagi dalam tiga tahap dengan bilangan peroksida
sebagai indikator derajat oksidasinya. Mekanisme oksidasi lemak terdiri dari tiga
tahap, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pembentukan
radikal lipid (L1*) bila lemak (L1H) kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan
oksigen. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana pada tahap ini radikal
lipid hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida
(L1OO*). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengikat ion hidrogen dari
lemak lain (L1H) membentuk hidrogen peroksida (LOOH) dan molekul radikal
lemak baru (L1*), reaksinya akan berulang terus-menerus hingga merupakan
reaksi berantai. Tahap terakhir adalah terminasi, hidrogen peroksida (LOOH)
yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek yaitu
asam-asam lemak, aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau
tengik pada lemak (Schaich 2005). Mekanisme oksidasi lemak dapat dilihat pada
Gambar 12.
Inisiasi
Propagasi
Terminasi
: L1H + O2
: L1* + O2
: L1OO* + L1H
: LOOH
L1*
L1OO*
LOOH + L1*
(produk non radikal )
Gambar 12 Mekanisme oksidasi lemak (Schaich 2005).
Keterangan
: L1H = Lipid
: L1* = Radikal lipid
: L1OO* = Radikal peroksida
: LOOH = Hidrogen peroksida
: Produk non radikal: aldehida, keton, alkohol dll.
Download