3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Buah Bakau( Rhizophora mucronata Lamk.) Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut. Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003). Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al. 2003). Daerah penyebaran tumbuhan ini meliputi Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia dan Kepulauan Pasifik (Duke 2006). Klasifikasi tumbuhan bakau (R. mucronata) menurut Duke (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas : Magnoliopsida Ordo : Mytales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rizhophora Spesies : Rizhophora mucronata Lamk. Gambar buah bakau (R. mucronata Lamk.) dapat dilihat pada Gambar 1. 4 Gambar 1 Buah bakau (R. mucronata Lamk.) (Peter et al. 2001). 2.2 Antioksidan Secara kimia, pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron atau reduktan. menginaktivasi Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksigen sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsi 2007). Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil dan tidak memiliki pasangan elektron pada orbit terluarnya. Ketidakstabilan ini disebabkan atom tersebut hanya memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Pembentukan senyawa radikal bebas tidak hanya terjadi dari proses kimia dalam tubuh, akan tetapi bisa terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal namun sifatnya dapat berubah menjadi radikal. Kelompok senyawa ini sering disebut Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) (Winarsi 2007). Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species akan mencapai kestabilan dengan menerima elektron dari molekul lain atau mentransfer elektron tidak berpasangan ke molekul lain. Senyawa ini cenderung mengambil partikel dari molekul lain, misalnya DNA, membran/selaput sel, membran liposom (bagian sel yang mengandung enzim hidrolitik), mitokondria (tempat produksi energi sel), enzim-enzim, lemak, protein, serta komponen jaringan lainnya. Secara alami, ROS dan RNS terbentuk dari hasil metabolisme tubuh. Sel-sel tubuh telah memiliki beberapa mekanisme untuk mengeluarkan senyawa tersebut. 5 Mekanisme ini menggunakan molekul yang disebut dengan antioksidan (Winarno 2008). Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Menurut Zheng et al. (2011), aktivitas antioksidan dinyatakan dengan presentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sampel. Persen inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan serapan yang diukur dengan spektrofotometer. Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah Inhibitor Concentration (IC50). Suratmo (2009) menyatakan bahwa IC50 adalah konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan 50%. Nilai IC50 yang semakin kecil menandakan bahwa sampel yang digunakan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat dan penggunaan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas radikal bebas semakin sedikit. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Molyneux (2004) bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. 2.2.1 Mekanisme antioksidan Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak. Penambahan ini untuk mencegah terjadinya ketengikan pada makanan yang disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang merupakan produk akhir dari reaksi autooksidasi. Menurut Rita et al. (2009) bahwa reaksi autooksidasi merupakan suatu reaksi berantai dimana inisiator dan propagatornya adalah radikal bebas. Proses autooksidasi melalui tiga tahap reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Inisiasi ditandai dengan terlepasnya atom hidrogen dari molekul asam lemak (LH) sehingga terbentuk radikal bebas alkil (L). Tahap propagasi yaitu saat radikal bebas alkil yang terbentuk pada tahap inisiasi bereaksi dengan oksigen atmosfir membentuk radikal bebas peroksil (LOO-). Radikal bebas peroksil yang terbentuk bereaksi dengan atom hidrogen yang terlepas dari asam lemak tidak jenuh lain membentuk hidroperoksida (LOOH). Antioksidan (AH) memberikan atom oksigen pada radikal bebas peroksil (LOO-) dan membentuk radikal lemak 6 yang stabil (LOOH). Hasil produk dari reaksi tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa lain misalnya : aldehid, keton, alkohol, asam dan alkali. Skema autooksidasi lipid disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Skema autooksidasi lipid (Sampaio et al. 2006). Proses penambahan antioksidan dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Antioksidan akan mengurangi peroksida yang dapat merangsang terjadinya proses ketengikan yang terbentuk pada permulaan autooksidasi. Antioksidan akan dioksidasi secara langsung dengan peroksida sehingga mencegah reaksi oksidasi langsung atau tidak langsung dengan memutuskan rantai reaksi pembentukan gugusan peroksida tersebut. Molekul aktif dari lemak bereaksi dengan oksigen menghasilkan peroksida aktif. Peroksida aktif memberikan energinya kepada molekul lemak lain sehingga terbentuk reaksi rantai. Adanya antioksidan, menyebabkan sejumlah peroksida yang aktif dipisahkan dari rantai reaksi dengan memindahkan energinya kepada antioksidan. Molekul aktif dari antioksidan akan teroksidasi dan menjadi tidak aktif lagi karena lemahnya pemindahan energi kepada molekul lemak tersebut (Goutara et al. 1980). Antioksidan berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: a) Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas dengan cara menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E dan vitamin C. b) Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe2+ dan Cu2+), contohnya flavonoid, asam sitrat dan Ethylene Diamine Tetra Acetat (EDTA). 7 c) Antioksidan seluler yang mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal Super Oksida Dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase. Hasil penelitian Musthafa et al. (2000) menunjukkan bahwa antioksidan mempunyai dampak positif dalam menghambat komplikasi dari penyakit diabetes mellitus serta penyakit aterosklerosis yang sangat berperan dalam terjadinya penyakit jantung koroner. Valko et al. (2006) menyatakan bahwa produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) yang berlebihan dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat merusak lipid, protein dan DNA pada sel normal. 2.2.2 Jenis-jenis antioksidan Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi dua kategori dasar, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Saat ini, ketertarikan masyarakat pada antioksidan alami meningkat tajam baik untuk digunakan dalam bahan pangan ataupun sebagai material obat menggantikan antioksidan sintetik. Wang (2006) menyatakan bahwa antioksidan sintetik berbahaya bagi kesehatan karena berpotensi menyebabkan penyakit kanker. Antioksidan alami banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan. Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, karoten dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan. Antioksidan alami yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol yang terdapat dalam bentuk α, β, γ, δ-tokoferol (Winarno 2008). Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa fenol. Penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, misalnya tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif pada konsentrasi rendah, mudah didapat, dan ekonomis. Antioksidan sintetik yang sering digunakan adalah butylated hydroxyanisole (BHA), dan butylated hydroxytoluene (BHT) (Winarno 2008). Struktur butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT) disajikan pada Gambar 3. 8 Gambar 3 Struktur BHA dan BHT (FDA 2012). 2.3 Komponen Bioaktif Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik, misalnya polifenol. Menurut Kannan et al. (2009) komponen bioaktif tidak terbatas pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida. Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan metode uji fitokimia. Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) berarti kimia tanaman. Fitokimia menguraikan aspek kimia dari suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian tentang isolasi senyawa kimia dalam tanaman, perbandingan struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman (Sirait 2007). 2.3.1 Alkaloid Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984). Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin 9 (analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif/obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik), piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin (analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi ereksi), mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat kanker) (Harborne 1984). Struktur alkaloid disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4 Struktur alkaloid (Liaw et al. 1998). 2.3.2 Steroid/Triterpenoid Steroid/Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30 hidrokarbon asiklik. Triterpenoid mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini umumnya berbentuk kristalin dan mempunyai titik lebur tinggi. Steroid yang dites dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidridatH2SO4 pekat), akan membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen dan sterolnya (Sirait 2007). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Sterol dalam tumbuhan tingkat tinggi disebut fitosterol dan jenis lainnya antara lain sitosterol, stigmasterol dan kampesterol. Sterol yang terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah adalah ergosterol yang hanya terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain yang terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi yaitu fukosterol. Fukosterol merupakan steroid utama pada alga coklat dan terdapat juga pada kelapa (Harborne 1984). Gambar 5. Struktur steroid disajikan pada 10 Gambar 5 Struktur Steroid (Gasior et al. 1999). 2.3.3 Flavonoid Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari dan akar dalam bentuk glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Senyawa flavonoid larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Flavonoid mengandung sistem aromatik dan menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak (Harborne 1984). Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga dilapisan amil alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid. Gambar struktur flavonoid disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Struktur flavonoid (Markham 1982). 2.3.4 Saponin Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, 11 diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Senyawa saponin terkadang bersifat toksik dan menimbulkan keracunan pada ternak (misalnya saponin alfalfa) (Harborne 1984). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregangkan partikel tak larut dan menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan (Sirait 2007). Struktur senyawa saponin disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Struktur saponin (Markham 1982). 2.3.5 Fenol hidrokuinon Senyawa fenolat merupakan senyawa aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil dimana gugus hidroksil dapat digantikan dengan gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan umumnya terdapat dalam vakuola sel. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon, dan isoprenoid kuinon. Sebagian besar kelompok kuinon memiliki sifat fenol, sedangkan isoprenoid kuinon tidak bersifat fenol. Isoprenoid kuinon umumnya banyak 12 ditemukan pada saat respirasi seluler (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) (Harborne 1984). Struktur fenol hidrokuinon dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Struktur fenol hidrokuinon (Preechaworapun et al. 2008). 2.3.6 Tanin Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan. Senyawa tanin merupakan turunan polifenol dengan karakteristiknya yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan makromolekul lainnya. Umumnya senyawa tanin larut dalam air (polar). Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi tersebar luas pada tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1984). Sumber tanin di Indonesia diperoleh dari tumbuhan akasia (Acacia sp.), eukaliptus (Eucalyptus sp.), pinus (Pinus sp.) dan beberapa jenis bakau. Senyawa tanin seringkali menyebabkan beberapa tumbuhan memiliki rasa sepat sehingga dihindari oleh banyak hewan pemangsanya. Adanya senyawa tanin di dalam rumen sapi menyebabkan populasi bakteri proteolitik Lotus corniculatus mengalami penurunan. Senyawa tanin akan berikatan langsung dengan dinding sel, membran dan protein ekstrakseluler pada bakteri. Smith et al. (2005) menyatakan bahwa tanin dapat berikatan langsung dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikoorganisme atau aktivitas enzim. Struktur tanin disajikan pada Gambar 9. 13 Gambar 9 Struktur tanin (Oladoja et al. 2010). 2.4 Ekstraksi Tumbuhan sudah dikenal sejak lama mengandung komponen metabolit sekunder yang umumnya terdapat dalam daun, bunga, akar, buah dan biji. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan komponen metabolit sekunder, salah satunya dengan menggunakan ekstraksi. Tiwari et al. (2011) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu pemisahan komponen aktif dalam suatu jaringan tanaman dan jaringan hewan menggunakan pelarut yang telah ditentukan oleh standar. Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi ke dalam material padat dan berdifusi kepada komponen yang memiliki kepolaran yang sama. Teknik ekstraksi yang sering dilakukan antara lain maserasi, perkolasi, soxhlet, ekstraksi air-alkohol. Perbedaan dalam proses ekstraksi akan menghasilkan jumlah dan komposisi metabolit sekunder yang berbeda-beda. Faktor yang mempengaruhinya antara lain: tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, suhu, pelarut organik, konsentrasi pelarut dan kepolaran. Hal yang perlu dilakukan dalam menentukan pelarut yang akan digunakan dalam proses ekstrasi antara lain: pelarut memiliki toksisitas rendah, mudah untuk dievaporasi dalam suhu rendah, serta cepat dalam menyerap ekstrak. Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Beberapa jenis pelarut yang umum digunakan dalam proses ekstraksi menurut Tiwari et al. (2011) yaitu: 1) Air: digunakan dalam proses ekstraksi tanaman. 2) Aseton: digunakan untuk komponen hidrophilik maupun lipofilik. 3) Alkohol (etanol): jumlah polifenol yang diekstrak dengan etanol menghasilkan aktivitas lebih tinggi dibandingkan polifenol yang diekstrak dengan air. 14 4) Kloroform dan ether: digunakan untuk mengekstraksi komponen bioaktif yang larut lemak. Pemilihan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah rendemen yang didapatkan dari suatu bahan. Metode ekstraksi menurut Harborne (1984) meliputi: 1) Maserasi: metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan. 2) Diakolasi: metode ekstraksi dengan penambahan tekanan udara. 3) Dekoksi (rebus): metode paling sederhana dan mudah dilakukan menggunakan bahan yang larut air dan stabil terhadap panas. 4) Ekstraksi lengkap: metode ekstraksi yang melibatkan ekstraksi berturut-turut menggunakan pelarut non polar, semi polar dan pelarut polar. 5) Arus balik: metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan. 6) Sonikasi: metode ekstraksi menggunakan gelombang suara atau getaran dengan frekuensi antara 20 KHz-2000 KHz. 2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Aktivitas antioksidan pada suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai cara antara lain, metode Nitro Blue Tetrozolium (NBT), metode tiosianat, metode Carotene bleaching dan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Metode pengujian antioksidan dengan menggunakan DPPH dipilih karena mudah dilakukan, metodenya sederhana, menggunakan sampel sedikit serta dapat digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan. Kristal DPPH yang digunakan dalam proses pengujian aktivitas antioksidan umumnya dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol. Menurut Tiwari et al. (2011) pelarut etanol cenderung banyak digunakan karena lebih murah dan tidak toksik dibanding pelarut polar lainnya. Senyawa 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa ekstrak bahan alam. Senyawa radikal DPPH akan membentuk interaksi dengan antioksidan dari bahan yang digunakan. Molyneux (2004) mengatakan bahwa senyawa DPPH dapat bereaksi 15 dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk senyawa dihenylpicrylhydrazine yang berwarna kuning pucat. Struktur kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2) dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH (Molyneux 2004). Hasil yang dicapai jika semua elektron radikal bebas DPPH menjadi berpasangan dan menyebabkan berubahnya warna ungu menjadi kuning dapat diukur secara stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan. Suratmo (2009) mengatakan bahwa prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH tersebut. Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH dapat dilihat pada Gambar 11. 16 Gambar 11 Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH (Suratmo 2009). Mekanisme reaksi antara antioksidan dengan DPPH dibagi menjadi tiga tahap yang dicontohkan dengan menggunakan senyawa manofenolat. Tahap pertama adalah delokalisasi elektron pada gugus yang tersubtitusi dari senyawa tersebut. Adanya atom hidrogen akan menyebabkan DPPH menjadi tereduksi. Langkah berikutnya adalah dimerisasi antara dua radikal fenoksil yang mentransfer radikal hidrogen yang akan bereaksi lagi dengan radikal DPPH. Tahap yang terakhir adalah pembentukan komplek antara radikal aril dengan DPPH. Pembentukan dimer maupun komplek antara zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kesetabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya (Brand-Williams 1955 dalam Suratmo 2009). 2.6 Mekanisme Oksidasi Lemak Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi (Ketaren 1986). 17 Mekanisme oksidasi lemak dipengaruhi oleh kondisi oksidasi, yaitu temperatur, tipe asam lemak, dan bentuk ikatan ganda serta jumlah oksigen yang tersedia. Mekanisme oksidasi dibagi dalam tiga tahap dengan bilangan peroksida sebagai indikator derajat oksidasinya. Mekanisme oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal lipid (L1*) bila lemak (L1H) kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana pada tahap ini radikal lipid hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida (L1OO*). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengikat ion hidrogen dari lemak lain (L1H) membentuk hidrogen peroksida (LOOH) dan molekul radikal lemak baru (L1*), reaksinya akan berulang terus-menerus hingga merupakan reaksi berantai. Tahap terakhir adalah terminasi, hidrogen peroksida (LOOH) yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek yaitu asam-asam lemak, aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Schaich 2005). Mekanisme oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 12. Inisiasi Propagasi Terminasi : L1H + O2 : L1* + O2 : L1OO* + L1H : LOOH L1* L1OO* LOOH + L1* (produk non radikal ) Gambar 12 Mekanisme oksidasi lemak (Schaich 2005). Keterangan : L1H = Lipid : L1* = Radikal lipid : L1OO* = Radikal peroksida : LOOH = Hidrogen peroksida : Produk non radikal: aldehida, keton, alkohol dll.