bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan dari
penelitian dan manfaat yang diharapkan.
1.1
Latar Belakang Masalah
Mineral besi oksida merupakan komponen utama dari pasir besi yang
tersedia melimpah di alam. Besi oksida terdiri dari besi(II) oksida (FeO) atau
dikenal sebagai wustit yang mudah meledak dan terbakar, besi(III) oksida (Fe2O3)
atau dikenal dengan hematit (struktur alfa) atau maghemit (struktur gamma) yang
digunakan dalam industri sebagai lapisan dalam media audio dan komputer untuk
menghambat karat, dan besi(II,III) oksida (Fe3O4) atau dikenal sebagai magnetit
atau magnet (RM Cornell, 2003).
Sintesis material besi oksida magnetik (Fe3O4) pada skala nano merupakan
topik yang menarik baru-baru ini. Nanopartikel memiliki sifat fisika dan kimia
yang karakteristik di antara atom maupun struktur ruahnya. Efek ukuran kuantum
dan luas permukaan yang besar dari nanopartikel magnetit, mengubah beberapa
sifat magnetik dan memperlihatkan fenomena superparamagnetik (Liu et al.,
2002).
Magnetit merupakan material yang bersifat magnetik, sehingga material
tersebut dapat dipengaruhi oleh medan magnet eksternal. Hal ini menyebabkan
magnetit sering digunakan sebagai adsorben. Sifat kemagnetan magnetit akan
mempermudah pemisahan adsorben dengan matriksnya, dimana hanya dibutuhkan
bantuan medan magnet eksternal. Cara pemisahan yang mudah tersebut
merupakan alasan mengapa magnetit disukai sebagai adsorben.
Terdapat banyak metode pembuatan magnetit yang telah dilakukan oleh
berbagai
peneliti, diantaranya metode hidrotermal,
dekomposisi
termal,
mikroemulsi, sonokimia, sol gel dan kopresipitasi. Sintesis magnetit dengan
metode hidrotermal dilakukan oleh Dong et al. (2009), dimana pembuatan
magnetit dilakukan dengan mencampurkan garam fero/feri, basa organik dan
1
2
NaOH di bawah kondisi hidrotermal (suhu 180 oC selama 20 jam). Metode
hidrotermal dapat mempengaruhi morfologi magnetit yang dihasilkan, namun
pada metode ini dibutuhkan suhu relatif tinggi dan waktu yang relatif lama. Begitu
pula dengan Sun (2006), yang telah melakukan sintesis nanopartikel Fe3O4
melalui dekomposisi termal dari prekursor logam-oleat yang dibentuk dengan
reaksi antara logam-klorida dan natrium oleat, solven dengan titik didih tinggi
seperti fenil eter, 1-oktadekena (bersifat toksik) dan dibutuhkan temperatur refluks
(sekitar 320 oC).
Penggunaan mikroemulsi air dalam minyak (reverse micelles) sebagai
reaktor skala nano juga dimungkinkan untuk mensintesis nanopartikel Fe3O4
dengan distribusi ukuran yang seragam (Dominguez et al., 2012). Namun metode
ini memanfaatkan solven organik untuk fase minyak dan surfaktan sebagai
penstabil reverse micelles dalam jumlah besar. Karena jumlah total misel terbatas,
produksi nanopartikel yang seragam menjadi sulit didapat.
Dekomposisi fase larutan organik dari prekursor besi pada temperatur
tinggi juga dikembangkan untuk sintesis nanopartikel Fe3O4. Dekomposisi secara
langsung dari prekursor besi diikuti oleh oksidasi dalam solven organik dengan
adanya surfaktan (asam oleat dan olelamin), sehingga dihasilkan nanokristal besi
oksida dengan monodispersi kualitas tinggi. Surfaktan berfungsi mengikat
permukaan nanopartikel yang disintesis, sebagai penstabil dan mengatur nukleasi
atau pertumbuhan partikel untuk mencapai keseragaman yang tinggi. Namun
proses ini membutuhkan suhu relatif tinggi, digunakan pula solven dengan titik
didih tinggi (seperti fenil eter atau dioktil eter) dan digunakan prekursor besi yang
kurang efisien (Fe(CO)5), beberapa bersifat toksik dan prosedurnya rumit (Ye et
al., 2006).
Metode yang paling konvensional untuk sintesis magnetit adalah metode
kopresipitasi, seperti yang telah dilakukan oleh Wu et al. (2008). Metode ini
terdiri dari pencampuran garam fero/feri dengan rasio molar 1:2 dengan larutan
yang sangat basa pada temperatur ruang. Metode ini merupakan reaksi yang
mudah dilakukan pada temperatur ruang, tidak memerlukan solven dengan titik
didih tinggi dan toksik. Prekursor garam besi (fero/feri) yang digunakan juga
3
relatif ekonomis dan tidak toksik. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan
metode kopresipitasi. Untuk memaksimalkan pembentukan kristal, sintesis
magnetit dengan metode kopresipitasi disertai dengan teknik sonikasi seperti yang
telah dilakukan oleh Much et al. (2008). Teknik ini dapat memaksimalkan
terjadinya tumbukan, mencegah terjadinya agregasi dan akan didapatkan
nanopartikel dengan monodispersi yang tinggi.
Dalam metode kopresipitasi, karakteristik material magnetik Fe3O4
ditentukan oleh rasio molar Fe2+ dan Fe3+, konsentrasi larutan garam, jumlah
larutan alkali, temperatur, kecepatan pengadukan dan waktu aging (Ling et al.,
2010). Ling et al. (2010) melaporkan bahwa, waktu aging berpengaruh terhadap
warna produk magnetit yang dihasilkan, semakin lama waktu aging, magnetit
yang dihasilkan semakin berwarna hitam kecoklatan. Hal ini menunjukkan
terjadinya oksidasi pada permukaan magnetit yang akan menyebabkan
berkurangnya kemurnian magnetit, namun dengan waktu aging yang pendek,
reaksi kopresipitasi belum selesai. Belum ada peneliti yang mengkaji pengaruh
waktu aging terhadap kristalinitas magnetit yang dihasilkan, untuk itu pada
penelitian ini dilakukan aging terhadap larutan magnetit hasil sintesis dengan
kondisi bebas oksigen agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap kristalinitas
(analisis XRD).
Magnetit memiliki beberapa kelemahan diantaranya sangat mudah
teroksidasi dengan adanya oksigen bebas, mudah beragregasi, dan tidak stabil
terhadap termal maupun asam. Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya sifat
kemagnetan yang dimiliki magnetit. Karena itu material perlu dimodifikasi
dengan pelapisan (coating) agar substansi menjadi biokompatibel, meningkatkan
stabilitas termal, mekanik dan kimia, memperpanjang waktu pakai (lifetime),
menghambat korosi serta dapat mengubah keseluruhan sifat fisikokimia dan
biologis dari material (Caruso et al., 2001).
Salah satu material yang sering digunakan untuk pelapisan magnetit adalah
silika. Silika yang melapisi permukaan magnetit dapat mengurangi tarikan dipolar
antar magnetit dan melindungi magnetit dari leaching atau pelarutan dalam
kondisi asam (Deng et al., 2005). Pelapisan magnetit dengan silika ini diharapkan
4
dapat menggabungkan keunggulan dari kedua material tersebut. Sumber silika
dapat diperoleh dari limbah sekam padi dengan cara mengabukannya atau disebut
abu sekam padi (ASP) maupun dari prekursor silikon alkoksida komersial.
Pelapisan magnetit dengan silika telah dilakukan oleh Yang et al. (2009)
dan Kim et al. (2005) melalui metode sol gel. Metode ini sering digunakan untuk
melapisi magnetit dengan matriks anorganik, terutama silika. Hal ini dikarenakan
permukaan magnetit memiliki afinitas yang tinggi terhadap silika. Pelapisan
magnetit dengan silika tidak hanya mencegah terjadinya agregasi pada kisaran pH
yang luas dalam larutan, tetapi juga menjadikan material tersebut memiliki
permukaan seperti silika (silika-like surface) yang selanjutnya dapat dimodifikasi
lebih lanjut dengan berbagai gugus fungsi, sehingga dapat digunakan dalam
berbagai aplikasi.
Silika memiliki efektivitas yang rendah pada saat adsorpsi terhadap ion
logam. Hal ini disebabkan oleh lemahnya ikatan yang terbentuk antara permukaan
silika dengan ion logam akibat rendahnya kemampuan oksigen pada silanol dan
siloksan sebagai donor pasangan elektron karena atom oksigen dalam struktur
silika terikat langsung dengan atom Si. Oleh karena itu, perlu dilakukan
modifikasi terhadap magnetit terlapis silika.
Modifikasi permukaan magnetit dapat dilakukan dengan menambahkan
gugus fungsi tertentu yang diperoleh dengan reagen silan. Salah satu gugus fungsi
yang sering diimobilisasikan adalah gugus amino (-NH2) yang berasal dari
prekursor 3-aminopropil trimetoksisilan (APTMS) seperti yang telah dilakukan
oleh Ma et al. (2002) dan Yamaura et al. (2004). Atom N pada –NH2 merupakan
atom donor yang dapat membentuk ikatan kuat terhadap ion logam jika
dibandingkan dengan silika. Gugus –NH2 pada APTMS memiliki sifat basa keras
menurut teori HSAB (Hard-soft Acid Base), sehingga diharapkan pada penelitian
selanjutnya material ini dapat selektif digunakan untuk mengadsorpsi logam
dengan sifat asam keras seperti H+, Na+, Li+, K+, Ti4+, Cr3+, Cr6+,R3C+, BF3, dan
Au3+.
Pada penelitian ini dilakukan pelapisan magnetit dengan silika dari
prekursor Na2SiO3 dan gugus amino-propil dari prekursor 3-aminopropil
5
trimetoksisilan (APTMS) dengan metode sol-gel. Pelapisan magnetit dengan
kedua bahan dapat mengkombinasikan keuntungan dari ketiga sifat tersebut. Pada
akhirnya diharapkan material yang diperoleh berupa magnetit terlapis silika dan
gugus amino dengan sifat lebih tahan asam, memiliki gugus fungsi spesifik yang
selektif dengan struktur kristal tetap tidak rusak dibandingkan dengan sebelum
pelapisan.
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menghasilkan magnetit (Fe3O4) dengan kristalinitas tinggi melalui metode
kopresipitasi yang disintesis dengan teknik sonikasi disertai waktu aging
2. Mempelajari pengaruh rasio SiO2/NH2 pada magnetit terlapis terhadap berat,
kestabilan terhadap asam dan sifat kemagnetan.
1.3
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat memberikan informasi karakter magnetit (Fe3O4) melalui metode
kopresipitasi dengan sonikasi
2. Memberikan alternatif penggunaan Na2SiO3 sebagai sumber silika untuk
pelapisan yang berasal dari abu sekam padi yang diharapkan lebih ramah
lingkungan, efektif dan efisien.
3. Memberikan informasi mengenai kajian modifikasi magnetit (Fe3O4) dengan
silika dan 3-aminopropil trimetoksi silan (APTMS)
Download