19 BAB II MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Tinjauan Umum Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Pernikahan dalam bahasa Arab berasal dari kata artinya berhimpun dan Arab: ض َ ن َك َح املَطَُر األ َْر ً نِ َكاحا- نَ َك َح – يَْن ِك ُح bercampur, seperti ibarat dalam Bahasa artinya bercampurnya air hujan dengan tanah.1. Orang Arab berpendapat bahwa asal kata dari nikah adalah: ُ اَ َلو ْطءartinya berhubungan suami istri. Dalam terminologi lain berasal dari kata “Berhimpunnya sesuatu dengan yang lain”.2 Adapun secara istilah, nikah berarti Muhammad Abdul Aziz As Sudais mendefinisikan nikah sebagai: 3 ِ ِيد ِم ْلك اِستِمت ِاع الرج ِل ِبل مرأَة َ ْ ْ َ ُ ض َعوُ الشا ِرعُ الَكِ ُيم يُف َ َع ْق ٌد َو َْ ُ 4 Akad yang ditetapkan oleh hakim yang fungsinya kepemilikan istimta‟(berhubungan badan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nikah adalah “Perjanjian yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian akad tersebut disaksikan oleh beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan.”5 Menurut undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan,” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami 1 Ibrahim Mushthafa dkk, Mu‟jam al-Wasith, Jilid II ( tt.p: Dar Ad Da‟wah, tt) h. 951 2 Jami‟ah Madinah al-Alamiyah, Fiqh Usrah, ( Shah Alam: Madinah International University, 2011) h. 31 3 Muhammad Abdul Aziz As-Sudais, Muqaddimah An-Nikah, ( Madinah: Jami‟ah Islamiyah,1425 H) h. 203 4 Maksud dari “Kepemilikan Istimta” disini adalah seorang suami atau istri telah diikat dengan sebuah akad nikah yang halal, dengan akad tersebut maka sang suami berhak memiliki istrinya dalam hal hak dan kewajiban dalam rumah tangga, baik kewajiban melayani suami, patuh dan taat, menjaga harta dan amanah suami, toleransi, saling mendukung dan membantu dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga, sehingga tidak hanya sebatas kehalalan berhubungan badan saja. 5 Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2002) h. 300 19 20 istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa6. Pengertian ini juga diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan, dimana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat (mitsâqan ghalîza)7 untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut para ahli ushul fikih,mereka memaknai nikah dalam beberapa pendapat, yaitu: a. Kalangan ulama Hanafiyah Menurut ulama kalangan Hanafiyah, yang dimaksud dengan nikah adalah: ِ أَي ِحل استِمت ِاع الرج ِل ِمن الْمرأَة,ك الْمْت ع ِة ِ ْضوعٌ لِ ِمل َ ُ َع ْق ٌد َم ْو ْ َ ُ ْ ْ ْ َْ ُ 8 “Akad yang maksudkan untuk kepemilikan hubungan suami istri, maksudnya halalnya berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan”. Meskipun demikian,secara bahasa kalangan Hanâfiyah berbeda pendapat tentang apakah makna (hakiki) sesungguhnya dari nikah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa makna hakiki dari nikah adalah hubungan suami istri, sedangkan makna majâzi (metaphoric) adalah akad.9 b. Kalangan Syafi‟iyah dan Malikiyah Menurut kalangan Syafi‟iyah yang di maksud dengan nikah adalah: ِوالن ضم ك ْ اح ِِف اللغَة الضم َو َ ُ اْل ْم ُع يُ َق ّ َ ْت ْاألَ ْش َج ُار إِذاَ ان ْ ال تَنَا َك َح ُ َ 10 ِ ٍ ضها إِ ََل بَ ْع لى الْ َو ْط ِء ِل ْشتِ َمالِِو عِلَى الض ّم ع ق ل ط ي و ض ْ َ َ ُ َ بَ ْع ُ َ َ “Dan nikah secara bahasa berarti berkumpul dan menyatu, seperti jika pohon menyatu Jika diperhatikan maka pendapat kalangan Syafi‟iyah merupakan kebalikan dari pendapatHanafiyah. Makna nikah secara hakikat adalah akad, dan secara majaz adalah berhubungan badan.11 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Mitsâqan Ghalîzâdalah sebuah ikatan kuat antara hamba dengan Allah, yang mendasari akad nikah, maksudnya akad yang dilakukan bukan hanya semata-mata akad dengan manusia namun pada hakikatnya adalah perjanjian dengan Allah untuk memikul amanah dan menghalalkan perbuatan yang sebelum akad nikah terjadi hukumnya haram. 8 Muhammad bin Faramarzi bin Ali al Maulâ, Durar al Ahkâm Syarh Gharar al Ahkâm, jilid I ( t.tp: Dar Ihya Kutub Al Arabiyah, tt) h. 326 9 Durar al Ahkam Syarh Gharar al Ahkam, h.325 10 Syamsuddîn „Abdul Khâliq al Manhâjî al Asyûthi, Jauhar al „Uqûdwa muinu al qudhât wal muqi‟in wa syuhûd, Jilid II, (Libanon: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417H) h. 4 11 Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min bin Hariz bin Ma‟ali bin Husain bin Hushni Taqiyiddin As Syafi‟i, Kifâyatul Akhyâr Fi Hil Ghâyatul Ikhtishâr (Damaskus: Dar al Khair, 1994) h. 345 7 21 c. Kalangan Hanabilah Menurut kalangan Hanabilah nikah secara makna adalah: 12 َِ أَنو ح ِقي َقةٌ ِِف الْع ْق ِد والْو ْط ِء َج ًيعا َ ُ ََ َ “Nikah secara hakikat adalah semuanya bermakna akad dan berhubungan badan Ibnu Hazm berpendapat dengan hal senada, yang menyebut makna nikah adalah bersyarikat antara dan akad adalah berhubungan badan.13 Dari beberapa pengertian diatas, maka makna pernikahan adalah pada hakikatnya, juga seperti yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam. Penulis menambahkan, pengertian yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan bahwa,” Pernikahan adalah ikatan kuat yang berupa akad antara kedua belah pihak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya dalam bingkai ibadah dengan syarat dan rukun tertentu”.14 Terkait dengan hukum-hukum pernikahan, Wahbah Zuhaili menyebutkan kondisi yang akan berbeda pada setiap manusia.15 Pernikahan ada yang bersifat wajib, apabila pihak yang sudah mampu secara finansial untuk melakukan akad nikah dikhawatirkan terjerumus kedalam zina, sedangkan zina adalah dosa besar. Maka hukum menikah disini adalah wajib. Berdasarkan kaidah: 16 ِ ِِ ِ ما لَ يتِم الو ِاج ب ٌ ب إل بو فَ ُه َو َواج ُ َ َ َ “Sesuatu yang dengannya tidak sempurna sebuah hukum wajib, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.” 2. Rukun dan Syarat Pernikahan Wahbah Az Zuhaili menerangkan makna syarat sah, syarat nafâz dan syarat luzum dalam pernikahan. Adapun terkait dengan syarat sahnya pernikahan maka para ulama membanginya dalam sepuluh poin yaitu:17 12 13 Ibnu Qudâmah, al-Mughni,jilid VII ( Cairo: Maktabah al Kahirah, 8811 H) h. 3) Abd. Shomad, Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010) h.273 14 Dalam pernikahan ada akad yang kuat antara kedua belah pihak dalam rangka ibadah kepada Allah dan bertujuan mencontoh Rasulullah dalam berumah tangga, dengan syarat dan rukun tertentu. Hal ini penulis sebutkan untuk melengkapi pengertian yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, karena syarat dan rukun pernikahan itulah yang menyebabkan sebuah akad menjadi sah, baik secara hukum agama maupun secara hukum negara. 15 Wahbah Zuhaily, Al Fikh Al Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6516 16 Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al Burnu dan Abi Haris al Ghâzi, Al Wajiz Fi Idhâh Qawâid al Fikh al Kulliyah, (Beirut: Muassasah Ar Risalah,1416 H) h.393 17 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6551 22 1. Bukan mahram 2. Sighat yang permanen (ta‟bid) bukan temporer (muaqat) 3. Saksi 4. Ridha dan ikhtiyar 5. Dua pihak mempelai 6. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah 7. Adanya Mahar 8. Tidak disembunyikan 9. Salah satu calon tidak mengidap sakit yang berbahaya 10. Adanya wali Syarat nafâz merupakan syarat keterlaksanaan, dipersyaratkan juga oleh kalangan Hanafiyah dengan dalam lima syarat berikut yaitu: 18 1. Memiliki kemampuan diri (ahliyah) untuk melakukan akad, yaitu dengan usia yang sudah baligh dan mereka merdeka (bukan budak) maka akadnya sah, namun jika seorang wanita ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya, jumhur ulama menghukumi nikah tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanafiyah dihukumi mauquf. Sedangkan apabila ada anak kecil yang belum baligh atau orang gila ingin menikah maka nikah tersebut batal. Namun sebagian ulama berbeda pendapat tentang anak kecil, karena Rasulullahpun menikahi Aisyah dalam usia 9 tahun, namun kemudian mencampurinya saat sudah baligh.19 2. Ada wali yang posisi kekerabatnya lebih dekat 3. Berakal, dan dapat membedakan baik atau buruk 4. Jika diwakilkan, maka wakil tersebut tidak ingkar 5. Calon bukan golongan Fudhûli.20 Sengaja memalsukan syarat atau rukun pernikahan, seperti menyediakan wali palsu dan saksi palsu. Hukum akad fudhuli ini batil tidak sah.Sedangkan syarat lazim21memiliki empat syarat diantaranya yaitu: wali tidak sempurna, mahar mitsli, calon tidak mengidap penyakit berbahaya yang menyebabkan tidak berfungsi hubungan suami istri dengan baik, misal: suami impoten, atau istri yang frigiditas. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut boleh difasakh.22 18 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6574 Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, hadits no. 3894 20 Fudhuli adalah calon mempelai yang tidak memiliki wali dalam pernikahan, lalu ia mencari-cari wali yang bukan semestinya, dengan segala cara. Tujuannya adalah agar pernikahan tersebut terlaksana sesuai dengan keinginannya. Tindakan ini menurut ulama mazhab Syafi‟i dan Hanabilah hukum pernikahannya adalah batil. 21 Syarat lazim dalam hal ini adalah jika salah satu dari kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan memiliki hak untuk memfasakh pernikahan tersebut. 22 Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti memutuskan pernikahan, perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada Mahkamah dan hakim. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang 19 23 Hukum pernikahan mauquf adalah seperti pernihakan fudhuli. Dalam hal ini tidak halal bercampur suami istri dan tidak wajib member nafkah bagi suami, tidak ada ketaatan, tidak ada hak waris dan seterusnya. 23Pernikahan yang sah secara hukum islam maka, tercakup dibawahnya hak dan kewajiban yang semestinya diperoleh secara sah pula. Yaitu halalnya berhubungan suami istri, karena syarat dan rukunnya sah, diperolehnya hak waris, hak asuh, mendapat nafkah, nasab, mendapatkan perlindungan dan mendapatkan status yang semestinya diperoleh.24 Adapun hukum pernikahan yang tidak lazim (ghaira lâzim) maka hukumnya harus di fasakh. Pernikahan fâsid(rusak) terjadi jika tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan yang disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan pernikahan bathil adalah pernikahan yang tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan seperti, pernikahan sedarah, sepersusuan dan sebagainya. Hukum pernikahan yang batil ada bebrapa hal diantaranya:25 a. Haramnya pernikahan dan wajib difasakh b. Nasab anak kepada ayah, dengan syarat pernikahan tersebut tidak diketahui sejak awal, namun jika mengetahui sejak awal pernikahannya dianggap zina, dan nasab anak kepada ibunya. c. Wajibnya mahar d. Hak waris, jika salah satu pasangan meninggal sebelum fasakh terjadi maka salah satu pihak berhak mendapat warisan. e. Wajib iddah (masa menunggu) Berikut ini adalah contoh-contoh pernikahan yang bathil, diantaranya: nikah shigar, nikah mut‟ah, nikah wanita yang sudah dikhitbah, dan nikah muhallil.26 1. Nikah syighâr Nikah ini dihukumi pernikahan yang bathil, dimana pernikahan ini terjadi ketika seseorang menikahkan anaknya atau saudaranya, dengan maksud orang tersebut juga mau menikahkan anaknya atau saudaranya, tanpa mahar. Sedangkan mahar merupakan rukun nikah yang hukumnya wajib. Sehingg pernikahan ini tidak terpenuhi salah satu rukun nikah, hukumnya bathi. 2. Nikah mut‟ah diketahui setelah akad berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh adalah hak istri, sedangkan talaq adalah hak suami. 23 Wahbah az-Zuhaily, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6602 24 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6589 25 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587 26 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6610 24 Merupakan pernikahan yang terjadi dalam batas waktu tertentu, pernikahan ini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh golongan Syiah. Pernikahan ini hukumnya bathil, Karena tidak terpenuhinya tujuan-tujuan pernikahan. Terkadang pernikahan mut‟ah ini hanya sebagai kedok golongan Syiah untuk melampiaskan nafsu seksual belaka. 3. Nikah wanita yang sudah dikhitbah Meski jumhur ulama menggolongkan sebagai nikah yang sahih, karena jenis larangan bukan pada nikahnya akan tetapi karena faktor luar yang tidak mempengaruhi akad tersebut. Namun dari sudut mendahului hak orang lain yang lebih awal melamar si wanita. 4. Nikah muhallil Nikah yang dilakukan oleh wanita yang telah jatuh talaq tiga kepadanya dengan laki-laki yang dijadikan sebab „penghalal‟, dengan maksud agar suami pertama bisa kembali lagi kepada si istrinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam: ِ َع ْن،صالِ ٍح َ ََحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن بَشا ٍر ق َ َع ْن َزْم َعةَ بْ ِن، َحدثَنَا أَبُو َعام ٍر:ال ِول اَّلل ٍ َع ِن ابْ ِن َعب،َ َع ْن عِ ْك ِرَمة،َسلَ َمةَ بْ ِن َوْىَر َام ُ «لَ َع َن َر ُس:ال َ َ ق،اس ِ ِصلى هللا علَي ِو وسلم الْمحل 27 )اج ْة . و ل ل ل ح م ل ا و ، ل ْ َ ّ ُ َ (رَواهُ ابْ ُن َم َ َ َ ُ َ َ َ ُ َ ََ َْ ُ َ “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bassyar ia berkata,”Telah menceritakan kepada kami Abu „Amir dari Zam‟ah bin Shalih dari Salamah bin Wahram dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata,” Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melaknat muhallil dan muhallil lahu”.(HR. Ibnu Mâjah) Adapun terkait dengan sunnah-sunah (mandûbat) dalam sebuah akad pernikahan, seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaily adalah sebagai berikut:28 a. Akad nikah didahului dengan khitbah (melamar) nikah,29 lalu dilanjutkan dengan mengutarakan maksud, bersama nasehat dan doa-doa kebaikan, agar maksud dan tujuan dapat tercapai. Nasehat untuk kedua belah pihak sangatlah bermanfaat. Seperti firman Allah: 27 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1 (tt.p: Dar al Kutub Al Araby, tt) h. 622 Wahbah Zuhaili, Al Fikhul al Islami wa Adillatuhu, h. 6616 29 Khitbah adalah merupakan ucapan yang didahului dengan salam, shalawat kepada Nabi, dilanjutkan dengan nasehat-nasehat untuk kedua mempelai dan diakhiri dengan doa, setelah mengutarakan maksud kedatangannya. 28 25 ِ ِِ ِ ) ٥٥: [٥۱ ] (الذا ِرايَت.ي َ َوذَ ّكْر فَِإن ال ّذ ْكَرى تَْن َف ُع الْ ُم ْؤمن “Dan tetaplah memberi peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. Adz Zariyat[51]:55) ِ ِ ِ ،املصالِح َ م ْن الَ ِي َوالُس ِن َو، أَن يُ ْذ َكَر َما ِِف املَ ُأمور بِو،َوَت ُام الت ْذك ِي 30 ِ ِ .ضار َ َوَما ِِف املْن ِهي َعْنوُ م ْن امل َ peringatanَ adalah “Imam As Sa‟di menyebutkan, “Kesempurnaan mengingatkan pada perkara-perkara yang diperintahkan, dari kebenaran, kebaikan maupun kemaslahatan, hal-hal yang dilarang juga hal-hal yang berbahaya.” Dari pendapat diatas, maka tujuan utama dari nasehat nikah adalah untuk mengingatkan kebaikan-kebaikan dalam berkeluarga, hak dan kewajiban serta bekal-bekal hidup lainnya. b. Mendoakan kebaikan setelah akad nikah bagi mempelai Doa yang dibaca setelah akad nikah adalah doa-doa tentang keberkahan bagi kedua mempelai. Doa yang Rasulullah ajarkan adalah: ٍ ِحدثَنا قُت ي بةُ بن سع ، َع ْن ُس َهْي ٍل، َحدثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز يَ ْع ِِن ابْ َن ُُمَم ٍد،يد َ ُ ْ ََْ َ َ ِ َصلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم َكا َن إِ َذا َرفأ َ أَن النِِب، َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة،َع ْن أَبِيو ِْ َو ََجَ َع بَْي نَ ُك َما،ك َ َ ق،اْلنْ َسا َن إِ َذا تََزو َج َ َوَب َرَك َعلَْي،ك َ َ « َب َرَك اَّللُ ل:ال 31 ٍ )(رَواهُ أَبُ ْو َد ُاوْد َ . ِِف َخ ْي “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, Telah menceritakan kepada kami Abdul „Azîz yaitu Ibnu Muhammad, dari Suhail dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shalallahu „alaihi wa sallam jika memberikan ucapan doa pernikahan beliau bersabda,” Semoga Allah memberkahi kalian, keberkahan atas kalian, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud) c. Akad nikah pada waktu utama 30 Abdurrahman Nasir as Sa‟di, Taisîr Al Karimir Rahman Ala Kalam al Mannan, h.812 31 Abû Daûd, Sunan Abi Daud, Jilid II,(Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t) h. 241 no. Hadits:2130 26 Melaksanakan akad nikah pada waktu utama, hari jumat adalah hari yang mulia, pernikahan yang dilakukan tujuannya agar mendapat keberkahan sehingga melangsungkan nikah pada hari Jum‟at dengan harapan mendapat keberkahan juga. d. Menyiarkan pernikahan Maksud dari menyiarkan pernikahan adalah mengabarkan dan melaksanakan walimatul ursy, dengan tujuan agar kerabat dan sahabat mengetahui akad nikah sudah dilaksanakan dan agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: ِ أَخب رََن:ال َِْح ُد بن من ِ يسى ع ق ن و ار ى ن ب يد ز ي ا ن ث د ح : ال ق ع ي ٍ َ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ ْ َ ْ َحدثَنَا أ ُ ُ َ َ ٍ ِ ِ ٍ ال َ َ ق:ت ْ َ َع ْن َعائ َشةَ قَال، َع ْن ال َقاس ِم بْ ِن ُُمَمد،صا ِري َ ْبْ ُن َمْي ُمون األَن ِ ِ ُ رس ِ ِ ُ(رَواه... َ ول اَّلل َُ َ «أ َْعلنُوا َى َذا النّ َك:صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم َ اح 32 ِ )الّتِمْي ِذ ْي ّْ “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muni‟ ia berkata,” Telah menceritakan kepada kami Yazîd bin Harûn, ia berkata,” telah mengabarkan kepada kami „îsa bin Maimûn al Anshâri dari Al Qâshim bin Muhammad, dari Aisyah berkata,” Bersabda Rasulullah Shalalahu „Alaihi wa Sallam,”Siarkanlah pernikahan…” (HR. At Tirmizi) 2. Tujuan Pernikahan Jika ada surga dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang pernuh berkah dan bahagia, tetapi jika ada neraka dunia, maka neraka itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan antara suami dan istri. Pernikahan adalah ikatan agung antara dua insan yang disatukan dalam akad sebagai bukti cinta yang halal dihadapan Allah. Bukan hanya sekedar ikatan fisik, namun lebih dari itu ikatannya bersifat lahir dan batin. Imam Al „Izzuddin Abdussalam menyebutkan: ”Allah menciptakan segala sesuatu agar saling memenuhi kebutuhan dan berinteraksi untuk memenuhi kemaslahatan satu dan lainnya, baik persoalan besar kecil atau sebaliknya, orang kaya mengetahui maslahat bagi orang miskin dan sebalinya, kaum lelaki memahami 32 At Tirmizi, Sunan At Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Syarikah Maktabah Musthafa Al Babi al Halbi,1395) h.390 no. Hadits.1089 27 maslahat bagi kaum wanita dan sebaliknya, agar masing-masing dapat mengambil manfaat atau menjauhi mudharat (bahaya).”33 Al Qur‟an menggambarkan secara umum tujuan menikah dalam firman Allah: ِ ِ ِِ وِمن اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم ً آايتو أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو َ ْ َ ِ ٍ ك ََلاي ِ ) ۱۱: [۱۱ ] (الرْوم. ت لَِق ْوٍم يَتَ َفكُرو َن َ َ َم َود ًة َوَر ْْحَةً إن ِِف َذل “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. ( QS. Ar Rûm [30]:21) Imam an Nawawi Al Bantâni menafsirkan tujuan utama pernikahan dalam ayat diatas adalah untuk mendapatkan ketenangan batin. 34 َوتَطْ َمئِنوا ِبَا،لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْيها أَ ْي لِتَ ِميلُوا إِلَ َيها “Litaskunu ilaiha, maksudnya cenderung kepada istri dan untuk mendapatkan ketentraman hidup bersamanya”. Sayid Qutub menyebutkan dalam tafsirnya: “Manusia mengetahui perasaannya terhadap lawan jenisnya, kontak perasaan dan hubungan antara dua jenis yang berbeda, melabuhkan langkah dan pergerakan aktivitas rasa yang berbeda jenis dan arah antara laki-laki dan wanita. Namun saat teringat bahwa Allah lah yang menciptakan mereka berpasangan, Allah jua yang menyiapkan bagi jiwa mereka kasih dan perasaan, menjadikan interaksi yang melahirkan ketenangan jiwa, kedamaian hati dan badan, stabilitas hidup, menyegarkan jiwa. Ketenangan yang sama dirasakan baik lakilaki maupun perempuan. Ungkapan wahyu Al Qur‟an begitu lembut dan menggambarkan ikatan ini, seolah memetik rasa dari lubuk hati yang paling dalam, litaskunu ilaiha, agar kalian tenteram bersama istrimu…”35 Al Qur‟an juga mendiskripsikan ayat-ayat terkait dengan pernikahan, seperti dalam ayat berikut ini: 33 Abu Muhammad Izzuddin bin Abdul Aziz bin Salâm, Qawaid Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam, Jilid II ( Kairo: Maktabah Al Azhariyah, 1414H) h. 68 34 Imam An Nawawi Al Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Qur‟ân al Majîd, jilid 2 (Beirut: Dâr al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 228 35 Sayyid Qutûb Ibrâhîm Husain As Syârbî, Fî Zhilâlil Qur‟ân, Jilid V ( Beirut: Dâr as Syurûq, 1412 H) h. 2763 28 ِ ِس و ِ اح َدةٍ َو َج َع َل ِمْن َها َزْو َج َها لِيَ ْس ُك َن إِلَْي َها فَلَما َ ٍ ُى َو الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف ِ تَغَشاىا َْحلَت َْح ًًل خ ِفي ًفا فَمر ت َد َع َوا اَّللَ َرب ُه َما لَئِ ْن ْ َ ْ َت بِو فَلَما أَثْ َقل َ ْ ْ َ َ ِ آتَي ت نا ِ ِ ) ۱۹۸: [۷ ] (اَأل َْعَراف.ين َ ََ ْ َ صالًا لَنَ ُكونَن م َن الشاك ِر “ Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tenang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata,” Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al A‟raf [7]:189) Ayat diatas menunjukkan bahwa tujuan pernikahan selain untuk mendapatkan ketenangan hidup juga untuk mendapatkan keturunan, anak yang shalih yang menyejukkan pandangan dan membehagiakan kedua orang tuanya. Ketenangan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah bentuk perumpamaan dari kebahagiaan hidup.36 Saat lelaki dan wanita menikah maka kedekatan yang terbangun diharapkan membuat mereka bisa bertoleransi, bekerjasama dan mewujudkan kebersamaan indah dalam menggapai keridhaan Allah. Sehingga melahirkan keturunan yang menjadi pelengkap kebahagiaan mereka setelah menikah. Dalam ayat lain Allah juga berfirman: ِ وأَنْكِحوا ْاألَايمى ِمْن ُكم والصالِِي ِمن ِع باد ُك ْم َوإِمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُ َقر َاء ُ َ ْ َ َ ْ (۱۱ : [ ۱٤] (الن ْور.ضلِ ِو َواَّللُ و ِاس ٌع َعلِ ٌيم ْ َيُ ْغنِ ِه ُم اَّللُ ِم ْن ف “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian37 diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nur[24]:32) Ayat diatas merupakan janji Allah kepada orang yang hendak menikah akan dimudahkan jalan rezekinya. Terkadang muncul keraguan bahkan 36 Muhammad Thâhir bin „Asyur, at-Tahrir wa Tanwir, Jilid IX, (Tunisia: Dar Tunis li an-Nasyr,1984) h. 211 37 Lelaki atau wanita yang belum menikah, karena sebab ketidak mampuan secara finansial hendaklah dibantu dan dimudahkan, tidak mempersulit dengan syarat-syarat yang bukan inti dan wajibnya sebuah pernikahan. 29 ketakutan bagi lelaki atau wanita yang ingin menikah akan masa depan mereka. Ayat ini merupakan jawaban bahwa orang yang menikah, jika ia miskin maka Allah akan membuatnya cukup dalam kehidupannya kelak. Janji Allah adalah pasti, dan keraguan-keraguan hanyalah bisikan syetan yang menimbulkan was-was dalam hati manusia. Di dalam tafsir Al Marâghi disebutkan: ِ ض ِل ْ َ فَ َف ْي ف،اجها ُ ب إِلَي ُك ْم أَْو فَ ْق ِر َم ْن تُِر َ يدو َن َزَو ُ َُل تَنظُُروا إ ََل فَ ْق ِر َم ْن َيْط 38 .اد َوَرائِ ٌح ُ َوامل،هللاِ َما يُ ْغنِْي ِه ْم ٌ ال َغ َ kepadamu, atau “Janganlah kamu melihat fakir siapa yang melamar fakirnya orang yang hendak menikah dengan seorang wanita, disisi Allahlah keutamaan yang bisa membuat mereka cukup (kaya) karena tabiat harta adalaha datang dan pergi.” Dalam ayat lain Allah berfirman: ِ ِس و ِ اح َدةٍ َو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها َ ٍ اس ات ُقوا َرب ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف ُ َيأَي َها الن ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ََوبَث مْن ُه َما ِر َج ًال َكث ًيا َون َساءً َوات ُقوا اَّللَ الذي تَ َساءَلُو َن بو َو ْاأل َْر َح َام إن اَّلل )۱ :[ ٤] (النِّ َساء.َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya39 Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisâ [4]: 1 Dari ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa salah satu hikmah pernikahan adalah menyambung silaturahmi dengan orang lain. Karena dengan menikah berarti ada dua keluarga besar yang saling berinteraksi dan saling mengenal. Orang yang menyambung silaturahmi di cintai Allah dan orang yang memutuskan silaturahmi dilarang Allah. 38 Ahmad Mushthafa al-Marâghi, Tafsir al Marâghi, Jilid XVIII, (Mesir: Maktabah Musthafa Al Bâbi al Halbi,1365 H) h. 103 39 Maksud “dari padanya‟ menurut mayoritas ahli tafsir adalah bagian tubuh (tulang rusuk) nabi Adam, selain itu ada juga yang menafsirkan „dari padanya‟ sebagai tanah yang darinya nabi Adam diciptakan Allah. 30 Dalam fikih ada beberapa hukum terkait dengan pernikahan, Sayid Sabiq menyebutkan lima hukum dalam pernikahan diantaranya:40 1. Wajib41 Pernikahan dihukumi wajib manakalah, seseorang sudah mampu menikah secara finansial, dan khawatir akan terjerumus kedalam perzinahan. Dalam hal ini seorang laki-laki dan wanita yang memiliki krriteria diatas hukumnya wajib untuk menikah. 2. Sunah42 Golongan ini adalah mereka yang sudah mampu menikah, dan ia merasa mampu untuk menahan syahwatnya. Hal ini bisa dilakukan karena ia berada pada lingkungan yang terjaga, seperti pesantren atau lembaga pendidikan yang menjaga interaksi dengan lain jenis secara ketat. Sehingga dorongan-dorongan untuk kearah pemenuhan kebutuhan syahwat yang diharamkan dapat terjaga. Meski mayoritas ulama menganjurkan jika seseorang mampu menghindari hal-hal yang diharamkan, maka disunnahkan menikah daripada menyibukkan diri dengan ibadah tanpa menikah. Karena dengan pernikahan yang barakah akan mendapatkan keturunan yang dapat dibanggakan oleh Rasulullah Shalallahu Aliahi wasallam di akherat kelak. Seperti tertera didalam hadits Nabi Muhammad SAW: ، َحدثَنَا ُس ْفيَا ُن:ال َ ََْحَ َد الزبَ ِْيي ق ْ َحدثَنَا أَبُو أ:ود بْ ُن َغْي ًَل َن قَا َل ُ َحدثَنَا َُْم ُم ِ عن عب ِد اَّلل،يد ِ ِ َع َم ْ َع ْن األ َْ ْ َ َ َع ْن َعْبد الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز، َع ْن عُ َم َارةَ بْ ِن عُ َم ٍْي،ش ٍ ب ِن مسع ِ ِ اب َل َ َود ق ٌ َ َوََْن ُن َشب،صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم ُْ َ ْ َ ِب ِّ َخَر ْجنَا َم َع الن:ال ٍ ِ ِ «اي م ْع َشر الشب:ال فَِإنوُ أَغَض،ِ َعلَْي ُك ْم ِبلبَاءَة،اب َ َ َ َ َ فَ َق،نَ ْقد ُر َعلَى َش ْيء ِ فَِإن، فَ َم ْن ََلْ يَ ْستَ ِط ْع ِمْن ُك ُم البَاءَةَ فَ َعلَْي ِو ِبلص ْوِم،ص ُن لِْل َفْرِج ْ َوأ،ص ِر َ َح َ َل ْلب 43 ِ )الّتِم ِذ ْي ّْ ُ(رَواه َ ٌالص ْوَم لَوُ ِو َجاء “Telah menceritakan kepada kami Mahmûd bin Gailân ia berkata,telah menceritakan kepada kami Abû ahmad Az Zubairi ia berkata,dari Sufyân 40 Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Juz 2 h. 16 Hukum wajib adalah, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka kan mendapat dosa. 42 Hukum Sunah, jika dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka pelakunya tidak mendapatkan dosa. 43 Imam at-Tirmizi, Sunan at- Tirmîzi, Jilid III (Mesir: Maktabah Musthafâ al Bâbi al Halbî, 1395H) h.384 no.1081 41 31 dari Al‟A‟Mas dari „Amârah bin Umair, dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah bin Mas‟ûd berkata,”Kami keluar bersama nabi, saat masih muda kami belum mampu menikah, lalu Rasulullah bersabda,” Wahai pemuda, hendaklah kalian menikah, sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan, mejaga kemaluan, jika belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai”.(HR. At-Tirmizi) 3. Mubah44 Hukum mubah artinya boleh, manakalah faktor-faktor yang mendorong dan menghalangi pernikahan tidak ada, dalam hal ini kebolehan menikah bagi mereka yang tidak ada faktor pendorong dan penghalang pernikahan. 4. Makruh45 Hukum makruh terjadi jika seseorang belum mampu secara lahir maupun batin untuk menikah, namun ia inging segra menikah. Jika golongan ini ingin tetap melangsungkan niatnya untuk menikah sedangkan kemampuan lahiriah maupun batiniahnya tidak memadai maka hukumnya makruh, lebih baik melengkapi persiapan untuk menikah, baik dengan berpenghasilan atau dengan membelaki diri dengan beragam kemampuan positif yang kelak bermanfaat jika ia menikah. Anjuran untuk golongan ini hendaknya memperbanyak puasa, untuk meredam syahwatnya dan berolahraga menyalurkan energy berlebih kepada hal-hal yang positif. 5. Haram46 Hukum menikah menjadi haram bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu: Pertama, seseorang yang hendak menikah dengan tujuan untuk berbuat zalim kepada istri atau sebaliknya, seperti ingin menyakiti, membalas dendam, memutuskan silaturahim, menguasai harta warisan pasangan dan sejenisnya. Kedua,seseorang yang menikah namun memiliki penyakit yang berbahaya atau penyakit yang sulit disembuhkan. Atau memiliki penyakit yang menular dikhawatirkan jika mereka menikah maka penyakit yang diidapnya tersebut semakin menjalar. Atau jika salah satu dari kedua pasangan memiliki kekurangan secara fisik sehingga khawatir tidak bisa melaksanakan tugas sebagai suami atau istri. Namun jika kedua belah pihak sudah ridha dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing maka dalam hal ini hukum menikah tidaklah menjadi haram. Intiya ada keterbukaan untuk berusaha menjelaskan kondisi masing-masing dan pihak suami atau istri saling menerima. 44 Hukum Mubah adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. 45 Hukum Makruh adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mengapa dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala. 46 Hukum haram, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala 32 Selain dari itu, pernikahan memiliki tujuan-tujuan mulia yang seharusnya bisa direncanakan dan dicapai oleh pasangan suami istri, tujuan utamanya adalah beribadah kepada Allah dan meraih faedah dan keberkahan dalam pernikahan, adapun tujuan dalam pernikahan diantaranya:47 a. Melaksanakan perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. b. Pernikahan akan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup c. Pernikahan merupakan sarana ibadah untuk memperbanyak pahala dan mempersempit dosa. d. Mencegah perbuatan zina e. Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan f. Memelihara kehormatan perempuan g. Mencegah penyebaran perbuatan keji dan maksiat h. Membina generasi muslim yang tangguh Tujuan pernikahan ini begitu luhur dan agung, mencakup urusan dunia dan akherat, sehingga jika kita cermati sudah seharusnyalah sebuah pernikahan menjauhi hal-hal yang dapat merusak ikatan perkawinan atau menjadikan pihak-pihak yang terikat dengan sebuah pernikahan menderita atau kehilangan hak-haknya. Begitu miris jika kita melihat seorang anak yang terlantar tanpa perlindungan orang tuanya, harus hidup seorang diri dalam sebuah masyarakat yang tidak bersahabat dengannya. Atau sebuah keluarga yang broken home akibat perceraian yang terjadi karena orang tua yang egois dengan sikapnya. Sâyid Sabiq menyebutkan beberapa hikmah dari sebuah pernikahan,48 diantarnya: Pertama, Menyalurkan hasrat biologis. Merupakan kebutuhan manusia untuk berkembang biak dan memperbanyak keturunan, islam adalah agama yang solutif dengan menghadirkan pernikahan didalamnya.Menyalurkan hasrat biologis sudah seharusnya pada tempat yang dihalalkan. Kedua, menjaga kesucian, untuk itulah Rasulullah dalam haditsnya bersabda: ٍ ْ وأَبُو ُكري،ََحدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْن أَِِب َشْي بَة َع ِن،َ َحدثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَة: قَ َال،ب ُ َ َ ِ َع َم ،ِ َع ْن َعْب ِد هللا،يد َ َع ْن َعْب ِد الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز، َع ْن عُ َم َارةَ بْ ِن عُ َم ٍْي،ش ْ ْاأل ِ «اي م ْع َشر الشب:ول هللاِ صلى هللا َعلَْي ِو وسلم َم ِن،اب ُ ال لَنَا َر ُس َ َ ق:ال َ َق َ َ َ َ َ َ ََ ُ 47 Abû Mâlik Kamâl, Fikih Sunah Wanita, ( Jakarta:Penerbit Pena,2007) h.133 Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Jilid II, ( Beirut: Dar al Kutub al „Arabi, 1397) h. 13 48 33 ِ وأَح، فَِإنو أَ َغض لِْلبص ِر،استطَاع ِمْن ُكم الْباء َة فَ ْلي ت زوج ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ ْ َ ََ ْ َوَم ْن ََل،ص ُن ل ْل َفْرِج 49 ِ ِ ِ ِِ )(رَواهُ البُ َخا ِر ْي. َ ٌ فَإنوُ لَوُ ِو َجاء،يَ ْستَط ْع فَ َعلَْيو بلص ْوم “Telah bercerita kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu Kuraib, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah, dari Al A‟masy dari Umarah bin ‟Umair dari Abdurrahman bin Zaid, dari Abdullah berkata, Rasullah bersabda kepada kami,”Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu menikah maka menikahlah, karena itu dapat menundukkan pandangan, menjaga kesucian, barangsiapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya”. (HR. Al Bukhâri) Ketiga, menjalin persaudaraan dan silaturahim. Pernikahan bukan hanya dua insan yang bertemu, melainkan dua keluarga besar. Harapannya agar kedua belah pihak tersebut bisa bertemu, bersilaturahim dan akhirnya menjalin persaudaraan dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Keempat, keluarga merupakan tempat mencurahkan kasih sayang dalam bingkai agama, hubungan yang harmonis antar ayah, ibu dan anak memungkinkan perkembangan psikologis anak-anak menjadi sempurna sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Kelima, keluarga merupakan tempat berbagi peran, seorang ayah bertanggungjawab atas amanah keluarga yang dipimpinnya, ia harus mampu mengarahkan bahtera rumah tangga ke pulau harapan dan kebahagiaan, seorang ibu bertugas mengatur rumah tangga, mengurus suami, mendidik anak beserta suami serta menjadi tempat berbagi kasih sayang anak-anaknya. Seorang anak berperan melanjutkan citacita keluarganya. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia seperti yang telah penulis kemukakan diatas, maka pernikahan memiliki rukun dan syarat tertentu, dalam kajian fikih klasik terdapat perbedaan dikalangan ulama mazhab terkait dengan rukun dan syarat pernikahan, diantaranya: a. Kalangan Hanafiyah Kalangan Hanafiyah berpendapat syarat nikah saling terkait, antara satu dan lainnya. Sebagian terkait dengan calon mempelai, sebagian terkait dengan saksi, dan ijab Kabul. Hanafiyah juga membagi lafaz ijab Kabul ada yang sharîh (jelas) dan kinâyah (kiasan). Lafaz Sharîh yang digunakan khusus, seperti ungkapan Tazwîj atau Inkâh. Atau ucapan sejenisnya.50 Kalangan ini juga berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat saja (ijab 49 Imam al-Bukhari, Shahih al- Bukhâri, Jilid III (tt.p: Dar Tuq an Najat,1422H) h. 3 , No.Hadits. 5065 50 Abdurrahman a- Jazîri, Al Fikh „alâMazahib Arba‟ah, Jilid IV (Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah,1424H) h.17 34 dan kabul) dengan lafaz tertentu, atau dengan lafaz yang maknanya dipahami sebagai makna nikah, yaitu lafaz inkâh atau tazwîj51.Lafaz yang bermakna nikah, pada masa Rasulullah adalah hibah, namun lafaz ini khusus bagi Rasulullah SAW. Seperti yang tercantum dalam firman Allah: ِ ِ ِ ِِ ًصة ْ ََو ْامَرأًَة ُم ْؤمنَةً إِ ْن َوَىب َ ِب إِ ْن أ ََر َاد النِِب أَ ْن يَ ْستَ ْنك َح َها َخال ِّ ت نَ ْف َس َها للن ِ ك ِمن د ) ٥.: [۱۱] ون الْ ُم ْؤِمنِي (اَألَ ْحَزاب ُ ْ َ َل “Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Q.S. Al Ahzâb [33]:50) b. Kalangan Malikiyah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah ada empat yaitu: sighat, wali, mahar, dan dua orang saksi52. Malikiyah berpendapat lafaz ijab qabul adalah lafaz apa saja yang menunjukkan penguatan tujuan, seperti ankahtu (aku menikahkan) zawajtu (aku kawinkan) mallaktu (aku milikkan) bi‟tu (aju jualkan) dan wahabtu (aku hadiahkan) dengan disebutkan mahar tertentu.53 Menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, syarat akad nikah ada tiga hal, yaitu wali, saksi dan mahar. Adapun syarat wali adalah, islam, lakilaki dan sudah balligh. 54 c. Kalangan Syafi‟iyah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat, wali, mahar, dua orang saksi dan kedua mempelai. Meskipun penamaan mahar bisa digunakan juga dengan istilah shadaq.55 Al Mawardi menyebutkan bahwa, hanya nabi yang dibolehkan untuk menerima akad dengan lafaz hibah, tidak untuk kaum muslimin, karena merupakan kehususan nabi Muhammad SAW, karena jika demikian maka nikah tidak perlu ada wali dan mahar begitupula dengan dua orang saksi yang adil.56 d. Kalangan Hanabilah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah sighat (ijab dan kabul) dan kedua mempelai. Lafaz yang disepakati dalam mazhab ini adalah tazwij 51 Al- Kâsâni, Badâi‟ Shanâi‟ Fî Tartîb asy-Syarâ‟i, Jilid II (tt.p: Dâr Al Kutûb, 1406H) h. 230 52 Ibnu al-Hâjib al-Kurdi, Jâmi‟ al-Ummahât, Jilid I (tt.p: al-Yamâmah Li An Nasyr wa Tauzi‟, 1421 H) h. 255 53 Ibnu Hâjib al Kurdi, Jami‟ al-Ummahât, h. 255 54 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz III h.39 55 Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al Ma‟bari al Malibari al Hindi, Fath al Mu‟in Bi Syarh Qurat al „ain Bi Muhimmât ad dîn, Jilid I (tt.p: Dâr Ibn Hazm, tt) h. 485 56 Al-Mawardi, an Nakat wal „Uyûn, Jilid 4 (Beirut: Dâr al Kutûb Al Ilmiyah, tt) h. 415 35 dan nikah.57Kalangan ini juga menyebutkan tentang tidak sahnya pernikahan tanpa wali, seperti disebutkan: 58 ٍ ِصح نِ َكاح ا ِ وَل ي ضا َولِي َها َ مرأَة إِل بِ ِر َ َ َ َ “Tidak sah nikahnya seorang wanita tanpa ridha walinya”. Adapun rukun dan syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut59 : a. Mempelai pria dan Syarat-syaratnya 1. Beragama Islam 2. Laki-laki 3. Jelas orangnya 4. Dapat memberikan persetujuan 5. Tidak ada halangan perkawinan60 b. Mempelai wanita dan Syarat-syaratnya 1. Beragama Islam 2. Perempuan 3. Jelas orangnya 4. Dapat diminta persetujuan 5. Tidak terdapat halangan perkawinan c. Wali dan Syarat-syaratnya Secara bahasa wali bermakna al mahabah ( kecintaan) dan nushrah (pertolongan). Hal ini sesuai dengan firman Allah: ِ ومن ي ت ول اَّلل ورسولَو وال ِ ب اَّللِ ُى ُم الْغَالِبُو َن ذ َ ين َآمنُوا فَِإن حْز َ َ ُ ُ َ َ َ َ ََ ْ َ َ 56: [ ٥] دة َ ِ(املَائ “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orangorang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maidah [5]:56) Menurut an-Nasafi dalam tafsirnya,” yang dimaksud dalam kata “yatawalla” artinya menjadikan wali atau menjadi wali”.61 57 „Alauddin Abu al Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawai al-Damsyiqi al-Hanbali, Al Inshaf fi Ma‟rifati Ar Rajih Min al Khilaf, Jilid VIII (t.tp:Dâr Ihya Turats,tt) h. 45 58 Abu al- Barakat al-Majduddin, al- Muharrar Fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid II ( Riyadh: Maktabah AL Maarif,1404 H) h. 15 59 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, h, 12 60 Halangan perkawinan misalnya: terdapat hubungan nasab dekat, telah beristri, atau jika wanita masih dalam masa iddah, melakukan pelanggaran nikah mut‟ah atau melanggar peraturanperaturan yang berlaku. 61 An Nasafi, Tafsir an Nasafi, Jilid 1, (Beirut: Dar al Kalam at Thayib,1419H) h. 456 36 Wali bisa juga bermakna, pihak yang memiliki kekuasaan, seperti disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili.62 Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan wali adalah: ِ اشرةِ الت ِ ف ِمن َغ ِي تَوق َويُ َس َمى.ف َعلَى إِ َج َازةِ أَ َح ٍد َ َ َ َاَل ُق ْد َرةُ َعلَى ُمب ْ صر َ ِ مت وِّل 63 ِ )د (الول َ َ َُ ْ َ الع ْق “Kemampuan untuk bertindak langsung tanpa henti untuk membolehkan seseorang. Dinamakan juga orang yang membolehkan sebuah akad. Kedudukan wali bagi mempelai wanita merupakan rukun nikah, jika ada seorang wanita yang menikah tanpa wali maka hukum nikahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ِ َع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن،َخبَ َرََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج ْ أ،َخبَ َرََن ُس ْفيَا ُن ْ أ،َحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن َكث ٍي ِ ُ ال رس ِ صلى ْ َ قَال،َ َع ْن َعائ َشة، َع ْن عُْرَوَة،ي َ ول اَّلل ُ َ َ َ ق:ت َ ُم ِّ َع ِن الزْى ِر،وسى ِ ِ ِ ِ «أَُّيا امرأَةٍ نَ َكح:هللا علَي ِو وسلم ِ ،»اح َها َب ِط ٌل ْ َ ُ فَن َك،ت بغَ ِْي إ ْذن َم َوال َيها َْ َ َ َ َ ْ َ ُ 64 ٍ َ ثًََل )(رَواهُ أَبُ ْو َد ُاوْد. َ ث َمرات Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsîr, telah mengabarkan kepada kami, Sufyân, telah mengabarkan kepada kami Sulaimân bin Musâ, dari Az Zuhri, dari „Urwah, dari „Ậisyâh, ia berkata,”Telah bersabda Rasûlullâh SAW,”Siapasaja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah) Nabi mengucapkannya tiga kali…”(HR. Abu Daud) Dari hadits diatas bisa disimpulkan bahwa jika pernikahan tidak ada walinya maka tidak sah, hal ini juga didukung hadits lain: اق َ ََحدثَنَا َعلِي بْ ُن ُح ْج ٍر ق َ َع ْن أَِِب إِ ْس َح،ِيك بْ ُن َعْب ِد اَّلل ُ َخبَ َرََن َش ِر ْ أ:ال وحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن َ َوحدثَنَا قُتَ ْي بَةُ ق َ َع ْن أَِِب إِ ْس َح،َ َحدثَنَا أَبُو َع َوانَة:ال َ ،اق َ ِ ِ ِ َع ْن أَِِب،يل َ َبَشا ٍر ق ٍّ َحدثَنَا َعْب ُد الر ْْحَ ِن بْ ُن َم ْهد:ال َ َع ْن إ ْسَرائ،ي 62 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6690 Wahbah Az-Zuhaili, al- Fikh al-Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6691 64 Abû Daud, Sunan Abu Daud, jilid II ( Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t ) h. 229 no. 63 2083 37 ِ ٍ ٍ حدثَنَا َزيْ ُد بْن حب:ال َع ْن،اب َ إِ ْس َح َُ ُ َ َ َوحدثَنَا َعْب ُد اَّلل بْ ُن أَِِب ِزَايد ق َ ،اق وسى َ َع ْن أَِِب إِ ْس َح،اق َ س بْ ِن أَِِب إِ ْس َح َ َع ْن أَِِب ُم،َ َع ْن أَِِب بُْرَدة،اق َ ُيُون ِ ُ ال رس ِ ِ ِ َ «َل نِ َك:صلى اَّللُ َعلَْي ِو َو َسل َم َ َق ُ(رَواه َ ول اَّلل ُ َ َ َ ق:ال َ .ل ٍّ اح إل ب َو 65 ِ )الّتِم ِذ ْي ّْ “Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Hujr berkata,”Telah mengabarkan kepada kami, Syarîk bin Abdillah, dari Abî Ishâq,telah menceritakan kepada kami,Qutaibah berkata,‟Telah menceritakan kepada kami, Abû „Awânah, dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada Muhammad bin Basyâr berkata Abdurrahman bin Mahdi dari Isrâil,dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Ziyâd,berkata,”Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubâb dari Yûnus bin Abu Ishâq dari Abu Ishâq dari Abî Burdah dari Abî Burdah dari Abî Mûsâ berkata, bersabda Rasûlullâh SAW,” Tidak sah nikah tanpa wali”.(HR. At Tirmizî) Hikmah disyariatkannya wali karena pernikahan ada tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan tabiat wanita lebih mengedepankan perasaan, untuk itulah ia membutuhkan wali sebagai penyambung hati, kata dan perasaan saat hendak menikah, sehingga tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan dapat tercapai kesempurnaannya.66 Adapun ketentuan perwalian seperti diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 50 disebutkan: 67 Ayat (1): Anak yang belum mencapai umr 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2): Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta benda. Jika dalam pasal diatas (ayat 1 dan 2) merupakan hak dan wewenang wali, maka pada pasal di bawah ini menyebutkan kriteria wali seperti dalam Pasal 50 menyebutkan: Ayat (1): 65 At-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî, Jilid III,(Mesir: Syarikah Musthafa Al Bâbi al Halbî, 1935H) h. 399 no. 1101 66 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, j. 2 h.127 67 Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 38 Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. Ayat (2): Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Ayat (3): Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. Ayat (4): Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda abak atau anak-anak itu. Ayat (5): Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. Menurut Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang tugasnya untuk menikahkan wanita tersebut.68 Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan Ayat (1): Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil (berakal) dan baligh. Ayat (2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab b. wali hakim Dalam fikih klasik juga terdapat pembagian wali dan syarat-syaratnya, sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya perbedaan bahasa saja. Misalnya dalam kajian fikih Hanafi, kalangan ini membagi wali dalam tiga kategori yaitu:69 Pertama, Wali atas Jiwa (nafs) 68 Kompilasi Hukum Islam bag. 3 Tentang Wali Nikah 69 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuh, J. IX h. 6691 39 Kedua, Wali atas Harta (al mal) Ketiga, Wali atas Jiwa dan Harta bersamaan (An Nafs wa al mal). Yang dimaksud wali atas jiwa adalah wali yang memiliki hak atas perkara-perkara personal, seperti menikah, belajar, berobat, bekerja. Hal ini hanya dimiliki oleh Ayah, Kakek dan wali-wali lainnya. Sedangkan wali atas harta, berkaitan dengan perkara harta seperti, invetasi, membelanjakan harta, infak, zakat dan lainya. Biasanya dimiliki oleh ayah, kakek, orang yang diwasiatkan oleh keduanya dan hakim. Sedangkan wali atas harta dan jiwa, mereka yang terlkait dengan perkara jiwa dan harta sekaligus, dalam bahasan ini hanya dua golongan yang memiliki kewenangan, yaitu ayah dan kakek saja. Sedangkan wali atas jiwa terbagi menjadi dua bagian, wilayah ijbar70 dan wilayah ihtiyar71. Dalam konteksnya maka wilayah ijbar sering dikenal dengan wali hakim, karena jika tidak ada dipihak keluarga yang menjadi wali maka hakim adalah walinya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW: ِ أَن أَبُو الْ َعب،اق أ َََن ُُمَم ُد،وب َ َخبَ َرََن أَبُو َزَك ِراي بْ ُن أَِِب إِ ْس َح ْأ َ اس ُُمَم ُد بْ ُن يَ ْع ُق ٍ أ َََن ابْن وْى،بْن َعْب ِد اَّللِ بْ ِن َعْب ِد ا ْلَ َك ِم َع ْن ُسلَْي َما َن،َخبَ َرِن ابْ ُن ُجَريْ ٍج ْ أ،ب َُ ُ ٍ َعن ابْ ِن ِشه،بْ ِن موسى ِب ِّ ِ َزْو ِج الن،َ َع ْن َعائِ َشة، َع ْن عُْرَوَة بْ ِن الزبَ ِْي،اب َ ْ َ ُ ِ ِ ِ «َل:ال َ َصلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم أَنوُ ق َ صلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم َع ْن َر ُسول اَّلل َ ِ فَِإ ْن نُكِح،تُْن َكح امرأَةٌ بِغَ ِي أَم ِر ولِيِها فَِإ ْن، ثًََل ًًث،اح َها َب ِط ٌل ْ َ َّ َ ْ ْ َْ ُ ُ ت فَن َك ِ ِِ فَِإ ِن ا ْشتَ َجُروا فَالس ْلطَا ُن َوِل َم ْن َل،اب ِمْن َها َ َص َ َصابَ َها فَلَ َها َم ْهُر مثْل َها ِبَا أ َأ 72 )(رَواهُ البَ ْي َه ِقي َ .َُوِل لَو “Telah mengabarkan kepada kami Abû Zakariâ bin Abî Ishâq, saya Abû al Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb saya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakîm saya Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Ibnu Syihâb dari „Urwah bin 70 Wali yang memiliki hak atau kekuasaan untuk menekan atau meluluskan pendapat kepada pihak lain, 71 Wali yang memiliki hak untuk menikahkan seseorang sesuai dengan pilihan (ihtiyar) 72 Al-Baihaqi, Sunan as-Shagîr, Jilid III, (Pakistan: Jam‟iah Dirasat Islamiyah, Karachi,1410) h. 16 No. 2366 40 Zubair dari „Aisyâh istri Nabi SAW dari Rasûlullâh SAW beliau bersabda,” Janganlah kau nikahkan seorang wanita tanpa perintah walinya, jika ia dinikahkan maka nikahnya batil (tidak sah) jika ia melakukanya maka bagi wanita mahar mitsli73 atas pernikahan tersebut, jika mereka berselisih, maka hakim adalah walinya bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Al Baihaqi) Menurut Malikiyah, wali terbagi menjadi dua: Pertama, wilayah „Ậmah (umum) dan Kedua, wilayah khâsah (khusus). Yang dimaksud wali umum adalah setiap wali yang tetap dengan sebab satu yaitu agama islam. Wali umum ini asal ia beragama isla memiliki hak-hak untuk menjadi wali pihak perempuan. Syarat lain adalah, pihak perempuan tersebut tidak memiliki ayah atau yang di wasiatkan oleh ayahnya. sedangkan wali khâsah (khusus) adalah khusus dimiliki oleh enam pihak yaitu: ayah, atau yang diwasiatkan ayah, saudara dekat ayah, maula , pihak yang menanggung,dan hakim). Menurut kalangan Syafi‟iyah wali ada dua jenis: ijbariyah (ayah, kakek) dan ikhtiyariyah (wali Ashabah) seperti kalangan Hanifiyah dalam hal wali atas jiwa (an nafs). Adapun menurut Hanabilah, tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi seperti pendapat Malikiyah Syafi‟iyah.74 Adapun urutan wali menurut Ibnu Rusyd dimulai dari nasab, sulthan (hakim, maula75, orang islam.76. adapun yang berhak menjadi wali nikah, secara nasab dna berurutan adalah sebagai berikut: 1. Bapak 2. Kakek 3. Saudara laki-laki sebapak 4. Saudara laki-laki seibu 5. Paman dari jalur bapak 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki 7. Anak laki-laki dari saudara perempuan 8. Anak laki-laki paman dari jalur bapak 9. Paman dari jalur ibu 10. Anak laki-laki paman dari jalur ibu. d. Ijab Kabul Ijab adalah ungkapan yang diucapkan oleh wali wanita ketika akad nikah, sedangkan qabul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Dengal lafaz 73 Mahar Mistli adalah mahar yang ditentukan oleh pihak wanita sesuai dengan status dan kesepakatan keluarganya. 74 Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid VII, ( Kairo: Maktabah Al Qâhirah, 1388H) h. 6 75 Maula adalah wali yang menikahkan budaknya sendiri, artinya tuan atau majikan 76 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, j. III h. 40 41 ِْ اْلنْكاَ ُح " و " الت ْزِويْ ُج Inkah (kawin) atau tazwij (nikah) atau dengan makna yang serupa. Namun makna yang serupa ini harus disertai dengan niat77 . Ijab Kabul boleh dengan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, baik bahasa, ucapan atau ungkapan apa saja yang serupa. Tidak juga harus memakai bahasa Arab, kecuali jika kedua belah pihak memang memahami Bahasa Arab sehingga memahami makna apa yang diucapkan. e. Dua orang saksi Keberadaan saksi merupakan rukun dalam sebuah pernikahan, saksi yang adil dan dapat dipercaya dalam sikap dan ucapannya. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW: ِ ِ أَن أَبو الْول،ظ ِالاف ِأَخب رََن أَبو عب ِد اَّلل أَن ُُمَم ُد بْ ُن َج ِري ٍر،ُيد الْ َف ِقيو ْ ُ َْ ُ َ َ ْ ُ َ َ ٍ ِيد بن ََيَي ب ِن سع ِ َع ْن، َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج، أَن أَِِب،يد ْاأل َُم ِوي َ ْ َ ْ ُ ْ ُ أَن َسع،الط ََِبي ِ َ أَن النِِب،َ َع ْن َعائ َشة،َ َع ْن عُْرَوة،ي َ ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم ُصلى هللا ِّ َع ِن الزْى ِر،وسى ِ وش، «أَُّيا امرأَةٍ نُ ِكحت بِغَ ِي إِ ْذ ِن ولِيِها:ال اى َد ْي َع ْد ٍل َ ََعلَْي ِو َو َسل َم ق َ َ َّ َ ْ ْ َ َْ َ 78 ِ ِ )(رَواهُ اَلبَ ْي َه ِق ْي ُ فَن َك َ اح َها َبط ٌل “Telah mengabarkan kepada kami Abû Abdillah al Hâfiz, saya Abû al Walîd al Faqîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabari, saya Saîd bin Yahyâ bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda,” Siapa wanita menikah tanpa izin walinya dan dua orang saksi yang adil maka nikahnya batil (tidak sah).”(HR. Al Baihaqi) Diantara syarat saksi adalah sebagai berikut: a. Muslim b. Baligh c. Berakal d. Merdeka e. Laki-laki f. Adil 77 Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatâwâ, Jilid XXXII, ( Saudi Arabia: Majma‟ Malik Fahd,1416 H) h. 15 78 Al-Baihaqi, Sunan Shagîr, Jilid III, (Pakistan:Jamiah Dirasat Islamiyah, Karatchi,1410) h. 20 No. 2382 42 6. Macam-Macam Pernikahan Dalam kajian fikih klasik ada beberap jenis pernikahan sesuai dengan syarat dan pendapat ulama didalamnya, dan masing-masing memiliki konsekwensinya, diantaranya:79 a. Hanafiyah Menurut hanafiyah ada lima jenis yaitu: Sahih Lazim, Ghaira lazim, Mauquf, fasid dan bathil b. Malikiyah Menurut Kalangan Malikiyah, ada empat jenis yaitu: Shahih lazim, ghairu lazim, mauquf, dan bathil. c. Syafi‟iyyah dan Hanabilah Menurut kalangan ini pernikahan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: Lazim, Ghaira lazim dan Fasid (bathil) Yang dimaksud dengan pernikahan lazim adalah sebuah pernikahan yang tercukupi syarat dan rukunnya, baik syarat sah maupun syarat keterlaksanaannya (nafâdz).80 Sedangkan pernikahan yang ghaira lazîm (tidak lazim) adalah pernikahan yang tidak tercukupi salah satu syarat dari syarat lazim pernikahan tersebut. Pernikahan yang mauquf apabila kehilangan salah satu syarat keterlaksanaan (nafâdz). Pernikahan fasid menurut jumhur jika kehilangan salah satu syarat atau rukunnya, sedangkan menurut Hanafiyah apabila kehilangan syarat akad (in‟iqâd). Sedangkan pernikahan yang bathil apabila kehilangan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pernikahan sah adalah pernikahan yang sah syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun seperti yang telah penulis sebutkan diatas. Yang menjadi titik persoalan dimasyarakat adalah tidak terpenuhinya syarat dan rukun yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam hal sah atau tidaknya perkawinan. Istilah pernikahan dan jenisnya bisa penulis kemukakan seperti berikut ini: A.Nikah Tercatat Pernikahan tercatat adalah pernikahan yang memenuhi syarat rukun yang sudah ditetapkan secara agama dan negara, sebagai bukti kekuatan hukumnya pernikahan ini dicatatkan di KUA. Hal ini sesuai dengan amanah UndangUndang Perkawinan. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.81 Menurut Siska Lis Sulistiani, perkawinan di Indonesia dianggap sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut82: 79 Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6586 Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587 81 Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 80 43 1. Menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing 2. Tertib hukum syariat (bagi yang beragama Islam) 3. Dicatatkan menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah.83 Selanjutnya dalam pernikahan yang sah dan tercatat, ada konsekwensi yang merupakan maqâshid (tujuan) pernikahan seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang Perkawinan diantaranya:84 Pasal 30: Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Dalam Pasal 31 disebutkan: 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Ayat diatas mengatur tatacara dan interaksi antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Islam mengatur hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri, pada dasarnyauntuk mencapai tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Berikut ini adalah hak-hak yang islam atur85: Pertama: Hak istri a. Hak terkait harta benda Hak terkait harta maksudnya hak seorang istri terkait kepemilikan harta dari pihak suami, yang lazim dikenal dalam hukum islam, adalah mahar dan nafkah. Mahar merupakan harta wajib yang diserahkan oleh pihak calon suami kepada calon calon istri dalam pernikahan, hal ini seperti yang disebutkan oleh Imam an Nawawi: 86 ِ اسم الْم ِال الْو ِاج اح ِ ب لِْل َمْرأَةِ َعلَى الر ُج ِل ِبلنِّ َك َ َ ُ ْ ُى َو “Yaitu harta yang wajib atas laki-laki kepada wanita dalam pernikahan”. Imam An Nawawi mengungkapkan ada beberapa nama lain dari mahar yaitu as shadâq, as shadaqah, al Ajr, al „Aqr, nikhlakh, „Athiyah dan al Aqliyah.87 82 Siska Lis Sulistiani,Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Hal. 11 83 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 84 Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31dan pasal 32 85 Wahbah a-z-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa adillatuh, j.9 h. 6842 86 Imam an Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, Jilid VII, (Beirut: al Maktab al Islami, 1412 H) h. 249 87 Imam an-Nawawi, , Raudhatu at Thâlibîn wa Umdat al- Muftîn, Jilid VII, h. 249 44 Al Qur‟an menyebutkan tentang mahar yang harus diberikan kepada calon istri seperti dalam ayat: ِ ِِ ِ ِ ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنوُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َىنِيئًا َ ْ ص ُدقَاِتن َْنلَةً فَِإ ْن ط َ ََوآتُوا النّ َساء )٤: [ ٤] (النِّ َساء.َم ِريئًا “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan,88 kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.( QS. An Nisâ [4]: 4) Menurut Syekh Mutawalli as Sya‟râwi, mahar disyariatkan sebagai bentuk penghormatan agama terhadap kemuliaan kaum wanita dan wajib bagi kaum laki-laki untuk memberikannya, bahkan jika ia belum mampu, maka mahar itu menjadi hutang atasnya dan dibayarkan jika sudah memiliki keleluasaan, baik dalam waktu maupun hartanya.89 Hak berikutnya yang dimiliki oleh istri adalah nafkah, baik lahir maupun bathin. Nafkah lahir lebih umum dikenal sebagai kebutuhan pokok sebagai manusia, seperti sandang, pangan, papan, kenyamanan dan keamanan. Majelis Ulama Al Azhar, Mesir menafsirkan ayat diatas dalam kumpulan tafsirnya menyebutkan: ِ ولَيس لَ ُكم حق ِف َش ٍئ ِمن ى ِذه،ًوأَعطُوا النِّساء مهورىن ع ِطيةً خالِصة ٌ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َُ ُ ُ َ َ ْ ْ َ َ ْ ِ فَِإ ْن طَابت نُ ُف،اْل مهور ِ وس ِهن ِبلن ز ول َع ْن َش ٍئ ِم َن ال َم ْه ِر فَ ُخ ُذوهُ َوانْتَ َفعُ ْوا َْ ُ ُْ ُ 90 ِ ِ ِ .العاقبَة َ بِو طَْيباً َُْم ُم َ ود “Dan berikanlah kepada wanita mahar mereka sebagai pemberian yang murni, kalian (laki-laki) tidak memiliki hak sedikitpun dalam mahar ini, jika mereka rela untuk memberikannya kepadamu, ambillah dengan kerelaan yang baik dan akhir yang terpuji”. Di dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri, sebagai berikut:91 Pasal 32: 88 Maksudnya besar atau kecilnya maskawin tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, tanpa ada paksaan, karena prinsipnya adalah kerelaan dan keihlasan 89 Muhammad Mutawalli as Sya‟râwi, Tafsir As Sya‟râwi, J. IV h. 2009 90 Lajnah Min Ulamâ Al Azhâr,al Muntakhab fî Tafsîr al Qur‟ân, Jilid 1(Mesir, Tab‟ah Muassasah Al Ahrâm, 1416H) h. 106 91 Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 32 45 Ayat 1: Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap. Ayat 2: Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1, pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pada pasal di atas kebutuhan pokok atau nafkah yang diberikan oleh sang suami adalah menyediakan tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan. Dengan tempat tinggal itulah, sang suami sebagai kepala keluarga bisa mengatur, mengajarkan dan melindungi serta menggapai kebahagiaan keluarga. Karena rumah sebagai tempat berlindung dari cuaca maupun dari hal-hal yang membahayakan keluarga baik fisik maupun non fisik. Pasal (33): Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 92 Menurut Mohammad Fauzil Adhim, salah satu cara untuk melanggengkan cinta dan kasih dalam rumah tangga adalah memangil pasangan (istri) dengan panggilan yang ia sukai, seperti dahulu Rasulullah memanggil Aisyah dengan panggilan Humaira (pipi yang kemerahan), untuk menambah keharmonisan rumah tangga sebutlah nama pasangan kita dengan cinta, karena kata baik jika diucapkan dengan sinis akibatnya tidak akan baik.93 Pasal 34 menyebutkan:94 1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Terkait dengan nafkah bathin, selain kasih sayang adalah berhubungan suami istri. Karena merupakan salah satu dorongan menikah adalah menyalurkan hasrat seksual kepada yang di halalkan oleh Allah, dan menghindari melakukannya pada hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu Rasulullah SAW menyebutkan bahwa hubungan suami istri merupakan sedekah yang berpahala: ِ ِ ٍ حدثَنَا مه ِدي بن ميم،َْساء الضبعِي ،ون َ َ َْ َعْب ُد هللا بْ ُن ُُمَمد بْ ِن أ ُ َْ ُ ْ ْ َ َ ِو ، َع ْن ََْي ََي بْ ِن يَ ْع َمَر، َع ْن ََْي ََي بْ ِن عُ َقْي ٍل،َ َم ْوََل أَِِب عُيَ ْي نَة،اص ٌل َ 92 َحدثَنَا َحدثَنَا Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 33 Mohammad Fauzil Adhim, Agar Cinta Bersemi Indah, (Jakarta: Gema Insani, 93 2002) h. 6 94 Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 34 46 ِ ِ ِ عن أَِِب ْاأل ِ ِ َصح ِّ ِاب الن ْ َ ِب َ ْ أَن ََن ًسا م ْن أ، َع ْن أَِِب َذ ٍّر،َس َود ال ّديل ِّي َْ ُصلى هللا ِول هللا ِ علَي ِو وسلم قَالُوا لِلنِ ِِب صلى هللا علَي ب أ َْى ُل ى ذ ، س ر اي : م ل س و و َ َ َ َْ ُ َ ّ َ ُ َ َ َ َ َ َ ََ َْ ِ ُ يصلو َن َكما ن،الدثُوِر ِبْألُجوِر صدقُو َن َ َ َويَت،وم ُ َومو َن َك َما ن ُ َ َوي،صلّي َ َ َُ ُ ُص ُص ِِول أَمواِل ِ ُ بُِف س قَ ْد َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم َما تَصدقُو َن؟ إِن بِ ُك ِّل ي ل َو أ " : ال ق ، م َ َ َ ْ َ ْ َْ ض َ ٍ َ وُك ِل ََت ِم،ً وُك ِل تَ ْكبِيةٍ ص َدقَة،ًتَسبِيح ٍة ص َدقَة َوُك ِّل تَ ْهلِيلَ ٍة،ًص َدقَة ْ ّ َ َ يدة َ َ َ َ ْ ّ َ ِ َح ِد ُك ْم ْ ُ َوِِف ب،ٌص َدقَة َ َونَ ْه ٌي َع ْن ُمْن َك ٍر،ٌص َدقَة َ َوأ َْمٌر ِبلْ َم ْعُروف،ًص َدقَة َ َ ض ِع أ ِ ِ َ اي رس: قَالُوا،ٌص َدقَة :ال َ ََجٌر؟ ق ْ َح ُد ََن َش ْه َوتَوُ َويَ ُكو ُن لَوُ ف َيها أ َ َ أ َََيِِت أ،ول هللا َُ َ ِ ِ ض َع َها ِِف َ ض َع َها ِِف َحَرٍام أَ َكا َن َعلَْي ِو ف َيها ِوْزٌر؟ فَ َك َذل َ ك إِذَا َو َ «أ ََرأَيْتُ ْم لَ ْو َو 95 ِ ) ( َرَواهُ ُم ْسلِ ْم.َجر ْ ا ْلًََلل َكا َن لَوُ أ “Telah menceritakan kepada kami Abdullâh bin Muhammad bin Asmâ addhuba‟i, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimûn, telah menceritakan kepada kami Wâshil, pelayan Abî „Uyainah, dari Yahya bin „Uqail dari Yahya bin Ya‟mar dari Abî al Aswad adailiy, dari Abu Dzar, bahwa beberapa sahabat Nabi SAW berkata kepada beliau,” Wahai Rasûlullâh, Orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak, mereka shalat seperti kami, mereka puasa seperti kami, mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka, Rasûlullah pun bersabda,” Bukankan Allah telah menjadikan bagi kalian apa yang bisa kalian sedekahkan?”Setiap ucapan tasbih96 adalah sedekah, setiap ucapan takbir97 adalah sedekah, setiap ucapan tahmid98 adalah sedekah dan setiap ucapan tahlil99 adalah sedekah, menyuruh yang ma‟ruf adalah sedekah, mencegah yang munkar adalah sedekah, dan dalam hubungan suami istri adalah sedekah”. Mereka berkata,” Wahai Rasulullah, apakah dengan menyalurkan syahwat ada pahalanya?” Nabi bersabda,”Bagaimana menurut kalian, jika kalian 95 Imam Muslim, Sahîh Muslim, Jilid II (Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts, t.t) h. 697 No. 1006 96 Ucapan Tasbih adalah Subhânallâh artinya Maha Suci Allah Ucapan Takbir adalah Allahu Akbar artinya Allah Maha Besar 98 Ucapan Tahmid adalah Alhamdulillah artinya Segala Puji Bagi Allah 99 Ucapan Tahlil adalah La Ilaha ilallah artinya Tiada Tuhan selain Allah 97 47 menyalurkannya dijalan haram, apakah berdosa?”, Begitupula jika menyalurkannya di jalan halal, ada pahalanya”.(HR. Muslim). Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa hak berhubungan antara suami dan istri dalam pernikahan yang sah adalah berpahala disisi Allah, karena menyalurkan pada orang yang sudah halal, sedangkan jika disalurkan kepada orang yang tidak halal maka hukumnya berdosa. Untuk itu bisa dikatakan, hubungan suami istri adalah ibadah, dan dalam ibadah ada adab-adab tertentu, tidak hanya sekedar memenuhi hasrat syahwatnya saja. Kemudian terkait dengan harta dalam rumah tangga, diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, seperti disebutkan dalam pasal 35:100 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal diatas menjelaskan tentang harta bersama antara suami istri, meski Juga dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan: 1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. b. Diperlakukan yang baik Menjadi hak bagi kaum wanita untuk diperlakukan dengan baik, sebagaimana islam mengajarkan. Memposisikan istri sebagai pihak yang bersama suami untuk membantu mencapai kebahagiaan dan tujuan-tujuan pernikahan. Disamping suami juga berkewajiban untuk memperlakukan istri dengan baik, dari segi perkataan maupun sikap terhadapannya. Sesuai dengan firman Allah: ِ اي أَي ها ال ِ ِ وىن لِتَ ْذ َىبُوا ذ ُ ين َآمنُوا َل ََيل لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِرثُوا النّ َساءَ َكْرًىا َوَل تَ ْع ُ ُضل َ َ َ ِ اشروىن ِبلْمعر ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِض ما آتَي تُموىن إِل أَ ْن َيْت وف فَِإ ْن َ َ ُ ُ ْ َ ِ بِبَ ْع ُ ْ َ ُ ُ ي ب َفاح َشة ُمبَ يّنَة َو َع . وىن فَ َع َسى أَ ْن تَ ْكَرُىوا َشْي ئًا َوََْي َع َل اَّللُ فِ ِيو َخْي ًرا َكثِ ًيا ُ َك ِرْىتُ ُم )۱۸: [ ٤ ] (النِّ َساء 100 Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 35 48 “Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa,101 dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan pergaulilah mereka menurut cara yang baik, jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An Nisâ [4]:19) Sebab turun ayat ini adalah menurut Mujâhid: ِ ِ َل ََِيل لَ ُك ْم أَ ْن:ت ُ َحق ِب ْمَرأَتِِو» يَ ُق ْ َول فَنَ َزل َ ِف َكا َن ابْنُوُ أ َّ َكا َن الر ُج ُل إذَا تُ ُو 102 تَ ِرثُوا النِّ َساءَ َكْرًىا “Dahulu jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya lebih berhak atas istrinya (jandanya)”. Sedangkan Abû al Hasan an Naisabûri menyebutkan bahwa makna ayat: “Dan pergaulilah mereka menurut cara yang baik”. 103 ِ اشروىن ِبلْمعر ِ وف ُْ َ ُ ُ َو َع ِ ِ أ ب َِلُن ِم َن الُُق ْو ِق ْ ُ ِبَا ََي:َي “ Yaitu memenuhi kewajiban dari hak-hak mereka (istri)“. Ayat diatas menunjukkan kepada kita agar berbuat baik dan memperlakukan pasangan dengan baik, memberikan haknya dengan sebenar-benarnya. c. Mendapatkan ta‟dîb (didikan) Hak istri mendapatkan arahan, didikan dan petunjuk dalam perilaku, jika suatu ketika terdapat perbedaan antara keduanya, atau terdapat hal-hal yang bisa menjadi konflik dalam rumah tangga. Seperti yang Allah sebutkan di dalam Al Qur‟an: ِ ِ ِ ٍ ض ُه ْم َعلَى بَ ْع ض َوِِبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن ُ الر َج َ ال قَو ُامو َن َعلَى النّ َساء ِِبَا فَض َل اَّللُ بَ ْع ّ ِ ِ ِِ ِ ِ ات لِْلغَْي ظ اَّللُ َوالًلِِت ََتَافُو َن َ ب ِِبَا َح ِف ٌ َات َحافظ ٌ َات قَانت ُ َأ َْم َواِل ْم فَالصال 101 Ayat ini tidak berarti mewarisi perempuan tidak dengan jalan paksa dibolehkan, sebagian adat Arab Jahiliyah jika seseorang meninggal dunia maka anak tertua atau anggota keluarga lain mewarisi janda tersebut. Dan janda tersebut boleh dinikahi sendiri atau dinikahkan dengan orang lain oleh ahli waris atau tidak boleh menikah sama sekali. Hal ini jelas dilarang agama. 102 Mujâhid al-Makhzûmiy, Tafsîr al Mujâhid, Jilid 1, (Mesir: Dâr al Fikr al Islâmiy al Hadîtsah, 1410 H) h. 270 103 Abû al-Hasan bin „Aliy an-Naisabûri, al Wajîz fî Tafsîr al Kitâb al „Azîz, Jilid I, ( Damaskus: Dâr al Qalam, 1415 H) h. 257 49 ِ نُشوزىن فَعِظُوىن واىجروىن ِِف الْم وىن فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ًَل ْ ضاج ِع َو َ َ ُ ُاض ِرب ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ ) ۱٤: [٤ ] (النِّ َساء. تَْب غُوا َعلَْي ِهن َسبِ ًيًل إِن اَّللَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًيا “ Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dank arena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika suami mereka tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka,104 perempuanperempuan yang kamu khawatirkan akannusyuz105hendaklah kamu beri nasehat mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (jika perlu) pukullah mereka . tetapi jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguha Allah Maha Tinggi, Maha Besar”. (QS. An Nisâ [4]: 34) Abu Zahrah ketika menafsirkan ayat ini, memberikan tips dalam mengatasi konflik berumah tangga diantaranya yaitu:106 Pertama, menasehati istri (Fa‟izûhun) dengan harapan ia kembali taat kepada suaminya, nasehat yang baik yang dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.Kedua, pisah ranjang, maksudnya tidak berhubungan seksual dengan istri, tidak tidur seranjang, tidur dengan memunggungi istri, tidak mengajaknya bicara, hal ini akibat perbuatan istri yang enggan taat kepada istrinya. Ketiga, memukul, maksud dari memukul ini adalah pukulan yang sifatnya hanya teguran, bukan pukulan pelampiasan dan membahayakan sang istri, tidak memukul pada area sensitif dan berbahaya, seperti wajah, bagian vital dan seterusnya. Pukulan ini dilakukan sebagai upaya terakhir agar sang istri sadar bahwa yang ia lakukan salah.Namun kritikaan yang disampaikan oleh Muhammad Thahir bin Asyûr dalam tafsirnya terkait ayat ini, bahwa proses pemukulan yang dilakukan oleh suami, tetap dalam koridor „urf ( adat atau kebiasaan) suatu bangsa atau suku. Beliau juga mencontohkan tentang suku Arab Badui yang kaum laki-laki mereka biasa memukul istri jika salah, dan hal itu menurut mereka bukan sebuah hal yang istimewa dan 104 Allah telah mewajibkan suami untuk mengauli istri dengan baik Nusyûz secara bahasa bermakma idtirâb (kegoncangan) dan taba‟ud (saling menjauh) atau irtifa‟ (meniggi, artinya tinggi hati dihadapan suaminya) secara istilah: Adalah meninggalkan kewajiban sebagai istri, seperti pergi dari rumah tanpa izin, enggan mengurus anak , tidak menaanti suami, atau sudah enggan hidup bersama suaminya, bisa juga karena buruk perangai wanita tersebut, atau keinginannya menyukai laki-laki lain selain suami sahnya. (lihat Ibnu Asyûr , Tafsîr at Tahrîr wa Tanwîr, J 5 h. 41) 106 Muhammad bin Ahmad bin Musthafâ bin Ahmad Az Zarqâ, Zahra at Tafâsîr, Jilid III, (tt.p: Dâr al Fikr al „Arabiy, tt) h.1669 105 50 menyakitkan.107 Sedangkan menurut As Sa‟di, bagi suami hendaklah menasehati istri agar kembali taat dengan menjelaskan hukum-hukum Allah didalam ketaatan dan menjelaskan tentang buruknya akibat maksiat baik kepada Allah maupun kepada suami, jika istri enggan maka pisahkan dirimu dengannya dari tempat tidur, dalam batas tujuan taat itu tercapai, kemudian yang terakhir dengan memukul dengan tujuan bukan menyakiti, namun menyadarkan istri, namun jika dengan salah satu dari ketiga cara ini, maka cukup.108 Sedangkan Ibnu Rusyd menyebutkan, hak istri kepada suami pada umumnya terfokus pada dua hal yaitu, an nafaqah ( nafkah) dan kiswah (pakaian).109 Kedua: Hak suami Hak suami, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hak-hak istri hanya pada beberapa sisi saja yang menjadikan perbedaan, karena perbedaan secara alami, diantaranya adalah: Pertama, hak untuk ditaati oleh istri, karena tujun menikah adalah mencapai kebahagiaan, dan suami ibarat nakhoda yang mengemudikan bahtera rumah tangga menuju pulau kebahagiaan, maka sudah sewajarnyalah bagi istri dan anggota keluaga lainnya untuk taat dan mematuhi arahan sang nahkoda. Rasulullah SAW bersabda: َع ْن،َاد بْ ُن َسلَ َمة ُ َح ّدثَنَا َْح، َح ّدثَنَا َعفا ُن،ََحدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْي بَة ِ ِ عن سع،علِ ِي ب ِن زي ِد ب ِن ج ْدعا َن - ِول اَّلل َ أَن َر ُس،َيد بْ ِن الْ ُم َسيبِ َع ْن َعائِ َشة َ ْ َ َ ُ ْ َْ ْ ّ َ ٍ "لَو أَمرت أَح ًدا أَ ْن يسج َد ِأل:ال ِ ت ُ َأل ََمْر،َحد َ َ ُ َْ َ ُ ْ َ ْ َ َ ق- صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم َْحََر ْ َولَ ْو أَن َر ُج ًًل أ ََمَر ْامَرأَتَوُ أَ ْن تَْن ُق َل ِم ْن َجبَ ٍل أ،الْ َمْرأََة أَ ْن تَ ْس ُج َد لَِزْوِج َها لَ َكا َن نَ ْوُِلَا أَ ْن تَ ْف َع َل،َْحََر ْ َوِم ْن َجبَ ٍل أَ ْس َوَد إِ ََل َجبَ ٍل أ،َس َوَد ْ إِ ََل َجبَ ٍل أ 110 ) (رواهُ أَبُو َد ُاود َ “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abî Syaibah, telah menceritakan kepada kami telah menceritakan kepada kami Hammâd bin Salamah, dari „Ali bin Zaid bin Jud‟ân dari Sa‟îd bin al Musayyib dari „Ậisyah, bahwa Rasûlullâh SAW bersabda,” Jika aku perintahkan 107 Muhammad Thâhir bin Asyûr, At Tahrîr wa at Tanwîr, J. 5 h. 41 Abdurrahman Nâshir As Sa‟di, Tasîr al Karîm ar Rahmân Fî Tafsîr Kalâm Al Mânnân, j. 1 h. 177 109 Ibnu Rusyd al-Hafîd, Bidâyat al Mujtahid wa Nihâyat al Muqtashid, J. 3 h. 39 110 Abû Daud, Sunan Abû Daud, Jilid III, (t.tp: Dâr Ar Risâlah al Ilmiyah,1430H) h.58 No. 1852, Tahqiq Syuaib al Arnaûth 108 51 seseorang untuk bersujud kepada manusia, sungguh aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya, jikalau seseorang memerintahkan istrinya untuk memikul dari gunung merah menuju gunung hitam, dan dari gunung hitam menuju gunung merah, maka seharusnya ia laksanakan”.111 (HR. Abu Daud) B. Nikah Sirri ( ِسر Secara bahasa sirun ) berarti sesuatu yang rahasia, samar atau tersembunyi, seperti disebutkan dalam kamus dalam bahasa Arab: 112 ت ِسرَك َوََلْ أَبُ ْح بِِو ِألَ َح ٍد ُ "سَرْر َ ُ كتَ َمو:َسر الشيء “ Sarra As Sya‟i artinya menyembunyikan sesuatu, Aku menyembunyikan rahasiamu, jika aku tidak menyebarkan kepada seseorang”. Nampaknya terdapat perbedaan makna terkait nikah sirri antara pengertian yang diusung oleh para ulama klasik dan pengertian kontemporer. Dalam kajian fikih klasik, Imam Malik dalam al Muwatha‟ menyebutkan bahwa nikah sirri adalah nikah tanpa wali dan hanya dihadiri oleh kedua pasang calon mempelai saja. Saat Umar bin Khattab ditanya apa hukum nikah tanpa saksi dan wali yang hanya di hadiri oleh laki-laki dan perempuan saja. Kemudian Umar menjawab: 113 ِ ِ ولَو ُكْنت تَ َقدم, ولَ أ ُِجيزه, الس ِر ِ ى َذا نِ َك ت ُ ْت فيو لََر ََج ُ ْ ُ ْ َ ُُ َ ُ َ ّ ّ اح . “Ini adalah nikah sirri, aku tidak membolehkan, jika ada yang yang melakukannya maka aku akan merajamnya”. Menurut Musthafa Luthfi konsep nikah sirri berdasarkan ulama kontemporer terbagi menjadi empat poin yaitu:114 1. Pernikahan tanpa saksi 2. Pernikahan tanpa wali dan saksi 3. Pernikahan tidak tercatat pada lembaga berwenang 111 Hadits ini derajatnya adalah Sahîh Lighairih, seperti di Takhrij oleh Ibnu Abî Syaibah, J. 2 h. 528, 4/306, Ahmad No. 24471, dari jalur Hammâd bin Salamah dengan sanad ini, juga di saksikan oleh hadits Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh At Tirmizî, No. 1191, dengan sanad Hasan, dan di sahihkan oleh Ibnu Hibbân No. 4162, hadits Ibnu Abbâs 112 Ahmad Mukhtâr Abdul Hamîd Umar, Mu‟jam al Lughah Al “Arabiyah al Muashirah, JilidII, (t.tp: „Ậlim al Kutub, 1429) h. 1055 bab س ر ر 113 Mâlik bin Anas bin Anas bin Mâlik bin „Ậmir Al Ashbahi, Al Muwatha‟, Jilid 1 (t.tp:Muassasah Ar Risâlah, 1412 H) h. 583 114 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010) h. 41-42 52 4. Pernikahan yang kesaksian saksi dirahasiakan, baik pernikahan tersebut tercatat ataupun tidak. Namun menurut hemat penulis pembagian tersebut bisa disederhanakan menjadi pernikahan yang tidak ada saksi, wali dan tidak tercatat pada lembaga berwenang. Para ulama menyebutkan bahwa merahasiakan kesaksian para saksi dalam sebuah pernikahan tidaklah berpengaruh terhadap keabsahan nikah yang lengkap rukun-rukunnya, namun demikian, mengumumkan sebuah pernikahan ( I‟lan) merupakan hal yang utama. Dalil dari pendapat ini adalah hadits yang disebutkan oleh Qatadah: ِ ِ وسع،الس ِن ِ ِ وِِف ح ِد ِ ِّيد بْ ِن الْمسي ِ ن ع ، ة اد ت ق يث ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ أَن عُ َمَر َرض َي اَّلل،ب َ َ َُ ِ 115 ٍ ِ ِ ِ َ «َل نِ َك:ال )(رَواهُ البَ ْي َه ِق ْي َ ََعْنوُ ق َ َو َشاى َد ْي َع ْدل،ل ٍّ اح إل ب َو “Dalam hadits Qatâdah, dari al Hasan dan Saîd bin Al Musayyin, Bahwasanya Umar Radhiyallahu Anhu berkata,” Tiada nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”.(HR. Al Baihaqi) Hadits diatas menyebutkan bahwa pernikahan yang tidak ada wali dan saksi, maka tidak dianggap sebagai pernikahan. Juga hadits lain yang serupa: ِ ِ أَن أَبو الْول،ظ أَن ُُمَم ُد بْ ُن َج ِري ٍر،ُيد الْ َف ِقيو ْ َِخبَ َرََن أَبُو َعْب ِد اَّلل ُ ِالَاف ْأ َ ُ ٍ ِيد بن ََيَي ب ِن سع ِ َع ْن، َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج، أَن أَِِب،يد ْاأل َُم ِوي َ ْ َ ْ ُ ْ ُ أَن َسع،الط ََِبي ِ َ أَن النِِب،َ َع ْن َعائ َشة، َع ْن عُْرَوَة،ي َ ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم ُصلى هللا ِّ َع ِن الزْى ِر،وسى ِ وش، «أَُّيا امرأَةٍ نُ ِكحت بِغَ ِي إِ ْذ ِن ولِيِها:ال اى َد ْي َع ْد ٍل َ ََعلَْي ِو َو َسل َم ق َ َ َّ َ ْ ْ َ َْ َ 116 ِ ِ )(رَواهُ البَ ْي َه ِقي ُ فَن َك َ اح َها َبط ٌل “ Telah mengabarkan kepada kami, Abdullah bin al Hafîdz, saya Abû al Walîd al Fakîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabariy, saya Sa‟îd bin Yahya bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Az Zuhriy, dari Urwah dari „Ậisyah, bahwa Nabi SAW bersabda,” Seiap wanita yang menikah tanpa izin wali dan dua orang saksi yang adil, maka nikahnya batil (tidak sah)”(HR. Al Baihaqi). 115 Imam al-Baihaqi, as-Sunan as-Shaghîr Li al- Baihaqi, Jilid III, ( Pakistan: Jamiah Dirâsah Al Islâmiyah,1410) h. 21 No. 2383 116 Imam al-Baihaqi, as-Sunan as-Shaghîr Li al- Baihaqi, Jilid III, h. 20 No. 2382 53 Dari kedua hadits diatas, jika wali dan saksi ada maka hukum menikahnya adalah sah, adapun kemudian syariat menganjurkan untuk menyiarkan pernikahan tersebut kepada khalayak dengan tabuhan rebana, atau pesta meriah sebagai tambahan dari kesaksian tersebut”.117 Pendapat kedua menyebutkan bahwa kesaksian yang disembunyikan dapat menghilangkan ruh dari kesaksian itu sendiri dengan kata lain maka salah tujuan dari sebuah pernikahan adalah diumumkan kepada khalayak, sehingga merahasiakan sebuah pernikahan berlawanan dengan tujuan syariat (maqâshid syarîat). Rasulullah bersabda: َع ْن ُُمَم ِد،َخبَ َرََن أَبُو بَ ْل ٍج َ َ َحدثَنَا ُى َشْي ٌم ق:ال َ ََْحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع ق ْ َحدثَنَا أ ْ أ:ال ِ ُ ال رس ِ ِ ب ِن ح ٍ اط ص ُل َما َ َب اْلُ َم ِح ِّي ق ْ َ «ف:صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم َ ول اَّلل َ ْ ُ َ َ َ ق:ال ِ ِ ِ الدف والصوت (رواه،ب ي الرِام وال ًَل ِل 118 )ي ّ ُ ََ ُ ْ َ َ َ ََ َ ْ َ َ الّتمْيذ “ Telah menceritakan kepada kamu, Ahmad bin Munî‟ berkata,telah menceritakan kepada kami Husyaim berkata, telah mengabarkan kepada kami Abû Balj, dari Muhammad bin Hâtib al Jumahîy, ia berkata, “Rasûlullâh bersabda,” Pemisah antara halal dan haram adalah memukul rebana dan suara”.(HR. At Tirmîzi) Hadits diatas menunjukkan bahwa pemisah antara halal dan haram, maksudnya adalah halalnya pernikahan dan haramnya perzinahan adalah dengan sebuah pernikahan yang dirayakan dan diumumkan kepada khalayak ramai, jika zaman dahulu dengan menabuh rebana atau suara. Menurut Musthafa Lutfi, mengumumkan pernikahan adalah sebuah keharusan dalam sebuah pernikahan, karena banyak manfaat yang bisa diperoleh dari pengumuman pernikahan ini, diantaranya:119 1. Menjauhkan prasangka buruk (isu) yang bisa terjadi dengan menganggap pasangan tersebut adalah pasangan kumpul kebo. 117117 Mushthafâ Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 47 118 Imam at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizî, Jilid III, (Mesir: Syarikah Musthafa al-Babî al-Halbî, 1395 H) h. 893 No. 1088, Tahqiq: Muhammad Syâkir dan Muhammad Fuad Abdul Bâqi 119 Mushthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 29 54 2. Melindungi hak-hak istri dan anak terkait nafkah, khususnya dalam hal warisan, hak asuh anak dan hak-hak perlindungan anak. Menurut Darmawati, nikah sirri memiliki tiga kategori berdasarkan pelaku dan efek yang ditimbulkannya120 : Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan secara agama (syariat Islam) namun belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama oleh petugas pencatat nikah. Juga belum diadakan acara walimatul ursy oleh pihak keluarga. Motif yang mendasari model nikah sirri in biasanya alasan persiapan baik usia maupun materi. Kedua,nikah sirri sebagai nikah yang sudah sah secara agama dan syariat islam, dan sudah di catatkan di kantor Urusan Agama oleh petugas pencatat nikah, namun belum diumumkan kepada masyarakat, motif yang mendasari nikah model ini biasanya usia salah satu atau kedua pasangan yang belum cukup umur maupun materi yang hendak digunakan untuk melangsungkan pernikahan belum memcukupi. Ketiga, nikah sirri sebagai nikah yang dilakukan secara syariat Islam namun secara hukum nasional belum dicatatkan di kantor Urusan Agama karena terbentur perizinan. Motifnya adalah unsur pemenuhan biologis untuk berpoligami namun tersandung Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983. Beberapa istilah lain terkait nikah sirri yang dikenal dalam dunia Arab.121 1. Nikah „Urfi Secara bahasa „Urf berasal dari kata Mansûr al Azharî, berasal dari kata: ف َ َعَر, seperti disebutkan oleh Abû ِ ُ ف ي ع ِر ًوم ْع ِرفَة ْ َ َ َعَر َ ًف عْرفَاَن 122 “‟Arafa, ya‟rifu, irfanan wa ma‟rifatan. Artinya mengetahui atau pengetahuan.” Beliau menyebutkan bahwa „urf adalah: 123 الَِْي َوتَْب َسأَ بِِو َوتَطْ َمئِن إِلَْي ِو ْ س ِم ْن ُ َوُى َو ُكل َما تَ َعرفَوُ الن ْف “Yaitu setiap yang dikenal oleh jiwa dari kebaikan dan diterima serta membuat tenang.” 120 Darmawati, Nikah Sirri, Di Bawah Tangan Dan Status Anaknya, dalam Jurnal Al Risalah Vol. X no 1 Mei 2010, h. 37 121 Mushthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 55-67 122 Abû Manshûr al Azhari, Tahzib al Lughah, Jilid II, (Beirut: Dâr Ihyâ at Turats,1338) h. 207 123 Abû Manshûr al-Azhari, Tahzib al-Lughah, Jilid II, h. 208 55 Abdul Baqi Muhammad al Farj al Ham menyebutkan bahwa salah satu definisi dari nikah misyar, adalah seorang laki-laki menulis di secarik kertas kepada seorang wanita meminta persetujuan wanita tersebut menjadi istrinya, dengan disaksikan oleh dua orang saksi, lalu dibuatlah rangkap dua masingmasing pihak memegang, dan jenis pernikahan ini kehilangan mayoritas syarat pernikahan yang sah secara syariat, seperti wali dan saksi yang diperintahkan dalam syariat. 124 Pernikahan seperti ini tidak sah dengan beberapa konsiderannya yaitu: 125 a. Tidak ada wali, seperti telah penulis sebutkan diatas, bahwa tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali b. Tidak ada saksi, sebuah pernikahan yang tidak memiliki saksi maka hukumnya adalah tidak sah seperti hadits yang sudah penulis sebutkan diatas. c. Tidak ada akad, karena sebuah pernikahan jika akadnya tidak terpenuhi, maka tujuan umum pernikahan seperti menghadirkan ketenangan dalam rumah tangga dan melahirkan keturunan. d. Nikah „urfi hanya bentuk fisik saja, namun dilihat dari isi adalah jauh dari nikah yang sah. e. Pernikahan semacam ini menyebabkan rusaknya sendi-sendi masyarakat, rawan terjadi permusuhan dan pertengkarang yang tidak diajarkan oleh syariat. 2. Nikah Misyar Kalangan ulama klasik belum dikenal istilah nikah Misyar, meski dikenal dengan an nahariyat yaitu pernikahan dimana suami hanya menemui istri pada siang hari saja, atau pernikahan yang dimana suami hanya menemui istri pada malam hari saja yang selanjutnya dikenal dengan istilah lailiyat.126 Nikah misyar merupakan nikah yang memiliki unsur sirri, karena berisi kesepakatan untuk merahasiakan, dan juga tidak dicatatkan di dalam lembaga pernikahan yang berwenang. Inti dari nikah misyar adalah pelepasan dari sebagian hak istri, biasanya nikah misyar merupakan pernikahan kedua dan seterusnya (poligami) antara istri tua dan istri yang lebih muda. Hak-hak istri yang dilepaskan (tanazul) adalah seperti tempat tinggal, nafkah dan giliran. 3. Nikah Fahul Nikah Fahul pada sebagian wilayah Arab sama dengan nikah misyar, kata fahul sendiri berasal dari bahsa Arab Fahl, artinya banteng jantan. Suami dikiaskan sebagai pejantan untuk istri barunya. Lalu kembali kepad aistri 124 Abdul Baqi Muhammad Farj al Ham, al Hukm as Syar‟i li Zawaj al „Urfi, dalam Jurnal Universitas Bukh al Ruda, No. 09 Desember 2013 h. 20 125 Abdul Baqi Muhammad Farj al Ham, al Hukm as Syar‟i li Zawaj al „Urfi, dalam Jurnal Universitas Bukh al Ruda, No. 09 Desember 2013 h. 27 126 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. h. 53 56 lamanya. Dimana sebagian hak-hak istri baru, dilepaskan untuk hak-hak istri yang lama. 4. Nikah Malfa Ilustrasinya hampir sama dengan nikah misyar, seorang pria desa berniaga ke kota dalam beberapa waktu lamanya, kemudian di kota ia menikah, namun sebagian hak istrinya dilepaskan. Sang istri baru mendapatkan giliran saat sang suami pergi ke kota kembali. Malfa dalam bahasa Arab dikenal sebagai istilah untuk tempat beristirahat dan duduk selama berada di kota. 5. Nikah Masâfah Hampir sama dengan nikah misyar, ilustrasinya ketika suami yang sudah beristri harus pindah ke wilayah atau negara lain karena usaha atau karena pekerjaan, lalu Karena khawatir terjerumus kedalam dosa zina, ia menikah dengan wanita yang berada di wilayahnya sekarang, sementara istri lamanya berada jauh darinya. Adapun ketentuannya mirip dengan nikah misyar. 6. Nikah Ashdiqâ127 Yaitu sebuah pernikahan antara teman laki-laki dan teman perempuan yang dalam jangka waktu tertentu mau melangsungkan pernikahan dan hidup bersama. Pernikahan jenis ini masing-masing pihak tidak dipersatukan didalam rumah tangga, tetapi bertemu pada suatu tempat untuk jangka waktu tertentu. Selain dari jenis pernikahan yang ada diatas, yang motif rahasia atau sirrinya jelas terlihat jelas, namun menurut hemat penulis, jeni-jenis pernikahan diatas secara umum tidak akan tercapai tujuan sebuah pernikahan, terkait dengan maksud-maksud syariat didalam ajaran perkawinan, oleh karena itu alangkah baiknya jika pernikahan diatas di batalkan demi hukum dan kemaslahatan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 7. Nikah Mut‟ah Kata mut‟ah dalam Bahasa Arab berarti Sesutu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya sebagai ganti rugi kepada istri yang diceraikan. Sedangkan kata kerja tamatta‟a dan istamta‟a berasal dari asal kata yang sama, yang berarti menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu.128 Dalam kajian fikih Ar Rayâni, dari kalangan Syafi‟iyyah menyebutkan: ِ ِ ِ َ َق ك َع ْن ابْ ِن ِش َهاٍب َع ْن َعْب ِد هللاِ َوالَ َس ِن ٌ َِخبَ َرََن َمال ْ "أ:ُال الشافعي َرْحَوُ هللا ِ ِ لي َع ْن أَبِي ِه َما َع ْن َعلِ ِّي َر ِض َي هللاُ َعْنوُ أَن النِِب ملسو هيلع هللا ىلص نّ ّهى ِّ ابْ َِن ُمَمد بْن َع 127 Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 63 128 Al-Musâwi, A. Syarafuddin, al-Fusûl al-Muhimmah Fî Ta‟lifil Ummah, Terjemahan Mukhlis BA, Isu-isu penting Ikhtilaf, ( Bandung: Mizan, 1989) h. 87 57 ِ ِِ ِ ِ ِ ِ وإِ ْن ك:ال ان َ َ َ ق،يَ ْوَم َخْي بَ َر َع ْن ن َكا ِح املُْت َعة َوأَ ْك ِل ُلُوم الُ ُم ِر األ َْىلية ِ ِ ي أَن النِِب ُ َحد ٌ ِّ َالع ِزي ِز بْ ِن عُ َمَر َع ْن البِي ِع بْ ِن َسْب َرةَ ًَثبِتًا فَ ُه َو ُمب َ يث َعْبد ِ :ال 129 ِ ِ ملسو هيلع هللا ىلص أ ""ى َي َحَر ٌام إِ ََل يَ ْوم اَ ِلقيَ َامة َ َاح ُُث ق َ َ َحل ن َك “ Berkata As Syâfi‟i rahimahullâh,”Telah mengabarkan kepadaku Mâlik, dari Ibnu Syihâb dari Abdullâh dan Hasan putra Muhammad bin Ali dari ayah mereka dari Ali Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang nikah Mut‟ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai jinak (ahliyah). Pada hadits Abdul „Aziz bin „Umar dari Allabi‟ bin Sabrah kuat dan menjelaskan bahwa Nabi SAW pernah membolehkan, namun kemudian bersabda,”Nikah Mut‟ah hukumnya haram hingga hari kiamat”.130 Dikalangan Fukaha nikah mut‟ah dikenal dengan nikah muaqqat (sementara) tergantung waktu, juga dikenal dengan istilah al Zawaj al Munqathi‟ (nikah terputus) karena seseorang melangsungkan nikah untuk waktu sehari, seminggu atau batas waktu tertentu kemudian berakhir atau terputus.131 Dalam perkembangannya nikah mut‟ah lebih dikenal dengan nikah yang diamalkan oleh penganut Syiah. Menurut Syiah, nikah mut‟ah boleh dan pelakunya akan mendapat pahala yang besar. Ulama syiah juga membolehkan nikah mut‟ah (kawin kontrak) dengan wanita manapun baik masih gadis atau sudah bersuami, bahkan boleh nikah mut‟ah dengan pelacur. Seperti disebutkan dalam masalah ke depalan belas: ِ ََيوز التمت ِع ِبلزاَنِي ِة على َكر ِاىي ٍة خصوصا لَو َكانَت ِمن اْلعو ِاى ِر ال م ْشهور ات َُ َ ََ ْ ْ ْ ً َ َ َ َ َ َ َ ّ َ ُ ُ 132 ِ ِ َب ّلزَن “ Boleh Mut‟ah dengan pelacur meski tidak dianjurkan,khususnya jika wanita tersebut sebagai pelacur yang sudah terkenal pezina.” Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa keharaman kawin mut‟ah yang ditanda tangani pada 22 Jumadil Akhir 1418/25 Oktober 1997. Menurut fatwa tersebut, penghalalan mut‟ah bertentangan dengan 129 Abû al-Mahâsin Ar Rûyânî, Bahr al Mazhab, Jilid IX, ( tt.p: Dâr al Kutub al Ilmiyah,2009 M) h.319, Tahqiq Thâriq Fathi Sa‟îd) 130 Nabi pernah membolehkan nikah mu‟tah pada awal Islam, namun kemudian hukum ini dinasakh (dihapuskan) hingga hari kiamat. 131 Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Pertama,h. 77 132 Al-Khamaini, Tahrîr al-Wasîlah, Jilid II (Iran,: Maktabah as Syârqai lil Ma‟lûmât ad Dîniyyah, 1418H) h. 260 58 semnagat dan esensi pernikahan seperti yang sudah dijelaskan dalam firman Allah: ِ ِ ِ ِ ِ ت ْ ) إِل َعلَى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك5( ين ُى ْم ل ُفُروج ِه ْم َحافظُو َن َ َوالذ ِ ومي )امل ِ ُأَُّْيَانُهم فَِإن هم َغي ر مل (٦-٥ : [۱۱] ؤمنُون َ َ ُْ ْ ُ ْ ُ ُ „Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”(QS. Al Mu‟minûn [23]:5-6). Muhammad Thâhir bin Asyûr menafsirkan ayat ini dengan mengungkapkan maknanya yaitu: 133 ِاَ ْل ِ :ظ ِْ الصيَانَةُ و َي َع ِن الْ َو ْط ِء ف ُ َو ِح ْف.اك ُ اْل ْم َس ُ ْ ٌ ُظ الْ َفْرِج َم ْعل ّ ْ أ،وم َ “Kata al hifzu, bermakna menjaga dan menahan, maksudnya menjaga kemaluan dari persetubuhan”. Ayat ini menjelaskan tentang persetubuhan yang dibenarkan hanya dengan orang yang sudah halal dan berfungsi sebagai istri atau (jâriah).134 Sedangkan wanita yang dinikahi dengan cara mut‟ah hakikatnya tidak berfungsi sebagai istri karena akadnya tidak sesuai dengan akad nikah yang dibenarkan syariat dengan beberapa alasan:135 1. Tidak saling mewarisi 2. Iddah muta‟ah adalah iddah sementara sesuai waktu yang diinginkan pelaku (iddah muaqqat) tidak seperti iddah nikah sesuai syariat („iddah dâim). 3. Sang suami boleh beristri lebih dari yang syariat bolehkan yaitu empat wanita, sedangkan dalam mut‟ah jumlah istri tidak dibatasi. 4. Seorang yang melakukan praktek mut‟ah sesungguhnya tidak dianggap sebagai orang yang memiliki istri (muhshân) karena orang tersebut temasuk orang yang melampaui batas. Majelis Ulama Indonesia juga menyebutkan dalil dari Rasulullah hadits Rasulullah SAW: 133 Muhammad Thâhir bin Asyûr, At Tahrîr wa At Tanwîr, j. 18 h. 13 Jariah, adalah budak wanita yang pada zaman dahulu dihalalkan, setelah islam datang perlahan-lahan menghapus syariat perbudakan karena manusia terlahir dalam kondisi merdeka. 135 Tim Penulis Majelis Ulama Indonesia Pusat, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, (Jakarta: Forum Masjid Ahlu Sunnah,2013) h. 82-83 134 59 ، َحدثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن عُ َمَر، َحدثَنَا أَِِب،َحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن َعْب ِد هللاِ بْ ِن ُُنٍَْي ِ ِ صلى ْ َيع بْ ُن َسْب َرة َ أَنوُ َكا َن َم َع َر ُسول هللا،ُ َحدثَو،ُ أَن أ ََبه،اْلَُه ِِن ُ َِحدثَِِن الرب ِ إِِن قَ ْد ُكْن، «اي أَي ها الناس:ال ِ ت لَ ُك ْم ِِف ّ ُ ُ ْت أَذن ُ َ َ َ هللاُ َعلَْيو َو َسل َم فَ َق ِ ِ ِ فَ َم ْن َكا َن،ك إِ ََل يَ ْوِم الْ ِقيَ َام ِة َ َوإِن هللاَ قَ ْد َحرَم ذَل،ال ْستِ ْمتَ ِاع ِم َن النِّ َساء ِ وَل َتْخ ُذوا،ِعنده ِمن هن شيء فَ ْليخ ِل سبِيلَو وىن َشْي ئًا(رو ُاه م ت ي آت ا ِم َ ُ ُ ُْ ُ َ َ ُ َ ّ َ ُ ٌ ْ َ ُْ َُْ 136 ِ )ُم ْسل ٌم “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin Numair, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami, Abdul „Aziz bin „Umar, telah menceritakan kepada kami, ar Rabi‟ bin Sabrah al Juhani, bahwa ayahnya bercerita saat bersama Rasulullah SAW dan beliau bersabda,” Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian mut‟ah dari wanita, sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat, barang siapa yang masih memiliki mereka hendaklah melepaskannya, dan janganlah kamu mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka”. (HR. Muslim) Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa mut‟ah tidak termasuk kedalam nikah yang sesuai dengan syariat karena syarat, rukun dan maqashid dalam pernikahan tidak dijumpai dalam mut‟ah. Dan jika diperhatikan kronologis dan ketentuan dalam kitabnya Khamaini yang membahas tentang az Zawaj al Munqathi‟ (mut‟ah) argument serta ketetuan yang dibuat didalamnya sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan syahwat pribadi saja, tidak mencerminkan sikap-sikap seorang yang memahami ajaran islam yang benar sebagaimana Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya. Oleh karena itu penulis setuju dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terkait haramnya nikah mut‟ah seperti di sebutkan dalam fatwanya tertanggal, 25 Oktober 1997:137 1. Nikah mut‟ah hukumnya adalah haram. 2. Pelaku nikah mut‟ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku 136 Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid II h. 1025, No. 1406 Fatwa MUI tanggal 25 Oktober 1997 tentan Nikah Mut‟ah 137 60 Fatwa yang digagas Majelis Ulama Indonesia sudah sangat jelas dan tegas melarang praktek mut‟ah, karena tidak sesuai dengan aspek syariat maupun sosial. Sehingga pihak-pihak yang setuju dengan mut‟ah pada dasarnya hanya dorongan kebutuhan seksual yang menyimpang di mencari pembenaran agar tindakannya sesuai dengan syariat, dan ini jelas-jelas merupakan perbuatan zina yang atas nama agama. C. Nikah Di Bawah Tangan Jika dilihat dari pengertian nikah sirri diatas, nikah dibawah tangan secara umum termasuk jenis pernikahan yang memiliki “motiv” dari nikah sirri, dalam hal tersembunyi dan tidak diumumkan kepada khalayak sebagaimana nikah resmi. Menurut Darmawati, istilah nikah dibawah tangan muncul setelah lahirnya Undang-Undang Pernikahan 1 Oktober 1975.138 Nikah dibawah tangan sebenarnya sudah tercukupi syarat dan rukun nikah, dengan adanya kedua mempelai, wali nikah, Mahar, ijab Kabul dan dua orang saksi. Namun pernikahan ini tidak disyiarkan kepada khalayak dan tidak di catatkan dalam kantor urusan agama oleh petugas pencatat nikah. Dengan berbagai pertimbangan, bisa mengandung unsur kesengajaan, untuk menyembunyikan status dan motiv lainnya. Dengan kata lain, pernikahan ini sah secara agama, namun tidak di catatkan. Menurut Undang-Undang perkawinan, setiap pernikahan harus dicatatkan, seperti tertera didalam pasal 2 berikut:139 Ayat1: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan pernikahan dibawah tangan, Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya menyebutkan, bahwa nikah dibawah tangan jika syarat dan rukunnya dipenuhi maka hukumnya sah, dan hukum pernikahannya boleh, namun jika dikemudian hari terdapat bahaya atau mudharat yang ditimbulkan maka pernikahan tersebut hukumnya menjadi haram. MUI juga beberapa pertimbangan dalil baik dari Al Qur‟an, hadits maupun pendapat para ulama, diantara pertimbangannya adalah: Firman Allah: 138 Darmawati, “Nikah Sirri, Nikah dibawah Tangan dan Status Anaknya” dalam Jurnal Ar Risalah: Vol. 10 No. 1 Mei 2010, , h.38 139 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 61 ِ ِ ِِ وِمن اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم ً آايتو أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو َ ْ َ ِ ٍ ك ََلاي ِ ت لَِق ْوٍم يَتَ َفكُرو َن َ َ َم َودةً َوَر ْْحَةً إن ِِف ذَل (۱۱: [۱. ](س ْوَرةُ الر ْوم ُ “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan Dia menjadikan diantaramurasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itubenarbenar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar Rûm [30]:21) Ibnu Asyûr ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa Allah menjadikan pasangan dari jenis manusia karena tidak mungkin akan tercapai tujuan pernikahan seperti berkembang biak antara manusia dan hewan, Allah juga menjadikan pasangan suami dan istri yang dahulu sebelum menikah tidak saling mengenal dan memahami, setelah menikah menjadi pasangan yang saling mencintai karena Allah, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah pada orang-orang yang berfikir, karena dengan berfikir manusia dapat mengetahui rahasia nikmat Allah dan syariat Allah dalam pernikahan.140 Majelis Ulama Indonesia juga berpandangan bahwa salah satu untuk menutup pintu keburukan (sad ad zarî‟ah) adalah dengan mengumumkan pernikahan. Karena dengan mengumumkan pernikahan maka fitnah dan prasangka buruk terhadap dua orang yang berpasangan akan terhindari. Seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW untuk mengadakan walimah ( resepsi) sebagai bentuk kabar gembira kepada masyarakat dan pemberitahuan: ٍ ٍ ك؛ أَن عب َد الر ْْح ِن بن عو ٍ ِس ب ِن مال َجاءَ إِ ََل،ف َْ َ ْ ِ َ َع ْن أَن،َع ْن ُْحَْيد الط ِو ِيل َْ َ ْ ِ ُ فَسأَلَو رس،ٍ وبِِو أَثَر ص ْفرة،ول هللاِ ملسو هيلع هللا ىلص ِ رس .َخبَ َرهُ أَنوُ تََزو َج ْ فَأ،ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص َُُ َ َ ُ ُ َ َُ 140 Ibnu Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, J. 21 h. 71 62 ِ ُ ال رس ٍ ِزنَةَ نَواةٍ ِم ْن َذ َى:ال ال َ فَ َق.ب َ َ ق.»ت إِلَْي َها؟ َ « َك ْم ُس ْق:ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص ُ َ َ فَ َق َ ِ 141 )ك ُ َر ُس ٌ ِ) َرواهُ ماَل.»ٍ َولَْو بِ َشاة،ْ «أ َْوَل:ول هللاِ ملسو هيلع هللا ىلص Dari Humaid at Thawîl dari Anas bin Mâlik Bahwasanya Abdurrahman bin Auf datang kepada Rasulullah, ada bekas wewangian dibajunya, lalu rasulullah bertanya, dan Abdurrahman bin Auf mengabarkan bahwa ia sudah menikah. Maka Rasulullah bersabda,”Berapkah mahar yang kamu berikan kepadanya?, Abdurrahman bin Auf menjawab,” Sekitar 5 dirham,” lalu Rasulullah bersabda,” Laksanakanlah walimah (resepsi) meski dengan menyembelih seekor kambing”.(HR. Malik) Imam Ibnu Hajar al Atsqalani dalam syarah hadits Sahih Bukhari menyebutkan bahwa batasan satu ekor kambing adalah batasan minimal bagi walimah jika kondisi lapang dalam hal rezeki. Meskipun sebagian ulama seperti „Iyad tidak memberikan batasan tertentu dalam hal walimah.142 Majelis Ulama Indonesia juga mengaitkan nikah dibawah tangan dengan pencatatan nikah, karena pernikahan yang dicatatkan pada lembaga yang berwenang yang diatur oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada ulil amri (pemimpin). Karena pernikahan yang tidak dicatatkan dalam lembaga resmi pemerintah memungkinkan terjadinya kerusakan atau mudharat yang mungkin saja bisa terjadi dalam sebuah pernikahan. Sehingga usaha untuk menutup jalan mudharat didahululan dari pada mengambil manfaat dari pernikahan dibawah tanga tersebut. Imam As Suyuthi menyatakan kaidah fikih: ِ ب الْم ِ اس ِد أَوََل ِ درء الْم َف ِ ; ٌصلَ َحة ل ج ن م ْ ْ ض َم ْف َس َدةٌ َوَم َ صال ِح " فَِإ َذا تَ َع َار َ َ َ ْ ْ َ ُ َْ ِ ِألَن اعتِنَاء الشا ِرِع ِبلْمْن ِهي،قُ ِّدم دفْع الْم ْفس َدةِ َغالِبا َشد ِم ْن ْاعتِنَائِِو َ ات أ ً َ َ ْ َ َ ُ ََ .143ِبلْمأْمورات ََُ 141 Imam Mâlik, al-Muwatha, Jilid III, ( Abu Dhabi: Muassasah Zaid bin Sulthân Ali Nahyân lil A‟mal al-Khairiyah al-Insâniyyah, 1425H) h.783 No. 2006 142 Ibnu Hajar al-Atsqalanî, Fath al-Bâri Syarh Sahih al-Bukhâri, Jilid IX (Beirut: Dâr al Ma‟rifah, 1379H) h. 237 No. 5168 143 Imam as-Suyûthi, al-Asbâh wa an-Nazâir, (t.tp: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1411) h. 87 63 “Mencegah kerusakan lebih utama dari mengambil manfaat, jika mucul mafsadat (kerusakan ) dan maslahah (kebaikan), maka didahulukan mencegah kerusakan secara umum, karena perhatian syariat terhadap larangan-larangan lebih keras dari pada perhatian terhadap perintah-perintah.” D. Nikah Beda Agama Perkawinan beda agama adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita Kristen protestan atau sebaliknya144 Menurut Siska Lis Sulistiani , perkawinan beda agama terbagi menjadi empat bentuk145: 1. Perkawinan antara pria muslim dan ahlu al kitab 2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik 3. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria ahlu al kitab 4. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria musyrik yang bukan ahlu al kitab. Dari klasifikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah, perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang memiliki perbedaan agama dan kepercayaan atau keyakinan. Di dalam Al Qur‟an terdapat dua ayat yang menjadi dasar pijakan hukum menikah dengan orang yang berbeda agama yaitu: a. Surat Al Baqarah ayat 221 ِ وَل تَْن ِكحوا الْم ْش ِرَك ات َحَّت يُ ْؤِمن َوَأل ََمةٌ ُم ْؤِمنَةٌ َخْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو ُ ُ َ ِ ِ ي َحَّت يُ ْؤِمنُوا َولَ َعْب ٌد ُم ْؤِم ٌن َخْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِرٍك َ أ َْع َجبَ ْت ُك ْم َوَل تُْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك ك يَ ْدعُو َن إِ ََل النا ِر َواَّللُ يَ ْدعُو إِ ََل ا ْْلَن ِة َوالْ َم ْغ ِفَرةِ ِبِِ ْذنِِو َ َِولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم أُولَئ ِ آايتِِو لِلن ) ۱۱۱: [۱ ] (البَ َقَرْة.اس لَ َعل ُه ْم يَتَ َذكُرون ُ ِّ ََويُب َ ي “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang 144 Abdurrachman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah hukum Perkawinan di Indonesia, ( Bandung: Alumni, 1978) h. 20 145 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama, h. 45 64 musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Syurga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-pertintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah [2]:221) b. Surat Al Maidah ayat 5 ِ الْي وم أ ُِحل لَ ُكم الطيِبات وطَعام ال ِ اب ِحل لَ ُك ْم َوطَ َع ُام ُك ْم ذ َ َين أُوتُوا الْكت ََْ َ ُ َ َ ُ َّ ُ ِ ِ ات والْمحصن ِ ِ ِ َِحل َِلم والْمحصن ين أُوتُوا ُ َ َ ْ ُ َ َات م َن الْ ُم ْؤمن ُ َ ْ ُ َ ُْ َ ات م َن الذ ِِ ِِ ِ ْال ِاب ِمن قَ ْبلِ ُكم إ ي َوَل ُج أ ن وى م ت ي آت ا ذ ت ك َ َ ُ َ َ ي َغْي َر ُم َسافح َ ورُىن ُُْمصن ُ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ ِ َمت ِخ ِذي أَخ َد ٍان ومن ي ْك ُفر ِبِْْلُّي ط َع َملُوُ َوُى َو ِِف ْاَل ِخَرةِ ِم َن َ ِان فَ َق ْد َحب ُ ْ َ ْ ََ ْ ِ ال ِ (٥: [ ٥]) اَل َمائِ َدة. ين ر اس َ َْ “Pada hati ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan kamu mengawini) wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidk dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum) islam maka hapuslah amalnya dan ia di hari akhir termasuk orang-orang yang merugi” ( QS. Al Maidah [5]: 5) Sedangkan Ahmad Sukarja mengklasifikasikan perkawinan orang islam dengan bukan Islam menjadi empat golongan146 yaitu: 1. Kaum musyrikin dan ahlul kitab Al Jaziry membagi non muslim dalam tiga golongan: Pertama, golongan yang tidak berkitab samawi atau semacamnya, seperti menyembah berhala, orang-orang murtad masuk dalam golongan ini. Kedua,golongan Majusi yang menyembah api, dan ketiga, Yahudi yang 146 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jilid I ( Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan, 2008) h. 10 65 percaya kepada Taurat dan orang Nasrani yang percaya kepada Turat dan Injil secara bersama.147 Sedangkan Syekh Yusuf Al Qaradhâwi membagi golongan non muslim atas Musyrik, Murtad, Baha‟i dan Ahlul Kitab.148 2. Non muslim memeluk islam Perkawinan mereka sah bila memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam. 3. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam Kesepakatan pendapat tentang haram hukumnya seorang wanita islam menikah dengan lelaki non muslim sudah ada sejak zaman Rasulullah. Dalil keharamannya adalah firman Allah didalam Al Qur‟an” ”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. ( QS. Al Baqarah [2]:221) 4. Laki-laki islam dengan wanita bukan islam a. Wanita musyrik dan wanita murtad Seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita musyrik adalah haram secara mullak, berdasarkan Al Qur‟an: “ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu ( QS. Al Baqarah [2]:221) Sedangkan wanita murtad (keluar) dari agama Islam dia dianggap tidak beragama sama sekali, sekalipun ia pindah keagama Samawi. b. Wanita ahlul kitab Muncul perbedaan dikalangan ulama tentang kebolehan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita ahlul kitab, titik perbedaan tersebut terkait kedudukan wanita ahlul kitab. Imam mazbah yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama, yaitu wanita Kitabiyah boleh dinikahi.149 Prof. KH. Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa pandangan para ulama tentang hukum menikahi wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah) terbagi menjadi tiga pendapat: Pertama, golongan yang menghalalkan Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut disebutkan dalam firman Allah: 147 al-Jazîri, Kitab al-Fikh „ala al Mazâhib al Arba‟ah, jilid IV ( Dar Ihya al Turâts al Araby, 1969) h. 75 148 Yûsuf al-Qaradhawi, Huda al-islâm Fatwa Muashirah, ( Kairo: Dar Afaq al Ghad, 1978) h.402-406 149 Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 19 66 ِ ِ والْمحصنات ِمن ال ِذين أُوتُوا الْ ِكت ورُىن ُ اب م ْن قَ ْبل ُك ْم إِ َذا آتَْي تُ ُم َ َ ُ وىن أ َ ُج َ َ ُ ََ ْ ُ َ ِِ ِِ ِِ ) ٥: [٥ ](اَل مَائِ َد ة... َخ َد ٍان ْ ي َوَل ُمتخذي أ َ ي َغْي َر ُم َسافح َ ُُْمصن …”Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara orangorang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telahmembayar mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik…” (QS. Al Maidah[5]:5) Imam Tâhir bin Asyhûr menyebutkan dalam tafsirnya terkait ayat ini: 150 ِِ ت ِِْل َب َح ِة الت َزو ِج ِبلْ ِكتَابِيات ْ َفَِإن َىذه ْاَليَةَ َجاء . “Ayat ini datang untuk membolehkan pernikahan dengan wanita Ahlul Kitab Dalam perjalanan syariat, ternyata para sahabat nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam ada yang menikahi wanita kitabiyah. Logikanya jika hal tersebut haram, tentu nabi adalah orang pertama yang akan melarang para sahabat melakukan hal itu. Seperti yang dilakukan oleh Talhah bin Ubaidillah.151Kedua, golongan yang mengharamkan, yaitu mereka yang menganggap orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah termasuk kaum musyrikin sehingga haram dinikahi. Kaum Yahudi menuhankan Uzair sebagai anak Tuhan dan kaum Nashrani menganggap Isa bin Maryam adalah anak Tuhan, sehingga kaum ini disebut musyrik dan haram menikah dengan mereka152 . Berdasarkan firman Allah: ِ ِ ) ۱۱۱:[۱ ] (البَ َقَرْة.ي َحَّت يُ ْؤِمنُوا َ َوَل تُْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك “ Dan Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman…”(QS. Al Baqarah [2]:221) Ketiga, golongan yang menghalalkan namun dilarang sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyati). Maksudnya adalah, menikahi Ahlul Kitab dibolehkan, akan tetapi kekhawatiran muncul jika suami sudah cinta mati dengan istrinya, disamping sudah memiliki keturunan, sehingga bisa saja sang istri meminta untuk cerai atau sang suami pindah agama jika ingin terus hidup bersama, atau karena sayang dengan keturunannya. Pilihan ini di ungkapkan oleh sang 150 Muhammad Thahir bin „Ậsyur, at- Tahrir wa Tanwir, Jilid 6 (Tunisia: Dar Tunis Li an-Nasyr,1984) h.123 151 Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al- „Arabi, 1957) h. 113 152 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22 67 istri dengan tujuan suami mau masuk ke agamanya. Dan ini berbahaya bagi suami yang beragama Islam. Hukum mubahnya berubah dari mutlak ke muqayyad (terikat)153 . Kalangan Hanafiyah berpendapat, jika wanita Ahlul Kitab berada di wilayah dar al harb154 (wilayah perang) meendahulukan menikah dengan mereka adalah makruh tahrim karena membawa mafsadat (kerusakan). Sedangkan Ahlul Kitab yang tunduk kepada hukum islam, menikahi mereka hukumnya makruh tanzih(makruh namun tidak haram)155. Malikiya memiliki dua pendapat, pertama, nikah Kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik Dzimmiyah maupun Harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak. Landasannya adalah Sadd al-zari‟ah (menutup kemudharatan). Jika mafsadatnya dikhawatirkan terjadi, maka mendahulukan nikah dengan kitabiyah adalah haram .156 Sedangkan menurut Sayid Sabiq, menikah dengan wanita Ahlul Kitab meskipun hukumnya boleh (jaiz) namun makruh. Karena suami tidak terjamin aman dari fitnah dari agama istrinya.157 Syekh Yusuf al-Qardawi berpendapat, kebolehan menikah dengan ahlul kitab tidaklah mutlak, akan tetapi terikat dengan koridor yang perlu diperhatikan, diantaranya: a. Ahlu Kitab tersebut benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak atheis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi. b. Wanita Ahlul Kitab yang muhsanat (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina) c. Ia bukan Ahlu Kitab yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Untuk itu perlu dibedakan antara Dzimiyah dan Harbiyah. Dzimiyah dibolehkan dan Harbiyah dilarang. d. Di balik pernikahan dengan Kitabiyah tidak akan terjadi, mafsadat dan mudharat. Semakin besar kemungkinan terjadi kemudharatan, maka makin besar pula tingkat larangan dan keharamannya158 . 153 Al Jaziry, al Fiqh „alâ Mazâhib Al Arba‟ah h. 76 Dar al Harb adalah wilayah konflik antar dua negara, diantar keduanya tidak terkait dengan perjanjian apapun melainkan konflik perang yang bertujuan saling mengalahkan satu dan lainnya. Dalam kondisi ini menikah dengan wanita ahlul kitab yang berada diwiayah ini para ulama menghukuminya sebagai makruh tahrim (larangan yang haram) karena dikhawatirkan ada siasat untuk menguasai musuh, karena perang adalah tipu daya menguasai lawan. 155 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h.24 156 Al Jazîy, al Fiqh „ala Mazâhib Al Arba‟ah, 76 157 Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2 ( Beirût: Dâr al Kitab Al Arabi, 1973) h. 101-102 158 Yusuf al-Qaradhawi, Huda al Islam Fatawa Mu‟asirah, h. 407 154 68 B. Kedudukan Anak Dalam Keluarga Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun1979Tentang Kesejahteraan Anak, pada bab I ketentuan umum pasal (1) poin (2).Yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun dan belum kawin. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), anak adalah setiapSetiap manusia yang berusia 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang berada di dalam kandungan. Secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan (ovum) dengan sel sperma lakilaki (spermatozoa) kemudian berkembang menjadi calon janin (zygot) lalu tumbuh menjadi sel janin. Sehingga tidak mungkin seorang anak lahir tanpa kontribusi dua belah pihak, ayah dan ibu. Secara yuridis seorang anak kadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini dalam undang-undang perkawinan, jika tanpa disertai perkawinan yang sah maka anak tersebut dinamakan anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan dengan ibu sebagai orang tuanya. Sedangkan menurut KUH Perdata menganut prinsip tanpa adanya pengakuan dari kedua orang tuanya maka si anak tidak dapat memiliki pengakuan secara yuridis baik dari ayah maupun ibunya.159 Sedangkan menurut hukum islam, anak memiliki arti yang sangat penting karena dengan anak dapat diketahui hubungan sedarah (mahram) antara dia dan ayahnya. hukum islam juga memberikan koridor bahwa anak dapat dikatakan sah bilamana terlahir dari pernikahan yang sah sesuai syarat hukum agama. Sedangkan anak yang terlahir diluar syarat tersebut dinamakan anak zina atau anak luar kawin 160. a. Anak sah Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan161. Sedangkan menurut makna etimologi dari beberapa kategori, diantaranya162 : 159 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),( Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2012) h. 7 160 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama,h. 16 161 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.80 162 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),h. 39 69 1. Seorang anak yang dibenihkan dari perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah. 2. Seorang anak yang dibenihkan di luar perkawinan namun, dilahirkan dalam perkawinan yang sah. 3. Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah, namun dilahirkan di luar perkawinan. 4. (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami istri di luar rahim dan dilahirkan oleh istri. Kemudian pada pasal 42 Undang-Undang anak sah menyebutkan,”Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah”163. Pada pasal 250 KUH Perdata menyebutkan,” Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayah”.164 b. Anak luar kawin Beradasarkan Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 bahwa anak sah jika dilahirkan atau sebab akibat dari perkawinan yang sah165 Menurut DY Witanto beberapa faktor yang melatar belakangi anak luar kawin antara lain166: 1. Karena usia pelaku masih dibawah usia yang diizinkan untuk menikah. 2. Belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan. 3. Perbedaan agama dan kepercayaan. 4. Akibat tindak pidana pemerkosaan. 5. Tidak mendapat restu orang tua. 6. Si laki-laki masih terikat perkawinan dengan istri sebelumnya dan tidak mendapatkan izin poligami. 7. Sex bebas (free sex) 8. Terlibat prostistusi Pembagian anak luar kawin terbagi menjadi dua bagian, diantaranya: 1. Anak zina Menurut pengertian hukum Barat, seorang anak baru dapat dikategorikan sebagai anak zina jika ia berasal dari akibat seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya sedang terikat perkawinan dengan pihak lain167. Dalam pasal 272 KUHPerdata juga disebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (antara jejaka dan 163 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 tentang Kedudukan Anak 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 250 BAB XII Tentang Kebapakan dan Asal Keturunan Anak-Anak 165 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 166 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 9 167 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 40 70 gadis) dapat diakui sekaligus di sahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasi zina atau sumbang. Sehingga pendapat diatas menuai kontroversi, karena seorang anak dihukumi anak zina bila dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah, hal ini jika diperhatikan dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan oleh seorang jejaka dan seorang gadis tidak dianggap sebagai zina, ini jelas bertolak belakang dengan maqashid syariah168. Al Qur‟an melarang perbuatan zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji (fahisyah), seperti disebutkan dalam firman Allah: ِ َالزََن إِنو َكا َن ف (۱۱ : [ ۱۷ ] (ا ِْل ْسَراء. ًاح َشةً َو َساءَ َسبِيًل ُ ِّ َوَل تَ ْقَربُوا “ Dan janganlah kamu dekati zina, karena zina adalah perbuatan yang keji, dan jalan yang buruk”. (QS. Al Isra‟[17]:32) Abu Zahrah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat diatas adalah larangan mendekati zina, Allah tidak mengatakan,”Janganlah berzina”. Maksudnya Allah melarang segala perkara yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kedalam perbuatan zina. Seperti memegang, mencium, melihat aurat perempuan yang tidak halal, tari-tarian yang membangkitkan syahwat, suara wanita yang merayu mendayu, segala macam bentuk pornografi, karena segala sarana yang menyebabkan perbuatan haram maka hukumnya adalah haram169. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan zina adalah pihakpihak yang melakukan hubungan seksual tanpa diikat oleh akad yang sah. Hubungan tersebut tanpa dibedakan antara yang sudah terikat pernikahan (suami istri) maupun yang belum (jejaka dan gadis) semua sama dihukumi zina.170 Sedangkan definisi fukahâ yang dimaksud dengan zina adalah: 171 ٍ الزَِنَ إِيًلَج الذ َك ِر بَِفرِج ُُمَرٍم بِ َع ي َخ ٍال َع ْن الشْب َه ِة ُم ْشتَ َهى ّ ُ ّ ْ . “Zina adalah memasukkan zakar (alat kelamin laki-laki) kedalam faraj (alat kelamin wanita) yang haram, bukan pula campur syubhat dan menimbulkan kelezatan” Ada dua istilah yang biasa digunakan bagi pelaku zina, muhsan ( jejaka dan gadis yang belum menikah) dan ghairu muhsan ( suami atau istri atau orang yang telah menikah). Hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah di cambuk sebanyak 100 kali dan di asingkan dari wilayahnya selam setahun, seperti disebutkan oleh Al Maqdisi: 168 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 122-123 Abu Zahrah, Zahra at Tafasir, Jilid VIII (t.tp: Dar Fikr Arabi, tt) h.4375 170 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 124 171 Al Mahli, Qalyubi wa Umairah, Juz IV ( Mesir: Musthafa al Babi al-Halabi, 1955) h. 179 169 71 “Apabila pelaku zina adalah Muhsan, maka wajib dirajam hingga mati, Muhsan yaitu orang yang telah bercampur dengan istri melalui qubulnya dengan pernikahan yang sah, mereka merdeka dan mukallaf. Jika pelaku zina adalah merdeka Ghairu Muhsan hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali, lalu diasingkan setahun sejauh jarak dibolehkannya shalat Qashar172. Akibat negatif dari zina adalah: Zina dapat menghilangkan nasab ( keturunan), menularkan berbagai macam penyakit yang berbahaya, sebab timbulnya perbuatan pidana lain seperti pertengkaran bahkan bisa berujung kepada pembunuhan, karena kecemburuan suami atau istri yang berzina, zina juga dapat menghancurkan sendi-sendi rumah tangga, merusak hubungan silaturahmi antara anak maupun keluarga besarnya serta zina merupakan perbuatan dosa besar dan menyerupai perbuatan hewan173 . Adapun akibat hukum dari anak hasil zina dalam hukum islam adalah sebagai berikut: Pertama, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Kedua, tidak saling mewarisiKetiga,tidak ada perwalian 2. Anak sumbang Anak sumbang (incest) adalah anak yang terlahir dari hubungan terlarang dalam perkawinan, baik karena hubungan darah, semenda maupun 174 persususan (dalam hukum Islam) dan sebagianya. Menurut H.M. Anshari perkawinan incest dibagi menjadi dua kondisi, yaitu legal dan illegal. Incest legal adalah hubungan biologis dalam sebuah perkawinan incest karena kealpaan. Namun penulis tidak setuju dengan istilah legal, karena terkesan dibolehkan secara hukum. penulis lebih memilih istilah hubungan incest karena kealpaan. Kasusnya adalah jika sebuah keluarga terjadi perceraian, kemudian anggota keluarga tersebut berpisan setelah sekian lama ternyata salah satu diantara mereka menikah secara sah dan tercatat dalam hukum legal, yang setelah dilakukakan penelusuran masih merupakan keluarga sedarah. Dalam kasus ini maka hukum pernikahan tersebut batal. Karena mereka sebenarnya dilarang kawin karena masih memiliki hubungan sedarah175. Atau kasus kedua karena keluarga yang tidak memiliki pemahaman cukup dalam agama. Misalnya kasus pernikahan antara paman dan keponakannya, sedang diantara keluarga mereka tidak mengetahui keharaman pernikahan tersebut. Maka hukum pernikahan tersebut harus di batalkan. Adapun incest illegal adalah hubungan yang 172 Mar‟i bin Yusuf al-Karami al-Maqdisi Al Hambali, Dalil at-Thâlib li-Nail alMathâlib, jilid I ( Riyadh: Dar Qutaibah Li an -Nasyr wa Tauzi‟, 1425H) h. 312 173 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 341 174 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan dan Hukum Anak, h. 22 175 HM. Anshari, Kedudukan Anak dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h. 146 72 dilakukan oleh kedua belah pihak yang masih memiliki hubungan darah karena pemaksaan, seperti pemerkosaan. Maka jika hal ini terjadi akan ditindak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia176 . C. Kedudukan Anak Menurut Al Qur’an Hadits Al Quran banyak menyebutkan ayat-ayat tentang keluarga. Bahkan didalam Al Qur‟an terdapat surat yang menyebut kata keluarga yaitu surat Ali Imran yang artinya keluarga Imran. Didalamnya mengungkap pelajaran-pelajaran tentang kehidupan. Seperti disebutkan dalam firman Allah: ِ َ آل إِب ر ِاىيم و ِ ً ذُِّرية. ي َ اصطََفى َ آل ع ْمَرا َن َعلَى لْ َعالَم ْ َإِن اَّلل ً ُآد َم َون َ َ َ ْ َ وحا َو ِ ٍ ض َها ِم ْن بَ ْع ) ۱٤- ۱۱:[۱] (آل ِع ْمَران.يع َعلِ ٌيم ُ بَ ْع ٌ ض َواَّللُ َْس “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran, melebihi segala umat (dimasa mereka masingmasing). (sebagai satu keturunan yang sebagiannya (turunan) turunan dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Ali Imran [3]:33-34). Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa penyebutan nama keluarga nabi Ibrahim dan keluarga Imran karena keluarga mereka memiliki keutamaan, dari keturunan keluarga Ibrahim lahirlah nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam bagi seluruh alam 177Selain itu Al Qur‟an secara gambling mengungkap pola interaksi antara anak dan orang tua, begitu indah disebutkan dalam surat Lukman, saat Lukmanul Hakim178 mengajarkan anaknya untuk taat kepada Allah dengan beragam wejangan indah merasuk kedalam qalbu. Firman Allah: 176 HM. Anshari, Kedudukan Anak dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h. 147 177 Muhammad bin Jarîr At-Thabari, Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Ayi Al- Qur‟an, jilid VI, (t.tp: Muassasah Ar Risalah,1420H) h. 326 178 Di Adalah Luqman Al Hakim, nama aslinya Luqman bin „Anqa bin Sadun, sedangkan anaknya bernama Tsaran, Luqman digelari al Hakim karena memiliki pelajaranpelajara pentin. Baik utuk keluarganya maupun untuk kita semua. Dalam Tafsir Al Khazin disebutkan, Luqman al Hakim hidup hingga 1000 tahun, ia juga bertemu dengan Nabi Daud dan menjadi Hakim (Qadhi) Bani Israil. Menurut ulama tafsir Luqman bukanlah nabi kecuali pendapat dari Ikrimah yang menyatakan Luqman adalah seorang nabi, ia adalah hamba Allah yang sholeh. Luqman berasal dari Sudan, Allah anugerahkan keadanya ucapan yang penuh hikmah dan pelajaran serta akal yang cerdas, ia pernah berkata,”Diam adalah hikmah, namun sedikit yang melakukakannya”. Ia juga pernah ditanya,”Siapakah manusia yang paling buruk?”. Ia menjawab,”Orang yang dibiarkan oleh manusia jika melakukan kemaksiatan” ( Wahbah Zuhaili,Tafsir Al Munir, jilid 21, (Damaskus: Dar al Fikr Muashir, 1418H) h. 143) 73 ِ ِ الشْرَك لَظُْل ٌم َع ِظ ٌيم َ ََوإِ ْذ ق ِّ ال لُْق َما ُن لبْنِ ِو َوُى َو يَعِظُوُ َاي بُ َِن َل تُ ْش ِرْك ِبَّلل إِن ِ ِ ِ ِ ْ صالُوُ ِِف َع َام ِْ ) ووصْي نَا31( ي أ َِن َ اْلنْ َسا َن بَِوال َديْو َْحَلَْتوُ أُموُ َوْىنًا َعلَى َوْى ٍن َوف ََ ِِ ِ ك إِ َل الْم (۱٤-۱۱ : [ ۱۱] (لُْق َمان.)31( ُصي َ ْا ْش ُكْر ِل َول َوال َدي َ “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya,”Hai anakku, jangamlah kamu mepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (QS. Luqmân [31]:13-14) Ibnu Asyûr ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: ِ إِن ابْ َن لُْق َما َن َكا َن ُم ْش ِرًكا فَلَ ْم يََزْل لُْق َما ُن يَعِظُوُ َحَّت:ين َ َق ُ ال َُجْ ُه َ ور الْ ُم َف ّس ِر ِ 179 .ده ُ َ َآم َن ِبَّلل َو ْح Mayoritas Ulama Tafsir berpendapat,” Anak laki-laki Luqman musyrik, namun Luqman terus menasehatinya hingga ia beriman kepada Allah” Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa ayat ini mengisahkan tentang keteladanan Lukman al Hakim yang mengajarkan anaknya dengan pernyataan untuk menjauhi syirik. Yang di sandingkan dengan berbuat baik kepada orang tua. Oleh karena itu ketaatan kepada orang tua berada setelah ketaatan kepada Allah dengan tidak syirik”. Seperti juga di sebutkan oleh Al Qurtubi dalam tafsirnya: ٍ ِ أَن طَاعةَ ْاألَب وي ِن َل تُراعى ِِف رُك يض ٍة َعلَى َ وب َكبِ َية َوَل ِِف تَ ْرِك فَ ِر ََ ْ ََ َ ُ 180 .َعيان َ ْ ْاأل “Bahwa ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh didahulukan jika untuk melakukan dosa-dosa besar atau untuk meninggalkan kewajibankewajiban yang sifatnya pribadi” 179 Muhammad Tahir bin Asyûr, At-Tahrir wa at-Tanwir, Jilid XXI, (Tunisia: Dar Tunis Li An-Nasyr, 1984) h.154 180 al-Qurthubi, Al Jami‟ Li Ahkam Al-Qur‟an, Jilid XIV, (Kairo: Dar Kutub alMishriyah, 1384H) h. 16 74 Al Qur‟an juga menyebutkan bagaimana Nabi Ibrahim bercakap-cakap dengan Ismail, saat turun perintah Allah dalam mimpinya untuk menyembelih anaknya, Ismail dalam mimpi tidurnya. Seperti disebutkan dalam firman Allah: ِ قال اي ب ِن إِِّن أَرى ِِف الْم ك فَانْظُْر ماذا َ َُن أَ ْذ ََب ِّنام أ َ ُ َ فَلَما بَلَ َغ َم َعوُ الس ْع َي َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ين َ تَرى َ قال اي أَبَت افْ َع ْل ما تُ ْؤَمُر َستَج ُدن إ ْن شاءَ اَّللُ م َن الصاب ِر )۱ٓ: [ ۱۷] (الصافات. “Maka tatkala anak itu sampai (pada batas umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ismail mejawab,”Wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS.As Shâfât[37]:10) Ibnu Asyûr dalam tafsirnya mengatakan bahwa usia Ismail saat nabi Ibrahim menceritakan mimpinya adalah tiga belas tahun. Dan mimpi seorang nabi adalah wahyu dan kebenaran dari Allah. Meski dalam ayat ini maksud dari mimpi tersebut adalah ujian keimanan Ibrahim AS setelah sekian lama tidak memiliki keturunan lalu Allah mengujinya sebagai bentuk keyakinan kepada Allah ataukah kecintaan kepada puteranya sudah mengalahkan rasa cintanya kepada Allah 181. Bahkan secara rinci Al Qur‟an menerangkan tentang ayat-ayat warisan didalam surat An Nisa: ِ ي ِ ْ َي فَِإ ْن ُكن نِساء فَو َق اثْنَ ت ِ ْ َظ ْاألُنْثَي ي ِّ وصي ُك ُم اَّللُ ِِف أ َْوَل ِد ُك ْم لِلذ َك ِر ِمثْ ُل َح ُ ْ ًَ ِ اح َدةً فَلَها النِّصف وِألَب وي ِو لِ ُك ِل و ِ فَلَهن ثُلُثَا ما تَرَك وإِ ْن َكانَت و اح ٍد ِمْن ُه َما ُ َ ّ ْ ََ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ 11 :[ ٤](النِّساء...دس ُ ُ الس َ “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia 181 Ibnu Asyûr, At-Tahrir wa Tanwir, jilid 23, (Tunisia: Dar Tunis Li An Nasyr,1984) h. 150 75 memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu dan bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan….” (QS. An Nisa [4]:11) Begitu juga diterangkan pada ayat 12 dan 176 tentang hak waris dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah mengatur hak-hak waris anak secara jelas. kemudian ayah dan ibunya yang menjadikan ia muslim atau non muslim. Imam Al Bukhari bahkan menulis bab khusus tentang aqiqah dalam kitab sahihnya menyebutkan: ٍ عن ج ِري ِر ب ِن حا ِز،ب ِِ َوب الس ْختِي َع ْن ُُمَم ِد بْ ِن،ّان َي أ ن ع ، م ْأ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ٍ َخبَ َرِن ابْ ُن َوْى ِول اَّلل َِ :ال ِ حدثَنَا س ْلما ُن بن ع،ِس ِيين ٍ ِ هللا ى ل ص س ر ت ع ْس ق ، ِب الض ر ام َ َ َ َ ُْ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ ُ َ ّ ِ ِ ُ َعلَْي ِو َو َسل َم يَ ُق ُ َوأَميطُوا َعْنو، فَأ َْى ِري ُقوا َعْنوُ َد ًما،ٌ « َم َع الغًُلَِم َعقي َقة:ول 182 )(رَواهُ اَلبُ َخا ِر ْي. َ األَذَى “Telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb dari Jarir bin Hazim dari Ayub As Sahtiyani dari Muhammad bin Sirin, telah menceritakan kepada kami Salman bin Amir ad Dhabiy, ia berkata,” Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Bersama anak ada aqiqah, alirkanlah darah (hewan sembelihan) dan cukurlah rambutnya,” .(HR. Al Bukhârî) Imam Malik dalam kitab Al Muwatha‟ juga menyebutkan tentang aqiqah: ِ ِ ٍِ َع ْن،ض ْمَرَة َ َع ْن َر ُج ٍل م ْن بَِِن،َسلَ َم ْ َع ْن َزيْد بْ ِن أ، َع ْن َمالك،َحدثَِِن ََْي ََي ِ ُ سئِل رس:ال ِِ «َل:ال َ صلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم َع ِن الْ َع ِقي َق ِة؟ فَ َق َ ول اَّلل ُ َ َ ُ َ َأَبيو أَنوُ ق ِ َحب أَ ْن َ َ َوق، َوَكأَنوُ إُِنَا َك ِرَه ِال ْس َم, »وق َ أ ُِحب الْعُ ُق َ « َم ْن ُول َد لَوُ َولَ ٌد فَأ:ال ِ َي ْنسك عن ول 183 :»دهِ فَ ْلي ْفعل َ َ َ َْ َ ُ َ ْ “Telah mengatakan kepadaku Yahya, dari Malik dari Zaid bin Aslam dari seseorang dari Bani Dhamrah, dari ayahnya, ia 182 Imam Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid VII, (t.tp: Dar Turuq Najah,1422H) h. 84-85 183 Malik bin Anas bin Malik, Al Muwatha‟, Jilid II, (Libanon: Dar Ihya‟u Turats Al Arabi,1406H) h.500 76 berkata,”Rasulullah ditanya tentang aqiqah, Beliau menjawab,”Aku tidak menyukai „Uquq (tidak beradab), seoleh beliau hanya tidak menyukai penyebutan nama Aqiqah ( terkait arti). Dan Beliau bersabda,”Barangsiapa memiliki anak yang terlahir, dan ia senang untuk beribadah terhadap anaknya, maka lakukanlah”. D. Menurut Sosial Anak memiliki kedudukan istimewa didalam keluarga, karena ia adalah penerus cita-cita keluarga dan kelangsungan generasi mendatang. Satu sisi hak dan kewajiban anak bisa terpenuhi dengan baik, namun disisi lain banyak juga permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi pada anak. Baik terkait dengan status sah atau tidaknya, kekerasan, eksploitasi dan kasus hukum. Menurut Rika Saraswati mengatakan bahwa anak butuh orang tua pengganti terkait hak kuasa dan statusnya. Beliau menyebutkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2005 terdapat kasus yang didominasi persoalan hak kuasa dan pengangkatan anak sebanyak 52 kasus (27%). Selanjutnya selama tahun 2006, naik menjadi 82 kasus (21,80%). Selain kasus penelantaran 21 kasus (23,73%) dan penganiayaan 26 kasus (29,38%).184 Dari data diatas dapat diketahui bahwa kasus yang menimpa anak cukup tinggi dan seharusnya memungkinkan pihak-pihak tertentu terutama pengambil kebijakan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan perlindungan hukum kepada anak. Selain itu juga dikenal Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, sebagai lembaga perlindungan terhadap permasalahan yang terkait dengan anak yang ada di negara kita. Anak juga mendapat perlindungan secara hukum. menurut Muhammad Taufik Makarao negara kita sudah memiliki Undang-Undang yang merupakan paying hukum terhadap kesejahteraan dan hak-hak anak. Yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 atau Undang-Undang Kesejahteraan Anak, hal ini diperlukan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:185 1. Bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasardasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. 2. Bahwa agar setiap anakmampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar baik rohani, jasmani dan sosial. 3. Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi. 184 Rika Saraswati,Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2015) h. 13 185 Mohammad Taufik Makarao, Wenny Bukarno, Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2014) h. 11 77 4. Bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak-anak belum dapat dilaksanakan oleh anak sendiri. 5. Bahwa kesempatan, pemeliharaan dan usaha ,menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha kesejahteraan anak terjamin. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 disebutkan: Suatu bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus mampu membentuk dan membina suatu tatanan penghidupan dan kepribadiannya. Usaha ini merupakan usaha yang terus menerus dari generasi ke generasi. Sehingga sebenarnya anak dalam status yang sah memudahkan negara untuk melakukan perlindungan baik secara hukum maupun secara sosial, berbeda dengan anak yang statusnya tidak sah, akan rentan menuai masalah dan kontriversi kedepannya.