يَنْكِحُ – نَكَح نِكَاحاً َ طَر نكَحَ امل ُ األَرْضَ َ ِ ِ ِ ِ لبِ ارِ

advertisement
19
BAB II
MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN
KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA
A.
Tinjauan Umum Pernikahan
1.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam bahasa Arab berasal dari kata
artinya berhimpun dan
Arab:
‫ض‬
َ ‫ن َك َح املَطَُر األ َْر‬
ً‫ نِ َكاحا‬- ‫نَ َك َح – يَْن ِك ُح‬
bercampur, seperti ibarat dalam Bahasa
artinya bercampurnya air hujan dengan tanah.1.
Orang Arab berpendapat bahwa asal kata dari nikah adalah:
ُ‫ اَ َلو ْطء‬artinya
berhubungan suami istri. Dalam terminologi lain berasal dari kata
“Berhimpunnya sesuatu dengan yang lain”.2 Adapun secara istilah, nikah
berarti Muhammad Abdul Aziz As Sudais mendefinisikan nikah sebagai:
3
ِ
ِ‫يد ِم ْلك اِستِمت ِاع الرج ِل ِبل مرأَة‬
َ ْ ْ َ ُ ‫ض َعوُ الشا ِرعُ الَكِ ُيم يُف‬
َ ‫َع ْق ٌد َو‬
َْ ُ
4
Akad yang ditetapkan oleh hakim yang fungsinya kepemilikan
istimta‟(berhubungan badan) antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan”.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nikah adalah “Perjanjian yang
diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang siap menjadi suami istri, perjanjian akad tersebut disaksikan oleh
beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan.”5 Menurut undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan,” Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
1
Ibrahim Mushthafa dkk, Mu‟jam al-Wasith, Jilid II ( tt.p: Dar Ad Da‟wah, tt) h.
951
2
Jami‟ah Madinah al-Alamiyah, Fiqh Usrah, ( Shah Alam: Madinah International
University, 2011) h. 31
3
Muhammad Abdul Aziz As-Sudais, Muqaddimah An-Nikah, ( Madinah: Jami‟ah
Islamiyah,1425 H) h. 203
4
Maksud dari “Kepemilikan Istimta” disini adalah seorang suami atau istri telah
diikat dengan sebuah akad nikah yang halal, dengan akad tersebut maka sang suami berhak
memiliki istrinya dalam hal hak dan kewajiban dalam rumah tangga, baik kewajiban
melayani suami, patuh dan taat, menjaga harta dan amanah suami, toleransi, saling
mendukung dan membantu dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga, sehingga tidak
hanya sebatas kehalalan berhubungan badan saja.
5
Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: PT Pustaka
Setia, 2002) h. 300
19
20
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa6. Pengertian ini juga diperkuat
dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan adalah
pernikahan, dimana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat (mitsâqan
ghalîza)7 untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Menurut para ahli ushul fikih,mereka memaknai nikah dalam
beberapa pendapat, yaitu:
a. Kalangan ulama Hanafiyah
Menurut ulama kalangan Hanafiyah, yang dimaksud dengan nikah
adalah:
ِ‫ أَي ِحل استِمت ِاع الرج ِل ِمن الْمرأَة‬,‫ك الْمْت ع ِة‬
ِ ْ‫ضوعٌ لِ ِمل‬
َ
ُ ‫َع ْق ٌد َم ْو‬
ْ
َ
ُ
ْ
ْ
ْ
َْ
ُ
8
“Akad yang maksudkan untuk kepemilikan hubungan suami istri,
maksudnya
halalnya berhubungan badan antara laki-laki dan
perempuan”.
Meskipun demikian,secara bahasa kalangan Hanâfiyah berbeda pendapat
tentang apakah makna (hakiki) sesungguhnya dari nikah, diantara mereka ada
yang berpendapat bahwa makna hakiki dari nikah adalah hubungan suami
istri, sedangkan makna majâzi (metaphoric) adalah akad.9
b. Kalangan Syafi‟iyah dan Malikiyah
Menurut kalangan Syafi‟iyah yang di maksud dengan nikah adalah:
ِ‫والن‬
‫ضم‬
‫ك‬
ْ ‫اح ِِف اللغَة الضم َو‬
َ
ُ ‫اْل ْم ُع يُ َق‬
ّ
َ ْ‫ت ْاألَ ْش َج ُار إِذاَ ان‬
ْ ‫ال تَنَا َك َح‬
ُ َ
10 ِ
ٍ ‫ضها إِ ََل بَ ْع‬
‫لى الْ َو ْط ِء ِل ْشتِ َمالِِو عِلَى الض ّم‬
‫ع‬
‫ق‬
‫ل‬
‫ط‬
‫ي‬
‫و‬
‫ض‬
ْ
َ
َ
ُ
َ ‫بَ ْع‬
ُ
َ
َ
“Dan nikah secara bahasa berarti berkumpul dan menyatu, seperti jika
pohon menyatu Jika diperhatikan maka pendapat kalangan Syafi‟iyah
merupakan kebalikan dari pendapatHanafiyah. Makna nikah secara
hakikat adalah akad, dan secara majaz adalah berhubungan badan.11
6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mitsâqan Ghalîzâdalah sebuah ikatan kuat antara hamba dengan Allah, yang
mendasari akad nikah, maksudnya akad yang dilakukan bukan hanya semata-mata akad
dengan manusia namun pada hakikatnya adalah perjanjian dengan Allah untuk memikul
amanah dan menghalalkan perbuatan yang sebelum akad nikah terjadi hukumnya haram.
8
Muhammad bin Faramarzi bin Ali al Maulâ, Durar al Ahkâm Syarh Gharar al
Ahkâm, jilid I ( t.tp: Dar Ihya Kutub Al Arabiyah, tt) h. 326
9
Durar al Ahkam Syarh Gharar al Ahkam, h.325
10
Syamsuddîn „Abdul Khâliq al Manhâjî al Asyûthi, Jauhar al „Uqûdwa muinu al
qudhât wal muqi‟in wa syuhûd, Jilid II, (Libanon: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417H) h. 4
11
Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min bin Hariz bin Ma‟ali bin Husain
bin Hushni Taqiyiddin As Syafi‟i, Kifâyatul Akhyâr Fi Hil Ghâyatul Ikhtishâr (Damaskus:
Dar al Khair, 1994) h. 345
7
21
c.
Kalangan Hanabilah
Menurut kalangan Hanabilah nikah secara makna adalah:
12
َِ ‫أَنو ح ِقي َقةٌ ِِف الْع ْق ِد والْو ْط ِء‬
‫َج ًيعا‬
َ ُ
ََ َ
“Nikah secara hakikat adalah semuanya bermakna akad dan
berhubungan badan
Ibnu Hazm berpendapat dengan hal senada, yang menyebut makna nikah
adalah bersyarikat antara dan akad adalah berhubungan badan.13
Dari beberapa pengertian diatas, maka makna pernikahan adalah pada
hakikatnya, juga seperti yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum
Islam. Penulis menambahkan, pengertian yang disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan bahwa,” Pernikahan adalah
ikatan kuat yang berupa akad antara kedua belah pihak untuk menaati
Allah dan Rasul-Nya dalam bingkai ibadah dengan syarat dan rukun
tertentu”.14
Terkait dengan hukum-hukum pernikahan, Wahbah Zuhaili
menyebutkan kondisi yang akan berbeda pada setiap manusia.15
Pernikahan ada yang bersifat wajib, apabila pihak yang sudah mampu
secara finansial untuk melakukan akad nikah dikhawatirkan terjerumus
kedalam zina, sedangkan zina adalah dosa besar. Maka hukum menikah
disini adalah wajib. Berdasarkan kaidah:
16
ِ
ِِ ِ ‫ما لَ يتِم الو ِاج‬
‫ب‬
ٌ ‫ب إل بو فَ ُه َو َواج‬
ُ َ َ َ
“Sesuatu yang dengannya tidak sempurna sebuah hukum wajib, maka
sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.”
2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Wahbah Az Zuhaili menerangkan makna syarat sah, syarat nafâz dan
syarat luzum dalam pernikahan. Adapun terkait dengan syarat sahnya
pernikahan maka para ulama membanginya dalam sepuluh poin yaitu:17
12
13
Ibnu Qudâmah, al-Mughni,jilid VII ( Cairo: Maktabah al Kahirah, 8811 H) h. 3)
Abd. Shomad, Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010)
h.273
14
Dalam pernikahan ada akad yang kuat antara kedua belah pihak dalam rangka
ibadah kepada Allah dan bertujuan mencontoh Rasulullah dalam berumah tangga, dengan
syarat dan rukun tertentu. Hal ini penulis sebutkan untuk melengkapi pengertian yang
disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, karena syarat dan rukun pernikahan itulah yang
menyebabkan sebuah akad menjadi sah, baik secara hukum agama maupun secara hukum
negara.
15
Wahbah Zuhaily, Al Fikh Al Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6516
16
Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al Burnu dan Abi Haris al Ghâzi, Al
Wajiz Fi Idhâh Qawâid al Fikh al Kulliyah, (Beirut: Muassasah Ar Risalah,1416 H) h.393
17
Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6551
22
1. Bukan mahram
2. Sighat yang permanen (ta‟bid) bukan temporer (muaqat)
3. Saksi
4. Ridha dan ikhtiyar
5. Dua pihak mempelai
6. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah
7. Adanya Mahar
8. Tidak disembunyikan
9. Salah satu calon tidak mengidap sakit yang berbahaya
10. Adanya wali
Syarat nafâz merupakan syarat keterlaksanaan, dipersyaratkan juga oleh
kalangan Hanafiyah dengan dalam lima syarat berikut yaitu: 18
1. Memiliki kemampuan diri (ahliyah) untuk melakukan akad, yaitu dengan
usia yang sudah baligh dan mereka merdeka (bukan budak) maka akadnya
sah, namun jika seorang wanita ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa
walinya, jumhur ulama menghukumi nikah tersebut tidak sah. Sedangkan
menurut Hanafiyah dihukumi mauquf. Sedangkan apabila ada anak kecil
yang belum baligh atau orang gila ingin menikah maka nikah tersebut
batal. Namun sebagian ulama berbeda pendapat tentang anak kecil, karena
Rasulullahpun menikahi Aisyah dalam usia 9 tahun, namun kemudian
mencampurinya saat sudah baligh.19
2. Ada wali yang posisi kekerabatnya lebih dekat
3. Berakal, dan dapat membedakan baik atau buruk
4. Jika diwakilkan, maka wakil tersebut tidak ingkar
5. Calon bukan golongan Fudhûli.20
Sengaja memalsukan syarat atau rukun pernikahan, seperti menyediakan
wali palsu dan saksi palsu. Hukum akad fudhuli ini batil tidak sah.Sedangkan
syarat lazim21memiliki empat syarat diantaranya yaitu: wali tidak sempurna,
mahar mitsli, calon tidak mengidap penyakit berbahaya yang menyebabkan
tidak berfungsi hubungan suami istri dengan baik, misal: suami impoten, atau
istri yang frigiditas. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut boleh difasakh.22
18
Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6574
Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, hadits no. 3894
20
Fudhuli adalah calon mempelai yang tidak memiliki wali dalam pernikahan, lalu
ia mencari-cari wali yang bukan semestinya, dengan segala cara. Tujuannya adalah agar
pernikahan tersebut terlaksana sesuai dengan keinginannya. Tindakan ini menurut ulama
mazhab Syafi‟i dan Hanabilah hukum pernikahannya adalah batil.
21
Syarat lazim dalam hal ini adalah jika salah satu dari kedua belah pihak yang
melangsungkan pernikahan memiliki hak untuk memfasakh pernikahan tersebut.
22
Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti memutuskan
pernikahan, perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada
Mahkamah dan hakim. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya
perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang
19
23
Hukum pernikahan mauquf adalah seperti pernihakan fudhuli. Dalam hal
ini tidak halal bercampur suami istri dan tidak wajib member nafkah bagi
suami, tidak ada ketaatan, tidak ada hak waris dan seterusnya. 23Pernikahan
yang sah secara hukum islam maka, tercakup dibawahnya hak dan kewajiban
yang semestinya diperoleh secara sah pula. Yaitu halalnya berhubungan
suami istri, karena syarat dan rukunnya sah, diperolehnya hak waris, hak
asuh, mendapat nafkah, nasab, mendapatkan perlindungan dan mendapatkan
status yang semestinya diperoleh.24 Adapun hukum pernikahan yang tidak
lazim (ghaira lâzim) maka hukumnya harus di fasakh.
Pernikahan fâsid(rusak) terjadi jika tidak terpenuhinya salah satu dari
rukun atau syarat pernikahan yang disepakati oleh mayoritas ulama.
Sedangkan pernikahan bathil adalah pernikahan yang tidak terpenuhinya
salah satu dari rukun atau syarat pernikahan seperti, pernikahan sedarah,
sepersusuan dan sebagainya. Hukum pernikahan yang batil ada bebrapa hal
diantaranya:25
a. Haramnya pernikahan dan wajib difasakh
b. Nasab anak kepada ayah, dengan syarat pernikahan tersebut tidak
diketahui sejak awal, namun jika mengetahui sejak awal pernikahannya
dianggap zina, dan nasab anak kepada ibunya.
c. Wajibnya mahar
d. Hak waris, jika salah satu pasangan meninggal sebelum fasakh terjadi
maka salah satu pihak berhak mendapat warisan.
e. Wajib iddah (masa menunggu)
Berikut ini adalah contoh-contoh pernikahan yang bathil, diantaranya: nikah
shigar, nikah mut‟ah, nikah wanita yang sudah dikhitbah, dan nikah
muhallil.26
1. Nikah syighâr
Nikah ini dihukumi pernikahan yang bathil, dimana pernikahan ini
terjadi ketika seseorang menikahkan anaknya atau saudaranya, dengan
maksud orang tersebut juga mau menikahkan anaknya atau saudaranya,
tanpa mahar. Sedangkan mahar merupakan rukun nikah yang hukumnya
wajib. Sehingg pernikahan ini tidak terpenuhi salah satu rukun nikah,
hukumnya bathi.
2. Nikah mut‟ah
diketahui setelah akad berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad
yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan.
Fasakh adalah hak istri, sedangkan talaq adalah hak suami.
23
Wahbah az-Zuhaily, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6602
24
Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6589
25
Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587
26
Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6610
24
Merupakan pernikahan yang terjadi dalam batas waktu tertentu,
pernikahan ini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh golongan
Syiah. Pernikahan ini hukumnya bathil, Karena tidak terpenuhinya
tujuan-tujuan pernikahan. Terkadang pernikahan mut‟ah ini hanya
sebagai kedok golongan Syiah untuk melampiaskan nafsu seksual
belaka.
3.
Nikah wanita yang sudah dikhitbah
Meski jumhur ulama menggolongkan sebagai nikah yang sahih, karena
jenis larangan bukan pada nikahnya akan tetapi karena faktor luar yang
tidak mempengaruhi akad tersebut. Namun dari sudut mendahului hak
orang lain yang lebih awal melamar si wanita.
4. Nikah muhallil
Nikah yang dilakukan oleh wanita yang telah jatuh talaq tiga kepadanya
dengan laki-laki
yang dijadikan sebab „penghalal‟, dengan maksud agar
suami pertama bisa kembali lagi
kepada si istrinya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam:
ِ
‫ َع ْن‬،‫صالِ ٍح‬
َ َ‫َحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن بَشا ٍر ق‬
َ ‫ َع ْن َزْم َعةَ بْ ِن‬،‫ َحدثَنَا أَبُو َعام ٍر‬:‫ال‬
ِ‫ول اَّلل‬
ٍ ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،َ‫ َع ْن عِ ْك ِرَمة‬،‫َسلَ َمةَ بْ ِن َوْىَر َام‬
ُ ‫ «لَ َع َن َر ُس‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫اس‬
ِ
ِ‫صلى هللا علَي ِو وسلم الْمحل‬
27
)‫اج ْة‬
.
‫و‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
‫ح‬
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
‫و‬
،
‫ل‬
ْ
َ
ّ
ُ
َ ‫(رَواهُ ابْ ُن َم‬
َ
َ
َ ُ َ َ َ ُ َ ََ َْ ُ َ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bassyar ia
berkata,”Telah menceritakan kepada kami Abu „Amir dari Zam‟ah bin
Shalih dari Salamah bin Wahram dari Ikrimah dari Ibnu Abbas
berkata,” Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melaknat muhallil
dan muhallil lahu”.(HR. Ibnu Mâjah)
Adapun terkait dengan sunnah-sunah (mandûbat) dalam sebuah akad
pernikahan, seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaily adalah sebagai
berikut:28
a. Akad nikah didahului dengan khitbah (melamar) nikah,29 lalu dilanjutkan
dengan mengutarakan maksud, bersama nasehat dan doa-doa kebaikan,
agar maksud dan tujuan dapat tercapai. Nasehat untuk kedua belah pihak
sangatlah bermanfaat. Seperti firman Allah:
27
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1 (tt.p: Dar al Kutub Al Araby, tt) h. 622
Wahbah Zuhaili, Al Fikhul al Islami wa Adillatuhu, h. 6616
29
Khitbah adalah merupakan ucapan yang didahului dengan salam, shalawat kepada
Nabi, dilanjutkan dengan nasehat-nasehat untuk kedua mempelai dan diakhiri dengan doa,
setelah mengutarakan maksud kedatangannya.
28
25
ِ
ِِ
ِ
) ٥٥: [٥۱ ] ‫ (الذا ِرايَت‬.‫ي‬
َ ‫َوذَ ّكْر فَِإن ال ّذ ْكَرى تَْن َف ُع الْ ُم ْؤمن‬
“Dan tetaplah memberi peringatan, sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. Adz Zariyat[51]:55)
ِ ِ
ِ
،‫املصالِح‬
َ ‫ م ْن الَ ِي َوالُس ِن َو‬،‫ أَن يُ ْذ َكَر َما ِِف املَ ُأمور بِو‬،‫َوَت ُام الت ْذك ِي‬
30 ِ
ِ
.‫ضار‬
َ ‫َوَما ِِف املْن ِهي َعْنوُ م ْن امل‬
َ peringatanَ adalah
“Imam As Sa‟di menyebutkan, “Kesempurnaan
mengingatkan pada perkara-perkara yang diperintahkan, dari
kebenaran, kebaikan maupun kemaslahatan, hal-hal yang dilarang
juga hal-hal yang berbahaya.”
Dari pendapat diatas, maka tujuan utama dari nasehat nikah adalah untuk
mengingatkan kebaikan-kebaikan dalam berkeluarga, hak dan kewajiban
serta bekal-bekal hidup lainnya.
b. Mendoakan kebaikan setelah akad nikah bagi mempelai
Doa yang dibaca setelah akad nikah adalah doa-doa tentang keberkahan
bagi kedua mempelai. Doa yang Rasulullah ajarkan adalah:
ٍ ِ‫حدثَنا قُت ي بةُ بن سع‬
،‫ َع ْن ُس َهْي ٍل‬،‫ َحدثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز يَ ْع ِِن ابْ َن ُُمَم ٍد‬،‫يد‬
َ ُ ْ ََْ َ َ
ِ
َ‫صلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم َكا َن إِ َذا َرفأ‬
َ ‫ أَن النِِب‬،‫ َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة‬،‫َع ْن أَبِيو‬
ِْ
‫ َو ََجَ َع بَْي نَ ُك َما‬،‫ك‬
َ َ‫ ق‬،‫اْلنْ َسا َن إِ َذا تََزو َج‬
َ ‫ َوَب َرَك َعلَْي‬،‫ك‬
َ َ‫ « َب َرَك اَّللُ ل‬:‫ال‬
31
ٍ
)‫(رَواهُ أَبُ ْو َد ُاوْد‬
َ . ‫ِِف َخ ْي‬
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, Telah
menceritakan kepada kami Abdul „Azîz yaitu Ibnu Muhammad, dari
Suhail dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi
Shalallahu „alaihi wa sallam jika memberikan ucapan doa
pernikahan beliau bersabda,” Semoga Allah memberkahi kalian,
keberkahan atas kalian, dan mengumpulkan kalian berdua dalam
kebaikan.” (HR. Abu Daud)
c. Akad nikah pada waktu utama
30
Abdurrahman Nasir as Sa‟di, Taisîr Al Karimir Rahman Ala Kalam al Mannan,
h.812
31
Abû Daûd, Sunan Abi Daud, Jilid II,(Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t) h. 241 no.
Hadits:2130
26
Melaksanakan akad nikah pada waktu utama, hari jumat adalah hari yang
mulia, pernikahan yang dilakukan tujuannya agar mendapat keberkahan
sehingga melangsungkan nikah pada hari Jum‟at dengan harapan
mendapat keberkahan juga.
d. Menyiarkan pernikahan
Maksud dari menyiarkan pernikahan adalah mengabarkan dan
melaksanakan walimatul ursy, dengan tujuan agar kerabat dan sahabat
mengetahui akad nikah sudah dilaksanakan dan agar tidak timbul fitnah
di kemudian hari. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad
SAW:
ِ ‫ أَخب رََن‬:‫ال‬
ِ‫َْح ُد بن من‬
ِ
‫يسى‬
‫ع‬
‫ق‬
‫ن‬
‫و‬
‫ار‬
‫ى‬
‫ن‬
‫ب‬
‫يد‬
‫ز‬
‫ي‬
‫ا‬
‫ن‬
‫ث‬
‫د‬
‫ح‬
:
‫ال‬
‫ق‬
‫ع‬
‫ي‬
ٍ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
ُ
َ
ْ
َ
ْ
َ
َ
َ
َ ُ ْ َ ْ ‫َحدثَنَا أ‬
ُ ُ
َ َ
ٍ
ِ
ِ
ٍ
‫ال‬
َ َ‫ ق‬:‫ت‬
ْ َ‫ َع ْن َعائ َشةَ قَال‬،‫ َع ْن ال َقاس ِم بْ ِن ُُمَمد‬،‫صا ِري‬
َ ْ‫بْ ُن َمْي ُمون األَن‬
ِ
ِ ُ ‫رس‬
ِ
ِ
ُ‫(رَواه‬...
َ ‫ول اَّلل‬
َُ
َ ‫ «أ َْعلنُوا َى َذا النّ َك‬:‫صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم‬
َ ‫اح‬
32
ِ
)‫الّتِمْي ِذ ْي‬
ّْ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muni‟ ia berkata,” Telah
menceritakan kepada kami Yazîd bin Harûn, ia berkata,” telah
mengabarkan kepada kami „îsa bin Maimûn al Anshâri dari Al Qâshim
bin Muhammad, dari Aisyah berkata,” Bersabda Rasulullah Shalalahu
„Alaihi wa Sallam,”Siarkanlah pernikahan…” (HR. At Tirmizi)
2. Tujuan Pernikahan
Jika ada surga dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang pernuh
berkah dan bahagia, tetapi jika ada neraka dunia, maka neraka itu adalah
rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan antara suami dan
istri. Pernikahan adalah ikatan agung antara dua insan yang disatukan dalam
akad sebagai bukti cinta yang halal dihadapan Allah. Bukan hanya sekedar
ikatan fisik, namun lebih dari itu ikatannya bersifat lahir dan batin. Imam Al
„Izzuddin Abdussalam menyebutkan:
”Allah menciptakan segala sesuatu agar saling memenuhi kebutuhan
dan berinteraksi untuk memenuhi kemaslahatan satu dan lainnya, baik
persoalan besar kecil atau sebaliknya, orang kaya mengetahui
maslahat bagi orang miskin dan sebalinya, kaum lelaki memahami
32
At Tirmizi, Sunan At Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Syarikah Maktabah Musthafa Al
Babi al Halbi,1395) h.390 no. Hadits.1089
27
maslahat bagi kaum wanita dan sebaliknya, agar masing-masing dapat
mengambil manfaat atau menjauhi mudharat (bahaya).”33
Al Qur‟an menggambarkan secara umum tujuan menikah dalam firman
Allah:
ِ
ِ
ِِ ‫وِمن‬
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم‬
ً ‫آايتو أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
َ ْ َ
ِ
ٍ ‫ك ََلاي‬
ِ
) ۱۱: [۱۱ ] ‫ (الرْوم‬. ‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َفكُرو َن‬
َ َ ‫َم َود ًة َوَر ْْحَةً إن ِِف َذل‬
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa
kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. ( QS. Ar Rûm
[30]:21)
Imam an Nawawi Al Bantâni menafsirkan tujuan utama pernikahan dalam
ayat diatas adalah untuk mendapatkan ketenangan batin.
34
‫ َوتَطْ َمئِنوا ِبَا‬،‫لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْيها أَ ْي لِتَ ِميلُوا إِلَ َيها‬
“Litaskunu ilaiha, maksudnya cenderung kepada istri dan untuk
mendapatkan ketentraman hidup bersamanya”.
Sayid Qutub menyebutkan dalam tafsirnya:
“Manusia mengetahui perasaannya terhadap lawan jenisnya, kontak
perasaan dan hubungan antara dua jenis yang berbeda, melabuhkan
langkah dan pergerakan aktivitas rasa yang berbeda jenis dan arah
antara laki-laki dan wanita. Namun saat teringat bahwa Allah lah yang
menciptakan mereka berpasangan, Allah jua yang menyiapkan bagi
jiwa mereka kasih dan perasaan, menjadikan interaksi yang
melahirkan ketenangan jiwa, kedamaian hati dan badan, stabilitas
hidup, menyegarkan jiwa. Ketenangan yang sama dirasakan baik lakilaki maupun perempuan. Ungkapan wahyu Al Qur‟an begitu lembut
dan menggambarkan ikatan ini, seolah memetik rasa dari lubuk hati
yang paling dalam, litaskunu ilaiha, agar kalian tenteram bersama
istrimu…”35
Al Qur‟an juga mendiskripsikan ayat-ayat terkait dengan pernikahan, seperti
dalam ayat berikut ini:
33
Abu Muhammad Izzuddin bin Abdul Aziz bin Salâm, Qawaid Al Ahkam Fi
Mashalih Al Anam, Jilid II ( Kairo: Maktabah Al Azhariyah, 1414H) h. 68
34
Imam An Nawawi Al Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Qur‟ân al Majîd, jilid 2
(Beirut: Dâr al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 228
35
Sayyid Qutûb Ibrâhîm Husain As Syârbî, Fî Zhilâlil Qur‟ân, Jilid V ( Beirut: Dâr
as Syurûq, 1412 H) h. 2763
28
ِ
ِ‫س و‬
ِ
‫اح َدةٍ َو َج َع َل ِمْن َها َزْو َج َها لِيَ ْس ُك َن إِلَْي َها فَلَما‬
َ ٍ ‫ُى َو الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف‬
ِ ‫تَغَشاىا َْحلَت َْح ًًل خ ِفي ًفا فَمر‬
‫ت َد َع َوا اَّللَ َرب ُه َما لَئِ ْن‬
ْ َ
ْ َ‫ت بِو فَلَما أَثْ َقل‬
َ ْ ْ َ َ
ِ ‫آتَي ت نا‬
ِ
ِ
) ۱۹۸: [۷ ] ‫ (اَأل َْعَراف‬.‫ين‬
َ ََ ْ
َ ‫صالًا لَنَ ُكونَن م َن الشاك ِر‬
“ Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya
Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tenang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang
ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian
tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya
seraya berkata,” Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang
saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al
A‟raf [7]:189)
Ayat diatas menunjukkan bahwa tujuan pernikahan selain untuk
mendapatkan ketenangan hidup juga untuk mendapatkan keturunan, anak
yang shalih yang menyejukkan pandangan dan membehagiakan kedua orang
tuanya. Ketenangan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah bentuk
perumpamaan dari kebahagiaan hidup.36 Saat lelaki dan wanita menikah
maka kedekatan yang terbangun diharapkan membuat mereka bisa
bertoleransi, bekerjasama dan mewujudkan kebersamaan indah dalam
menggapai keridhaan Allah. Sehingga melahirkan keturunan yang menjadi
pelengkap kebahagiaan mereka setelah menikah.
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
ِ ‫وأَنْكِحوا ْاألَايمى ِمْن ُكم والصالِِي ِمن ِع‬
‫باد ُك ْم َوإِمائِ ُك ْم إِ ْن يَ ُكونُوا فُ َقر َاء‬
ُ َ
ْ َ
َ ْ
(۱۱ : [ ۱٤] ‫ (الن ْور‬.‫ضلِ ِو َواَّللُ و ِاس ٌع َعلِ ٌيم‬
ْ َ‫يُ ْغنِ ِه ُم اَّللُ ِم ْن ف‬
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian37 diantara kamu, dan
orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Mahaluas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An
Nur[24]:32)
Ayat diatas merupakan janji Allah kepada orang yang hendak menikah
akan dimudahkan jalan rezekinya. Terkadang muncul keraguan bahkan
36
Muhammad Thâhir bin „Asyur, at-Tahrir wa Tanwir, Jilid IX, (Tunisia: Dar Tunis
li an-Nasyr,1984) h. 211
37
Lelaki atau wanita yang belum menikah, karena sebab ketidak mampuan secara
finansial hendaklah dibantu dan dimudahkan, tidak mempersulit dengan syarat-syarat yang
bukan inti dan wajibnya sebuah pernikahan.
29
ketakutan bagi lelaki atau wanita yang ingin menikah akan masa depan
mereka. Ayat ini merupakan jawaban bahwa orang yang menikah, jika ia
miskin maka Allah akan membuatnya cukup dalam kehidupannya kelak.
Janji Allah adalah pasti, dan keraguan-keraguan hanyalah bisikan syetan
yang menimbulkan was-was dalam hati manusia.
Di dalam tafsir Al Marâghi disebutkan:
ِ
‫ض ِل‬
ْ َ‫ فَ َف ْي ف‬،‫اجها‬
ُ ‫ب إِلَي ُك ْم أَْو فَ ْق ِر َم ْن تُِر‬
َ ‫يدو َن َزَو‬
ُ ُ‫َل تَنظُُروا إ ََل فَ ْق ِر َم ْن َيْط‬
38
.‫اد َوَرائِ ٌح‬
ُ ‫ َوامل‬،‫هللاِ َما يُ ْغنِْي ِه ْم‬
ٌ ‫ال َغ‬
َ kepadamu, atau
“Janganlah kamu melihat fakir siapa yang melamar
fakirnya orang yang hendak menikah dengan seorang wanita, disisi
Allahlah keutamaan yang bisa membuat mereka cukup (kaya) karena
tabiat harta adalaha datang dan pergi.”
Dalam ayat lain Allah berfirman:
ِ
ِ‫س و‬
ِ
‫اح َدةٍ َو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها‬
َ ٍ ‫اس ات ُقوا َرب ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف‬
ُ ‫َيأَي َها الن‬
ِ
ِِ
ِ ِ
ِ
ِ
َ‫َوبَث مْن ُه َما ِر َج ًال َكث ًيا َون َساءً َوات ُقوا اَّللَ الذي تَ َساءَلُو َن بو َو ْاأل َْر َح َام إن اَّلل‬
)۱ :[ ٤] ‫ (النِّ َساء‬.‫َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya39 Allah
menciptakan
istrinya;
dan
dari
keduanya
Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.” (QS. An Nisâ [4]: 1
Dari ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa salah satu hikmah
pernikahan adalah menyambung silaturahmi dengan orang lain. Karena
dengan menikah berarti ada dua keluarga besar yang saling berinteraksi dan
saling mengenal. Orang yang menyambung silaturahmi di cintai Allah dan
orang yang memutuskan silaturahmi dilarang Allah.
38
Ahmad Mushthafa al-Marâghi, Tafsir al Marâghi, Jilid XVIII, (Mesir: Maktabah
Musthafa Al Bâbi al Halbi,1365 H) h. 103
39
Maksud “dari padanya‟ menurut mayoritas ahli tafsir adalah bagian tubuh (tulang
rusuk) nabi Adam, selain itu ada juga yang menafsirkan „dari padanya‟ sebagai tanah yang
darinya nabi Adam diciptakan Allah.
30
Dalam fikih ada beberapa hukum terkait dengan pernikahan, Sayid Sabiq
menyebutkan lima hukum dalam pernikahan diantaranya:40
1. Wajib41
Pernikahan dihukumi wajib manakalah, seseorang sudah mampu
menikah secara finansial, dan khawatir akan terjerumus kedalam
perzinahan. Dalam hal ini seorang laki-laki dan wanita yang memiliki
krriteria diatas hukumnya wajib untuk menikah.
2. Sunah42
Golongan ini adalah mereka yang sudah mampu menikah, dan ia merasa
mampu untuk menahan syahwatnya. Hal ini bisa dilakukan karena ia
berada pada lingkungan yang terjaga, seperti pesantren atau lembaga
pendidikan yang menjaga interaksi dengan lain jenis secara ketat.
Sehingga dorongan-dorongan untuk kearah pemenuhan kebutuhan
syahwat yang diharamkan dapat terjaga. Meski mayoritas ulama
menganjurkan jika seseorang mampu menghindari hal-hal yang
diharamkan, maka disunnahkan menikah daripada menyibukkan diri
dengan ibadah tanpa menikah. Karena dengan pernikahan yang barakah
akan mendapatkan keturunan yang dapat dibanggakan oleh Rasulullah
Shalallahu Aliahi wasallam di akherat kelak.
Seperti tertera didalam hadits Nabi Muhammad SAW:
،‫ َحدثَنَا ُس ْفيَا ُن‬:‫ال‬
َ َ‫َْحَ َد الزبَ ِْيي ق‬
ْ ‫ َحدثَنَا أَبُو أ‬:‫ود بْ ُن َغْي ًَل َن قَا َل‬
ُ ‫َحدثَنَا َُْم ُم‬
ِ‫ عن عب ِد اَّلل‬،‫يد‬
ِ
ِ ‫َع َم‬
ْ ‫َع ْن األ‬
َْ ْ َ َ ‫ َع ْن َعْبد الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز‬،‫ َع ْن عُ َم َارةَ بْ ِن عُ َم ٍْي‬،‫ش‬
ٍ ‫ب ِن مسع‬
ِ
ِ
‫اب َل‬
َ َ‫ود ق‬
ٌ َ‫ َوََْن ُن َشب‬،‫صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم‬
ُْ َ ْ
َ ‫ِب‬
ِّ ‫ َخَر ْجنَا َم َع الن‬:‫ال‬
ٍ
ِ
ِ ‫ «اي م ْع َشر الشب‬:‫ال‬
‫ فَِإنوُ أَغَض‬،ِ‫ َعلَْي ُك ْم ِبلبَاءَة‬،‫اب‬
َ َ َ َ َ ‫ فَ َق‬،‫نَ ْقد ُر َعلَى َش ْيء‬
ِ
‫ فَِإن‬،‫ فَ َم ْن ََلْ يَ ْستَ ِط ْع ِمْن ُك ُم البَاءَةَ فَ َعلَْي ِو ِبلص ْوِم‬،‫ص ُن لِْل َفْرِج‬
ْ ‫ َوأ‬،‫ص ِر‬
َ ‫َح‬
َ َ‫ل ْلب‬
43
ِ
)‫الّتِم ِذ ْي‬
ّْ ُ‫(رَواه‬
َ ٌ‫الص ْوَم لَوُ ِو َجاء‬
“Telah menceritakan kepada kami Mahmûd bin Gailân ia berkata,telah
menceritakan kepada kami Abû ahmad Az Zubairi ia berkata,dari Sufyân
40
Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Juz 2 h. 16
Hukum wajib adalah, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka
kan mendapat dosa.
42
Hukum Sunah, jika dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan maka pelakunya tidak mendapatkan dosa.
43
Imam at-Tirmizi, Sunan at- Tirmîzi, Jilid III (Mesir: Maktabah Musthafâ al Bâbi al
Halbî, 1395H) h.384 no.1081
41
31
dari Al‟A‟Mas dari „Amârah bin Umair, dari Abdurrahman bin Yazid,
dari Abdullah bin Mas‟ûd berkata,”Kami keluar bersama nabi, saat
masih muda kami belum mampu menikah, lalu Rasulullah bersabda,”
Wahai pemuda, hendaklah kalian menikah, sesungguhnya menikah itu
dapat menundukkan pandangan, mejaga kemaluan, jika belum mampu
hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai”.(HR. At-Tirmizi)
3. Mubah44
Hukum mubah artinya boleh, manakalah faktor-faktor yang mendorong
dan menghalangi pernikahan tidak ada, dalam hal ini kebolehan menikah
bagi mereka yang tidak ada faktor pendorong dan penghalang pernikahan.
4. Makruh45
Hukum makruh terjadi jika seseorang belum mampu secara lahir maupun
batin untuk menikah, namun ia inging segra menikah. Jika golongan ini ingin
tetap melangsungkan niatnya untuk menikah sedangkan kemampuan lahiriah
maupun batiniahnya tidak memadai maka hukumnya makruh, lebih baik
melengkapi persiapan untuk menikah, baik dengan berpenghasilan atau
dengan membelaki diri dengan beragam kemampuan positif yang kelak
bermanfaat jika ia menikah. Anjuran untuk golongan ini hendaknya
memperbanyak puasa, untuk meredam syahwatnya dan berolahraga
menyalurkan energy berlebih kepada hal-hal yang positif.
5. Haram46
Hukum menikah menjadi haram bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu:
Pertama, seseorang yang hendak menikah dengan tujuan untuk berbuat zalim
kepada istri atau sebaliknya, seperti ingin menyakiti, membalas dendam,
memutuskan silaturahim, menguasai harta warisan pasangan dan sejenisnya.
Kedua,seseorang yang menikah namun memiliki penyakit yang berbahaya
atau penyakit yang sulit disembuhkan. Atau memiliki penyakit yang menular
dikhawatirkan jika mereka menikah maka penyakit yang diidapnya tersebut
semakin menjalar. Atau jika salah satu dari kedua pasangan memiliki
kekurangan secara fisik sehingga khawatir tidak bisa melaksanakan tugas
sebagai suami atau istri. Namun jika kedua belah pihak sudah ridha dengan
kekurangan dan kelebihan masing-masing maka dalam hal ini hukum
menikah tidaklah menjadi haram. Intiya ada keterbukaan untuk berusaha
menjelaskan kondisi masing-masing dan pihak suami atau istri saling
menerima.
44
Hukum Mubah adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan
jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.
45
Hukum Makruh adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mengapa dan bila
ditinggalkan mendapatkan pahala.
46
Hukum haram, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala
32
Selain dari itu, pernikahan memiliki tujuan-tujuan mulia yang
seharusnya bisa direncanakan dan dicapai oleh pasangan suami istri, tujuan
utamanya adalah beribadah kepada Allah dan meraih faedah dan
keberkahan dalam pernikahan, adapun tujuan dalam pernikahan
diantaranya:47
a. Melaksanakan perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW.
b. Pernikahan akan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan ketentraman
dalam hidup
c. Pernikahan merupakan sarana ibadah untuk memperbanyak pahala dan
mempersempit dosa.
d. Mencegah perbuatan zina
e. Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan
f. Memelihara kehormatan perempuan
g. Mencegah penyebaran perbuatan keji dan maksiat
h. Membina generasi muslim yang tangguh
Tujuan pernikahan ini begitu luhur dan agung, mencakup urusan dunia
dan akherat, sehingga jika kita cermati sudah seharusnyalah sebuah
pernikahan menjauhi hal-hal yang dapat merusak ikatan perkawinan atau
menjadikan pihak-pihak yang terikat dengan sebuah pernikahan menderita
atau kehilangan hak-haknya. Begitu miris jika kita melihat seorang anak yang
terlantar tanpa perlindungan orang tuanya, harus hidup seorang diri dalam
sebuah masyarakat yang tidak bersahabat dengannya. Atau sebuah keluarga
yang broken home akibat perceraian yang terjadi karena orang tua yang egois
dengan sikapnya. Sâyid Sabiq menyebutkan beberapa hikmah dari sebuah
pernikahan,48 diantarnya: Pertama, Menyalurkan hasrat biologis. Merupakan
kebutuhan manusia untuk berkembang biak dan memperbanyak keturunan,
islam adalah agama yang solutif dengan menghadirkan pernikahan
didalamnya.Menyalurkan hasrat biologis sudah seharusnya pada tempat yang
dihalalkan. Kedua, menjaga kesucian, untuk itulah Rasulullah dalam
haditsnya bersabda:
ٍ ْ‫ وأَبُو ُكري‬،َ‫َحدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْن أَِِب َشْي بَة‬
‫ َع ِن‬،َ‫ َحدثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَة‬:‫ قَ َال‬،‫ب‬
ُ
َ َ
ِ ‫َع َم‬
،ِ‫ َع ْن َعْب ِد هللا‬،‫يد‬
َ ‫ َع ْن َعْب ِد الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز‬،‫ َع ْن عُ َم َارةَ بْ ِن عُ َم ٍْي‬،‫ش‬
ْ ‫ْاأل‬
ِ ‫ «اي م ْع َشر الشب‬:‫ول هللاِ صلى هللا َعلَْي ِو وسلم‬
‫ َم ِن‬،‫اب‬
ُ ‫ال لَنَا َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
َ
َ َ َ َ َ ََ
ُ
47
Abû Mâlik Kamâl, Fikih Sunah Wanita, ( Jakarta:Penerbit Pena,2007) h.133
Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Jilid II, ( Beirut: Dar al Kutub al „Arabi, 1397) h. 13
48
33
ِ ‫ وأَح‬،‫ فَِإنو أَ َغض لِْلبص ِر‬،‫استطَاع ِمْن ُكم الْباء َة فَ ْلي ت زوج‬
ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ
َ ْ َ ََ
ْ‫ َوَم ْن ََل‬،‫ص ُن ل ْل َفْرِج‬
49
ِ
ِ ِ ِِ
)‫(رَواهُ البُ َخا ِر ْي‬.
َ ٌ‫ فَإنوُ لَوُ ِو َجاء‬،‫يَ ْستَط ْع فَ َعلَْيو بلص ْوم‬
“Telah bercerita kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu
Kuraib, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah, dari Al A‟masy
dari Umarah bin ‟Umair dari Abdurrahman bin Zaid, dari Abdullah
berkata, Rasullah bersabda kepada kami,”Wahai para pemuda,
barangsiapa yang sudah mampu menikah maka menikahlah, karena itu
dapat menundukkan pandangan, menjaga kesucian, barangsiapa yang
belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai
baginya”. (HR. Al Bukhâri)
Ketiga, menjalin persaudaraan dan silaturahim. Pernikahan bukan hanya dua
insan yang bertemu, melainkan dua keluarga besar. Harapannya agar kedua
belah pihak tersebut bisa bertemu, bersilaturahim dan akhirnya menjalin
persaudaraan dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Keempat, keluarga
merupakan tempat mencurahkan kasih sayang dalam bingkai agama,
hubungan yang harmonis antar ayah, ibu dan anak memungkinkan
perkembangan psikologis anak-anak menjadi sempurna sehingga bisa
mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Kelima, keluarga merupakan
tempat berbagi peran, seorang ayah bertanggungjawab atas amanah keluarga
yang dipimpinnya, ia harus mampu mengarahkan bahtera rumah tangga ke
pulau harapan dan kebahagiaan, seorang ibu bertugas mengatur rumah
tangga, mengurus suami, mendidik anak beserta suami serta menjadi tempat
berbagi kasih sayang anak-anaknya. Seorang anak berperan melanjutkan citacita keluarganya. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia seperti yang
telah penulis kemukakan diatas, maka pernikahan memiliki rukun dan syarat
tertentu, dalam kajian fikih klasik terdapat perbedaan dikalangan ulama
mazhab terkait dengan rukun dan syarat pernikahan, diantaranya:
a.
Kalangan Hanafiyah
Kalangan Hanafiyah berpendapat syarat nikah saling terkait, antara satu
dan lainnya. Sebagian terkait dengan calon mempelai, sebagian terkait
dengan saksi, dan ijab Kabul. Hanafiyah juga membagi lafaz ijab Kabul ada
yang sharîh (jelas) dan kinâyah (kiasan). Lafaz Sharîh yang digunakan
khusus, seperti ungkapan Tazwîj atau Inkâh. Atau ucapan sejenisnya.50
Kalangan ini juga berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat saja (ijab
49
Imam al-Bukhari, Shahih al- Bukhâri, Jilid III (tt.p: Dar Tuq an Najat,1422H) h. 3
, No.Hadits. 5065
50
Abdurrahman a- Jazîri, Al Fikh „alâMazahib Arba‟ah, Jilid IV (Libanon: Dar al
Kutub al Ilmiyah,1424H) h.17
34
dan kabul) dengan lafaz tertentu, atau dengan lafaz yang maknanya dipahami
sebagai makna nikah, yaitu lafaz inkâh atau tazwîj51.Lafaz yang bermakna
nikah, pada masa Rasulullah adalah hibah, namun lafaz ini khusus bagi
Rasulullah SAW. Seperti yang tercantum dalam firman Allah:
ِ
ِ
ِ
ِِ
ً‫صة‬
ْ َ‫َو ْامَرأًَة ُم ْؤمنَةً إِ ْن َوَىب‬
َ ‫ِب إِ ْن أ ََر َاد النِِب أَ ْن يَ ْستَ ْنك َح َها َخال‬
ِّ ‫ت نَ ْف َس َها للن‬
ِ ‫ك ِمن د‬
) ٥.: [۱۱] ‫ون الْ ُم ْؤِمنِي (اَألَ ْحَزاب‬
ُ ْ َ َ‫ل‬
“Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi
jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk
semua orang mukmin. (Q.S. Al Ahzâb [33]:50)
b. Kalangan Malikiyah
Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah ada empat yaitu: sighat, wali,
mahar, dan dua orang saksi52. Malikiyah berpendapat lafaz ijab qabul adalah
lafaz apa saja yang menunjukkan penguatan tujuan, seperti ankahtu (aku
menikahkan) zawajtu (aku kawinkan) mallaktu (aku milikkan) bi‟tu (aju
jualkan) dan wahabtu (aku hadiahkan) dengan disebutkan mahar tertentu.53
Menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, syarat akad nikah ada
tiga hal, yaitu wali, saksi dan mahar. Adapun syarat wali adalah, islam, lakilaki dan sudah balligh. 54
c. Kalangan Syafi‟iyah
Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat, wali, mahar,
dua orang
saksi dan kedua mempelai. Meskipun penamaan mahar bisa
digunakan juga dengan istilah shadaq.55
Al Mawardi menyebutkan bahwa, hanya nabi yang dibolehkan untuk
menerima akad dengan lafaz hibah, tidak untuk kaum muslimin, karena
merupakan kehususan nabi Muhammad SAW, karena jika demikian maka
nikah tidak perlu ada wali dan mahar begitupula dengan dua orang saksi yang
adil.56
d. Kalangan Hanabilah
Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah sighat (ijab dan kabul)
dan kedua mempelai. Lafaz yang disepakati dalam mazhab ini adalah tazwij
51
Al- Kâsâni, Badâi‟ Shanâi‟ Fî Tartîb asy-Syarâ‟i, Jilid II (tt.p: Dâr Al Kutûb,
1406H) h. 230
52
Ibnu al-Hâjib al-Kurdi, Jâmi‟ al-Ummahât, Jilid I (tt.p: al-Yamâmah Li An Nasyr
wa Tauzi‟, 1421 H) h. 255
53
Ibnu Hâjib al Kurdi, Jami‟ al-Ummahât, h. 255
54
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz III h.39
55
Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al Ma‟bari al Malibari al Hindi, Fath al Mu‟in
Bi Syarh Qurat al „ain Bi Muhimmât ad dîn, Jilid I (tt.p: Dâr Ibn Hazm, tt) h. 485
56
Al-Mawardi, an Nakat wal „Uyûn, Jilid 4 (Beirut: Dâr al Kutûb Al Ilmiyah, tt) h.
415
35
dan nikah.57Kalangan ini juga menyebutkan tentang tidak sahnya pernikahan
tanpa wali, seperti disebutkan:
58
ٍ ِ‫صح نِ َكاح ا‬
ِ ‫وَل ي‬
‫ضا َولِي َها‬
َ ‫مرأَة إِل بِ ِر‬
َ َ
َ َ
“Tidak sah nikahnya seorang wanita tanpa ridha walinya”.
Adapun rukun dan syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut59 :
a. Mempelai pria dan Syarat-syaratnya
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak ada halangan perkawinan60
b. Mempelai wanita dan Syarat-syaratnya
1. Beragama Islam
2. Perempuan
3. Jelas orangnya
4. Dapat diminta persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali dan Syarat-syaratnya
Secara bahasa wali bermakna al mahabah ( kecintaan) dan nushrah
(pertolongan). Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ِ ‫ومن ي ت ول اَّلل ورسولَو وال‬
ِ
‫ب اَّللِ ُى ُم الْغَالِبُو َن‬
‫ذ‬
َ ‫ين َآمنُوا فَِإن حْز‬
َ َ ُ ُ َ َ َ َ ََ ْ َ َ
56: [ ٥] ‫دة‬
َ ِ‫(املَائ‬
“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orangorang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya pengikut
agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maidah [5]:56)
Menurut an-Nasafi dalam tafsirnya,” yang dimaksud dalam kata “yatawalla”
artinya menjadikan wali atau menjadi wali”.61
57
„Alauddin Abu al Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawai al-Damsyiqi al-Hanbali,
Al Inshaf fi Ma‟rifati Ar Rajih Min al Khilaf, Jilid VIII (t.tp:Dâr Ihya Turats,tt) h. 45
58
Abu al- Barakat al-Majduddin, al- Muharrar Fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal,
Jilid II ( Riyadh: Maktabah AL Maarif,1404 H) h. 15
59
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, h, 12
60
Halangan perkawinan misalnya: terdapat hubungan nasab dekat, telah beristri,
atau jika wanita masih dalam masa iddah, melakukan pelanggaran nikah mut‟ah atau
melanggar peraturanperaturan yang berlaku.
61
An Nasafi, Tafsir an Nasafi, Jilid 1, (Beirut: Dar al Kalam at Thayib,1419H) h.
456
36
Wali bisa juga bermakna, pihak yang memiliki kekuasaan, seperti disebutkan
oleh Wahbah Az Zuhaili.62
Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan wali adalah:
ِ ‫اشرةِ الت‬
ِ ‫ف ِمن َغ ِي تَوق‬
‫ َويُ َس َمى‬.‫ف َعلَى إِ َج َازةِ أَ َح ٍد‬
َ َ َ َ‫اَل ُق ْد َرةُ َعلَى ُمب‬
ْ ‫صر‬
َ
ِ ‫مت وِّل‬
63 ِ
)‫د (الول‬
َ َ َُ
ْ َ ‫الع ْق‬
“Kemampuan untuk bertindak langsung tanpa henti untuk membolehkan
seseorang. Dinamakan juga orang yang membolehkan sebuah akad.
Kedudukan wali bagi mempelai wanita merupakan rukun nikah, jika ada
seorang wanita yang menikah tanpa wali maka hukum nikahnya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
ِ
‫ َع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن‬،‫َخبَ َرََن ابْ ُن ُجَريْ ٍج‬
ْ ‫ أ‬،‫َخبَ َرََن ُس ْفيَا ُن‬
ْ ‫ أ‬،‫َحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن َكث ٍي‬
ِ ُ ‫ال رس‬
ِ
‫صلى‬
ْ َ‫ قَال‬،َ‫ َع ْن َعائ َشة‬،‫ َع ْن عُْرَوَة‬،‫ي‬
َ ‫ول اَّلل‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ت‬
َ ‫ُم‬
ِّ ‫ َع ِن الزْى ِر‬،‫وسى‬
ِ ِ ِ ِ ‫ «أَُّيا امرأَةٍ نَ َكح‬:‫هللا علَي ِو وسلم‬
ِ
،»‫اح َها َب ِط ٌل‬
ْ َ
ُ ‫ فَن َك‬،‫ت بغَ ِْي إ ْذن َم َوال َيها‬
َْ َ َ َ َ ْ َ ُ
64
ٍ َ ‫ثًََل‬
)‫(رَواهُ أَبُ ْو َد ُاوْد‬.
َ ‫ث َمرات‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsîr, telah
mengabarkan kepada kami, Sufyân, telah mengabarkan kepada kami
Sulaimân bin Musâ, dari Az Zuhri, dari „Urwah, dari „Ậisyâh, ia
berkata,”Telah bersabda Rasûlullâh SAW,”Siapasaja wanita yang
menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah) Nabi
mengucapkannya tiga kali…”(HR. Abu Daud)
Dari hadits diatas bisa disimpulkan bahwa jika pernikahan tidak ada walinya
maka tidak sah, hal ini juga didukung hadits lain:
‫اق‬
َ َ‫َحدثَنَا َعلِي بْ ُن ُح ْج ٍر ق‬
َ ‫ َع ْن أَِِب إِ ْس َح‬،ِ‫يك بْ ُن َعْب ِد اَّلل‬
ُ ‫َخبَ َرََن َش ِر‬
ْ ‫ أ‬:‫ال‬
‫وحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن‬
َ َ‫وحدثَنَا قُتَ ْي بَةُ ق‬
َ ‫ َع ْن أَِِب إِ ْس َح‬،َ‫ َحدثَنَا أَبُو َع َوانَة‬:‫ال‬
َ ،‫اق‬
َ
ِ
ِ ِ
‫ َع ْن أَِِب‬،‫يل‬
َ َ‫بَشا ٍر ق‬
ٍّ ‫ َحدثَنَا َعْب ُد الر ْْحَ ِن بْ ُن َم ْهد‬:‫ال‬
َ ‫ َع ْن إ ْسَرائ‬،‫ي‬
62
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6690
Wahbah Az-Zuhaili, al- Fikh al-Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6691
64
Abû Daud, Sunan Abu Daud, jilid II ( Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t ) h. 229 no.
63
2083
37
ِ
ٍ
ٍ ‫ حدثَنَا َزيْ ُد بْن حب‬:‫ال‬
‫ َع ْن‬،‫اب‬
َ ‫إِ ْس َح‬
َُ ُ
َ َ َ‫وحدثَنَا َعْب ُد اَّلل بْ ُن أَِِب ِزَايد ق‬
َ ،‫اق‬
‫وسى‬
َ ‫ َع ْن أَِِب إِ ْس َح‬،‫اق‬
َ ‫س بْ ِن أَِِب إِ ْس َح‬
َ ‫ َع ْن أَِِب ُم‬،َ‫ َع ْن أَِِب بُْرَدة‬،‫اق‬
َ ُ‫يُون‬
ِ ُ ‫ال رس‬
ِ ِ ِ َ ‫ «َل نِ َك‬:‫صلى اَّللُ َعلَْي ِو َو َسل َم‬
َ َ‫ق‬
ُ‫(رَواه‬
َ ‫ول اَّلل‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ .‫ل‬
ٍّ ‫اح إل ب َو‬
65
ِ
)‫الّتِم ِذ ْي‬
ّْ
“Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Hujr berkata,”Telah
mengabarkan kepada kami, Syarîk bin Abdillah, dari Abî Ishâq,telah
menceritakan kepada kami,Qutaibah berkata,‟Telah menceritakan
kepada kami, Abû „Awânah, dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada
Muhammad bin Basyâr berkata Abdurrahman bin Mahdi dari
Isrâil,dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Abi Ziyâd,berkata,”Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubâb
dari Yûnus bin Abu Ishâq dari Abu Ishâq dari Abî Burdah dari Abî
Burdah dari Abî Mûsâ berkata, bersabda Rasûlullâh SAW,” Tidak sah
nikah tanpa wali”.(HR. At Tirmizî)
Hikmah disyariatkannya wali karena pernikahan ada tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, dan tabiat wanita lebih mengedepankan perasaan, untuk
itulah ia membutuhkan wali sebagai penyambung hati, kata dan perasaan saat
hendak menikah, sehingga tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan dapat
tercapai kesempurnaannya.66
Adapun ketentuan perwalian seperti diatur di dalam Undang-Undang
Perkawinan tahun 1974 pasal 50 disebutkan: 67
Ayat (1):
Anak yang belum mencapai umr 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada di bawah kekuasaan wali.
Ayat (2):
Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta benda.
Jika dalam pasal diatas (ayat 1 dan 2) merupakan hak dan wewenang wali,
maka pada pasal di bawah ini menyebutkan kriteria wali seperti dalam Pasal
50 menyebutkan:
Ayat (1):
65
At-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî, Jilid III,(Mesir: Syarikah Musthafa Al Bâbi al
Halbî, 1935H) h. 399 no. 1101
66
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, j. 2 h.127
67
Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
38
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan
2 (dua) orang saksi.
Ayat (2):
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Ayat (3):
Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
Ayat (4):
Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda abak atau anak-anak itu.
Ayat (5):
Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di
bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti
kerugian tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang tugasnya untuk menikahkan wanita tersebut.68
Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
Ayat (1):
Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seseorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil (berakal) dan baligh.
Ayat (2)
Wali nikah terdiri dari:
a. wali nasab
b. wali hakim
Dalam fikih klasik juga terdapat pembagian wali dan syarat-syaratnya,
sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan dalam Kompilasi
Hukum Islam, hanya perbedaan bahasa saja. Misalnya dalam kajian
fikih Hanafi, kalangan ini membagi wali dalam tiga kategori yaitu:69
Pertama, Wali atas Jiwa (nafs)
68
Kompilasi Hukum Islam bag. 3 Tentang Wali Nikah
69
Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuh, J. IX h. 6691
39
Kedua, Wali atas Harta (al mal)
Ketiga, Wali atas Jiwa dan Harta bersamaan (An Nafs wa al mal).
Yang dimaksud wali atas jiwa adalah wali yang memiliki hak atas
perkara-perkara personal, seperti menikah, belajar, berobat, bekerja. Hal ini
hanya dimiliki oleh Ayah, Kakek dan wali-wali lainnya. Sedangkan wali atas
harta, berkaitan dengan perkara harta seperti, invetasi, membelanjakan harta,
infak, zakat dan lainya. Biasanya dimiliki oleh ayah, kakek, orang yang
diwasiatkan oleh keduanya dan hakim. Sedangkan wali atas harta dan jiwa,
mereka yang terlkait dengan perkara jiwa dan harta sekaligus, dalam bahasan
ini hanya dua golongan yang memiliki kewenangan, yaitu ayah dan kakek
saja. Sedangkan wali atas jiwa terbagi menjadi dua bagian, wilayah ijbar70
dan wilayah ihtiyar71. Dalam konteksnya maka wilayah ijbar sering dikenal
dengan wali hakim, karena jika tidak ada dipihak keluarga yang menjadi wali
maka hakim adalah walinya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits
Rasulullah SAW:
ِ ‫ أَن أَبُو الْ َعب‬،‫اق‬
‫ أ َََن ُُمَم ُد‬،‫وب‬
َ ‫َخبَ َرََن أَبُو َزَك ِراي بْ ُن أَِِب إِ ْس َح‬
ْ‫أ‬
َ ‫اس ُُمَم ُد بْ ُن يَ ْع ُق‬
ٍ ‫ أ َََن ابْن وْى‬،‫بْن َعْب ِد اَّللِ بْ ِن َعْب ِد ا ْلَ َك ِم‬
‫ َع ْن ُسلَْي َما َن‬،‫َخبَ َرِن ابْ ُن ُجَريْ ٍج‬
ْ ‫ أ‬،‫ب‬
َُ
ُ
ٍ ‫ َعن ابْ ِن ِشه‬،‫بْ ِن موسى‬
‫ِب‬
ِّ ِ‫ َزْو ِج الن‬،َ‫ َع ْن َعائِ َشة‬،‫ َع ْن عُْرَوَة بْ ِن الزبَ ِْي‬،‫اب‬
َ
ْ
َ ُ
ِ ِ
ِ
‫ «َل‬:‫ال‬
َ َ‫صلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم أَنوُ ق‬
َ ‫صلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم َع ْن َر ُسول اَّلل‬
َ
ِ ‫ فَِإ ْن نُكِح‬،‫تُْن َكح امرأَةٌ بِغَ ِي أَم ِر ولِيِها‬
‫ فَِإ ْن‬،‫ ثًََل ًًث‬،‫اح َها َب ِط ٌل‬
ْ َ
َّ َ ْ ْ َْ ُ
ُ ‫ت فَن َك‬
ِ ِِ
‫ فَِإ ِن ا ْشتَ َجُروا فَالس ْلطَا ُن َوِل َم ْن َل‬،‫اب ِمْن َها‬
َ ‫َص‬
َ ‫َصابَ َها فَلَ َها َم ْهُر مثْل َها ِبَا أ‬
َ‫أ‬
72
)‫(رَواهُ البَ ْي َه ِقي‬
َ .ُ‫َوِل لَو‬
“Telah mengabarkan kepada kami Abû Zakariâ bin Abî Ishâq, saya
Abû al Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb saya Muhammad bin Abdillah
bin Abdul Hakîm saya Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu
Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Ibnu Syihâb dari „Urwah bin
70
Wali yang memiliki hak atau kekuasaan untuk menekan atau meluluskan pendapat
kepada pihak lain,
71
Wali yang memiliki hak untuk menikahkan seseorang sesuai dengan pilihan
(ihtiyar)
72
Al-Baihaqi, Sunan as-Shagîr, Jilid III, (Pakistan: Jam‟iah Dirasat Islamiyah,
Karachi,1410) h. 16 No. 2366
40
Zubair dari „Aisyâh istri Nabi SAW dari Rasûlullâh SAW beliau
bersabda,” Janganlah kau nikahkan seorang wanita tanpa perintah
walinya, jika ia dinikahkan maka nikahnya batil (tidak sah) jika ia
melakukanya maka bagi wanita mahar mitsli73 atas pernikahan
tersebut, jika mereka berselisih, maka hakim adalah walinya bagi
orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Al Baihaqi)
Menurut Malikiyah, wali terbagi menjadi dua: Pertama, wilayah „Ậmah
(umum) dan Kedua, wilayah khâsah (khusus). Yang dimaksud wali umum
adalah setiap wali yang tetap dengan sebab satu yaitu agama islam. Wali
umum ini asal ia beragama isla memiliki hak-hak untuk menjadi wali pihak
perempuan.
Syarat lain adalah, pihak perempuan tersebut tidak memiliki ayah atau
yang di wasiatkan oleh ayahnya. sedangkan wali khâsah (khusus) adalah
khusus dimiliki oleh enam pihak yaitu: ayah, atau yang diwasiatkan ayah,
saudara dekat ayah, maula , pihak yang menanggung,dan hakim). Menurut
kalangan Syafi‟iyah wali ada dua jenis: ijbariyah (ayah, kakek) dan
ikhtiyariyah (wali Ashabah) seperti kalangan Hanifiyah dalam hal wali atas
jiwa (an nafs). Adapun menurut Hanabilah, tidak sah nikah tanpa wali dan
dua orang saksi seperti pendapat Malikiyah Syafi‟iyah.74 Adapun urutan wali
menurut Ibnu Rusyd dimulai dari nasab, sulthan (hakim, maula75, orang
islam.76. adapun yang berhak menjadi wali nikah, secara nasab dna berurutan
adalah sebagai berikut:
1. Bapak
2. Kakek
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Saudara laki-laki seibu
5. Paman dari jalur bapak
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
7. Anak laki-laki dari saudara perempuan
8. Anak laki-laki paman dari jalur bapak
9. Paman dari jalur ibu
10. Anak laki-laki paman dari jalur ibu.
d. Ijab Kabul
Ijab adalah ungkapan yang diucapkan oleh wali wanita ketika akad
nikah, sedangkan qabul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh
calon suami. Dengal lafaz
73
Mahar Mistli adalah mahar yang ditentukan oleh pihak wanita sesuai dengan
status dan kesepakatan keluarganya.
74
Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid VII, ( Kairo: Maktabah Al Qâhirah, 1388H) h. 6
75
Maula adalah wali yang menikahkan budaknya sendiri, artinya tuan atau majikan
76
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, j. III h. 40
41
ِْ
‫اْلنْكاَ ُح " و " الت ْزِويْ ُج‬
Inkah (kawin) atau tazwij (nikah) atau dengan makna yang serupa. Namun
makna yang serupa ini harus disertai dengan niat77 . Ijab Kabul boleh dengan
bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, baik bahasa, ucapan atau
ungkapan apa saja yang serupa. Tidak juga harus memakai bahasa Arab,
kecuali jika kedua belah pihak memang memahami Bahasa Arab sehingga
memahami makna apa yang diucapkan.
e. Dua orang saksi
Keberadaan saksi merupakan rukun dalam sebuah pernikahan, saksi yang adil
dan dapat dipercaya dalam sikap dan ucapannya. Sesuai dengan sabda nabi
Muhammad SAW:
ِ ِ‫ أَن أَبو الْول‬،‫ظ‬
ِ‫الاف‬
ِ‫أَخب رََن أَبو عب ِد اَّلل‬
‫ أَن ُُمَم ُد بْ ُن َج ِري ٍر‬،ُ‫يد الْ َف ِقيو‬
ْ
ُ
َْ ُ َ َ ْ
ُ
َ
َ
ٍ ِ‫يد بن ََيَي ب ِن سع‬
ِ
‫ َع ْن‬،‫ َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج‬،‫ أَن أَِِب‬،‫يد ْاأل َُم ِوي‬
َ ْ َ ْ ُ ْ ُ ‫ أَن َسع‬،‫الط ََِبي‬
ِ
َ ‫ أَن النِِب‬،َ‫ َع ْن َعائ َشة‬،َ‫ َع ْن عُْرَوة‬،‫ي‬
َ ‫ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم‬
ُ‫صلى هللا‬
ِّ ‫ َع ِن الزْى ِر‬،‫وسى‬
ِ ‫ وش‬،‫ «أَُّيا امرأَةٍ نُ ِكحت بِغَ ِي إِ ْذ ِن ولِيِها‬:‫ال‬
‫اى َد ْي َع ْد ٍل‬
َ َ‫َعلَْي ِو َو َسل َم ق‬
َ َ َّ َ
ْ ْ َ
َْ َ
78
ِ
ِ
)‫(رَواهُ اَلبَ ْي َه ِق ْي‬
ُ ‫فَن َك‬
َ ‫اح َها َبط ٌل‬
“Telah mengabarkan kepada kami Abû Abdillah al Hâfiz, saya Abû al
Walîd al Faqîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabari, saya Saîd bin
Yahyâ bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân bin
Musâ dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW
bersabda,” Siapa wanita menikah tanpa izin walinya dan dua orang
saksi yang adil maka nikahnya batil (tidak sah).”(HR. Al Baihaqi)
Diantara syarat saksi adalah sebagai berikut:
a. Muslim
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil
77
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatâwâ, Jilid XXXII, ( Saudi Arabia: Majma‟ Malik
Fahd,1416 H) h. 15
78
Al-Baihaqi, Sunan Shagîr, Jilid
III, (Pakistan:Jamiah Dirasat Islamiyah,
Karatchi,1410) h. 20 No. 2382
42
6. Macam-Macam Pernikahan
Dalam kajian fikih klasik ada beberap jenis pernikahan sesuai dengan syarat
dan pendapat ulama didalamnya, dan masing-masing memiliki
konsekwensinya, diantaranya:79
a. Hanafiyah
Menurut hanafiyah ada lima jenis yaitu: Sahih Lazim, Ghaira lazim,
Mauquf, fasid dan bathil
b. Malikiyah
Menurut Kalangan Malikiyah, ada empat jenis yaitu: Shahih lazim, ghairu
lazim, mauquf, dan bathil.
c. Syafi‟iyyah dan Hanabilah
Menurut kalangan ini pernikahan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: Lazim,
Ghaira lazim dan Fasid (bathil)
Yang dimaksud dengan pernikahan lazim adalah sebuah pernikahan yang
tercukupi syarat dan rukunnya, baik syarat sah maupun syarat
keterlaksanaannya (nafâdz).80 Sedangkan pernikahan yang ghaira lazîm
(tidak lazim) adalah pernikahan yang tidak tercukupi salah satu syarat dari
syarat lazim pernikahan tersebut. Pernikahan yang mauquf apabila
kehilangan salah satu syarat keterlaksanaan (nafâdz). Pernikahan fasid
menurut jumhur jika kehilangan salah satu syarat atau rukunnya, sedangkan
menurut Hanafiyah apabila kehilangan syarat akad (in‟iqâd). Sedangkan
pernikahan yang bathil apabila kehilangan syarat sahnya sebuah pernikahan.
Pernikahan sah adalah pernikahan yang sah syarat dan rukunnya, sesuai
dengan ketentuan syarat dan rukun seperti yang telah penulis sebutkan diatas.
Yang menjadi titik persoalan dimasyarakat adalah tidak terpenuhinya syarat
dan rukun yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan pemerintah
sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam hal sah atau tidaknya
perkawinan. Istilah pernikahan dan jenisnya bisa penulis kemukakan seperti
berikut ini:
A.Nikah Tercatat
Pernikahan tercatat adalah pernikahan yang memenuhi syarat rukun yang
sudah ditetapkan secara agama dan negara, sebagai bukti kekuatan hukumnya
pernikahan ini dicatatkan di KUA. Hal ini sesuai dengan amanah UndangUndang Perkawinan.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.81
Menurut Siska Lis Sulistiani, perkawinan di Indonesia dianggap sah jika
memenuhi kriteria sebagai berikut82:
79
Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6586
Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587
81
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2
80
43
1. Menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing
2. Tertib hukum syariat (bagi yang beragama Islam)
3. Dicatatkan menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai
pencatat nikah.83
Selanjutnya dalam pernikahan yang sah dan tercatat, ada konsekwensi yang
merupakan maqâshid (tujuan) pernikahan seperti yang disebutkan oleh
Undang-Undang Perkawinan diantaranya:84
Pasal 30:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Dalam Pasal 31 disebutkan:
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Ayat diatas mengatur tatacara dan interaksi antara suami dan istri dalam
sebuah rumah tangga. Islam mengatur hak-hak dan kewajiban antara suami
dan istri, pada dasarnyauntuk mencapai tujuan-tujuan dalam sebuah
pernikahan seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Berikut ini adalah
hak-hak yang islam atur85:
Pertama: Hak istri
a. Hak terkait harta benda
Hak terkait harta maksudnya hak seorang istri terkait kepemilikan harta
dari pihak suami, yang lazim dikenal dalam hukum islam, adalah mahar
dan nafkah. Mahar merupakan harta wajib yang diserahkan oleh pihak
calon suami kepada calon calon istri dalam pernikahan, hal ini seperti
yang disebutkan oleh Imam an Nawawi:
86
ِ ‫اسم الْم ِال الْو ِاج‬
‫اح‬
ِ ‫ب لِْل َمْرأَةِ َعلَى الر ُج ِل ِبلنِّ َك‬
َ َ ُ ْ ‫ُى َو‬
“Yaitu harta yang wajib atas laki-laki kepada wanita dalam pernikahan”.
Imam An Nawawi mengungkapkan ada beberapa nama lain dari mahar yaitu
as shadâq, as shadaqah, al Ajr, al „Aqr, nikhlakh, „Athiyah dan al Aqliyah.87
82
Siska Lis Sulistiani,Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Hal. 11
83
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1
84
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31dan pasal 32
85
Wahbah a-z-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa adillatuh, j.9 h. 6842
86
Imam an Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, Jilid VII, (Beirut: al
Maktab al Islami, 1412 H) h. 249
87
Imam an-Nawawi, , Raudhatu at Thâlibîn wa Umdat al- Muftîn, Jilid VII, h. 249
44
Al Qur‟an menyebutkan tentang mahar yang harus diberikan kepada calon
istri seperti dalam ayat:
ِ ِِ
ِ
ِ
‫ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنوُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َىنِيئًا‬
َ ْ ‫ص ُدقَاِتن َْنلَةً فَِإ ْن ط‬
َ َ‫َوآتُوا النّ َساء‬
)٤: [ ٤] ‫ (النِّ َساء‬.‫َم ِريئًا‬
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan,88 kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati”.( QS. An Nisâ [4]: 4)
Menurut Syekh Mutawalli as Sya‟râwi, mahar disyariatkan sebagai
bentuk penghormatan agama terhadap kemuliaan kaum wanita dan wajib
bagi kaum laki-laki untuk memberikannya, bahkan jika ia belum mampu,
maka mahar itu menjadi hutang atasnya dan dibayarkan jika sudah memiliki
keleluasaan, baik dalam waktu maupun hartanya.89 Hak berikutnya yang
dimiliki oleh istri adalah nafkah, baik lahir maupun bathin. Nafkah lahir lebih
umum dikenal sebagai kebutuhan pokok sebagai manusia, seperti sandang,
pangan, papan, kenyamanan dan keamanan.
Majelis Ulama Al Azhar, Mesir menafsirkan ayat diatas dalam kumpulan
tafsirnya menyebutkan:
ِ‫ ولَيس لَ ُكم حق ِف َش ٍئ ِمن ى ِذه‬،ً‫وأَعطُوا النِّساء مهورىن ع ِطيةً خالِصة‬
ٌ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َُ ُ ُ َ َ ْ ْ َ
َ ْ
ِ ‫ فَِإ ْن طَابت نُ ُف‬،‫اْل مهور‬
ِ ‫وس ِهن ِبلن ز‬
‫ول َع ْن َش ٍئ ِم َن ال َم ْه ِر فَ ُخ ُذوهُ َوانْتَ َفعُ ْوا‬
َْ
ُ
ُْ ُ
90 ِ ِ
ِ
.‫العاقبَة‬
َ ‫بِو طَْيباً َُْم ُم‬
َ ‫ود‬
“Dan berikanlah kepada wanita mahar mereka sebagai pemberian
yang murni, kalian (laki-laki) tidak memiliki hak sedikitpun dalam
mahar ini, jika mereka rela untuk memberikannya kepadamu, ambillah
dengan kerelaan yang baik dan akhir yang terpuji”.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur tentang hak dan
kewajiban antara suami dan istri, sebagai berikut:91
Pasal 32:
88
Maksudnya besar atau kecilnya maskawin tersebut sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak, tanpa ada paksaan, karena prinsipnya adalah kerelaan dan keihlasan
89
Muhammad Mutawalli as Sya‟râwi, Tafsir As Sya‟râwi, J. IV h. 2009
90
Lajnah Min Ulamâ Al Azhâr,al Muntakhab fî Tafsîr al Qur‟ân, Jilid 1(Mesir,
Tab‟ah Muassasah Al Ahrâm, 1416H) h. 106
91
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 32
45
Ayat 1: Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap.
Ayat 2: Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1, pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pada pasal di atas kebutuhan pokok atau nafkah yang diberikan oleh
sang suami adalah menyediakan tempat tinggal yang layak sesuai dengan
kemampuan dan kesepakatan. Dengan tempat tinggal itulah, sang suami
sebagai kepala keluarga bisa mengatur, mengajarkan dan melindungi serta
menggapai kebahagiaan keluarga. Karena rumah sebagai tempat berlindung
dari cuaca maupun dari hal-hal yang membahayakan keluarga baik fisik
maupun non fisik.
Pasal (33):
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 92
Menurut Mohammad Fauzil Adhim, salah satu cara untuk
melanggengkan cinta dan kasih dalam rumah tangga adalah memangil
pasangan (istri) dengan panggilan yang ia sukai, seperti dahulu Rasulullah
memanggil Aisyah dengan panggilan Humaira (pipi yang kemerahan), untuk
menambah keharmonisan rumah tangga sebutlah nama pasangan kita dengan
cinta, karena kata baik jika diucapkan dengan sinis akibatnya tidak akan
baik.93
Pasal 34 menyebutkan:94
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Terkait dengan nafkah bathin, selain kasih sayang adalah berhubungan
suami istri. Karena merupakan salah satu dorongan menikah adalah
menyalurkan hasrat seksual kepada yang di halalkan oleh Allah, dan
menghindari melakukannya pada hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu
Rasulullah SAW menyebutkan bahwa hubungan suami istri merupakan
sedekah yang berpahala:
ِ
ِ
ٍ ‫ حدثَنَا مه ِدي بن ميم‬،‫َْساء الضبعِي‬
،‫ون‬
َ َ َْ ‫َعْب ُد هللا بْ ُن ُُمَمد بْ ِن أ‬
ُ َْ ُ ْ ْ َ َ
ِ‫و‬
،‫ َع ْن ََْي ََي بْ ِن يَ ْع َمَر‬،‫ َع ْن ََْي ََي بْ ِن عُ َقْي ٍل‬،َ‫ َم ْوََل أَِِب عُيَ ْي نَة‬،‫اص ٌل‬
َ
92
‫َحدثَنَا‬
‫َحدثَنَا‬
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 33
Mohammad Fauzil Adhim, Agar Cinta Bersemi Indah, (Jakarta: Gema Insani,
93
2002) h. 6
94
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 34
46
ِ ِ ِ ‫عن أَِِب ْاأل‬
ِ
ِ ‫َصح‬
ِّ ِ‫اب الن‬
ْ
َ ‫ِب‬
َ ْ ‫ أَن ََن ًسا م ْن أ‬،‫ َع ْن أَِِب َذ ٍّر‬،‫َس َود ال ّديل ِّي‬
َْ
ُ‫صلى هللا‬
ِ‫ول هللا‬
ِ ‫علَي ِو وسلم قَالُوا لِلنِ ِِب صلى هللا علَي‬
‫ب أ َْى ُل‬
‫ى‬
‫ذ‬
،
‫س‬
‫ر‬
‫اي‬
:
‫م‬
‫ل‬
‫س‬
‫و‬
‫و‬
َ
َ
َ
َْ ُ
َ ّ
َ
ُ
َ
َ
َ
َ
َ
َ ََ َْ
ِ ُ‫ يصلو َن َكما ن‬،‫الدثُوِر ِبْألُجوِر‬
‫صدقُو َن‬
َ َ‫ َويَت‬،‫وم‬
ُ َ‫ومو َن َك َما ن‬
ُ َ‫ َوي‬،‫صلّي‬
َ َ
َُ ُ
ُ‫ص‬
ُ‫ص‬
ِِ‫ول أَمواِل‬
ِ ُ ‫بُِف‬
‫س قَ ْد َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم َما تَصدقُو َن؟ إِن بِ ُك ِّل‬
‫ي‬
‫ل‬
‫َو‬
‫أ‬
"
:
‫ال‬
‫ق‬
،
‫م‬
َ
َ
َ
ْ
َ
ْ
َْ ‫ض‬
َ
ٍ َ ‫ وُك ِل ََت ِم‬،ً‫ وُك ِل تَ ْكبِيةٍ ص َدقَة‬،ً‫تَسبِيح ٍة ص َدقَة‬
‫ َوُك ِّل تَ ْهلِيلَ ٍة‬،ً‫ص َدقَة‬
ْ ّ َ
َ ‫يدة‬
َ َ
َ َ ْ
ّ َ
ِ
‫َح ِد ُك ْم‬
ْ ُ‫ َوِِف ب‬،ٌ‫ص َدقَة‬
َ ‫ َونَ ْه ٌي َع ْن ُمْن َك ٍر‬،ٌ‫ص َدقَة‬
َ ‫ َوأ َْمٌر ِبلْ َم ْعُروف‬،ً‫ص َدقَة‬
َ
َ ‫ض ِع أ‬
ِ
ِ َ ‫ اي رس‬:‫ قَالُوا‬،ٌ‫ص َدقَة‬
:‫ال‬
َ َ‫َجٌر؟ ق‬
ْ ‫َح ُد ََن َش ْه َوتَوُ َويَ ُكو ُن لَوُ ف َيها أ‬
َ
َ ‫ أ َََيِِت أ‬،‫ول هللا‬
َُ َ
ِ
ِ
‫ض َع َها ِِف‬
َ ‫ض َع َها ِِف َحَرٍام أَ َكا َن َعلَْي ِو ف َيها ِوْزٌر؟ فَ َك َذل‬
َ ‫ك إِذَا َو‬
َ ‫«أ ََرأَيْتُ ْم لَ ْو َو‬
95
ِ
) ‫ ( َرَواهُ ُم ْسلِ ْم‬.‫َجر‬
ْ ‫ا ْلًََلل َكا َن لَوُ أ‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullâh bin Muhammad bin Asmâ
addhuba‟i, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimûn, telah
menceritakan kepada kami Wâshil, pelayan Abî „Uyainah, dari Yahya
bin „Uqail dari Yahya bin Ya‟mar dari Abî al Aswad adailiy, dari Abu
Dzar, bahwa beberapa sahabat Nabi SAW berkata kepada beliau,”
Wahai Rasûlullâh, Orang-orang kaya pergi membawa pahala yang
banyak, mereka shalat seperti kami, mereka puasa seperti kami,
mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka, Rasûlullah
pun bersabda,” Bukankan Allah telah menjadikan bagi kalian apa
yang bisa kalian sedekahkan?”Setiap ucapan tasbih96 adalah sedekah,
setiap ucapan takbir97 adalah sedekah, setiap ucapan tahmid98 adalah
sedekah dan setiap ucapan tahlil99 adalah sedekah, menyuruh yang
ma‟ruf adalah sedekah, mencegah yang munkar adalah sedekah, dan
dalam hubungan suami istri adalah sedekah”. Mereka berkata,”
Wahai Rasulullah, apakah dengan menyalurkan syahwat ada
pahalanya?” Nabi bersabda,”Bagaimana menurut kalian, jika kalian
95
Imam Muslim, Sahîh Muslim, Jilid II (Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts, t.t) h. 697 No.
1006
96
Ucapan Tasbih adalah Subhânallâh artinya Maha Suci Allah
Ucapan Takbir adalah Allahu Akbar artinya Allah Maha Besar
98
Ucapan Tahmid adalah Alhamdulillah artinya Segala Puji Bagi Allah
99
Ucapan Tahlil adalah La Ilaha ilallah artinya Tiada Tuhan selain Allah
97
47
menyalurkannya dijalan haram, apakah berdosa?”, Begitupula jika
menyalurkannya di jalan halal, ada pahalanya”.(HR. Muslim).
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa hak berhubungan antara suami
dan istri dalam pernikahan yang sah adalah berpahala disisi Allah, karena
menyalurkan pada orang yang sudah halal, sedangkan jika disalurkan kepada
orang yang tidak halal maka hukumnya berdosa. Untuk itu bisa dikatakan,
hubungan suami istri adalah ibadah, dan dalam ibadah ada adab-adab
tertentu, tidak hanya sekedar memenuhi hasrat syahwatnya saja.
Kemudian terkait dengan harta dalam rumah tangga, diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan, seperti disebutkan dalam pasal 35:100
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal diatas menjelaskan tentang harta bersama antara suami istri, meski
Juga dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan:
1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
b. Diperlakukan yang baik
Menjadi hak bagi kaum wanita untuk diperlakukan dengan baik,
sebagaimana islam mengajarkan. Memposisikan istri sebagai pihak yang
bersama suami untuk membantu mencapai kebahagiaan dan tujuan-tujuan
pernikahan. Disamping suami juga berkewajiban untuk memperlakukan istri
dengan baik, dari segi perkataan maupun sikap terhadapannya.
Sesuai dengan firman Allah:
ِ ‫اي أَي ها ال‬
ِ
ِ
‫وىن لِتَ ْذ َىبُوا‬
‫ذ‬
ُ ‫ين َآمنُوا َل ََيل لَ ُك ْم أَ ْن تَ ِرثُوا النّ َساءَ َكْرًىا َوَل تَ ْع‬
ُ ُ‫ضل‬
َ َ
َ
ِ ‫اشروىن ِبلْمعر‬
ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ‫ض ما آتَي تُموىن إِل أَ ْن َيْت‬
‫وف فَِإ ْن‬
َ َ
ُ ُ ْ َ ِ ‫بِبَ ْع‬
ُ ْ َ ُ ُ ‫ي ب َفاح َشة ُمبَ يّنَة َو َع‬
. ‫وىن فَ َع َسى أَ ْن تَ ْكَرُىوا َشْي ئًا َوََْي َع َل اَّللُ فِ ِيو َخْي ًرا َكثِ ًيا‬
ُ ‫َك ِرْىتُ ُم‬
)۱۸: [ ٤ ] ‫(النِّ َساء‬
100
Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 35
48
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa,101 dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan pergaulilah mereka menurut cara yang
baik, jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An Nisâ [4]:19)
Sebab turun ayat ini adalah menurut Mujâhid:
ِ ِ
‫ َل ََِيل لَ ُك ْم أَ ْن‬:‫ت‬
ُ ‫َحق ِب ْمَرأَتِِو» يَ ُق‬
ْ َ‫ول فَنَ َزل‬
َ ‫ِف َكا َن ابْنُوُ أ‬
َّ ‫َكا َن الر ُج ُل إذَا تُ ُو‬
102
‫تَ ِرثُوا النِّ َساءَ َكْرًىا‬
“Dahulu jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya lebih
berhak atas istrinya (jandanya)”.
Sedangkan Abû al Hasan an Naisabûri menyebutkan bahwa makna ayat:
“Dan pergaulilah mereka menurut cara yang baik”.
103
ِ ‫اشروىن ِبلْمعر‬
ِ
‫وف‬
ُْ َ ُ ُ ‫َو َع‬
ِ ِ ‫أ‬
‫ب َِلُن ِم َن الُُق ْو ِق‬
ْ
ُ ‫ ِبَا ََي‬:‫َي‬
“ Yaitu memenuhi kewajiban dari hak-hak mereka (istri)“.
Ayat diatas menunjukkan kepada kita agar berbuat baik dan memperlakukan
pasangan dengan baik, memberikan haknya dengan sebenar-benarnya.
c. Mendapatkan ta‟dîb (didikan)
Hak istri mendapatkan arahan, didikan dan petunjuk dalam perilaku, jika
suatu ketika terdapat perbedaan antara keduanya, atau terdapat hal-hal yang
bisa menjadi konflik dalam rumah tangga. Seperti yang Allah sebutkan di
dalam Al Qur‟an:
ِ ِ
ِ
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
‫ض َوِِبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن‬
ُ ‫الر َج‬
َ ‫ال قَو ُامو َن َعلَى النّ َساء ِِبَا فَض َل اَّللُ بَ ْع‬
ّ
ِ
ِ
ِِ
ِ
ِ ‫ات لِْلغَْي‬
‫ظ اَّللُ َوالًلِِت ََتَافُو َن‬
َ ‫ب ِِبَا َح ِف‬
ٌ َ‫ات َحافظ‬
ٌ َ‫ات قَانت‬
ُ َ‫أ َْم َواِل ْم فَالصال‬
101
Ayat ini tidak berarti mewarisi perempuan tidak dengan jalan paksa dibolehkan,
sebagian adat Arab Jahiliyah jika seseorang meninggal dunia maka anak tertua atau anggota
keluarga lain mewarisi janda tersebut. Dan janda tersebut boleh dinikahi sendiri atau
dinikahkan dengan orang lain oleh ahli waris atau tidak boleh menikah sama sekali. Hal ini
jelas dilarang agama.
102
Mujâhid al-Makhzûmiy, Tafsîr al Mujâhid, Jilid 1, (Mesir: Dâr al Fikr al Islâmiy
al Hadîtsah, 1410 H) h. 270
103
Abû al-Hasan bin „Aliy an-Naisabûri, al Wajîz fî Tafsîr al Kitâb al „Azîz, Jilid I, (
Damaskus: Dâr al Qalam, 1415 H) h. 257
49
ِ ‫نُشوزىن فَعِظُوىن واىجروىن ِِف الْم‬
‫وىن فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ًَل‬
ْ ‫ضاج ِع َو‬
َ َ
ُ ُ‫اض ِرب‬
ُ ُُ ْ َ ُ
َُ ُ
) ۱٤: [٤ ] ‫(النِّ َساء‬. ‫تَْب غُوا َعلَْي ِهن َسبِ ًيًل إِن اَّللَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًيا‬
“ Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri) karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan) dank arena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah
dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika suami mereka
tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka,104 perempuanperempuan yang kamu khawatirkan akannusyuz105hendaklah kamu beri
nasehat mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang)
dan (jika perlu) pukullah mereka . tetapi jika mereka menaatimu maka
janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguha Allah Maha Tinggi, Maha Besar”. (QS. An Nisâ [4]: 34)
Abu Zahrah ketika menafsirkan ayat ini, memberikan tips dalam
mengatasi konflik berumah tangga diantaranya yaitu:106
Pertama, menasehati istri (Fa‟izûhun) dengan harapan ia kembali taat kepada
suaminya, nasehat yang baik yang dilakukan dengan cara-cara yang baik
pula.Kedua, pisah ranjang, maksudnya tidak berhubungan seksual dengan
istri, tidak tidur seranjang, tidur dengan memunggungi istri, tidak
mengajaknya bicara, hal ini akibat perbuatan istri yang enggan taat kepada
istrinya. Ketiga, memukul, maksud dari memukul ini adalah pukulan yang
sifatnya hanya teguran, bukan pukulan pelampiasan dan membahayakan sang
istri, tidak memukul pada area sensitif dan berbahaya, seperti wajah, bagian
vital dan seterusnya. Pukulan ini dilakukan sebagai upaya terakhir agar sang
istri sadar bahwa yang ia lakukan salah.Namun kritikaan yang disampaikan
oleh Muhammad Thahir bin Asyûr dalam tafsirnya terkait ayat ini, bahwa
proses pemukulan yang dilakukan oleh suami, tetap dalam koridor „urf ( adat
atau kebiasaan) suatu bangsa atau suku. Beliau juga mencontohkan tentang
suku Arab Badui yang kaum laki-laki mereka biasa memukul istri jika salah,
dan hal itu menurut mereka bukan sebuah hal yang istimewa dan
104
Allah telah mewajibkan suami untuk mengauli istri dengan baik
Nusyûz secara bahasa bermakma idtirâb (kegoncangan) dan taba‟ud (saling
menjauh) atau irtifa‟ (meniggi, artinya tinggi hati dihadapan suaminya) secara istilah:
Adalah meninggalkan kewajiban sebagai istri, seperti pergi dari rumah tanpa izin, enggan
mengurus anak , tidak menaanti suami, atau sudah enggan hidup bersama suaminya, bisa
juga karena buruk perangai wanita tersebut, atau keinginannya menyukai laki-laki lain selain
suami sahnya. (lihat Ibnu Asyûr , Tafsîr at Tahrîr wa Tanwîr, J 5 h. 41)
106
Muhammad bin Ahmad bin Musthafâ bin Ahmad Az Zarqâ, Zahra at Tafâsîr,
Jilid III, (tt.p: Dâr al Fikr al „Arabiy, tt) h.1669
105
50
menyakitkan.107 Sedangkan menurut As Sa‟di, bagi suami hendaklah
menasehati istri agar kembali taat dengan menjelaskan hukum-hukum Allah
didalam ketaatan dan menjelaskan tentang buruknya akibat maksiat baik
kepada Allah maupun kepada suami, jika istri enggan maka pisahkan dirimu
dengannya dari tempat tidur, dalam batas tujuan taat itu tercapai, kemudian
yang terakhir dengan memukul dengan tujuan bukan menyakiti, namun
menyadarkan istri, namun jika dengan salah satu dari ketiga cara ini, maka
cukup.108 Sedangkan Ibnu Rusyd menyebutkan, hak istri kepada suami pada
umumnya terfokus pada dua hal yaitu, an nafaqah ( nafkah) dan kiswah
(pakaian).109
Kedua: Hak suami
Hak suami, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hak-hak istri hanya pada
beberapa sisi saja yang menjadikan perbedaan, karena perbedaan secara
alami, diantaranya adalah: Pertama, hak untuk ditaati oleh istri, karena tujun
menikah adalah mencapai kebahagiaan, dan suami ibarat nakhoda yang
mengemudikan bahtera rumah tangga menuju pulau kebahagiaan, maka
sudah sewajarnyalah bagi istri dan anggota keluaga lainnya untuk taat dan
mematuhi arahan sang nahkoda. Rasulullah SAW bersabda:
‫ َع ْن‬،َ‫اد بْ ُن َسلَ َمة‬
ُ ‫ َح ّدثَنَا َْح‬،‫ َح ّدثَنَا َعفا ُن‬،َ‫َحدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َشْي بَة‬
ِ ِ‫ عن سع‬،‫علِ ِي ب ِن زي ِد ب ِن ج ْدعا َن‬
- ِ‫ول اَّلل‬
َ ‫ أَن َر ُس‬،َ‫يد بْ ِن الْ ُم َسيبِ َع ْن َعائِ َشة‬
َ ْ َ َ ُ ْ َْ ْ ّ َ
ٍ ‫ "لَو أَمرت أَح ًدا أَ ْن يسج َد ِأل‬:‫ال‬
ِ
‫ت‬
ُ ‫ َأل ََمْر‬،‫َحد‬
َ
َ ُ َْ
َ ُ ْ َ ْ َ َ‫ ق‬- ‫صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم‬
‫َْحََر‬
ْ ‫ َولَ ْو أَن َر ُج ًًل أ ََمَر ْامَرأَتَوُ أَ ْن تَْن ُق َل ِم ْن َجبَ ٍل أ‬،‫الْ َمْرأََة أَ ْن تَ ْس ُج َد لَِزْوِج َها‬
‫ لَ َكا َن نَ ْوُِلَا أَ ْن تَ ْف َع َل‬،‫َْحََر‬
ْ ‫ َوِم ْن َجبَ ٍل أَ ْس َوَد إِ ََل َجبَ ٍل أ‬،‫َس َوَد‬
ْ ‫إِ ََل َجبَ ٍل أ‬
110
) ‫(رواهُ أَبُو َد ُاود‬
َ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami telah menceritakan kepada kami Hammâd
bin Salamah, dari „Ali bin Zaid bin Jud‟ân dari Sa‟îd bin al Musayyib
dari „Ậisyah, bahwa Rasûlullâh SAW bersabda,” Jika aku perintahkan
107
Muhammad Thâhir bin Asyûr, At Tahrîr wa at Tanwîr, J. 5 h. 41
Abdurrahman Nâshir As Sa‟di, Tasîr al Karîm ar Rahmân Fî Tafsîr Kalâm Al
Mânnân, j. 1 h. 177
109
Ibnu Rusyd al-Hafîd, Bidâyat al Mujtahid wa Nihâyat al Muqtashid, J. 3 h. 39
110
Abû Daud, Sunan Abû Daud, Jilid III, (t.tp: Dâr Ar Risâlah al Ilmiyah,1430H)
h.58 No. 1852, Tahqiq Syuaib al Arnaûth
108
51
seseorang untuk bersujud kepada manusia, sungguh aku perintahkan
seorang istri untuk sujud kepada suaminya, jikalau seseorang
memerintahkan istrinya untuk memikul dari gunung merah menuju
gunung hitam, dan dari gunung hitam menuju gunung merah, maka
seharusnya ia laksanakan”.111 (HR. Abu Daud)
B. Nikah Sirri
‫( ِسر‬
Secara bahasa sirun )
berarti sesuatu yang rahasia, samar atau
tersembunyi, seperti disebutkan dalam kamus dalam bahasa Arab:
112
‫ت ِسرَك َوََلْ أَبُ ْح بِِو ِألَ َح ٍد‬
ُ ‫"سَرْر‬
َ ُ‫ كتَ َمو‬:َ‫سر الشيء‬
“ Sarra As Sya‟i artinya menyembunyikan sesuatu, Aku
menyembunyikan rahasiamu, jika aku tidak menyebarkan kepada
seseorang”.
Nampaknya terdapat perbedaan makna terkait nikah sirri antara pengertian
yang diusung oleh para ulama klasik dan pengertian kontemporer. Dalam
kajian fikih klasik, Imam Malik dalam al Muwatha‟ menyebutkan bahwa
nikah sirri adalah nikah tanpa wali dan hanya dihadiri oleh kedua pasang
calon mempelai saja. Saat Umar bin Khattab ditanya apa hukum nikah tanpa
saksi dan wali yang hanya di hadiri oleh laki-laki dan perempuan saja.
Kemudian Umar menjawab:
113
ِ ِ ‫ ولَو ُكْنت تَ َقدم‬, ‫ ولَ أ ُِجيزه‬, ‫الس ِر‬
ِ ‫ى َذا نِ َك‬
‫ت‬
ُ ْ‫ت فيو لََر ََج‬
ُ ْ ُ ْ َ ُُ
َ
ُ
َ ّ ّ ‫اح‬
.
“Ini adalah nikah sirri, aku tidak membolehkan, jika ada yang yang
melakukannya maka aku akan merajamnya”.
Menurut Musthafa Luthfi konsep nikah sirri berdasarkan ulama kontemporer
terbagi menjadi empat poin yaitu:114
1. Pernikahan tanpa saksi
2. Pernikahan tanpa wali dan saksi
3. Pernikahan tidak tercatat pada lembaga berwenang
111
Hadits ini derajatnya adalah Sahîh Lighairih, seperti di Takhrij oleh Ibnu Abî
Syaibah, J. 2 h. 528, 4/306, Ahmad No. 24471, dari jalur Hammâd bin Salamah dengan
sanad ini, juga di saksikan oleh hadits Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh At Tirmizî, No.
1191, dengan sanad Hasan, dan di sahihkan oleh Ibnu Hibbân No. 4162, hadits Ibnu Abbâs
112
Ahmad Mukhtâr Abdul Hamîd Umar, Mu‟jam al Lughah Al “Arabiyah al
Muashirah, JilidII, (t.tp: „Ậlim al Kutub, 1429) h. 1055 bab ‫س ر ر‬
113
Mâlik bin Anas bin Anas bin Mâlik bin „Ậmir Al Ashbahi, Al Muwatha‟, Jilid 1
(t.tp:Muassasah Ar Risâlah, 1412 H) h. 583
114
Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010) h. 41-42
52
4. Pernikahan yang kesaksian saksi dirahasiakan, baik pernikahan tersebut
tercatat ataupun tidak.
Namun menurut hemat penulis pembagian tersebut bisa disederhanakan
menjadi pernikahan yang tidak ada saksi, wali dan tidak tercatat pada
lembaga berwenang. Para ulama menyebutkan bahwa merahasiakan
kesaksian para saksi dalam sebuah pernikahan tidaklah berpengaruh terhadap
keabsahan nikah yang lengkap rukun-rukunnya, namun demikian,
mengumumkan sebuah pernikahan ( I‟lan) merupakan hal yang utama. Dalil
dari pendapat ini adalah hadits yang disebutkan oleh Qatadah:
ِ ِ‫ وسع‬،‫الس ِن‬
ِ
ِ ‫وِِف ح ِد‬
ِ ِّ‫يد بْ ِن الْمسي‬
ِ
‫ن‬
‫ع‬
،
‫ة‬
‫اد‬
‫ت‬
‫ق‬
‫يث‬
ْ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ َ
َ
ُ‫ أَن عُ َمَر َرض َي اَّلل‬،‫ب‬
َ َ
َُ
ِ
115
ٍ
ِ ِ ِ َ ‫ «َل نِ َك‬:‫ال‬
)‫(رَواهُ البَ ْي َه ِق ْي‬
َ َ‫َعْنوُ ق‬
َ ‫ َو َشاى َد ْي َع ْدل‬،‫ل‬
ٍّ ‫اح إل ب َو‬
“Dalam hadits Qatâdah, dari al Hasan dan Saîd bin Al Musayyin,
Bahwasanya Umar Radhiyallahu Anhu berkata,” Tiada nikah tanpa
wali dan dua orang saksi yang adil”.(HR. Al Baihaqi)
Hadits diatas menyebutkan bahwa pernikahan yang tidak ada wali dan saksi,
maka tidak dianggap sebagai pernikahan. Juga hadits lain yang serupa:
ِ ِ‫ أَن أَبو الْول‬،‫ظ‬
‫ أَن ُُمَم ُد بْ ُن َج ِري ٍر‬،ُ‫يد الْ َف ِقيو‬
ْ ِ‫َخبَ َرََن أَبُو َعْب ِد اَّلل‬
ُ ِ‫الَاف‬
ْ‫أ‬
َ ُ
ٍ ِ‫يد بن ََيَي ب ِن سع‬
ِ
‫ َع ْن‬،‫ َع ِن ابْ ِن ُجَريْ ٍج‬،‫ أَن أَِِب‬،‫يد ْاأل َُم ِوي‬
َ ْ َ ْ ُ ْ ُ ‫ أَن َسع‬،‫الط ََِبي‬
ِ
َ ‫ أَن النِِب‬،َ‫ َع ْن َعائ َشة‬،‫ َع ْن عُْرَوَة‬،‫ي‬
َ ‫ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم‬
ُ‫صلى هللا‬
ِّ ‫ َع ِن الزْى ِر‬،‫وسى‬
ِ ‫ وش‬،‫ «أَُّيا امرأَةٍ نُ ِكحت بِغَ ِي إِ ْذ ِن ولِيِها‬:‫ال‬
‫اى َد ْي َع ْد ٍل‬
َ َ‫َعلَْي ِو َو َسل َم ق‬
َ َ َّ َ
ْ ْ َ
َْ َ
116
ِ
ِ
)‫(رَواهُ البَ ْي َه ِقي‬
ُ ‫فَن َك‬
َ ‫اح َها َبط ٌل‬
“ Telah mengabarkan kepada kami, Abdullah bin al Hafîdz, saya Abû
al Walîd al Fakîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabariy, saya Sa‟îd
bin Yahya bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân
bin Musâ dari Az Zuhriy, dari Urwah dari „Ậisyah, bahwa Nabi SAW
bersabda,” Seiap wanita yang menikah tanpa izin wali dan dua orang
saksi yang adil, maka nikahnya batil (tidak sah)”(HR. Al Baihaqi).
115
Imam al-Baihaqi, as-Sunan as-Shaghîr Li al- Baihaqi, Jilid III, ( Pakistan: Jamiah
Dirâsah Al Islâmiyah,1410) h. 21 No. 2383
116
Imam al-Baihaqi, as-Sunan as-Shaghîr Li al- Baihaqi, Jilid III, h. 20 No. 2382
53
Dari kedua hadits diatas, jika wali dan saksi ada maka hukum
menikahnya adalah sah, adapun kemudian syariat menganjurkan untuk
menyiarkan pernikahan tersebut kepada khalayak dengan tabuhan rebana,
atau pesta meriah sebagai tambahan dari kesaksian tersebut”.117
Pendapat kedua menyebutkan bahwa kesaksian yang disembunyikan dapat
menghilangkan ruh dari kesaksian itu sendiri dengan kata lain maka salah
tujuan dari sebuah pernikahan adalah diumumkan kepada khalayak, sehingga
merahasiakan sebuah pernikahan berlawanan dengan tujuan syariat
(maqâshid syarîat).
Rasulullah bersabda:
‫ َع ْن ُُمَم ِد‬،‫َخبَ َرََن أَبُو بَ ْل ٍج‬
َ َ‫ َحدثَنَا ُى َشْي ٌم ق‬:‫ال‬
َ َ‫َْحَ ُد بْ ُن َمنِي ٍع ق‬
ْ ‫َحدثَنَا أ‬
ْ ‫ أ‬:‫ال‬
ِ ُ ‫ال رس‬
ِ
ِ ‫ب ِن ح‬
ٍ ‫اط‬
‫ص ُل َما‬
َ َ‫ب اْلُ َم ِح ِّي ق‬
ْ َ‫ «ف‬:‫صلى اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم‬
َ ‫ول اَّلل‬
َ ْ
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬
ِ ِ ِ ‫ الدف والصوت (رواه‬،‫ب ي الرِام وال ًَل ِل‬
118
)‫ي‬
ّ ُ ََ ُ ْ َ
َ َ ََ َ ْ َ
َ ‫الّتمْيذ‬
“ Telah menceritakan kepada kamu, Ahmad bin Munî‟ berkata,telah
menceritakan kepada kami Husyaim berkata, telah mengabarkan
kepada kami Abû Balj, dari Muhammad bin Hâtib al Jumahîy, ia
berkata, “Rasûlullâh bersabda,” Pemisah antara halal dan haram
adalah memukul rebana dan suara”.(HR. At Tirmîzi)
Hadits diatas menunjukkan bahwa pemisah antara halal dan haram,
maksudnya adalah halalnya pernikahan dan haramnya perzinahan adalah
dengan sebuah pernikahan yang dirayakan dan diumumkan kepada khalayak
ramai, jika zaman dahulu dengan menabuh rebana atau suara.
Menurut Musthafa Lutfi, mengumumkan pernikahan adalah sebuah
keharusan dalam sebuah pernikahan, karena banyak manfaat yang bisa
diperoleh dari pengumuman pernikahan ini, diantaranya:119
1. Menjauhkan prasangka buruk (isu) yang bisa terjadi dengan menganggap
pasangan tersebut adalah pasangan kumpul kebo.
117117
Mushthafâ Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 47
118
Imam at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizî, Jilid III, (Mesir: Syarikah Musthafa al-Babî
al-Halbî, 1395 H) h. 893 No. 1088, Tahqiq: Muhammad Syâkir dan Muhammad Fuad Abdul
Bâqi
119
Mushthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 29
54
2. Melindungi hak-hak istri dan anak terkait nafkah, khususnya dalam hal
warisan, hak asuh anak dan hak-hak perlindungan anak.
Menurut Darmawati, nikah sirri memiliki tiga kategori berdasarkan
pelaku dan efek yang ditimbulkannya120 :
Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan secara
agama (syariat Islam) namun belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama oleh
petugas pencatat nikah. Juga belum diadakan acara walimatul ursy oleh pihak
keluarga. Motif yang mendasari model nikah sirri in biasanya alasan
persiapan baik usia maupun materi.
Kedua,nikah sirri sebagai nikah yang sudah sah secara agama dan syariat
islam, dan sudah di catatkan di kantor Urusan Agama oleh petugas pencatat
nikah, namun belum diumumkan kepada masyarakat, motif yang mendasari
nikah model ini biasanya usia salah satu atau kedua pasangan yang belum
cukup umur maupun materi yang hendak digunakan untuk melangsungkan
pernikahan belum memcukupi.
Ketiga, nikah sirri sebagai nikah yang dilakukan secara syariat Islam namun
secara hukum nasional belum dicatatkan di kantor Urusan Agama karena
terbentur perizinan. Motifnya adalah unsur pemenuhan biologis untuk
berpoligami namun tersandung Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983.
Beberapa istilah lain terkait nikah sirri yang dikenal dalam dunia Arab.121
1. Nikah „Urfi
Secara bahasa „Urf berasal dari kata
Mansûr al Azharî, berasal dari kata:
‫ف‬
َ ‫ َعَر‬, seperti disebutkan oleh
Abû
ِ ُ ‫ف ي ع ِر‬
ً‫وم ْع ِرفَة‬
ْ َ َ ‫َعَر‬
َ ً‫ف عْرفَاَن‬
122
“‟Arafa, ya‟rifu, irfanan wa ma‟rifatan. Artinya mengetahui atau
pengetahuan.”
Beliau menyebutkan bahwa „urf adalah:
123
‫الَِْي َوتَْب َسأَ بِِو َوتَطْ َمئِن إِلَْي ِو‬
ْ ‫س ِم ْن‬
ُ ‫َوُى َو ُكل َما تَ َعرفَوُ الن ْف‬
“Yaitu setiap yang dikenal oleh jiwa dari kebaikan dan diterima serta
membuat tenang.”
120
Darmawati, Nikah Sirri, Di Bawah Tangan Dan Status Anaknya, dalam Jurnal Al
Risalah Vol. X no 1 Mei 2010, h. 37
121
Mushthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 55-67
122
Abû Manshûr al Azhari, Tahzib al Lughah, Jilid II, (Beirut: Dâr Ihyâ at
Turats,1338) h. 207
123
Abû Manshûr al-Azhari, Tahzib al-Lughah, Jilid II, h. 208
55
Abdul Baqi Muhammad al Farj al Ham menyebutkan bahwa salah satu
definisi dari nikah misyar, adalah seorang laki-laki menulis di secarik kertas
kepada seorang wanita meminta persetujuan wanita tersebut menjadi istrinya,
dengan disaksikan oleh dua orang saksi, lalu dibuatlah rangkap dua masingmasing pihak memegang, dan jenis pernikahan ini kehilangan mayoritas
syarat pernikahan yang sah secara syariat, seperti wali dan saksi yang
diperintahkan dalam syariat. 124
Pernikahan seperti ini tidak sah dengan beberapa konsiderannya yaitu: 125
a. Tidak ada wali, seperti telah penulis sebutkan diatas, bahwa tidak sah
sebuah pernikahan tanpa wali
b. Tidak ada saksi, sebuah pernikahan yang tidak memiliki saksi maka
hukumnya adalah tidak sah seperti hadits yang sudah penulis sebutkan
diatas.
c. Tidak ada akad, karena sebuah pernikahan jika akadnya tidak terpenuhi,
maka tujuan umum pernikahan seperti menghadirkan ketenangan dalam
rumah tangga dan melahirkan keturunan.
d. Nikah „urfi hanya bentuk fisik saja, namun dilihat dari isi adalah jauh
dari nikah yang sah.
e. Pernikahan semacam ini menyebabkan rusaknya sendi-sendi masyarakat,
rawan terjadi permusuhan dan pertengkarang yang tidak diajarkan oleh
syariat.
2. Nikah Misyar
Kalangan ulama klasik belum dikenal istilah nikah Misyar, meski dikenal
dengan an nahariyat yaitu pernikahan dimana suami hanya menemui istri
pada siang hari saja, atau pernikahan yang dimana suami hanya menemui istri
pada malam hari saja yang selanjutnya dikenal dengan istilah lailiyat.126
Nikah misyar merupakan nikah yang memiliki unsur sirri, karena berisi
kesepakatan untuk merahasiakan, dan juga tidak dicatatkan di dalam lembaga
pernikahan yang berwenang. Inti dari nikah misyar adalah pelepasan dari
sebagian hak istri, biasanya nikah misyar merupakan pernikahan kedua dan
seterusnya (poligami) antara istri tua dan istri yang lebih muda. Hak-hak istri
yang dilepaskan (tanazul) adalah seperti tempat tinggal, nafkah dan giliran.
3. Nikah Fahul
Nikah Fahul pada sebagian wilayah Arab sama dengan nikah misyar, kata
fahul sendiri berasal dari bahsa Arab Fahl, artinya banteng jantan. Suami
dikiaskan sebagai pejantan untuk istri barunya. Lalu kembali kepad aistri
124
Abdul Baqi Muhammad Farj al Ham, al Hukm as Syar‟i li Zawaj al „Urfi, dalam
Jurnal Universitas Bukh al Ruda, No. 09 Desember 2013 h. 20
125
Abdul Baqi Muhammad Farj al Ham, al Hukm as Syar‟i li Zawaj al „Urfi, dalam
Jurnal Universitas Bukh al Ruda, No. 09 Desember 2013 h. 27
126
Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. h. 53
56
lamanya. Dimana sebagian hak-hak istri baru, dilepaskan untuk hak-hak istri
yang lama.
4. Nikah Malfa
Ilustrasinya hampir sama dengan nikah misyar, seorang pria desa berniaga ke
kota dalam beberapa waktu lamanya, kemudian di kota ia menikah, namun
sebagian hak istrinya dilepaskan. Sang istri baru mendapatkan giliran saat
sang suami pergi ke kota kembali. Malfa dalam bahasa Arab dikenal sebagai
istilah untuk tempat beristirahat dan duduk selama berada di kota.
5. Nikah Masâfah
Hampir sama dengan nikah misyar, ilustrasinya ketika suami yang sudah
beristri harus pindah ke wilayah atau negara lain karena usaha atau karena
pekerjaan, lalu Karena khawatir terjerumus kedalam dosa zina, ia menikah
dengan wanita yang berada di wilayahnya sekarang, sementara istri lamanya
berada jauh darinya. Adapun ketentuannya mirip dengan nikah misyar.
6. Nikah Ashdiqâ127
Yaitu sebuah pernikahan antara teman laki-laki dan teman perempuan
yang dalam jangka waktu tertentu mau melangsungkan pernikahan dan hidup
bersama. Pernikahan jenis ini masing-masing pihak tidak dipersatukan
didalam rumah tangga, tetapi bertemu pada suatu tempat untuk jangka waktu
tertentu. Selain dari jenis pernikahan yang ada diatas, yang motif rahasia atau
sirrinya jelas terlihat jelas, namun menurut hemat penulis, jeni-jenis
pernikahan diatas secara umum tidak akan tercapai tujuan sebuah pernikahan,
terkait dengan maksud-maksud syariat didalam ajaran perkawinan, oleh
karena itu alangkah baiknya jika pernikahan diatas di batalkan demi hukum
dan kemaslahatan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
7. Nikah Mut‟ah
Kata mut‟ah dalam Bahasa Arab berarti Sesutu yang dinikmati atau
diberikan untuk dinikmati. Misalnya sebagai ganti rugi kepada istri yang
diceraikan. Sedangkan kata kerja tamatta‟a dan istamta‟a berasal dari asal
kata yang sama, yang berarti menikmati atau bernikmat-nikmat dengan
sesuatu.128
Dalam kajian fikih Ar Rayâni, dari kalangan Syafi‟iyyah menyebutkan:
ِ ِ ِ َ َ‫ق‬
‫ك َع ْن ابْ ِن ِش َهاٍب َع ْن َعْب ِد هللاِ َوالَ َس ِن‬
ٌ ِ‫َخبَ َرََن َمال‬
ْ ‫ "أ‬:ُ‫ال الشافعي َرْحَوُ هللا‬
ِ ِ
‫لي َع ْن أَبِي ِه َما َع ْن َعلِ ِّي َر ِض َي هللاُ َعْنوُ أَن النِِب ملسو هيلع هللا ىلص نّ ّهى‬
ِّ ‫ابْ َِن ُمَمد بْن َع‬
127
Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Definisi, Asal Usul, Hukum
Serta Pendapat Ulama Salaf dan Khalaf. H. 63
128
Al-Musâwi, A. Syarafuddin, al-Fusûl al-Muhimmah Fî Ta‟lifil Ummah,
Terjemahan Mukhlis BA, Isu-isu penting Ikhtilaf, ( Bandung: Mizan, 1989) h. 87
57
ِ
ِِ
ِ
ِ
ِ ِ‫ وإِ ْن ك‬:‫ال‬
‫ان‬
َ َ َ‫ ق‬،‫يَ ْوَم َخْي بَ َر َع ْن ن َكا ِح املُْت َعة َوأَ ْك ِل ُلُوم الُ ُم ِر األ َْىلية‬
ِ
ِ
‫ي أَن النِِب‬
ُ ‫َحد‬
ٌ ِّ َ‫الع ِزي ِز بْ ِن عُ َمَر َع ْن البِي ِع بْ ِن َسْب َرةَ ًَثبِتًا فَ ُه َو ُمب‬
َ ‫يث َعْبد‬
ِ :‫ال‬
129 ِ
ِ ‫ملسو هيلع هللا ىلص أ‬
"‫"ى َي َحَر ٌام إِ ََل يَ ْوم اَ ِلقيَ َامة‬
َ َ‫اح ُُث ق‬
َ
َ ‫َحل ن َك‬
“ Berkata As Syâfi‟i rahimahullâh,”Telah mengabarkan kepadaku
Mâlik, dari Ibnu Syihâb dari Abdullâh dan Hasan putra Muhammad bin
Ali dari ayah mereka dari Ali Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi
Muhammad SAW melarang nikah Mut‟ah pada perang Khaibar dan
melarang memakan daging keledai jinak (ahliyah). Pada hadits Abdul
„Aziz bin „Umar dari Allabi‟ bin Sabrah kuat dan menjelaskan bahwa
Nabi SAW pernah membolehkan, namun kemudian bersabda,”Nikah
Mut‟ah hukumnya haram hingga hari kiamat”.130
Dikalangan Fukaha nikah mut‟ah dikenal dengan nikah muaqqat (sementara)
tergantung waktu, juga dikenal dengan istilah al Zawaj al Munqathi‟ (nikah
terputus) karena seseorang melangsungkan nikah untuk waktu sehari,
seminggu atau batas waktu tertentu kemudian berakhir atau terputus.131
Dalam perkembangannya nikah mut‟ah lebih dikenal dengan nikah yang
diamalkan oleh penganut Syiah. Menurut Syiah, nikah mut‟ah boleh dan
pelakunya akan mendapat pahala yang besar. Ulama syiah juga
membolehkan nikah mut‟ah (kawin kontrak) dengan wanita manapun baik
masih gadis atau sudah bersuami, bahkan boleh nikah mut‟ah dengan pelacur.
Seperti disebutkan dalam masalah ke depalan belas:
ِ ‫ََيوز التمت ِع ِبلزاَنِي ِة على َكر ِاىي ٍة خصوصا لَو َكانَت ِمن اْلعو ِاى ِر ال م ْشهور‬
‫ات‬
َُ َ
ََ ْ ْ ْ ً َ َ َ َ َ َ َ ّ َ ُ ُ
132 ِ ِ
َ‫ب ّلزَن‬
“ Boleh Mut‟ah dengan pelacur meski tidak dianjurkan,khususnya jika
wanita tersebut sebagai pelacur yang sudah terkenal pezina.”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa keharaman
kawin mut‟ah yang ditanda tangani pada 22 Jumadil Akhir 1418/25 Oktober
1997. Menurut fatwa tersebut, penghalalan mut‟ah bertentangan dengan
129
Abû al-Mahâsin Ar Rûyânî, Bahr al Mazhab, Jilid IX, ( tt.p: Dâr al Kutub al
Ilmiyah,2009 M) h.319, Tahqiq Thâriq Fathi Sa‟îd)
130
Nabi pernah membolehkan nikah mu‟tah pada awal Islam, namun kemudian
hukum ini dinasakh (dihapuskan) hingga hari kiamat.
131
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Pertama,h. 77
132
Al-Khamaini, Tahrîr al-Wasîlah, Jilid II (Iran,: Maktabah as Syârqai lil
Ma‟lûmât ad Dîniyyah, 1418H) h. 260
58
semnagat dan esensi pernikahan seperti yang sudah dijelaskan dalam firman
Allah:
ِ
ِ
ِ ِ
ِ
‫ت‬
ْ ‫) إِل َعلَى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك‬5( ‫ين ُى ْم ل ُفُروج ِه ْم َحافظُو َن‬
َ ‫َوالذ‬
ِ ‫ومي )امل‬
ِ ُ‫أَُّْيَانُهم فَِإن هم َغي ر مل‬
(٦-٥ : [۱۱] ‫ؤمنُون‬
َ
َ ُْ ْ ُ ْ ُ
ُ
„Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela.”(QS. Al Mu‟minûn [23]:5-6).
Muhammad Thâhir bin Asyûr menafsirkan ayat ini dengan mengungkapkan
maknanya yaitu:
133
ِ‫اَ ْل‬
ِ :‫ظ‬
ِْ ‫الصيَانَةُ و‬
‫َي َع ِن الْ َو ْط ِء‬
‫ف‬
ُ ‫ َو ِح ْف‬.‫اك‬
ُ ‫اْل ْم َس‬
ُ
ْ
ٌ ُ‫ظ الْ َفْرِج َم ْعل‬
ّ
ْ ‫ أ‬،‫وم‬
َ
“Kata al hifzu, bermakna menjaga dan menahan, maksudnya menjaga
kemaluan dari persetubuhan”.
Ayat ini menjelaskan tentang persetubuhan yang dibenarkan hanya dengan
orang yang sudah halal dan berfungsi sebagai istri atau (jâriah).134
Sedangkan wanita yang dinikahi dengan cara mut‟ah hakikatnya tidak
berfungsi sebagai istri karena akadnya tidak sesuai dengan akad nikah yang
dibenarkan syariat dengan beberapa alasan:135
1. Tidak saling mewarisi
2. Iddah muta‟ah adalah iddah sementara sesuai waktu yang diinginkan
pelaku (iddah muaqqat) tidak seperti iddah nikah sesuai syariat („iddah
dâim).
3. Sang suami boleh beristri lebih dari yang syariat bolehkan yaitu empat
wanita, sedangkan dalam mut‟ah jumlah istri tidak dibatasi.
4. Seorang yang melakukan praktek mut‟ah sesungguhnya tidak dianggap
sebagai orang yang memiliki istri (muhshân) karena orang tersebut
temasuk orang yang melampaui batas.
Majelis Ulama Indonesia juga menyebutkan dalil dari Rasulullah hadits
Rasulullah SAW:
133
Muhammad Thâhir bin Asyûr, At Tahrîr wa At Tanwîr, j. 18 h. 13
Jariah, adalah budak wanita yang pada zaman dahulu dihalalkan, setelah islam
datang perlahan-lahan menghapus syariat perbudakan karena manusia terlahir dalam kondisi
merdeka.
135
Tim Penulis Majelis Ulama Indonesia Pusat, Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syiah di Indonesia, (Jakarta: Forum Masjid Ahlu Sunnah,2013) h. 82-83
134
59
،‫ َحدثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن عُ َمَر‬،‫ َحدثَنَا أَِِب‬،‫َحدثَنَا ُُمَم ُد بْ ُن َعْب ِد هللاِ بْ ِن ُُنٍَْي‬
ِ ِ
‫صلى‬
ْ َ‫يع بْ ُن َسْب َرة‬
َ ‫ أَنوُ َكا َن َم َع َر ُسول هللا‬،ُ‫ َحدثَو‬،ُ‫ أَن أ ََبه‬،‫اْلَُه ِِن‬
ُ ِ‫َحدثَِِن الرب‬
ِ ‫ إِِن قَ ْد ُكْن‬،‫ «اي أَي ها الناس‬:‫ال‬
ِ
‫ت لَ ُك ْم ِِف‬
ّ ُ
ُ ْ‫ت أَذن‬
ُ
َ َ َ ‫هللاُ َعلَْيو َو َسل َم فَ َق‬
ِ
ِ
ِ
‫ فَ َم ْن َكا َن‬،‫ك إِ ََل يَ ْوِم الْ ِقيَ َام ِة‬
َ ‫ َوإِن هللاَ قَ ْد َحرَم ذَل‬،‫ال ْستِ ْمتَ ِاع ِم َن النِّ َساء‬
ِ ‫ وَل َتْخ ُذوا‬،‫ِعنده ِمن هن شيء فَ ْليخ ِل سبِيلَو‬
‫وىن َشْي ئًا(رو ُاه‬
‫م‬
‫ت‬
‫ي‬
‫آت‬
‫ا‬
‫ِم‬
َ
ُ
ُ ُْ
ُ َ َ ُ َ ّ َ ُ ٌ ْ َ ُْ َُْ
136 ِ
)‫ُم ْسل ٌم‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin
Numair, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami, Abdul „Aziz bin „Umar, telah menceritakan kepada kami,
ar Rabi‟ bin Sabrah al Juhani, bahwa ayahnya bercerita saat bersama
Rasulullah SAW dan beliau bersabda,” Wahai manusia, sesungguhnya
aku telah mengizinkan kalian mut‟ah dari wanita, sesungguhnya Allah
telah mengharamkannya hingga hari kiamat, barang siapa yang masih
memiliki mereka hendaklah melepaskannya, dan janganlah kamu
mengambil apa yang telah kamu berikan kepada mereka”. (HR.
Muslim)
Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa mut‟ah tidak termasuk
kedalam nikah yang sesuai dengan syariat karena syarat, rukun dan maqashid
dalam pernikahan tidak dijumpai dalam mut‟ah. Dan jika diperhatikan
kronologis dan ketentuan dalam kitabnya Khamaini yang membahas tentang
az Zawaj al Munqathi‟ (mut‟ah) argument serta ketetuan yang dibuat
didalamnya sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan syahwat
pribadi saja, tidak mencerminkan sikap-sikap seorang yang memahami ajaran
islam yang benar sebagaimana Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya.
Oleh karena itu penulis setuju dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI
terkait haramnya nikah mut‟ah seperti di sebutkan dalam fatwanya tertanggal,
25 Oktober 1997:137
1. Nikah mut‟ah hukumnya adalah haram.
2. Pelaku nikah mut‟ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku
136
Imam Muslim, Sahih Muslim, Jilid II h. 1025, No. 1406
Fatwa MUI tanggal 25 Oktober 1997 tentan Nikah Mut‟ah
137
60
Fatwa yang digagas Majelis Ulama Indonesia sudah sangat jelas dan tegas
melarang praktek mut‟ah, karena tidak sesuai dengan aspek syariat maupun
sosial. Sehingga pihak-pihak yang setuju dengan mut‟ah pada dasarnya hanya
dorongan kebutuhan seksual yang menyimpang di mencari pembenaran agar
tindakannya sesuai dengan syariat, dan ini jelas-jelas merupakan perbuatan
zina yang atas nama agama.
C. Nikah Di Bawah Tangan
Jika dilihat dari pengertian nikah sirri diatas, nikah dibawah tangan
secara umum termasuk jenis pernikahan yang memiliki “motiv” dari nikah
sirri, dalam hal tersembunyi dan tidak diumumkan kepada khalayak
sebagaimana nikah resmi. Menurut Darmawati, istilah nikah dibawah tangan
muncul setelah lahirnya Undang-Undang Pernikahan 1 Oktober 1975.138
Nikah dibawah tangan sebenarnya sudah tercukupi syarat dan rukun
nikah, dengan adanya kedua mempelai, wali nikah, Mahar, ijab Kabul dan
dua orang saksi. Namun pernikahan ini tidak disyiarkan kepada khalayak dan
tidak di catatkan dalam kantor urusan agama oleh petugas pencatat nikah.
Dengan berbagai pertimbangan, bisa mengandung unsur kesengajaan, untuk
menyembunyikan status dan motiv lainnya. Dengan kata lain, pernikahan ini
sah secara agama, namun tidak di catatkan. Menurut Undang-Undang
perkawinan, setiap pernikahan harus dicatatkan, seperti tertera didalam pasal
2 berikut:139
Ayat1:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
Ayat 2:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Terkait dengan pernikahan dibawah tangan, Majelis Ulama Indonesia
dalam fatwanya menyebutkan, bahwa nikah dibawah tangan jika syarat dan
rukunnya dipenuhi maka hukumnya sah, dan hukum pernikahannya boleh,
namun jika dikemudian hari terdapat bahaya atau mudharat yang ditimbulkan
maka pernikahan tersebut hukumnya menjadi haram. MUI juga beberapa
pertimbangan dalil baik dari Al Qur‟an, hadits maupun pendapat para ulama,
diantara pertimbangannya adalah:
Firman Allah:
138
Darmawati, “Nikah Sirri, Nikah dibawah Tangan dan Status Anaknya” dalam
Jurnal Ar Risalah: Vol. 10 No. 1 Mei 2010, , h.38
139
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2
61
ِ
ِ
ِِ ‫وِمن‬
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم‬
ً ‫آايتو أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
َ ْ َ
ِ
ٍ ‫ك ََلاي‬
ِ
‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َفكُرو َن‬
َ َ ‫َم َودةً َوَر ْْحَةً إن ِِف ذَل‬
(۱۱: [۱. ]‫(س ْوَرةُ الر ْوم‬
ُ
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan Dia menjadikan
diantaramurasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itubenarbenar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir”. (QS. Ar Rûm [30]:21)
Ibnu Asyûr ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa Allah
menjadikan pasangan dari jenis manusia karena tidak mungkin akan tercapai
tujuan pernikahan seperti berkembang biak antara manusia dan hewan, Allah
juga menjadikan pasangan suami dan istri yang dahulu sebelum menikah
tidak saling mengenal dan memahami, setelah menikah menjadi pasangan
yang saling mencintai karena Allah, sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kebesaran Allah pada orang-orang yang berfikir, karena
dengan berfikir manusia dapat mengetahui rahasia nikmat Allah dan syariat
Allah dalam pernikahan.140
Majelis Ulama Indonesia juga berpandangan bahwa salah satu untuk
menutup pintu keburukan (sad ad zarî‟ah) adalah dengan mengumumkan
pernikahan. Karena dengan mengumumkan pernikahan maka fitnah dan
prasangka buruk terhadap dua orang yang berpasangan akan terhindari.
Seperti disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW untuk mengadakan
walimah ( resepsi) sebagai bentuk kabar gembira kepada masyarakat dan
pemberitahuan:
ٍ
ٍ ‫ك؛ أَن عب َد الر ْْح ِن بن عو‬
ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
‫ َجاءَ إِ ََل‬،‫ف‬
َْ
َ ْ ِ َ‫ َع ْن أَن‬،‫َع ْن ُْحَْيد الط ِو ِيل‬
َْ َ ْ
ِ ُ ‫ فَسأَلَو رس‬،ٍ‫ وبِِو أَثَر ص ْفرة‬،‫ول هللاِ ملسو هيلع هللا ىلص‬
ِ ‫رس‬
.‫َخبَ َرهُ أَنوُ تََزو َج‬
ْ ‫ فَأ‬،‫ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬
َُُ َ َ ُ ُ َ
َُ
140
Ibnu Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, J. 21 h. 71
62
ِ ُ ‫ال رس‬
ٍ ‫ ِزنَةَ نَواةٍ ِم ْن َذ َى‬:‫ال‬
‫ال‬
َ ‫فَ َق‬.‫ب‬
َ َ‫ ق‬.»‫ت إِلَْي َها؟‬
َ ‫ « َك ْم ُس ْق‬:‫ول هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬
ُ َ َ ‫فَ َق‬
َ
ِ
141
)‫ك‬
ُ ‫َر ُس‬
ٌ ِ‫) َرواهُ ماَل‬.»ٍ‫ َولَْو بِ َشاة‬،ْ‫ «أ َْوَل‬:‫ول هللاِ ملسو هيلع هللا ىلص‬
Dari Humaid at Thawîl dari Anas bin Mâlik Bahwasanya
Abdurrahman bin Auf datang kepada Rasulullah, ada bekas
wewangian dibajunya, lalu rasulullah bertanya, dan Abdurrahman bin
Auf mengabarkan bahwa ia sudah menikah. Maka Rasulullah
bersabda,”Berapkah mahar yang kamu berikan kepadanya?,
Abdurrahman bin Auf menjawab,” Sekitar 5 dirham,” lalu Rasulullah
bersabda,” Laksanakanlah walimah (resepsi) meski dengan
menyembelih seekor kambing”.(HR. Malik)
Imam Ibnu Hajar al Atsqalani dalam syarah hadits Sahih Bukhari
menyebutkan bahwa batasan satu ekor kambing adalah batasan minimal bagi
walimah jika kondisi lapang dalam hal rezeki. Meskipun sebagian ulama
seperti „Iyad tidak memberikan batasan tertentu dalam hal walimah.142
Majelis Ulama Indonesia juga mengaitkan nikah dibawah tangan dengan
pencatatan nikah, karena pernikahan yang dicatatkan pada lembaga yang
berwenang yang diatur oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk
ketaatan kepada ulil amri (pemimpin).
Karena pernikahan yang tidak dicatatkan dalam lembaga resmi
pemerintah memungkinkan terjadinya kerusakan atau mudharat yang
mungkin saja bisa terjadi dalam sebuah pernikahan. Sehingga usaha untuk
menutup jalan mudharat didahululan dari pada mengambil manfaat dari
pernikahan dibawah tanga tersebut.
Imam As Suyuthi menyatakan kaidah fikih:
ِ ‫ب الْم‬
ِ ‫اس ِد أَوََل‬
ِ ‫درء الْم َف‬
ِ
; ٌ‫صلَ َحة‬
‫ل‬
‫ج‬
‫ن‬
‫م‬
ْ
ْ ‫ض َم ْف َس َدةٌ َوَم‬
َ ‫صال ِح " فَِإ َذا تَ َع َار‬
َ َ
َ ْ ْ
َ ُ َْ
ِ ‫ ِألَن اعتِنَاء الشا ِرِع ِبلْمْن ِهي‬،‫قُ ِّدم دفْع الْم ْفس َدةِ َغالِبا‬
‫َشد ِم ْن ْاعتِنَائِِو‬
َ ‫ات أ‬
ً
َ
َ ْ
َ َ ُ ََ
.143‫ِبلْمأْمورات‬
ََُ
141
Imam Mâlik, al-Muwatha, Jilid III, ( Abu Dhabi: Muassasah Zaid bin Sulthân Ali
Nahyân lil A‟mal al-Khairiyah al-Insâniyyah, 1425H) h.783 No. 2006
142
Ibnu Hajar al-Atsqalanî, Fath al-Bâri Syarh Sahih al-Bukhâri, Jilid IX (Beirut:
Dâr al Ma‟rifah, 1379H) h. 237 No. 5168
143
Imam as-Suyûthi, al-Asbâh wa an-Nazâir, (t.tp: Dâr al Kutub al Ilmiyah, 1411)
h. 87
63
“Mencegah kerusakan lebih utama dari mengambil manfaat, jika
mucul mafsadat (kerusakan ) dan maslahah (kebaikan), maka
didahulukan mencegah kerusakan secara umum, karena perhatian
syariat terhadap larangan-larangan lebih keras dari pada perhatian
terhadap perintah-perintah.”
D. Nikah Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh
orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu
dan lainnya, misalnya perkawinan antara seorang pria muslim dengan
seorang wanita Kristen protestan atau sebaliknya144
Menurut Siska Lis Sulistiani , perkawinan beda agama terbagi menjadi empat
bentuk145:
1. Perkawinan antara pria muslim dan ahlu al kitab
2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
3. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria ahlu al kitab
4. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria musyrik yang bukan
ahlu al kitab.
Dari klasifikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan beda agama adalah, perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang memiliki perbedaan agama dan kepercayaan atau keyakinan. Di
dalam Al Qur‟an terdapat dua ayat yang menjadi dasar pijakan hukum
menikah dengan orang yang berbeda agama yaitu:
a. Surat Al Baqarah ayat 221
ِ ‫وَل تَْن ِكحوا الْم ْش ِرَك‬
‫ات َحَّت يُ ْؤِمن َوَأل ََمةٌ ُم ْؤِمنَةٌ َخْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو‬
ُ ُ
َ
ِ
ِ
‫ي َحَّت يُ ْؤِمنُوا َولَ َعْب ٌد ُم ْؤِم ٌن َخْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِرٍك‬
َ ‫أ َْع َجبَ ْت ُك ْم َوَل تُْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬
‫ك يَ ْدعُو َن إِ ََل النا ِر َواَّللُ يَ ْدعُو إِ ََل ا ْْلَن ِة َوالْ َم ْغ ِفَرةِ ِبِِ ْذنِِو‬
َ ِ‫َولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم أُولَئ‬
ِ ‫آايتِِو لِلن‬
) ۱۱۱: [۱ ]‫ (البَ َقَرْة‬.‫اس لَ َعل ُه ْم يَتَ َذكُرون‬
ُ ِّ َ‫َويُب‬
َ ‫ي‬
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
144
Abdurrachman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah hukum Perkawinan di
Indonesia, ( Bandung: Alumni, 1978) h. 20
145
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama, h.
45
64
musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke Syurga dan ampunan dengan izinnya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-pertintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah
[2]:221)
b. Surat Al Maidah ayat 5
ِ ‫الْي وم أ ُِحل لَ ُكم الطيِبات وطَعام ال‬
ِ
‫اب ِحل لَ ُك ْم َوطَ َع ُام ُك ْم‬
‫ذ‬
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬
ََْ
َ ُ َ َ ُ َّ ُ
ِ ِ ‫ات والْمحصن‬
ِ ِ
ِ َ‫ِحل َِلم والْمحصن‬
‫ين أُوتُوا‬
ُ َ َ ْ ُ َ َ‫ات م َن الْ ُم ْؤمن‬
ُ َ ْ ُ َ ُْ
َ ‫ات م َن الذ‬
ِِ
ِِ
ِ ْ‫ال‬
ِ‫اب ِمن قَ ْبلِ ُكم إ‬
‫ي َوَل‬
‫ُج‬
‫أ‬
‫ن‬
‫وى‬
‫م‬
‫ت‬
‫ي‬
‫آت‬
‫ا‬
‫ذ‬
‫ت‬
‫ك‬
َ
َ
ُ
َ
َ ‫ي َغْي َر ُم َسافح‬
َ ‫ورُىن ُُْمصن‬
ُ
ْ
َ
ُ
ْ
َ
ُ
ْ
ِ َ‫مت ِخ ِذي أَخ َد ٍان ومن ي ْك ُفر ِبِْْلُّي‬
‫ط َع َملُوُ َوُى َو ِِف ْاَل ِخَرةِ ِم َن‬
َ ِ‫ان فَ َق ْد َحب‬
ُ
ْ َ ْ ََ ْ
ِ ‫ال‬
ِ
(٥: [ ٥]‫) اَل َمائِ َدة‬. ‫ين‬
‫ر‬
‫اس‬
َ َْ
“Pada hati ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan kamu
mengawini) wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidk dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikan gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum) islam maka hapuslah amalnya dan ia
di hari akhir termasuk orang-orang yang merugi” ( QS. Al Maidah
[5]: 5)
Sedangkan Ahmad Sukarja mengklasifikasikan perkawinan orang islam
dengan bukan Islam menjadi empat golongan146 yaitu:
1. Kaum musyrikin dan ahlul kitab
Al Jaziry membagi non muslim dalam tiga golongan:
Pertama, golongan yang tidak berkitab samawi atau semacamnya, seperti
menyembah berhala, orang-orang murtad masuk dalam golongan ini.
Kedua,golongan Majusi yang menyembah api, dan ketiga, Yahudi yang
146
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jilid I ( Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan, 2008) h. 10
65
percaya kepada Taurat dan orang Nasrani yang percaya kepada Turat dan
Injil secara bersama.147
Sedangkan Syekh Yusuf Al Qaradhâwi membagi golongan non muslim atas
Musyrik, Murtad, Baha‟i dan Ahlul Kitab.148
2. Non muslim memeluk islam
Perkawinan mereka sah bila memenuhi syarat dan rukun perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam.
3. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam
Kesepakatan pendapat tentang haram hukumnya seorang wanita islam
menikah dengan lelaki non muslim sudah ada sejak zaman Rasulullah. Dalil
keharamannya adalah firman Allah didalam Al Qur‟an”
”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. ( QS.
Al Baqarah [2]:221)
4. Laki-laki islam dengan wanita bukan islam
a. Wanita musyrik dan wanita murtad
Seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita musyrik adalah haram
secara mullak, berdasarkan Al Qur‟an:
“ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik walaupun dia menarik hatimu ( QS. Al Baqarah [2]:221)
Sedangkan wanita murtad (keluar) dari agama Islam dia dianggap tidak
beragama sama sekali, sekalipun ia pindah keagama Samawi.
b. Wanita ahlul kitab
Muncul perbedaan dikalangan ulama tentang kebolehan pernikahan seorang
laki-laki dengan wanita ahlul kitab, titik perbedaan tersebut terkait
kedudukan wanita ahlul kitab.
Imam mazbah yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang
sama, yaitu wanita Kitabiyah boleh dinikahi.149
Prof. KH. Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa pandangan para ulama
tentang hukum menikahi wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah) terbagi menjadi tiga
pendapat:
Pertama, golongan yang menghalalkan
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama, berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut disebutkan dalam firman Allah:
147
al-Jazîri, Kitab al-Fikh „ala al Mazâhib al Arba‟ah, jilid IV ( Dar Ihya al Turâts
al Araby, 1969) h. 75
148
Yûsuf al-Qaradhawi, Huda al-islâm Fatwa Muashirah, ( Kairo: Dar Afaq al
Ghad, 1978) h.402-406
149
Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 19
66
ِ ِ ‫والْمحصنات ِمن ال ِذين أُوتُوا الْ ِكت‬
‫ورُىن‬
ُ ‫اب م ْن قَ ْبل ُك ْم إِ َذا آتَْي تُ ُم‬
َ َ
ُ ‫وىن أ‬
َ ‫ُج‬
َ َ ُ ََ ْ ُ َ
ِِ
ِِ
ِِ
) ٥: [٥ ]‫(اَل مَائِ َد ة‬... ‫َخ َد ٍان‬
ْ ‫ي َوَل ُمتخذي أ‬
َ ‫ي َغْي َر ُم َسافح‬
َ ‫ُُْمصن‬
…”Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara orangorang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telahmembayar
mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik…” (QS. Al
Maidah[5]:5)
Imam Tâhir bin Asyhûr menyebutkan dalam tafsirnya terkait ayat ini:
150
ِِ
‫ت ِِْل َب َح ِة الت َزو ِج ِبلْ ِكتَابِيات‬
ْ َ‫فَِإن َىذه ْاَليَةَ َجاء‬
.
“Ayat ini datang untuk membolehkan pernikahan dengan wanita Ahlul
Kitab
Dalam perjalanan syariat, ternyata para sahabat nabi Muhammad
Shalallahu alaihi wa sallam ada yang menikahi wanita kitabiyah. Logikanya
jika hal tersebut haram, tentu nabi adalah orang pertama yang akan melarang
para sahabat melakukan hal itu. Seperti yang dilakukan oleh Talhah bin
Ubaidillah.151Kedua, golongan yang mengharamkan, yaitu mereka yang
menganggap orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah termasuk kaum
musyrikin sehingga haram dinikahi. Kaum Yahudi menuhankan Uzair
sebagai anak Tuhan dan kaum Nashrani menganggap Isa bin Maryam adalah
anak Tuhan, sehingga kaum ini disebut musyrik dan haram menikah dengan
mereka152 .
Berdasarkan firman Allah:
ِ
ِ
) ۱۱۱:[۱ ] ‫ (البَ َقَرْة‬.‫ي َحَّت يُ ْؤِمنُوا‬
َ ‫َوَل تُْنك ُحوا الْ ُم ْش ِرك‬
“ Dan Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman…”(QS. Al Baqarah [2]:221)
Ketiga, golongan yang menghalalkan namun dilarang sebagai bentuk
kehati-hatian (ihtiyati). Maksudnya adalah, menikahi Ahlul Kitab dibolehkan,
akan tetapi kekhawatiran muncul jika suami sudah cinta mati dengan istrinya,
disamping sudah memiliki keturunan, sehingga bisa saja sang istri meminta
untuk cerai atau sang suami pindah agama jika ingin terus hidup bersama,
atau karena sayang dengan keturunannya. Pilihan ini di ungkapkan oleh sang
150
Muhammad Thahir bin „Ậsyur, at- Tahrir wa Tanwir, Jilid 6 (Tunisia: Dar Tunis
Li an-Nasyr,1984) h.123
151
Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al- „Arabi, 1957) h.
113
152
Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22
67
istri dengan tujuan suami mau masuk ke agamanya. Dan ini berbahaya bagi
suami yang beragama Islam. Hukum mubahnya berubah dari mutlak ke
muqayyad (terikat)153 .
Kalangan Hanafiyah berpendapat, jika wanita Ahlul Kitab berada di
wilayah dar al harb154 (wilayah perang) meendahulukan menikah dengan
mereka adalah makruh tahrim karena membawa mafsadat (kerusakan).
Sedangkan Ahlul Kitab yang tunduk kepada hukum islam, menikahi mereka
hukumnya makruh tanzih(makruh namun tidak haram)155. Malikiya memiliki
dua pendapat, pertama, nikah Kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik
Dzimmiyah maupun Harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena
ayat telah membolehkan secara mutlak, karena ayat telah membolehkan
secara mutlak. Landasannya adalah Sadd al-zari‟ah (menutup kemudharatan).
Jika mafsadatnya dikhawatirkan terjadi, maka mendahulukan nikah dengan
kitabiyah adalah haram .156
Sedangkan menurut Sayid Sabiq, menikah dengan wanita Ahlul Kitab
meskipun hukumnya boleh (jaiz) namun makruh. Karena suami tidak
terjamin aman dari fitnah dari agama istrinya.157
Syekh Yusuf al-Qardawi berpendapat, kebolehan menikah dengan ahlul kitab
tidaklah mutlak, akan tetapi terikat dengan koridor yang perlu diperhatikan,
diantaranya:
a. Ahlu Kitab tersebut benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak
atheis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi.
b. Wanita Ahlul Kitab yang muhsanat (memelihara kehormatan diri dari
perbuatan zina)
c. Ia bukan Ahlu Kitab yang kaumnya berada pada status permusuhan atau
peperangan dengan kaum Muslimin. Untuk itu perlu dibedakan antara
Dzimiyah dan Harbiyah. Dzimiyah dibolehkan dan Harbiyah dilarang.
d. Di balik pernikahan dengan Kitabiyah tidak akan terjadi, mafsadat dan
mudharat. Semakin besar kemungkinan terjadi kemudharatan, maka
makin besar pula tingkat larangan dan keharamannya158 .
153
Al Jaziry, al Fiqh „alâ Mazâhib Al Arba‟ah h. 76
Dar al Harb adalah wilayah konflik antar dua negara, diantar keduanya tidak
terkait dengan perjanjian apapun melainkan konflik perang yang bertujuan saling
mengalahkan satu dan lainnya. Dalam kondisi ini menikah dengan wanita ahlul kitab yang
berada diwiayah ini para ulama menghukuminya sebagai makruh tahrim (larangan yang
haram) karena dikhawatirkan ada siasat untuk menguasai musuh, karena perang adalah tipu
daya menguasai lawan.
155
Problematika Hukum Islam Kontemporer, h.24
156
Al Jazîy, al Fiqh „ala Mazâhib Al Arba‟ah, 76
157
Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2 ( Beirût: Dâr al Kitab Al Arabi, 1973) h.
101-102
158
Yusuf al-Qaradhawi, Huda al Islam Fatawa Mu‟asirah, h. 407
154
68
B. Kedudukan Anak Dalam Keluarga
Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut
undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun1979Tentang Kesejahteraan
Anak, pada bab I ketentuan umum pasal (1) poin (2).Yang dimaksud anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun dan
belum kawin.
Sedangkan pengertian anak menurut pasal 1 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), anak adalah
setiapSetiap manusia yang berusia 18 tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang berada di dalam kandungan. Secara biologis anak merupakan hasil
dari pertemuan sel telur seorang perempuan (ovum) dengan sel sperma lakilaki (spermatozoa) kemudian berkembang menjadi calon janin (zygot) lalu
tumbuh menjadi sel janin. Sehingga tidak mungkin seorang anak lahir tanpa
kontribusi dua belah pihak, ayah dan ibu. Secara yuridis seorang anak
kadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini dalam undang-undang
perkawinan, jika tanpa disertai perkawinan yang sah maka anak tersebut
dinamakan anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan dengan ibu
sebagai orang tuanya. Sedangkan menurut KUH Perdata menganut prinsip
tanpa adanya pengakuan dari kedua orang tuanya maka si anak tidak dapat
memiliki pengakuan secara yuridis baik dari ayah maupun ibunya.159
Sedangkan menurut hukum islam, anak memiliki arti yang sangat penting
karena dengan anak dapat diketahui hubungan sedarah (mahram) antara dia
dan ayahnya. hukum islam juga memberikan koridor bahwa anak dapat
dikatakan sah bilamana terlahir dari pernikahan yang sah sesuai syarat hukum
agama. Sedangkan anak yang terlahir diluar syarat tersebut dinamakan anak
zina atau anak luar kawin 160.
a. Anak sah
Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak
yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan161. Sedangkan menurut makna etimologi dari
beberapa kategori, diantaranya162 :
159
DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),(
Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2012) h. 7
160
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama,h.
16
161
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
h.80
162
DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),h. 39
69
1. Seorang anak yang dibenihkan dari perkawinan dan dilahirkan dalam
perkawinan yang sah.
2. Seorang anak yang dibenihkan di luar perkawinan namun, dilahirkan
dalam perkawinan yang sah.
3. Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah, namun
dilahirkan di luar perkawinan.
4. (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh
pasangan suami istri di luar rahim dan dilahirkan oleh istri.
Kemudian pada pasal 42 Undang-Undang anak sah menyebutkan,”Anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan
sah”163.
Pada pasal 250 KUH Perdata menyebutkan,” Anak yang dilahirkan atau
dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayah”.164
b. Anak luar kawin
Beradasarkan Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 bahwa anak sah
jika dilahirkan atau sebab akibat dari perkawinan yang sah165
Menurut DY Witanto beberapa faktor yang melatar belakangi anak luar
kawin antara lain166:
1. Karena usia pelaku masih dibawah usia yang diizinkan untuk menikah.
2. Belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan.
3. Perbedaan agama dan kepercayaan.
4. Akibat tindak pidana pemerkosaan.
5. Tidak mendapat restu orang tua.
6. Si laki-laki masih terikat perkawinan dengan istri sebelumnya dan tidak
mendapatkan izin poligami.
7. Sex bebas (free sex)
8. Terlibat prostistusi
Pembagian anak luar kawin terbagi menjadi dua bagian, diantaranya:
1. Anak zina
Menurut pengertian hukum Barat, seorang anak baru dapat dikategorikan
sebagai anak zina jika ia berasal dari akibat seksual yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya sedang terikat
perkawinan dengan pihak lain167. Dalam pasal 272 KUHPerdata juga
disebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (antara jejaka dan
163
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 tentang
Kedudukan Anak
164
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 250 BAB XII Tentang Kebapakan
dan Asal Keturunan Anak-Anak
165
Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
166
DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 9
167
DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 40
70
gadis) dapat diakui sekaligus di sahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan
dari hasi zina atau sumbang. Sehingga pendapat diatas menuai kontroversi,
karena seorang anak dihukumi anak zina bila dilakukan oleh seorang laki-laki
atau perempuan yang sudah menikah, hal ini jika diperhatikan dengan
seksama, dapat disimpulkan bahwa hubungan seksual diluar nikah yang
dilakukan oleh seorang jejaka dan seorang gadis tidak dianggap sebagai zina,
ini jelas bertolak belakang dengan maqashid syariah168. Al Qur‟an melarang
perbuatan zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji (fahisyah),
seperti disebutkan dalam firman Allah:
ِ َ‫الزََن إِنو َكا َن ف‬
(۱۱ : [ ۱۷ ]‫ (ا ِْل ْسَراء‬. ً‫اح َشةً َو َساءَ َسبِيًل‬
ُ ِّ ‫َوَل تَ ْقَربُوا‬
“ Dan janganlah kamu dekati zina, karena zina adalah perbuatan
yang keji, dan jalan yang buruk”. (QS. Al Isra‟[17]:32)
Abu Zahrah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat diatas adalah
larangan mendekati zina, Allah tidak mengatakan,”Janganlah berzina”.
Maksudnya Allah melarang segala perkara yang bisa menyebabkan seseorang
jatuh kedalam perbuatan zina. Seperti memegang, mencium, melihat aurat
perempuan yang tidak halal, tari-tarian yang membangkitkan syahwat, suara
wanita yang merayu mendayu, segala macam bentuk pornografi, karena
segala sarana yang menyebabkan perbuatan haram maka hukumnya adalah
haram169. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan zina adalah pihakpihak yang melakukan hubungan seksual tanpa diikat oleh akad yang sah.
Hubungan tersebut tanpa dibedakan antara yang sudah terikat pernikahan
(suami istri) maupun yang belum (jejaka dan gadis) semua sama dihukumi
zina.170
Sedangkan definisi fukahâ yang dimaksud dengan zina adalah:
171
ٍ ‫الزَِنَ إِيًلَج الذ َك ِر بَِفرِج ُُمَرٍم بِ َع‬
‫ي َخ ٍال َع ْن الشْب َه ِة ُم ْشتَ َهى‬
ّ
ُ
ّ ْ
.
“Zina adalah memasukkan zakar (alat kelamin laki-laki) kedalam faraj
(alat kelamin wanita) yang haram, bukan pula campur syubhat dan
menimbulkan kelezatan”
Ada dua istilah yang biasa digunakan bagi pelaku zina, muhsan ( jejaka
dan gadis yang belum menikah) dan ghairu muhsan ( suami atau istri atau
orang yang telah menikah). Hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah di
cambuk sebanyak 100 kali dan di asingkan dari wilayahnya selam setahun,
seperti disebutkan oleh Al Maqdisi:
168
Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 122-123
Abu Zahrah, Zahra at Tafasir, Jilid VIII (t.tp: Dar Fikr Arabi, tt) h.4375
170
Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 124
171
Al Mahli, Qalyubi wa Umairah, Juz IV ( Mesir: Musthafa al Babi al-Halabi,
1955) h. 179
169
71
“Apabila pelaku zina adalah Muhsan, maka wajib dirajam hingga
mati, Muhsan yaitu orang yang telah bercampur dengan istri melalui
qubulnya dengan pernikahan yang sah, mereka merdeka dan mukallaf.
Jika pelaku zina adalah merdeka Ghairu Muhsan hukumannya adalah
dicambuk sebanyak 100 kali,
lalu diasingkan setahun sejauh jarak dibolehkannya shalat Qashar172.
Akibat negatif dari zina adalah: Zina dapat menghilangkan nasab
( keturunan), menularkan berbagai macam penyakit yang berbahaya, sebab
timbulnya perbuatan pidana lain seperti pertengkaran bahkan bisa berujung
kepada pembunuhan, karena kecemburuan suami atau istri yang berzina,
zina juga dapat menghancurkan sendi-sendi rumah tangga, merusak
hubungan silaturahmi antara anak maupun keluarga besarnya serta zina
merupakan perbuatan dosa besar dan menyerupai perbuatan hewan173 .
Adapun akibat hukum dari anak hasil zina dalam hukum islam adalah
sebagai berikut: Pertama, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang
mencampuri ibunya secara tidak sah. Kedua, tidak saling
mewarisiKetiga,tidak ada perwalian
2. Anak sumbang
Anak sumbang (incest) adalah anak yang terlahir dari hubungan terlarang
dalam perkawinan, baik karena hubungan darah,
semenda maupun
174
persususan (dalam hukum Islam) dan sebagianya.
Menurut H.M. Anshari perkawinan incest dibagi menjadi dua kondisi,
yaitu legal dan illegal. Incest legal adalah hubungan biologis dalam sebuah
perkawinan incest karena kealpaan. Namun penulis tidak setuju dengan
istilah legal, karena terkesan dibolehkan secara hukum. penulis lebih memilih
istilah hubungan incest karena kealpaan. Kasusnya adalah jika sebuah
keluarga terjadi perceraian, kemudian anggota keluarga tersebut berpisan
setelah sekian lama ternyata salah satu diantara mereka menikah secara sah
dan tercatat dalam hukum legal, yang setelah dilakukakan penelusuran masih
merupakan keluarga sedarah. Dalam kasus ini maka hukum pernikahan
tersebut batal. Karena mereka sebenarnya dilarang kawin karena masih
memiliki hubungan sedarah175. Atau kasus kedua karena keluarga yang tidak
memiliki pemahaman cukup dalam agama. Misalnya kasus pernikahan antara
paman dan keponakannya, sedang diantara keluarga mereka tidak
mengetahui keharaman pernikahan tersebut. Maka hukum pernikahan
tersebut harus di batalkan. Adapun incest illegal adalah hubungan yang
172
Mar‟i bin Yusuf al-Karami al-Maqdisi Al Hambali, Dalil at-Thâlib li-Nail alMathâlib, jilid I ( Riyadh: Dar Qutaibah Li an -Nasyr wa Tauzi‟, 1425H) h. 312
173
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 341
174
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan dan Hukum Anak, h. 22
175
HM. Anshari, Kedudukan Anak dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h.
146
72
dilakukan oleh kedua belah pihak yang masih memiliki hubungan darah
karena pemaksaan, seperti pemerkosaan. Maka jika hal ini terjadi akan
ditindak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia176 .
C. Kedudukan Anak Menurut Al Qur’an Hadits
Al Quran banyak menyebutkan ayat-ayat tentang keluarga. Bahkan didalam
Al Qur‟an terdapat surat yang menyebut kata keluarga yaitu surat Ali Imran
yang artinya keluarga Imran. Didalamnya mengungkap pelajaran-pelajaran
tentang kehidupan. Seperti disebutkan dalam firman Allah:
ِ َ ‫آل إِب ر ِاىيم و‬
ِ
ً‫ ذُِّرية‬. ‫ي‬
َ ‫اصطََفى‬
َ ‫آل ع ْمَرا َن َعلَى لْ َعالَم‬
ْ َ‫إِن اَّلل‬
ً ُ‫آد َم َون‬
َ َ َ ْ َ ‫وحا َو‬
ِ
ٍ ‫ض َها ِم ْن بَ ْع‬
) ۱٤- ۱۱:[۱] ‫(آل ِع ْمَران‬.‫يع َعلِ ٌيم‬
ُ ‫بَ ْع‬
ٌ ‫ض َواَّللُ َْس‬
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran, melebihi segala umat (dimasa mereka masingmasing). (sebagai satu keturunan yang sebagiannya (turunan) turunan
dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Ali Imran [3]:33-34).
Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa penyebutan
nama keluarga nabi Ibrahim dan keluarga Imran karena keluarga mereka
memiliki keutamaan, dari keturunan keluarga Ibrahim lahirlah nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Islam bagi seluruh alam 177Selain
itu Al Qur‟an secara gambling mengungkap pola interaksi antara anak dan
orang tua, begitu indah disebutkan dalam surat Lukman, saat Lukmanul
Hakim178 mengajarkan anaknya untuk taat kepada Allah dengan beragam
wejangan indah merasuk kedalam qalbu.
Firman Allah:
176
HM. Anshari, Kedudukan Anak dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h.
147
177
Muhammad bin Jarîr At-Thabari, Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Ayi Al- Qur‟an, jilid
VI, (t.tp: Muassasah Ar Risalah,1420H) h. 326
178
Di Adalah Luqman Al Hakim, nama aslinya Luqman bin „Anqa bin Sadun,
sedangkan anaknya bernama Tsaran, Luqman digelari al Hakim karena memiliki pelajaranpelajara pentin. Baik utuk keluarganya maupun untuk kita semua. Dalam Tafsir Al Khazin
disebutkan, Luqman al Hakim hidup hingga 1000 tahun, ia juga bertemu dengan Nabi Daud
dan menjadi Hakim (Qadhi) Bani Israil. Menurut ulama tafsir Luqman bukanlah nabi kecuali
pendapat dari Ikrimah yang menyatakan Luqman adalah seorang nabi, ia adalah hamba
Allah yang sholeh. Luqman berasal dari Sudan, Allah anugerahkan keadanya ucapan yang
penuh hikmah dan pelajaran serta akal yang cerdas, ia pernah berkata,”Diam adalah hikmah,
namun sedikit yang melakukakannya”. Ia juga pernah ditanya,”Siapakah manusia yang
paling buruk?”. Ia menjawab,”Orang yang dibiarkan oleh manusia jika melakukan
kemaksiatan” ( Wahbah Zuhaili,Tafsir Al Munir, jilid 21, (Damaskus: Dar al Fikr Muashir,
1418H) h. 143)
73
ِ
ِ
‫الشْرَك لَظُْل ٌم َع ِظ ٌيم‬
َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
ِّ ‫ال لُْق َما ُن لبْنِ ِو َوُى َو يَعِظُوُ َاي بُ َِن َل تُ ْش ِرْك ِبَّلل إِن‬
ِ
ِ ِ
ِ ْ ‫صالُوُ ِِف َع َام‬
ِْ ‫) ووصْي نَا‬31(
‫ي أ َِن‬
َ ‫اْلنْ َسا َن بَِوال َديْو َْحَلَْتوُ أُموُ َوْىنًا َعلَى َوْى ٍن َوف‬
ََ
ِِ
ِ ‫ك إِ َل الْم‬
(۱٤-۱۱ : [ ۱۱] ‫(لُْق َمان‬.)31( ُ‫صي‬
َ ْ‫ا ْش ُكْر ِل َول َوال َدي‬
َ
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya,”Hai anakku, jangamlah kamu
mepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (QS. Luqmân
[31]:13-14)
Ibnu Asyûr ketika menafsirkan ayat ini mengatakan:
ِ
‫ إِن ابْ َن لُْق َما َن َكا َن ُم ْش ِرًكا فَلَ ْم يََزْل لُْق َما ُن يَعِظُوُ َحَّت‬:‫ين‬
َ َ‫ق‬
ُ ‫ال َُجْ ُه‬
َ ‫ور الْ ُم َف ّس ِر‬
ِ
179
.‫ده‬
ُ َ ‫َآم َن ِبَّلل َو ْح‬
Mayoritas Ulama Tafsir berpendapat,” Anak laki-laki Luqman musyrik,
namun Luqman terus menasehatinya hingga ia beriman kepada Allah”
Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa ayat ini mengisahkan tentang
keteladanan Lukman al Hakim yang mengajarkan anaknya dengan
pernyataan untuk menjauhi syirik. Yang di sandingkan dengan berbuat baik
kepada orang tua. Oleh karena itu ketaatan kepada orang tua berada setelah
ketaatan kepada Allah dengan tidak syirik”. Seperti juga di sebutkan oleh Al
Qurtubi dalam tafsirnya:
ٍ ِ ‫أَن طَاعةَ ْاألَب وي ِن َل تُراعى ِِف رُك‬
‫يض ٍة َعلَى‬
َ ‫وب َكبِ َية َوَل ِِف تَ ْرِك فَ ِر‬
ََ
ْ ََ َ
ُ
180
.‫َعيان‬
َ ْ ‫ْاأل‬
“Bahwa ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh didahulukan jika
untuk melakukan dosa-dosa besar atau untuk meninggalkan kewajibankewajiban yang sifatnya pribadi”
179
Muhammad Tahir bin Asyûr, At-Tahrir wa at-Tanwir, Jilid XXI, (Tunisia: Dar
Tunis Li An-Nasyr, 1984) h.154
180
al-Qurthubi, Al Jami‟ Li Ahkam Al-Qur‟an, Jilid XIV, (Kairo: Dar Kutub alMishriyah, 1384H) h. 16
74
Al Qur‟an juga menyebutkan bagaimana Nabi Ibrahim bercakap-cakap
dengan Ismail, saat turun perintah Allah dalam mimpinya untuk
menyembelih anaknya, Ismail dalam mimpi tidurnya. Seperti disebutkan
dalam firman Allah:
ِ ‫قال اي ب ِن إِِّن أَرى ِِف الْم‬
‫ك فَانْظُْر ماذا‬
َ ُ‫َن أَ ْذ ََب‬
ِّ‫نام أ‬
َ ُ َ ‫فَلَما بَلَ َغ َم َعوُ الس ْع َي‬
َ
ِ
ِ
ِ
ِ ِ ِ
‫ين‬
َ ‫تَرى‬
َ ‫قال اي أَبَت افْ َع ْل ما تُ ْؤَمُر َستَج ُدن إ ْن شاءَ اَّللُ م َن الصاب ِر‬
)۱ٓ: [ ۱۷] ‫(الصافات‬.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada batas umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,”Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ismail mejawab,”Wahai ayahku
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan
mendapatiku
termasuk
orang-orang
yang
sabar”.(QS.As
Shâfât[37]:10)
Ibnu Asyûr dalam tafsirnya mengatakan bahwa usia Ismail saat nabi
Ibrahim menceritakan mimpinya adalah tiga belas tahun. Dan mimpi seorang
nabi adalah wahyu dan kebenaran dari Allah. Meski dalam ayat ini maksud
dari mimpi tersebut adalah ujian keimanan Ibrahim AS setelah sekian lama
tidak memiliki keturunan lalu Allah mengujinya sebagai bentuk keyakinan
kepada Allah ataukah kecintaan kepada puteranya sudah mengalahkan rasa
cintanya kepada Allah 181. Bahkan secara rinci Al Qur‟an menerangkan
tentang ayat-ayat warisan didalam surat An Nisa:
ِ ‫ي‬
ِ ْ َ‫ي فَِإ ْن ُكن نِساء فَو َق اثْنَ ت‬
ِ ْ َ‫ظ ْاألُنْثَي‬
‫ي‬
ِّ ‫وصي ُك ُم اَّللُ ِِف أ َْوَل ِد ُك ْم لِلذ َك ِر ِمثْ ُل َح‬
ُ
ْ ًَ
ِ ‫اح َدةً فَلَها النِّصف وِألَب وي ِو لِ ُك ِل و‬
ِ ‫فَلَهن ثُلُثَا ما تَرَك وإِ ْن َكانَت و‬
‫اح ٍد ِمْن ُه َما‬
ُ
َ ّ ْ ََ َ ُ ْ َ
َ ْ
َ َ َ
11 :[ ٤]‫(النِّساء‬...‫دس‬
ُ ُ ‫الس‬
َ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak
anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
181
Ibnu Asyûr, At-Tahrir wa Tanwir, jilid 23, (Tunisia: Dar Tunis Li An
Nasyr,1984) h. 150
75
memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu dan bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan….” (QS.
An Nisa [4]:11)
Begitu juga diterangkan pada ayat 12 dan 176 tentang hak waris dalam
keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah mengatur hak-hak waris
anak secara jelas. kemudian ayah dan ibunya yang menjadikan ia muslim
atau non muslim. Imam Al Bukhari bahkan menulis bab khusus tentang
aqiqah dalam kitab sahihnya menyebutkan:
ٍ‫ عن ج ِري ِر ب ِن حا ِز‬،‫ب‬
ِِ َ‫وب الس ْختِي‬
‫ َع ْن ُُمَم ِد بْ ِن‬،ّ‫ان‬
‫َي‬
‫أ‬
‫ن‬
‫ع‬
،
‫م‬
ْ‫أ‬
َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ٍ ‫َخبَ َرِن ابْ ُن َوْى‬
ِ‫ول اَّلل‬
َِ :‫ال‬
ِ ‫ حدثَنَا س ْلما ُن بن ع‬،‫ِس ِيين‬
ٍ
ِ
‫هللا‬
‫ى‬
‫ل‬
‫ص‬
‫س‬
‫ر‬
‫ت‬
‫ع‬
‫ْس‬
‫ق‬
،
‫ِب‬
‫الض‬
‫ر‬
‫ام‬
َ
َ
َ
َ ُْ َ َ
ُ
ْ
َ
َ َ
ُ
ُ
َ
ّ
ِ
ِ
ُ ‫َعلَْي ِو َو َسل َم يَ ُق‬
ُ‫ َوأَميطُوا َعْنو‬،‫ فَأ َْى ِري ُقوا َعْنوُ َد ًما‬،ٌ‫ « َم َع الغًُلَِم َعقي َقة‬:‫ول‬
182
)‫(رَواهُ اَلبُ َخا ِر ْي‬.
َ ‫األَذَى‬
“Telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb dari Jarir bin Hazim dari
Ayub As Sahtiyani dari Muhammad bin Sirin, telah menceritakan
kepada kami Salman bin Amir ad Dhabiy, ia berkata,” Aku telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Bersama anak ada aqiqah,
alirkanlah darah (hewan sembelihan) dan cukurlah rambutnya,” .(HR.
Al Bukhârî)
Imam Malik dalam kitab Al Muwatha‟ juga menyebutkan tentang aqiqah:
ِ
ِ
ٍِ
‫ َع ْن‬،‫ض ْمَرَة‬
َ ‫ َع ْن َر ُج ٍل م ْن بَِِن‬،‫َسلَ َم‬
ْ ‫ َع ْن َزيْد بْ ِن أ‬،‫ َع ْن َمالك‬،‫َحدثَِِن ََْي ََي‬
ِ ُ ‫ سئِل رس‬:‫ال‬
ِِ
‫ «َل‬:‫ال‬
َ ‫صلى هللاُ َعلَْي ِو َو َسل َم َع ِن الْ َع ِقي َق ِة؟ فَ َق‬
َ ‫ول اَّلل‬
ُ َ َ ُ َ َ‫أَبيو أَنوُ ق‬
ِ
‫َحب أَ ْن‬
َ َ‫ َوق‬،‫ َوَكأَنوُ إُِنَا َك ِرَه ِال ْس َم‬, »‫وق‬
َ ‫أ ُِحب الْعُ ُق‬
َ ‫ « َم ْن ُول َد لَوُ َولَ ٌد فَأ‬:‫ال‬
ِ َ‫ي ْنسك عن ول‬
183
:»‫دهِ فَ ْلي ْفعل‬
َ
َ
َ َْ َ ُ َ
ْ
“Telah mengatakan kepadaku Yahya, dari Malik dari Zaid bin Aslam
dari seseorang dari Bani Dhamrah, dari ayahnya, ia
182
Imam Al Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid VII, (t.tp: Dar Turuq Najah,1422H) h.
84-85
183
Malik bin Anas bin Malik, Al Muwatha‟, Jilid II, (Libanon: Dar Ihya‟u Turats Al
Arabi,1406H) h.500
76
berkata,”Rasulullah ditanya tentang aqiqah, Beliau menjawab,”Aku
tidak menyukai „Uquq (tidak beradab), seoleh beliau hanya tidak
menyukai penyebutan nama Aqiqah ( terkait arti). Dan Beliau
bersabda,”Barangsiapa memiliki anak yang terlahir, dan ia senang
untuk beribadah terhadap anaknya, maka lakukanlah”.
D. Menurut Sosial
Anak memiliki kedudukan istimewa didalam keluarga, karena ia adalah
penerus cita-cita keluarga dan kelangsungan generasi mendatang. Satu sisi
hak dan kewajiban anak bisa terpenuhi dengan baik, namun disisi lain banyak
juga permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi pada anak. Baik terkait
dengan status sah atau tidaknya, kekerasan, eksploitasi dan kasus hukum.
Menurut Rika Saraswati mengatakan bahwa anak butuh orang tua pengganti
terkait hak kuasa dan statusnya. Beliau menyebutkan data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2005 terdapat kasus yang
didominasi persoalan hak kuasa dan pengangkatan anak sebanyak 52 kasus
(27%). Selanjutnya selama tahun 2006, naik menjadi 82 kasus (21,80%).
Selain kasus penelantaran 21 kasus (23,73%) dan penganiayaan 26 kasus
(29,38%).184
Dari data diatas dapat diketahui bahwa kasus yang menimpa anak cukup
tinggi dan seharusnya memungkinkan pihak-pihak tertentu terutama
pengambil kebijakan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan
perlindungan hukum kepada anak. Selain itu juga dikenal Komisi Nasional
Perlindungan Anak Indonesia, sebagai lembaga perlindungan terhadap
permasalahan yang terkait dengan anak yang ada di negara kita. Anak juga
mendapat perlindungan secara hukum. menurut Muhammad Taufik Makarao
negara kita sudah memiliki Undang-Undang yang merupakan paying hukum
terhadap kesejahteraan dan hak-hak anak. Yaitu Undang-Undang Nomor 4
tahun 1979 atau Undang-Undang Kesejahteraan Anak, hal ini diperlukan
dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:185
1. Bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasardasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.
2. Bahwa agar setiap anakmampu memikul tanggung jawab tersebut, maka
ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara baik dan wajar baik rohani, jasmani dan sosial.
3. Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami
hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi.
184
Rika Saraswati,Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung:PT Citra
Aditya Bakti, 2015) h. 13
185
Mohammad Taufik Makarao, Wenny Bukarno, Syaiful Azri, Hukum
Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, ( Jakarta: Rineka
Cipta, 2014) h. 11
77
4. Bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak-anak belum dapat dilaksanakan
oleh anak sendiri.
5. Bahwa kesempatan, pemeliharaan dan usaha ,menghilangkan hambatan
tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha
kesejahteraan anak terjamin.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 disebutkan: Suatu
bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus mampu
membentuk dan membina suatu tatanan penghidupan dan kepribadiannya.
Usaha ini merupakan usaha yang terus menerus dari generasi ke generasi.
Sehingga sebenarnya anak dalam status yang sah memudahkan negara untuk
melakukan perlindungan baik secara hukum maupun secara sosial, berbeda
dengan anak yang statusnya tidak sah, akan rentan menuai masalah dan
kontriversi kedepannya.
Download