II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas Cyprinus carpio Ikan mas Cyprinus carpio merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang sangat populer. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 Sebelum Masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920 (Khairuman et al., 2008). Secara morfologis, ikan mas mempunyai bentuk tubuh agak memanjang, sedikit pipih ke samping dan lunak. Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan. Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut berukuran pendek. Secara umum, hampir seluruh tubuh ikan mas ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik ikan mas berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya. Adapun klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus Spesies : Cyprinus carpio Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau. Suhu dan pH air optimal untuk pertumbuhan ikan mas adalah 20-250C dan 7-8. Ikan mas tergolong jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik. Namun, makanan utamanya adalah tumbuhan dan binatang yang terdapat di dasar dan tepi perairan (Khairuman et al., 2008). 2.2 Koi Herpesvirus (KHV) Koi herpesvirus (KHV) merupakan kelompok virus DNA dari famili Herpesviridae. Virus ini berkembang biak di dalam inti sel inang dan membentuk badan inklusi yang disebut Cowdry tipe A. Virus ini apabila telah menginfeksi inang maka sejumlah virus akan tetap tinggal di dalam inangnya sehingga bersifat laten (Daili dan Makes, 2002 dalam Laelawati, 2008). Serangan penyakit ini tidak hanya menyerang Indonesia. KHV dilaporkan mulai terjadi pada tahun 1998 di Israel, Amerika Serikat (1998), Belgia (1999), Inggris (2000), Austria (2003), Perancis (2001), Afrika Selatan (2001), Malaysia (2001), Hongkong (2001), Denmark (2002), Jerman (2002), Belanda (2002), Italia (2003), Luxemburg (2003), Swiss (2003), Polandia (2003), Taiwan (2003), dan Thailand (2004) (Pokorova et al., 2005). KHV hanya dapat menyerang ikan mas Cyprinus carpio dan koi Cyprinus carpio baik ukuran larva, juvenil maupun dewasa (Gilad et al., 2002). Kedua jenis ikan tersebut juga dapat menjadi pembawa penyakit (carrier). Suhu optimal virus herpes yang menyebabkan kematian adalah 18-27oC. Kematian ikan akan menurun bahkan akan berhenti bila suhu berada di atas atau di bawah kisaran optimal. Serangan penyakit ini bersifat akut (cepat) dan ganas. Ikan akan terlihat sakit dan akhirnya mati dalam waktu 24-48 jam (OATA, 2001). Herpesvirus pada ikan secara umum diidentifikasi sebagai penyebab penyakit mulai dari infeksi sisik hingga infeksi sistemik yang fatal (Gilad et al., 2003). Dari percobaan kohabitasi antara ikan sehat dan ikan terinfeksi KHV yang dilakukan oleh Hutoran et al., (2005) diperoleh hasil bahwa ikan yang sakit mengalami ganggunan berupa gerakan yang tidak terkoordinasi dan berenang tidak beraturan yang merupakan tanda-tanda adanya gangguan saraf (neurological disorder). Gangguan ini diperjelas dengan berkurangnya frekuensi gerakan ekor dan kehilangan keseimbangan pada beberapa ikan. Penyebaran penyakit ini melalui air dan bersifat sangat menular. Virus ini terutama menginfeksi pada bagian insang dan ginjal ikan. Dari kajian histopatologi pada ginjal, tampak jelas bahwa virus ini mengakibatkan inflamasi pada renal tubul ginjal dan mengakibatkan sel-sel yang terinfeksi mengalami pembentukan badan inklusi pada inti selnya. Kajian histopatologi insang ikan yang sakit menunjukkan bahwa terdapat sel-sel inflamasi di insang dan epitel insang mengalami hiperplasia. Kajian dengan menggunakan indirect immunofluorescent microscopy terhadap insang, ginjal, otak dan hati menunjukkan bahwa virus KHV terakumulasi pada insang dan ginjal (Pikarsky et al., 2004). 2.3 Vaksin DNA Perkembangan vaksin pada ikan dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama adalah vaksin konvensional yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu vaksin yang diinaktivasi/dimatikan (inactivated vaccine) dan vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine). Vaksin generasi kedua adalah vaksin protein rekombinan (recombinant protein vaccine) dan vaksin generasi ketiga adalah vaksin DNA (DNA vaccine). Vaksin DNA adalah vaksin yang berbentuk plasmid DNA yang mengandung sisipan gen imunogenik, misalnya glikoprotein, yang diapit oleh sebuah promoter dan terminator/poliadenilasi (Lorenzen et al., 2005). Ekspresi dari plasmid di sel somatik inang akan memicu sistem imun humoral dan selular. Vaksin DNA memiliki keuntungan yaitu tidak menimbulkan resiko infeksi, mudah dikembangkan dan diproduksi, bersifat stabil dan mampu mengaktivasi sistem kekebalan baik humoral maupun seluler, sedang kelemahannya adalah terbatasnya gen yang bersifat imunogenik. Vaksin DNA cukup efektif mencegah infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV) dan viral haemorrhagic septicaemia virus (VHSV) pada ikan salmon (Lorenzen et al., 2005). 2.4 Promoter Promoter adalah bagian dari DNA yang merupakan tempat RNA polimerase menempel dan menginisiasi transkripsi (Glick & Pasternak, 2003), menentukan waktu, tingkat dan tempat ekspresi gen. Umumnya promoter terletak pada bagian upstream (terminal 5’) suatu gen (Hackett, 1993). Berbagai macam promoter dapat aktif pada sel ikan walaupun bukan dari ikan yang homolog, namun akan mempengaruhi tingkat ekspresi gen (Dunham, 2004). Tingkat ekspresi gen dipengaruhi oleh adanya interaksi antara elemen cisregulator pada promoter dan elemen trans-regulator inang. Hackett (1993) menjelaskan bahwa cis-regulator akan mengatur tingkat transkripsi bergantung pada keberadaan protein trans-regulator. Cis-regulator akan berikatan dengan protein atau faktor trans-regulator lainnya yang kemudian akan meningkatkan atau menurunkan tingkat transkripsi. Kesesuaian antara elemen cis-regulator dan elemen trans-regulator akan menghasilkan ekspresi yang tinggi. Sebaliknya, bila kurang atau tidak sesuai maka ekspresi yang dihasilkan rendah (Fletcher & Davies, 1991 dalam Ath-thar, 2007). 2.4.1 Promoter Heat Shock Promoter heat shock diisolasi dari ikan rainbow trout (Kawamura dan Yoshizaki, belum dipublikasikan) dan diketahui termasuk ke dalam golongan heat shock protein. Promoter heat shock memiliki panjang fragmen 2759 pasang basa. Jenis promoter lainnya yang termasuk ke dalam golongan heat shock protein antara lain adalah promoter hsp27. Promoter hsp27 merupakan jenis promoter yang bersifat dapat diinduksi (inducible). Promoter hsp27 memiliki aktivitas yang tinggi pada sel otot bahkan dapat aktif di seluruh jaringan jika dipicu dengan tekanan suhu (Wu et al., 2008). Protein heat shock dapat ditemukan di seluruh makhluk hidup untuk merespons adanya perubahan suhu dan menghindari kerusakan sel akibat panas. Pada kondisi normal, heat shock ditemukan dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi tinggi diperoleh ketika terjadi perubahan suhu secara signifikan (Fang, 2003). Toyohara et al. (2005) juga menyatakan bahwa heat shock berperan merespons perubahan kondisi suhu lingkungan. Pada pengujian yang dilakukan pada ikan zebra promoter heat shock dapat pula mengekspresikan gen secara aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon (constitutive) namun ekspresi tersebut terjadi dalam waktu yang singkat (Krone & Sass, 1994; Krone et al., 1997; Lele et al., 1997; Yeh & Hsu, 2002). Promoter heat shock dapat mengendalikan gen pada jaringan kulit, otot dan hati (Wu et al., 2008) sehingga promoter heat shock tergolong ubiquitous (Hackett, 1993). 2.4.2 Promoter Keratin Promoter keratin diisolasi dari ikan flounder Jepang Paralichthys olivaceus dan memiliki panjang fragmen 1288 pasang basa (Yazawa et al., 2005). Promoter keratin ikan flounder Jepang (endogenus) diketahui memiliki aktivitas hampir di seluruh jaringan, sedangkan yang diuji coba pada ikan zebra (eksogenus) memiliki aktivitas terkuat pada jaringan epitel dan hati. Pada awalnya promoter keratin merupakan promoter yang digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al., 2002). Namun Giordano et al. (1990) menyebutkan bahwa efektivitas promoter keratin tidak hanya terbatas pada jaringan kulit dan epitel, tapi juga terdapat pada sel yang sedang berkembang dan sel saraf tertentu. Sedangkan Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa promoter keratin yang diujikan pada ikan zebra mampu bersifat aktif dimana-mana atau tidak spesifik jaringan tertentu (ubiquitous) dan dapat aktif kapan saja diperlukan (house-keeping). 2.4.3 Promoter β-aktin Promoter β-aktin ikan medaka merupakan salah satu jenis promoter yang memiliki aktivitas tinggi pada beberapa jenis ikan diantaranya ikan medaka (Takagi et al., 1994; Hamada et al., 1998), ikan rainbow trout (Yoshizaki, 2001), ikan lele (Ath-thar, 2007) dan ikan mas (Purwanti, 2007). Promoter ini memiliki elemen-elemen penting diantaranya CCAAT boks yang berfungsi untuk meningkatkan ekspresi dengan stimulasi tertentu, unit CC(A/T)6GG yang biasa dikenal dengan istilah motif CArG berperan dalam pengaturan ekspresi transgen, dan TATA boks berperan sebagai tempat menempelnya enzim RNA polimerase beserta faktor lain dan mengarahkannya sehingga proses transkripsi berlangsug pada daerah yang benar (Takagi et al., 1994). Promoter dapat aktif dan mengendalikan ekspresi transgen pada waktu dan tempat yang tepat dengan adanya kerjasama antara elemen-elemen penyusun promoter tersebut. Promoter β-aktin merupakan promoter yang bersifat house-keeping yaitu dapat aktif kapan saja bila diperlukan. Selain bersifat house-keeping, β-aktin juga mempunyai sifat ubiquitous (Hackett, 1993), dimana promoter ini akan aktif dimana-mana dan constitutive (Volckaert et al., 1994) yang berarti bahwa promoter ini bisa aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. 2.5 Gen Green Fluorescent Protein (GFP) Gen green fluorescent protein (GFP) dimanfaatkan untuk mempelajari promoter dan aktivitasnya (Dunham, 2004). GFP merupakan penanda molekuler yang banyak digunakan dalam penelitian bioteknologi yang diisolasi dari uburubur Aequorea victoria. Beberapa kelebihan GFP sebagai penanda molekuler antara lain keberadaan gen di dalam sel tidak berbahaya bagi sel itu sendiri, tidak membutuhkan perlakuan khusus pada jaringan, tidak memerlukan substrat tambahan untuk ekspresinya, dan memiliki kandungan protein yang berpendar dan dapat divisualisasikan dengan menggunakan mikoroskop fluoresensi (Chalfie et al., 1994 dalam Iyengar et al., 1996). Gen GFP ini selain berguna sebagai penanda (marker) juga berfungsi sebagai gen target seperti dalam pembuatan ikan hias berpendar yang berwarna warni (Gong et al., 2003). 2.6 PCR (Polymerase Chain Reaction) Muladno (2002) menyatakan bahwa PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang komplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. PCR juga cepat dan hanya dalam hitungan menit jutaan kopi segmen DNA diproduksi. PCR menggunakan enzim DNA polimerase yang stabil terhadap suhu. Enzim ini semula diisolasi dari bakteri Thermophilus aquaticus. Bakteri tersebut berkembang di mata air panas pada suhu yang mendekati titik didih air, sehingga semua enzim pada organisme ini telah berevolusi untuk menahan suhu tinggi. Reaksi sintesis pada PCR diulang beberapa kali (siklus). Produk dari siklus sintesis sebelumnya bertindak sebagai cetakan untuk siklus berikutnya, mengakibatkan perbanyakan eksponensial terhadap daerah target dari DNA (Dale & Schantz, 2002). Empat komponen utama pada proses PCR ialah: (1) DNA cetakan (template), yaitu fragmen (potongan) DNA yang akan dilipat gandakan; (2) primer, yaitu sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA cetakan, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita inginkan; (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yaitu building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP, dTTP; dan (4) enzim DNA polimerase, sebagai katalis reaksi sintesis DNA. Komponen lainnya yang juga penting ialah MgCl2 yang fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA polimerase dan senyawa buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polimerase. Setiap siklus sintesis terdiri dari tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing (penempelan atau hibridisasi primer pada DNA cetakan), dan ekstensi/ elongasi (perpanjangan/sintesis utas komplemen dari DNA target). Masingmasing tahapan tersebut akan ditentukan oleh suhu dan lama waktu yang dibutuhkan (Dale & Schantz, 2002). Tahap awal proses PCR adalah denaturasi (denaturation) yaitu tahap pemisahan utas ganda DNA cetakan (dsDNA) menjadi utas tunggal (ssDNA) , yang dilakukan pada suhu 940C. Kemudian dilanjutkan dengan annealing, yang dilakukan dengan menurunkan suhu sehingga suatu primer pertama yang merupakan titik awal dari penggandaan DNA akan menempel pada utas tunggal cetakan yang komplemen/berlawanan. Suhu annealing yang dibutuhkan akan bergantung pada komposisi dan panjang sekuen primer. Karena pasangan G-C lebih kuat daripada A-T (pasang basa guanin:sitosin (GC) memiliki tiga ikatan hidrogen, sedangkan adenin:timin (AT) hanya memiliki dua ikatan hidrogen), semakin banyak G dan C dalam primer, maka primer tersebut akan berikatan lebih kuat dengan komplemennya (lebih stabil terhadap peningkatan suhu). Oleh karena itu, suhu annealing yang digunakan menjadi lebih tinggi bila jumlah GC lebih banyak (Dale & Schantz 2002). Biasanya suhu annealing dipilih antara 40 dan 600C. Walaupun untuk DNA cetakan dengan kandungan GC yang tinggi, suhu annealing setinggi 720C (sama dengan suhu ekstensi normal) dapat digunakan. Karena primer berukuran kecil, dan pada konsentrasi molar yang tinggi secara keseluruhan, annealing terjadi dengan cepat hanya dalam hitungan detik atau kurang (Dale & Schantz 2002). Selanjutnya suhu ditingkatkan hingga sekitar 720C, yaitu suhu ekstensi optimum yang biasanya untuk reaksi PCR. Taq polimerase saat ini akan membuat untai DNA yang komplemen diawali dari ujung 3’ primer. Setelah siklus PCR pertama selesai, dihasilkan dua molekul DNA utas ganda dari setiap satu utas cetakan yang dipisah saat denaturai awal. Setiap molekul DNA tersebut terdiri atas satu utas ganda cetakan semula, dan satu utas ganda baru. Utas ganda baru tersebut ditentukan dengan spesifik pada salah satu ujungnya oleh primer, dan tidak spesifik pada ujung yang lain sesuai dengan waktu yang digunakan untuk ekstensi (Dale & Schantz 2002). Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan pre-denaturasi dan final elongasi. Tahap pre-denaturasi dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktivasi DNA polimerase. Final elongasi biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 515 menit untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir. 2.7 Analisis Produk PCR (Elektroforesis) Teknik separasi dan pemurnian DNA/RNA merupakan teknik yang tidak dapat dipisahkan dari biologi molekular. Hampir semua penelitian DNA/RNA pasti melibatkan separasi dan pemurnian yang tekniknya cukup beragam. Gel elektroforesis merupakan teknik yang penting untuk analisis dan pemurnian asam nukleat. Ketika molekul bermuatan ditempatkan dalam suatu medan listrik, molekul ini akan berpindah tempat ke arah elektroda dengan muatan yang berlawanan; molekul asam nukleat bermuatan negatif, akan bergerak ke arah kutub positif (anoda). Dalam elektroforesis gel terdapat dua material dasar yang disebut fase diam dan fase bergerak. Fase diam berfungsi menyaring objek yang akan dipisah, sementara fase bergerak berfungsi membawa objek yang akan dipisah. Sering kali ditambahkan larutan penyangga pada fase bergerak untuk menjaga kestabilan objek elektroforesis gel. Elektroda positif dan negatif diletakkan pada masing-masing ujung aparat elektroforesis gel. Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada kolom (disebut well) pada sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran elektron dan zat objek akan bergerak dari elektroda negatif ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan berat molekul DNA. Kisi-kisi gel berfungsi sebagai pemisah. Objek yang berberat molekul lebih besar akan lebih lambat berpindah. Gel agarosa dapat digunakan untuk memisahkan molekul asam nukleat yang memiliki perbedaan beberapa ratus pasang basa, mengurangi konsentrasi agarosa untuk memperoleh pemisahan efektif dari fragmen yang lebih besar, atau meningkatkannya untuk fragmen kecil. Untuk molekul-molekul lebih kecil yang ukurannya sama hingga hanya berbeda beberapa puluh pasang basa dapat digunakan gel polyacrilamide (Dale & Schantz, 2002). Elektroforesis gel agarosa dapat digunakan untuk menganalisis komposisi dan kualitas dari sampel asam nukleat. Secara khusus, hal ini sangat membantu untuk menentukan ukuran fragmen DNA dari hasil restriksi (restriction digest) atau produk reaksi PCR. Untuk tujuan ini diperlukan kalibrasi terhadap gel dengan menjalankan (running) penanda (marker) standar yang mengandung fragmen dari ukuran DNA yang diketahui (Dale & Scahantz, 2002). Pewarna seperti etidium bromida biasanya digunakan baik untuk mendeteksi maupun mengkuantitasi asam nukleat. Etidium bromida memiliki struktur cincin datar yang mampu menumpuk (stack) diantara basa-basa dalam asam nukleat; hal ini dikenal sebagai intercalation. Selanjutnya, pewarna dapat dideteksi melalui pendarannya (fluorescent), pada daerah spektrum merah-oranye ketika dipaparkan dengan sinar UV. Hal ini merupakan metode yang paling luas digunakan untuk pewarnaan gel elektroforesis, dan juga dapat digunakan untuk menduga jumlah DNA (atau RNA) dalam sampel, dengan membandingkan intensitas dari pendaran sampel yang telah diketahui konsentrasinya dan dimuatkan pada gel yang sama (Dale & Schantz 2002).