BAB II DESKRIPSI PELANGGARAN HAM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI ASEAN A. Latar Belakang Sejarah Hak Asasi Manusia Awal dari perhatian internasional kepada hak-hak asasi manusia, setidaktidaknya dari sudut pandangan hukum internasional, dapat ditelusuri baik dari perbudakan ataupun peperangan. Jika perjanjian multirateral pertama (konvensi, yang bukannya suatu pertemuan melainkan sebuah instrumen hukum) dianggap sebagai patokan, maka kepedulian internasional kepada hak-hak asasi manusia sudah mulai sejak kira-kira seratus dua puluh lima tahun yan lalu. Ironisnya , perjanjian multirateral yang pertama mengenai hak-hak asasi manusia timbul dari peperangan , dan cabang tertua dari undang-undang hak asasi manusia diabdikan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata. 29 Pada tahun 1864 negara-negara besar pada masa itu kebanyakan negara barat menulis konvensi Geneva pertama untuk korban-korban pertikaian bersenjata. Perjanjian ini mencantumkan asas sentral bahwa petugas kesehatan harus dianggap netral sehingga mereka dapat merawat prajurit-prajurit yang sakit dan terluka. Prajurit yang mengalami keadaan demikan tidak lagi merupakan prajurit tempur aktif yang menjalankan tugas nasionalnya, dan hanya individu sematamata yang membutuhkan pertolongan. Cara lain untuk menyatakan asas sentral tersebut adalah bahwa prajurit individual berhak atas sekurang-kurangnya pengharagaaan minimum bagi esensinya sebagai seorang pribadi, atas tingkat minimum dari perikemanusiaan sekalipun dalam peperangan yang menrupakan 29 Foesythe David P, Hak-hak Asasi Mnusia dan Politik Dunia, Angkasa Bandung: Bandung 1993, hlm 9 Universitas Sumatera Utara pengingkaran paling berat terhadap kemausiaan. Dari sudut hak-hak asasi manusia, sekalipun perjanjian itu tidak menggunakan kata-kata ini, prajurit tempur yang sakit dan terluka mempunyai hak akan perawatan medis, dan petugas-petuga kesehatan berhak untuk tidak diperlakukan sebagai sasaran militer. Martabat manusia mengamanatkan ketentuan demikian ini. B. Sejarah HAM di ASEAN 30 Secara internal, ASEAN lebih dinamis (politik dan ekonomi). ASEAN juga memiliki peran yang lebih penting di tingkat regional dan internasional. Isu hak asasi manusia yang diambil berlaku di ASEAN Charter, 15 Desember 2008 . Namun, isu-isu hak asasi manusia tetap sebagai masalah besar karena di setiap negara pihak pelanggaran hak asasi manusia, impunitas dan bahkan pembela hak asasi manusia terus mengalami risiko di lapangan. Isu hak asasi manusia pertama kali disebutkan dalam "Deklarasi Bersama Pertemuan Tingkat Menteri ASEANEC atau "Joint Declaration of the ASEAN-EC Ministerial Meeting pada tahun 1978, yang isinya adalah sebagai berikut: "... Kerjasama internasional untuk mempromosikan dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, dan agama harus ditingkatkan." Juli 1993 setelah Konferensi Dunia di Wina dalam "26th Joint Communiqué" ASEAN-AMM: "ASEAN mengakui bahwa hak asasi manusia saling terkait dan tak terpisahkan, itu menegaskan komitmennya untuk dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diatur dalam Deklarasi Wina. Dalam kesepakatan ini, bahwa ASEAN harus mempertimbangkan pembentukan mekanisme regional yang sesuai pada hak asasi manusia.” Sebelumnya, melalui kelompok studi dibentuk oleh PBB Komisi Hak Asasi Manusia , dimana gagasan Komisi HAM regional diperkenalkan. Berbagai resolusi PBB juga semakin menekankan pentingnya pembentukan mekanisme HAM regional, akan tetapi, tidak ada perkembangan lebih lanjut setelah 30 ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC, oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC Universitas Sumatera Utara komitmen tersebut. Karena itu, berbagai akademisi, aktivis dan masyarakat sipil / LSM melanjutkan diskusi pada mekanisme regional tentang hak asasi manusia dan Kelompok Kerja Mekanisme HAM ASEAN (1996). Sejak itu, berbagai pertemuan tentang Hak Asasi Manusia telah diselenggarakan dengan dukungan dari berbagai lembaga internasional, misalnya pertemuan tahunan ASEAN-Institut Studi Strategis dan Internasional Seminar Hak Asasi Manusia atau the ASEAN-Institutes of Strategic and International Studies Colloquium on Human Rights (AICOHR), pertemuan tahunan AsiaEurope atau Asia-Europe Meeting (ASEM) Informal Seminar on Human Rights (ASEM) Seminar Informal tentang Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen hak asasi manusia yang telah ada yaitu diantaranya 31 : 1. Kuala Lumpur Agenda on ASEAN Youth Development (1997) Declaration of Principles to Strengthening ASEAN Collaboration on Youth (1983) 2. Declaration on the Advancement of Women in ASEAN (1988) 3. ASEAN Plan of Action on Children (1993) 4. Yangon Declaration on Preparing ASEAN Youth for the Challenges of Globalization (2000) 5. ASEAN declaration on the Commitments for Children in ASEAN (2001) 6. Declaration on the commitment for Children (2001) 7. Manila Declaration on Strengthening Participation in Sustainable Youth Employment (2003) 8. ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children (2004) 31 ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC, oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC Universitas Sumatera Utara 9. ASEAN Declaration on the promotion and protection of Migran Workers (2007) 10. ASEAN Charter (2008) C. Isu Hak Asasi Manusia di ASEAN Kehidupan politik dan kebudayaan negara Asia kurang begitu kental berpadu jika dibandingkan dengan kehidupan politik dan kebudayaan negara lain di benua lainnya. Suatu pentunjuk kehidupan politik dan kebudayaan yang tidak terpadu ini adalah tidak ada organisasi internasional wilayah yang mencakup seluruh Asia. Asia terdiri atas sekumpulan negara dengan struktur sosial yang berbeda-beda dan tradisi keagamaan , falsafah dan kebudayaan yang beraneka ragam. 32 Dalam bidang hak-hak asasi manusia Asia jugs tidak memperlihatkan keseragaman. Orang dapat membayangkan tradisi Cina , Hindu, atau Islam, tetapi hampir tidak ada yang disebut tradisi Asia yang menghubungkan aneka ragam negara seperti Cina, Jepang, Pakistan, India, Iran, dan yang lainya. Tidak ada perjanjian tentang hak-hak Asasi manusia untuk tingkat Asia. Upaya telah dilakukan untuk menyusun suatu deklarasi hak-hak manusia Asia Barat atau Asia Tenggara tetapi upaya ini hingga kini belum membawa hasil. Para wakillembaga swadaya masyarakat telah membentuk ‘Badan Wilayah untuk Hak-hak Asasi Manusia di Asia ‘, yang telah menghasilkan sebuah deklarasi tentang kewajiban dasar dari rakyat dan pemerintah negara-negara ASEAN. ASEAN adalah sebuah wadah kerja sama wilayah sepuluh negara Asia Tenggara dengan titik berat pada bidang ekonomi. Pada tahun 1993 negara-negara ASEAN menetapkan untuk mengangkat seorang pelapor wilayah untuk masalah hak-hak asasi manusia. Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat di Dunia Arab bukan dokumen pemerintah 32 Hiroko Yamane, ‘Asia and Human Rights’ dalam K. Vasak , The International Dimensions of Human Rights, Paris : UNESCO 1982 hlm 651 dalam Peter R.Baehr , Hak-hak asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri hlm 150 Universitas Sumatera Utara melainkan dibuat oleh para ahli perseorangan. Dalam bidang hak-hak asasi manusia lembaga swadaya masyarakat di ASEAN tampaknya lebih maju daripada pemerintahnya. Selama persiapan untuk Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Manusia di Wina , pemerintah tertentu , termasuk pemerintah Cina, India, Malaysia, Singapura, dan Indonesia mmeperlihatkan derajat kebersamaannya lebih besar, tetapi kebersamaan ini lebih banyak untuk membalas apa yang mereka anggap sebagai usaha negara-negara Barat yang tidak semestinya untuk mendesak pemantauna hak-hak asasi manusia yang lehi efektif oleh PBB dan organ lainnya. ‘Deklarasi Bangkok’ yang lahir dari suatu pertemuan wilayah yang diselenggarakan pada musim semi tahun 1993 ditafsirkan secara luas dalam arti menolak sifat universal dari hak-hak asasi manusia , seperti dilukiskan oleh kutipan berikut: Menyadari bahwa sungguhpun hak-hak asasi manusia bersifat universal, hak-hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam kerangka latar belakang sebuah prose pembentukan norma internasional yang dinamis dan terus berkembang , dengan mempertimbangkan ciri-ciri khas nasional dan wilayah serta berbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan agama. 33 Selama Konferensi Dunia itu sendiri, para delegasi dari sejumlah negara Asia terkesan lebih aktif dalam usaha menghambat kemajuan ke ara memperkuat prosedur pengawasan daripada mengupayakan kemajuan lebih jauh lagi. Dalam beberapa tahun belakangan ini semakin bertambah jumlah negara Asia yang meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dan tentaj Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan, sementara itu dua puluh negara lainnya belum ikut meratifikasinya. Negara Asia tengah berjuang mengatasi berbagai masalah termasuk masalah dalam bidang hak asasi manusia. 34 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umur sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikann juga 33 Deklarasi Bangkok ayat 8 Baehr Peter.R, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta 1998 hlm 150-151 34 Universitas Sumatera Utara pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional 35 . Sehubungan dengan akhir pengamatan yang diberikan oleh Komite Hak Anak (KHA), setiap negara anggota ASEAN masih belum termasuk empat prinsip-prinsip KHA, khususnya prinsip-prinsip non-diskriminasi dan menghormati pandangan anak (partisipasi anak) ke dalam sistem hukum nasional mereka. Komite juga menekankan perlunya harmonisasi perundangundangan dan kebijakan nasional masing-masing negara ASEAN akan cocok atau sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam KHA. Komite merekomendasikan negara pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menyelaraskan definisi anak, termasuk penggunaan istilah, dalam hukum nasional sehingga dapat mengurangi inkonsistensi dan kontradiksi. Setiap negara juga didorong untuk melakukan perbaikan dalam peraturan dan kebijakan nasional dalam memberikan jaminan hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga terutama masalah perawatan alternatif, adopsi, dan hak-hak dasar seperti hak atas pendidikan dan kesehatan terutama bagi anak-anak cacat, dan anak yang tergabung dalam kelompok minoritas. Negara-negara ASEAN juga masih memiliki banyak masalah pada sistem perlindungan anak, kekerasan terhadap anak dan masalah trafiking dan pornografi yang melibatkan anak-anak. Negaranegara ASEAN diminta untuk bekerja sama dengan sesama anggota atau badanbadan internasional dalam rangka memperkuat sistem perlindungan anak, terutama dalam isu-isu anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Mengenai Protokol Opsional, hanya sedikit negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (OPSC) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (OPAC). Bahkan, dua negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional kedua, yaitu Filipina dan Thailand masih menghadapi banyak masalah dengan jumlah korban dalam penjualan, prostitusi dan pornografi dan banyak masalah serius pada anak-anak terlibat dalam konflik 35 Jurnal Perempuan edisi 55 , Anak Jalanan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta 2007 hlm 94 Universitas Sumatera Utara bersenjata. Negara-negara ASEAN juga harus didorong untuk membangun sistem perlindungan anak yang tidak hanya dibangun atas dasar sistem hukum dan kebijakan yang kuat, tetapi juga dapat diterapkan ke dalam pemecahan program berorientasi masalah. Hampir semua negara telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk masalah-masalah tertentu, seperti pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia, pencegahan dan penghapusan eksploitasi seksual komersial, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (mengikuti Konvensi ILO 182). Namun, rencana aksi nasional belum diikuti oleh langkah-langkah progresif dan afirmatif dalam anggaran dan kebijakan regional dan masih lemah dalam koordinasi antara instansi terkait atau antara pemerintah pusat dan daerah. ASEAN masih membutuhkan kerjasama antar anggota untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, eksploitasi seksual komersial anak, penjualan anak dan penculikan, pornografi, adopsi ilegal yang sering memerlukan kerjasama antar negara, baik bilateral maupun multilateral. Negara-negara ASEAN pada umumnya belum cukup baik dalam pembuatan dan pelaksanaan standar pelayanan minimum. Kurangnya fasilitas pelatihan yang memadai tersedia untuk penegakan hukum, pekerja sosial, konselor dan pendidikan eksekutif sebagaimana diatur dalam pedoman internasional tentang penanganan rehabilitasi, pemulihan atau reintegrasi korban. Setiap negara ASEAN masih kekurangan dari sistem pengumpulan data yang komprehensif dan integratif untuk digunakan dalam pemetaan masalah, pencegahan dan solusi untuk berbagai pelanggaran hak-hak anak. ASEAN telah memperoleh komentar positif dari Komite Hak Anak karena kemajuan yang dicapai. Pertama, itu adalah kemauan negara untuk menarik pemesanan pada artikel CRC. Secara umum, negara-negara ASEAN telah menetapkan peraturan tentang perlindungan hak-hak anak, badan-badan khusus dan hak-program berorientasi perlindungan anak. Beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan Universitas Sumatera Utara Filipina telah memiliki badan independen hak asasi manusia (NHRI). Indonesia bahkan memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Komisi Nasional Perempuan. Beberapa negara juga telah meratifikasi Konvensi ILO 182 dan Konvensi ILO 138 meskipun undang-undang nasional tentang pekerja anak belum cukup kuat untuk menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi mungkin dan kerja. Adapun isu HAM yang terjadi di negara ASEAN yaitu : 1. MALAYSIA Pemerintah Malaysia mengkhawatirkan tingginya kasus kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur di negeri itu. Mengutip catatan Kantor Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat Malaysia , kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak perempuan begitu mengkhawatirkan, bahkan angka kasus anak laki-laki yang dilecehkan secara seksual cukup signifikan. Pun anak-anak di bawah umur yang disiksa secara fisik dan ditelantarkan oleh pengasuhnya, mengalami peningkatan. Data statistik pada kementerian tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 3.257 anak menjadi korban pelecehan, dengan 1.019 di antaranya anak laki-laki. Angka tersebut menunjukkan kenaikan pada 2011 menjadi 3.428 kasus. Anak laki-laki yang menjadi korban juga meningkat menjadi 1.253 orang. Tahun lalu, kasus pelecehan anak membengkak menjadi 3.831 kasus yang dilaporkan. Sementara korban perempuan muda mencapai 2.544 orang. Sementara itu, ada sekitar 1.000 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat hingga Maret tahun 2013 ini. Kementerian menyatakan, anak-anak mengalami penganiayaan fisik, seperti yang diklasifikasikan dalam Pasal 17 (1) (a) dan (b) Anak Act 2001, terdiri jumlah tertinggi kasus yang dicatat. Sebanyak 846 dari 3.257 kasus yang terjadi pada tahun 2010 diklasifikasikan sebagai "kekerasan fisik", dengan 32 kasus yang tercatat sebagai "pelecehan emosional". Kasus kekerasan fisik meningkat menjadi 1.062 kasus pada 2011, dan 1.080 kasus pada 2012. Pada tahun 2010, sebanyak 871 perempuan dan 66 anak laki-laki mengalami pelecehan seksual. Catatan pada Universitas Sumatera Utara tahun berikutnya menunjukkan, 789 perempuan dan 35 laki-laki anak mengalami penganiayaan. Jumlah tersebut meningkat dari tahun lalu menjadi 908 perempuan dan 55 laki-laki. Selama triwulan pertama 2013 saja, ada 268 kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak perempuan, sementara pada korban anak lakilaki ada 13. Kementerian juga mengungkapkan adanya peningkatan kasus anak-anak yang ditelantarkan. Tahun lalu, 1.051 anak-anak yang ditinggalkan oleh pengasuhnya dan kebutuhan dasar mereka, seperti pakaian, makanan dan pendidikan, diabaikan.Menurut pihak kementerian, ini merupakan peningkatan dari 927 kasus penelantaran pada tahun 2010 dan 814 kasus pada tahun sebelumnya. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap anak biasanya terjadi dalam keluarga yang memiliki kombinasi "faktor risiko", yang termasuk orang tua atau wali dengan stres yang berhubungan dengan pekerjaan, masalah keuangan, dan perkawinan. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih rentan terhadap pelanggaran, seperti status ekonomi keluarga. "Ketidakmampuan orang tua untuk mengasuh anak-anak mereka dan diri mereka sendiri sambil menyeimbangkan pekerjaan yang penuh tekanan, adalah salah satu alasan mengapa mereka melampiaskan rasa frustrasi mereka kepada anak-anak mereka," demikian pernyataan dari kementerian. "Faktor eksternal, seperti jenis lingkungan, latar belakang keluarga, dan pengaruh media, juga saling berkait." Data tersebut menunjukkan, jumlah kasus penganiayaan yang tertinggi berada di perumahan liar dan perumahan murah. Selain itu, faktor himpitan ekonomi juga memberikan kesempatan bagi predator seksual untuk mengambil keuntungan dari anak-anak. 36 36 Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Malaysia Mengkhawatirkan, diakses dari : http://m.batamtoday.com/berita32152-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Anak-di-Malaysia-Mengkhawatirkan.html editor : Dodo pada tanggal 21 agustus 2013 Universitas Sumatera Utara 2. MYANMAR Pemberitaan terkait pengungsi suku minoritas Rohingya Myanmar mengundang perhatian masyarakat internasional, setelah ratusan manusia perahu yang melarikan diri dari Myanmar terdampar di Aceh dan mengungkapkan perlakuan buruk yang mereka terima selama berada di Thailand. Pada awal tahun 2009 lalu, Angkatan Laut Thailand telah menangkap manusia perahu Rohingya di perairan Andaman dan kemudian memaksa sekitar 1000 manusia perahu kembali ke laut dalam perahu-perahu tanpa mesin serta tanpa perbekalan air dan makanan yang memadai. International Organization for Migration (IOM) juga menemukan bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Thailand tersebut. Tidak heran apabila kemudian Thailand menuai kritik dan kecaman dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Perlakuan militer Thailand tersebut tergolong tindakan tidak manusiawi bahkan untuk alasan penerapan hukum terhadap para pelanggar batas atau illegal entry sekalipun. Organization of the Islamic Conference (OIC) juga telah meminta Pemerintah Thailand untuk memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap manusia perahu sebagaimana yang tercantum dalam the 1951 UN Convention on Refugees. Kasus manusia perahu tersebut muncul ditengah-tengah kentalnya isuisu HAM dan memunculkan pertanyaan mengenai kesungguhan negara-negara ASEAN dalam penegakan HAM dan pembentukan ASEAN Human Right Body. Penanganan kasus manusia perahu juga diwarnai berbagai perbedaan kepentingan negara-negara di kawasan. Bagi Thailand keberadaan manusia perahu Rohingya di wilayahnya adalah illegal dan merupakan bagian dari kejahatan penyeludupan dan perdagangan manusia. Tidak berbeda dengan Thailand, Indonesia juga berpendapat bahwa gelombang pengungsian tersebut merupakan kegiatan human trafficking dan people smuggling. Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap penderitaan etnis Rohingya dan berupaya untuk mencari solusi terbaik sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945. Universitas Sumatera Utara Myanmar sebagai negara asal, mengambil sikap tidak peduli terhadap nasib etnis minoritas tersebut dan bersikeras bahwa Rohingya bukanlah warganya. Sementara itu, Bangladesh sebagai negara miskin di kawasan Asia Selatan merasa terbebani dengan besarnya arus pengungsian dari Myanmar tersebut. Australia yang menjadi salah satu negara tujuan berkepentingan dalam mencegah masuknya pengungsi dikarenakan alasan kepentingan keamanan nasionalnya. Muncul pertanyaan bagaimana kasus ini akan ditangani, mekanisme apa yang dapat digunakan dalam penyelesaiannya? Bagaimana instrumen hukum dapat memberikan perlindungan terhadap manusia perahu ini? Baik Thailand maupun Indonesia menyadari bahwa manusia perahu ini memerlukan penanganan komprehensif yang melibatkan hampir semua negara di kawasan karena merupakan cross border issues.Siapa etnis Rohingya ini? Bagaimana gelombang pengungsian etnis Rohingya bermula? Etnis Rohingya telah mendiami dua kota di Utara Negara Bagian Rakhine, yang dulu dikenal dengan nama Arakan, wilayah bagian barat Myanmar sejak abad ke-7 Masehi. Saat ini masih terdapat sekitar 600.000 orang Rohingya yang tinggal di Myamar. Etnis Rohingya secara fisik, bahasa danbudaya lebih mendekati bangsa Asia Selatan, dan sebagian dari mereka adalah keturunan Arab, Persia dan Pathan. Selama bertahun-tahun mereka mendapatkan perlakuan buruk dan diskriminatif dari Pemerintah Myanmar, terlebih lagi paska operasi Militer King Dragon, 37 yang telah memaksa mereka mengungsi ke Bangladesh. Menurut data Amnesti Internasional pada periode 1991-1992, kurang lebih 250 ribu orang Rohingya mengungsi dan memasuki wilayah Bangladesh. Sedangkan menurut data UNHCR, saat ini terdapat sekitar 28 ribu orang Rohingya yang tinggal di kampkamp pengungsi di Bangladesh. Ironisnya etnis muslim Rohingya tersebut tidak diakui baik oleh Myanmar maupun Bangladesh sebagai warganya. 37 Pada tahun 1978 Pemerintah Myanmar dibawah kepemimpinan Jenderal Ne Win melakukan operasi militer King Dragon di Negara bagian Rakhine (Arakan) dalam upaya memberantas para mujahidin di wilayah tersebut.Namun, operasi militer tersebut juga berdampak pada masyarakat muslim lainnya, terutama dari etnis Rohingya. Universitas Sumatera Utara Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai orang Bengali (Bangladesh) yang tinggal di Myanmar. Pemerintah Junta Militer Myanmar menyatakan bahwa sekalipun mereka tinggal di Arakan, Myanmar, tetapi etnis Rohingya bukanlah rakyat Myanmar dan tidak termasuk dalam salah satu dari 135 kelompok etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. 38 Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis Rohingya ini adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan atau stateless. Menurut Amnesti Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi, mayoritas dari mereka tidak diakui kewarga-negaraannya. Mereka hanya sedikit dan bahkan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah dan rumah serta diperkerja paksakan pada sejumlah pekerjaan pembangunan infrastruktur di Myanmar. Perlakuan diskriminatif tersebut telah memaksa mereka memilih untuk menjadi manusia perahu dan meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan dan penghidupan yang lebih baik di negara lain. Negara-negara yang menjadi tempat transit dan tujuan mereka antara lain adalah Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Thailand, Indonesia dan Australia. Hingga pada awal tahun 2009 perhatian dunia internasional kembali tertuju pada etnis Rohingya ketika sekitar 1000 manusia perahu tersebut ditangkap pada saat akan memasuki wilayah Thailand. Namun, menurut perwakilan UNHCR di Bangkok, meskipun tidak diketahui jumlah pastinya, setidaknya masih terdapat sekitar 78 orang Rohingya yang ditahan di Ranong, di bagian selatan Thailand dan belum dapat diketahui 38 Pernyataan dikeluarkan pada Press Realese Kemlu Myanmar pada 26/02/1992. Pernyataan tersebut ditegaskan lagi dalam Political Situation of Myanmar and its Role in the Region, Col. Hla Min, Office of Strategic Studies, Ministy of Defense of Myanmar, February 2001, p. 95-99. Pemberitaan Media Indonesia, 12/02/2009, hal 6, bahwa Perwakilan Pemerintah Myanmar di Hongkong melalui surat kabar setempat yang meminta agar masyarakat internasional, khususnya media untuk tidak menyebut etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009 Universitas Sumatera Utara keadaannya apakah mereka juga memerlukan perlindungan internasional. Pemerintah Thailand menyatakan bahwa manusia perahu Rohingya sebagai pelintas batas illegal dan dikategorikan sebagai migran ekonomi, bukan pencari suaka yang berhak mendapatkan status pengungsi. Namun, bagaimana kedudukan manusiaperahu Rohingya ditinjau dari pandangan hukum?. Ada 2 perangkat hukum internasional yang mengatur masalah pengungsi yaitu the 1951 UN Convention on Refugees dan the 1967 Protocol on Status of Refugees. Konvensi tersebut dalam artikel 1 butir A (2) mendefinisikan pengungsi 39 sebagai:"A person who owing to a well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.." Menurut hukum internasional, pengungsi adalah orang yang berada di luar negara atau tempat tinggal asalnya, mengalami ketakutan terhadap penuntutan dikarenakan oleh ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau memiliki pandangan politik yang berbeda, dan tidak memiliki kewarganegaran dan tidak mampu atau tidak bersedia untuk mendapatkan perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya dikarenakan adanya ketakutan tersebut. Sedangkan definisi migran menurut Pedoman Penetapan Prosedur dan Kriteria Pengungsi sesuai Konvensi tahun 1951 adalah orang yang, selain dari alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu dan perbedaan pandangan politik, secara sukarela meninggalkan negaranya untuk menetap di negara lain. 40 39 The 1951 UN Convention on Refugees yang diamandemen dalam Protokol 1967dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, 40 Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protokol relating to the Status of Refugees paragraph 62, UNHCR document, Geneva, Januari 1992 dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Sedangkan motivasinya untuk berpindah tempat tinggal, adalah karena menginginkan perubahan atau petualangan, atau karena alasan keluarga maupun pribadi. Apabila secara khusus motivasinya adalah pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, maka orang tersebut adalah seorang migran ekonomi dan bukan termasuk kategori pengungsi. Namun, perbedaan antara migran ekonomi dengan pengungsi seringkali rancu dan tidak jelas. Memang bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan standar ukuran apakah ekonomi atau politik yang menjadi latar belakang atau motif dari perpindahan seseorang, karena bukan tidak mungkin apabila motif ekonomi tersebut dipengaruhi oleh isu rasial, agama atau politik yang dihadapi oleh satu kelompok tertentu di negara asalnya. 41 Disamping itu, pada prakteknya, penentuan apakah orang tersebut adalah pengungsi atau bukan, seringkali diserahkan pada lembagalembaga atau badan-badan Pemerintah dari negara penerima, negara transit atau negara kedua. Akibatnya adalah terjadinya kecenderungan untuk menolak memberikan status pengungsi dan bahkan para pencari suaka tersebut seringkali diperlakukan sebagai pendatang illegal. Sehingga sulit untuk dapat menggaransi adanya suatu perlindungan bagi para pencari suaka tersebut. Seperti halnya manusia perahu Rohingya, lalu apakah dengan demikian mereka dapat dikategorikan sebagai pengungsi? Ada berapa fakta terkait manusia perahu tersebut, yaitu: pertama, etnis Rohingya jelas tidak diakui sebagai rakyat Myanmar (stateless). Pengertian stateless ini dinyatakan dalam artikel 1 the 1954 Convention Relating to the Status of Stateless Persons adalah “a person who is not considered as a national by any state under the operation of its law”. Kedua, mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan rasis baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi diskriminasi tersebut meliputi tidak diberikannya 41 The distinction between an economic migrant and a refugee is, however, sometimes blurred in the same way as the distinction between economic and political measures in an applicant’s country of origin is not always clear...” Dikutip dari Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967Protokol relating to the Status of Refugees, UNHCR Publication, Jenewa, 1992 dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara hak kepemilikan atas tanah dan rumah, pemberlakuan perbedaan dalam pengenaan pajak, dan lain-lain. Secara sosial, Rohingya terdiskriminasi dengan adanya pembatasan ijin pernikahan dan akses pendidikan, serta terbatasnya ruang gerak mereka di Myanmar. Sedangkan secara politik mereka tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Ketiga, etnis Rohingya mengalami berbagai penyiksaan dan pelanggaran HAM dengan diperkerja paksakan, diberi upah minim dan bahkan tanpa upah diberbagai proyek pembangunan infrastruktur di Myanmar. 42 Fakta lain mengatakan bahwa, Pemerintah Myanmar tidak memberikan status kewarganegaraan karena etnis Rohingya tidak termasuk ke dalam 135 etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai bangsa pendatang dari Bengali-Bangladesh yang tinggal di Myanmar. Secara hukum, orang Rohingya tidak mendapatkan hak yang sama dengan warga Myanmar lainnya. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Myanmar memberlakukan berbagai pembatasan di bidang ekonomi, sosial dan politik bagi etnis Rohingya. Fakta lainnya adalah dari hasil penyelidikan diketahui bahwa mereka meninggalkan Myanmar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di negara lain atau dengan kata lain faktor ekonomilah yang menjadi motif pendorong utama. Namun, apabila ditelaah lebih lanjut, di balik motif ekonomi dapat dikatakan etnis Rohingya di Myanmar mengalami berbagai tekanan sebagaimana yang tercantum padaartikel 1 Konvensi tentang Pengungsi atau dengan kata lain mereka mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif sehingga secara ekonomi etnis Rohingya tertekan. Berdasarkan ketentuan Konvensi tersebut, manusia perahu Rohingya berhak mendapat status pengungsi. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee 42 Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Right Denied, Amnesty International, May 2004, AI Index: ASA 16/005/2004 http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/en/dom-ASA160052004en.pdf. Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees paragraph 63, bahwa: …Behind economic measures affecting a person’s livelihood there may be racial, religious or political aims or intentions directed against a particular group. Where economic measures destroy the economic existence of a particular section of the population (e.g. withdrawal of trading rights from, or discriminatory or excessive taxation of, a specific ethnics or religious group), the victims may according tothe circumstances become refugees on leaving the country. Konsekuensi dari butir diatas terhadap negara-negara yang menjadi tempat transit (negara kedua) atau negara tujuan (negara ketiga) sebagaimana tercantum dalam artikel 31 butir (1) adalah bahwa: The Contracting States shall not impose penalties, on account of their illegal entry or presence, on refugees who, coming directly from a territory where their life or freedom was threatened in the sense of article 1, enter or are present in their territory without authorization, provided they present themselves without delay to the authorities and show good cause for their illegal entry or presence. 43 Ini berarti bahwa tindakan Pemerintah Thailand melanggar ketentuan tentang kewajiban suatu negara terhadap pengungsi. Selain itu, tindakan mendeportasi manusia perahu, khususnya Rohingya juga akan bertentangan dengan artikel 33 butir 1 Konvensi tentang Pengungsi yaitu: No Contracting States shall expel or return (“refouler”) a refugee in any manner where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. 44 Sebagaimana ketentuan dalam hukum internasional lainnya, ketentuan tersebut mengikat seluruh negara yang menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Sedangkan, kepada negaranegara non pihak, kewajiban-kewajiban perlindungan dan penanganan pengungsi lebih tergantung pada willingness dari negara non pihak tersebut. 43 Artikel 31 butir 1, Refugees Unlawfully in the Country of Refugeee, the 1951 UN Convention on Refugees, http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/o c ref.htm dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, 44 Artikel 33 butir 1 Prohibition of Expulsion or Return (“refoulement”), the 1951 UN Convention on Refugees,http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/o_c_ref.htm, dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, Universitas Sumatera Utara Sekalipun demikian, prinisip non legally binding untuk negara-negara non pihak pada Konvensi tersebut tidak serta merta menghapuskan kewajiban universal lainnya dalam memberikan perlindungan dan penegakan HAM. Keterlibatan Indonesia dan Thailand dalam penanganan manusia perahu Rohingya didasari oleh pertimbangan kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat Rohingya, perlindungan HAM dan solidaritas kesatuan ASEAN. Disamping itu, didasari oleh tekad untuk mengurangi, apabila dapat, menghentikan praktek kejahatan perdagangan dan penyeludupan manusia, khususnya dikawasan Asia Pasifik. Kebijakan Pemri jelas bahwa penanganan masalah Rohingya harus tuntas namun tidak mencederai hubungan bilateral dan regional (ASEAN). Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa penanganan manusia perahu tersebut akan melibatkan negara asal, negara transit, negara tujuan negara-negara lain di kawasan serta lembaga internasional terkait (seperti antara lain UNHCR dan IOM). Mempertimbangkan latar belakang permasalahannya, kasus manusia perahu Rohingya tersebut sangat kompleks dan merupakan cross border issues, dan bukan semata-mata isu ekonomi. Sehingga dalam penanganannya tidak mungkin dilakukan oleh satu atau dua negara saja. Ada beberapa opsi pilihan dalam penanganan sekitar 400 manusia perahu yang terdampar di Aceh, antara lain adalah pertama, Indonesia segera mengembalikan (mendeportasi) manusia perahu tersebut, apabila dipandang negara asal akan menerima dan menjamin adanya perlindungan bagi mereka. Untuk itu, Indonesia perlu meng-engage Myanmar secara bilateral maupun dalam kerangka ASEAN dalam menjamin perlindungan HAM bagi etnis Rohingya. Mengkaitkan kasus pengungsian Rohingya dengan upaya penegakan HAM di ASEAN menjadi sangat krusial dan kemungkinan tidak akan terselesaikan dengan mudah. Myanmar menganggap HAM adalah isu sensitif dalam negerinya dan track record penegakan HAM Myanmar juga masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya, sementara pengungsian tersebut ditenggarai karena terjadinya pelanggaran HAM. Kedua, Indonesia sebagai negara transit menetapkan status manusia perahu tersebut sebagai pengungsi. Universitas Sumatera Utara Dalam kaitan ini, Indonesia dapat meminta bantuan dan bekerjasama dengan IOM, UNCHR dan OCHA untuk mencarikan negara ketiga/tujuan. IOM dipandang sebagai lembaga internasional yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini. IOM menangani isu-isu migrasi, termasuk people smuggling atau trafficking in person. Disamping itu, kerja IOM dalam menangani migrasi dinilai lebih cepat dan efektif, apalagi mengingat bahwa motif manusia perahu Rohingya diduga kuat adalah pencari suaka ekonomi. Namun, Pemri hendaknya tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan UNHCR dan OCHA dalam mencari pemecahan terbaik bagi penyelesaian kasus ini. Kasus Rohingya ini memperlihatkan masih lemahnya upaya penegakan HAM di ASEAN. Terkait upaya penegakan HAM dalam konteks regional, mekanisme konsultasi ASEAN diharapkan dapat menjadi pilihan dalam menyamakan persepsi dan mencari solusi terhadap tindak pelanggaran HAM dan sekaligus menghentikan akar penyebab gelombang pengungsian tersebut. Pada tingkat yang lebih luas, Indonesia, Thailand dan negara-negara ASEAN lainnya telah sepakatmenggunakan pertemuan Bali Process, yaitu suatu forum tingkat menteri yang bertujuan untuk menetapkan dan mengambil langkahlangkah yang dibutuhkan dalam mengatasiisu-isu perdagangan manusia dan kejahatan-kejahatan antar negara lainnya di wilayah Asia-Pasifik, guna mencari penyelesaian terbaik dalam menangani kasus manusia perahu ini. Perbedaan tingkat kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tajam di kawasan Asia Pasifik membuat gelombang migrasi irreguler sangat rentan terkait dengan tindak perdagangan manusia dan kejahatan transnasional lainnya. Untuk itu, melalui kerangka Bali Process diharapkan kasus-kasus yang timbul, baik itu perdagangan dan penyeludupan manusia maupun kejahatan transnasional lainnya dapat diselesaikan secara komprehensif sampai ke akar permasalahannya. Migrasi etnis Rohingya ditenggarai bermotif ekonomi dan sarat akan isu pelanggaran HAM. Apapun motif dibalik migrasi tersebut, pelanggaran HAM yang terjadi maupun eksploitasi ekonomi harus diakhiri. Upaya menyelesaikan kasus pengungsian secara komprehensif harus melibat berbagai pihak, yaitu negara asal, Universitas Sumatera Utara negara transit dan negara penerima serta organisasi internasional terkait dan dilakukan melalui mekanisme yang ada, baik dalam kerangka ASEAN maupun Bali Process. Selain itu, dalam menghadapi perdagangan bebas, kasuskasus migrasi seperti Rohingya akan memunculkan tantangan bagi Indonesia, ASEAN dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik. Perdagangan bebas ASEAN akan semakin mendorong terjadinya migrasi penduduk di kawasan, dan apabila isu migrasi tidak ditangani dengan baik, maka akan rentan terhadap terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia, tindak kejahatan penyeludupan dan perdagangan manusia. Untuk itu, diperlukan upaya secepatnya dari negara-negara di kawasan untuk membenahi mekanisme dan instrumen hukumnya terkait mengenai pengaturan migrasi penduduk 45. 3. THAILAND 46 Thailand adalah sumber transit negara tujuan untuk pria, wanita dan anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial dan kerja paksa . Kemakmuran Thailand menarik pendatang dari negara-negara tetangga yang melarikan diri dari kondisi kemiskinan dan, dalam kasus Burma, represi militer. Migrasi ilegal yang signifikan ke Thailand menyediakan pedagang dengan kesempatan untuk memaksa atau menipu migran yang tidak berdokumen dalam kerja paksa atau eksploitasi seksual. Perempuan dan anak-anak diperdagangkan dari Burma, Kamboja, Laos, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam , Rusia dan Uzbekistan untuk eksploitasi seksual komersial di Thailand. Sejumlah perempuan dan anak perempuan dari Burma, Kamboja dan Vietnam diperdagangkan melalui perbatasan selatan Thailand ke Malaysia untuk eksploitasi seksual. Etnis minoritas seperti orang suku bukit utara yang belum menerima residensi hukum atau kewarganegaraan beresiko tinggi untuk 45 Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009, 46 Human Traffiking in Thailand, Diakses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand pada tanggal 24 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara perdagangan internal dan luar negeri , termasuk ke Bahrain , Australia , Afrika Selatan , Singapura , Malaysia , Jepang , Hong Kong , Eropa dan Amerika Serikat. Setelah migrasi sukarela ke Thailand , pria, wanita , dan anak-anak , terutama dari Burma , mengalami kondisi kerja paksa di pertanian, pabrik , konstruksi , perikanan komersial dan pengolahan ikan , pekerjaan rumah tangga dan mengemis . Buruh Thailand bekerja di luar negeri di Taiwan , Malaysia , Amerika Serikat dan Timur Tengah sering membayar biaya perekrutan besar sebelum keberangkatan , menciptakan hutang yang dalam beberapa kasus dapat melawan hukum dimanfaatkan untuk memaksa mereka ke dalam istilah yang sangat panjang tenaga kerja paksa . Anak-anak dari Burma , Laos dan Kamboja diperdagangkan untuk mengemis dan eksploitasi buruh di Thailand . Empat sektor utama perekonomian Thailand ( perikanan , konstruksi, pertanian komersial dan pekerjaan rumah tangga ) sangat bergantung pada migran Burma yang tidak berdokumen , termasuk anak-anak , sebagai buruh murah yang dieksploitasi. Pemerintah Thailand tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia, namun, itu adalah membuat upaya yang signifikan untuk melakukannya. Pada bulan November 2007 , Majelis Nasional Legislatif Thai mengesahkan undang-undang anti - trafficking baru komprehensif yang pemerintah Thailand dilaporkan akan berlaku pada bulan Juni 2008. Walaupun tidak ada penuntutan pidana kasus kerja paksa selama periode pelaporan , pemerintah Thailand Maret 2008 melakukan serangan di sebuah pabrik pengolahan udang di provinsi Samut Sakhon , menyelamatkan 300 korban Burma kerja paksa. Departemen Tenaga Kerja kemudian merilis pedoman tentang bagaimana ia akan menerapkan langkah-langkah yang lebih kuat untuk mengidentifikasi kasus perdagangan tenaga kerja di masa depan. Namun demikian, pemerintah Thailand belum memulai penuntutan pemilik dari Samut Sakhon pabrik pengolahan udang terpisah dari yang 800 orang Burma, perempuan dan anak-anak diselamatkan dari kondisi kerja paksa, termasuk kekerasan fisik dan psikologis dan kurungan , pada bulan September 2006 . Universitas Sumatera Utara Menurut humantrafficking.org, Thailand adalah sumber, transit, dan negara tujuan untuk perdagangan manusia: "Ini adalah hub tujuan-sisi eksploitasi di sub-wilayah Greater Mekong, untuk kedua jenis kelamin dan eksploitasi tenaga kerja." Sebagian besar korban perdagangan Thailand diperdagangkan ke Uni Emirat Arab, Malaysia, Sri Lanka, Bahrain dan China, baik untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja. Korban Thailand juga telah dipulangkan dari Rusia, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura. Warga negara Thailand juga dikenal untuk diperdagangkan ke Australia, Kanada, Jerman, Indonesia, Israel, Jepang, Kuwait, Libya, Qatar, Arab Saudi, Korea Selatan, Taiwan, dan Timor-Leste, "menurut sumber online, mengutip data UN 2011. Mereka yang cukup beruntung untuk diselamatkan, bagaimanapun, memiliki masalah menetap kembali ke masyarakat mereka. Sebuah laporan PBB yang didukung pada perdagangan manusia yang dirilis pada 14 Oktober mengatakan bahwa banyak korban bencana di Greater Mekong Sub-region Asia Tenggara tidak diberikan bantuan yang memadai untuk reintegrasi ke dalam masyarakat mereka. Studi yang ditugaskan oleh pemerintah dari Koordinasi Mekong Menteri Inisiatif Anti Perdagangan atau Co-ordinated Mekong Ministerial Initiative against Trafficking (COMMIT) Kamboja, Cina, Republik Demokratik Rakyat Laos, Burma, Thailand dan Vietnam mengatakan bahwa ketika dukungan diberikan dengan cara yang tidak menghormati akan korban, atau bahkan bertentangan dengan keinginan mereka, hal ini dapat menyebabkan trauma lebih lanjut dan kelanjutan dari korban mereka. Anak-anak dari Kamboja atau Myanmar (Burma) wilayah perbatasan dan pedesaan Vietnam atau China diperdagangkan mengemis atau menjual bunga di jalanan kota-kota besar, sementara perempuan dan anak perempuan dari Thailand, Kamboja, Myanmar (Burma) dan Vietnam semakin sering ditemukan ditempat pelacuran atau pembantu rumah tangga di Malaysia. Perempuan Thailand diperdagangkan juga ditemukan dalam perdagangan seks di Hong Kong, Taiwan, Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah, Amerika Serikat dan Eropa Barat. Universitas Sumatera Utara Situasi ini tidak terbatas pada Thailand itu adalah masalah yang berkembang mengganggu kawasan Asia. Hanya meminta keluarga Thi Thi Moe, seorang gadis muda Burma yang ibunya di wawancarai via email dengan bantuan wartawan lokal Burma Leyee Myint .Moe adalah salah satu dari sekitar 10.000 korban yang diperdagangkan ke negara-negara tetangga setiap tahun untuk perbudakan seksual atau kerja paksa. Keluarganya tinggal di Hinthada Township, sekitar empat jam dari Rangoon. Ibunya Soe Soe Tint mengatakan putrinya dijual seharga hampir $ 5.000 kepada pemilik pabrik pakaian di Cina tahun lalu dan belum pernah kembali. Dia berharap bahwa pemerintah akan membantu mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan penuntutan. Memang, sulit untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak telah menjadi korban perdagangan manusia, tetapi pada akhirnya, statistik tidak penting. Satu anak, setelah semua, adalah salah satu korban terlalu banyak, apakah dipaksa mengemis di jalan-jalan atau dikurung di rumah bordil suram sebagai budak seks. Pada tahun 2010, perdana menteri Thailand memimpin pertemuan dengan organisasi buruh dan masyarakat sipil untuk mengkoordinasikan upaya-upaya anti-perdagangan manusia, yang menyebabkan perkembangan dari kedua enam tahun Strategi Kebijakan Nasional pemerintah Thailand pada perdagangan manusia 2011-2016. Pada bulan Juli 2010, perdana menteri secara terbuka mengakui kebutuhan untuk meningkatkan koordinasi antar lemahnya pemerintah dalam menangani perdagangan manusia dan peningkatan penuntutan perdagangan dilaporkan sendiri pemerintah dan keyakinan, namun ada data yang tersedia tidak cukup untuk menentukan apakah masing-masing bisa dikategorikan sebagai keyakinan perdagangan manusia. Pemerintah juga terus berupaya untuk melatih ribuan polisi, tenaga kerja, jaksa, pekerja sosial, dan pejabat imigrasi ketika mengidentifikasi korban. Meskipun peningkatan upaya, ruang lingkup dan besarnya masalah trafficking di Thailand tetap signifikan, dan terus menjadi rendahnya jumlah korban yang diidentifikasi di antara penduduk untuk kedua jenis kelamin dan perdagangan tenaga kerja. Universitas Sumatera Utara LSM melaporkan bahwa masalah yang menghambat upaya-upaya antitrafficking pemerintah termasuk korupsi polisi setempat, termasuk keterlibatan langsung dalam dan fasilitasi perdagangan manusia, kurangnya sistem pemantauan yang komprehensif dari upaya pemerintah, kurangnya pemahaman di antara pejabat lokal perdagangan,kurangnya Pengadilan dari pendekatan berbasis HAM untuk kasus-kasus pelecehan tenaga kerja, dan Disinsentif yang sistematis untuk korban perdagangan untuk diidentifikasi. Selain itu, sementara pemerintah terus berupaya untuk mencegah perdagangan manusia dengan bantuan dari organisasi internasional dan LSM, pemerintah belum memadai kerentanan struktural terhadap perdagangan yang diciptakan oleh kebijakan. Untuk alasan ini, Pemerintah Thailand ditempatkan di Tier 2 yaitu the 2011 U.S. Department of State’s Trafficking in Persons Report (TIP Report) karena tidak sepenuhnya sesuai dengan Korban Trafficking standar minimum Undang-Undang Perlindungan untuk penghapusan perdagangan tetapi membuat upaya yang signifikan untuk dilakukan. Ini menandai tahun kedua berturut-turut Thailand pada Tier 2. Pemerintah Thailand bekerja sama dengan badan-badan internasional dan LSM dan pemerintah asing untuk memerangi manusia trafficking. Hal ini juga menandatangani memorandum kesepahaman anti-trafficking atau memoranda of understanding (MOU) dengan Kamboja, Laos, dan Vietnam dan menetapkan kebijakan pendaftaran migran dan menandatangani MoU kerja bilateral dengan Kamboja, Laos dan Myanmar . The US Department of State merekomendasikan agar pemerintah Thailand memberlakukan langkah-langkah berikut dalam 2011 TIP laporannya: a. Meningkatkan upaya-upaya untuk mengidentifikasi korban perdagangan antara populasi rentan, migran tidak berdokumen tertentu dan dideportasi b. Meningkatkan upaya untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum pelaku perdagangan tenaga kerja Universitas Sumatera Utara c. Meningkatkan upaya untuk menyelidiki, mengadili, dan pejabat terpidana yang terlibat dalam korupsi perdagangan d. Pastikan bahwa pelaku perekrutan tenaga kerja penipuan dan kerja paksa menerima hukuman pidana yang ketat e. Meningkatkan standar inspeksi perburuhan dan prosedur untuk lebih mendeteksi pelanggaran di tempat kerja, termasuk kasus perdagangan manusia f. Meningkatkan pelaksanaan prosedur untuk memungkinkan semua korban trafficking dewasa untuk bepergian, bekerja, dan berada di luar tempat penampungan g. Memberikan alternatif hukum untuk penghapusan korban perdagangan ke negara-negara di mana mereka akan menghadapi kesulitan atau retribusi h. Menerapkan mekanisme untuk memungkinkan korban perdagangan asing dewasa untuk berada di Thailand i. Buatlah upaya yang lebih besar untuk mendidik pekerja migran tentang hak-hak mereka, kewajiban majikan mereka kepada mereka, jalur hukum yang tersedia bagi korban perdagangan, dan bagaimana mencari solusi terhadap para pedagang j. Meningkatkan upaya untuk mengatur biaya dan broker yang terkait dengan proses untuk melegalkan pekerja migran untuk mengurangi kerentanan migran terhadap perdagangan manusia, dan k. Meningkatkan upaya kesadaran anti-perdagangan manusia diarahkan pada majikan dan klien 47 4. FILIPINA Isu trafiking anak biasanya juga tidak bisa dilepaskan dari perempuan. Sebagai ibu, salah satu mata rantai dan sebagai korban itu sendiri. Perempuan dan 47 Human Trafficking in Thailand , Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/thailand pada tanggal 24 desember 2013 Universitas Sumatera Utara anak memang selalu menjadi kelompok minoritas dan warga negara kelas dua.Plato dalam mahakaryanya Republik, disekita abad 400 SM sudah pernah menyebutkan bahwa perempuan sama halnya dengan budak dan anak-anak berhak atas kehidupan publik. Dia hanya objek bagi seksualitas laki-laki. Dan perbudakan itu dari dulu hingga sekarang tetap ada, dan muncul dalam dimensi baru : trafiking. 48 Filipina adalah sumber dan pada tingkat yang jauh lebih rendah, tujuan dan negara transit untuk pria, wanita, dan anak-anak yang mengalami perdagangan seks dan kerja paksa. ILO memperkirakan bahwa satu juta pria dan wanita Filipina bermigrasi ke luar negeri setiap tahun untuk kesempatan kerja, dan bahwa 10 juta warga Filipina saat ini tinggal dan bekerja diluar negeri. Sejumlah besar migran ini mengalami kondisi kerja paksa di pabrik-pabrik, di lokasi konstruksi, di kapal penangkap ikan, di perkebunan pertanian, dan sebagai pembantu rumah tangga di Asia dan semakin banyak di seluruh Timur Tengah. Perempuan Filipina di luar negeri menjadi pembantu rumah tangga menghadapi dan mengalami pemerkosaan dan kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Pekerja terampil migran Filipina, seperti insinyur dan perawat, juga telah mengalami kondisi kerja paksa. Perempuan diperdagangkan ke dalam industri seks komersial di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Jepang dan di berbagai negara Timur Tengah . Filipina merupakan negara tujuan bagi sejumlah kecil perempuan yang diperdagangkan dari Republik Rakyat China, Korea Selatan, Rusia dan Eropa Timur untuk eksploitasi seksual komersial . Perdagangan internal pria, wanita, dan anak-anak juga tetap menjadi masalah yang signifikan di Filipina. Orang diperdagangkan dari daerah pedesaan ke pusat-pusat perkotaan termasuk Manila, Cebu, kota Angeles, dan semakin ke kota-kota di Mindanao, serta dalam areas perkotaan. Perempuan dan anak-anak diperdagangkan di dalam negeri untuk kerja paksa sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja pabrik skala kecil, untuk mengemis paksa, dan untuk eksploitasi di industri seks komersial. Pekerja migran 48 Jurnal Perempuan 51, Mengapa Mereka diPerdagangkan?, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta 2007 Universitas Sumatera Utara Filipina (baik di dalam negeri dan luar negeri) yang menjadi korban perdagangan manusia sering tunduk pada kekerasan, ancaman, kondisi hidup yang tidak manusiawi, tidak membayar gaji, dan penahanan perjalanan dan dokumen identitas. Meskipun prostitusi adalah ilegal, ratusan korban dikenakan prostitusi paksa setiap hari di dunia usaha terkenal dan sangat terlihat yang melayani baik permintaan domestik dan asing untuk seks komersial terhadap pariwisata seks anak pada khususnya masih menjadi masalah serius di Filipina , dengan wisatawan seks datang dari Asia Timur Laut, Australia, Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Utara untuk terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak. Pekerja anak adalah masalah umum di Filipina. Satu laporan pemerintah memperkirakan bahwa ada lebih dari 2,2 juta anak yang bekerja usia 15 sampai 17 di negara itu pada tahun 2009. Sebagian besar anak-anak ini bekerja sebagai buruh dan pekerja tidak terampil, dan sering terkena lingkungan kerja yang berbahaya dalam industri seperti pertambangan, perikanan, produksi piroteknik, pelayanan rumah tangga, sampah pemulungan, dan pertanian, khususnya perkebunan tebu. Sejumlah besar anak-anak juga dipekerjakan di sektor informal ekonomi perkotaan sebagai pekerja rumah tangga atau pekerja keluarga yang tidak dibayar sebagai di daerah pertanian pedesaan. LSM dan pejabat pemerintah melaporkan kasus pada tahun 2010 di mana anggota keluarga menjual anak-anak untuk majikan untuk pekerja rumah tangga. Anak-anak juga rentan terhadap berbagai kelompok militer di Filipina. Front Pembebasan Islam Moro atau The Moro Islamic Liberation Front (MILF), kelompok separatis, dan Tentara Rakyat Baru atau the New People’s Army (NPA) telah diidentifikasi oleh PBB sebagai salah pelaku persisten dunia pelanggaran terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata, termasuk memaksa anak-anak ke dalam layanan. Selama tahun 2010, ada laporan terus PBB bahwa Abu Sayyaf yang ditargetkan untuk anak-anak wajib militer baik sebagai kombatan dan noncombatants. Universitas Sumatera Utara Ada sejumlah faktor berisiko tinggi di Filipina yang dapat berkontribusi terhadap perdagangan manusia. Ini termasuk: Konflik antara MILF dan Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) kiri antara 128.000 dan 160.000 orang pengungsi rentan pada tahun 2010, kemiskinan, pertumbuhan penduduk, dan ketergantungan beban telah menyebabkan beberapa orang tua untuk melihat pekerja anak sebagai sarana untuk mengatasi sedikit pemasukan keluarga, kemiskinan, terutama di daerah pedesaan, pengangguran yang tinggi dan pengangguran terselubung dan kendala untuk pertumbuhan usaha kecil dan menengah adalah beberapa tantangan yang dihadapi tenaga kerja Filipina yang telah menyebabkan banyak orang untuk bermigrasi untuk bekerja, kehadiran ekonomi informal yang besar, diperkirakan antara 40-80% dari pekerja Filipina, yang sebagian besar tidak terdaftar atau tercatat dalam statistik resmi dan berada di luar jangkauan perlindungan sosial dan tenaga kerja legislasi. Diperkirakan 900.000 orang Filipina tanpa dokumen, sebagian besar berbasis di Mindanao, yang kurangnya dokumentasi resmi memberikan kontribusi untuk kerentanan penduduk untuk perdagangan. Dalam kasus pekerja anak, Departemen Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan atau , the Department of Labor and Employment (DOLE) mengeluarkan peraturan baru pada tahun 2009 yang memfasilitasi penutupan langsung dari perusahaan yang diduga menggunakan anak-anak untuk tindakan seks komersial, dengan sidang pengadilan untuk menentukan validitas pengaduan yang akan diselenggarakan di lain waktu. Antara 2009 dan 2010 DOLE memerintahkan penutupan 22 perusahaan karena diduga melacurkan anak di bawah umur. Percobaan dalam kasus ini sedang berlangsung. Selain itu, pemerintah melakukan upaya-upaya penting tahun 2010 untuk mengatasi korupsi perdagangan manusia, dan beberapa kasus pidana terhadap pejabat Filipina telah dimulai dan tetap berlangsung. Pemerintah memberlakukan berbagai langkah dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan respon kelembagaan, termasuk peningkatan pelatihan peradilan, penegakan hukum, dan pejabat diplomatik mengenai isu-isu perdagangan, penciptaan dan pendanaan dari gugus tugas anti- Universitas Sumatera Utara trafficking di bandara, pelabuhan laut, wilayah, dan daerah, dan peningkatan staf yang berdedikasi untuk memerangi perdagangan manusia. Namun, tetap ada backlog substansial dalam kasus perdagangan tertunda di pengadilan Filipina, kurangnya upaya yang kuat untuk mengejar penuntutan pidana pedagang tenaga kerja, termasuk perusahaan-perusahaan perekrutan tenaga kerja yang terlibat dalam perdagangan pekerja migran di luar negeri, korupsi yang merajalela di semua tingkatan yang memungkinkan pedagang dan melemahkan upaya untuk memerangi perdagangan manusia, dan upaya-upaya yang tidak rata dan cukup untuk mengidentifikasi dan cukup melindungi korban perdagangan terutama mereka yang membantu dengan upaya penuntutan. 49 5. SINGAPURA Singapura adalah negara tujuan bagi perempuan dan anak perempuan yang diperdagangkan dari Thailand , Filipina , Republik Rakyat Cina , dan Indonesia untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja komersial . Beberapa wanita secara sukarela bermigrasi ke Singapura untuk bekerja sebagai pelacur tetapi kemudian dipaksa menjadi pekerja seksual. Singapura tidak memiliki hukum khusus untuk anti - perdagangan manusia , namun memiliki banyak hukum untuk mengadili , melindungi , dan mencegah perdagangan manusia , khususnya Piagam Perempuan , the Children and Young PersonsAct, dan KUHP . KUHP mengkriminalisasi sebagian bentuk perdagangan , tetapi tidak mengkriminalisasi penggunaan anak-anak berusia 16 dan 17 tahun yang digunakan dalam prostitusi . Hukum digunakan untuk mengkriminalisasi perdagangan tenaga kerja meliputi KUHP , Ketenagakerjaan Badan Aturan , dan Pekerjaan TKA atau the Employment of Foreign Workers Act . Hukuman termasuk penjara , dan cambuk untuk semua jenis perdagangan manusia. Dana Pemerintah dan penampungan LSM lokal , memberikan konseling , perawatan kesehatan , keamanan fisik , dan program pengembangan keterampilan 49 Philippines, Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/philippines pada tanggal 24 desember 2013 Universitas Sumatera Utara bagi pekerja rumah tangga asing dan korban aniaya eksploitasi seksual . Departemen Tenaga Kerja memiliki hotline bagi pekerja rumah tangga asing . Singapura tidak memberikan alternatif hukum bagi korban yang menghadapi kesulitan atau retribusi di negara asal mereka . Belum ada laporan korban trafficking yang telah dipenjara atau dituntut. Pemerintah Singapura meningkatkan kesadaran perdagangan antara pekerja rumah tangga asing . Departemen Tenaga Kerja atau The Ministry of Manpower (MOM) mencetak informasi mengenai karyawan ' hak dan nomor hotline polisi , dan surat kabar dengan informasi tentang hak-hak pekerja dan tanggung jawab kepada pekerja rumah tangga asing . MOM juga mulai secara acak mewawancarai pekerja rumah tangga untuk menentukan kondisi kerja mereka dan pengetahuan karyawan hak mereka The US Department of State merekomendasikan Parlemen Singapura harus menyetujui usulan perubahan KUHP yang akan mengkriminalisasi prostitusi yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun , memperluas yurisdiksi ekstra - teritorial atas warga negara Singapura dan penduduk tetap yang membeli atau meminta layanan seks dari anak-anak di luar negeri , dan membuat mengorganisir atau mempromosikan wisata seks anak kejahatan kriminal. 50 6. KAMBOJA Kamboja adalah salah satu negara termiskin di Asia Tenggara. 35 persen masyarakatnya hidup dengan pendapatan kurang dari 50 sen atau enam ribu rupiah per hari. Kemiskinan membuat beberapa orangtua mengambil keputusan nekad seperti menjual anak-anaknya atau menyuruh mereka bekerja di kota. Orangtua berharap dengan melakukan ini, anak-anak itu dapat pendidikan yang lebih baik. Beberapa anak, yang rentan ini, berakhir ditangan para pedofil. Negara-negara di Asia, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan banyak tindakan untuk menghabisi kejahatan berbahaya ini. Namun, dalam laporan yang dikeluarkan Liga Kamboja untuk Promosi dan Pembelaan Hak Azasi Manusia, 50 Human Trafficking in Singapore, diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/singapore pada tanggal 24 desember 2013 Universitas Sumatera Utara baru-baru ini, jumlah anak yang mengalami eksploitasi seksual meningkat. Aktivis pembela hak azasi manusia dan lembaga pemerintah sepakat masalah ini terus berkembang dan jalan keluarnya ada pada penegakan hukum. Di Phnom Penh, Khortieth Him, bertemu perempuan muda yang dijual dari desa kecilnya. Inilah kisah selengkapnya. Di dalam sebuah ruangan yang dihiasi berbagai mainan dan gambar, sekelompok pelajar perempuan sedang belajar bahasa Inggris. Ini bukan sekolah biasa. Tempat ini adalah penampungan bagi para perempuan muda yang jadi korban perdagangan dan penyerangan seksual para wisatawan asing. Sejak 2006, LSM AGAPE, menyediakan rumah dan konseling bagi para korban selamat dari wisatawan pedofil. Srey Pich, 13 tahun, dari provinsi Kandal. Tiga tahun lalu, ia dijual orangtuanya pada seorang perempuan Kamboja. “Saat itu saya masih kecil. Saya berasal dari keluarga miskin. Kami tidak punya tempat tinggal, biaya untuk sekolah bahkan tidak punya cukup makanan. Lalu ibu menyuruh saya ikut seorang perempuan. Ia berjanji akan membatu sekolah saya di Phnom Penh dan juga membantu keluarga saya.” Srey Pich mengungkapkan tak lama setelah pindah ke kota, ia tinggal bersama pria Amerika yang memaksanya berhubungan seks setiap hari. “Setiap pagi, saya membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Lalu pergi ke sekolah. Siangnya saya membersihkan rumah lagi. Setelah makan malam saya dipaksa untuk melayani dia berhubungan seks, setiap hari. Akhirnya, Srey Pich diselamatkan para pekerja muda dan polisi Phnom Penh dan dibawa ke tempat penampungan AGAPE. Nov Samol adalah Direktur AGAPE. Menurutnya, ada ratusan LSM yang bekerja untuk mendukung anak-anak korban perdagangan orang seperti Srey Pich. “Di tempat ini, kami memberikan tiga hal pada perempuan korban. Pertama, jaminan keamanan bagi mereka. Mengajarkan nilai-nilai pada mereka dan ketiga, konseling soal perasaan, pikiran dan tingkah laku mereka. Kini ada 40 orang di sini dan beberapa sudah kembali ke masyarakat.” Sebuah laporan baru-baru ini dirilis oleh Liga Kamboja bagi Promosi dan Pembelaan Hak Azasi Universitas Sumatera Utara Manusia, LICADHO. Laporan itu menyebutkan kasus perdagangan anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual dan penganiayaan meningkat di Kamboja. Pada 2009 ada peningkatan jumlah kasus kekerasan sebesar 35 persen. Pek Vannak, pengawas Senior Hak Anak di LICADHO. “Kami sangat prihatin dengan kasus kekerasan pada anak, karena kami menemukan ada peningkatan jumlah kasus. Bahkan beberapa kasus sangat parah dan brutal. Kami punya kasus anak-anak yang diperkosa lalu dibunuh dan pelakunya adalah kelompok. Tahun 2008, kami menemukan ada 146 kasus pemerkosaan anak tapi kami yakin jumlah sebenarnya lebih banyak lagi.” Menurut dia, alasan utama peningkatan jumlah kasus adalah buruknya penegakan hukum. “Ada tiga faktor penyebab meningkatnya angka perkosaan dan perdagangan anak. Faktor pertama adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat termasuk anak-anak di negeri ini. Kedua lemahnya penegakan hukum, yang merupakan faktor paling penting. Kemampuan lembaga penegakan hukum untuk menyelidiki kasus ini juga sangat rendah, didukung budaya kekebalan hukum dan korupsi. Yang ketiga adalah moralitas masyarakat yang buruk.” Ten Borany adalah wakil ketua di Bagian anti perdagangan orang dan promosi remaja di Kementrian Dalam Negeri. Ia menjelaskan hukum pemerintah soal ekspoitasi seksual pada anak, sudah tua dan rumit. “Faktanya, polisi dan pejabat lokal sejauh ini sudah bekerja keras. Tapi kegagalannya terletak pada hukum, yang sudah tua dan membingungkan. Kami sulit melaksanakan hukuman dan kadang pengadilan tidak bekerja dengan semestinya.” 84 pelaku eksplolitasi seksual telah ditangkap sejak 2003. Pelaku antara lain orang Barat, Jepang, Cina, dan Kamboja. Sebuah jaringan rapi, terdiri dari para agen lokal, merekrut dan menyalurkan akan-anak pada para pedofil yang berkunjung ke Kamboja. Mereka beroperasi di tempat wisata sepeti Phnom Penh, Siem Reap, dan Sihanouk Ville. Samleang Seila, Direktur Action pour les Enfants untuk Kamboja, organisasi Prancis yang membantu polisi mengidentifikasi orang-orang yang diduga sedagai pedofil. “Ya ada beberapa alasan yang mungkin ikut meningkatkan angka pelakunya. Universitas Sumatera Utara Yang pertama, mungkin masih ada anak-anak yang menjual diri untuk mendapatkan uang, ini terkait masalah kemiskinan. Alasan kedua, menurut saya, kami belum cukup memberikan informasi pada polisi. Alasan lain, Kamboja masih dilihat sebagai tujuan prostitusi anak sementara negara Asia lain sudah menangani masalah eksplotasi seksual ini dengan serius.“ Menurut Samleang Seila, ada 15 pedofil asing yang ditangkap tahun 2008 dan tahun ini sudah ada enam orang. Kembali ke tempat penampungan, Srey Pich mengaku sedih dengan pengalamannya dan menyampaikan pesan ini pada keluarga miskin. “Saya tidak menyalahkan orangtua, perantara, diri sendiri atau siapa pun. Karena ini tak akan membantu. Tapi satu hal yang ingin saya katakan: orangtua tidak boleh menjual anak mereka untuk melayani seks demi uang, semiskin apapun mereka. Saya ingin mereka hidup dan bekerja dengan cara yang baik, bahkan mengemispun jauh lebih baik. Bagi saya, saya akan memilih hidup bersama keluarga yang miskin daripada jadi pekerja seks.” Ia berjanji akan belajar dengan giat di AGAPE dan mendapatkan pekerjaan yang baik. 51 7. BRUNEI DARUSSALAM Brunei merupakan tujuan , sumber dan negara transit bagi pria dan wanita yang mengalami perdagangan manusia , tenaga kerja khusus paksa dan pelacuran paksa. Pria dan wanita dari Indonesia , Malaysia, Filipina , Pakistan , India , Bangladesh , Cina , dan Thailand bermigrasi ke Brunei untuk tenaga kerja berketerampilan rendah dalam negeri. Ada lebih dari 88.000 pekerja migran di Brunei , beberapa di antaranya menghadapi jeratan hutang , non - pembayaran upah , penyitaan paspor , pengurungan ke rumah , dan beralih kontrak - faktor yang mungkin berkontribusi terhadap perdagangan . Ada laporan yang dapat dipercaya warga negara dari negara-negara Asia Selatan mengalami gaji yang tidak dibayar. Beberapa 25.000 pekerja rumah tangga perempuan di Brunei diminta untuk bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang tanpa diberikan 51 Child sex exploitation on the rise in cambodia diaksesdari http://www.asiacalling.org/in/arsip/251-childsex-exploitation-on-the-rise-in-cambodia pada tanggal 21 agustus 2013 Universitas Sumatera Utara sehari untuk beristirahat , menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kerja paksa . Ada laporan perempuan dipaksa melacur di Brunei , dan laporan bahwa wanita ditangkap karena prostitusi atestasi untuk setelah menjadi korban perdagangan . Brunei merupakan negara transit bagi korban trafficking di Malaysia , termasuk Filipina , yang dibawa ke Brunei untuk ijin kerja re- otorisasi sebelum dikembalikan ke Malaysia. Pemerintah Brunei tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia. Sementara pemerintah memiliki hukum untuk menuntut perdagangan, tidak pernah dituntut kasus trafficking. Pemerintah tidak proaktif mengidentifikasi korban perdagangan sepanjang tahun, juga tidak mengembangkan atau menerapkan prosedur formal untuk mengidentifikasi korban perdagangan manusia. Pemerintah tidak membuat upaya penegakan hukum anti – trafficking dalam selama satu tahun terakhir . Pemerintah Brunei melarang seks dan perdagangan tenaga kerja melalui Perdagangan dan Penyelundupan Orang pada Orde tahun 2004 , namun tidak pernah ada penuntutan atau penghukuman di bawah perintah ini . Pada Orde 2004 mengatur hukuman penjara hingga 30 tahun , yang cukup berat dan sebanding dengan hukuman yang ditetapkan karena pelanggaran serius lainnya . Pemerintah Brunei tidak menyelidiki atau mengadili kasus-kasus perdagangan selama periode pelaporan . Departemen Tenaga Kerja diselidiki sengketa tenaga kerja dari pekerja asing , termasuk beralih pekerjaan , pemotongan gaji untuk biaya perekrutan , gaji berdasarkan janji-janji palsu , dan biaya perekrutan yang tinggi dibayarkan oleh calon karyawan , meskipun tidak mengidentifikasi kasus perdagangan antara kasus tersebut . Perselisihan tenaga kerja dengan pekerja asing biasanya mencoba berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan , yang membawa sanksi administrasi . Meskipun peraturan pemerintah melarang pemotongan upah oleh lembaga atau sponsor dan mandat bahwa karyawan menerima gaji penuh mereka , beberapa pekerja asing terus membayar biaya tinggi untuk agen perekrutan di luar Universitas Sumatera Utara negeri untuk mendapatkan pekerjaan di Brunei , sehingga mereka rentan terhadap jeratan utang . Pihak berwenang terus bergantung pada korban datang ke depan atau yang diidentifikasi oleh kedutaan asing , dan tidak proaktif mengidentifikasi kasus-kasus perdagangan antara kelompok-kelompok rentan . Selama periode pelaporan , ada 127 keluhan oleh pekerja asing terhadap majikan yang gagal membayar gaji yang melibatkan 34 perusahaan dan 26 pengusaha . Sebelas perusahaan dan 13 pengusaha diselesaikan melalui rekonsiliasi dan arbitrase sementara sisa kasus tetap diselidiki . Brunei tidak menunjukkan upaya yang signifikan untuk mengidentifikasi dan melindungi korban perdagangan selama periode pelaporan . Brunei tidak memiliki sistem proaktif untuk secara resmi mengidentifikasi korban perdagangan antara kelompok-kelompok rentan , seperti pekerja asing dan perempuan asing dan anak-anak dalam pelacuran . Pemerintah tidak melaporkan mengidentifikasi setiap korban perdagangan pada tahun lalu . Pemerintah tidak memberikan pelatihan terpusat dikoordinasikan bagi para pejabat pada mengidentifikasi korban perdagangan manusia . Tidak ada LSM atau organisasi internasional di Brunei yang memberikan dukungan kepada korban perdagangan , meskipun kedutaan beberapa negara sumber menyediakan penampungan , mediasi , dan bantuan imigrasi untuk warga negara mereka . Pemerintah tidak memberikan alternatif hukum untuk penghapusan korban ke negara-negara di mana mereka mungkin menghadapi kesulitan atau retribusi . 52 8. LAOS Laos adalah negara sumber untuk wanita dan anak perempuan diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial dan eksploitasi tenaga kerja sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja pabrik di Thailand . Beberapa pria Lao , wanita , dan anak-anak bermigrasi ke negara-negara tetangga untuk mencari 52 Human Trafficking in Brunei Diakses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Brunei pada tanggal 21 Agustus 2013 Universitas Sumatera Utara peluang ekonomi yang lebih baik tetapi mengalami kondisi kerja paksa atau terikat kerja atau prostitusi paksa setelah kedatangan . Beberapa pria Lao yang bermigrasi ke Thailand rela mengalami kondisi kerja paksa dari dalam perikanan Thailand dan industri konstruksi . Untuk tingkat yang lebih rendah Laos adalah negara transit untuk Vietnam, Cina dan perempuan Burma ditakdirkan untuk Thailand. Potensi Laos sebagai negara transit terus meningkat dengan pembangunan jalan raya baru yang menghubungkan Republik Rakyat Cina , Vietnam, Thailand , dan Kamboja melalui Laos . Perdagangan internal juga merupakan masalah yang mempengaruhi perempuan muda dan anak perempuan yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial di daerah perkotaan. Pemerintah Laos tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan. Pemerintah meningkatkan upaya penegakan hukum untuk menyelidiki pelanggaran perdagangan dan menuntut dan menghukum pelaku trafficking . Hal tersebut juga meningkatkan kerjasama dengan organisasi internasional dan masyarakat sipil untuk memberikan pelatihan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum , untuk memberikan repatriasi dan reintegrasi korban , dan meluncurkan kampanye kesadaran masyarakat untuk memerangi perdagangan manusia. Kurangnya sumber daya tetap hambatan terbesar terhadap kemampuan pemerintah untuk memerangi perdagangan orang dan tetap tergantung pada komunitas donor internasional untuk membiayai kegiatan-kegiatan antiperdagangan manusia. Pemerintah Laos menunjukkan kemajuan dalam upaya penegakan hukum anti - trafficking dan kesediaan untuk bekerja sama dengan negara lain serta LSM dan organisasi internasional . Laos melarang segala bentuk perdagangan melalui KUHP Pasal 134 , yang mengatur hukuman yang cukup berat dan sebanding dengan yang diresepkan untuk perkosaan . Pada tahun 2007 , Kementerian Keamanan Publik yang digunakan Pasal 134 untuk menyelidiki 38 kasus perdagangan, mengakibatkan 23 penangkapan dan penuntutan delapan berkelanjutan . Tambahan 20 kasus sedang dalam penyelidikan . Melalui klinik Universitas Sumatera Utara bantuan hukum Lao Bar Association, korban yang dibantu dengan mendidik masyarakat luas pada sistem hukum dan dengan memberikan nasihat hukum kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia , termasuk perdagangan manusia . Korupsi tetap masalah dengan pejabat pemerintah rentan terhadap keterlibatan atau kolusi dalam perdagangan manusia , narkotika , satwa liar , dan pembalakan liar . Tidak ada aparat penegak hukum pemerintah atau telah dihukum atau dihukum karena terlibat dalam perdagangan orang . Pemerintah Laos bekerja sama dengan organisasi internasional dan masyarakat sipil untuk meningkatkan kapasitas penegakan hukum melalui pelatihan bagi polisi , penyidik, penuntut , dan adat istiadat dan pejabat perbatasan . Pemerintah Laos menunjukkan kemajuan dalam meningkatkan perlindungan bagi korban perdagangan sepanjang tahun . Departemen Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Sosial ( MLSW ) dan Departemen Imigrasi bekerjasama dengan IOM , UNIAP , dan LSM setempat untuk memberikan bantuan bagi korban . MLSW terus mengoperasikan pusat transit yang kecil di Vientiane . Korban tidak ingin kembali ke rumah disebut tempat penampungan jangka jangka panjang dengan Uni Perempuan Lao atau sebuah LSM lokal . Selama tahun lalu , 280 korban resmi diidentifikasi perdagangan lintas perbatasan dipulangkan ke Laos dari Thailand dan 21 tambahan dipulangkan pada tahun 2008 . Sekitar 100 korban saat ini berada di pusat rehabilitasi di Thailand . Pemerintah Laos memberikan pelayanan medis, konseling , pelatihan kejuruan , dan pekerjaan bagi para korban di tempat penampungan transit di Vientiane dan di penampungan Uni Perempuan Lao . Pemerintah secara aktif mendorong korban untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan penuntutan para pedagang. 53 9. VIETNAM Vietnam adalah sumber tingkat yang lebih rendah , negara tujuan untuk pria, wanita , dan anak-anak mengalami perdagangan seks dan kondisi kerja paksa . perempuan , dan anak perempuan diperdagangkan untuk eksploitasi seksual dan 53 Human Trafficking in Laos, Di akses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Laos pada tanggal 21 agustus 2013 Universitas Sumatera Utara tenaga kerja di Taiwan , Malaysia , Korea Selatan , Laos , Uni Emirat Arab , Jepang , China , Thailand , Arab Saudi , Libya , Indonesia , Inggris , Republik Ceko , Siprus, Swedia , Trinidad dan Tobago , Kosta Rika , Rusia , dan tempat lain di Timur Tengah . Dalam kedua perdagangan seks dan perdagangan tenaga kerja , jeratan utang , penyitaan identitas dan dokumen perjalanan , dan ancaman deportasi biasanya digunakan untuk mengintimidasi korban. Vietnam adalah negara sumber untuk pria dan wanita yang bermigrasi ke luar negeri untuk kesempatan kerja terutama dalam , perikanan, pertanian , pertambangan , penebangan , dan manufaktur sektor konstruksi . Pada tahun 2010 , lebih dari 85.000 pekerja bepergian ke luar negeri untuk bekerja, dan jumlah total Vietnam bekerja di luar negeri di 40 negara dan teritori diperkirakan sekitar 500.000 . Banyak migran ini diproses melalui perusahaan ekspor tenaga kerja negara-afiliasi dan swasta yang dilaporkan memaksa para migran untuk menandatangani kontrak dalam bahasa mereka tidak bisa membaca , dan biaya biaya lebih dari yang diizinkan oleh hukum , kadang-kadang sebanyak $ 10.000. Hal ini telah memaksa para migran Vietnam menanggung sebagian dari utang tertinggi di antara pekerja asing Asia, membuat mereka sangat rentan terhadap jeratan hutang dan memaksa para buruh. Perempuan dan anak-anak Vietnam, ditemukan menjadi sasaran prostitusi paksa sering disesatkan oleh peluang kerja penipuan dan kemudian dijual ke rumah bordil di perbatasan Kamboja, Cina, dan Laos, dengan beberapa akhirnya dikirim ke negara-negara ketiga, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan di Eropa . Beberapa wanita Vietnam yang direkrut melalui perkawinan palsu di mana setelah pindah ke China, Taiwan, Hong Kong, Macau, dan semakin ke Korea Selatan , yang kemudian mengalami kondisi kerja paksa ( termasuk sebagai pembantu rumah tangga ) , prostitusi paksa , atau keduanya. Vietnam adalah negara tujuan bagi anak-anak yang diperdagangkan dari Kamboja untuk pekerja seksual dan eksploitasi tenaga kerja . Pariwisata seks anak tetap menjadi masalah di Vietnam dengan pelaku dilaporkan berasal dari Jepang , Korea Selatan , China , Taiwan , Inggris , Australia , Eropa , dan Universitas Sumatera Utara Amerika Serikat. Ada laporan tenaga kerja dan perdagangan seks dari Vietnam , terutama wanita dan gadis , dari miskin , provinsi pedesaan ke daerah perkotaan , termasuk Hanoi , Kota Ho Chi Minh , dan zona perkotaan baru dikembangkan , seperti Binh Duong. Sementara beberapa orang bermigrasi sukarela , mereka mungkin kemudian dijual untuk kerja paksa atau eksploitasi pekerja seksual komersial. Perdagangan anak di dalam negeri masih menjadi masalah bagi eksploitasi seksual komersial dan menjajakan jalan paksa dan mengemis di kota-kota besar , meskipun beberapa sumber melaporkan masalah tidak terlalu parah daripada di masa lalu. Beberapa anak Vietnam menjadi korban kerja paksa dan terikat di pabrik-pabrik rumah keluarga kemudian lari ke perkotaan. PBB Inter - Agency Project tentang Perdagangan Manusia daftar beberapa faktor kerentanan sosial - ekonomi yang berkontribusi terhadap perdagangan manusia di Vietnam , termasuk : kemiskinan dan hutang , kurangnya kesadaran / pendidikan , perpecahan keluarga dan masalah , dan pengaruh eksternal seperti teman-teman , nilai-nilai konsumen , dan tekanan teman sebaya .Wanita Vietnam dan perempuan umumnya dianggap lebih rentan terhadap perdagangan daripada pria karena relasi gender yang tidak setara , peningkatan permintaan untuk perawan dan anak-anak dalam pelacuran , karena ancaman dari HIV / AIDS , dan peningkatan permintaan , dan penawaran , Vietnam istri karena faktor permintaan dan persediaan baik demografi dan ekonomi ( seperti " defisit perempuan " China dan iming-iming yang dijanjikan harga pengantin. Pemerintah Vietnam baru-baru ini mengeluarkan undang-undang anti perdagangan baru dan lima tahun rencana aksi nasional tentang perdagangan . Namun demikian , sementara sejumlah reformasi struktural telah dilakukan , masih ada kurangnya kemajuan nyata dalam penuntutan pelaku perdagangan manusia dan perlindungan korban perdagangan manusia . Dengan demikian , Pemerintah Vietnam ditempatkan di Tier 2 Watch List , untuk tahun kedua berturut-turut , di Amerika Serikat Departemen Perdagangan Negara Orang Laporan 2011 untuk tidak sepenuhnya sesuai dengan Korban Trafficking standar Universitas Sumatera Utara minimum Undang-Undang Perlindungan untuk penghapusan perdagangan tetapi membuat upaya yang signifikan untuk melakukannya .KUHP Vietnam mengkriminalisasi tenaga kerja dan perdagangan anak . Hukuman untuk rentang perdagangan tenaga kerja dari dua sampai tujuh tahun penjara, hukuman untuk perdagangan anak berkisar dari tiga tahun dipenjara.Pemerintah melaporkan bahwa dituntut 14 kasus perdagangan tenaga kerja pada tahun 2010 , tapi pemerintah tidak memberikan informasi untuk mendukung laporan . Mahkamah Agung Nasional Vietnam juga melaporkan bahwa pihak berwenang dituntut 153 kasus perdagangan seks dan dihukum 274 orang untuk kejahatan perdagangan seks pada tahun 2010 (catatan , jumlah ini mungkin termasuk kejahatan lainnya seperti penyelundupan manusia dan penculikan anak untuk diadopsi ). Kebanyakan individu dihukum dijatuhi hukuman penjara berkisar antara tujuh sampai 15 tahun penjara . Pemerintah tidak melaporkan setiap penuntutan atau keyakinan internal perdagangan di Vietnam , juga tidak melaporkan setiap penuntutan pidana atau keyakinan pejabat untuk perdagangan terkait keterlibatan. Pekerja Vietnam tidak memiliki jalur hukum yang memadai untuk mengajukan pengaduan di pengadilan terhadap perusahaan perekrutan tenaga kerja dalam kasus di mana mereka mungkin telah menjadi korban perdagangan manusia . Meskipun pekerja memiliki hak hukum untuk menggugat perusahaan, biaya mengejar tindakan hukum dalam kasus perdata masih mahal, dan belum ada indikasi korban menerima ganti rugi hukum dalam pengadilan. Pemerintah Vietnam berkelanjutan beberapa upaya untuk melindungi korban perdagangan seks transnasional dan diuraikan rencana perlindungan korban tambahan dalam undang-undang baru anti - perdagangan manusia , tetapi belum melakukan upaya yang cukup untuk mengidentifikasi atau melindungi korban perdagangan tenaga kerja atau perdagangan manusia internal. Sementara penjaga perbatasan dan polisi di tingkat kabupaten dan provinsi memiliki prosedur formal untuk menerima korban dan merujuk mereka untuk peduli , otoritas ini menerima pelatihan terbatas pada identifikasi korban perdagangan dan penanganan kasus. Universitas Sumatera Utara The government’s Vietnamese Women’s Union (VWU), dalam kemitraan dengan LSM , terus beroperasi pada tiga kemah perdagangan di daerah perkotaan terbesar di Vietnam , yang memberikan konseling dan pelatihan kejuruan kepada perempuan korban perdagangan seks. VWU dan perbatasan penjaga juga beroperasi penampungan kecil yang memberikan bantuan sementara kepada para migran yang membutuhkan bantuan di beberapa persimpangan poin yang paling banyak digunakan . Pemerintah, bagaimanapun , tidak memiliki sumber daya dan keahlian teknis untuk mendukung penampungan memadai , dan sebagai hasilnya , banyak tempat penampungan yang belum sempurna , kekurangan dana , dan kurangnya personil yang terlatih . Selain itu , tidak ada tempat penampungan atau layanan khusus didedikasikan untuk membantu korban laki-laki perdagangan atau korban trafficking. Pada bulan Januari 2012 , Perdana Menteri Vietnam menyetujui Rencana lima tahun Nasional baru Aksi Perdagangan Manusia . Pemerintah juga terus bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional untuk aparat penegak hukum kereta api, petugas penjaga perbatasan , dan pekerja sosial. Pada tahun 2010 , pemerintah bekerja untuk mengevakuasi lebih dari 10.000 pekerja Vietnam , beberapa di antaranya mungkin telah korban trafficking , terlantar akibat konflik di Libya . Setiap yang kembali diberikan dengan aman bagian rumah dan $ 95 untuk biaya pemukiman kembali jangka pendek , dan pemerintah bekerja untuk menghubungkan kembali dengan kesempatan kerja baru di Vietnam dan luar negeri . Namun, pemerintah terus mempromosikan ekspor tenaga kerja meningkat sebagai cara untuk mengatasi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, termasuk perjalanan ke negara-negara di mana kekerasan terhadap pekerja migran yang marak . Namun pemerintah belum melakukan upaya yang cukup dalam yang mewajibkan pemerintah tujuan untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap pekerja. Pemerintah Vietnam bekerja dengan organisasi-organisasi internasional , LSM dan donor asing pada masalah perdagangan manusia . Vietnam telah menandatangani nota kesepahaman ( MOU ) untuk bekerja sama dalam Universitas Sumatera Utara perdagangan manusia dengan China , Laos , Kamboja , dan Thailand . Namun demikian , pemerintah belum mencapai kesepakatan memadai dengan semua pemerintah tujuan pada pengamanan terhadap kerja paksa . Vietnam tidak bergabung di partai Protokol PBB TIP 2002. The US Department of State merekomendasikan bahwa pemerintah Vietnam memberlakukan langkah-langkah berikut pada tahun 2011 TIP Report nya : 1. Tambahan undang-undang baru anti - perdagangan dengan langkahlangkah tambahan untuk memastikan bahwa hukum pidana melarang segala bentuk perdagangan orang dan menetapkan hukuman pidana yang ketat 2. Pidana mengadili mereka yang terlibat dalam kerja paksa , perekrutan orang-orang untuk tujuan kerja paksa , atau perekrutan tenaga kerja penipuan, termasuk agen perekrutan negara - berlisensi dan broker berlisensi 3. Mengidentifikasi pekerja migran Vietnam yang telah mengalami kerja paksa dan memastikan bahwa mereka diberikan layanan korban dan tidak terancam atau dihukum karena melakukan protes kondisi kerja atau untuk meninggalkan tempat kerja mereka 4. Mengembangkan prosedur formal untuk tujuan ini , dan melatih pejabat terkait dalam penggunaan prosedur tersebut 5. Meningkatkan upaya untuk melindungi pekerja Vietnam pergi ke luar negeri 6. Meningkatkan upaya untuk membantu korban laki-laki perdagangan dan korban perdagangan tenaga kerja 7. Meningkatkan kemampuan pekerja untuk memiliki perlindungan hukum yang efektif dari perdagangan tenaga kerja 8. Melaporkan upaya yang lebih besar untuk bekerja sama dengan pemerintah tujuan untuk menyelidiki dan menuntut kasus perdagangan , termasuk khususnya kasus perdagangan tenaga kerja Universitas Sumatera Utara 9. Meningkatkan pengumpulan data dan berbagi pada penuntutan perdagangan , khususnya penuntutan terkait ketenagakerjaan data 54 10. INDONESIA Kekerasan terhadap perempuan menjadi pelanggaran HAM yang terus dialami kaum perempuan Indonesia. Berbagai kekerasan mereka alami baik fisik maupun psikis. Kekerasan hadir dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual dan sebagainya. Pelaku kekerasan bisa individu, komunitas, masyarakat maupun negara. Komnas Perempuan mengeluarkan data kekerasan terhadap perempuan setiap tahun yang selalu mengalami peningkatan. Dalam laporannya Komnas Perempuan tahun 2011 tercatat 119.107 kasus kekerasan dialami perempuan. Sementara pada tahun 2010 tercatat 105.103 kasus, artinya mengalami peningkatan sebesar 14.004 kasus. Banyaknya kasus kekerasan yang dialami perempuan tak membuat negara bergeming untuk memberikan perlindungan yang maksimal. Bahkan, negara sendiri melakukan diskriminasi terhadap perempuan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya (UU, perda, dan lain-lain) di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2012 ada 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang merugikan perempuan. Padahal Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UU No 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Harusnya undang-undang negara terikat komitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi di negeri ini. Selain persoalan kekerasan, hal lain adalah pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas penyelesaiannya. Tragedi Trisakti, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 2009), Tragedi Mei 1998, Tragedi Talangsari Lampung, Penculikan dan Penghilangan Orang Paksa 1997-1998, Tragedi Wasior Wamena, Konflik Aceh, Papua, Poso, dan Ambon, merupakan sederet 54 Human Trafficking in Vietnam, Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/vietnam pada tanggal 20 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia yang belum menemukan ketuntasannya. Anak-anak korban 1965 misalnya, mereka mengalami berbagai stigma negatif dari masyarakat dan negara hingga kini. Mereka terus mencari keadilan yang sejati. 55 Indonesia melanjutkan kepemimpinan ASEAN dan pada bulan Mei terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk periode ketigakalinya secara berturut-turut. Pemerintah memperkuat Komisi Kepolisian Nasional namun mekanisme akuntabilitas polisi tetap tidak memadai. Pasukan keamanan terus menerus menghadapi tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya serta penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan. Pihak berwenang Provinsi Aceh makin meningkatkan penggunaan hukum cambuk sebagai hukuman yudisial. Aktivitas politik damai terus dikriminalisasi di Papua dan Maluku. Kelompok keagamaan minoritas menderita diskriminasi, termasuk intimidasi dan serangan fisik. Hambatan hak seksual dan reproduksi terus mempengaruhi perempuan dan anak perempuan, terutama mereka yang dari komunitas miskin dan termarjinalkan, terhambat dalam menikmati secara penuh hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Banyak yang terus menerus diingkari dari pelayanan kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan tahun 2009, karena Menteri Kesehatan belum mengeluarkan peraturan yang diperlukan untuk mengimplementasikannya. Pemerintah gagal melawan perilaku diskriminatif dan praktik yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, termasuk mutilasi kelamin perempuan dan pernikahan dini. Pada bulan Juni, Menteri Kesehatan membela peraturan yang dikeluarkan pada November 2010 yang mengijinkan bentuk “sunat perempuan” yang didefinisikan secara khusus untuk dilaksanakan oleh dokter, perawat dan bidan. Peraturan tersebut melegitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan yang tersebar luas. Hal ini melanggar sejumlah hukum Indonesia dan 55 Bulletin Perempuan Bergerak Edisi IV, Oktober-Desember 2012 Universitas Sumatera Utara bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memperkuat keadilan gender dan melawan diskriminasi terhadap perempuan.Tingkat rasio kematian ibu di Indonesia tetap yang tertinggi di wilayah ini. Tidak ada laporan mengenai pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Pada bulan Juni, Presiden mengekspresikan dukungan terhadap Konvensi baru ILO No.189 tentang Pekerja Rumah Tangga. Namun, untuk dua tahun secara berturut-turut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gagal membahas dan menetapkan undang-undang untuk menyediakan perlindungan hukum terhadap pekerja rumah tangga. Hal ini membuat sekitar 2.6 juta pekerja rumah tangga mayoritas merupakan perempuan dan anak perempuan terus menghadapi risiko eksploitasi ekonomi dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Buruh migran Indonesia yang mencapai 6 juta orang lebih, yang menyumbang devisa ke negara trilyunan rupiah per tahun, merupakan korban pelanggaran HAM yang tiada tuntas. Perlindungan negara yang minim, mengakibatkan mereka bak sapi perah. Banyak buruh migran Indonesia yang mengalami hukuman pancung dan sejenisnya di Malaysia dan Arab Saudi. Padahal pemerintah Indonesia sangat minim upayanya untuk membebaskan mereka dari peradilan sesat itu. Semua itu sia-sia karena diplomasi pemerintah Indonesia begitu lemah dan tak berwibawa di mata kedua negara. Di tingkat Indonesia sendiri, proses ketenagakerjaan buruh migran juga mengalami pelanggaran HAM dan hukum oleh pihak-pihak pengerah tenaga kerja, yang tak bertanggungjawab. Bahkan, penipuan di sana sini banyak dialami buruh migran justru di Indonesia. Ada ratusan ribu anak dan remaja perempuan Indonesia dipekerjakan sebagai buruh rumahtangga baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak kasus kekerasan, perkosaan, dan lainnya mereka alami, yang dilakukan oleh para majikan mereka. Sementara UU Pekerja Rumah tangga masih mandek di parlemen. Tak banyak kemajuan diperoleh untuk hak-hak pekerja rumahtangga anak. Bahkan, sebaiknya dihapuskan atau dilarang penggunaan anak-anak sebagai pekerja rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Untuk sisi isu perempuannya sendiri, dalam laporan pemerintah Indonesia ke Komite Cedaw di New York, Amerika Serikat, yang di sampaikan Menteri Perempuan, memperlihatkan masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masalah partisipasi politik perempuan, kesehatan, KTP, dan lainnya dilaporkan sudah dibuatkan UU-nya, namun masalah implementasinya bagaimana?. Untuk UU kesehatan yang sudah disahkan, masih ada isu besar yang tak pernah diselesaikan persoalannya di tingkat implementasi. Hak-hak perempuan miskin dalam mengakses kesehatan yang standard dan murah tak berjalan sama sekali. Jamkesmas dan jamkeskin malah dipakai oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab dan dananya banyak dikorupsi aparat. Informasinya saja sangat tertutup sehingga hanya orang-orang tertentu yang tahu bahwa ada dana jamkesmas dan jamkeskin. Belum lagi proses pengurusannya yang berbelitbelit memakan waktu sehingga si sakit malah keburu meninggal dunia. Hal-hal semacam itu bertahun-tahun berjalan tanpa perbaikan sama sekali bahkan cenderung kacau. Hal lain masih di seputar isu kesehatan, misalnya hak aborsi. Isu ini sangat kontroversial di kalangan tokoh masyarakat dan agama sehingga praktik-praktik aborsi yang tak medis terjadi di mana-mana, yang diperkirakan mencapai angka 2 juta korban per tahunnya. Padahal hak-hak medis dan psikologis korban aborsi harus diberikan dan dijamin oleh negara. Banyak lagi isu krusial di dalam UU kesehatan ini yang dalam implementasinya bertahun-tahun tak pernah diperbaiki, bahkan dananya dikorup secara terang-terangan. Hak perempuan dalam pembangunan juga kerap diabaikan,dianggap suatu yang tak perlu. Hasilnya, puluhan tahun pembangunan berjalan di Indonesia di 33 provinsi, 350 kabupaten, 1500 kecamatan, dan 70000 desa, perempuan tak pernah tahu berapa ribu trilyun rupiah uang mereka sudah dipakai negara untuk hal-hal yang tak memajukan harkat dan martabat kehidupan kaum perempuan Indonesia itu sendiri. Anggaran dan pendapatan mulai tingkat RT sampai pusat/negara, tak pernah berpihak kepada perempuan. Tak ada informasi yang jelas kepada rakyat dari mana sumbernya, bagaimana dikelola, dan untuk apa dana tersebut? Tak ada Universitas Sumatera Utara transparansi anggaran dan akuntabilitasnya. Semuanya habis dikorup, sehingga perempuan dimiskinkan oleh pemerintah oleh negara. Akses perempuan miskin terhadap kredit usaha tidak mudah, karena harus melalui proses perbankan yang rumit dan mustahil mereka kerjakan, di samping agunan yang tak mereka miliki. Juga akses perempuan terhadap pangan, energi, dan lingkungan, masih sangat buruk. Begitu pun akses perempuan terhadap perempuan, hak tanah, dan layanan publik lainnya, juga masih jauh dari kebutuhan dasar mereka. Perbaikan UU perkawinan juga belum berhasil dilaksanakan, karena ada penolakan dari kalangan agama tertentu, padahal isinya sudah tidak kontekstual lagi, mengingat perubahan dinamis masyarakat terjadi sedemikian cepat. Perlu dibuat UU perkawinan yang tidak mendiskriminasi perempuan dan mempromosikan hak-hak mereka. Pendidikan untuk perempuan di Indonesia sesungguhnya belum menuntaskan persoalan mereka, karena diskriminasi dan pelanggaran hak-hak masih terjadi oleh pemerintah, masyarakat dan negara. Tingkat pendaftaran perempuan ke sekolah-sekolah bukan jaminan bahwa ruang pendidikan sudah terbuka lebar untuk mereka. Sisi lain pendidikan, seperti muatan kurikulum, proses belajar, dan arah pendidi¬kan masih bias gender sehingga tindak kekerasan dan pelecehan banyak terjadi. Penegakan Hak Asasi Perempuan merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia. Bukan karena perempuan ingin diistimewakan, melainkan kenyataannya, fakta menunjukkan persoalan pelanggaran Hak Asasi perempuan semakin jauh dari kata “tuntas”. Empat isu krusial pemenuhan Hak Asasi Perempuan Indonesia yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, yakni Pertama, kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dalam bentuk perkosaan, pel¬ecehan seksual dan eksploitasi seksual. Hasil peman¬tauan Komnas Perempuan sejak tahun 1998 menun-jukkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat khas bagi perempuan. Sebanyak 1/3 dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam berbagai konteks. Dari Catatan Tahunan sejak tahun 2000, yang dihimpun atas kerjasama dengan berbagai Universitas Sumatera Utara lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, setiap hari ada 28 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang ada sampai saat ini belum memberikan akses keadilan bagi perempuan korban, antara lain, karena landasan hukum yang komprehensif belum tersedia, pengetahuan aparat penegak hukum dan publik tentang kekerasan seksual terbatas, serta tata cara pembuktian hukum yang justru membebani perempuan korban. Sistem dukungan yang tersedia bagi korban dalam masyarakat juga sangat terbatas, bahkan tak jarang justru menyalahkan korban. Kedua, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Pada tahun 2012, Komnas Perempuan mencatat 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas merugikan perempuan. Angka ini meningkat menjadi 126 kebijakan, sejak pertama Komnas Perempuan menyampaikan persoalan ini secara resmi kepada pemerintah di daerah pada Maret 2009. Dari 282 kebijakan tersebut, 207 kebijakan yang ada sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sejak Komnas Perempuan menyampaikan hal itu tak satu pun dari kebijakan itu yang dicabut atau diubah secara komprehensif, dengan memastikan pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebaliknya, jumlah kebijakan yang diskriminatif malah terus bertambah dan turut menyuburkan sikap intoleransi dalam masyarakat. Ketiga, diskriminasi terhadap perempuan pekerja migran. Berdasarkan catatan tahun 2011 Komnas perempuan, Kementerian Luar Negeri mencatat hingga Desember 2011 jumlah WNI/Pekerja Migran Indonesia yang saat ini menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri berjumlah 210 orang. Terdiri atas 146 kasus di Malaysia, 45 kasus di Arab Saudi, 15 kasus di Cina, 2 kasus di Singapura, 1 kasus masing-masing di Iran dan Brunei Darussalam. Kementerian Luar Negeri juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat 4.532 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja migran Indonesia, dengan angka tertinggi di Malaysia. Sementara Organization of Migration (IOM) mencatat sepanjang 2005-2012, terjadi kasus trafficking sebanyak 4.532 kasus, di mana 62,24% korban melalui PPTKIS/PJTKI resmi. Dan berdasarkan catatan Migran Care, sepanjang tahun 2011 sekitar 1.075 buruh migran Indonesia meninggal Universitas Sumatera Utara dunia di berbagai negara. Selain itu, sepanjang tahun 1999-2012 tercatat 417 buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai negara dan 31 di antaranya telah dijatuhi vonis tetap hukuman mati. Keempat, penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Mengingat kekhasan persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana terefleksi dalam sejarah kelahiran Komnas Perempuan pasca kerusuhan Mei 1998, maka mekanisme penegakan hak yang khusus berfokus pada persoalan tersebut merupakan kebutuhan sekaligus keunikan Indonesia. Dalam perjalanan bangsa ini ada banyak pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan Indonesia, seperti perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan, eksploitasi tubuh perempuan dan lain sebagainya. Selain itu juga ada banyak pelanggaran HAM terhadap perempuan yang tidak diselesaikan oleh Negara seperti kasus 65 melalui pemusnahan organisasi perempuan seperti Gerwani. Bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu adalah penculikan paksa, pemenjaraan atau pembuangan paksa tanpa pengadilan, perkosaan, penganiayaan dan berbagai bentuk kejahatan seksual lain seperti perbudakan seksual. Ketika negara gagal melindungi begitu banyak perempuan, maka pelanggaran itu terjadi. Termasuk ketika gagal melindungi perempuan etnis tionghoa dari kekerasan dan perkosaan pada kerusuhan 1998. Hampir sama secara umum, pemerintah tetap melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Pada saat konflik maupun pasca konflik, tetap terjadi kekerasan berbasis gender yang menjadikan perempuan sebagai korban. Seharusnya ada penanganan yang lebih khusus di wilayah konflik. Dan pendekatan yang berbasis budaya, dapat menjadi salah satu sarana bagi pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. D. KOMISI-KOMISI HAM di ASEAN 1. Pembentukan ASEAN Intergovernmental Commision on Human Right ( AICHR ) Universitas Sumatera Utara ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right (AICHR) 56 adalah bagian dari pelaksanaan ASEAN Charter, dan dilantik pada 23 oktober 2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16 di Hua Hin, Thailand. Dr. Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR. Sebelum dibentuknya AICHR, tidak ada kerja sama HAM di antara negara-negara ASEAN, sehingga perlu adanya lembaga yang mengakomodir permasalahan HAM di ASEAN. Realisasi rencana pembentukan komisi HAM regional Association of South East Asia Nations (ASEAN) dilakukan dalam 42nd Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri seASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini. Dalam TOR sebagaimana dikatakan bahwa, AICHR dibentuk dengan enam tujuan, yaitu : 1. Mempromosikan serta melindungi HAM dan hak kebebasan bangsa ASEAN. 2. Menjunjung hak bangsa ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan makmur. 3. Mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN. 4. Mempromosikan HAM di tingkat regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban. 5. Meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan melindungi HAM. 6. Menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalamUniversal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program 56 AICHR Dan Penguatan Perlindungan Ham Di Asean, diakses dari : http://www.antaranews.com/berita/1256362459/aichr-dan-penguatan-perlindungan-ham-di-asean 22 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak. a. Prinsip AICHR TOR juga menetapkan sejumlah prinsip yang harus dijadikan rujukan AICHR dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip-prinsip tersebut bersumber pada : 1. Pasal 2 Piagam ASEAN di antaranya menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional setiap negara anggota ASEAN. 2. Prinsip-prinsip HAM internasional antara lain prinsip universalitas, saling keterkaitan serta integralitas nilai-nilai HAM. 3. Kerja komisi AICHR ini terbatas. Komisi ini tidak dapat memberikan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog. Komisi ini sama dengan prinsip ASEAN yakni konsensus. b. Mandat dan Fungsi AICHR 57 AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Namun, sejauh ini, peran AICHR lebih dominan pada fungsi promosi, bukan perlindungan. AICHR, menurut TOR, menjalankan sejumlah mandat dan fungsi, yaitu : 1. Mengembangkan strategi dalam mempromosikan dan melindungi HAM sebagai bagian dari proses pembentukan Komunitas ASEAN. 2. Menyusun Deklarasi HAM ASEAN dan kerangka kerja kerja sama di bidang HAM. 3. Setiap negara ASEAN wajib menempatkan wakilnya dalam AICHR yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 14 Piagam ASEAN. 57 ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC, oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC Universitas Sumatera Utara Indonesia menetapkan Rafendi Djamin sebagai wakil Indonesia dalam Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR). AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Komisi ini bertugas, diataranya : 1. Merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya. 2. AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi di bidang HAM. Komposisi AICHR terdiri dari 10 orang yang masing-masing mewakili negara anggota ASEAN, dengan pertemuan rutin dua kali tiap tahun, dan pelaporan ditujukan kepada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Ketua AICHR saat ini dipegang oleh wakil dari Indonesia, Rafendi Djamin. 2. Pembentukan Komisi Hak Perempuan dan Anak (ASEAN Commission on Women and Children) ACWC Selain AICHR, ASEAN juga memiliki komisi hak perempuan dan anak (ACWC) yang dibentuk berdasarkan Program Aksi Vientiane 2004. TOR ACWC disahkan dalam pertemuan Dewan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN pada 22 Oktober 2009, sehari sebelum peluncuran AICHR. Tiap negara diwakili oleh dua orang wakil, satu untuk hak-hak perempuan dan satu untuk hak-hak anak. Pembentukan ACWC bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan, pengembangan, pemberdayaan dan partisipasi perempuan dan anak dalam proses pembangunan Komunitas ASEAN yang berpengaruh pada merealisasikan tujuan Universitas Sumatera Utara ASEAN sebagaimana ditetapkan dalam Piagam ASEAN. Fungsi dasar ACWC adalah, antara lain, untuk mempromosikan pelaksanaan instrumen internasional, instrumen ASEAN dan instrumen lainnya yang terkait dengan hak-hak perempuan dan anak-anak dan mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak untuk melengkapi pembangunan Komunitas ASEAN. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaran publik dan pendidikan hak-hak perempuan dan anak-anak di ASEAN. Setiap Negara Anggota ASEAN menunjuk dua wakil ke ACWC, satu perwakilan tentang hak-hak perempuan dan satu wakil pada hak-hak anak. Ketika menunjuk wakil-wakil mereka ke ACWC, negara-negara anggota harus mempertimbangkan mengenai kompetensi di bidang hak-hak perempuan dan anak-anak, integritas, dan kesetaraan gender. Di tingkat internasional, semua negara anggota ASEAN telah meratifikasi dan Negara-negara peserta dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hakhak Anak (CRC). Fungsi ACWC : 1. Sebagai pintu masuk untuk mekanisme hak asasi manusia yang lebih luas 2. Memperkuat respon regional terhadap isu-isu perempuan dan hak-hak anak 3. Sebagai platform untuk dialog regional / internasional 4. Menengahi masalah muncul antara pelaporan dan pemantauan 5. Meningkatkan kemampuan negara-negara anggota ASEAN dalam menangani isu-isu spesifik perempuan dan anak 6. Membantu negara pihak dalam memenuhi standar internasional hak perempuan dan anak-anak 7. Mediasi kedua kebutuhan nasional dan internasional 8. Meningkatkan standar kepatuhan masing-masing negara anggota ASEAN Universitas Sumatera Utara 9. Penguatan kondisi yang lebih kondusif untuk pembentukan komisi Mandat ACWC 1. Mempromosikan pelaksanaan internasional, ASEAN atau instrumen lain yang terkait dengan hak-hak anak 2. Mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif untuk promosi dan perlindungan hak-hak anak untuk mendukung pembentukan komunitas ASEAN 3. Mempromosikan kesadaran publik dan pendidikan tentang hak-hak anak di ASEAN 4. Melakukan advokasi atas nama anak-anak, khususnya kelompok rentan dan terpinggirkan dan mendorong negara-negara ASEAN untuk memperbaiki situasi 5. Mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan di semua tingkat administrasi, legislatif, yudikatif, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, lembaga hak-hak anak, melalui bantuan teknis, pelatihan dan lokakarya, dalam mewujudkan hak-hak anak 6. Dengan permintaan negara-negara anggota ASEAN, membantu menyiapkan laporan berkala hak-hak anak seperti yang lain yang berkaitan dengan hak-hak anak 7. Dengan permintaan negara-negara anggota ASEAN, membantu pelaksanaan Konvensi Hak Anak dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak lainnya 8. Mengusulkan dan mempromosikan langkah-langkah, mekanisme dan strategi pencegahan dan penghapusan segala bentuk pelanggaran hak anak, termasuk melindungi para korban 9. Mendorong negara-negara ASEAN untuk menerima dan meratifikasi instrumen internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak Universitas Sumatera Utara 10. Mendukung keterlibatan anak-anak ASEAN dalam proses dialog dan konsultasi di lembaga ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak 11. Mendorong anggota ASEAN untuk mengumpulkan dan menganalisis data terpilah menurut jenis kelamin, usia, dan lainnya yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak 12. Mendorong penelitian dan studi tentang hak-hak anak 13. Negara-negara anggota ASEAN Mendorong melakukan review secara berkala terhadap undang-undang, peraturan, kebijakan dan praktek yang berkaitan dengan hak-hak anak 14. Memfasilitasi negara-negara anggota ASEAN untuk pertukaran pengalaman, termasuk isu-isu tematik yang menjadi perhatian terkait dengan hak-hak anak, baik melalui seminar bersama, pertukaran kunjungan dan lain-lain 15. Memberikan saran dan masukan kepada lembaga ASEAN (by request) 16. Melakukan tugas-tugas lain yang dilimpahkan oleh para pemimpin ASEAN dan menteri luar negeri Untuk semua tugas di atas dan mandat, ACWC dicatat, tidak hanya untuk badanbadan ASEAN yang relevan, negara-negara anggota, tetapi juga untuk masyarakat. Dialog, konsultasi atau laporan harus disiapkan dalam secara periodik. Prinsip dan Status 1. Non-intervensi (lihat ASEAN Charter Pasal 2 (e) dan konsensus dalam pengambilan keputusan 2. Pertunjukan konstruktif, non-konfrontasi dan kooperatif pendekatan 3. Selalu menganggap Jalan ASEAN dan Nilai Asia, yang kadang-kadang membatasi promosi dan perlindungan HAM di tingkat regional Universitas Sumatera Utara 4. Menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk universalitas, indivisibilitas, saling bergantung semua kebebasan fundamental dan hakhak perempuan dan anak-anak 5. Mendukung negara-negara anggota ASEAN dalam mengimplementasikan hak-hak perempuan dan anak-anak 6. Bekerja dengan pemerintah, lembaga ASEAN, badan-badan PBB dan organisasi masyarakat sipil 7. Organisasi antar pemerintah, badan konsultatif dan menjadi bagian integral dari struktur ASEAN Isu Tematik dalam Rencana Kerja 1. Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 2. Hak anak untuk berpartisipasi dalam semua hak yang mempengaruhi kehidupan mereka 3. Kerjasama dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak 4. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, pengambilan keputusan, pemerintahan dan demokrasi 5. Promosi dan Perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak penyandang cacat 6. Dukungan untuk pelaksanaan sistem perlindungan anak 7. Promosi hak atas pendidikan anak usia dini dan mutu pendidikan 8. Promosi pelaksanaan instrumen internasional, instrumen ASEAN atau lainnya yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak-anak 9. Membela kesetaraan gender dalam pendidikan 10. Dukungan untuk upaya penghapusan perempuan dan anak-anak yang terkena dampak HIV dan AIDS; 11. Mengatasi dampak sosial dari perubahan iklim yang dialami oleh perempuan dan anak Universitas Sumatera Utara 12. Promosi pada upaya penguatan hak-hak ekonomi perempuan dalam kaitannya dengan feminisasi kemiskinan, hak-hak perempuan atas tanah dan kepemilikan. Dengan dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan HAM di ASEAN yaitu AICHR dan ACWC, bahwa negara-negara ASEAN sudah mengakui dan menyadari akan pentingnya perlindungan HAM bagi bangsanya khususnya negara-negara anggota ASEAN. Dan dengan terbentuknya lembaga-lembaga tersebut, ASEAN sudah melangkah maju untuk pemajuan perlindungan HAM di ASEAN. 58 58 ASEAN Athem, Diakses dari : http://www.aseansec.org/24447.htm#Article-2 pada tanggal 21 April 2013 Universitas Sumatera Utara