bab ii deskripsi pelanggaran ham terhadap perempuan dan anak di

advertisement
BAB II
DESKRIPSI PELANGGARAN HAM TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK DI ASEAN
A. Latar Belakang Sejarah Hak Asasi Manusia
Awal dari perhatian internasional kepada hak-hak asasi manusia, setidaktidaknya dari sudut pandangan hukum internasional, dapat ditelusuri baik dari
perbudakan ataupun peperangan. Jika perjanjian multirateral pertama (konvensi,
yang bukannya suatu pertemuan melainkan sebuah instrumen hukum) dianggap
sebagai patokan, maka kepedulian internasional kepada hak-hak asasi manusia
sudah mulai sejak kira-kira seratus dua puluh lima tahun yan lalu. Ironisnya ,
perjanjian multirateral yang pertama mengenai hak-hak asasi manusia timbul dari
peperangan , dan cabang tertua dari undang-undang hak asasi manusia diabdikan
untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata. 29 Pada
tahun 1864 negara-negara besar pada masa itu kebanyakan negara barat menulis
konvensi Geneva pertama untuk korban-korban pertikaian bersenjata. Perjanjian
ini mencantumkan asas sentral bahwa petugas kesehatan harus dianggap netral
sehingga mereka dapat merawat prajurit-prajurit yang sakit dan terluka.
Prajurit yang mengalami keadaan demikan tidak lagi merupakan prajurit
tempur aktif yang menjalankan tugas nasionalnya, dan hanya individu sematamata yang membutuhkan pertolongan. Cara lain untuk menyatakan asas sentral
tersebut adalah bahwa prajurit individual berhak atas sekurang-kurangnya
pengharagaaan minimum bagi esensinya sebagai seorang pribadi, atas tingkat
minimum dari perikemanusiaan sekalipun dalam peperangan yang menrupakan
29
Foesythe David P, Hak-hak Asasi Mnusia dan Politik Dunia, Angkasa Bandung: Bandung 1993, hlm 9
Universitas Sumatera Utara
pengingkaran paling berat terhadap kemausiaan. Dari sudut hak-hak asasi
manusia, sekalipun perjanjian itu tidak menggunakan kata-kata ini, prajurit
tempur yang sakit dan terluka mempunyai hak akan perawatan medis, dan
petugas-petuga kesehatan berhak untuk tidak diperlakukan sebagai sasaran
militer. Martabat manusia mengamanatkan ketentuan demikian ini.
B. Sejarah HAM di ASEAN
30
Secara internal, ASEAN lebih dinamis (politik dan ekonomi). ASEAN
juga memiliki peran yang lebih penting di tingkat regional dan internasional. Isu
hak asasi manusia yang diambil berlaku di ASEAN Charter, 15 Desember 2008 .
Namun, isu-isu hak asasi manusia tetap sebagai masalah besar karena di setiap
negara pihak pelanggaran hak asasi manusia, impunitas dan bahkan pembela hak
asasi manusia terus mengalami risiko di lapangan. Isu hak asasi manusia pertama
kali disebutkan dalam "Deklarasi Bersama Pertemuan Tingkat Menteri ASEANEC atau "Joint Declaration of the ASEAN-EC Ministerial Meeting pada tahun
1978, yang isinya adalah sebagai berikut: "... Kerjasama internasional untuk
mempromosikan dan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi
semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, dan agama harus ditingkatkan." Juli
1993 setelah Konferensi Dunia di Wina dalam "26th Joint Communiqué"
ASEAN-AMM: "ASEAN mengakui bahwa hak asasi manusia saling terkait dan
tak terpisahkan, itu menegaskan komitmennya untuk dan menghormati hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diatur dalam Deklarasi Wina.
Dalam kesepakatan ini, bahwa ASEAN harus mempertimbangkan
pembentukan mekanisme regional yang sesuai pada hak asasi manusia.”
Sebelumnya, melalui kelompok studi dibentuk oleh PBB Komisi Hak Asasi
Manusia , dimana gagasan Komisi HAM regional diperkenalkan. Berbagai
resolusi PBB juga semakin menekankan pentingnya pembentukan mekanisme
HAM regional, akan tetapi, tidak ada perkembangan lebih lanjut setelah
30
ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC,
oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC
Universitas Sumatera Utara
komitmen tersebut. Karena itu, berbagai akademisi, aktivis dan masyarakat sipil /
LSM melanjutkan diskusi pada mekanisme regional tentang hak asasi manusia
dan Kelompok Kerja Mekanisme HAM ASEAN (1996).
Sejak itu, berbagai pertemuan tentang Hak Asasi Manusia telah
diselenggarakan dengan dukungan dari berbagai lembaga internasional, misalnya
pertemuan tahunan ASEAN-Institut Studi Strategis dan Internasional Seminar
Hak Asasi Manusia atau the ASEAN-Institutes of Strategic and International
Studies Colloquium on Human Rights (AICOHR), pertemuan tahunan AsiaEurope atau Asia-Europe Meeting (ASEM) Informal Seminar on Human Rights
(ASEM) Seminar Informal tentang Hak Asasi Manusia.
Instrumen-instrumen hak asasi manusia yang telah ada yaitu diantaranya 31 :
1. Kuala Lumpur Agenda on ASEAN Youth Development (1997)
Declaration of Principles to Strengthening ASEAN Collaboration on
Youth (1983)
2. Declaration on the Advancement of Women in ASEAN (1988)
3. ASEAN Plan of Action on Children (1993)
4. Yangon Declaration on Preparing ASEAN Youth for the Challenges of
Globalization (2000)
5. ASEAN declaration on the Commitments for Children in ASEAN
(2001)
6. Declaration on the commitment for Children (2001)
7. Manila Declaration on Strengthening Participation in Sustainable
Youth Employment (2003)
8. ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly
Women and Children (2004)
31
ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC,
oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC
Universitas Sumatera Utara
9. ASEAN Declaration on the promotion and protection of Migran
Workers (2007)
10. ASEAN Charter (2008)
C. Isu Hak Asasi Manusia di ASEAN
Kehidupan politik dan kebudayaan negara Asia kurang begitu kental
berpadu jika dibandingkan dengan kehidupan politik dan kebudayaan negara lain
di benua lainnya. Suatu pentunjuk kehidupan politik dan kebudayaan yang tidak
terpadu ini adalah tidak ada organisasi internasional wilayah yang mencakup
seluruh Asia. Asia terdiri atas sekumpulan negara dengan struktur sosial yang
berbeda-beda dan tradisi keagamaan , falsafah dan kebudayaan yang beraneka
ragam. 32 Dalam bidang hak-hak asasi manusia Asia jugs tidak memperlihatkan
keseragaman. Orang dapat membayangkan tradisi Cina , Hindu, atau Islam, tetapi
hampir tidak ada yang disebut tradisi Asia yang menghubungkan aneka ragam
negara seperti Cina, Jepang, Pakistan, India, Iran, dan yang lainya. Tidak ada
perjanjian tentang hak-hak Asasi manusia untuk tingkat Asia. Upaya telah
dilakukan untuk menyusun suatu deklarasi hak-hak manusia Asia Barat atau Asia
Tenggara tetapi upaya ini hingga kini belum membawa hasil. Para wakillembaga
swadaya masyarakat telah membentuk ‘Badan Wilayah untuk Hak-hak Asasi
Manusia di Asia ‘, yang telah menghasilkan sebuah deklarasi tentang kewajiban
dasar dari rakyat dan pemerintah negara-negara ASEAN. ASEAN adalah sebuah
wadah kerja sama wilayah sepuluh negara Asia Tenggara dengan titik berat pada
bidang ekonomi.
Pada tahun 1993 negara-negara ASEAN menetapkan untuk mengangkat
seorang pelapor wilayah untuk masalah hak-hak asasi manusia. Piagam Hak-Hak
Asasi Manusia dan Hak Rakyat di Dunia Arab bukan dokumen pemerintah
32
Hiroko Yamane, ‘Asia and Human Rights’ dalam K. Vasak , The International Dimensions of Human
Rights, Paris : UNESCO 1982 hlm 651 dalam Peter R.Baehr , Hak-hak asasi Manusia dalam Politik Luar
Negeri hlm 150
Universitas Sumatera Utara
melainkan dibuat oleh para ahli perseorangan. Dalam bidang hak-hak asasi
manusia lembaga swadaya masyarakat di ASEAN tampaknya lebih maju daripada
pemerintahnya. Selama persiapan untuk Konferensi Dunia tentang Hak-Hak
Manusia di Wina , pemerintah tertentu , termasuk pemerintah Cina, India,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia mmeperlihatkan derajat kebersamaannya
lebih besar, tetapi kebersamaan ini lebih banyak untuk membalas apa yang
mereka anggap sebagai usaha negara-negara Barat yang tidak semestinya untuk
mendesak pemantauna hak-hak asasi manusia yang lehi efektif oleh PBB dan
organ lainnya. ‘Deklarasi Bangkok’ yang lahir dari suatu pertemuan wilayah yang
diselenggarakan pada musim semi tahun 1993 ditafsirkan secara luas dalam arti
menolak sifat universal dari hak-hak asasi manusia , seperti dilukiskan oleh
kutipan berikut: Menyadari bahwa sungguhpun hak-hak asasi manusia bersifat
universal, hak-hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam kerangka latar
belakang sebuah prose pembentukan norma internasional yang dinamis dan terus
berkembang , dengan mempertimbangkan ciri-ciri khas nasional dan wilayah serta
berbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan agama. 33
Selama Konferensi Dunia itu sendiri, para delegasi dari sejumlah negara
Asia terkesan lebih aktif dalam usaha menghambat kemajuan ke ara memperkuat
prosedur pengawasan daripada mengupayakan kemajuan lebih jauh lagi. Dalam
beberapa tahun belakangan ini semakin bertambah jumlah negara Asia yang
meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dan tentaj
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan, sementara itu dua puluh negara
lainnya belum ikut meratifikasinya. Negara Asia tengah berjuang mengatasi
berbagai masalah termasuk masalah dalam bidang hak asasi manusia. 34
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umur sebagai
manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikann juga
33
Deklarasi Bangkok ayat 8
Baehr Peter.R, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta 1998
hlm 150-151
34
Universitas Sumatera Utara
pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam
perundangan nasional 35 . Sehubungan dengan akhir pengamatan yang diberikan
oleh Komite Hak Anak (KHA), setiap negara anggota ASEAN masih belum
termasuk empat prinsip-prinsip KHA, khususnya prinsip-prinsip non-diskriminasi
dan menghormati pandangan anak (partisipasi anak) ke dalam sistem hukum
nasional mereka. Komite juga menekankan perlunya harmonisasi perundangundangan dan kebijakan nasional masing-masing negara ASEAN akan cocok atau
sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam KHA. Komite merekomendasikan
negara pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
menyelaraskan definisi anak, termasuk penggunaan istilah, dalam hukum nasional
sehingga dapat mengurangi inkonsistensi dan kontradiksi. Setiap negara juga
didorong untuk melakukan perbaikan dalam peraturan dan kebijakan nasional
dalam memberikan jaminan hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga
terutama masalah perawatan alternatif, adopsi, dan hak-hak dasar seperti hak atas
pendidikan dan kesehatan terutama bagi anak-anak cacat, dan anak yang
tergabung dalam kelompok minoritas. Negara-negara ASEAN juga masih
memiliki banyak masalah pada sistem perlindungan anak, kekerasan terhadap
anak dan masalah trafiking dan pornografi yang melibatkan anak-anak. Negaranegara ASEAN diminta untuk bekerja sama dengan sesama anggota atau badanbadan internasional dalam rangka memperkuat sistem perlindungan anak,
terutama dalam isu-isu anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Mengenai Protokol Opsional, hanya sedikit negara yang telah meratifikasi
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak
dan Pornografi Anak (OPSC) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang
keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (OPAC). Bahkan, dua negara yang
telah meratifikasi Protokol Opsional kedua, yaitu Filipina dan Thailand masih
menghadapi banyak masalah dengan jumlah korban dalam penjualan, prostitusi
dan pornografi dan banyak masalah serius pada anak-anak terlibat dalam konflik
35
Jurnal Perempuan edisi 55 , Anak Jalanan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta 2007 hlm 94
Universitas Sumatera Utara
bersenjata. Negara-negara ASEAN juga harus didorong untuk membangun sistem
perlindungan anak yang tidak hanya dibangun atas dasar sistem hukum dan
kebijakan yang kuat, tetapi juga dapat diterapkan ke dalam pemecahan program
berorientasi masalah.
Hampir semua negara telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk
masalah-masalah tertentu, seperti pencegahan dan penghapusan perdagangan
manusia,
pencegahan
dan
penghapusan
eksploitasi
seksual
komersial,
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (mengikuti Konvensi
ILO 182). Namun, rencana aksi nasional belum diikuti oleh langkah-langkah
progresif dan afirmatif dalam anggaran dan kebijakan regional dan masih lemah
dalam koordinasi antara instansi terkait atau antara pemerintah pusat dan daerah.
ASEAN masih membutuhkan kerjasama antar anggota untuk mengatasi
masalah perdagangan manusia, eksploitasi seksual komersial anak, penjualan anak
dan penculikan, pornografi, adopsi ilegal yang sering memerlukan kerjasama
antar negara, baik bilateral maupun multilateral. Negara-negara ASEAN pada
umumnya belum cukup baik dalam pembuatan dan pelaksanaan standar pelayanan
minimum. Kurangnya fasilitas pelatihan yang memadai tersedia untuk penegakan
hukum, pekerja sosial, konselor dan pendidikan eksekutif sebagaimana diatur
dalam pedoman internasional tentang penanganan rehabilitasi, pemulihan atau
reintegrasi korban. Setiap negara ASEAN masih kekurangan dari sistem
pengumpulan data yang komprehensif dan integratif untuk digunakan dalam
pemetaan masalah, pencegahan dan solusi untuk berbagai pelanggaran hak-hak
anak. ASEAN telah memperoleh komentar positif dari Komite Hak Anak karena
kemajuan yang dicapai. Pertama, itu adalah kemauan negara untuk menarik
pemesanan pada artikel CRC.
Secara umum, negara-negara ASEAN telah menetapkan peraturan tentang
perlindungan hak-hak anak, badan-badan khusus dan hak-program berorientasi
perlindungan anak. Beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan
Universitas Sumatera Utara
Filipina telah memiliki badan independen hak asasi manusia (NHRI). Indonesia
bahkan memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia serta Komisi Nasional Perempuan. Beberapa negara juga telah
meratifikasi Konvensi ILO 182 dan Konvensi ILO 138 meskipun undang-undang
nasional tentang pekerja anak belum cukup kuat untuk menjamin perlindungan
anak dari eksploitasi ekonomi mungkin dan kerja. Adapun isu HAM yang terjadi
di negara ASEAN yaitu :
1. MALAYSIA
Pemerintah Malaysia mengkhawatirkan tingginya kasus kekerasan fisik
dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur di negeri itu.
Mengutip catatan Kantor Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan
Masyarakat Malaysia , kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak perempuan
begitu mengkhawatirkan, bahkan angka kasus anak laki-laki yang dilecehkan
secara seksual cukup signifikan. Pun anak-anak di bawah umur yang disiksa
secara fisik dan ditelantarkan oleh pengasuhnya, mengalami peningkatan.
Data statistik pada kementerian tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 3.257
anak menjadi korban pelecehan, dengan 1.019 di antaranya anak laki-laki. Angka
tersebut menunjukkan kenaikan pada 2011 menjadi 3.428 kasus. Anak laki-laki
yang menjadi korban juga meningkat menjadi 1.253 orang. Tahun lalu, kasus
pelecehan anak membengkak menjadi 3.831 kasus yang dilaporkan. Sementara
korban perempuan muda mencapai 2.544 orang. Sementara itu, ada sekitar 1.000
kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat hingga Maret tahun 2013 ini.
Kementerian menyatakan, anak-anak mengalami penganiayaan fisik, seperti yang
diklasifikasikan dalam Pasal 17 (1) (a) dan (b) Anak Act 2001, terdiri jumlah
tertinggi kasus yang dicatat. Sebanyak 846 dari 3.257 kasus yang terjadi pada
tahun 2010 diklasifikasikan sebagai "kekerasan fisik", dengan 32 kasus yang
tercatat sebagai "pelecehan emosional". Kasus kekerasan fisik meningkat menjadi
1.062 kasus pada 2011, dan 1.080 kasus pada 2012. Pada tahun 2010, sebanyak
871 perempuan dan 66 anak laki-laki mengalami pelecehan seksual. Catatan pada
Universitas Sumatera Utara
tahun berikutnya menunjukkan, 789 perempuan dan 35 laki-laki anak mengalami
penganiayaan. Jumlah tersebut meningkat dari tahun lalu menjadi 908 perempuan
dan 55 laki-laki. Selama triwulan pertama 2013 saja, ada 268 kasus pelecehan
seksual yang melibatkan anak-anak perempuan, sementara pada korban anak lakilaki ada 13.
Kementerian juga mengungkapkan adanya peningkatan kasus anak-anak
yang ditelantarkan. Tahun lalu, 1.051 anak-anak yang ditinggalkan oleh
pengasuhnya dan kebutuhan dasar mereka, seperti pakaian, makanan dan
pendidikan, diabaikan.Menurut pihak kementerian, ini merupakan peningkatan
dari 927 kasus penelantaran pada tahun 2010 dan 814 kasus pada tahun
sebelumnya. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap anak
biasanya terjadi dalam keluarga yang memiliki kombinasi "faktor risiko", yang
termasuk orang tua atau wali dengan stres yang berhubungan dengan pekerjaan,
masalah keuangan, dan perkawinan.
Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih rentan
terhadap pelanggaran, seperti status ekonomi keluarga. "Ketidakmampuan orang
tua untuk mengasuh anak-anak mereka dan diri mereka sendiri sambil
menyeimbangkan pekerjaan yang penuh tekanan, adalah salah satu alasan
mengapa mereka melampiaskan rasa frustrasi mereka kepada anak-anak mereka,"
demikian pernyataan dari kementerian. "Faktor eksternal, seperti jenis lingkungan,
latar belakang keluarga, dan pengaruh media, juga saling berkait." Data tersebut
menunjukkan, jumlah kasus penganiayaan yang tertinggi berada di perumahan
liar dan perumahan murah. Selain itu, faktor himpitan ekonomi juga memberikan
kesempatan bagi predator seksual untuk mengambil keuntungan dari anak-anak. 36
36
Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Malaysia Mengkhawatirkan, diakses dari :
http://m.batamtoday.com/berita32152-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Anak-di-Malaysia-Mengkhawatirkan.html
editor : Dodo pada tanggal 21 agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
2. MYANMAR
Pemberitaan terkait pengungsi suku minoritas Rohingya Myanmar
mengundang perhatian masyarakat internasional, setelah ratusan manusia perahu
yang melarikan diri dari Myanmar terdampar di Aceh dan mengungkapkan
perlakuan buruk yang mereka terima selama berada di Thailand. Pada awal tahun
2009 lalu, Angkatan Laut Thailand telah menangkap manusia perahu Rohingya di
perairan Andaman dan kemudian memaksa sekitar 1000 manusia perahu kembali
ke laut dalam perahu-perahu tanpa mesin serta tanpa perbekalan air dan makanan
yang memadai. International Organization for Migration (IOM) juga menemukan
bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Thailand tersebut.
Tidak heran apabila kemudian Thailand menuai kritik dan kecaman dari berbagai
negara, termasuk Indonesia.
Perlakuan militer Thailand tersebut tergolong tindakan tidak manusiawi
bahkan untuk alasan penerapan hukum terhadap para pelanggar batas atau illegal
entry sekalipun. Organization of the Islamic Conference (OIC) juga telah meminta
Pemerintah Thailand untuk memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap
manusia perahu sebagaimana yang tercantum dalam the 1951 UN Convention on
Refugees. Kasus manusia perahu tersebut muncul ditengah-tengah kentalnya isuisu HAM dan memunculkan pertanyaan mengenai kesungguhan negara-negara
ASEAN dalam penegakan HAM dan pembentukan ASEAN Human Right Body.
Penanganan kasus manusia perahu juga diwarnai berbagai perbedaan kepentingan
negara-negara di kawasan.
Bagi Thailand keberadaan manusia perahu Rohingya di wilayahnya adalah
illegal dan merupakan bagian dari kejahatan penyeludupan dan perdagangan
manusia. Tidak berbeda dengan Thailand, Indonesia juga berpendapat bahwa
gelombang pengungsian tersebut merupakan kegiatan human trafficking dan
people smuggling. Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata
terhadap penderitaan etnis Rohingya dan berupaya untuk mencari solusi terbaik
sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
Myanmar sebagai negara asal, mengambil sikap tidak peduli terhadap nasib etnis
minoritas tersebut dan bersikeras bahwa Rohingya bukanlah warganya. Sementara
itu, Bangladesh sebagai negara miskin di kawasan Asia Selatan merasa terbebani
dengan besarnya arus pengungsian dari Myanmar tersebut. Australia yang
menjadi salah satu negara tujuan berkepentingan dalam mencegah masuknya
pengungsi dikarenakan alasan kepentingan keamanan nasionalnya. Muncul
pertanyaan bagaimana kasus ini akan ditangani, mekanisme apa yang dapat
digunakan dalam penyelesaiannya?
Bagaimana instrumen hukum
dapat
memberikan perlindungan terhadap manusia perahu ini? Baik Thailand maupun
Indonesia menyadari bahwa manusia perahu ini memerlukan penanganan
komprehensif yang melibatkan hampir semua negara di kawasan karena
merupakan cross border issues.Siapa etnis Rohingya ini? Bagaimana gelombang
pengungsian etnis Rohingya bermula? Etnis Rohingya telah mendiami dua kota di
Utara Negara Bagian Rakhine, yang dulu dikenal dengan nama Arakan, wilayah
bagian barat Myanmar sejak abad ke-7 Masehi.
Saat ini masih terdapat sekitar 600.000 orang Rohingya yang tinggal di
Myamar. Etnis Rohingya secara fisik, bahasa danbudaya lebih mendekati bangsa
Asia Selatan, dan sebagian dari mereka adalah keturunan Arab, Persia dan Pathan.
Selama bertahun-tahun mereka mendapatkan perlakuan buruk dan diskriminatif
dari Pemerintah Myanmar, terlebih lagi paska operasi Militer King Dragon, 37
yang telah memaksa mereka mengungsi ke Bangladesh. Menurut data Amnesti
Internasional pada periode 1991-1992, kurang lebih 250 ribu orang Rohingya
mengungsi dan memasuki wilayah Bangladesh. Sedangkan menurut data
UNHCR, saat ini terdapat sekitar 28 ribu orang Rohingya yang tinggal di kampkamp pengungsi di Bangladesh. Ironisnya etnis muslim Rohingya tersebut tidak
diakui baik oleh Myanmar maupun Bangladesh sebagai warganya.
37
Pada tahun 1978 Pemerintah Myanmar dibawah kepemimpinan Jenderal Ne Win melakukan operasi militer
King Dragon di Negara bagian Rakhine (Arakan) dalam upaya memberantas para mujahidin di wilayah
tersebut.Namun, operasi militer tersebut juga berdampak pada masyarakat muslim lainnya, terutama dari etnis
Rohingya.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai orang Bengali
(Bangladesh) yang tinggal di Myanmar. Pemerintah Junta Militer Myanmar
menyatakan bahwa sekalipun mereka tinggal di Arakan, Myanmar, tetapi etnis
Rohingya bukanlah rakyat Myanmar dan tidak termasuk dalam salah satu dari 135
kelompok etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. 38 Pemerintah Myanmar juga
tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis
Rohingya ini adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan atau stateless.
Menurut Amnesti Internasional, orang Rohingya telah mengalami
penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi,
mayoritas dari mereka tidak diakui kewarga-negaraannya. Mereka hanya sedikit
dan bahkan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah dan rumah serta diperkerja
paksakan pada sejumlah pekerjaan pembangunan infrastruktur di Myanmar.
Perlakuan diskriminatif tersebut telah memaksa mereka memilih untuk
menjadi manusia perahu dan meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan
dan penghidupan yang lebih baik di negara lain. Negara-negara yang menjadi
tempat transit dan tujuan mereka antara lain adalah Bangladesh, Malaysia,
Pakistan, Saudi Arabia, Thailand, Indonesia dan Australia. Hingga pada awal
tahun 2009 perhatian dunia internasional kembali tertuju pada etnis Rohingya
ketika sekitar 1000 manusia perahu tersebut ditangkap pada saat akan memasuki
wilayah Thailand.
Namun, menurut perwakilan UNHCR di Bangkok, meskipun tidak diketahui
jumlah pastinya, setidaknya masih terdapat sekitar 78 orang Rohingya yang
ditahan di Ranong, di bagian selatan Thailand dan belum dapat diketahui
38
Pernyataan dikeluarkan pada Press Realese Kemlu Myanmar pada 26/02/1992. Pernyataan tersebut
ditegaskan lagi
dalam Political Situation of Myanmar and its Role in the Region, Col. Hla Min, Office of Strategic Studies,
Ministy of Defense of Myanmar, February 2001, p. 95-99. Pemberitaan Media Indonesia, 12/02/2009, hal 6,
bahwa
Perwakilan Pemerintah Myanmar di Hongkong melalui surat kabar setempat yang meminta agar masyarakat
internasional, khususnya media untuk tidak menyebut etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar.
Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN,
Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009
Universitas Sumatera Utara
keadaannya apakah mereka juga memerlukan perlindungan internasional.
Pemerintah Thailand menyatakan bahwa manusia perahu Rohingya sebagai
pelintas batas illegal dan dikategorikan sebagai migran ekonomi, bukan pencari
suaka yang berhak mendapatkan status pengungsi. Namun, bagaimana kedudukan
manusiaperahu Rohingya ditinjau dari pandangan hukum?. Ada 2 perangkat
hukum internasional yang mengatur masalah pengungsi yaitu the 1951 UN
Convention on Refugees dan the 1967 Protocol on Status of Refugees.
Konvensi tersebut dalam artikel 1 butir A (2) mendefinisikan
pengungsi
39
sebagai:"A person who owing to a well-founded fear of being
persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular
social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is
unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of
that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his
former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such
fear, is unwilling to return to it.." Menurut hukum internasional, pengungsi adalah
orang yang berada di luar negara atau tempat tinggal asalnya, mengalami
ketakutan terhadap penuntutan dikarenakan oleh ras, agama, kewarganegaraan,
keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau memiliki pandangan politik yang
berbeda, dan tidak memiliki kewarganegaran dan tidak mampu atau tidak bersedia
untuk mendapatkan perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya
dikarenakan adanya ketakutan tersebut. Sedangkan definisi migran menurut
Pedoman Penetapan Prosedur dan Kriteria Pengungsi sesuai Konvensi tahun 1951
adalah orang yang, selain dari alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan
pada kelompok sosial tertentu dan perbedaan pandangan politik, secara sukarela
meninggalkan negaranya untuk menetap di negara lain. 40
39
The 1951 UN Convention on Refugees yang diamandemen dalam Protokol 1967dalam jurnal Irma D.
Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1
Edisi Oktber 2009,
40
Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the
1967 Protokol relating to the Status of Refugees paragraph 62, UNHCR document, Geneva, Januari 1992
dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal
Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan motivasinya untuk berpindah tempat tinggal, adalah karena
menginginkan perubahan atau petualangan, atau karena alasan keluarga maupun
pribadi. Apabila secara khusus motivasinya adalah pertimbangan ekonomi untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik, maka orang tersebut adalah seorang
migran ekonomi dan bukan termasuk kategori pengungsi. Namun, perbedaan
antara migran ekonomi dengan pengungsi seringkali rancu dan tidak jelas.
Memang bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan standar ukuran apakah
ekonomi atau politik yang menjadi latar belakang atau motif dari perpindahan
seseorang, karena bukan tidak mungkin apabila motif ekonomi tersebut
dipengaruhi oleh isu rasial, agama atau politik yang dihadapi oleh satu kelompok
tertentu di negara asalnya. 41 Disamping itu, pada prakteknya, penentuan apakah
orang tersebut adalah pengungsi atau bukan, seringkali diserahkan pada lembagalembaga atau badan-badan Pemerintah dari negara penerima, negara transit atau
negara kedua. Akibatnya adalah terjadinya kecenderungan untuk menolak
memberikan status pengungsi dan bahkan para pencari suaka tersebut seringkali
diperlakukan sebagai pendatang illegal. Sehingga sulit untuk dapat menggaransi
adanya suatu perlindungan bagi para pencari suaka tersebut.
Seperti halnya manusia perahu Rohingya, lalu apakah dengan demikian
mereka dapat dikategorikan sebagai pengungsi? Ada berapa fakta terkait manusia
perahu tersebut, yaitu: pertama, etnis Rohingya jelas tidak diakui sebagai rakyat
Myanmar (stateless). Pengertian stateless ini dinyatakan dalam artikel 1 the 1954
Convention Relating to the Status of Stateless Persons adalah “a person who is not
considered as a national by any state under the operation of its law”. Kedua,
mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan rasis baik secara ekonomi, sosial
maupun politik. Secara ekonomi diskriminasi tersebut meliputi tidak diberikannya
41
The distinction between an economic migrant and a refugee is, however, sometimes blurred in the same
way as
the distinction between economic and political measures in an applicant’s country of origin is not always
clear...” Dikutip dari Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951
Convention and the 1967Protokol relating to the Status of Refugees, UNHCR Publication, Jenewa, 1992
dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal
Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
Universitas Sumatera Utara
hak kepemilikan atas tanah dan rumah, pemberlakuan perbedaan dalam
pengenaan pajak, dan lain-lain.
Secara sosial, Rohingya terdiskriminasi dengan adanya pembatasan ijin
pernikahan dan akses pendidikan, serta terbatasnya ruang gerak mereka di
Myanmar.
Sedangkan
secara
politik
mereka
tidak
diberikan
status
kewarganegaraan Myanmar. Ketiga, etnis Rohingya mengalami berbagai
penyiksaan dan pelanggaran HAM dengan diperkerja paksakan, diberi upah
minim dan bahkan tanpa upah diberbagai proyek pembangunan infrastruktur di
Myanmar.
42
Fakta lain mengatakan bahwa, Pemerintah Myanmar tidak
memberikan status kewarganegaraan karena etnis Rohingya tidak termasuk ke
dalam 135 etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar. Pemerintah Myanmar
menganggap orang Rohingya sebagai bangsa pendatang dari Bengali-Bangladesh
yang tinggal di Myanmar. Secara hukum, orang Rohingya tidak mendapatkan hak
yang sama dengan warga Myanmar lainnya. Sejalan dengan kebijakan tersebut,
Pemerintah Myanmar memberlakukan berbagai pembatasan di bidang ekonomi,
sosial dan politik bagi etnis Rohingya. Fakta lainnya adalah dari hasil
penyelidikan
diketahui
bahwa
mereka
meninggalkan
Myanmar
untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik di negara lain atau dengan kata lain
faktor ekonomilah yang menjadi motif pendorong utama.
Namun, apabila ditelaah lebih lanjut, di balik motif ekonomi dapat
dikatakan etnis Rohingya di Myanmar mengalami berbagai tekanan sebagaimana
yang tercantum padaartikel 1 Konvensi tentang Pengungsi atau dengan kata lain
mereka mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif sehingga secara ekonomi
etnis Rohingya tertekan. Berdasarkan ketentuan Konvensi tersebut, manusia
perahu Rohingya berhak mendapat status pengungsi. Hal ini lebih lanjut
dijelaskan dalam Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee
42
Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Right Denied, Amnesty International, May 2004, AI
Index:
ASA 16/005/2004 http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/en/dom-ASA160052004en.pdf.
Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN,
Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
Universitas Sumatera Utara
Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of
Refugees paragraph 63, bahwa: …Behind economic measures affecting a person’s
livelihood there may be racial, religious or political aims or intentions directed
against a particular group. Where economic measures destroy the economic
existence of a particular section of the population (e.g. withdrawal of trading
rights from, or discriminatory or excessive taxation of, a specific ethnics or
religious group), the victims may according tothe circumstances become refugees
on leaving the country. Konsekuensi dari butir diatas terhadap negara-negara yang
menjadi tempat transit (negara kedua) atau negara tujuan (negara ketiga)
sebagaimana tercantum dalam artikel 31 butir (1) adalah bahwa: The Contracting
States shall not impose penalties, on account of their illegal entry or presence, on
refugees who, coming directly from a territory where their life or freedom was
threatened in the sense of article 1, enter or are present in their territory without
authorization, provided they present themselves without delay to the authorities
and show good cause for their illegal entry or presence. 43
Ini berarti bahwa tindakan Pemerintah Thailand melanggar ketentuan
tentang kewajiban suatu negara terhadap pengungsi. Selain itu, tindakan
mendeportasi manusia perahu, khususnya Rohingya juga akan bertentangan
dengan artikel 33 butir 1 Konvensi tentang Pengungsi yaitu: No Contracting
States shall expel or return (“refouler”) a refugee in any manner where his life or
freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality,
membership of a particular social group or political opinion. 44 Sebagaimana
ketentuan dalam hukum internasional lainnya, ketentuan tersebut mengikat
seluruh negara yang menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Sedangkan, kepada
negaranegara non pihak, kewajiban-kewajiban perlindungan dan penanganan
pengungsi lebih tergantung pada willingness dari negara non pihak tersebut.
43
Artikel 31 butir 1, Refugees Unlawfully in the Country of Refugeee, the 1951 UN Convention on Refugees,
http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/o c ref.htm dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya :
Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
44
Artikel 33 butir 1 Prohibition of Expulsion or Return (“refoulement”), the 1951 UN Convention on
Refugees,http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/o_c_ref.htm, dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu
Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
Universitas Sumatera Utara
Sekalipun demikian, prinisip non legally binding untuk negara-negara non pihak
pada Konvensi tersebut tidak serta merta menghapuskan kewajiban universal
lainnya dalam memberikan perlindungan dan penegakan HAM.
Keterlibatan Indonesia dan Thailand dalam penanganan manusia perahu
Rohingya didasari oleh pertimbangan kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat
Rohingya, perlindungan HAM dan solidaritas kesatuan ASEAN. Disamping itu,
didasari oleh tekad untuk mengurangi, apabila dapat, menghentikan praktek
kejahatan perdagangan dan penyeludupan manusia, khususnya dikawasan Asia
Pasifik. Kebijakan Pemri jelas bahwa penanganan masalah Rohingya harus tuntas
namun tidak mencederai hubungan bilateral dan regional (ASEAN). Pemerintah
Indonesia menegaskan bahwa penanganan manusia perahu tersebut akan
melibatkan negara asal, negara transit, negara tujuan negara-negara lain di
kawasan serta lembaga internasional terkait (seperti antara lain UNHCR dan
IOM). Mempertimbangkan latar belakang permasalahannya, kasus manusia
perahu Rohingya tersebut sangat kompleks dan merupakan cross border issues,
dan bukan semata-mata isu ekonomi.
Sehingga dalam penanganannya tidak mungkin dilakukan oleh satu atau
dua negara saja. Ada beberapa opsi pilihan dalam penanganan sekitar 400
manusia perahu yang terdampar di Aceh, antara lain adalah pertama, Indonesia
segera mengembalikan (mendeportasi) manusia perahu tersebut, apabila
dipandang negara asal akan menerima dan menjamin adanya perlindungan bagi
mereka. Untuk itu, Indonesia perlu meng-engage Myanmar secara bilateral
maupun dalam kerangka ASEAN dalam menjamin perlindungan HAM bagi etnis
Rohingya. Mengkaitkan kasus pengungsian Rohingya dengan upaya penegakan
HAM di ASEAN menjadi sangat krusial dan kemungkinan tidak akan
terselesaikan dengan mudah. Myanmar menganggap HAM adalah isu sensitif
dalam negerinya dan track record penegakan HAM Myanmar juga masih
tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya, sementara pengungsian tersebut
ditenggarai karena terjadinya pelanggaran HAM. Kedua, Indonesia sebagai negara
transit menetapkan status manusia perahu tersebut sebagai pengungsi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitan ini, Indonesia dapat meminta bantuan dan bekerjasama
dengan IOM, UNCHR dan OCHA untuk mencarikan negara ketiga/tujuan. IOM
dipandang sebagai lembaga internasional yang tepat untuk menyelesaikan kasus
ini. IOM menangani isu-isu migrasi, termasuk people smuggling atau trafficking
in person. Disamping itu, kerja IOM dalam menangani migrasi dinilai lebih cepat
dan efektif, apalagi mengingat bahwa motif manusia perahu Rohingya diduga
kuat adalah pencari suaka ekonomi. Namun, Pemri hendaknya tidak menutup
kemungkinan untuk melibatkan UNHCR dan OCHA dalam mencari pemecahan
terbaik bagi penyelesaian kasus ini. Kasus Rohingya ini memperlihatkan masih
lemahnya upaya penegakan HAM di ASEAN. Terkait upaya penegakan HAM
dalam konteks regional, mekanisme konsultasi ASEAN diharapkan dapat menjadi
pilihan dalam menyamakan persepsi dan mencari solusi terhadap tindak
pelanggaran HAM dan sekaligus menghentikan akar penyebab gelombang
pengungsian tersebut.
Pada tingkat yang lebih luas, Indonesia, Thailand dan negara-negara
ASEAN lainnya telah sepakatmenggunakan pertemuan Bali Process, yaitu suatu
forum tingkat menteri yang bertujuan untuk menetapkan dan mengambil langkahlangkah yang dibutuhkan dalam mengatasiisu-isu perdagangan manusia dan
kejahatan-kejahatan antar negara lainnya di wilayah Asia-Pasifik, guna mencari
penyelesaian terbaik dalam menangani kasus manusia perahu ini. Perbedaan
tingkat kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tajam di kawasan Asia
Pasifik membuat gelombang migrasi irreguler sangat rentan terkait dengan tindak
perdagangan manusia dan kejahatan transnasional lainnya. Untuk itu, melalui
kerangka Bali Process diharapkan kasus-kasus yang timbul, baik itu perdagangan
dan penyeludupan manusia maupun kejahatan transnasional lainnya dapat
diselesaikan secara komprehensif sampai ke akar permasalahannya. Migrasi etnis
Rohingya ditenggarai bermotif ekonomi dan sarat akan isu pelanggaran HAM.
Apapun motif dibalik migrasi tersebut, pelanggaran HAM yang terjadi
maupun eksploitasi ekonomi harus diakhiri. Upaya menyelesaikan kasus
pengungsian secara komprehensif harus melibat berbagai pihak, yaitu negara asal,
Universitas Sumatera Utara
negara transit dan negara penerima serta organisasi internasional terkait dan
dilakukan melalui mekanisme yang ada, baik dalam kerangka ASEAN maupun
Bali Process. Selain itu, dalam menghadapi perdagangan bebas, kasuskasus
migrasi seperti Rohingya akan memunculkan tantangan bagi Indonesia, ASEAN
dan negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik. Perdagangan bebas ASEAN
akan semakin mendorong terjadinya migrasi penduduk di kawasan, dan apabila
isu migrasi tidak ditangani dengan baik, maka akan rentan terhadap terjadinya
pelanggaran Hak Azasi Manusia, tindak kejahatan penyeludupan dan perdagangan
manusia. Untuk itu, diperlukan upaya secepatnya dari negara-negara di kawasan
untuk membenahi mekanisme dan instrumen hukumnya terkait mengenai
pengaturan migrasi penduduk 45.
3. THAILAND
46
Thailand adalah sumber transit negara tujuan untuk pria, wanita dan
anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial dan
kerja paksa . Kemakmuran Thailand menarik pendatang dari negara-negara
tetangga yang melarikan diri dari kondisi kemiskinan dan, dalam kasus Burma,
represi militer. Migrasi ilegal yang signifikan ke Thailand menyediakan pedagang
dengan kesempatan untuk memaksa atau menipu migran yang tidak berdokumen
dalam kerja paksa atau eksploitasi seksual. Perempuan dan anak-anak
diperdagangkan dari Burma, Kamboja, Laos, Republik Rakyat Cina (RRC),
Vietnam , Rusia dan Uzbekistan untuk eksploitasi seksual komersial di Thailand.
Sejumlah perempuan dan anak perempuan dari Burma, Kamboja dan Vietnam
diperdagangkan melalui perbatasan selatan Thailand ke Malaysia untuk
eksploitasi seksual. Etnis minoritas seperti orang suku bukit utara yang belum
menerima residensi hukum atau kewarganegaraan beresiko tinggi untuk
45
Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini
Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,
46
Human Traffiking in Thailand, Diakses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Thailand
pada tanggal 24 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
perdagangan internal dan luar negeri , termasuk ke Bahrain , Australia , Afrika
Selatan , Singapura , Malaysia , Jepang , Hong Kong , Eropa dan Amerika Serikat.
Setelah migrasi sukarela ke Thailand , pria, wanita , dan anak-anak ,
terutama dari Burma , mengalami kondisi kerja paksa di pertanian, pabrik ,
konstruksi , perikanan komersial dan pengolahan ikan , pekerjaan rumah tangga
dan mengemis . Buruh Thailand bekerja di luar negeri di Taiwan , Malaysia ,
Amerika Serikat dan Timur Tengah sering membayar biaya perekrutan besar
sebelum keberangkatan , menciptakan hutang yang dalam beberapa kasus dapat
melawan hukum dimanfaatkan untuk memaksa mereka ke dalam istilah yang
sangat panjang tenaga kerja paksa . Anak-anak dari Burma , Laos dan Kamboja
diperdagangkan untuk mengemis dan eksploitasi buruh di Thailand .
Empat sektor utama perekonomian Thailand ( perikanan , konstruksi,
pertanian komersial dan pekerjaan rumah tangga ) sangat bergantung pada migran
Burma yang tidak berdokumen , termasuk anak-anak , sebagai buruh murah yang
dieksploitasi. Pemerintah Thailand tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum
untuk pemberantasan perdagangan manusia, namun, itu adalah membuat upaya
yang signifikan untuk melakukannya. Pada bulan November 2007 , Majelis
Nasional Legislatif Thai mengesahkan undang-undang anti - trafficking baru
komprehensif yang pemerintah Thailand dilaporkan akan berlaku pada bulan Juni
2008. Walaupun tidak ada penuntutan pidana kasus kerja paksa selama periode
pelaporan , pemerintah Thailand Maret 2008 melakukan serangan di sebuah
pabrik pengolahan udang di provinsi Samut Sakhon , menyelamatkan 300 korban
Burma kerja paksa. Departemen Tenaga Kerja kemudian merilis pedoman tentang
bagaimana ia akan menerapkan langkah-langkah yang lebih kuat untuk
mengidentifikasi kasus perdagangan tenaga kerja di masa depan. Namun
demikian, pemerintah Thailand belum memulai penuntutan pemilik dari Samut
Sakhon pabrik pengolahan udang terpisah dari yang 800 orang Burma, perempuan
dan anak-anak diselamatkan dari kondisi kerja paksa, termasuk kekerasan fisik
dan psikologis dan kurungan , pada bulan September 2006 .
Universitas Sumatera Utara
Menurut humantrafficking.org, Thailand adalah sumber, transit, dan
negara tujuan untuk perdagangan manusia: "Ini adalah hub tujuan-sisi eksploitasi
di sub-wilayah Greater Mekong, untuk kedua jenis kelamin dan eksploitasi tenaga
kerja." Sebagian besar korban perdagangan Thailand diperdagangkan ke Uni
Emirat Arab, Malaysia, Sri Lanka, Bahrain dan China, baik untuk eksploitasi
seksual dan tenaga kerja. Korban Thailand juga telah dipulangkan dari Rusia,
Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura. Warga
negara Thailand juga dikenal untuk diperdagangkan ke Australia, Kanada,
Jerman, Indonesia, Israel, Jepang, Kuwait, Libya, Qatar, Arab Saudi, Korea
Selatan, Taiwan, dan Timor-Leste, "menurut sumber online, mengutip data UN
2011. Mereka yang cukup beruntung untuk diselamatkan, bagaimanapun,
memiliki masalah menetap kembali ke masyarakat mereka. Sebuah laporan PBB
yang didukung pada perdagangan manusia yang dirilis pada 14 Oktober
mengatakan bahwa banyak korban bencana di Greater Mekong Sub-region Asia
Tenggara tidak diberikan bantuan yang memadai untuk reintegrasi ke dalam
masyarakat mereka.
Studi yang ditugaskan oleh pemerintah dari Koordinasi Mekong Menteri
Inisiatif Anti Perdagangan atau Co-ordinated Mekong Ministerial Initiative
against Trafficking (COMMIT) Kamboja, Cina, Republik Demokratik Rakyat
Laos, Burma, Thailand dan Vietnam mengatakan bahwa ketika dukungan
diberikan dengan cara yang tidak menghormati akan korban, atau bahkan
bertentangan dengan keinginan mereka, hal ini dapat menyebabkan trauma lebih
lanjut dan kelanjutan dari korban mereka. Anak-anak dari Kamboja atau Myanmar
(Burma) wilayah perbatasan dan pedesaan Vietnam atau China diperdagangkan
mengemis atau menjual bunga di jalanan kota-kota besar, sementara perempuan
dan anak perempuan dari Thailand, Kamboja, Myanmar (Burma) dan Vietnam
semakin sering ditemukan ditempat pelacuran atau pembantu rumah tangga di
Malaysia.
Perempuan
Thailand
diperdagangkan
juga
ditemukan
dalam
perdagangan seks di Hong Kong, Taiwan, Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah,
Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Universitas Sumatera Utara
Situasi ini tidak terbatas pada Thailand itu adalah masalah yang
berkembang mengganggu kawasan Asia. Hanya meminta keluarga Thi Thi Moe,
seorang gadis muda Burma yang ibunya di wawancarai via email dengan bantuan
wartawan lokal Burma Leyee Myint .Moe adalah salah satu dari sekitar 10.000
korban yang diperdagangkan ke negara-negara tetangga setiap tahun untuk
perbudakan seksual atau kerja paksa. Keluarganya tinggal di Hinthada Township,
sekitar empat jam dari Rangoon. Ibunya Soe Soe Tint mengatakan putrinya dijual
seharga hampir $ 5.000 kepada pemilik pabrik pakaian di Cina tahun lalu dan
belum pernah
kembali. Dia berharap bahwa pemerintah akan membantu
mengatasi masalah tersebut dengan meningkatkan penuntutan.
Memang, sulit untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak telah
menjadi korban perdagangan manusia, tetapi pada akhirnya, statistik tidak
penting. Satu anak, setelah semua, adalah salah satu korban terlalu banyak,
apakah dipaksa mengemis di jalan-jalan atau dikurung di rumah bordil suram
sebagai budak seks.
Pada tahun 2010, perdana menteri Thailand memimpin pertemuan dengan
organisasi buruh dan masyarakat sipil untuk mengkoordinasikan upaya-upaya
anti-perdagangan manusia, yang menyebabkan perkembangan dari kedua enam
tahun Strategi Kebijakan Nasional pemerintah Thailand pada perdagangan
manusia 2011-2016. Pada bulan Juli 2010, perdana menteri secara terbuka
mengakui kebutuhan untuk meningkatkan koordinasi antar lemahnya pemerintah
dalam menangani perdagangan manusia dan peningkatan penuntutan perdagangan
dilaporkan sendiri pemerintah dan keyakinan, namun ada data yang tersedia tidak
cukup untuk menentukan apakah masing-masing bisa dikategorikan sebagai
keyakinan perdagangan manusia. Pemerintah juga terus berupaya untuk melatih
ribuan polisi, tenaga kerja, jaksa, pekerja sosial, dan pejabat imigrasi ketika
mengidentifikasi korban. Meskipun peningkatan upaya, ruang lingkup dan
besarnya masalah trafficking di Thailand tetap signifikan, dan terus menjadi
rendahnya jumlah korban yang diidentifikasi di antara penduduk untuk kedua
jenis kelamin dan perdagangan tenaga kerja.
Universitas Sumatera Utara
LSM melaporkan bahwa masalah yang menghambat upaya-upaya antitrafficking pemerintah termasuk korupsi polisi setempat, termasuk keterlibatan
langsung dalam dan fasilitasi perdagangan manusia, kurangnya sistem
pemantauan yang komprehensif dari upaya pemerintah, kurangnya pemahaman di
antara pejabat lokal perdagangan,kurangnya Pengadilan dari pendekatan berbasis
HAM untuk kasus-kasus pelecehan tenaga kerja, dan Disinsentif yang sistematis
untuk korban perdagangan untuk diidentifikasi. Selain itu, sementara pemerintah
terus berupaya untuk mencegah perdagangan manusia dengan bantuan dari
organisasi internasional dan LSM, pemerintah belum memadai kerentanan
struktural terhadap perdagangan yang diciptakan oleh kebijakan. Untuk alasan ini,
Pemerintah Thailand ditempatkan di Tier 2 yaitu the 2011 U.S. Department of
State’s Trafficking in Persons Report (TIP Report) karena tidak sepenuhnya
sesuai
dengan
Korban
Trafficking
standar
minimum
Undang-Undang
Perlindungan untuk penghapusan perdagangan tetapi membuat upaya yang
signifikan untuk dilakukan. Ini menandai tahun kedua berturut-turut Thailand
pada Tier 2.
Pemerintah Thailand bekerja sama dengan badan-badan internasional dan
LSM dan pemerintah asing untuk memerangi manusia trafficking. Hal ini juga
menandatangani memorandum kesepahaman anti-trafficking atau memoranda of
understanding (MOU) dengan Kamboja, Laos, dan Vietnam dan menetapkan
kebijakan pendaftaran migran dan menandatangani MoU kerja bilateral dengan
Kamboja, Laos dan Myanmar .
The US Department of State merekomendasikan agar pemerintah Thailand
memberlakukan langkah-langkah berikut dalam 2011 TIP laporannya:
a. Meningkatkan
upaya-upaya
untuk
mengidentifikasi
korban
perdagangan antara populasi rentan, migran tidak berdokumen
tertentu dan dideportasi
b. Meningkatkan
upaya
untuk
menyelidiki,
mengadili,
dan
menghukum pelaku perdagangan tenaga kerja
Universitas Sumatera Utara
c. Meningkatkan upaya untuk menyelidiki, mengadili, dan pejabat
terpidana yang terlibat dalam korupsi perdagangan
d. Pastikan bahwa pelaku perekrutan tenaga kerja penipuan dan kerja
paksa menerima hukuman pidana yang ketat
e. Meningkatkan standar inspeksi perburuhan dan prosedur untuk
lebih mendeteksi pelanggaran di tempat kerja, termasuk kasus
perdagangan manusia
f. Meningkatkan pelaksanaan prosedur untuk memungkinkan semua
korban trafficking dewasa untuk bepergian, bekerja, dan berada di
luar tempat penampungan
g. Memberikan
alternatif
hukum
untuk
penghapusan
korban
perdagangan ke negara-negara di mana mereka akan menghadapi
kesulitan atau retribusi
h. Menerapkan
mekanisme
untuk
memungkinkan
korban
perdagangan asing dewasa untuk berada di Thailand
i. Buatlah upaya yang lebih besar untuk mendidik pekerja migran
tentang hak-hak mereka, kewajiban majikan mereka kepada
mereka, jalur hukum yang tersedia bagi korban perdagangan, dan
bagaimana mencari solusi terhadap para pedagang
j. Meningkatkan upaya untuk mengatur biaya dan broker yang terkait
dengan proses untuk melegalkan pekerja migran untuk mengurangi
kerentanan migran terhadap perdagangan manusia, dan
k. Meningkatkan
upaya
kesadaran
anti-perdagangan
manusia
diarahkan pada majikan dan klien 47
4. FILIPINA
Isu trafiking anak biasanya juga tidak bisa dilepaskan dari perempuan.
Sebagai ibu, salah satu mata rantai dan sebagai korban itu sendiri. Perempuan dan
47
Human Trafficking in Thailand , Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/thailand pada
tanggal 24 desember 2013
Universitas Sumatera Utara
anak memang selalu menjadi kelompok minoritas dan warga negara kelas
dua.Plato dalam mahakaryanya Republik, disekita abad 400 SM sudah pernah
menyebutkan bahwa perempuan sama halnya dengan budak dan anak-anak berhak
atas kehidupan publik. Dia hanya objek bagi seksualitas laki-laki. Dan perbudakan
itu dari dulu hingga sekarang tetap ada, dan muncul dalam dimensi baru :
trafiking. 48 Filipina adalah sumber dan pada tingkat yang jauh lebih rendah, tujuan
dan negara transit untuk pria, wanita, dan anak-anak yang mengalami
perdagangan seks dan kerja paksa. ILO memperkirakan bahwa satu juta pria dan
wanita Filipina bermigrasi ke luar negeri setiap tahun untuk kesempatan kerja, dan
bahwa 10 juta warga Filipina saat ini tinggal dan bekerja diluar negeri. Sejumlah
besar migran ini mengalami kondisi kerja paksa di pabrik-pabrik, di lokasi
konstruksi, di kapal penangkap ikan, di perkebunan pertanian, dan sebagai
pembantu rumah tangga di Asia dan semakin banyak di seluruh Timur Tengah.
Perempuan Filipina di luar negeri menjadi pembantu rumah tangga menghadapi
dan mengalami pemerkosaan dan kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Pekerja
terampil migran Filipina, seperti insinyur dan perawat, juga telah mengalami
kondisi kerja paksa. Perempuan diperdagangkan ke dalam industri seks komersial
di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan
Jepang dan di berbagai negara Timur Tengah .
Filipina merupakan negara tujuan bagi sejumlah kecil perempuan yang
diperdagangkan dari Republik Rakyat China, Korea Selatan, Rusia dan Eropa
Timur untuk eksploitasi seksual komersial . Perdagangan internal pria, wanita,
dan anak-anak juga tetap menjadi masalah yang signifikan di Filipina. Orang
diperdagangkan dari daerah pedesaan ke pusat-pusat perkotaan termasuk Manila,
Cebu, kota Angeles, dan semakin ke kota-kota di Mindanao, serta dalam areas
perkotaan. Perempuan dan anak-anak diperdagangkan di dalam negeri untuk kerja
paksa sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja pabrik skala kecil, untuk
mengemis paksa, dan untuk eksploitasi di industri seks komersial. Pekerja migran
48
Jurnal Perempuan 51, Mengapa Mereka diPerdagangkan?, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta 2007
Universitas Sumatera Utara
Filipina (baik di dalam negeri dan luar negeri) yang menjadi korban perdagangan
manusia sering tunduk pada kekerasan, ancaman, kondisi hidup yang tidak
manusiawi, tidak membayar gaji, dan penahanan perjalanan dan dokumen
identitas.
Meskipun prostitusi adalah ilegal, ratusan korban dikenakan prostitusi
paksa setiap hari di dunia usaha terkenal dan sangat terlihat yang melayani baik
permintaan domestik dan asing untuk seks komersial terhadap pariwisata seks
anak pada khususnya masih menjadi masalah serius di Filipina , dengan
wisatawan seks datang dari Asia Timur Laut, Australia, Selandia Baru, Eropa, dan
Amerika Utara untuk terlibat dalam eksploitasi seksual komersial anak.
Pekerja anak adalah masalah umum di Filipina. Satu laporan pemerintah
memperkirakan bahwa ada lebih dari 2,2 juta anak yang bekerja usia 15 sampai 17
di negara itu pada tahun 2009. Sebagian besar anak-anak ini bekerja sebagai buruh
dan pekerja tidak terampil, dan sering terkena lingkungan kerja yang berbahaya
dalam industri seperti pertambangan, perikanan, produksi piroteknik, pelayanan
rumah tangga, sampah pemulungan, dan pertanian, khususnya perkebunan tebu.
Sejumlah besar anak-anak juga dipekerjakan di sektor informal ekonomi
perkotaan sebagai pekerja rumah tangga atau pekerja keluarga yang tidak dibayar
sebagai di daerah pertanian pedesaan. LSM dan pejabat pemerintah melaporkan
kasus pada tahun 2010 di mana anggota keluarga menjual anak-anak untuk
majikan untuk pekerja rumah tangga.
Anak-anak juga rentan terhadap berbagai kelompok militer di Filipina.
Front Pembebasan Islam Moro atau The Moro Islamic Liberation Front (MILF),
kelompok separatis, dan Tentara Rakyat Baru atau the New People’s Army (NPA)
telah diidentifikasi oleh PBB sebagai salah pelaku persisten dunia pelanggaran
terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata, termasuk memaksa anak-anak ke
dalam layanan. Selama tahun 2010, ada laporan terus PBB bahwa Abu Sayyaf
yang ditargetkan untuk anak-anak wajib militer baik sebagai kombatan dan
noncombatants.
Universitas Sumatera Utara
Ada sejumlah faktor berisiko tinggi di Filipina yang dapat berkontribusi
terhadap perdagangan manusia. Ini termasuk: Konflik antara MILF dan Angkatan
Bersenjata Filipina (AFP) kiri antara 128.000 dan 160.000 orang pengungsi rentan
pada tahun 2010, kemiskinan, pertumbuhan penduduk, dan ketergantungan beban
telah menyebabkan beberapa orang tua untuk melihat pekerja anak sebagai sarana
untuk mengatasi sedikit pemasukan keluarga, kemiskinan, terutama di daerah
pedesaan, pengangguran yang tinggi dan pengangguran terselubung dan kendala
untuk pertumbuhan usaha kecil dan menengah adalah beberapa tantangan yang
dihadapi tenaga kerja Filipina yang telah menyebabkan banyak orang untuk
bermigrasi untuk bekerja, kehadiran ekonomi informal yang besar, diperkirakan
antara 40-80% dari pekerja Filipina, yang sebagian besar tidak terdaftar atau
tercatat dalam statistik resmi dan berada di luar jangkauan perlindungan sosial dan
tenaga kerja legislasi. Diperkirakan 900.000 orang Filipina tanpa dokumen,
sebagian besar berbasis di Mindanao, yang kurangnya dokumentasi resmi
memberikan kontribusi untuk kerentanan penduduk untuk perdagangan.
Dalam
kasus
pekerja
anak,
Departemen
Tenaga
Kerja
dan
Ketenagakerjaan atau , the Department of Labor and Employment (DOLE)
mengeluarkan peraturan baru pada tahun 2009 yang memfasilitasi penutupan
langsung dari perusahaan yang diduga menggunakan anak-anak untuk tindakan
seks komersial, dengan sidang pengadilan untuk menentukan validitas pengaduan
yang akan diselenggarakan di lain waktu. Antara 2009 dan 2010 DOLE
memerintahkan penutupan 22 perusahaan karena diduga melacurkan anak di
bawah umur. Percobaan dalam kasus ini sedang berlangsung. Selain itu,
pemerintah melakukan upaya-upaya penting tahun 2010 untuk mengatasi korupsi
perdagangan manusia, dan beberapa kasus pidana terhadap pejabat Filipina telah
dimulai dan tetap berlangsung. Pemerintah memberlakukan berbagai langkah dan
kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan respon kelembagaan, termasuk
peningkatan pelatihan peradilan, penegakan hukum, dan pejabat diplomatik
mengenai isu-isu perdagangan, penciptaan dan pendanaan dari gugus tugas anti-
Universitas Sumatera Utara
trafficking di bandara, pelabuhan laut, wilayah, dan daerah, dan peningkatan staf
yang berdedikasi untuk memerangi perdagangan manusia.
Namun, tetap ada backlog substansial dalam kasus perdagangan tertunda
di pengadilan Filipina, kurangnya upaya yang kuat untuk mengejar penuntutan
pidana pedagang tenaga kerja, termasuk perusahaan-perusahaan perekrutan tenaga
kerja yang terlibat dalam perdagangan pekerja migran di luar negeri, korupsi yang
merajalela di semua tingkatan yang memungkinkan pedagang dan melemahkan
upaya untuk memerangi perdagangan manusia, dan upaya-upaya yang tidak rata
dan cukup untuk mengidentifikasi dan cukup melindungi korban perdagangan terutama mereka yang membantu dengan upaya penuntutan. 49
5. SINGAPURA
Singapura adalah negara tujuan bagi perempuan dan anak perempuan yang
diperdagangkan dari Thailand , Filipina , Republik Rakyat Cina , dan Indonesia
untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja komersial . Beberapa wanita secara
sukarela bermigrasi ke Singapura untuk bekerja sebagai pelacur tetapi kemudian
dipaksa menjadi pekerja seksual. Singapura tidak memiliki hukum khusus untuk
anti - perdagangan manusia , namun memiliki banyak hukum untuk mengadili ,
melindungi , dan mencegah perdagangan manusia , khususnya Piagam Perempuan
, the Children and Young PersonsAct, dan KUHP .
KUHP mengkriminalisasi sebagian bentuk perdagangan , tetapi tidak
mengkriminalisasi penggunaan anak-anak berusia 16 dan 17 tahun yang
digunakan dalam prostitusi . Hukum digunakan untuk mengkriminalisasi
perdagangan tenaga kerja meliputi KUHP , Ketenagakerjaan Badan Aturan , dan
Pekerjaan TKA atau the Employment of Foreign Workers Act . Hukuman
termasuk penjara , dan cambuk untuk semua jenis perdagangan manusia.
Dana Pemerintah dan penampungan LSM lokal , memberikan konseling ,
perawatan kesehatan , keamanan fisik , dan program pengembangan keterampilan
49
Philippines, Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/philippines pada tanggal 24
desember 2013
Universitas Sumatera Utara
bagi pekerja rumah tangga asing dan korban aniaya eksploitasi seksual .
Departemen Tenaga Kerja memiliki hotline bagi pekerja rumah tangga asing .
Singapura tidak memberikan alternatif hukum bagi korban yang menghadapi
kesulitan atau retribusi di negara asal mereka . Belum ada laporan korban
trafficking
yang
telah
dipenjara
atau
dituntut.
Pemerintah
Singapura
meningkatkan kesadaran perdagangan antara pekerja rumah tangga asing .
Departemen Tenaga Kerja atau The Ministry of Manpower (MOM) mencetak
informasi mengenai karyawan ' hak dan nomor hotline polisi , dan surat kabar
dengan informasi tentang hak-hak pekerja dan tanggung jawab kepada pekerja
rumah tangga asing . MOM juga mulai secara acak mewawancarai pekerja rumah
tangga untuk menentukan kondisi kerja mereka dan pengetahuan karyawan hak
mereka
The US Department of State merekomendasikan Parlemen Singapura
harus menyetujui usulan perubahan KUHP yang akan mengkriminalisasi
prostitusi yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun , memperluas yurisdiksi
ekstra - teritorial atas warga negara Singapura dan penduduk tetap yang membeli
atau meminta layanan seks dari anak-anak di luar negeri , dan membuat
mengorganisir atau mempromosikan wisata seks anak kejahatan kriminal. 50
6. KAMBOJA
Kamboja adalah salah satu negara termiskin di Asia Tenggara. 35 persen
masyarakatnya hidup dengan pendapatan kurang dari 50 sen atau enam ribu
rupiah per hari. Kemiskinan membuat beberapa orangtua mengambil keputusan
nekad seperti menjual anak-anaknya atau menyuruh mereka bekerja di kota.
Orangtua berharap dengan melakukan ini, anak-anak itu dapat pendidikan yang
lebih baik. Beberapa anak, yang rentan ini, berakhir ditangan para pedofil.
Negara-negara di Asia, dalam beberapa tahun terakhir, telah melakukan banyak
tindakan untuk menghabisi kejahatan berbahaya ini. Namun, dalam laporan yang
dikeluarkan Liga Kamboja untuk Promosi dan Pembelaan Hak Azasi Manusia,
50
Human Trafficking in Singapore, diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/singapore pada
tanggal 24 desember 2013
Universitas Sumatera Utara
baru-baru ini, jumlah anak yang mengalami eksploitasi seksual meningkat.
Aktivis pembela hak azasi manusia dan lembaga pemerintah sepakat masalah ini
terus berkembang dan jalan keluarnya ada pada penegakan hukum. Di Phnom
Penh, Khortieth Him, bertemu perempuan muda yang dijual dari desa kecilnya.
Inilah kisah selengkapnya.
Di dalam sebuah ruangan yang dihiasi berbagai mainan dan gambar,
sekelompok pelajar perempuan sedang belajar bahasa Inggris. Ini bukan sekolah
biasa. Tempat ini adalah penampungan bagi para perempuan muda yang jadi
korban perdagangan dan penyerangan seksual para wisatawan asing. Sejak 2006,
LSM AGAPE, menyediakan rumah dan konseling bagi para korban selamat dari
wisatawan pedofil. Srey Pich, 13 tahun, dari provinsi Kandal. Tiga tahun lalu, ia
dijual orangtuanya pada seorang perempuan Kamboja. “Saat itu saya masih kecil.
Saya berasal dari keluarga miskin. Kami tidak punya tempat tinggal, biaya untuk
sekolah bahkan tidak punya cukup makanan. Lalu ibu menyuruh saya ikut seorang
perempuan. Ia berjanji akan membatu sekolah saya di Phnom Penh dan juga
membantu keluarga saya.” Srey Pich mengungkapkan tak lama setelah pindah ke
kota, ia tinggal bersama pria Amerika yang memaksanya berhubungan seks setiap
hari. “Setiap pagi, saya membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya. Lalu pergi ke sekolah. Siangnya saya membersihkan rumah lagi. Setelah
makan malam saya dipaksa untuk melayani dia berhubungan seks, setiap hari.
Akhirnya, Srey Pich diselamatkan para pekerja muda dan polisi Phnom Penh dan
dibawa ke tempat penampungan AGAPE. Nov Samol adalah Direktur AGAPE.
Menurutnya, ada ratusan LSM yang bekerja untuk mendukung anak-anak korban
perdagangan orang seperti Srey Pich. “Di tempat ini, kami memberikan tiga hal
pada perempuan korban.
Pertama, jaminan keamanan bagi mereka. Mengajarkan nilai-nilai pada
mereka dan ketiga, konseling soal perasaan, pikiran dan tingkah laku mereka. Kini
ada 40 orang di sini dan beberapa sudah kembali ke masyarakat.” Sebuah laporan
baru-baru ini dirilis oleh Liga Kamboja bagi Promosi dan Pembelaan Hak Azasi
Universitas Sumatera Utara
Manusia, LICADHO. Laporan itu menyebutkan kasus perdagangan anak-anak
untuk dieksploitasi secara seksual dan penganiayaan meningkat di Kamboja.
Pada 2009 ada peningkatan jumlah kasus kekerasan sebesar 35 persen. Pek
Vannak, pengawas Senior Hak Anak di
LICADHO. “Kami sangat prihatin
dengan kasus kekerasan pada anak, karena kami menemukan ada peningkatan
jumlah kasus. Bahkan beberapa kasus sangat parah dan brutal. Kami punya kasus
anak-anak yang diperkosa lalu dibunuh dan pelakunya adalah kelompok. Tahun
2008, kami menemukan ada 146 kasus pemerkosaan anak tapi kami yakin jumlah
sebenarnya lebih banyak lagi.” Menurut dia, alasan utama peningkatan jumlah
kasus adalah buruknya penegakan hukum. “Ada tiga faktor penyebab
meningkatnya angka perkosaan dan perdagangan anak. Faktor pertama adalah
kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat termasuk anak-anak di
negeri ini. Kedua lemahnya penegakan hukum, yang merupakan faktor paling
penting. Kemampuan lembaga penegakan hukum untuk menyelidiki kasus ini
juga sangat rendah, didukung budaya kekebalan hukum dan korupsi. Yang ketiga
adalah moralitas masyarakat yang buruk.” Ten Borany adalah wakil ketua di
Bagian anti perdagangan orang dan promosi remaja di Kementrian Dalam Negeri.
Ia menjelaskan hukum pemerintah soal ekspoitasi seksual pada anak, sudah tua
dan rumit. “Faktanya, polisi dan pejabat lokal sejauh ini sudah bekerja keras.
Tapi kegagalannya terletak pada hukum, yang sudah tua dan
membingungkan. Kami sulit melaksanakan hukuman dan kadang pengadilan tidak
bekerja dengan semestinya.” 84 pelaku eksplolitasi seksual telah ditangkap sejak
2003. Pelaku antara lain orang Barat, Jepang, Cina, dan Kamboja. Sebuah
jaringan rapi, terdiri dari para agen lokal, merekrut dan menyalurkan akan-anak
pada para pedofil yang berkunjung ke Kamboja. Mereka beroperasi di tempat
wisata sepeti Phnom Penh, Siem Reap, dan Sihanouk Ville. Samleang Seila,
Direktur Action pour les Enfants untuk Kamboja, organisasi Prancis yang
membantu polisi mengidentifikasi orang-orang yang diduga sedagai pedofil. “Ya
ada beberapa alasan yang mungkin ikut meningkatkan angka pelakunya.
Universitas Sumatera Utara
Yang pertama, mungkin masih ada anak-anak yang menjual diri untuk
mendapatkan uang, ini terkait masalah kemiskinan. Alasan kedua, menurut saya,
kami belum cukup memberikan informasi pada polisi. Alasan lain, Kamboja
masih dilihat sebagai tujuan prostitusi anak sementara negara Asia lain sudah
menangani masalah eksplotasi seksual ini dengan serius.“ Menurut Samleang
Seila, ada 15 pedofil asing yang ditangkap tahun 2008 dan tahun ini sudah ada
enam orang. Kembali ke tempat penampungan, Srey Pich mengaku sedih dengan
pengalamannya dan menyampaikan pesan ini pada keluarga miskin.
“Saya tidak menyalahkan orangtua, perantara, diri sendiri atau siapa pun.
Karena ini tak akan membantu. Tapi satu hal yang ingin saya katakan: orangtua
tidak boleh menjual anak mereka untuk melayani seks demi uang, semiskin
apapun mereka. Saya ingin mereka hidup dan bekerja dengan cara yang baik,
bahkan mengemispun jauh lebih baik. Bagi saya, saya akan memilih hidup
bersama keluarga yang miskin daripada jadi pekerja seks.” Ia berjanji akan belajar
dengan giat di AGAPE dan mendapatkan pekerjaan yang baik. 51
7. BRUNEI DARUSSALAM
Brunei merupakan tujuan , sumber dan negara transit bagi pria dan wanita
yang mengalami perdagangan manusia , tenaga kerja khusus paksa dan pelacuran
paksa. Pria dan wanita dari Indonesia , Malaysia, Filipina , Pakistan , India ,
Bangladesh , Cina , dan Thailand bermigrasi ke Brunei untuk tenaga kerja
berketerampilan rendah dalam negeri. Ada lebih dari 88.000 pekerja migran di
Brunei , beberapa di antaranya menghadapi jeratan hutang , non - pembayaran
upah , penyitaan paspor , pengurungan ke rumah , dan beralih kontrak - faktor
yang mungkin berkontribusi terhadap perdagangan . Ada laporan yang dapat
dipercaya warga negara dari negara-negara Asia Selatan mengalami gaji yang
tidak dibayar. Beberapa 25.000 pekerja rumah tangga perempuan di Brunei
diminta untuk bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang tanpa diberikan
51
Child sex exploitation on the rise in cambodia diaksesdari http://www.asiacalling.org/in/arsip/251-childsex-exploitation-on-the-rise-in-cambodia pada tanggal 21 agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
sehari untuk beristirahat , menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kerja
paksa .
Ada laporan perempuan dipaksa melacur di Brunei , dan laporan bahwa
wanita ditangkap karena prostitusi atestasi untuk setelah menjadi korban
perdagangan . Brunei merupakan negara transit bagi korban trafficking di
Malaysia , termasuk Filipina , yang dibawa ke Brunei untuk ijin kerja re- otorisasi
sebelum dikembalikan ke Malaysia. Pemerintah Brunei tidak sepenuhnya
memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia.
Sementara pemerintah memiliki hukum untuk menuntut perdagangan, tidak
pernah dituntut kasus trafficking. Pemerintah tidak proaktif mengidentifikasi
korban perdagangan sepanjang tahun, juga tidak mengembangkan atau
menerapkan prosedur formal untuk mengidentifikasi korban perdagangan
manusia. Pemerintah tidak membuat upaya penegakan hukum anti – trafficking
dalam selama satu tahun terakhir .
Pemerintah Brunei melarang seks dan perdagangan tenaga kerja melalui
Perdagangan dan Penyelundupan Orang pada Orde tahun 2004 , namun tidak
pernah ada penuntutan atau penghukuman di bawah perintah ini . Pada Orde 2004
mengatur hukuman penjara hingga 30 tahun , yang cukup berat dan sebanding
dengan hukuman yang ditetapkan karena pelanggaran serius lainnya . Pemerintah
Brunei tidak menyelidiki atau mengadili kasus-kasus perdagangan selama periode
pelaporan . Departemen Tenaga Kerja diselidiki sengketa tenaga kerja dari pekerja
asing , termasuk beralih pekerjaan , pemotongan gaji untuk biaya perekrutan , gaji
berdasarkan janji-janji palsu , dan biaya perekrutan yang tinggi dibayarkan oleh
calon karyawan , meskipun tidak mengidentifikasi kasus perdagangan antara
kasus tersebut . Perselisihan tenaga kerja dengan pekerja asing biasanya mencoba
berdasarkan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
,
yang
membawa
sanksi
administrasi .
Meskipun peraturan pemerintah melarang pemotongan upah oleh lembaga
atau sponsor dan mandat bahwa karyawan menerima gaji penuh mereka ,
beberapa pekerja asing terus membayar biaya tinggi untuk agen perekrutan di luar
Universitas Sumatera Utara
negeri untuk mendapatkan pekerjaan di Brunei , sehingga mereka rentan terhadap
jeratan utang . Pihak berwenang terus bergantung pada korban datang ke depan
atau yang diidentifikasi oleh kedutaan asing , dan tidak proaktif mengidentifikasi
kasus-kasus perdagangan antara kelompok-kelompok rentan . Selama periode
pelaporan , ada 127 keluhan oleh pekerja asing terhadap majikan yang gagal
membayar gaji yang melibatkan 34 perusahaan dan 26 pengusaha . Sebelas
perusahaan dan 13 pengusaha diselesaikan melalui rekonsiliasi dan arbitrase
sementara sisa kasus tetap diselidiki .
Brunei tidak menunjukkan upaya yang signifikan untuk mengidentifikasi
dan melindungi korban perdagangan selama periode pelaporan . Brunei tidak
memiliki sistem proaktif untuk secara resmi mengidentifikasi korban perdagangan
antara kelompok-kelompok rentan , seperti pekerja asing dan perempuan asing
dan anak-anak dalam pelacuran . Pemerintah tidak melaporkan mengidentifikasi
setiap korban perdagangan pada tahun lalu . Pemerintah tidak memberikan
pelatihan terpusat dikoordinasikan bagi para pejabat pada mengidentifikasi korban
perdagangan manusia .
Tidak ada LSM atau organisasi internasional di Brunei yang memberikan
dukungan kepada korban perdagangan , meskipun kedutaan beberapa negara
sumber menyediakan penampungan , mediasi , dan bantuan imigrasi untuk warga
negara mereka . Pemerintah tidak memberikan alternatif hukum untuk
penghapusan korban ke negara-negara di mana mereka mungkin menghadapi
kesulitan atau retribusi . 52
8. LAOS
Laos adalah
negara sumber untuk wanita dan anak perempuan
diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial dan eksploitasi tenaga kerja
sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja pabrik di Thailand . Beberapa pria
Lao , wanita , dan anak-anak bermigrasi ke negara-negara tetangga untuk mencari
52
Human Trafficking in Brunei Diakses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Brunei
pada tanggal 21 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
peluang ekonomi yang lebih baik tetapi mengalami kondisi kerja paksa atau
terikat kerja atau prostitusi paksa setelah kedatangan . Beberapa pria Lao yang
bermigrasi ke Thailand rela mengalami kondisi kerja paksa dari dalam perikanan
Thailand dan industri konstruksi . Untuk tingkat yang lebih rendah Laos adalah
negara transit untuk Vietnam, Cina dan perempuan Burma ditakdirkan untuk
Thailand. Potensi Laos sebagai negara transit terus meningkat dengan
pembangunan jalan raya baru yang menghubungkan Republik Rakyat Cina ,
Vietnam, Thailand , dan Kamboja melalui Laos . Perdagangan internal juga
merupakan masalah yang mempengaruhi perempuan muda dan anak perempuan
yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual komersial di daerah perkotaan.
Pemerintah Laos tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk
pemberantasan perdagangan.
Pemerintah meningkatkan upaya penegakan hukum untuk menyelidiki
pelanggaran perdagangan dan menuntut dan menghukum pelaku trafficking . Hal
tersebut juga meningkatkan kerjasama dengan organisasi internasional dan
masyarakat sipil untuk memberikan pelatihan bagi pemerintah dan aparat penegak
hukum , untuk memberikan repatriasi dan reintegrasi korban , dan meluncurkan
kampanye kesadaran masyarakat untuk memerangi perdagangan manusia.
Kurangnya sumber daya tetap hambatan terbesar terhadap kemampuan
pemerintah untuk memerangi perdagangan orang dan tetap tergantung pada
komunitas donor internasional untuk membiayai kegiatan-kegiatan antiperdagangan manusia.
Pemerintah Laos menunjukkan kemajuan dalam upaya penegakan hukum
anti - trafficking dan kesediaan untuk bekerja sama dengan negara lain serta LSM
dan organisasi internasional . Laos melarang segala bentuk perdagangan melalui
KUHP Pasal 134 , yang mengatur hukuman yang cukup berat dan sebanding
dengan yang diresepkan untuk perkosaan . Pada tahun 2007 , Kementerian
Keamanan Publik yang digunakan Pasal 134 untuk menyelidiki 38 kasus
perdagangan,
mengakibatkan
23
penangkapan
dan
penuntutan
delapan
berkelanjutan . Tambahan 20 kasus sedang dalam penyelidikan . Melalui klinik
Universitas Sumatera Utara
bantuan hukum Lao Bar Association, korban yang dibantu dengan mendidik
masyarakat luas pada sistem hukum dan dengan memberikan nasihat hukum
kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia , termasuk perdagangan
manusia . Korupsi tetap masalah dengan pejabat pemerintah rentan terhadap
keterlibatan atau kolusi dalam perdagangan manusia , narkotika , satwa liar , dan
pembalakan liar . Tidak ada aparat penegak hukum pemerintah atau telah
dihukum atau dihukum karena terlibat dalam perdagangan orang . Pemerintah
Laos bekerja sama dengan organisasi internasional dan masyarakat sipil untuk
meningkatkan kapasitas penegakan hukum melalui pelatihan bagi polisi ,
penyidik, penuntut , dan adat istiadat dan pejabat perbatasan .
Pemerintah
Laos
menunjukkan
kemajuan
dalam
meningkatkan
perlindungan bagi korban perdagangan sepanjang tahun . Departemen
Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Sosial ( MLSW ) dan Departemen Imigrasi
bekerjasama dengan IOM , UNIAP , dan LSM setempat untuk memberikan
bantuan bagi korban . MLSW terus mengoperasikan pusat transit yang kecil di
Vientiane . Korban tidak ingin kembali ke rumah disebut tempat penampungan
jangka jangka panjang dengan Uni Perempuan Lao atau sebuah LSM lokal .
Selama tahun lalu , 280 korban resmi diidentifikasi perdagangan lintas perbatasan
dipulangkan ke Laos dari Thailand dan 21 tambahan dipulangkan pada tahun
2008 . Sekitar 100 korban saat ini berada di pusat rehabilitasi di Thailand .
Pemerintah Laos memberikan pelayanan medis, konseling , pelatihan kejuruan ,
dan pekerjaan bagi para korban di tempat penampungan transit di Vientiane dan di
penampungan Uni Perempuan Lao . Pemerintah secara aktif mendorong korban
untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan penuntutan para pedagang. 53
9. VIETNAM
Vietnam adalah sumber tingkat yang lebih rendah , negara tujuan untuk
pria, wanita , dan anak-anak mengalami perdagangan seks dan kondisi kerja paksa
. perempuan , dan anak perempuan diperdagangkan untuk eksploitasi seksual dan
53
Human Trafficking in Laos, Di akses dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Human_trafficking_in_Laos pada
tanggal 21 agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
tenaga kerja di Taiwan , Malaysia , Korea Selatan , Laos , Uni Emirat Arab ,
Jepang , China , Thailand , Arab Saudi , Libya , Indonesia , Inggris , Republik
Ceko , Siprus, Swedia , Trinidad dan Tobago , Kosta Rika , Rusia , dan tempat
lain di Timur Tengah . Dalam kedua perdagangan seks dan perdagangan tenaga
kerja , jeratan utang , penyitaan identitas dan dokumen perjalanan , dan ancaman
deportasi biasanya digunakan untuk mengintimidasi korban. Vietnam adalah
negara sumber untuk pria dan wanita yang bermigrasi ke luar negeri untuk
kesempatan kerja terutama dalam , perikanan, pertanian , pertambangan ,
penebangan , dan manufaktur sektor konstruksi .
Pada tahun 2010 , lebih dari 85.000 pekerja bepergian ke luar negeri untuk
bekerja, dan jumlah total Vietnam bekerja di luar negeri di 40 negara dan teritori
diperkirakan sekitar 500.000 . Banyak migran ini diproses melalui perusahaan
ekspor tenaga kerja negara-afiliasi dan swasta yang dilaporkan memaksa para
migran untuk menandatangani kontrak dalam bahasa mereka tidak bisa membaca ,
dan biaya biaya lebih dari yang diizinkan oleh hukum , kadang-kadang sebanyak
$ 10.000. Hal ini telah memaksa para migran Vietnam menanggung sebagian dari
utang tertinggi di antara pekerja asing Asia, membuat mereka sangat rentan
terhadap jeratan hutang dan memaksa para buruh. Perempuan dan anak-anak
Vietnam, ditemukan menjadi sasaran prostitusi paksa sering disesatkan oleh
peluang kerja penipuan dan kemudian dijual ke rumah bordil di perbatasan
Kamboja, Cina, dan Laos, dengan beberapa akhirnya dikirim ke negara-negara
ketiga, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan di Eropa . Beberapa wanita
Vietnam yang direkrut melalui perkawinan palsu di mana setelah pindah ke
China, Taiwan, Hong Kong, Macau, dan semakin ke Korea Selatan , yang
kemudian mengalami kondisi kerja paksa ( termasuk sebagai pembantu rumah
tangga ) , prostitusi paksa , atau keduanya.
Vietnam adalah negara tujuan bagi anak-anak yang diperdagangkan dari
Kamboja untuk pekerja seksual dan eksploitasi tenaga kerja . Pariwisata seks
anak tetap menjadi masalah di Vietnam dengan pelaku dilaporkan berasal dari
Jepang , Korea Selatan , China , Taiwan , Inggris , Australia , Eropa , dan
Universitas Sumatera Utara
Amerika Serikat. Ada laporan tenaga kerja dan perdagangan seks dari Vietnam ,
terutama wanita dan gadis , dari miskin , provinsi pedesaan ke daerah perkotaan ,
termasuk Hanoi , Kota Ho Chi Minh , dan zona perkotaan baru dikembangkan ,
seperti Binh Duong.
Sementara beberapa orang bermigrasi sukarela , mereka mungkin
kemudian dijual untuk kerja paksa atau eksploitasi pekerja seksual komersial.
Perdagangan anak di dalam negeri masih menjadi masalah bagi eksploitasi
seksual komersial dan menjajakan jalan paksa dan mengemis di kota-kota besar ,
meskipun beberapa sumber melaporkan masalah tidak terlalu parah daripada di
masa lalu. Beberapa anak Vietnam menjadi korban kerja paksa dan terikat di
pabrik-pabrik rumah keluarga kemudian lari ke perkotaan.
PBB Inter - Agency Project tentang Perdagangan Manusia daftar beberapa
faktor kerentanan sosial - ekonomi yang berkontribusi terhadap perdagangan
manusia di Vietnam , termasuk : kemiskinan dan hutang , kurangnya kesadaran /
pendidikan , perpecahan keluarga dan masalah , dan pengaruh eksternal seperti
teman-teman , nilai-nilai konsumen , dan tekanan teman sebaya .Wanita Vietnam
dan perempuan umumnya dianggap lebih rentan terhadap perdagangan daripada
pria karena relasi gender yang tidak setara , peningkatan permintaan untuk
perawan dan anak-anak dalam pelacuran , karena ancaman dari HIV / AIDS , dan
peningkatan permintaan , dan penawaran , Vietnam istri karena faktor permintaan
dan persediaan baik demografi dan ekonomi ( seperti " defisit perempuan " China
dan iming-iming yang dijanjikan harga pengantin.
Pemerintah Vietnam baru-baru ini mengeluarkan undang-undang anti perdagangan baru dan lima tahun rencana aksi nasional tentang perdagangan .
Namun demikian , sementara sejumlah reformasi struktural telah dilakukan ,
masih ada kurangnya kemajuan nyata dalam penuntutan pelaku perdagangan
manusia dan perlindungan korban perdagangan manusia . Dengan demikian ,
Pemerintah Vietnam ditempatkan di Tier 2 Watch List , untuk tahun kedua
berturut-turut , di Amerika Serikat Departemen Perdagangan Negara Orang
Laporan 2011 untuk tidak sepenuhnya sesuai dengan Korban Trafficking standar
Universitas Sumatera Utara
minimum Undang-Undang Perlindungan untuk penghapusan perdagangan tetapi
membuat upaya yang signifikan untuk melakukannya .KUHP Vietnam
mengkriminalisasi tenaga kerja dan perdagangan anak . Hukuman untuk rentang
perdagangan tenaga kerja dari dua sampai tujuh tahun penjara, hukuman untuk
perdagangan anak berkisar dari tiga tahun dipenjara.Pemerintah melaporkan
bahwa dituntut 14 kasus perdagangan tenaga kerja pada tahun 2010 , tapi
pemerintah tidak memberikan informasi untuk mendukung laporan . Mahkamah
Agung Nasional Vietnam juga melaporkan bahwa pihak berwenang dituntut 153
kasus perdagangan seks dan dihukum 274 orang untuk kejahatan perdagangan
seks pada tahun 2010 (catatan , jumlah ini mungkin termasuk kejahatan lainnya
seperti penyelundupan manusia dan penculikan anak untuk diadopsi ).
Kebanyakan individu dihukum dijatuhi hukuman penjara berkisar antara
tujuh sampai 15 tahun penjara . Pemerintah tidak melaporkan setiap penuntutan
atau keyakinan internal perdagangan di Vietnam , juga tidak melaporkan setiap
penuntutan pidana atau keyakinan pejabat untuk perdagangan terkait keterlibatan.
Pekerja Vietnam tidak memiliki jalur hukum yang memadai untuk mengajukan
pengaduan di pengadilan terhadap perusahaan perekrutan tenaga kerja dalam
kasus di mana mereka mungkin telah menjadi korban perdagangan manusia .
Meskipun pekerja memiliki hak hukum untuk menggugat perusahaan, biaya
mengejar tindakan hukum dalam kasus perdata masih mahal, dan belum ada
indikasi korban menerima ganti rugi hukum dalam pengadilan. Pemerintah
Vietnam berkelanjutan beberapa upaya untuk melindungi korban perdagangan
seks transnasional dan diuraikan rencana perlindungan korban tambahan dalam
undang-undang baru anti - perdagangan manusia , tetapi belum melakukan upaya
yang cukup untuk mengidentifikasi atau melindungi korban perdagangan tenaga
kerja atau perdagangan manusia internal. Sementara penjaga perbatasan dan polisi
di tingkat kabupaten dan provinsi memiliki prosedur formal untuk menerima
korban dan merujuk mereka untuk peduli , otoritas ini menerima pelatihan
terbatas pada identifikasi korban perdagangan dan penanganan kasus.
Universitas Sumatera Utara
The government’s Vietnamese Women’s Union (VWU), dalam kemitraan
dengan LSM , terus beroperasi pada tiga kemah perdagangan di daerah perkotaan
terbesar di Vietnam , yang memberikan konseling dan pelatihan kejuruan kepada
perempuan korban perdagangan seks. VWU dan perbatasan penjaga juga
beroperasi penampungan kecil yang memberikan bantuan sementara kepada para
migran yang membutuhkan bantuan di beberapa persimpangan poin yang paling
banyak digunakan . Pemerintah, bagaimanapun , tidak memiliki sumber daya dan
keahlian teknis untuk mendukung penampungan memadai , dan sebagai hasilnya ,
banyak tempat penampungan yang belum sempurna , kekurangan dana , dan
kurangnya personil yang terlatih .
Selain itu , tidak ada tempat penampungan atau layanan khusus
didedikasikan untuk membantu korban laki-laki perdagangan atau korban
trafficking. Pada bulan Januari 2012 , Perdana Menteri Vietnam menyetujui
Rencana lima tahun Nasional baru Aksi Perdagangan Manusia . Pemerintah juga
terus bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional untuk aparat
penegak hukum kereta api, petugas penjaga perbatasan , dan pekerja sosial.
Pada tahun 2010 , pemerintah bekerja untuk mengevakuasi lebih dari 10.000
pekerja Vietnam , beberapa di antaranya mungkin telah korban trafficking ,
terlantar akibat konflik di Libya . Setiap yang kembali diberikan dengan aman
bagian rumah dan $ 95 untuk biaya pemukiman kembali jangka pendek , dan
pemerintah bekerja untuk menghubungkan kembali dengan kesempatan kerja baru
di Vietnam dan luar negeri . Namun, pemerintah terus mempromosikan ekspor
tenaga kerja meningkat sebagai cara untuk mengatasi pengangguran dan
mengentaskan kemiskinan, termasuk perjalanan ke negara-negara di mana
kekerasan terhadap pekerja migran yang marak . Namun pemerintah belum
melakukan upaya yang cukup dalam yang mewajibkan pemerintah tujuan untuk
memberikan perlindungan yang memadai terhadap pekerja.
Pemerintah Vietnam bekerja dengan organisasi-organisasi internasional ,
LSM dan donor asing pada masalah perdagangan manusia . Vietnam telah
menandatangani nota kesepahaman ( MOU ) untuk bekerja sama dalam
Universitas Sumatera Utara
perdagangan manusia dengan China , Laos , Kamboja , dan Thailand . Namun
demikian , pemerintah belum mencapai kesepakatan memadai dengan semua
pemerintah tujuan pada pengamanan terhadap kerja paksa . Vietnam tidak
bergabung di partai Protokol PBB TIP 2002.
The US Department of State merekomendasikan bahwa pemerintah Vietnam
memberlakukan langkah-langkah berikut pada tahun 2011 TIP Report nya :
1.
Tambahan undang-undang baru anti - perdagangan dengan langkahlangkah tambahan untuk memastikan bahwa hukum pidana melarang
segala bentuk perdagangan orang dan menetapkan hukuman pidana yang
ketat
2.
Pidana mengadili mereka yang terlibat dalam kerja paksa , perekrutan
orang-orang untuk tujuan kerja paksa , atau perekrutan tenaga kerja
penipuan, termasuk agen perekrutan negara - berlisensi dan broker
berlisensi
3.
Mengidentifikasi pekerja migran Vietnam yang telah mengalami kerja
paksa dan memastikan bahwa mereka diberikan layanan korban dan tidak
terancam atau dihukum karena melakukan protes kondisi kerja atau untuk
meninggalkan tempat kerja mereka
4.
Mengembangkan prosedur formal untuk tujuan ini , dan melatih pejabat
terkait dalam penggunaan prosedur tersebut
5.
Meningkatkan upaya untuk melindungi pekerja Vietnam pergi ke luar
negeri
6.
Meningkatkan upaya untuk membantu korban laki-laki perdagangan dan
korban perdagangan tenaga kerja
7.
Meningkatkan kemampuan pekerja untuk memiliki perlindungan hukum
yang efektif dari perdagangan tenaga kerja
8.
Melaporkan upaya yang lebih besar untuk bekerja sama dengan
pemerintah tujuan untuk menyelidiki dan menuntut kasus perdagangan ,
termasuk khususnya kasus perdagangan tenaga kerja
Universitas Sumatera Utara
9.
Meningkatkan
pengumpulan
data
dan
berbagi
pada
penuntutan
perdagangan , khususnya penuntutan terkait ketenagakerjaan data 54
10. INDONESIA
Kekerasan terhadap perempuan menjadi pelanggaran HAM yang terus
dialami kaum perempuan Indonesia. Berbagai kekerasan mereka alami baik fisik
maupun psikis. Kekerasan hadir dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual dan sebagainya. Pelaku
kekerasan bisa individu, komunitas, masyarakat maupun negara. Komnas
Perempuan mengeluarkan data kekerasan terhadap perempuan setiap tahun yang
selalu mengalami peningkatan. Dalam laporannya Komnas Perempuan tahun
2011 tercatat 119.107 kasus kekerasan dialami perempuan. Sementara pada tahun
2010 tercatat 105.103 kasus, artinya mengalami peningkatan sebesar 14.004
kasus. Banyaknya kasus kekerasan yang dialami perempuan tak membuat negara
bergeming untuk memberikan perlindungan yang maksimal. Bahkan, negara
sendiri melakukan diskriminasi terhadap perempuan dengan kebijakan-kebijakan
yang dibuatnya (UU, perda, dan lain-lain) di tingkat pusat maupun di tingkat
lokal. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2012 ada 282 kebijakan
diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang merugikan perempuan. Padahal
Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UU No 7 tahun 1984 tentang
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Harusnya
undang-undang negara terikat komitmen untuk menghapuskan segala bentuk
diskriminasi di negeri ini.
Selain persoalan kekerasan, hal lain adalah pelanggaran HAM masa lalu
yang belum tuntas penyelesaiannya. Tragedi Trisakti, Semanggi I (13 November
1998), Semanggi II (24 September 2009), Tragedi Mei 1998, Tragedi Talangsari
Lampung, Penculikan dan Penghilangan Orang Paksa 1997-1998, Tragedi Wasior
Wamena, Konflik Aceh, Papua, Poso, dan Ambon, merupakan sederet
54
Human Trafficking in Vietnam, Diakses dari : http://www.humantrafficking.org/countries/vietnam pada
tanggal 20 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia yang belum menemukan
ketuntasannya. Anak-anak korban 1965 misalnya, mereka mengalami berbagai
stigma negatif dari masyarakat dan negara hingga kini. Mereka terus mencari
keadilan yang sejati. 55
Indonesia melanjutkan kepemimpinan ASEAN dan pada bulan Mei
terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk periode
ketigakalinya secara berturut-turut. Pemerintah memperkuat Komisi Kepolisian
Nasional namun mekanisme akuntabilitas polisi tetap tidak memadai. Pasukan
keamanan terus menerus menghadapi tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM,
termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya serta penggunaan kekuatan
yang tidak perlu dan berlebihan. Pihak berwenang Provinsi Aceh makin
meningkatkan penggunaan hukum cambuk sebagai hukuman yudisial. Aktivitas
politik damai terus dikriminalisasi di Papua dan Maluku. Kelompok keagamaan
minoritas menderita diskriminasi, termasuk intimidasi dan serangan fisik.
Hambatan hak seksual dan reproduksi terus mempengaruhi perempuan dan anak
perempuan, terutama mereka yang dari komunitas miskin dan termarjinalkan,
terhambat dalam menikmati secara penuh hak-hak kesehatan seksual dan
reproduksi mereka. Banyak yang terus menerus diingkari dari pelayanan
kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan tahun
2009, karena Menteri Kesehatan belum mengeluarkan peraturan yang diperlukan
untuk mengimplementasikannya.
Pemerintah gagal melawan perilaku diskriminatif dan praktik yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat, termasuk mutilasi kelamin
perempuan dan pernikahan dini. Pada bulan Juni, Menteri Kesehatan membela
peraturan yang dikeluarkan pada November 2010 yang mengijinkan bentuk “sunat
perempuan” yang didefinisikan secara khusus untuk dilaksanakan oleh dokter,
perawat dan bidan. Peraturan tersebut melegitimasi praktik
mutilasi kelamin
perempuan yang tersebar luas. Hal ini melanggar sejumlah hukum Indonesia dan
55
Bulletin Perempuan Bergerak Edisi IV, Oktober-Desember 2012
Universitas Sumatera Utara
bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memperkuat keadilan gender
dan melawan diskriminasi terhadap perempuan.Tingkat rasio kematian ibu di
Indonesia tetap yang tertinggi di wilayah ini. Tidak ada laporan mengenai
pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Pada bulan Juni, Presiden mengekspresikan dukungan terhadap Konvensi
baru ILO No.189 tentang Pekerja Rumah Tangga. Namun, untuk dua tahun secara
berturut-turut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gagal membahas dan
menetapkan undang-undang untuk menyediakan perlindungan hukum terhadap
pekerja rumah tangga. Hal ini membuat sekitar 2.6 juta pekerja rumah tangga mayoritas merupakan perempuan dan anak perempuan terus menghadapi risiko
eksploitasi ekonomi dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
Buruh migran Indonesia yang mencapai 6 juta orang lebih, yang
menyumbang devisa ke negara trilyunan rupiah per tahun, merupakan korban
pelanggaran HAM yang tiada tuntas. Perlindungan negara yang minim,
mengakibatkan mereka bak sapi perah. Banyak buruh migran Indonesia yang
mengalami hukuman pancung dan sejenisnya di Malaysia dan Arab Saudi.
Padahal pemerintah Indonesia sangat minim upayanya untuk membebaskan
mereka dari peradilan sesat itu. Semua itu sia-sia karena diplomasi pemerintah
Indonesia begitu lemah dan tak berwibawa di mata kedua negara. Di tingkat
Indonesia sendiri, proses ketenagakerjaan buruh migran juga mengalami
pelanggaran HAM dan hukum oleh pihak-pihak pengerah tenaga kerja, yang tak
bertanggungjawab. Bahkan, penipuan di sana sini banyak dialami buruh migran
justru di Indonesia.
Ada ratusan ribu anak dan remaja perempuan Indonesia dipekerjakan
sebagai buruh rumahtangga baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak
kasus kekerasan, perkosaan, dan lainnya mereka alami, yang dilakukan oleh para
majikan mereka. Sementara UU Pekerja Rumah tangga masih mandek di
parlemen. Tak banyak kemajuan diperoleh untuk hak-hak pekerja rumahtangga
anak. Bahkan, sebaiknya dihapuskan atau dilarang penggunaan anak-anak sebagai
pekerja rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
Untuk sisi isu perempuannya sendiri, dalam laporan pemerintah Indonesia
ke Komite Cedaw di New York, Amerika Serikat, yang di sampaikan Menteri
Perempuan, memperlihatkan masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan. Masalah partisipasi politik perempuan, kesehatan, KTP, dan lainnya
dilaporkan
sudah
dibuatkan
UU-nya,
namun
masalah
implementasinya
bagaimana?. Untuk UU kesehatan yang sudah disahkan, masih ada isu besar yang
tak pernah diselesaikan persoalannya di tingkat implementasi. Hak-hak
perempuan miskin dalam mengakses kesehatan yang standard dan murah tak
berjalan sama sekali. Jamkesmas dan jamkeskin malah dipakai oleh pihak-pihak
yang tak bertanggungjawab dan dananya banyak dikorupsi aparat. Informasinya
saja sangat tertutup sehingga hanya orang-orang tertentu yang tahu bahwa ada
dana jamkesmas dan jamkeskin. Belum lagi proses pengurusannya yang berbelitbelit memakan waktu sehingga si sakit malah keburu meninggal dunia. Hal-hal
semacam itu bertahun-tahun berjalan tanpa perbaikan sama sekali bahkan
cenderung kacau.
Hal lain masih di seputar isu kesehatan, misalnya hak aborsi. Isu ini sangat
kontroversial di kalangan tokoh masyarakat dan agama sehingga praktik-praktik
aborsi yang tak medis terjadi di mana-mana, yang diperkirakan mencapai angka 2
juta korban per tahunnya. Padahal hak-hak medis dan psikologis korban aborsi
harus diberikan dan dijamin oleh negara. Banyak lagi isu krusial di dalam UU
kesehatan ini yang dalam implementasinya bertahun-tahun tak pernah diperbaiki,
bahkan dananya dikorup secara terang-terangan.
Hak perempuan dalam pembangunan juga kerap diabaikan,dianggap suatu
yang tak perlu. Hasilnya, puluhan tahun pembangunan berjalan di Indonesia di 33
provinsi, 350 kabupaten, 1500 kecamatan, dan 70000 desa, perempuan tak pernah
tahu berapa ribu trilyun rupiah uang mereka sudah dipakai negara untuk hal-hal
yang tak memajukan harkat dan martabat kehidupan kaum perempuan Indonesia
itu sendiri. Anggaran dan pendapatan mulai tingkat RT sampai pusat/negara, tak
pernah berpihak kepada perempuan. Tak ada informasi yang jelas kepada rakyat
dari mana sumbernya, bagaimana dikelola, dan untuk apa dana tersebut? Tak ada
Universitas Sumatera Utara
transparansi anggaran dan akuntabilitasnya. Semuanya habis dikorup, sehingga
perempuan dimiskinkan oleh pemerintah oleh negara.
Akses perempuan miskin terhadap kredit usaha tidak mudah, karena harus
melalui proses perbankan yang rumit dan mustahil mereka kerjakan, di samping
agunan yang tak mereka miliki. Juga akses perempuan terhadap pangan, energi,
dan lingkungan, masih sangat buruk. Begitu pun akses perempuan terhadap
perempuan, hak tanah, dan layanan publik lainnya, juga masih jauh dari
kebutuhan dasar mereka. Perbaikan UU perkawinan juga belum berhasil
dilaksanakan, karena ada penolakan dari kalangan agama tertentu, padahal isinya
sudah tidak kontekstual lagi, mengingat perubahan dinamis masyarakat terjadi
sedemikian cepat. Perlu dibuat UU perkawinan yang tidak mendiskriminasi
perempuan dan mempromosikan hak-hak mereka.
Pendidikan
untuk
perempuan
di
Indonesia
sesungguhnya belum
menuntaskan persoalan mereka, karena diskriminasi dan pelanggaran hak-hak
masih terjadi oleh pemerintah, masyarakat dan negara. Tingkat pendaftaran
perempuan ke sekolah-sekolah bukan jaminan bahwa ruang pendidikan sudah
terbuka lebar untuk mereka. Sisi lain pendidikan, seperti muatan kurikulum,
proses belajar, dan arah pendidi¬kan masih bias gender sehingga tindak kekerasan
dan pelecehan banyak terjadi.
Penegakan Hak Asasi Perempuan merupakan bagian dari penegakan Hak
Asasi Manusia. Bukan karena perempuan ingin diistimewakan, melainkan
kenyataannya, fakta menunjukkan persoalan pelanggaran Hak Asasi perempuan
semakin jauh dari kata “tuntas”. Empat isu krusial pemenuhan Hak Asasi
Perempuan Indonesia yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, yakni Pertama,
kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dalam bentuk perkosaan,
pel¬ecehan seksual dan eksploitasi seksual. Hasil peman¬tauan Komnas
Perempuan sejak tahun 1998 menun-jukkan bahwa kekerasan seksual memiliki
dampak yang sangat khas bagi perempuan. Sebanyak 1/3 dari 295.836 total kasus
kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam berbagai konteks. Dari Catatan
Tahunan sejak tahun 2000, yang dihimpun atas kerjasama dengan berbagai
Universitas Sumatera Utara
lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan di berbagai wilayah
Indonesia, setiap hari ada 28 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Sistem hukum yang ada sampai saat ini belum memberikan akses keadilan bagi
perempuan korban, antara lain, karena landasan hukum yang komprehensif belum
tersedia, pengetahuan aparat penegak hukum dan publik tentang kekerasan
seksual terbatas, serta tata cara pembuktian hukum yang justru membebani
perempuan korban. Sistem dukungan yang tersedia bagi korban dalam masyarakat
juga sangat terbatas, bahkan tak jarang justru menyalahkan korban. Kedua,
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Pada
tahun 2012, Komnas Perempuan mencatat 282 kebijakan diskriminatif atas nama
agama dan moralitas merugikan perempuan. Angka ini meningkat menjadi 126
kebijakan, sejak pertama Komnas Perempuan menyampaikan persoalan ini secara
resmi kepada pemerintah di daerah pada Maret 2009. Dari 282 kebijakan tersebut,
207 kebijakan yang ada sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Sejak Komnas Perempuan menyampaikan hal itu tak satu pun dari
kebijakan itu yang dicabut atau diubah secara komprehensif, dengan memastikan
pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebaliknya, jumlah kebijakan yang
diskriminatif malah terus bertambah dan turut menyuburkan sikap intoleransi
dalam masyarakat. Ketiga, diskriminasi terhadap perempuan pekerja migran.
Berdasarkan catatan tahun 2011 Komnas perempuan, Kementerian Luar Negeri
mencatat hingga Desember 2011 jumlah WNI/Pekerja Migran Indonesia yang saat
ini menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri berjumlah 210 orang.
Terdiri atas 146 kasus di Malaysia, 45 kasus di Arab Saudi, 15 kasus di Cina, 2
kasus di Singapura, 1 kasus masing-masing di Iran dan Brunei Darussalam.
Kementerian Luar Negeri juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat
4.532 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja migran Indonesia, dengan angka
tertinggi di Malaysia. Sementara Organization of Migration (IOM) mencatat
sepanjang 2005-2012, terjadi kasus trafficking sebanyak 4.532 kasus, di mana
62,24% korban melalui PPTKIS/PJTKI resmi. Dan berdasarkan catatan Migran
Care, sepanjang tahun 2011 sekitar 1.075 buruh migran Indonesia meninggal
Universitas Sumatera Utara
dunia di berbagai negara. Selain itu, sepanjang tahun 1999-2012 tercatat 417
buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai negara
dan 31 di antaranya telah dijatuhi vonis tetap hukuman mati. Keempat, penguatan
kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian tidak terpisahkan dari reformasi
birokrasi. Mengingat kekhasan persoalan kekerasan terhadap perempuan,
sebagaimana terefleksi dalam sejarah kelahiran Komnas Perempuan pasca
kerusuhan Mei 1998, maka mekanisme penegakan hak yang khusus berfokus pada
persoalan tersebut merupakan kebutuhan sekaligus keunikan Indonesia.
Dalam perjalanan bangsa ini ada banyak pelanggaran HAM yang dialami
oleh perempuan Indonesia, seperti perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi
seksual, perdagangan perempuan, eksploitasi tubuh perempuan dan lain
sebagainya. Selain itu juga ada banyak pelanggaran HAM terhadap perempuan
yang tidak diselesaikan oleh Negara seperti kasus 65 melalui pemusnahan
organisasi perempuan seperti Gerwani. Bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi
pada masa itu adalah penculikan paksa, pemenjaraan atau pembuangan paksa
tanpa pengadilan, perkosaan, penganiayaan dan berbagai bentuk kejahatan seksual
lain seperti perbudakan seksual. Ketika negara gagal melindungi begitu banyak
perempuan, maka pelanggaran itu terjadi. Termasuk ketika gagal melindungi
perempuan etnis tionghoa dari kekerasan dan perkosaan pada kerusuhan 1998.
Hampir sama secara umum, pemerintah tetap melakukan pembiaran terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Pada saat konflik maupun
pasca konflik, tetap terjadi kekerasan berbasis gender yang menjadikan
perempuan sebagai korban. Seharusnya ada penanganan yang lebih khusus di
wilayah konflik. Dan pendekatan yang berbasis budaya, dapat menjadi salah satu
sarana bagi pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di
Indonesia.
D. KOMISI-KOMISI HAM di ASEAN
1. Pembentukan ASEAN Intergovernmental Commision on Human
Right ( AICHR )
Universitas Sumatera Utara
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right (AICHR)
56
adalah bagian dari pelaksanaan ASEAN Charter, dan dilantik pada 23 oktober
2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16 di Hua Hin, Thailand. Dr.
Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR.
Sebelum dibentuknya AICHR, tidak ada kerja sama HAM di antara negara-negara
ASEAN, sehingga perlu adanya lembaga yang mengakomodir permasalahan
HAM
di
ASEAN.
Realisasi
rencana
pembentukan
komisi
HAM
regional Association of South East Asia Nations (ASEAN) dilakukan dalam 42nd
Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri seASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang
diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini.
Dalam TOR sebagaimana dikatakan bahwa, AICHR dibentuk dengan
enam tujuan, yaitu :
1. Mempromosikan serta melindungi HAM dan hak kebebasan bangsa ASEAN.
2. Menjunjung hak bangsa ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan
makmur.
3. Mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam
yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga
persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN.
4. Mempromosikan HAM di tingkat regional dengan tetap mempertimbangkan
karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara,
serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
5. Meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan
internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan melindungi
HAM.
6. Menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalamUniversal
Declaration
of
Human
Rights, Vienna
Declaration serta
program
56
AICHR Dan Penguatan Perlindungan Ham Di Asean, diakses dari :
http://www.antaranews.com/berita/1256362459/aichr-dan-penguatan-perlindungan-ham-di-asean 22
Januari 2013
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN
menjadi pihak.
a. Prinsip AICHR
TOR juga menetapkan sejumlah prinsip yang harus dijadikan rujukan AICHR
dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip-prinsip tersebut bersumber pada :
1. Pasal 2 Piagam ASEAN di antaranya menghormati kemerdekaan, kedaulatan,
kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional setiap negara anggota
ASEAN.
2. Prinsip-prinsip HAM internasional antara lain prinsip universalitas, saling
keterkaitan serta integralitas nilai-nilai HAM.
3. Kerja komisi AICHR ini terbatas. Komisi ini tidak dapat memberikan sanksi
atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan pembahasan masalah
HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog. Komisi ini sama dengan
prinsip ASEAN yakni konsensus.
b. Mandat dan Fungsi AICHR 57
AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab
untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Namun, sejauh ini, peran
AICHR lebih dominan pada fungsi promosi, bukan perlindungan.
AICHR, menurut TOR, menjalankan sejumlah mandat dan fungsi, yaitu :
1. Mengembangkan strategi dalam mempromosikan dan melindungi
HAM sebagai bagian dari proses pembentukan Komunitas ASEAN.
2. Menyusun Deklarasi HAM ASEAN dan kerangka kerja kerja sama
di bidang HAM.
3. Setiap negara ASEAN wajib menempatkan wakilnya dalam AICHR
yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 14 Piagam ASEAN.
57
ADVANCING WOMEN’S AND CHILD RIGHTS IN ASEAN: ENGAGEMENT WITH THE ACWC,
oleh : Damanik, Ahmad Taufan, Indonesia Representative to ACWC and Vice-Chair of ACWC
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menetapkan Rafendi Djamin sebagai wakil Indonesia dalam Komisi
HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights/AICHR). AICHR merupakan lembaga konsultasi antarpemerintah
dan bagian integral dalam struktur Organisasi ASEAN. Komisi ini bertugas,
diataranya :
1. Merumuskan upaya-upaya pemajuan dan perlindungan HAM di
kawasan melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan
standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi
Universal tentang HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya.
2. AICHR
berfungsi
sebagai
institusi
HAM
di
ASEAN
yang
bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN.
AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang
terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi
di bidang HAM.
Komposisi AICHR terdiri dari 10 orang yang masing-masing mewakili negara
anggota ASEAN, dengan pertemuan rutin dua kali tiap tahun, dan pelaporan
ditujukan kepada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Ketua AICHR saat ini
dipegang oleh wakil dari Indonesia, Rafendi Djamin.
2. Pembentukan
Komisi
Hak
Perempuan
dan
Anak
(ASEAN
Commission on Women and Children) ACWC
Selain AICHR, ASEAN juga memiliki komisi hak perempuan dan anak
(ACWC) yang dibentuk berdasarkan Program Aksi Vientiane 2004. TOR ACWC
disahkan dalam pertemuan Dewan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN pada 22
Oktober 2009, sehari sebelum peluncuran AICHR. Tiap negara diwakili oleh dua
orang wakil, satu untuk hak-hak perempuan dan satu untuk hak-hak anak.
Pembentukan
ACWC
bertujuan
untuk
mempromosikan
kesejahteraan,
pengembangan, pemberdayaan dan partisipasi perempuan dan anak dalam proses
pembangunan Komunitas ASEAN yang berpengaruh pada merealisasikan tujuan
Universitas Sumatera Utara
ASEAN sebagaimana ditetapkan dalam Piagam ASEAN. Fungsi dasar ACWC
adalah, antara lain, untuk mempromosikan pelaksanaan instrumen internasional,
instrumen ASEAN dan instrumen lainnya yang terkait dengan hak-hak perempuan
dan anak-anak dan mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif
untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak untuk
melengkapi pembangunan Komunitas ASEAN. Hal ini juga akan meningkatkan
kesadaran publik dan pendidikan hak-hak perempuan dan anak-anak di ASEAN.
Setiap Negara Anggota ASEAN menunjuk dua wakil ke ACWC, satu perwakilan
tentang hak-hak perempuan dan satu wakil pada hak-hak anak. Ketika menunjuk
wakil-wakil mereka ke ACWC, negara-negara anggota harus mempertimbangkan
mengenai kompetensi di bidang hak-hak perempuan dan anak-anak, integritas,
dan kesetaraan gender. Di tingkat internasional, semua negara anggota ASEAN
telah meratifikasi dan Negara-negara peserta dalam Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hakhak Anak (CRC).
Fungsi ACWC :
1. Sebagai pintu masuk untuk mekanisme hak asasi manusia yang lebih luas
2. Memperkuat respon regional terhadap isu-isu perempuan dan hak-hak
anak
3. Sebagai platform untuk dialog regional / internasional
4. Menengahi masalah muncul antara pelaporan dan pemantauan
5. Meningkatkan kemampuan negara-negara anggota ASEAN dalam
menangani isu-isu spesifik perempuan dan anak
6. Membantu negara pihak dalam memenuhi standar internasional hak
perempuan dan anak-anak
7. Mediasi kedua kebutuhan nasional dan internasional
8. Meningkatkan standar kepatuhan masing-masing negara anggota ASEAN
Universitas Sumatera Utara
9. Penguatan kondisi yang lebih kondusif untuk pembentukan komisi
Mandat ACWC
1. Mempromosikan pelaksanaan internasional, ASEAN atau instrumen lain
yang terkait dengan hak-hak anak
2. Mengembangkan kebijakan, program dan strategi inovatif untuk promosi
dan perlindungan hak-hak anak untuk mendukung pembentukan
komunitas ASEAN
3. Mempromosikan kesadaran publik dan pendidikan tentang hak-hak anak
di ASEAN
4. Melakukan advokasi atas nama anak-anak, khususnya kelompok rentan
dan terpinggirkan dan mendorong negara-negara ASEAN untuk
memperbaiki situasi
5. Mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan di semua tingkat administrasi, legislatif, yudikatif, masyarakat sipil, tokoh masyarakat,
lembaga hak-hak anak, melalui bantuan teknis, pelatihan dan lokakarya,
dalam mewujudkan hak-hak anak
6. Dengan
permintaan
negara-negara
anggota
ASEAN,
membantu
menyiapkan laporan berkala hak-hak anak seperti yang lain yang berkaitan
dengan hak-hak anak
7. Dengan
permintaan
negara-negara
anggota
ASEAN,
membantu
pelaksanaan Konvensi Hak Anak dan perjanjian internasional yang
berkaitan dengan hak-hak anak lainnya
8. Mengusulkan dan mempromosikan langkah-langkah, mekanisme dan
strategi pencegahan dan penghapusan segala bentuk pelanggaran hak anak,
termasuk melindungi para korban
9. Mendorong negara-negara ASEAN untuk menerima dan meratifikasi
instrumen internasional yang berkaitan dengan hak-hak anak
Universitas Sumatera Utara
10. Mendukung keterlibatan anak-anak ASEAN dalam proses dialog dan
konsultasi di lembaga ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan
hak-hak anak
11. Mendorong anggota ASEAN untuk mengumpulkan dan menganalisis data
terpilah menurut jenis kelamin, usia, dan lainnya yang terkait dengan
pemajuan dan perlindungan hak-hak anak
12. Mendorong penelitian dan studi tentang hak-hak anak
13. Negara-negara anggota ASEAN Mendorong melakukan review secara
berkala terhadap undang-undang, peraturan, kebijakan dan praktek yang
berkaitan dengan hak-hak anak
14. Memfasilitasi
negara-negara
anggota
ASEAN
untuk
pertukaran
pengalaman, termasuk isu-isu tematik yang menjadi perhatian terkait
dengan hak-hak anak, baik melalui seminar bersama, pertukaran
kunjungan dan lain-lain
15. Memberikan saran dan masukan kepada lembaga ASEAN (by request)
16. Melakukan tugas-tugas lain yang dilimpahkan oleh para pemimpin
ASEAN dan menteri luar negeri
Untuk semua tugas di atas dan mandat, ACWC dicatat, tidak hanya untuk badanbadan ASEAN yang relevan, negara-negara anggota, tetapi juga untuk
masyarakat. Dialog, konsultasi atau laporan harus disiapkan dalam secara
periodik.
Prinsip dan Status
1. Non-intervensi (lihat ASEAN Charter Pasal 2 (e) dan konsensus dalam
pengambilan keputusan
2. Pertunjukan konstruktif, non-konfrontasi dan kooperatif pendekatan
3. Selalu menganggap Jalan ASEAN dan Nilai Asia, yang kadang-kadang
membatasi promosi dan perlindungan HAM di tingkat regional
Universitas Sumatera Utara
4. Menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia termasuk universalitas,
indivisibilitas, saling bergantung semua kebebasan fundamental dan hakhak perempuan dan anak-anak
5. Mendukung negara-negara anggota ASEAN dalam mengimplementasikan
hak-hak perempuan dan anak-anak
6. Bekerja dengan pemerintah, lembaga ASEAN, badan-badan PBB dan
organisasi masyarakat sipil
7. Organisasi antar pemerintah, badan konsultatif dan menjadi bagian
integral dari struktur ASEAN
Isu Tematik dalam Rencana Kerja
1. Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
2. Hak anak untuk berpartisipasi dalam semua hak yang mempengaruhi
kehidupan mereka
3. Kerjasama dalam penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak
4. Meningkatkan
partisipasi
perempuan
dalam
politik,
pengambilan
keputusan, pemerintahan dan demokrasi
5. Promosi dan Perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak penyandang
cacat
6. Dukungan untuk pelaksanaan sistem perlindungan anak
7. Promosi hak atas pendidikan anak usia dini dan mutu pendidikan
8. Promosi pelaksanaan instrumen internasional, instrumen ASEAN atau
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak-anak
9. Membela kesetaraan gender dalam pendidikan
10. Dukungan untuk upaya penghapusan perempuan dan anak-anak yang
terkena dampak HIV dan AIDS;
11. Mengatasi dampak sosial dari perubahan iklim yang dialami oleh
perempuan dan anak
Universitas Sumatera Utara
12. Promosi pada upaya penguatan hak-hak ekonomi perempuan dalam
kaitannya dengan feminisasi kemiskinan, hak-hak perempuan atas tanah
dan kepemilikan.
Dengan dibentuknya lembaga-lembaga perlindungan HAM di ASEAN yaitu
AICHR dan ACWC, bahwa negara-negara ASEAN sudah mengakui dan
menyadari akan pentingnya perlindungan HAM bagi bangsanya khususnya
negara-negara anggota ASEAN. Dan dengan terbentuknya lembaga-lembaga
tersebut, ASEAN sudah melangkah maju untuk pemajuan perlindungan HAM di
ASEAN. 58
58
ASEAN Athem, Diakses dari : http://www.aseansec.org/24447.htm#Article-2 pada tanggal 21 April 2013
Universitas Sumatera Utara
Download