GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI PERAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) NORAFIZAH BINTI MATLI DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Norafizah Binti Matli NIM B04088024 ABSTRAK NORAFIZAH BINTI MATLI. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat). Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus gangguan reproduksi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih dan upaya penanggulangannya. Selain itu, tujuan penelitian ini juga adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap penampilan reproduksi pada sapi perah. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei deskriptif dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih, Cianjur-Jawa Barat dalam tiga tahun terakhir (2011,2012 dan 2013). Data diolah dan dianalisa berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam bentuk tabel. Hasil menunjukkan hipofungsi ovari merupakan gangguan penyakit reproduksi yang tertinggi pada tiga tahun terakhir, kemudian diikuti dengan korpus luteum persisten, endometritis, sistik ovari, distokia dan abortus. Penyebab terjadinya gangguan penyakit reproduksi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pakan, perkandangan, pemeliharaan kesehatan, hormonal, kecelakaan/traumatik dan lingkungan sehingga perlu dilakukan penanggulangan dengan memperbaiki manajemen reproduksi sapi perah dengan baik dan benar. Kata kunci: gangguan reproduksi, sapi perah, penanggulangan, manajemen reproduksi ABSTRACT NORAFIZAH BINTI MATLI. Reproductive Disorders on Dairy Cattle and Effort to Treatment (A case study conducted at Breeding and Development Center for Dairy Cattle Bunikasih, Cianjur-West Java). Supervised by R. KURNIA ACHJADI. The objective of this research was to learn about reproductive disorders on dairy cattle in BPPT-SP Bunikasih and effort to treatment. Beside that, the objective of this research was to learn about the factor of reproductive disorders on dairy cattle occurs. The procedure was conducted by surveys descriptive method with last three years secondary data that are collected from Breeding and Development Center for Dairy Cattle Bunikasih, Cianjur-West Java. The results showed the highest of reproductive disorders on last three years was ovarian hypofunction, persistent corpus luteum, endometritis, ovarian cyst, distokia and abortion. These cases were related with the factor of nutrition, enclosure, health, hormonal, accident, and environment and need strategies to improved the reproductivity management of dairy cattle. Keywords: dairy cattle, reproductive disorders, reproductive management, treatment GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI PERAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) NORAFIZAH BINTI MATLI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada FakultasKedokteran Hewan DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi: Gangguan Reproduksi Pacta Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur­ Nama Jawa Barat). : Noraftzah Binti Matli NIM : B04088024 Disetujui oleh Drh R. Kurnia Achjadi. MS Pembimbing Tanggal Lulus: 2 9 AUG 2014 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 yaitu Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat). Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan masukan serta bantuan dari pelbagai pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. R. Kurnia Achjadi, MS sebagai dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini.Penulis juga berterima kasih kepada Drh Dewi Ratih A. PhD. Apvet selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Arif Hidayat selaku Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang telah memberi banyak masukan dan saran. Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta mama, bapa, dan saudara kandung, tidak lupa juga kepada Uca Saputra serta teman seperjuangan skripsi saya Andi Nur Izzati dan Ahmad Fadhil atas segala dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat Pondok Selebritis tercinta terutamanya Dg Siti Hanizah dan Tizani Qisthina, Mahasiswa PKPMI Bogor, teman-teman Avenzoar 45, Geochelone 46 dan Acromion 47 atas segala kebersamaan. Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkepentingan. Bogor, Agustus 2014 Norafizah Binti Matli DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Reproduksi Faktor Pakan Faktor Perkandangan Faktor Pemeliharaan Kesehatan Faktor Hormonal Faktor Kecelakaan/Traumatik Faktor Lingkungan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Hipofungsi Ovari Korpus Luteum Persisten Sistik Ovari Endometritis Distokia Abortus METODE 2 2 3 4 4 4 5 5 6 6 6 6 7 7 7 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Profil Sejarah dan Keadaan Umum Peternakan 9 Lokasi dan Tata Letak Peternakan 9 Perkembangan Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur Kasus Gangguan Reproduksi Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur Hipofungsi Ovari Korpus Luteum Persisten Sistik Ovari Kasus Kebidanan dan Peradangan Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur Endometritis Distokia Abortus SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 10 11 11 11 12 12 12 13 13 13 13 Saran 14 DAFTAR PUSTAKA 15 RIWAYAT HIDUP 18 DAFTAR TABEL 1 Populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih dari tahun 2011-2013. 10 2 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013. 11 3 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap usaha-usaha pengembangan peternakan. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan kebutuhan akan protein hewani sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi makanan dari hasil ternak serta peningkatan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut berbagai upaya telah, sedang dan akan terus dilaksanakan, baik dari segi manajemen, penyediaan makanan ternak dan pengadaan bibit unggul. Namun, dalam upaya untuk mencapai target tersebut, upaya dalam meningkatkan produksi peternakan tidak terlepas dari masalah reproduksi yang langsung berpengaruh terhadap kenaikan dan penurunan jumlah atau populasi hewan ternak. Di Indonesia, khususnya populasi hewan ternak sampai saat ini masih belum seimbang dengan jumlah yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian dan pemotongan ternak yang tidak diimbangi dengan angka kelahiran yang memadai. Gangguan reproduksi hewan terutamapada sapi perah disebabkan oleh faktor manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, faktor genetik dan fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh itu, pencegahan dan penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena pada dasarnya penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan kerugian apabila penyakit menular. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum persisten dan sistik ovari (Achjadi 2013). Gangguan reproduksi tersebut menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar yang berdampak terhadap penurunan pendapatan . Oleh itu, untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan memperbaiki kinerja reproduksi. Proses reproduksi yang normal akan diikuti oleh produktivitas ternak sapi perah yang semakin baik. Menurut Oktaviani (2010), semakin tinggi kemampuan reproduksi, semakin tinggi pula produktivitas ternak tersebut. Selain itu, penanggulangan kasus atau penyakit reproduksi perlu diketahui dengan baik oleh peternak. Dengan mengetahui jenis penyakit dan cara pengendaliannya, kerugian akibat penyakit dapat ditekan dan keuntungan dapat dioptimalkan. Menurut Achjadi (2013), dalam upaya mengurangi gangguan reproduksi pada sapi perah, perlu dilakukan penanggulangan secara berkesinambungan dan pengembangan kelembagaan pelayanan teknis serta penyediaan sarana dan prasarana di lapangan. Perumusan Masalah Pada usaha ternak sapi perah dapat dijumpai banyak gangguan reproduksi yang umum terjadi diantaranya hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik ovari, endometritis, distokia dan abortus. Penyebab terjadinya gangguan reproduksi berkaitan dengan manajemen sapi perah antara lain faktor pakan, 2 faktor perkandangan, faktor pemeliharaan kesehatan, faktor hormonal, faktor kecelakaan/traumatik dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa kasus gangguan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih berpunca dari faktor manajemen yang kurang baik. Upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini tidak didasarkan atas kasus yang ditemukan. Hal ini tentunya memerlukan upaya penelusuran yang lebih lanjut untuk mengetahui penyebab utama yang menyebabkan setiap gangguan reproduksi yang terjadi di BPPT-SP Bunikasih. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kasus gangguan reproduksi sapi perah di Balai Pengembangan dan perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih, Cianjur-Jawa Barat dan upaya penanggulangannya. Tujuan penelitian ini juga adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap penampilan reproduksi pada sapi perah. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini selain menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa dalam menganalisa masalah yang berhubungan dengan reproduksi juga meningkatkan keterampilan dan pengalaman kerja. Manfaat dari hasil penelitian ini tidak hanya bagi mahasiswa tetapi juga bagi peternak dan pengelola sebagai sumber informasi tentang pengaturan reproduksi khususnya dalam penanganan gangguan reproduksi yang sering muncul pada sapi perah. TINJAUAN PUSTAKA Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Kegagalan reproduksi pada ternak baik langsung maupun tidak langsung dapat mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Tingginya kasus gangguan reproduksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian pakan yang buruk (Achjadi 2013). Beberapa klasifikasi penyimpangan menurut Noakes (2000) adalah berahi yang tidak teramati, berulang-ulang, diperpanjang dan tidak teratur, serta menetap dan sering terjadi. Berdasarkan penyimpangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa deteksi berahi merupakan masalah utama yang menjadi penyebab munculnya gangguan reproduksi. Kegagalan mendeteksi berahi dimungkinkan karena sapi adalah hewan yang bersifat non-seasonal poli-berahi, dimana sapi dapat menunjukkan berahi setiap waktu dengan siklus 10-23 hari (Dradjat 2002). Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Reproduksi Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen sapi perah yang penting dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain faktor pakan, faktor 3 perkandangan, faktor pemeliharaan kesehatan, faktor hormonal, faktor aksiden dan faktor lingkungan. Faktor pakan Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum (jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa 2004). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak terbuang dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak bila termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan namun dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan. Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan, konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal (Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai. Kualitas dan kuantitas ransum ternak merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu peternakan sapi perah. Tanpa makanan yang baik dan dalam jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang dapat memperhatikan keunggulannya jika makanannya sangat terbatas. Pakan merupakan faktor utama yang akan mempengaruhi kesehatan tubuh maupun kesehatan reproduksi ternak (Sudono et al. 2001). Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno dan Nazaruddin 1994). Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen (Kelly 2000). Arthur (2001) menyatakan bahwa pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan gangguan reproduksi (Manan 2002). Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994).Air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar, jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan. 4 Faktor Perkandangan Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh kenyamanan (Suharno dan Nazaruddin 1994). Ventilasi berfungi untuk mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit, mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar, mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002). Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar. Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau asbes. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember (Suharno dan Nazaruddin 1994). Faktor Pemeliharaan Kesehatan Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme, memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews dan Gibson 2000). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan sapi yaitu melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik, antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto 1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular, intravena, implan, dan lain-lain. Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan. Faktor Hormonal Hormon-hormon yang berfungsi dalam pengaturan fungsi reproduksi memiliki konsentrasi yang normal dan keseimbangan tertentupada kondisi normal. Jika terjadi gangguan dalam kadar dan keseimbangan dalam tubuh maka dapat 5 menyebabkan kemajiran pada hewan. Gangguan hormonal pada sapi betina biasanya terlihat dengan tanda-tanda penyimpangan siklus berahi. Penyimpangan tersebut antara lain anestrus, siklus estrus yang tidak teratur atau berahi yang terus-menerus. Menurut Achjadi (2013), gangguan hormonal meliputi anestrus, endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik ovari dan atrofi ovari. Anestrus merupakan kondisi dimana sapi perah tidak birahi, hal ini dapat disebabkan karena tidak berkembangnya folikel di ovarium. Ovarium yang tidak berkembang dapat karena sebab insufiensi gonadotropin dan korpus luteum persisten. Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian hormon gonadotropin terutama FSH dosis tinggi. FSH dapat menghasilkan terjadinya ovulasi (Putro 2009). FaktorKecelakaan/Traumatik Faktor aksiden adalah faktor yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, atau seperti halnya dengan kecelakaan. Kejadian-kejadian tersebut misalnya distokia dan abortus. Kejadian-kejadian tersebut dapat membawa akibat kepada kurang suburnya ternak penderita bila tidak ditangani secara serius. Pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan distokia pada sapi dara karena deposisi lemak yang berlebihan di daerah pelvis (Sudono et al, 2001). Faktor Lingkungan Iklim dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi baik secara Iangsung maupun tidak langsung. Pengaruh iklim secara langsung misalnya oleh suhu, kelembaban dan sinar matahari, sedangkan yang tidak langsung dimana ikIim mempengaruhi mutu makanan dan prevalensi penyakit serta parasit. Dalam kondisi iklim tropis seperti Indonesia, maka periode estrus menjadi lebih singkat (Toelihere 1985). Iklim dapat mempengaruhi waktu pubertas, lama estrus, sistem hormonal, kejadian abnormalitas dari ovarium pada sapi betina. Iklim dan pertumbuhan rumput di daerah tropis mempengaruhi produksi dan reproduksi, terutama pada sapi dara dimana pada musim hujan yang berkisar antara bulan Juli sampai Oktober banyak sapi yang bunting. Sedangkan pada musim kemarau aktifitas reproduksi menurun, karena udara yang terlalu panas disamping jumlah makanan yang relatif berkurang. Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah Hipofungsi ovari Hipofungsi ovari adalah ketidakmampuan ovarium dalam melakukan fungsinya yang umumnya diakibatkan karena sapi perah mengalami kekurangan gizi. Gejala klinis yang paling jelas terlihat dari hipofungsi ovari adalah anestrus (Khamas 2011). Untuk diagnosa dilakukan dengan cara palpasi perektal sedangkan pengobatannya dapat dilakukan dengan pemberian preparat hormonal (FSH/LH) dan memperbaiki pakan yang diberikan kepada ternak sapi perah (Hardjopranjoto 1995). Penyebab umum terjadinya hypofungsi adalah jumlah dan kualitas pakan (Achjadi 2013). 6 Terapi hormonal lain yang dapat dilakukan pada kasus sapi hipofungsi ovari melalui penyuntikan hormon gonadotropin untuk merangsang tumbuhnya folikel karena pada keadaan hipofungsi tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi CL (Pemayun 2009). Menurut Lopez-gatius et al. (2004) pada sapi hipofungsi ovari yang diterapi dengan progesteron selama 9 hari kemudian pada hari ke-8 diberikan prostaglandin akan menghasilkan respon estrus yang selalu lebih dari 60% dan tingkat kehamilan hampir sama dengan hasil inseminasi sapi yang memiliki siklus estrus normal. Sedangkan jika sapi diterapi dengan GnRH (gonadotropin releasing hormon) respon estrus sangat rendah sekitar 30%. Korpus Luteum Persisten (CLP) Korpus luteum persisten merupakan gangguan reproduksi karena corpus luteum tidak mengalami regresi dan tetap tinggal di ovarium dalam jangka waktu lama meskipun hewan tidak bunting (Hardjopranjoto 1995). Gejala klinis dari CLP yang dapat diamati yaitu tidak diketahuinya tanda berahi pada beberapa siklus berahi. Diagnosa untuk mengetahui CLP dengan cara melakukan palpasi perektal dan mengumpulkan keterangan dari peternak berkaitan dengan kondisi sapi yang dipelihara. Corpus luteum yang tetap besar ukurannya dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Progesteron tinggi sehingga sekresi FSH dan LH dihambat folikel tidak tumbuh menyebabkan anestrus karena estrogen dihambat. CLP dapat muncul karena adanya patologi uterus seperti pada kasus endometritis. Adanya patologi uterus dapat memperpanjang memperpanjang masa hidup korpus luteum. CLP dapat muncul pada kondisi mastitis dan keseimbangan energi negatif. Kedua faktor ini dapat memperpanjang fase luteal sehingga akan mempengaruhi produksi PGF-2 dan mengakibatkan munculnya CLP (Magata et al. 2012). Terapi yang dapat dilakukan pada kasus CLP adalah dengan menyuntikkan PGF-2 (prostaglandin). Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghilangkan korpus luteum secara manual, namun cara ini berisiko tinggi menyebabkan ovaritis. Jika CLP disebabkan oleh patologi uterus seperti endometritis, maka pengobatan yang perlu dilakukan adalah menanggulangi patologi uterus tersebut terlebih dahulu, selanjutnya dapat diberikan PGF-2 untuk mempercepat proses regresi korpus luteum (Noakes et al. 2008). Sistik Ovari Menurut Arthur (2001), ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih cairan yang menetap mengisi ruangan (folikel), lebih besar dari folikel matang. Cairan sistik ovari mengandung estrogen dan steroid-steroid lainnya, sarna dengan yang terkandung dalam folikel normal. Tetapi konsentrasi estrogen tidak normal pada cairan sistik ovari. Waktu kejadian sistik ovari biasanya adalah dari bulan ke 1 - ke 4 post partus, dengan waktu puncak pada hari ke 15 - 45 post partus dan metoda pengobatan sistik ovari adalah dengan memakai preparat GnRH dikombinasikan dengan PGF2Alpha. Endometritis Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut 7 dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Endometritis terjadi karena kelanjutan kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina terinfeksi dari pejantan yang menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis, dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa oleh semen. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya peradangan pada endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto 1995). Penderita endometritis biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, suhu subnormal atau diatas normal (40-410c), produksi turun, atoni rumen, diare, dehidrasi, anoreksia, urinasi, pernapasan cepat dan denyut jantung lemah (Subronto dan Tjahajati 2001). Kejadian endometritis dapat dicegah dengan memperlihatkan program kesehatan yang rutin seperti penanganan prepartus, partus dan postpartus (Dohmen 1995). Sedangkan cara penanganannya dengan menggunakan antibiotik oksitetrasiklin dikombinasikan dengan preparat estrogen dan PGF2 memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan antibiotik atau hormon secara sendiri-sendiri (Achjadi 2013). Distokia Distokia merupakan gangguan reproduksi dimana hewan sulit atau mengalami perpanjangan waktu partus dibandingkan secara normal. Kejadian distokia biasanya menyerang pada sapi dara yang baru melahirkan pertama kali (primipara) (Schuenemann 2012). Kejadian kasus dapat berasal dari induk maupun fetus. Faktor dari induk dikarenakan adanya ketidak sesuaian pada jalan kelahiran. Sedangkan faktor fetus biasanya dikarenakan ukuran dari fetus maupun posisi fetus yang yang abnormal (Ball dan Peters 2004). Menurut Whittier et al. (2009), penyebab distokia umumnya dikarenakan maternal/ukuran fetus yang berlebih, posisi fetus yang abnormal, dilatasi serviks yang tidak sempurna, terjadinya inersia uterus (kondisi uterus yang tidak kontraksi atau karena kelelahan), terjadinya torsio uterus, fetus yang kembar, dan fetus yang abnormal. Sapi yang memiliki bobot badan yang berlebihan atau penurunan bobot badan yang berlebihan selama trimester terakhir kehamilan sangat rentan mengalami distokia (Schuenemann 2012). Oleh karena itu, manajemen nutrisi yang tepat selama kehamilan penting untuk mengurangi resiko terjadinya distokia. Selain itu juga dapat dilakukan pemilihan indukan ketika inseminasi buatan yaitu dengan mengeliminasi sapi indukan yang memiliki panggul (pelvis) yang kecil dan memilih indukan yang telah terbukti mudah dalam proses melahirkan. Pada sapi perah kejadian kemungkinan terjadinya distokia lebih besar pada sapi dara jika dibandingkan dengan sapi tua (Meyer et al. 2001). Umumnya distokia meningkatkan kejadian lahir mati (stillbirth) yaitu kematian pedet kurang dari 24 jam setelah proses kelahiran dan kematian pedet dalam waktu 30 hari setelah kelahiran (Mee 2004). Distokia meningkatkan kemungkinan terjadinya trauma (seperti paresis), gangguan uterus, dan penurunan produksi susu (Eaglen et al. 2011). 8 Penarikan paksa fetus dilakukan untuk menangani kasus ini. Tindakan ini dilakukan dengan cara mengikat kaki depan fetus yang sudah keluar untuk menarik fetus dan pelicin di daerah vulva. Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena proses kelahiran yang tidak steril dan pemasukan benda-benda tidak steril ke dalam saluran reproduksi seperti tali untuk menarik fetus. Pemberian multivitamin sebagai pencegahan kurangnya asupan vitamin dan memulihkan stamina sapi setelah melahirkan. Penanganan pada kasus distokia dapat dilakukan dengan mutasi, apabila uterus melemah dapat dilakukan penarikan paksa, fetotomi atau pemotongan fetus, dan bila semua cara tidak berhasil dapat dilakukan operasi sesar (Ratnawati et al. 2007). Abortus Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk (Toelihere 1985). Abortus dapat terjadi pada berbagai umur kebuntingan dari 42 hari sampai saat akhir masa kebuntingan. Abortus dapat terjadi bila kematian fetus di dalam uterus disertai dengan adanya kontraksi dinding uterus sebagai akibat kerja secara bersama-sama dari hormon estrogen, oksitosin, dan prostaglandin F2α pada waktu terjadinya kematian fetus itu. Oleh karena itu fetus yang telah mati terdorong keluar dari saluran alat kelamin (Hardjopranjoto 1995). Malnutrisi untuk waktu yang lama menyebabkan penghentian siklus birahi dan kegagalan konsepsi.Defisiensi makanan dan kelaparan yang parah dapat menyebabkan abortus (Toelihere 1985). METODE Metode yang digunakan adalah menggunakan metode survei deskriptif dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih, Cianjur-Jawa Barat dalam tiga tahun terakhir (2011, 2012 dan 2013). Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisa berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Sejarah dan Keadaan Umum Peternakan Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP Bunikasih) sebelum tahun 1994 berlokasi di Ciseureuh-Loji, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, dengan BPT-HMT atau Balai Pengembangan Ternak dan Hijau Makanan ternak sejak 1994 berpindah lokasi ke Padalengsar Desa Bunikasih, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, dengan nama BPPT-SP Bunikasih Cianjur. 9 Tugas pokok dan fungsi balai ini diatur menurut Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat adalah melaksanakan sebagian fungsi Dinas di bidang pemgembangan perbibitan ternak sapi perah serta memiliki fungsi dalam pengelolaan pengembangan perbibitan sapi perah. Di samping fungsi tersebut juga balai mempunyai fungsi sebagai sumber bibit ternak dan hijauan makanan ternak, tempat percontohan, uji coba teknologi terapan, tempat pelatihan/magang bagi petugas, peternak maupun masyarakat umum. Pada tahun 1997-2002, BPPT-SP Bunikasih telah melaksanakan kerjasama dengan JICA-Pemerintah Jepang melalui Proyek Peningkatan Teknologi Sapi Perah (Dairy Technologi Improvement Project) dengan kegiatan yang mencakup empat jenis teknologi yaitu pakan dan tata laksana sapi perah, kesehatan reproduksi, kesehatan pemerahan, serta produksi dan pemanfaatan hijauan (Profile BPPT-SP Bunikasih 2013). Lokasi dan Tata Letak Peternakan Kawasan usaha peternakan Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP Bunikasih) berlokasi di Kampung Padalengsar, Desa Bunikasih, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, yang menempati luas areal keseluruhan 22 ha. Luas areal tersebut digunakan untuk kebun rumput seluas 19.9 ha, bangunan (kandang, perkantoran, perumahan dan lain-lain) seluas 1.3 ha, exercise ternak seluas 0.26 ha, jalan seluas 0.2 ha, kebun bambu 0.025 ha dan lainlain 0.65 ha. Jarak antara lokasi BPPT Sapi Perah dan jalan utama propinsi sekitar 7 km. Kondisi jalan tidak baik sehingga diperlukan waktu sekitar 20 menit untuk mencapai lokasi tersebut dari jalan utama. Letak geografis peternakan berada pada posisi 6 50 00 50’’ Lintang Selatan dan 107 03’02,52’’ Bujur Timur. Kondisi topografis bergelombang dengan ketinggian 900 s/d 950 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 18-22 o c per hari per tahun dengan kelembaban 85%. Curah hujan rata-rata 266 mm per tahun pada musim hujan dan 51 mm per tahun pada musim kemarau (Profile BPPT-SP Bunikasih 2013). Perkembangan Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih Perkembangan populasi merupakan pengukuran yang paling sering dilakukan terhadap produktifitas sapi perah, dimana perkembangan peternakan juga sangat berpengaruh dari populasi ternak. Jumlah populasi sapi perah dari tahun 2011 hingga 2013 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih dari tahun 2011-2013. Jenis Ternak Anak Jantan Anak Betina Dara Betina Dewasa Jumlah 2011 (ekor) 14 16 26 82 138 Tahun 2012 (ekor) 15 14 38 36 103 2013 (ekor) 8 7 61 56 132 10 Jumlah Populasi 100 82 80 61 56 60 40 20 14 16 38 36 26 15 14 anak jantan anak betina 8 7 dara betina dewasa 0 2011 2012 2013 Tahun Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih. Dapat dilihat pada gambar 1 populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 2011 sebanyak 138 ekor termasuk anak jantan, anak betina, dara dan betina dewasa. Pada tahun 2012, populasi sapi perah menurun menjadi 103 ekor. Namun, pada tahun 2013 populasi sapi perah meningkat menjadi 132 ekor. Berdasarkan data populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih yang terlihat fluktuatif dipengaruhi oleh adanya impor sapi perah dan kelahiran dari sapi-sapi impor tersebut. Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih Terdapat banyak penyakit yang umum terjadi pada ternak sapi perah diantaranya hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik ovari, endometritis, distokia dan abortus. Di BPPT-SP Bunikasih beberapa penyakit tersebut merupakan penyakit yang sering muncul. Kejadian penyakit yang sering muncul pada sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih tahun 2011- 2013. Jenis gangguan reproduksi 2011 (ekor) Hipofungsi ovari 16 Corpus luteum 14 Persisten (CLP) Sistik ovari 9 (Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2013) Tahun 2012 (ekor) 10 6 2013 (ekor) 7 5 4 2 Hipofungsi Ovari Dapat dilihat pada tabel 2 kasus hipofungsi ovari pada tahun 2011 sebanyak 16 ekor, 2012 sebanyak 10 ekor dan 2013 sebanyak 7 ekor. Hipofungsi ovari adalah ketidakmampuan ovarium dalam melakukan fungsinya yang umumnya diakibatkan karena sapi perah mengalami kekurangan gizi. Gejala klinis yang paling jelas terlihat dari hipofungsi ovari adalah anestrus (Khamas 2011). Penanggulangan yang dilakukan di BPPT-SP Bunikasih terhadap sapi perah yang mengalami hipofungsi ovari adalah dengan melakukan penempatan terpisah 11 agar sapi mendapatkan tambahan pakan khusus untuk membantu nutrisi ternak. Pemberian vitamin ADE juga dilakukan selain melakukan massase pada ovarium secara lembut untuk merangsang sirkulasi darah disekitar ovarium. Melakukan masase pada ovarium dapat merangsang pelepasan prostaglandin, oksitoksin dan hormon peptida lainnya (Hunter 1995). Achjadi (2013) menyatakan bahwa faktor manajemen sangat erat hubungannya dengan faktor pakan atau nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktivitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteonizing Hormone (LH) rendah, akibatnya ovarium tidak berkembang (hipofungsi). Pada kasus hipofungsi dilakukan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan serta pemberian preparat FSH dan LH. Korpus Luteum Persisten (CLP) Kasus kedua yang ditemukan di BPPT-SP Bunikasih adalah CLP sebanyak 14 ekor pada tahun 2011, tahun 2012 sebanyak 6 ekor dan tahun 2013 sebanyak 5 ekor. Korpus luteum persisten (CLP) merupakan kejadian tertahannya corpus luteum di ovarium oleh tertahannya prostaglandin dari uterus oleh sebab-sebab tertentu (Arsyad & Yudistira 2011). Corpus luteum yang tetap besar ukurannya dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Progesteron tinggi sehingga sekresi FSH dan LH dihambat folikel tidak tumbuh menyebabkan anestrus karena estrogen dihambat. Pengobatan yang telah dilakukan di BPPT-SP Bunikasih pada kasus CLP adalah dengan menyuntikkan PGF2 (prostaglandin) secara intrauterin dengan tujuan mempermudah regresi korpus luteum persisten. Cara lain juga dilakukan dengan menghilangkan korpus luteum secara manual. Partodiharjo (1992) menyatakan penyingkiran korpus luteum persisten dengan penyuntikan PGF2 yang menyebabkan luteolisis yaitu degenerasi corpus luteum. Sistik Ovari Kasus ketiga yaitu sistik ovari di BPPT-SP Bunikasih sebanyak 9 ekor pada tahun 2011, tahun 2012 sebanyak 4 ekor dan tahun 2013 sebanyak 2 ekor. Menurut Arthur (2001), ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih cairan yang menetap mengisi ruangan (folikel), lebih besar dari folikel matang. Cairan sistik ovari mengandung estrogen dan steroid-steroid lainnya, sarna dengan yang terkandung dalam folikel normal. Tetapi konsentrasi estrogen tidak normal pada cairan sistik ovari. Penyebab terjadinya sistik ovari adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Adanya sistik tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, Penanganan yang dilakukan di BPPT-SP Bunikasih pada kasus sistik ovari yaitu dengan memecah kista secara manual, pemberian prostaglandin dan penyuntikan LH. Penanganan kasus sistik ovari dilakukan dengan pemberian preparat LH dan PGF2 untuk merangsang ovulasi atau dilakukan pemecahan kista secara manual melalui palpasi rektal tetapi cara ini dapat menyebabkan terjadinya radang pada ovarium (Arsyad & Yudistira 2011). 12 Kasus Kebidanan dan Peradangan Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih Berdasarkan gejala yang diamati di BPPT-SP Bunikasih didapatkan beberapa kasus kebidanan seperti distokia dan abortus, serta kasus peradangan seperti endometritis sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013. Gangguan reproduksi 2011 (ekor) Endometritis 8 Distokia 5 Abortus 1 (Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2013) Tahun 2012 (ekor) 6 3 5 2013 (ekor) 4 5 1 Endometritis Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat pada tahun 2011 sebanyak 8 ekor sapi perah yang mengalami endometritis, 2012 sebanyak 6 ekor dan 2013 sebanyak 4 ekor. Endometritis merupakan gangguan reproduksi yang biasa terjadi dalam waktu dua minggu dan/atau dua puluh hari post partus, khususnya partus yang abnormal (Achjadi 2013) dan merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus (Boden 2005). Pengobatan dilakukan di BPPT-SP Bunikasih terhadap kasus endometritis adalah dengan memberikan preparat antibiotik yang dimasukkan melalui gun IB serta preparat hormon prostaglandin. Menurut Andrews et al. (2004) terdapat tiga pengobatan yang umum digunakan, yaitu dengan menggunakan prostaglandin secara parenteral atau analognya, estrogen, dan antibiotik intrauterin. Penggunaan prostaglandin bertujuan untuk meningkatkan efek myometrium secara langsung sehingga dapat meningkatkan kontraksi uterus dan mengeluarkan cairan dan debris dari dalam uterus (discharge). Penggunaan estrogen didasarkan pada pengetahuan bahwa uterus lebih tahan terhadap infeksi selama estrus (dominan estrogen), namun terapi ini masih menjadi perdebatan di beberapa negara. Distokia Kasus distokia yang terjadi pada tahun 2011 sebanyak 5 ekor, 2012 sebanyak 3 ekor dan 2013 sebanyak 5 ekor. Distokia merupakan gangguan reproduksi dimana hewan sulit atau mengalami perpanjangan waktu partus dibandingkan secara normal. Kejadian distokia biasanya menyerang pada sapi dara yang baru melahirkan pada pertama kali (primipara) (Schuenemann 2012). Penanganan yang dilakukan berupa penarikan paksa fetus. Induk sapi diberikan antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena proses kelahiran yang tidak steril dan pemasukan benda-benda tidak steril ke dalam saluran reproduksi seperti tali untuk menarik fetus. Penanganan pada kasus distokia dapat dilakukan dengan mutasi, apabila uterus melemah dapat dilakukan penarikan paksa, fetotomi atau pemotongan fetus, dan bila semua cara tidak berhasil dapat dilakukan operasi sesar (Ratnawati et al. 2007). 13 Abortus Berdasarkan tabel 3 di atas maka dapat diketahui jumlah kasus kejadian abortus yang terjadi pada tahun 2011 sebanyak 1 ekor, tahun 2012 sebanyak 5 ekor dan tahun 2013 sebanyak 1 ekor. Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk (Toelihere 1985). Menurut Hardjopranjoto (1995) upaya yang sering dilakukan adalah mengurangi jumlah kejadian dengan membatasi penularan antar ternak, dengan manajemen dan sanitasi sebaik mungkin serta pelaksanaan terapi secara cepat dan tepat. Bagi menangani kasus abortus, petugas melakukan irigasi yaitu membersihkan sisa-sisa abortus di uterus terlebih dahulu sebelum memberikan antibiotik secara intrauterin. Pencegahan terjadinya abortus dilakukan dengan peningkatan perhatian dalam pemeliharaan pada sapi bunting terutama pada pemberian pakan , sanitasi serta menghindar terjadinya trauma dan stress. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingginya kasus gangguan reproduksi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pakan, perkandangan, pemeliharaan kesehatan, hormonal, kecelakaan/traumatik dan lingkungan. Manajemen dan penanganan gangguan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih perlu diperbaiki untuk meningkatkan produktifitas dan populasi sapi perah. Saran Diperlukan upaya perbaikan dalam manajemen kesehatan reproduksi di BPPT-SP Bunikasih melalui peningkatan kualitas SDM, sarana prasarana serta aspek kelembagaannya. 14 DAFTAR PUSTAKA Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Reproduksi dan Biosekuriti. Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia. Yogyakarta.Juni 2013. Akoso BT. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG. 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandary of Cattle 2nd Ed. Oxford: Blackwell Publishing. Andrews AH, Gibson LAS. 2000. Disease security. Di dalam: Andrews AH, editor. The Health of Dairy Cattle. USA: Blackwell Science. Chapter 12. Halm: 328-346. Arsyad dan Yudistira. 2011. Penanganan Kesehatan Hewan. Kasus Gangguan Reproduksi Pada Ternak Sapi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Arthur GH, David EN, Pearson H. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics.8th ed. Balliere Tindall.London (US). Ball PJ and Peter AR. 2004. Reproduction in Cattle.3rd ed. Blackwell Science, Inc. Boden E. 2005. Blacks Veterinary Dictionary. London : A & C Black. Dohmen MJW, Lohuis JACM, Huszenicza G, Nagy P, Bacs M. 1995. TheRelationships Between Bacteriological and Clinical Finding in Cowwith Subacuta / Chronica Endometritis. Theriogenology 43 : 13741388. Dradjat AS. 2002. Penampilan Reproduksi Sapi Bali dengan Menggunakan Inseminasi Buatan di Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Juni 2002: 1(1). Eaglen S, Coffey M, Woolliams J, Mrode R, dan Wall E. 2011. Phenotypic Effects of Calving Ease on The Subsequent Fertility and Milk production of Dam and Calf in UK Holstein-Friesian Heifers. Jurnal Dairy Science. 94: 5413-5423. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak.Airlangga University Press. Surabaya. Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB Bandung dan Penerbit Universitas Udayana, Bandung. Kelly J. 2000. Nutrition of dairy cow. USA: Blackwell Science. Chapter 3. Halm: 50-51. Khamas DJ. 2011. Hormonal Treatments of Inactive Ovaries of Cows and Buffaloes. Jurnal Veterinary Science. 44 (2): 7-13. Lopez-Gatius F, Santolaria P, Yaniz JL, dan Hunter RHF. 2004. Progesterone Supplementation During the Early Fetal Period Reduces Pregnancy Loss in High-Yielding Dairy Cattle. Theriogenology 62: 1529–1535. Magata F, Shirasuna K, Struve K, Herzog K, Shimizu T, Bollwein H, dan Miyamoto A. 2012. Gene Expressions in The Persistent Corpus Luteum on Dairy Cattle: Distinct Profile From The Corpora Lutea of The Estrous Cycle and Pregnancy. Jurnal reproduction and development 58(4): 4450452. Manan D. 2001. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Departeman Pendidikan Nasional, Banda Aceh. 15 Meyer CL, Berger PJ, Koehler KJ, Thompson JR, dan Sattler CG. 2001. Phenotypic Trends in Incidence of Stillbirth for Holsteins in The United States. Jurnal Dairy Science. 84: 515-523. Noakes DE. 2000. Fertility and Infertility. Adrews AH, editor. BlackWII Publishing. USA. 137-146. Noakes DE, Pearson H, Parkinson TJ. 2008. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetric. Philadelphia (US): Saunders. Oktaviani TT. 2010. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Frisien Holstein (PFH) Di Kecamatan Musuk Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Partodiharjo A. 1995. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan Ke 3. Mutiara, Jakarta. Pemayun TGA. 2009. Induksi Estrus dengan PMSG dan GnRH pada Sapi Perah Periode Anestrus postpartum. Bull Veteriner Udayana. 2: 1. Putro PP. 2009.Manajemen Kesehatan dan Reproduksi Sapi Perah. Hand Out Kuliah. Bagian Reproduksi dan Obstetri FKH UGM Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Santosa U. 2004. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta: Penebar Swadaya. Schuenemann GM. 2012. Calving Management in Dairy Herds: Timing of Intervention and Stillbirth. Ohio (USA): The Ohio State University. Sudono A, Roodiana RF, Setiawan BS. 2001. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Bogor (ID). Agromedia Pustaka. Subronto dan Tjahajati . 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Suharno B, Nazarudin. 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta. Toelihere MR. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak dan Kerbau.Universitas Indonesia Press. Jakarta. Whittier WD, Currin NM, Currin JF, Hall JB. 2009. Calving emergencies in beef cattle: identification and prevention. Virginia Cooperation Extension Publication 400-018. 16 RIWAYAT HIDUP Norafizah Binti Matli dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 21 Oktober 1985 dari pasangan Matli Bin Ayub dan Dg Rosnani Pg Sapiah. Penulis merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1997 penulis lulus dari Sekolah Rendah Kebangsaan Mandahan, tahun 2002 lulus Sekolah Menengah Kebangsaan Bongawan Sabah dan tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa FakultasKedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI) Cabang Bogor serta (KULN) Kelab Umno Luar Negara Cabang Bogor.