Templat tugas akhir S1

advertisement
GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI PERAH DAN
UPAYA PENANGGULANGANNYA
(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)
NORAFIZAH BINTI MATLI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gangguan Reproduksi
Pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP
Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Norafizah Binti Matli
NIM B04088024
ABSTRAK
NORAFIZAH BINTI MATLI. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya
Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat).
Dibimbing oleh R. KURNIA ACHJADI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus gangguan reproduksi sapi
perah di BPPT-SP Bunikasih dan upaya penanggulangannya. Selain itu, tujuan
penelitian ini juga adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap
penampilan reproduksi pada sapi perah. Penelitian ini dilakukan dengan metode
survei deskriptif dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak
manajemen Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP)
Bunikasih, Cianjur-Jawa Barat dalam tiga tahun terakhir (2011,2012 dan 2013).
Data diolah dan dianalisa berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam
bentuk tabel. Hasil menunjukkan hipofungsi ovari merupakan gangguan penyakit
reproduksi yang tertinggi pada tiga tahun terakhir, kemudian diikuti dengan
korpus luteum persisten, endometritis, sistik ovari, distokia dan abortus. Penyebab
terjadinya gangguan penyakit reproduksi ini disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain pakan, perkandangan, pemeliharaan kesehatan, hormonal,
kecelakaan/traumatik dan lingkungan sehingga perlu dilakukan penanggulangan
dengan memperbaiki manajemen reproduksi sapi perah dengan baik dan benar.
Kata kunci: gangguan reproduksi, sapi perah, penanggulangan, manajemen
reproduksi
ABSTRACT
NORAFIZAH BINTI MATLI. Reproductive Disorders on Dairy Cattle and Effort
to Treatment (A case study conducted at Breeding and Development Center for
Dairy Cattle Bunikasih, Cianjur-West Java). Supervised by R. KURNIA
ACHJADI.
The objective of this research was to learn about reproductive disorders on
dairy cattle in BPPT-SP Bunikasih and effort to treatment. Beside that, the
objective of this research was to learn about the factor of reproductive disorders
on dairy cattle occurs. The procedure was conducted by surveys descriptive
method with last three years secondary data that are collected from Breeding and
Development Center for Dairy Cattle Bunikasih, Cianjur-West Java. The results
showed the highest of reproductive disorders on last three years was ovarian
hypofunction, persistent corpus luteum, endometritis, ovarian cyst, distokia and
abortion. These cases were related with the factor of nutrition, enclosure, health,
hormonal, accident, and environment and need strategies to improved the
reproductivity management of dairy cattle.
Keywords: dairy cattle, reproductive disorders, reproductive management,
treatment
GANGGUAN REPRODUKSI PADA SAPI PERAH DAN
UPAYA PENANGGULANGANNYA
(Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur- Jawa Barat)
NORAFIZAH BINTI MATLI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
FakultasKedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi: Gangguan
Reproduksi
Pacta
Sapi
Perah
dan
Upaya
Penanggulangannya (Studi Kasus di BPPT-SP Bunikasih, Cianjur­
Nama
Jawa Barat).
: Noraftzah Binti Matli
NIM
:
B04088024
Disetujui oleh
Drh R. Kurnia Achjadi. MS
Pembimbing
Tanggal Lulus:
2 9 AUG 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 yaitu
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya Penanggulangannya (Studi
Kasus di Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi Perah Bunikasih,
Cianjur- Jawa Barat).
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
masukan serta bantuan dari pelbagai pihak. Dengan tersusunnya skripsi ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. R. Kurnia Achjadi, MS sebagai
dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, ilmu, waktu dan kesabaran
yang diberikan selama penelitian dan penyusunan skipsi ini.Penulis juga berterima
kasih kepada Drh Dewi Ratih A. PhD. Apvet selaku dosen pembimbing akademik
atas bimbingan dan nasihat selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada drh. Arif Hidayat selaku Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
yang telah memberi banyak masukan dan saran. Terima kasih yang tidak
terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta mama, bapa, dan saudara
kandung, tidak lupa juga kepada Uca Saputra serta teman seperjuangan skripsi
saya Andi Nur Izzati dan Ahmad Fadhil atas segala dukungan, kasih sayang, dan
semangat yang selalu diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
sahabat Pondok Selebritis tercinta terutamanya Dg Siti Hanizah dan Tizani
Qisthina, Mahasiswa PKPMI Bogor, teman-teman Avenzoar 45, Geochelone 46
dan Acromion 47 atas segala kebersamaan.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini.
Oleh kerena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan.
Semoga penulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan yang berkepentingan.
Bogor, Agustus 2014
Norafizah Binti Matli
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Reproduksi
Faktor Pakan
Faktor Perkandangan
Faktor Pemeliharaan Kesehatan
Faktor Hormonal
Faktor Kecelakaan/Traumatik
Faktor Lingkungan
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah
Hipofungsi Ovari
Korpus Luteum Persisten
Sistik Ovari
Endometritis
Distokia
Abortus
METODE
2
2
3
4
4
4
5
5
6
6
6
6
7
7
7
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Profil Sejarah dan Keadaan Umum Peternakan
9
Lokasi dan Tata Letak Peternakan
9
Perkembangan Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur
Kasus Gangguan Reproduksi Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur
Hipofungsi Ovari
Korpus Luteum Persisten
Sistik Ovari
Kasus Kebidanan dan Peradangan Sapi Perah di BPPT-SP Cianjur
Endometritis
Distokia
Abortus
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
10
11
11
11
12
12
12
13
13
13
13
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
15
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL
1 Populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih dari tahun 2011-2013.
10
2 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013.
11
3 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013
12
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini menunjukkan perhatian
yang tinggi terhadap usaha-usaha pengembangan peternakan. Hal tersebut
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan akan protein hewani sebagai akibat dari
pertambahan penduduk dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai
gizi makanan dari hasil ternak serta peningkatan ekonomi. Dalam rangka
mencapai tujuan tersebut berbagai upaya telah, sedang dan akan terus
dilaksanakan, baik dari segi manajemen, penyediaan makanan ternak dan
pengadaan bibit unggul.
Namun, dalam upaya untuk mencapai target tersebut, upaya dalam
meningkatkan produksi peternakan tidak terlepas dari masalah reproduksi yang
langsung berpengaruh terhadap kenaikan dan penurunan jumlah atau populasi
hewan ternak. Di Indonesia, khususnya populasi hewan ternak sampai saat ini
masih belum seimbang dengan jumlah yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh
tingginya angka kematian dan pemotongan ternak yang tidak diimbangi dengan
angka kelahiran yang memadai.
Gangguan reproduksi hewan terutamapada sapi perah disebabkan oleh
faktor manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, faktor
genetik dan fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh itu,
pencegahan dan penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena
pada dasarnya penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan
kerugian apabila penyakit menular. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada
sapi diantaranya endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum
persisten dan sistik ovari (Achjadi 2013). Gangguan reproduksi tersebut
menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar yang berdampak terhadap
penurunan pendapatan .
Oleh itu, untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan
memperbaiki kinerja reproduksi. Proses reproduksi yang normal akan diikuti oleh
produktivitas ternak sapi perah yang semakin baik. Menurut Oktaviani (2010),
semakin tinggi kemampuan reproduksi, semakin tinggi pula produktivitas ternak
tersebut. Selain itu, penanggulangan kasus atau penyakit reproduksi perlu
diketahui dengan baik oleh peternak. Dengan mengetahui jenis penyakit dan cara
pengendaliannya, kerugian akibat penyakit dapat ditekan dan keuntungan dapat
dioptimalkan. Menurut Achjadi (2013), dalam upaya mengurangi gangguan
reproduksi pada sapi perah, perlu dilakukan penanggulangan secara
berkesinambungan dan pengembangan kelembagaan pelayanan teknis serta
penyediaan sarana dan prasarana di lapangan.
Perumusan Masalah
Pada usaha ternak sapi perah dapat dijumpai banyak gangguan reproduksi
yang umum terjadi diantaranya hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik
ovari, endometritis, distokia dan abortus. Penyebab terjadinya gangguan
reproduksi berkaitan dengan manajemen sapi perah antara lain faktor pakan,
2
faktor perkandangan, faktor pemeliharaan kesehatan, faktor hormonal, faktor
kecelakaan/traumatik dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa kasus gangguan
reproduksi di BPPT-SP Bunikasih berpunca dari faktor manajemen yang kurang
baik. Upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini tidak didasarkan atas
kasus yang ditemukan. Hal ini tentunya memerlukan upaya penelusuran yang
lebih lanjut untuk mengetahui penyebab utama yang menyebabkan setiap
gangguan reproduksi yang terjadi di BPPT-SP Bunikasih.
Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kasus gangguan reproduksi
sapi perah di Balai Pengembangan dan perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP)
Bunikasih, Cianjur-Jawa Barat dan upaya penanggulangannya. Tujuan penelitian
ini juga adalah untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap penampilan
reproduksi pada sapi perah.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini selain menambah pengetahuan
dan wawasan mahasiswa dalam menganalisa masalah yang berhubungan dengan
reproduksi juga meningkatkan keterampilan dan pengalaman kerja. Manfaat dari
hasil penelitian ini tidak hanya bagi mahasiswa tetapi juga bagi peternak dan
pengelola sebagai sumber informasi tentang pengaturan reproduksi khususnya
dalam penanganan gangguan reproduksi yang sering muncul pada sapi perah.
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah
Kegagalan reproduksi pada ternak baik langsung maupun tidak langsung
dapat mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Tingginya kasus
gangguan reproduksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi
manajemen dan pemberian pakan yang buruk (Achjadi 2013). Beberapa
klasifikasi penyimpangan menurut Noakes (2000) adalah berahi yang tidak
teramati, berulang-ulang, diperpanjang dan tidak teratur, serta menetap dan sering
terjadi. Berdasarkan penyimpangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
deteksi berahi merupakan masalah utama yang menjadi penyebab munculnya
gangguan reproduksi. Kegagalan mendeteksi berahi dimungkinkan karena sapi
adalah hewan yang bersifat non-seasonal poli-berahi, dimana sapi dapat
menunjukkan berahi setiap waktu dengan siklus 10-23 hari (Dradjat 2002).
Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Reproduksi
Keberhasilan suatu peternakan tergantung dari manajemen pemeliharaan
yang dilakukan (Santosa 2004). Beberapa manajemen sapi perah yang penting
dilakukan dan diperhatikan oleh peternak antara lain faktor pakan, faktor
3
perkandangan, faktor pemeliharaan kesehatan, faktor hormonal, faktor aksiden
dan faktor lingkungan.
Faktor pakan
Pengelolaan pemberian pakan dapat dilakukan dengan cara ad libitum
(jumlah yang selalu tersedia) atau diberikan dalam jumlah dibatasi (Santosa 2004).
Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena pakan banyak terbuang
dan yang tersisa menjadi busuk sehingga akan membahayakan ternak bila
termakan. Cara pemberian pakan yang baik yaitu membatasi jumlah pakan namun
dengan kualitas dan kuantitas yang mencukupi kebutuhan.
Sumber pakan sapi perah umumnya dibagi menjadi tiga yaitu hijauan,
konsentrat, dan limbah pertanian (Santosa 2004). Sumber pakan hijauan antara
lain meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang
biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput
benggala (Pennisetum maximum), rumput lapangan, dan rumput signal
(Brachiaria decumbens). Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun
lamtoro, turi, dan gamal. Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan
antara lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau
campuran dari bahan-bahan tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan
untuk pakan antara lain jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.
Kualitas dan kuantitas ransum ternak merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan suatu peternakan sapi perah. Tanpa makanan yang baik
dan dalam jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan
kurang dapat memperhatikan keunggulannya jika makanannya sangat terbatas.
Pakan merupakan faktor utama yang akan mempengaruhi kesehatan tubuh
maupun kesehatan reproduksi ternak (Sudono et al. 2001).
Jumlah pakan hijauan yang diberikan biasanya sekitar 10% sedangkan
konsentrat sekitar 2% dari bobot badan sapi (Suharno dan Nazaruddin 1994).
Pemberian pakan dengan rasio hijauan tinggi akan menstimulasi produksi saliva
dan pH tinggi, sehingga yang tinggi akan meningkatkan produksi asetat dan lemak
susu. Sedangkan rasio konsentrat yang tinggi akan menurunkan produksi saliva
dan meningkatkan fermentasi asam propionat, sehingga dapat menurunkan pH
dan mengurangi asupan pakan karena menurunkan produksi mikroba di rumen
(Kelly 2000).
Arthur (2001) menyatakan bahwa pakan sebagai faktor yang menyebabkan
gangguan reproduksi dan kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangan
suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain.
Sedangkan pada musim kemarau dengan kualitas pakan yang buruk. Sehingga
ternak kekurangan pakan dalam hal komposisi dan nutrisi, bisa mengakibatkan
gangguan reproduksi (Manan 2002).
Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk
mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Suharno & Nazaruddin 1994).Air
berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu
tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus bersih, segar,
jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya. Kebutuhan air minum
dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada bak-bak air di padang
penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.
4
Faktor Perkandangan
Kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan
yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh
kenyamanan (Suharno dan Nazaruddin 1994). Ventilasi berfungi untuk
mengurangi kelembaban dalam kandang, mengurangi organisme penyakit,
mengurangi debu dan udara kotor sehingga mudah diganti dengan udara segar,
mengurangi limbah produksi terutama yang berasal dari kotoran dan urine seperti
amonia, hidrogen sulfida, karbondioksida, dan gas methan (Santosa 2002).
Bangunan kandang sebaiknya dilengkapi dengan sistem drainase atau
pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir lancar.
Lantai kandang diusahakan dibuat dari semen dengan kondisi kedap air dan tidak
licin. Atap sebaiknya dibuat dari genting atau asbes. Peralatan kandang yang perlu
disiapkan antara lain tempat pakan dan minum, serta alat pembersih kandang
seperti sapu lidi dan ember (Suharno dan Nazaruddin 1994).
Faktor Pemeliharaan Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan sapi sangat penting untuk diperhatikan, meliputi
tindakan pencegahan terjadinya penyakit dan penanganan/pengobatan jika sudah
terjadi penyakit. Manajemen kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit dapat
dilakukan dalam beberapa hal, meliputi menjaga kebutuhan pakan dan minum
selalu terpenuhi, sanitasi kandang dari parasit maupun mikroorganisme,
memantau status kesehatan ternak, melakukan pengobatan dini, pencegahan
penyakit dengan menjaga kontak dengan ternak lain yang sakit dan melakukan
vaksinasi, mengkarantina hewan yang baru datang dan melalukan tes beberapa
penyakit yang relevan, serta melakukan pemerahan yang baik dan benar (Andrews
dan Gibson 2000). Salah satu indikator untuk mengamati kesehatan sapi yaitu
melalui tingkah laku sapi (Akoso 1996). Sapi yang sehat akan menampakkan
gerakan yang aktif, sikapnya yang sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap
perubahan situasi sekitar yang mencurigakan.
Tindakan pengobatan dilakukan setelah timbul adanya penyakit. Tindakan
pengobatan dilakukan sesuai dengan penyakit yang menyerang. Obat-obatan yang
biasa digunakan untuk tindakan pengobatan seperti pemberian antibiotik,
antiviral, vitamin, pemberian preparat hormonal, dan lain-lain (Hardjopranjoto
1995). Aplikasi pemberian obat bisa dengan cara peroral, intramuskular,
intravena, implan, dan lain-lain.
Fasilitas kesehatan sebaiknya dilengkapi dengan tempat dipping atau
spraying dan kandang jepit (Santosa 2002). Tempat ini berguna untuk mencegah
dan mengobati penyakit yang disebabkan parasit eksternal dengan cara merendam
atau menyemprotkan antiparasit. Penggunaan dipping juga dilakukan terhadap
puting susu setelah melakukan pemerahan pada sapi perah untuk menghindari
masuknya sumber penyakit melalui puting/ambing. Kandang jepit digunakan
untuk memfiksir/menjepit hewan pada saat memeriksa atau memberikan
perlakuan kesehatan ternak, misalnya vaksinasi dan pengobatan.
Faktor Hormonal
Hormon-hormon yang berfungsi dalam pengaturan fungsi reproduksi
memiliki konsentrasi yang normal dan keseimbangan tertentupada kondisi normal.
Jika terjadi gangguan dalam kadar dan keseimbangan dalam tubuh maka dapat
5
menyebabkan kemajiran pada hewan. Gangguan hormonal pada sapi betina
biasanya terlihat dengan tanda-tanda penyimpangan siklus berahi. Penyimpangan
tersebut antara lain anestrus, siklus estrus yang tidak teratur atau berahi yang
terus-menerus.
Menurut Achjadi (2013), gangguan hormonal meliputi anestrus,
endometritis, distokia, abortus, hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik
ovari dan atrofi ovari. Anestrus merupakan kondisi dimana sapi perah tidak birahi,
hal ini dapat disebabkan karena tidak berkembangnya folikel di ovarium. Ovarium
yang tidak berkembang dapat karena sebab insufiensi gonadotropin dan korpus
luteum persisten. Pada umumnya penanganan pada masalah ini adalah pemberian
hormon gonadotropin terutama FSH dosis tinggi. FSH dapat menghasilkan
terjadinya ovulasi (Putro 2009).
FaktorKecelakaan/Traumatik
Faktor aksiden adalah faktor yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, atau
seperti halnya dengan kecelakaan. Kejadian-kejadian tersebut misalnya distokia
dan abortus. Kejadian-kejadian tersebut dapat membawa akibat kepada kurang
suburnya ternak penderita bila tidak ditangani secara serius. Pemberian pakan
yang berlebihan dapat menyebabkan distokia pada sapi dara karena deposisi
lemak yang berlebihan di daerah pelvis (Sudono et al, 2001).
Faktor Lingkungan
Iklim dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi baik secara Iangsung
maupun tidak langsung. Pengaruh iklim secara langsung misalnya oleh suhu,
kelembaban dan sinar matahari, sedangkan yang tidak langsung dimana ikIim
mempengaruhi mutu makanan dan prevalensi penyakit serta parasit. Dalam
kondisi iklim tropis seperti Indonesia, maka periode estrus menjadi lebih singkat
(Toelihere 1985).
Iklim dapat mempengaruhi waktu pubertas, lama estrus, sistem hormonal,
kejadian abnormalitas dari ovarium pada sapi betina. Iklim dan pertumbuhan
rumput di daerah tropis mempengaruhi produksi dan reproduksi, terutama pada
sapi dara dimana pada musim hujan yang berkisar antara bulan Juli sampai
Oktober banyak sapi yang bunting. Sedangkan pada musim kemarau aktifitas
reproduksi menurun, karena udara yang terlalu panas disamping jumlah makanan
yang relatif berkurang.
Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah
Hipofungsi ovari
Hipofungsi ovari adalah ketidakmampuan ovarium dalam melakukan
fungsinya yang umumnya diakibatkan karena sapi perah mengalami kekurangan
gizi. Gejala klinis yang paling jelas terlihat dari hipofungsi ovari adalah anestrus
(Khamas 2011). Untuk diagnosa dilakukan dengan cara palpasi perektal
sedangkan pengobatannya dapat dilakukan dengan pemberian preparat hormonal
(FSH/LH) dan memperbaiki pakan yang diberikan kepada ternak sapi perah
(Hardjopranjoto 1995). Penyebab umum terjadinya hypofungsi adalah jumlah dan
kualitas pakan (Achjadi 2013).
6
Terapi hormonal lain yang dapat dilakukan pada kasus sapi hipofungsi
ovari melalui penyuntikan hormon gonadotropin untuk merangsang tumbuhnya
folikel karena pada keadaan hipofungsi tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel
apalagi CL (Pemayun 2009).
Menurut Lopez-gatius et al. (2004) pada sapi hipofungsi ovari yang diterapi
dengan progesteron selama 9 hari kemudian pada hari ke-8 diberikan
prostaglandin akan menghasilkan respon estrus yang selalu lebih dari 60% dan
tingkat kehamilan hampir sama dengan hasil inseminasi sapi yang memiliki siklus
estrus normal. Sedangkan jika sapi diterapi dengan GnRH (gonadotropin
releasing hormon) respon estrus sangat rendah sekitar 30%.
Korpus Luteum Persisten (CLP)
Korpus luteum persisten merupakan gangguan reproduksi karena corpus
luteum tidak mengalami regresi dan tetap tinggal di ovarium dalam jangka waktu
lama meskipun hewan tidak bunting (Hardjopranjoto 1995). Gejala klinis dari CLP
yang dapat diamati yaitu tidak diketahuinya tanda berahi pada beberapa siklus
berahi. Diagnosa untuk mengetahui CLP dengan cara melakukan palpasi perektal
dan mengumpulkan keterangan dari peternak berkaitan dengan kondisi sapi yang
dipelihara.
Corpus luteum yang tetap besar ukurannya dan tetap berfungsi menghasilkan
progesteron. Progesteron tinggi sehingga sekresi FSH dan LH dihambat folikel
tidak tumbuh menyebabkan anestrus karena estrogen dihambat. CLP dapat muncul
karena adanya patologi uterus seperti pada kasus endometritis. Adanya patologi
uterus dapat memperpanjang memperpanjang masa hidup korpus luteum. CLP
dapat muncul pada kondisi mastitis dan keseimbangan energi negatif. Kedua
faktor ini dapat memperpanjang fase luteal sehingga akan mempengaruhi produksi
PGF-2 dan mengakibatkan munculnya CLP (Magata et al. 2012).
Terapi yang dapat dilakukan pada kasus CLP adalah dengan menyuntikkan
PGF-2 (prostaglandin). Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan
menghilangkan korpus luteum secara manual, namun cara ini berisiko tinggi
menyebabkan ovaritis. Jika CLP disebabkan oleh patologi uterus seperti
endometritis, maka pengobatan yang perlu dilakukan adalah menanggulangi
patologi uterus tersebut terlebih dahulu, selanjutnya dapat diberikan PGF-2 untuk
mempercepat proses regresi korpus luteum (Noakes et al. 2008).
Sistik Ovari
Menurut Arthur (2001), ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu
atau lebih cairan yang menetap mengisi ruangan (folikel), lebih besar dari folikel
matang. Cairan sistik ovari mengandung estrogen dan steroid-steroid lainnya,
sarna dengan yang terkandung dalam folikel normal. Tetapi konsentrasi estrogen
tidak normal pada cairan sistik ovari. Waktu kejadian sistik ovari biasanya adalah
dari bulan ke 1 - ke 4 post partus, dengan waktu puncak pada hari ke 15 - 45 post
partus dan metoda pengobatan sistik ovari adalah dengan memakai preparat
GnRH dikombinasikan dengan PGF2Alpha.
Endometritis
Endometritis merupakan peradangan pada endometrium, dan apabila
terjadi pengumpulan sejumlah eksudat purulen dalam lumen uterus disebut
7
dengan piometra (Ratnawati et al. 2007). Endometritis terjadi karena kelanjutan
kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensio sekundinae, kelahiran
prematur, distokia, dan penanganan kelahiran yang tidak lege artis. Selain itu juga
bisa terjadi karena infeksi yang diakibatkan karena perkawinan alam, yaitu betina
terinfeksi dari pejantan yang menderita penyakit seperti brucelosis, trichomoniasis,
dan vibriosis. Pelaksanaan inseminasi buatan intrauterin juga mempunyai resiko
terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri atau mikroba lain terbawa
oleh alat inseminasi karena pelaksanaan IB yang tidak lege artis, atau terbawa
oleh semen. Adanya infestasi mikroorganisme tersebut mengakibatkan terjadinya
peradangan pada endometrium, sehingga terjadilah endometritis (Hardjopranjoto
1995).
Penderita endometritis biasanya tampak lesu, menahan rasa sakit, suhu
subnormal atau diatas normal (40-410c), produksi turun, atoni rumen, diare,
dehidrasi, anoreksia, urinasi, pernapasan cepat dan denyut jantung lemah
(Subronto dan Tjahajati 2001). Kejadian endometritis dapat dicegah dengan
memperlihatkan program kesehatan yang rutin seperti penanganan prepartus,
partus dan postpartus (Dohmen 1995). Sedangkan cara penanganannya dengan
menggunakan antibiotik oksitetrasiklin dikombinasikan dengan preparat estrogen
dan PGF2 memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
antibiotik atau hormon secara sendiri-sendiri (Achjadi 2013).
Distokia
Distokia merupakan gangguan reproduksi dimana hewan sulit atau
mengalami perpanjangan waktu partus dibandingkan secara normal. Kejadian
distokia biasanya menyerang pada sapi dara yang baru melahirkan pertama kali
(primipara) (Schuenemann 2012). Kejadian kasus dapat berasal dari induk
maupun fetus. Faktor dari induk dikarenakan adanya ketidak sesuaian pada jalan
kelahiran. Sedangkan faktor fetus biasanya dikarenakan ukuran dari fetus maupun
posisi fetus yang yang abnormal (Ball dan Peters 2004). Menurut Whittier et al.
(2009), penyebab distokia umumnya dikarenakan maternal/ukuran fetus yang
berlebih, posisi fetus yang abnormal, dilatasi serviks yang tidak sempurna,
terjadinya inersia uterus (kondisi uterus yang tidak kontraksi atau karena
kelelahan), terjadinya torsio uterus, fetus yang kembar, dan fetus yang abnormal.
Sapi yang memiliki bobot badan yang berlebihan atau penurunan bobot
badan yang berlebihan selama trimester terakhir kehamilan sangat rentan
mengalami distokia (Schuenemann 2012). Oleh karena itu, manajemen nutrisi
yang tepat selama kehamilan penting untuk mengurangi resiko terjadinya distokia.
Selain itu juga dapat dilakukan pemilihan indukan ketika inseminasi buatan yaitu
dengan mengeliminasi sapi indukan yang memiliki panggul (pelvis) yang kecil
dan memilih indukan yang telah terbukti mudah dalam proses melahirkan. Pada
sapi perah kejadian kemungkinan terjadinya distokia lebih besar pada sapi dara
jika dibandingkan dengan sapi tua (Meyer et al. 2001).
Umumnya distokia meningkatkan kejadian lahir mati (stillbirth) yaitu
kematian pedet kurang dari 24 jam setelah proses kelahiran dan kematian pedet
dalam waktu 30 hari setelah kelahiran (Mee 2004). Distokia meningkatkan
kemungkinan terjadinya trauma (seperti paresis), gangguan uterus, dan penurunan
produksi susu (Eaglen et al. 2011).
8
Penarikan paksa fetus dilakukan untuk menangani kasus ini. Tindakan ini
dilakukan dengan cara mengikat kaki depan fetus yang sudah keluar untuk
menarik fetus dan pelicin di daerah vulva. Pemberian antibiotik bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi karena proses kelahiran yang tidak steril dan
pemasukan benda-benda tidak steril ke dalam saluran reproduksi seperti tali untuk
menarik fetus. Pemberian multivitamin sebagai pencegahan kurangnya asupan
vitamin dan memulihkan stamina sapi setelah melahirkan. Penanganan pada
kasus distokia dapat dilakukan dengan mutasi, apabila uterus melemah dapat
dilakukan penarikan paksa, fetotomi atau pemotongan fetus, dan bila semua cara
tidak berhasil dapat dilakukan operasi sesar (Ratnawati et al. 2007).
Abortus
Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan
fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur adalah
pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan dengan fetus yang sanggup
hidup sendiri di luar tubuh induk (Toelihere 1985).
Abortus dapat terjadi pada berbagai umur kebuntingan dari 42 hari sampai
saat akhir masa kebuntingan. Abortus dapat terjadi bila kematian fetus di dalam
uterus disertai dengan adanya kontraksi dinding uterus sebagai akibat kerja secara
bersama-sama dari hormon estrogen, oksitosin, dan prostaglandin F2α pada waktu
terjadinya kematian fetus itu. Oleh karena itu fetus yang telah mati terdorong
keluar dari saluran alat kelamin (Hardjopranjoto 1995).
Malnutrisi untuk waktu yang lama menyebabkan penghentian siklus birahi
dan kegagalan konsepsi.Defisiensi makanan dan kelaparan yang parah dapat
menyebabkan abortus (Toelihere 1985).
METODE
Metode yang digunakan adalah menggunakan metode survei deskriptif
dengan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari pihak manajemen Balai
Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP) Bunikasih, Cianjur-Jawa
Barat dalam tiga tahun terakhir (2011, 2012 dan 2013). Data-data yang diperoleh
diolah dan dianalisa berdasarkan analisis deskriptif, yang disajikan dalam bentuk
tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Sejarah dan Keadaan Umum Peternakan
Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPT-SP Bunikasih)
sebelum tahun 1994 berlokasi di Ciseureuh-Loji, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Cianjur, dengan BPT-HMT atau Balai Pengembangan Ternak dan Hijau Makanan
ternak sejak 1994 berpindah lokasi ke Padalengsar Desa Bunikasih, Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, dengan nama BPPT-SP Bunikasih Cianjur.
9
Tugas pokok dan fungsi balai ini diatur menurut Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat adalah melaksanakan sebagian fungsi Dinas di bidang pemgembangan
perbibitan ternak sapi perah serta memiliki fungsi dalam pengelolaan
pengembangan perbibitan sapi perah. Di samping fungsi tersebut juga balai
mempunyai fungsi sebagai sumber bibit ternak dan hijauan makanan ternak,
tempat percontohan, uji coba teknologi terapan, tempat pelatihan/magang bagi
petugas, peternak maupun masyarakat umum.
Pada tahun 1997-2002, BPPT-SP Bunikasih telah melaksanakan kerjasama
dengan JICA-Pemerintah Jepang melalui Proyek Peningkatan Teknologi Sapi
Perah (Dairy Technologi Improvement Project) dengan kegiatan yang mencakup
empat jenis teknologi yaitu pakan dan tata laksana sapi perah, kesehatan
reproduksi, kesehatan pemerahan, serta produksi dan pemanfaatan hijauan (Profile
BPPT-SP Bunikasih 2013).
Lokasi dan Tata Letak Peternakan
Kawasan usaha peternakan Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi
Perah (BPPT-SP Bunikasih) berlokasi di Kampung Padalengsar, Desa Bunikasih,
Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, yang menempati luas areal
keseluruhan 22 ha. Luas areal tersebut digunakan untuk kebun rumput seluas 19.9
ha, bangunan (kandang, perkantoran, perumahan dan lain-lain) seluas 1.3 ha,
exercise ternak seluas 0.26 ha, jalan seluas 0.2 ha, kebun bambu 0.025 ha dan lainlain 0.65 ha. Jarak antara lokasi BPPT Sapi Perah dan jalan utama propinsi sekitar
7 km. Kondisi jalan tidak baik sehingga diperlukan waktu sekitar 20 menit untuk
mencapai lokasi tersebut dari jalan utama.
Letak geografis peternakan berada pada posisi 6 50 00 50’’ Lintang Selatan
dan 107 03’02,52’’ Bujur Timur. Kondisi topografis bergelombang dengan
ketinggian 900 s/d 950 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 18-22
o
c per hari per tahun dengan kelembaban 85%. Curah hujan rata-rata 266 mm per
tahun pada musim hujan dan 51 mm per tahun pada musim kemarau (Profile
BPPT-SP Bunikasih 2013).
Perkembangan Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih
Perkembangan populasi merupakan pengukuran yang paling sering
dilakukan terhadap produktifitas sapi perah, dimana perkembangan peternakan
juga sangat berpengaruh dari populasi ternak. Jumlah populasi sapi perah dari
tahun 2011 hingga 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih dari tahun 2011-2013.
Jenis Ternak
Anak Jantan
Anak Betina
Dara
Betina Dewasa
Jumlah
2011 (ekor)
14
16
26
82
138
Tahun
2012 (ekor)
15
14
38
36
103
2013 (ekor)
8
7
61
56
132
10
Jumlah Populasi
100
82
80
61 56
60
40
20
14 16
38 36
26
15 14
anak jantan
anak betina
8 7
dara
betina dewasa
0
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih.
Dapat dilihat pada gambar 1 populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih pada
tahun 2011 sebanyak 138 ekor termasuk anak jantan, anak betina, dara dan betina
dewasa. Pada tahun 2012, populasi sapi perah menurun menjadi 103 ekor. Namun,
pada tahun 2013 populasi sapi perah meningkat menjadi 132 ekor. Berdasarkan
data populasi sapi perah di BPPT-SP Bunikasih yang terlihat fluktuatif
dipengaruhi oleh adanya impor sapi perah dan kelahiran dari sapi-sapi impor
tersebut.
Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih
Terdapat banyak penyakit yang umum terjadi pada ternak sapi perah
diantaranya hipofungsi ovari, korpus luteum persisten, sistik ovari, endometritis,
distokia dan abortus. Di BPPT-SP Bunikasih beberapa penyakit tersebut
merupakan penyakit yang sering muncul. Kejadian penyakit yang sering muncul
pada sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih tahun 2011- 2013.
Jenis gangguan
reproduksi
2011 (ekor)
Hipofungsi ovari
16
Corpus luteum
14
Persisten (CLP)
Sistik ovari
9
(Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2013)
Tahun
2012 (ekor)
10
6
2013 (ekor)
7
5
4
2
Hipofungsi Ovari
Dapat dilihat pada tabel 2 kasus hipofungsi ovari pada tahun 2011 sebanyak
16 ekor, 2012 sebanyak 10 ekor dan 2013 sebanyak 7 ekor. Hipofungsi ovari
adalah ketidakmampuan ovarium dalam melakukan fungsinya yang umumnya
diakibatkan karena sapi perah mengalami kekurangan gizi. Gejala klinis yang
paling jelas terlihat dari hipofungsi ovari adalah anestrus (Khamas 2011).
Penanggulangan yang dilakukan di BPPT-SP Bunikasih terhadap sapi perah
yang mengalami hipofungsi ovari adalah dengan melakukan penempatan terpisah
11
agar sapi mendapatkan tambahan pakan khusus untuk membantu nutrisi ternak.
Pemberian vitamin ADE juga dilakukan selain melakukan massase pada ovarium
secara lembut untuk merangsang sirkulasi darah disekitar ovarium. Melakukan
masase pada ovarium dapat merangsang pelepasan prostaglandin, oksitoksin dan
hormon peptida lainnya (Hunter 1995).
Achjadi (2013) menyatakan bahwa faktor manajemen sangat erat
hubungannya dengan faktor pakan atau nutrisi. Jika tubuh kekurangan nutrisi
terutama untuk jangka waktu yang lama maka akan mempengaruhi fungsi
reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan akhirnya produktivitasnya
rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga
produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteonizing Hormone (LH) rendah, akibatnya ovarium tidak berkembang
(hipofungsi). Pada kasus hipofungsi dilakukan perbaikan kualitas dan kuantitas
pakan serta pemberian preparat FSH dan LH.
Korpus Luteum Persisten (CLP)
Kasus kedua yang ditemukan di BPPT-SP Bunikasih adalah CLP sebanyak
14 ekor pada tahun 2011, tahun 2012 sebanyak 6 ekor dan tahun 2013 sebanyak 5
ekor. Korpus luteum persisten (CLP) merupakan kejadian tertahannya corpus
luteum di ovarium oleh tertahannya prostaglandin dari uterus oleh sebab-sebab
tertentu (Arsyad & Yudistira 2011). Corpus luteum yang tetap besar ukurannya
dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Progesteron tinggi sehingga sekresi
FSH dan LH dihambat folikel tidak tumbuh menyebabkan anestrus karena
estrogen dihambat.
Pengobatan yang telah dilakukan di BPPT-SP Bunikasih pada kasus CLP
adalah dengan menyuntikkan PGF2 (prostaglandin) secara intrauterin dengan
tujuan mempermudah regresi korpus luteum persisten. Cara lain juga dilakukan
dengan menghilangkan korpus luteum secara manual. Partodiharjo (1992)
menyatakan penyingkiran korpus luteum persisten dengan penyuntikan PGF2
yang menyebabkan luteolisis yaitu degenerasi corpus luteum.
Sistik Ovari
Kasus ketiga yaitu sistik ovari di BPPT-SP Bunikasih sebanyak 9 ekor
pada tahun 2011, tahun 2012 sebanyak 4 ekor dan tahun 2013 sebanyak 2 ekor.
Menurut Arthur (2001), ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau
lebih cairan yang menetap mengisi ruangan (folikel), lebih besar dari folikel
matang. Cairan sistik ovari mengandung estrogen dan steroid-steroid lainnya,
sarna dengan yang terkandung dalam folikel normal. Tetapi konsentrasi estrogen
tidak normal pada cairan sistik ovari. Penyebab terjadinya sistik ovari adalah
gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Adanya sistik tersebut
menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi
mengalami regresi atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat,
Penanganan yang dilakukan di BPPT-SP Bunikasih pada kasus sistik ovari
yaitu dengan memecah kista secara manual, pemberian prostaglandin dan
penyuntikan LH. Penanganan kasus sistik ovari dilakukan dengan pemberian
preparat LH dan PGF2 untuk merangsang ovulasi atau dilakukan pemecahan
kista secara manual melalui palpasi rektal tetapi cara ini dapat menyebabkan
terjadinya radang pada ovarium (Arsyad & Yudistira 2011).
12
Kasus Kebidanan dan Peradangan Sapi Perah di BPPT-SP Bunikasih
Berdasarkan gejala yang diamati di BPPT-SP Bunikasih didapatkan
beberapa kasus kebidanan seperti distokia dan abortus, serta kasus peradangan
seperti endometritis sebagaimana terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kasus Gangguan Reproduksi di BPPT-SP Bunikasih pada tahun 20112013.
Gangguan
reproduksi
2011 (ekor)
Endometritis
8
Distokia
5
Abortus
1
(Sumber : BPPT-SP Bunikasih 2013)
Tahun
2012 (ekor)
6
3
5
2013 (ekor)
4
5
1
Endometritis
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat pada tahun 2011 sebanyak 8 ekor sapi
perah yang mengalami endometritis, 2012 sebanyak 6 ekor dan 2013 sebanyak 4
ekor. Endometritis merupakan gangguan reproduksi yang biasa terjadi dalam
waktu dua minggu dan/atau dua puluh hari post partus, khususnya partus yang
abnormal (Achjadi 2013) dan merupakan peradangan pada lapisan mukosa uterus
(Boden 2005).
Pengobatan dilakukan di BPPT-SP Bunikasih terhadap kasus endometritis
adalah dengan memberikan preparat antibiotik yang dimasukkan melalui gun IB
serta preparat hormon prostaglandin. Menurut Andrews et al. (2004) terdapat tiga
pengobatan yang umum digunakan, yaitu dengan menggunakan prostaglandin
secara parenteral atau analognya, estrogen, dan antibiotik intrauterin. Penggunaan
prostaglandin bertujuan untuk meningkatkan efek myometrium secara langsung
sehingga dapat meningkatkan kontraksi uterus dan mengeluarkan cairan dan
debris dari dalam uterus (discharge). Penggunaan estrogen didasarkan pada
pengetahuan bahwa uterus lebih tahan terhadap infeksi selama estrus (dominan
estrogen), namun terapi ini masih menjadi perdebatan di beberapa negara.
Distokia
Kasus distokia yang terjadi pada tahun 2011 sebanyak 5 ekor, 2012
sebanyak 3 ekor dan 2013 sebanyak 5 ekor. Distokia merupakan gangguan
reproduksi dimana hewan sulit atau mengalami perpanjangan waktu partus
dibandingkan secara normal. Kejadian distokia biasanya menyerang pada sapi
dara yang baru melahirkan pada pertama kali (primipara) (Schuenemann 2012).
Penanganan yang dilakukan berupa penarikan paksa fetus. Induk sapi
diberikan antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena proses
kelahiran yang tidak steril dan pemasukan benda-benda tidak steril ke dalam
saluran reproduksi seperti tali untuk menarik fetus. Penanganan pada kasus
distokia dapat dilakukan dengan mutasi, apabila uterus melemah dapat dilakukan
penarikan paksa, fetotomi atau pemotongan fetus, dan bila semua cara tidak
berhasil dapat dilakukan operasi sesar (Ratnawati et al. 2007).
13
Abortus
Berdasarkan tabel 3 di atas maka dapat diketahui jumlah kasus kejadian
abortus yang terjadi pada tahun 2011 sebanyak 1 ekor, tahun 2012 sebanyak 5
ekor dan tahun 2013 sebanyak 1 ekor. Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum
akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan
kelahiran prematur adalah pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan
dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk (Toelihere 1985).
Menurut Hardjopranjoto (1995) upaya yang sering dilakukan adalah
mengurangi jumlah kejadian dengan membatasi penularan antar ternak, dengan
manajemen dan sanitasi sebaik mungkin serta pelaksanaan terapi secara cepat dan
tepat. Bagi menangani kasus abortus, petugas melakukan irigasi yaitu
membersihkan sisa-sisa abortus di uterus terlebih dahulu sebelum memberikan
antibiotik secara intrauterin. Pencegahan terjadinya abortus dilakukan dengan
peningkatan perhatian dalam pemeliharaan pada sapi bunting terutama pada
pemberian pakan , sanitasi serta menghindar terjadinya trauma dan stress.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingginya kasus gangguan reproduksi dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain pakan, perkandangan, pemeliharaan kesehatan, hormonal,
kecelakaan/traumatik dan lingkungan. Manajemen dan penanganan gangguan
reproduksi di BPPT-SP Bunikasih perlu diperbaiki untuk meningkatkan
produktifitas dan populasi sapi perah.
Saran
Diperlukan upaya perbaikan dalam manajemen kesehatan reproduksi di
BPPT-SP Bunikasih melalui peningkatan kualitas SDM, sarana prasarana serta
aspek kelembagaannya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Reproduksi dan Biosekuriti. Makalah
Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia. Yogyakarta.Juni 2013.
Akoso BT. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG. 2004. Bovine Medicine Diseases
and Husbandary of Cattle 2nd Ed. Oxford: Blackwell Publishing.
Andrews AH, Gibson LAS. 2000. Disease security. Di dalam: Andrews AH,
editor. The Health of Dairy Cattle. USA: Blackwell Science. Chapter 12.
Halm: 328-346.
Arsyad dan Yudistira. 2011. Penanganan Kesehatan Hewan. Kasus Gangguan
Reproduksi Pada Ternak Sapi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Lampung.
Arthur GH, David EN, Pearson H. 2001. Veterinary Reproduction and
Obstetrics.8th ed. Balliere Tindall.London (US).
Ball PJ and Peter AR. 2004. Reproduction in Cattle.3rd ed. Blackwell Science, Inc.
Boden E. 2005. Blacks Veterinary Dictionary. London : A & C Black.
Dohmen MJW, Lohuis JACM, Huszenicza G, Nagy P, Bacs M. 1995.
TheRelationships Between Bacteriological and Clinical Finding in
Cowwith Subacuta / Chronica Endometritis. Theriogenology 43 : 13741388.
Dradjat AS. 2002. Penampilan Reproduksi Sapi Bali dengan Menggunakan
Inseminasi Buatan di Kecamatan Gerung, Lombok Barat. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Peternakan Juni 2002: 1(1).
Eaglen S, Coffey M, Woolliams J, Mrode R, dan Wall E. 2011. Phenotypic
Effects of Calving Ease on The Subsequent Fertility and Milk production
of Dam and Calf in UK Holstein-Friesian Heifers. Jurnal Dairy Science.
94: 5413-5423.
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak.Airlangga University Press.
Surabaya.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Penerbit ITB Bandung dan Penerbit Universitas Udayana, Bandung.
Kelly J. 2000. Nutrition of dairy cow. USA: Blackwell Science. Chapter 3. Halm:
50-51.
Khamas DJ. 2011. Hormonal Treatments of Inactive Ovaries of Cows and
Buffaloes. Jurnal Veterinary Science. 44 (2): 7-13.
Lopez-Gatius F, Santolaria P, Yaniz JL, dan Hunter RHF. 2004. Progesterone
Supplementation During the Early Fetal Period Reduces Pregnancy Loss
in High-Yielding Dairy Cattle. Theriogenology 62: 1529–1535.
Magata F, Shirasuna K, Struve K, Herzog K, Shimizu T, Bollwein H, dan
Miyamoto A. 2012. Gene Expressions in The Persistent Corpus Luteum on
Dairy Cattle: Distinct Profile From The Corpora Lutea of The Estrous
Cycle and Pregnancy. Jurnal reproduction and development 58(4):
4450452.
Manan D. 2001. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Departeman Pendidikan Nasional,
Banda Aceh.
15
Meyer CL, Berger PJ, Koehler KJ, Thompson JR, dan Sattler CG. 2001.
Phenotypic Trends in Incidence of Stillbirth for Holsteins in The United
States. Jurnal Dairy Science. 84: 515-523.
Noakes DE. 2000. Fertility and Infertility. Adrews AH, editor. BlackWII
Publishing. USA. 137-146.
Noakes DE, Pearson H, Parkinson TJ. 2008. Arthur’s Veterinary Reproduction
and Obstetric. Philadelphia (US): Saunders.
Oktaviani TT. 2010. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Frisien Holstein
(PFH) Di Kecamatan Musuk Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Partodiharjo A. 1995. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan Ke 3. Mutiara, Jakarta.
Pemayun TGA. 2009. Induksi Estrus dengan PMSG dan GnRH pada Sapi Perah
Periode Anestrus postpartum. Bull Veteriner Udayana. 2: 1.
Putro PP. 2009.Manajemen Kesehatan dan Reproduksi Sapi Perah. Hand Out
Kuliah. Bagian Reproduksi dan Obstetri FKH UGM
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Santosa U. 2004. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Schuenemann GM. 2012. Calving Management in Dairy Herds: Timing of
Intervention and Stillbirth. Ohio (USA): The Ohio State University.
Sudono A, Roodiana RF, Setiawan BS. 2001. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Bogor (ID). Agromedia Pustaka.
Subronto dan Tjahajati . 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Suharno B, Nazarudin. 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Toelihere MR. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak dan Kerbau.Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Whittier WD, Currin NM, Currin JF, Hall JB. 2009. Calving emergencies in beef
cattle: identification and prevention. Virginia Cooperation Extension
Publication 400-018.
16
RIWAYAT HIDUP
Norafizah Binti Matli dilahirkan di Sabah, Malaysia pada tanggal 21
Oktober 1985 dari pasangan Matli Bin Ayub dan Dg Rosnani Pg Sapiah. Penulis
merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara.
Pada tahun 1997 penulis lulus dari Sekolah Rendah Kebangsaan
Mandahan, tahun 2002 lulus Sekolah Menengah Kebangsaan Bongawan Sabah
dan tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa FakultasKedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi seperti
Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI) Cabang Bogor
serta (KULN) Kelab Umno Luar Negara Cabang Bogor.
Download