BAB V EPILOG 5.1 Kesimpulan Penggunaan istilah ‘ambivalensi’ untuk menyebut dwifungsi Bentara Budaya Yogyakarta: fungsi kultural dan fungsi ekonomi; memang lebih populer digunakan oleh Homi K. Bhabha dalam kajian post-colonialism. Ketika istilah ‘ambivalensi’ merujuk pada sebuah kondisi ‘mengambang’, buram, sebuah pertentangan yang tidak saling menentang, maka fenomena dwifungsi yang terjadi pada tubuh BBY jelas mengindikasikan gejala serupa ambivalensi. Sebagaimana telah sedikit disinggung pada paparan yang tertera di Bab I, Bourdieu sendiri mengamini adanya ambivalensi motif ekonomi di dalam benda-benda kultural (karya seni) yang ia sebut sebagai arena ekonomi terbalik. Di dalam arena ini, Bourdieu berpendapat bahwa harga sebuah lukisan tidaklah ditentukan berdasarkan proses produksi pembuatan lukisan tersebut dari sisi teknis. Melainkan ada mekanisme produksi ‘harga’ yang dibuat oleh makelar kultural, pemiliki galeri seni, kurator, kritikus seni dan bahkan oleh si konsumen benda seni sekalipun. ‘Harga’ ini muncul sebagai hasil dari berbagai kalkulasi semesta faktor-aktor yang telah penulis jelaskan dalam bingkai analisis penciptaan distingsi. Bourdieu melihat bagaimana bisnis seni yang dijalankan dealer-dealer seni, gedung pertunjukan dan penerbit buku-buku sastra mampu mendatangkan limpahan materi atas penjualan benda-benda seni yang secara material tidak berharga (priceless). Motif ekonomi diendapkan di dalam sebuah karya seni dengan nilai produksi yang sesungguhnya ditentukan oleh sebuah sistem kepercayaan, legitimasi, konsekrasi dan penilaian-penilaian immaterial. Bentara Budaya Yoyakarta memang bukanlah sebuah galeri seni yang mengakomodasi transaksi jual-beli karya seni sebagaimana galeri seni yang menjadi objek kajian Bourdieu. Bangunan ini murni difungsikan sebagai ruang pameran dan pertunjukan seni semata. Namun dibalik penyangkalan motif ekonomi yang dilakukan BBY dan Kompas melalui kegiatan seni yang sama sekali tidak melibatkan ‘kuitansi pembayaran’ di dalamnya, ada upaya Kompas mempergunakan BBY sebagai salah satu saluran bisnisnya. Tidak dalam artian sebagai mesin pencetak uang layaknya Koran Kompas atau toko buku Gramedia, melainkan sebagai bentuk ‘investasi sosial’ Kompas sebagai perusahaan yang sedang melaksanakan kegiatan CSR. Di sinilah letak kesamaan ambivalensi antara perspektif Bourdieu terhadap sebuah karya seni dengan perpektif penulis dalam melihat BBY sebagai produk CSR Kompas. Apa yang disebut Bourdieu sebagai ‘bisnis kepercayaan’ ini bekerja dengan melibatkan pertarungan antara ‘faktor produksi’ kasat mata bernama modal kultural, modal sosial dan modal simbolik sebagai perwujudan kegiatan tawar-menawar dalam transaksi ekonomis. Yang perlu menjadi catatan dalam ambivalensi ini adalah bagaimana Bentara Budaya Yogyakarta menjalankan fungsi dan perannya sebagai produk CSR Kompas Gramedia. Di satu sisi ia merupakan sebuah galeri seni dengan sosok Sindhunata sebagai seorang kurator di gedung kesenian tersebut. Statusnya sebagai jurnalis amat berpengaruh pada marka kesenian di BBY. Wujud nyata habitus kewartawanannya sangat terasa saat kita menilik ekses kegiatan kesenian di BBY yang mudah ‘dicerna’, dekat dengan narasi keseharian pengunjung (kontekstual) dan melalui penerbitan katalog kesenian BBY yang bergaya reportatif. Sebagai representasi modal kultural Kompas, BBY memberikan seperangkat pengetahuan kepada pengunjung melalui kegiatan kesenian yang bertemakan lawasan dan kesenian yang memotret kondisi sosial politik keseharian. Beberapa hasil wawancara menunjukan bahwa kesenian di BBY berhasil mengedukasi pengunjung melalui kegiatan yang selain menghidupkan nuansa retro dalam kehidupan mereka, ada injeksi pemahaman tentang kondisi sosial masyarakat melalui serentetan kegiatan yang dibungkus dengan seni tradisi maupun kontemporer. Selain itu, hasil wawancara dengan beberapa pengunjung juga menjelaskan bagaimana Bentara Budaya Yogyakarta menjadi tempat yang memberikan pengunjung sebuah modal sosial. Mereka bisa berkenalan atau lebih dekat dengan para seniman maupun dengan orang-orang lain yang mempunyai ketertarikan yang sama terhadap seni atau isu tertentu. Ini adalah fungsi Bentara Budaya Yogyakarta dalam spektrum kultural terkait perannya sebagai galeri seni. Namun di sisi yang lain, Bentara Budaya Yogyakarta adalah mesin pencetak imej korporat. Sebuah topeng protagonis yang digunakan Kompas dalam kesehariannya. Melalui BBY sebagai modal kulturalnya, terselip upaya Kompas untuk menggiring persepsi publik untuk tetap mengingat ‘nama’ Kompas di luar kegiatan bisnis utamanya sebagai korporasi media dan penerbitan buku. Upaya ini setidaknya melibatkan tiga saluran sebagai representasi Kompas atas penguasaannya terhadap dua modal. Pertama, melalui acara-acara kesenian di BBY itu sendiri, diantaranya Pasar Yakopan, Benny & Mice dan Pameran ilustrasi cerpen Kompas. Kedua, melalui figur seorang Sindhunata yang menjabat sebagai kurator Bentara Budaya Yogyakarta dengan estetika jurnalisme sebagai senjata utamanya. Dua saluran tersebut adalah manifestasi dari kekuatan modal kultural Kompas. Sedangkan saluran ketiga yakni publikasi Bentara Budaya melalui televisi Kompas TV, melalui koran Kompas, melalui website koran Kompas dsb, adalah perwujudan dari kekuatan modal ekonomi Kompas. Sekilas, Bentara Budaya Yogyakarta tak ubahnya penjual ‘tangan kedua’ dari produk-produk yang menjadi barang dagangan Kompas. Proses dialektis antara kepentingan kultural dengan kepentingan ekonomi di dalam kegiatan kesenian di BBY pada akhirnya melahirkan sebentuk modal kultural yang baru. Jika ditarik ke dalam ambivalensi ideologis terkait motif kegiatan CSR dengan tali teori milik Bourdieu, modal kultural yang baru tersebut bisa dikonversikan kembali menjadi sebuah modal ekonomi yang tidak harus selalu berwujud material. Dalam paradigma CSR, istilah profit bisa diterjemahkan sebagai citra, persepsi publik, tingkat keterkenalan sebuah brand perusahaan tertentu. Piagam penghargaan berwujud Anugerah Adhikarya Rupa dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi bukti keberhasilan Kompas mendapatkan citra positif sebagai salah satu korporasi yang aktif serta pada perkembangan jagad kesenian nasional. Sifat penelitian yang beraliran kualitatif jelas tidak memadai untuk melacak pembuktian lebih jauh perihal bentuk konkret keuntungan yang di dapat oleh Kompas melalui BBY. Karena apa yang ingin dicari dalam penelitian ini, sebagaimana kaki teoritik Bourdieu, adalah untuk menjelaskan posisi dan fungsi Bentara Budaya Yogyakarta dari ambivalensinya: sebuah galeri seni yang dimiliki Kompas sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Dengan menyelenggarakan kegiatan sosialnya berwujud Bentara Budaya Yogyakarta, secara simultan, Kompas mengendapkan misi-misi ekonomis yang pada akhirnya bermuara pada korporasi itu sendiri. Penulis mengajak pembaca untuk berpikir di dua ruang, menginjak dua kutub ambivalensi terkait maksud dan tujuan kegiatan CSR: kubu neoliberal versus anti neoliberal atau civil society; antara kepentingan kultural dan atau kepentingan ekonomi. 5.2 Catatan Kritis Sebagai seorang akademisi Sosiologi, sudah merupakan keharusan untuk tidak berpikir taken for granted pada semua hal yang terhampar di muka. Bukan dalam nosi untuk selalu bertindak resisten terhadap apapun. Perlu pembuktian empiris dan teoritis dalam menyikapi, semisal, persoalan dilematis di atas secara berimbang. Proses menuju sikap berimbang tersebut tentu tidak akan semudah seperti penulis menekan tombol huruf dalam papan ketik. Pedagogis yang berkelanjutan dan mendalam mutlak diperlukan untuk menanamkan sikap bijak dalam berpikir terutama saat dihadapkan pada persoalan yang tidak hanya ambivalen, bahkan yang sifatnya kontradiktif atau vis-a-vis. Berpikir secara Sosiologis bukan berarti memandang secara skeptis. Ada limitasi yang jelas antara dua istilah berima di atas. Sebuah limitasi yang secara tegas dan kokoh dibangun atas asas empirisme dan metodologi formal yang bisa dipertanggungjawabkan. Objek amatan dan kesimpulan terhadap sebuah fenomena bisa saja serupa. Namun ‘sosiologis’ menawarkan sebentuk kearifan di dalam upayanya memandang ‘skeptis’ sebuah fenomena. Proses menciptakan kearifan ini berlangsung melalui dialog antara subjektivisme-peneliti dengan objektivisme-teori di dalam sebuah karya ilmiah ‘sosiologis’. Terlepas dari hasil penelitian yang lebih condong bersifat subjektif, melalui logika berpikir ‘sosiologis’ pula karya ilmiah tersebut tentu dan masih layak untuk didebatkan secara akademis. Inilah salah satu cara sebagai bagian dari pedagogis menuju sikap bijak dan berimbang sebagaimana penulis maksudkan sebelumnya. Akhir kata, sebagaimana Bourdieu yang giat mengampanyekan gerakan intelektual untuk melawan praktik dominasi, kiranya seperti itu pula tujuan pembuatan Skripsi ini. Pengambilan keputusan yang buta arah dan fragmatis hanya akan membawa pada analisis yang banal. Sama halnya ketika beradu argumen dengan seorang kakek tua yang kolot dan pikun. Inilah tugas kita sebagai seorang akademisi. Belajar untuk tidak menjadi kolot dan berpikir lalu bertindak dengan berbagai pertimbangan. Akademisi dan berpikir kritis mirip sebuah lukisan dimana sebuah lukisan tidak akan mendapatkan apresiasi ketika di dalamnya tidak terdapat satu-dua warna yang memberinya nyawa dan makna.