72 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Guna kepentingan penegakkan keadilan yang merupakan cita-cita suatu peradilan dapat tercapai bila kesebandingan sebagai dasar keadilan haruslah segera disiapkan agar dapat memudahkan bagi hakim dalam membuat putusan didalam sidang pengadilan dan guna pengawasan terhadap kualitas putusanya sangatlah sulit dicapai disebabkan karena : 1. Undang-undang termasuk KUHAP hanya mengatur bagaimana hakim menjatuhkan pidana secara umum saja tetapi tidak ada perhitungan cara mengatur lamanya pemberian sanksi bagi pelaku pidana agar supaya tercapai rasa keadilan, dalam menentukan lamanya pemidanaan hanya tergantung dari apa yang tertulis didalam aturan yang ada dan terbatas pada minimum sampai maksimum dan selama hakim tidak melanggar aturan ini dianggap benar, hakim punya kebebasan dalam penjatuhan sanksi dengan ketentuan bahwa selama putusan pemidanaan tidak keluar dari batas maksimum sanksi yang boleh dijatuhkan dan inilah kekuasaan hakin dalam memutuskan adanya diskresi yang diberikan serta kemampuan hakim dengan sifatsifat adanya subyektifitas dapat berakibat timbulnya disparitas karena pemberian sanksi hanya diatur dalam KUHP dimana sanksi masih bersifat umum dan terbatas sehingga hakim baru sebatas mampu melaksanakan penegakan hukum dalam arti baru sebagai corong hukum dan belum sampai pada penegakan hukum sebagai corong keadilan, dan hakim tidak dikatakan melanggar hukum selama putusan pemidanaan tidak melebihi apa yang tertulis didalam undang-undang. Karena putusan hakim hanya meninjau dari sudut pandang pembuktian tentang adanya unsur delik saja sehingga masalah pertanggung jawaban pidana yang seharusnya dikenakan terhadap diri terdakwa kurang menjadi perhatiannya sehingga perlindungan terhadap kepentingan masyarakat demi keadilan serta bagi terdakwa sangatlah jauh dari harapan. dan selama tidak ada aturan yang dipakai sebagai alat ukur untuk untuk mengatur kesebandingan penjatuhan sanksi pidana , Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009 Universitas Indonesia 73 Dengan adanya kebebasan hakim yang sangat independen dalam mengambil keputusan peristiwa terjadinya perbantuan dihukum lebih berat daripada daddernya masih akan terjadi dan tentu saja sangatlah sulit pengontrolannya karena hakim dapat berkilah mereka yang diputuskan masih punya hak atau untuk melakukan tindakan upaya hukum yang berupa: a. banding b. kasasi,dan c. peninjauan kembali sehingga atas baik buruknya putusannya tidaklah dianggap penting atau menjadi beban dan meskipun putusan hakim itu dianggap tidak adil itu sangat dipengaruhi oleh motivasi hakim yang tentu saja tergantung pula pada masing-masing persepsinya karena terdakwa masih punya hak dan bisa melakukan upaya hukum. 2. Karena alat ukur dari baik atau buruknya putusan hakim belum ada sehingga penilaian putusan hakim hanya ditinjau ada tidaknya pelanggaran hukum dari hakim pada saat membuat keputusan. Pengujian mengenai putusan hakim itu sendiri sulit dilakukan karena rambu-rambu buat hakim sangatlah sederhana bagi kebebasan yang besar sekali, maka resiko yang bakal diterima oleh terdakwa adalah besar sekali yang disebabkan karena ketidak adilan dari putusan hakim. Pengawasan hakim baru sampai tingkat apakah hakim melakukan pelanggaran hukum saja tapi masih belum sampai membahas masalah nilai kualitas putusannya, karena pada mulanya pengawasan hakim dilakukan lewat Mahkamah Agung (MA) atau Komisi Yudisial tetapi sekarang Komisi Yudisial sudah tidak punya hak pengawasan terhadap hakim dan hanya MA saja yang bisa melakukan sehingga makin jauh dari harapan adanya suatu keadilan karena keterbatasan MA dengan tugas yang besar dan banyak. Tolok ukur dalam pengambilan putusan hakim terhadap pertanggungjawaban pidana baru sebatas salah tidaknya terdakwa dan penjatuhan hukuman yang berdasarkan undang-undang yang dibatasi aturan penjatuhan hukuman minimum umum, maksimum umum dan maksimum khusus. Selama hal ini tidak dilanggar berarti mengenai putusan hakim tindakannya dianggap salah sedangkan masalah ukuran kesebandingan dalam menentukan keadilan masih belum ada. Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009 Universitas Indonesia 74 3. Dampak bagi terdakwa tidak akan merasakan bahwa pemidanaan adalah sebagai pendidikan karena keadilan belum dapat dirasakan tetapi merasakan sebagai balas dendam saja. Sedangkan bagi hakim tidak bisa diukur prestasinya 5.2 Saran 1. Guna menghindari ketidakadilan yang disebabkan adanya diskresi bebas yang mengakibatkan disparitas yang terjadi akibat putusan hakim, maka perlu dibuatkan tolok ukur dan tehnik pemakaiannya, sehingga diperlukan aturan khusus dengan menggunakan metoda kwantitatif, namun masih perlu diadakan pendalaman lagi agar dapat dipakai untuk diterapkan sebagai pembanding bagi pasal-pasal yang lain dalam kasus pencurian atau yang lain. 2. Karena bila aturan ini dijadikan undang-undang memerlukan waktu yang lama dan biaya besar seyogyanya dijadikan aturan yang dikeluarkan oleh MA saja berupa PERMA. 3. Karena rumitnya teknik yang memerlukan pengetahuan statistik dengan perhitungan secara kuantitatif, kualitatif serta penggunaan program-program aplikasi komputer maka dalam pengadilan diperlukan staf ahli yang menangani masalah ini demi tegaknya keadilan yang akan membantu para hakim atau dibuat organisasi seperti di Amerika Serikat yang bertindak sebagai partner dari hakim/pengadilan dalam membantu perhitungan yang dinamakan “Sentencing Council” di kota Eastern District of Michigan. 4. Skripsi ini dapat dipakai sebagai landasan pengembangan lebih lanjut. Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009 Universitas Indonesia