1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang diderita 347
juta orang di seluruh dunia pada tahun 2008. World Heath Organization
(WHO) menyebutkan pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 3,4 juta orang
meninggal akibat gula darah puasa yang tinggi. Jumlah kematian yang sama
diperkirakan terjadi pada tahun 2010 (WHO, 2013). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).
Kenaikan gula darah yang tinggi pada penderita diabetes melitus dapat
menimbulkan berbagai komplikasi. Penyakit ini merupakan penyebab utama
terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20 hingga 74 tahun dan
merupakan kontributor bagi penyakit ginjal tahap akhir. Diabetes melitus juga
diperkirakan menyebabkan 83 ribu orang menjalani amputasi bagian
ekstrimitas bawah tiap tahunnya. Dua pertiga kematian pada individu penderita
DM tipe 2 justru disebabkan oleh terjadinya komplikasi
penyakit
kardiovaskular (Triplitt dkk., 2008).
Salah satu komplikasi diabetes melitus yang cukup berat adalah
terjadinya nefropati. Prevalensi dari DM tipe 2 yang berkembang menjadi
nefropati diabetik sebesar 20-30% (Markum dan Galastri, 2004). Penelitian
pada lansia di poliklinik geriatri RSUP Sanglah Bali menunjukkan rerata durasi
1
2
penderita DM terkena nefropati diabetik adalah 11,90 ± 4,852 tahun (Ludirdja
dkk., 2010).
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menyebutkan bahwa diabetes merupakan penyebab utama dari gagal ginjal,
48.374 orang dengan diabetes memulai terapi untuk penyakit ginjal tahap akhir
serta terdapat 202.290 orang dengan penyakit ginjal tahap akhir yang harus
hidup bergantung pada dialisis dan transplantasi ginjal di Amerika Serikat pada
tahun 2008. Sedangkan menurut penelitian di RS Sardjito Yogyakarta,
nefropati diabetik merupakan penyebab kedua terjadinya gagal ginjal kronik
setelah glomerulonefritis kronik pada tahun 2006 yaitu sebesar 28,57 %
(Diantari, 2008).
Secara
umum,
obat-obatan
antihipertensi
seperti
Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) digunakan pada penderita nefropati
diabetik. Peningkatan tekanan kapiler glomerular dapat memicu lesi glomerular
dan ACEI mengurangi lesi ini dengan mengurangi peningkatan tekanan kapiler
glomerular serta mendilatasi arteriola eferen ginjal. ACEI juga meningkatkan
selektifitas membran filter glomerulus sehingga mengurangi paparan
mesangium terhadap faktor protein yang dapat menstimulasi proliferasi sel
mesangial dan produksi matrik, 2 proses yang berkontribusi terhadap ekspansi
mesangium pada nefropati diabetik. Karena angiotensin 2 adalah faktor
pertumbuhan, pengurangan terhadap level angiotensin 2 intrarenal dapat lebih
lanjut mengatenuasi pertumbuhan sel dan produksi matrik (Hardman dkk.,
3
2001). Hal-hal tersebut merupakan beberapa mekanisme yang menyebabkan
sifat renoprotektif ACEI.
Progresi dari penyakit ginjal diabetik dapat meningkat dengan adanya
hipertensi, proteinuria dan diabetik retinopati. Ketidaknormalan lipid juga
berkontribusi terhadap progresi dari glomerulosklerosis. Manajemen yang
dilakukan meliputi deteksi dini melalui skrining terhadap mikroalbuminuria,
kontrol ketat terhadap gula darah, ACEI dan Angiotensin Receptor Blocker
(ARB)
untuk pasien dengan mikroalbuminuria (untuk memperlambat
progresi), manajemen yang agresif terhadap hipertensi, dislipidemia serta
smoking cessation (Kroon dkk., 2008). Oleh karena itu PERKENI (2011)
menyarankan penggunaan ACEI dan atau ARB bila tidak terjadi kontraindikasi
pada penderita nefropati diabetik.
Terdapat berbagai pertimbangan penggunaan obat pada penderita
dengan gangguan fungsi ginjal. Pertimbangan tersebut antara lain adanya
penurunan ekskresi obat lewat ginjal sehingga berpotensi menimbulkan
peningkatan konsentrasi obat dalam darah. Idealnya dosis obat yang diberikan
perlu disesuaikan dengan indeks fungsi ginjal atau Glomerular Filtration Rate
(GFR) penderita (Brater dan Hall, 2000).
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan antihipertensi
pada pasien nefropati diabetik mengacu pada konsensus Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011 sebagai acuan utama dan
National Kidney Foundation-Kidney/Dialysis Outcomes Quality Initiative
4
(NKF-K/DOQI) pada tahun 2004 sebagai acuan pelengkap. Penelitian
dilakukan di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta yang merupakan
salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Adanya penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan evaluasi mengenai rasionalitas terapi sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan medis dan pemilihan antihipertensi yang tepat
dalam menangani pasien nefropati diabetik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik subyek penelitian nefropati diabetik instalasi rawat
inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012?
2. Bagaimana pola penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik
instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012?
3. Bagaimana evaluasi rasionalitas obat yang meliputi ketepatan indikasi, obat,
pasien, dan dosis pada penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati
diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012
berdasarkan acuan standar dari PERKENI tahun 2011 dan NKF-K/DOQI
tahun 2004?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik subyek penelitian nefropati diabetik instalasi rawat
inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012
2. Mengetahui pola penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik
instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012
3. Mengetahui evaluasi rasionalitas obat yang meliputi ketepatan indikasi,
obat, pasien, dan dosis pada penggunaan antihipertensi pada pasien
5
nefropati diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada
tahun 2012 berdasarkan acuan standar dari PERKENI tahun 2011 dan NKFK/DOQI tahun 2004
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan antihipertensi bagi pasien
nefropati diabetik
2. Sebagai masukan bagi rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan
terhadap pasien nefropati diabetik yang mendapatkan antihipertensi
3. Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman.
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus
a. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes adalah kondisi kronik yang disebabkan oleh kekurangan
insulin baik secara absolut maupun relatif. Mempunyai karakteristik klinis
yang khas yaitu intoleransi glukosa simptomatik yang menyebabkan
hiperglikemia dan perubahan pada metabolisme protein dan lipid (Kroon
dkk., 2008).
Rekomendasi
dari
American
Diabetes
Assosiation
(ADA)
menggunakan Fasting Glucose Test (FGT) sebagai alat utama untuk
mendiagnosis diabetes melitus pada orang dewasa yang tidak hamil.
Sebagai tambahan seperti yang diperlihatkan pada tabel I, terdapat kategori
baru dari glisemia yaitu Impaired Fasting Glucose (IFG). IFG merupakan
kondisi dimana kadar glukosa plasma antara 100 mg/dL (5,6 mmol/L) dan
6
126 mg/dL (7,0 mmol/L). Impaired Glucose Tolerance (gangguan toleransi
glukosa, IGT) didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar glukosa antara
140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan 200 mg/dL(11,0 mmol/L) selama OGTT
(Oral Glucose Tolerance Test). Pasien dengan IFG atau IGT secara umum
disebut mengalami prediabetes karena memiliki risiko yang lebih besar
untuk menderita diabetes (Triplitt dkk., 2008).
Tabel I. Kategori dari glucose status (Triplitt dkk., 2008)
Fasting plasma glucose (FPG)
Normal
FPG < 100mg/dL (5,6 mmol/L)
Impaired fasting glucose (IFG)
100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol.L)
Diabetes melitus
FPG ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
2-hour postload plasma glucose (oral glucose toleranse test)
Normal
Postload glucose < 140 mg/dL (7,8
mmol/L)
Impaired glucose toleranse (IGT)
2-hour postload glucose 140-199mg/dl
(7,8-11,1 mmol/L)
Diabetes melitus
2-hour postload glucose ≥ 200 mg/dL
(11,1 mmol/L)
b. Pembagian Diabetes Melitus
Menurut PERKENI, klasifikasi diabetes melitus dibagi seperti yang
terlihat pada tabel II.
Tabel II. Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI (2011)
Klasifikasi
Penyebab
DM tipe I
Dekstruksi sel beta, umumnya menjurus pada
defisiensi insulin absolut:
 autoimun

idiopatik.
Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin
DM tipe II
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lain
DM Gestasional
Defek genetik fungsi sel beta; Defek genetik kerja insulin;
Penyakit eksokrin pankreas; Endokrinopati; Karena obat
atau zat kimia; Infeksi; Sebab imunologi yang jarang ;
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes pada kehamilan
7
c. Komplikasi Diabetes Melitus
Menurut PERKENI (2011) komplikasi diabetes melitus dapat
dibagi menjadi dua golongan besar yaitu sebagai berikut:
1) Komplikasi akut yaitu komplikasi yang muncul secara cepat atau tibatiba, terdiri dari:
a) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai
dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.
b) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma
sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat.
c) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <
60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang
diabetes
harus
hipoglikemia.
selalu
dipikirkan
Hipoglikemia
paling
kemungkinan
sering
terjadinya
disebabkan
oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut
8
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
2) Komplikasi menahun yang muncul setelah jangka waktu tertentu, terdiri
dari:
a) Makroangiopati
Makroangiopati merupakan komplikasi diabetes melitus yang
mengenai pembuluh darah makro biasanya terjadi pada pembuluh
darah jantung, pembuluh darah otak dan pembuluh darah tepi.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
b) Mikroangiopati:
Komplikasi mikroangiopati (pembuluh darah mikro) dapat berupa
retinopati diabetik, nefropati diabetik maupun neuropati. Komplikasi
yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi.
d. Tata Laksana Terapi
Terapi diabetes melitus dilakukan secara bertahap, diawali dengan
perubahan gaya hidup, kemudian monoterapi obat hipoglikemik oral, dan
terapi kombinasi apabila kadar glukosa darah belum terkendali. Langkah
lebih
lanjut
adalah
pemberian
terapi
oral
kombinasi
dengan
insulin, kemudian hanya insulin saja dan terakhir adalah penambahan
9
obat oral pada terapi insulin untuk pengobatan resistensi insulin (Goode,
2002).
2. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular dari diabetes
melitus yang berujung pada terjadinya albuminuria dan penurunan fungsi
ginjal yang progresif (Pai dan Conner, 2008). Pasien diabetes memiliki
kecenderungan 17 kali lebih banyak untuk menderita penyakit ginjal
dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Penyakit ini merupakan kondisi
dengan banyak tingkatan yang memerlukan waktu bertahun tahun hingga
terlihat secara klinis (Khatib, 2006). Menurut PERKENI (2011) sekitar 2040% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik.
a. Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik adalah istilah tradisional dari penyakit ginjal
diabetik dan merupakan diagnosis klinik yang bila ditinjau dari
sejarahnya berdasarkan pada ditemukannya proteinuria pada penderita
diabetes. Definisi ini independen dari istilah penyakit ginjal kronik
sebagai perubahan patologi atau adanya penurunan GFR, dan ini secara
inisial dibatasi pada orang-orang yang menderita makroalbuminaria.
Perkembangan dari pengujian yang lebih sensitif terhadap albumin
menyebabkan albumin dapat dideteksi dalam jumlah yang lebih kecil,
yang disebut sebagai mikroalbuminuria atau incipient nephropathy. Batas
terkecil dari mikroalbuminuria diset kira-kira pada kecepatan ekskresi
10
albumin sebesar 20 µg/min atau setara dengan 30 mg/24 jam atau ACR
(rasio albumin/kreatinin) sebesar 30 mg/g (NKF-K/DOQI, 2007a).
Definisi ini memiliki beberapa kegunaan klinis pada individual
dengan makroalbuminuria yang memiliki riwayat penurunan GFR secara
progresif yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan darah
sistemik, sedangkan pada individu dengan mikroalbuminuria memiliki
fungsi ginjal yang masih stabil namun berisiko tinggi mengalami
perkembangan menuju makroalbuminuria dan gagal ginjal di kemudian
hari (NKF-K/DOQI, 2007a).
b. Patofisologi Nefropati Diabetik
Diabetes menyebabkan perubahan yang unik pada struktur ginjal.
Glomerulosklerosis klasik dikarakterisasi dengan peningkatan lebar
membran basement glumerolar, diffuse mesangial sclerosis, hyalinosis,
microaneurysm, dan hyaline arteriosclerosis. Terdapat pula perubahan
tubular dan interstitial. Area dari ekspansi mesangial ekstrim disebut
Kimmelstiel-Wilson nodules atau nodular mesangial expansion terlihat
pada 40-50% pasien yang mengalami proteinuria. Pasien mikro maupun
makroalbuminuria pada diabetes tipe 2 memiliki heterogenitas struktural
yang lebih dibandingkan pada pasien diabetes tipe 1. Dievaluasi
menggunakan mikroskop elektron, keparahan dari lesi glomerular
berhubungan dengann GFR dan Urine Albumin Excretion (UAE), durasi
diabetes , derajat kontrol glisemik dan faktor genetik. Namun terdapat
tumpang tindih pada ekspansi mesangial dan penebalan basemen
11
glumerular pada pasien diabetes tipe 1 dan 2 dengan normo, mikro dan
makroalbuminuria serta proteinuria dengan batas yang tidak jelas untuk
membedakan antar kelompok tersebut (Gross dkk., 2005)
Penebalan dari membran basement kapiler glomerular merupakan
ciri khas dari nefropati diabetik. Deposisi difus dari material seperti
membran basement melebarkan mesangium. Proses ini mempersempit
lumina kapiler, menggganggu aliran darah, sehingga mengurangi luas
permukaan filtering pada glomerulus. Hiperglisemia menyebabkan
hipertensi interglomerular dan hiperfiltrasi renal. Hiperfiltrasi diikuti
dengan mikroalbuminuria dengan glomerulosklerosis minimal yang
kemungkinan masih bersifat reversibel. Jika keadaan ini tidak diatasi akan
muncul makroalbuminuria
dan pasien biasanya akan mengalami
perkembangan menuju sindrom nefrotik. Progresi dari penyakit ginjal
diabetik dapat dipercepat dengan adanya hipertensi, proteinuria dan
retinopati
diabetik.
Abnormalitas
lipid
juga
berperan
terhadap
perkembangan dari glomerulosklerosis (Kroon dkk., 2008).
c. Albuminuria
Ada
beberapa
cara
untuk
memperkirakan
terjadinya
mikroalbuminuria, yaitu:
1) Pengukuran rasio albumin/kreatinin pada urin melalui random spot
spot colection ( lebih dipilih dilakukan pada saat pertama kali urinasi
di pagi hari)
2) Pengumpulan selama 24 jam
12
3) Timed collection ( pengumpulan selama 4 hingga 10 jam)
(Triplitt dkk., 2008)
Berdasarkan pengukuran tersebut, albuminuria dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan yaitu normoalbuminuria, mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria. Klasifikasi albuminuria dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Klasifikasi albuminuria (PERKENI,2011)
Kategori
Urin 24 jam
Urin dalam waktu
(mg/24 jam)
tertentu
(µg/min)
Normoalbuminuria
<30
<20
Mikroalbuminuria
30-300
20-200
Makroalbuminuria
≥300
≥200
Urin sewaktu
(µg/mg kreatinin)
<30
30-300
≥300
Karena adanya variabilitas tiap harinya pada ekskresi albumin, 2 atau
3 kali sampel urin dikumpulkan selama periode 3 hingga 6 bulan haruslah
abnormal sebelum pasien dapat dinyatakan mengalami salah satu kategori
albuminuria di atas (Kroon dkk., 2008).
d. Skrining
1) Skrining tahunan terjadinya albuminuria harus dilakukan pada pasien
dengan diabetes tipe 1 dengan durasi paling sedikit 5 tahun dan pada
pasien dengan diabetes tipe 2 semenjak didiagnosis (ADA,2012).
2) Pengukuran serum kreatinin paling tidak setiap tahun pada semua
pasien dewasa dengan diabetes tidak peduli derajat ekskresi albumin.
Serum kreatinin dapat digunakan untuk memprediksi GFR dan
tingkatan dari penyakit ginjal kronis jika ada (ADA,2012).
3) Skrining yang lebih sering diindikasikan bila terjadi hipertensi,
kenaikan serum kreatinin dan atau terjadi retinopati. Konsentrasi
13
albumin urin dapat meningkat dengan olahraga dalam 24 jam, demam,
infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, hipertensi yang tidak terkontrol
dan CHF. Skrining dapat ditunda pada pasien dengan kondisi-kondisi
di atas (Kroon dkk., 2008 dan NKF-K/DOQI, 2007a).
4) Jika mikroalbuminuria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun
(PERKENI, 2011).
e. Tingkatan dan gejala klinis dari Nefropati Diabetik
Menurut NKF-K/DOQI (2007a), terdapat beberapa tingkatan dan gejala
klinis dari nefropati diabetik seperti yang terlihat dalam tabel IV.
Tabel IV. Tingkatan dan Keadaan Klinis Nefropati Diabetik (NKF-K/DOQI, 2007a)
Tingkat
Deskripsi
Keadaan klinis
Berisiko tinggi
Diabetes melitus, tekanan darah tinggi,
riwayat keluarga
1-2
Kerusakan ginjal
Mikroalbuminuria
Durasi diabetes 5-10 tahun, retinopati,
peningkatan tekanan darah
Makroalbuminuria
Durasi diabetes 10-15 tahun
Retinopati, tekanan darah tinggi
3-4
Penurunan GFR
Tekanan darah tinggi, retinopati, CVD,
komplikasi diabetes lainnya
5
Gagal ginjal
Retinopati, CVD, komplikasi diabetes
lainnya, uremia
Ket:
GFR: Glomerular Filtration Rate, kecepatan filtrasi glomerulus
CVD: Cardiovascular Disease, penyakit kardiovaskula
Sedangkan bila dilihat dari GFR dan albuminuria yang terjadi dapat
dirangkum dalam tabel V.
Tabel V. Kemungkinan Terjadinya Nefropati
GFR
Tingkatan
(mL/min) GGK
Normoalbuminuria
>60
1+2
Berisiko
30-60
3
Kemungkinan
bukan ND
<30
4+5
Kemungkinan
bukan ND
Ket:
GGK: Gagal Ginjal Kronik
ND: Nefropati Diabetik
Diabetik (NKF-K/DOQI, 2007a)
Albuminuria
Mikroalbuminuria Makroalbuminuria
Mungkin ND
ND
Mungkin ND
ND
Kemungkinan
bukan ND
ND
14
f. Tata Laksana Terapi Nefropati Diabetik
Penatalaksanaan nefropati diabetik tidak hanya melalui terapi
farmakologis menggunakan obat-obatan namun juga meliputi berbagai
hal seperti pengendalian glukosa darah, tekanan darah, diet protein,
manajemen dislipidemia dan anemia serta intervensi multifaktorial.
PERKENI (2011) menyebutkan bahwa pada penderita nefropati
diabetik perlu dilakukan terapi dengan obat penyekat reseptor
angiotensin II (ARB), penghambat ACE (ACEI), atau kombinasi
keduanya
reseptor
Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau
angiotensin,
dapat
diberikan
antagonis
kalsium
non
dihidropiridin.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan Guideline dari NKF-K/DOQI
(2004) yang menyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan terapi
farmakologi untuk penyakit ginjal diabetik yaitu:
a) Target tekanan darah pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik
adalah <130/80 mmHg
b) Pasien dengan penyakit ginjal diabetik dengan ataupun tanpa
hipertensi harus diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB
Adapun algoritma terapi untuk nefropati diabetik menurut NKFK/DOQI pada tahun 2004 ditunjukkan pada gambar 1.
15
Evaluasi terhadap
pasien GGK1-4
Apakah pasien mengalami penyakit ginjal diabetik (nefropati diabetik) ? atau apakah
pasien mengalami penyakit ginjal non-diabetik dengan urin sewaktu (rasio protein
total/kreatinin ) ≥ 200 mg/g ?
Ya
Evaluasi
secara
periodik
Tidak
Apakah ACEI atau ARB dapat
diberikan atau ditingkatkan?
Tidak
Apakah tekanan darah < 130/80
mmHg?
Ya
Ya
Tidak
Berikan atau
tingkatan ACEI atau
ARB5
Berikan atau
tingkatkan diuretik
atau agent lainnya6
Monitor respon termasuk
proteinuria7 dan manajemen efek
samping8,9
Gambar 1. Algoritma Terapi Nefropati Diabetik Menurut NKF-K/DOQI (2004b)
Keterangan lebih lengkap mengenai algoritma tersebut dapat dilihat dalam
tabel VI.
Tabel VI. Keterangan Algoritme Terapi Nefropati Diabetik (NKF-K/DOQI, 2004b)
1. Evaluasi
2. Diet
perubahan
lifestyle
dan
3. Terapi diabetes
4. Terapi
untuk
faktor risiko CVD
lainnya
-Gagal Ginjal kronik
-Cardiovascular Disease (CVD) atau faktor risiko CVD
- Konsumsi sodium < 2,4 g/hari
- BMI ≤ 25 kg/m2
- Aktivitas fisik dan olahraga
- Intake alkohol yang tidak berlebihan
- Smoking cessation
-Terapi diabetes untuk semua (guideline American Diabetes
Association)
-Dislipidemia (guideline National Cholesterol Education
Program)
16
Tabel VI. Lanjutan...
5. Angiotensin
Converting
Enzyme
(ACE)
Inhibitor
atau
Angiotensin
Receptor Blocker
(ARB)
6. Target
tekanan
darah
sistolik
<130 mmHg
7. Pasien
dengan
spot urine total
protein
to
creatinine
ratio>500-1000
mg/g
8. Monitor
serum
potasium
9. Monitor
Glomerular
Filtration
(GFR)
- ACE inhibitor atau ARB untuk diabetes tipe 1 dan 2 dengan
spot urine total protein to creatinine ratio 30-300 mg/g
(mikroalbuminuria)
- ACE inhibitor lebih dipilih untuk diabetes tipe 1 dengan
spot urine total protein to creatinine ratio> 300 mg/g
(makroalbuminuria)
- ARB lebih dipilih bagi diabetes tipe 2 dengan spot urine
total protein to creatinine ratio> 300 mg/g
(makroalbuminuria)
- Salah satu agent dapat digunakan sebagai agent alternatif
bila agen yang lebih dipilih tidak dapat digunakan
- Gunakan dosis moderate hingga tinggi
- Gunakan diuretik pertama kali
- Kemudian tambahkan calcium channel blocker atau beta
blocker
- Hindari dyhidropiridin calcium channel blocker tanpa
ACEI atau ARB
- Pertimbangkan target tekanan darah yang lebih rendah
- Pertimbangkan pengukuran untuk mengurangi proteinuria
- Naikkan dosis ACEI atau ARB
- Gunakan kombinasi ACEI atau ARB
- Tambahkan atau naikkan dosis agen lainnya yang
dapat menurunkan proteinuria
- ACE inhibitor atau ARB dapat menyebabkan hiperkalemia
- Jika memungkinkan, hindari obat lain yang dapat
menyebabkan hiperkalemia ( suplemen potasium,
NSAIDs, diuretik hemat kalium)
- Evaluasi penyebab hiperkalemia
- Atasi hiperkalemia menggunakan diuretik
- Lanjutkan penggunaan ACEI atau ARB bila
potassium serum ≤ 5,5 mEq/L
- Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia
- Evaluasi penyebab hipokalemia
- Atasi hipokalemia dengan perhatian pada penyakit
ginjal diabetik
-
Rate
-
Jika penurunan GFR > 30% dari baseline dalam 4
minggu , evaluasi penyebab
Lanjutkan penggunaan ACEI atau ARB bila
penurunan GFR <30% dari baseline setelah 4 bulan
3. Antihipertensi
Antihipertensi merupakan agen yang digunakan untuk menurunkan tekanan
darah baik yang berupa bahan alam maupun obat-obatan sintetik. Dalam
penelitian ini antihipertensi yang dimaksud adalah obat antihipertensi sintetik.
17
Obat-obatan ini bekerja melalui berbagai mekanisme yang berkaitan dengan
pengaturan tekanan darah di dalam tubuh.
a.
Diuretik
Salah satu strategi paling awal dalam manajemen hipertensi adalah
dengan mengubah keseimbangan Na+ dengan retriksi garam dalam diet.
Pengubahan keseimbangan Na+ secara farmakologi dipraktekkan pada tahun
1950an dengan dikembangkannya diuretik thiazid oral. Obat ini dan agen
diuretik lainnya memiliki efek antihipertensi ketika digunakan sendirian dan
dapat meningkatkan efikasi hampir semua antihipertensi lainnya. Contoh
diuretik thiazid antara lain hydrochlorothiazide dan chlorthalidone (Hardman
dkk., 2001).
b.
β adrenoreseptor antagonis
β blocker menurunkan tekanan darah dengan menurunkan cardiac
output. Kerugian blokade β blocker antara lain adanya adverse effect yang
umum seperti tangan yang dingin dan rasa lemah, serta yang lebih tidak
umum namun dapat berbahaya seperti dapat memicu asma, gagal jantung atau
menghambat konduksi. β blocker juga cenderung menaikkan kadar trigliserin,
HDL-kolesterol (Neal, 2002)
c.
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor sirkulasi yang kuat dan
penghambatan pada sintesisnya berakibat pada turunnya resistensi perifer dan
menurunnya tekanan darah. ACE inhibitor tidak mengganggu refleks
kardiovaskular dan tidak memiliki banyak efek samping seperti pada diuretik
18
atau β blocker. Efek yang tidak diinginkan dari ACEI yang umum adalah
batuk kering yang diakibatkan adanya penumpukan bradikinin. Adverse effect
yang jarang namun serius pada ACEI adalah angioedema, proteinuria dan
neutropenia. Dosis pertama dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
yang drastis misalnya pada pasien yang juga menggunakan diuretik. ACEI
dapat menyebabkan terjadinya kegagalan ginjal pada pasien dengan bilateral
renal arteri stenosis karena pada kondisi ini angiotensin II diperlukan untuk
mengkonstriksi arteri postglomerular dan menjaga filtrasi glomerular yang
cukup (Neal, 2002). Contoh obat-obatan ACEI antara lain kaptopril, enalapril
dan lain-lain.
Menurut penelitian Lewis dkk (1993), menunjukkan bahwa pada
pasien diabetes melitus tipe 1 dan nefropati diabetik, kaptopril mencegah atau
memperlambat
progresi
(perkembangan)
dari
penyakit
renal.
Efek
neproprotektif dari ACEI dan Ca blocker pada diabetes mungkin bersifat
aditif (Brettzel, 1997). Sebagai tambahan untuk mencegah nefropati diabetik,
ACEI juga dapat menurunkan progresi retinopati pada diabetes tipe 1
(Chaturvedi dkk., 1998). ACE inhibitor juga mengatenuasi perkembangan
insufisiensi renal pada pasien dengan bervariasi nefropati nondiabetik
(Maschio dkk., 1996; GISEN,1997; Ruggenenti dkk., 1999, 1999) dan dapat
menahan penolakan kecepatan filtrasi glomerular bahkan pada pasien dengan
penyakit renal berat.
19
d.
Angiotensin Receptor Antagonis/Blockers (ARB)
Pentingnya
menyebabkan
angiotensin
II
dikembangkannya
dalam
antagonis
mengatur
fungsi
nonpeptida
dari
vaskular
reseptor
angiotensin II untuk penggunaan klinis. Losartan, kandesartan, irbesartan,
valsartan, telmisartan dan eprosartan telah disetujui penggunaannya untuk
terapi hipertensi. Dengan mencegah efek dari angiotensin II, agen ini dapat
merileksasi otot polos dan meningkatkan vasodilatasi, ekskresi garam ginjal
dan air, menurunkan volume plasma, dan menurunkan hipertropi seluler
(Hardman dkk., 2001).
Clinical trials yang sedang berlangsung sebaiknya memberi perhatian
pada efikasi relatif dari ACE I dan antagonis reseptor AT1 pada pasien
dengan nefropati diabetik, penyakit jantung koroner dan left ventricular
dysfunction ( Hardman dkk., 2001).
e.
Calcium Channel Blockers
Keadaan otot polos bergantung pada konsentrasi Ca2+ sistosolik. Hal
ini ditingkatkan oleh aktivasi α-1 adrenoreseptor yang memicu pelepasan
Ca2+ dari retikulum sarkoplasma. Antagonis kalsium (seperti nifedipine,
amlodipine) berikatan dengan L-type channel dan dengan mengeblok
masuknya Ca2+ ke dalam sel terjadi relaksasi otot polos arteriola. Hal ini
menurunkan resistensi perifer sehingga menyebabkan turunnya tekanan darah
(Neal, 2002).
20
f.
α -1 adrenoreseptor antagonis
Prazosin
dan
doxazosin
menyebabkan
vasodilatasi
dengan
menghambat secara selektif α -1 adrenoreseptor vaskular.
g.
Obat-obatan yang bekerja secara sentral seperti alpha agonis
4. Penggunaan ACEI dan ARB pada Nefropati Diabetik
Guideline
dari
NKF-K/DOQI
(2004c)
menjelaskan
secara
rinci
penggunaan ACEI dan ARB untuk penyakit ginjal kronis secara umum, baik
untuk diabetik (nefropati diabetik) maupun nondiabetik, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. ACEI dan ARB harus digunakan pada dosis sedang sampai tinggi, seperti
yang digunakan dalam uji klinis
b. ACEI dan ARB harus digunakan sebagai alternatif antara satu sama
lainnya, jika salah satu golongan yang diinginkan ini tidak dapat
digunakan
c. ACEI dan ARB dapat digunakan dalam kombinasi untuk menurunkan
tekanan darah atau mengurangi proteinuria
d. Pasien yang diobati dengan ACEI atau ARB harus dipantau adanya
hipotensi, penurunan GFR, dan hiperkalemia
e. Interval untuk pemantauan tekanan darah, GFR, dan kalium serum
tergantung pada tingkat dasar (kondisi pasien sebelumnya)
f. Pada kebanyakan pasien, penggunaan ACE inhibitor atau ARB dapat
dilanjutkan jika:
1) Penurunan GFR selama 4 bulan <30% dari nilai dasar (nilai semula)
21
2) Serum kalium adalah ≤ 5,5 mEq / L
g. ACEI dan ARB tidak boleh digunakan atau digunakan dengan hati-hati
dalam keadaan tertentu
Pada
hewan
percobaan,
ACEI
dan
ARB
mengurangi
tekanan
intraglomerular serta tekanan darah sistemik, yang memberikan kontribusi
untuk efek menguntungkan agen-agen tersebut dalam memperlambat
perkembangan penyakit ginjal.
Proteinuria dikaitkan dengan perkembangan yang lebih cepat dari penyakit
ginjal. Dalam uji coba terkontrol, ACEI dan ARB mengurangi ekskresi
protein sekitar 35% sampai 40%, lebih besar dari obat antihipertensi lain,
bahkan ketika efek penurunan tekanan darah pada ekskresi protein urin telah
diperhitungkan. Beberapa, tetapi tidak semua, percobaan terkontrol telah
menunjukkan bahwa efek menguntungkan dari inhibitor ACE pada
perkembangan penyakit ginjal tampaknya lebih besar dari yang diharapkan
karena efek antiproteinurik mereka.
1. Kontraindikasi penggunaan ACEI dan ARB
Tabel VII. Kontraindikasi Penggunaan ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI, 2004c)
Obat
Tidak boleh digunakan
Angotensin
Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI)
-Kehamilan
-Riwayat angioedema
-Batuk bila menggunakan
ACEI
-Alergi terhadap ACEI atau
ARB
Gunakan secara
berhatihati
-Wanita yang tidak
menggunakan
kontasepsi
-Bilateral renal arteri
stenosis
-Obat-obatan yang
menyebabkan
hiperkalemia
22
Tabel VII. Lanjutan...
Tidak boleh digunakan
Obat
Angiotensin Receptor
Blocker (ARB)
-Alergi terhadap ACEI atau
ARB
-Kehamilan
-Batuk bila menggunakan
ARB
Gunakan secara
berhatihati
-Bilateral renal arteri
stenosis
-Obat-obatan yang
menyebabkan
hiperkalemia
-Wanita yang tidak
menggunakan
kontrasepsi
-Angioedema karena
ACEI
2. Dosis yang direkomendasikan
Tabel VIII. Rentang Dosis untuk ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI,2004c)
Nama
Generik
Nama
Dagang
Rentang dosis
(mg/hari)
Dosis/hari
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Benazepril
Lotensin
20-40
1-2
Kaptopril
Capoten
25-150
2-3
Enalapril
Vasotec
10-40
1-2
Fosinopril
Monopril
20-40
1-2
Lisinopril
Prinipril,
20-40
1-2
Zestril
Moexipril
Univasc
5-30
1-2
Perindopril
Aceon
4-8
1-2
Quanapril
Accupril
20-80
1-2
Ramipril
Altace
2,5-20
1-2
Trandolapril
Mavik
2-4
1
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Candesartan
Atacand
16-32
1
Eprosartan
Teveten
400-800
1-2
Irbesartan
Avapro
150-300
1
Losartan
Cozaar
50-100
1-2
Olmesartan
Benicar
20-40
1
Telmisartan
Micardis
40-80
1
Valsartan
Diovan
80-320
1
Maksimum
dosis yang
digunakan
dalam trial
(mg/hari)
30
100-150
20-40
4
10
3
16
300
100
160
23
3. Efek samping yang mungkin terjadi
Tabel IX. Efek Samping dari ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI,2004c)
Efek samping
Disebabkan oleh penghambatan
ACE atau blokade reseptor AT1
Hipotensi
Keterangan
Dose-Related
Paling umum setelah dimulainya terapi, atau
meningkat seiring dosis
Penurunan fungsi ginjal, gagal
Risiko tertinggi pada compromised renal
ginjal akut
blood flow
Hiperkalemia
Lebih sering pada diabetes, dengan
penggunaan Non-Steroidal Anti Inflamatory
Drugs (NSAID), diuretik hemat kalium,
suplement kalium
Mungkin lebih umum pada Angiotensin
Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI)
dibandingkan dengan Angiotensin Receptor
Blocker (ARB)
Disebabkan oleh penghambatan
Dose-Related
Enzim selain ACE atau reseptor lain
Batuk
10-20% pada ACEIs, tidak umum pada ARB
Angioneurotic edema
<1%insiden ( lebih umum pada ras AfricanAmericans dibandingkan pada kaukasia)
Reaksi alergi
Rash pada kulit (kemerahan)
Hingga 10% pada penggunaan kaptopril
Neutropenia, agranulositosis
Insiden < 1%. Risiko lebih tinggi pada pasien
dengan kelainan jaringan ikat
Dysgeusia
Hingga 6 % pada kaptopril
Efek pada fetus
Toksisitas ginjal dan paru-paru
Dikontraindikasikan pada trimester 2 dan 3
Harus dihindari semasa kehamilan
4. Monitoring
Tabel X. Interval yang Direkomendasikan untuk Monitoring Tekanan Darah,
GFR dan Serum Potasium untuk Efek Samping dari ACEI atau ARB (NKFK/DOQI, 2004c)
Nilai Dasar
SBP (mmHg)
≥ 120
<120
GFR (mL/min/1,73 m2)
≥ 60
<60
Penurunan GFR awal (%) < 15
≥15
Serum potasium (mEq/L)
≤4,5
>4,5
Interval
Setelah inisiasi atau
4-12 minggu
≤ 4 minggu
peningkatan dosis dari
ACEI atau ARB
Setelah tekanan darah
6-12 bulan
1-6 bulan
mencapai target dan dosis
stabil
Ket: SBP: Sistolik Blood Pressure; GFR: Glomerular Filtration Rate;
ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor; ARB: Angiotensin Receptor
Blocker
24
5. Penggunaan Antihipertensi yang Rasional pada Pasien Nefropati
Diabetik
Hampir separuh obat di dunia digunakan secara tidak rasional. Menurut
World Health Organization (WHO), hal tersebut dapat mengakibatkan
konsekuensi yang fatal, seperti Adverse Drug Reaction (ADR), resistensi
obat, penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan bahkan kematian. Disamping
itu, biaya yang dikeluarkan baik oleh individu dan pemerintah untuk
pengobatan yang tidak rasional sering sangat tinggi (WHO, 2004).
Penggunaan obat dikatakan memenuhi prinsip farmakoterapi rasional bila
pengambilan keputusan dalam proses terapi dilakukan dengan cermat.
Kriteria penggunaan obat yang rasional dikenal dengan asas empat tepat satu
waspada, yakni tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan
waspada terhadap efek samping obat (Donatus, 2003)
a.
Tepat indikasi
Tepat indikasi berarti obat yang akan digunakan didasarkan pada
diagnosis penyakit yang akurat. Dalam penelitian ini, tepat indikasi berarti
antihipertensi diberikan kepada pasien yang mengalami diabetes dengan
komplikasi mikrovaskular ke glomerulus ginjal atau yang disebut sebagai
nefropati diabetik.
b.
Tepat obat
Tepat obat berarti pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan
keamanan dan kemanjuran yang terbaik di antara obat yang ada. Dalam
penelitian ini, yang dimaksud dengan tepat obat adalah ketepatan pemilihan
25
golongan antihipertensi yang akan digunakan dalam terapi berdasarkan
konsensus PERKENI tahun 2011 dan guideline NKF-K/DOQI tahun 2004,
disesuaikan dengan kondisi pasien penderita nefropati diabetik.
c.
Tepat penderita/pasien
Tepat pasien berarti tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang
memerlukan penyesuaian dosis atau mempermudah timbulnya efek samping.
Kategori tepat pasien dalam penelitian ini adalah tidak adanya kontraindikasi
seluruh obat antihipertensi yang digunakan terhadap kondisi pasien.
d.
Tepat dosis
Tepat dosis berarti takaran, jalur, saat, lama pemberian sesuai dengan
kondisi pasien. Tepat dosis dalam penelitian ini yakni ketepatan takaran
antihipertensi menurut standar NKF-K/DOQI tahun 2004 dan buku
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach tahun 2008.
e.
Waspada terhadap efek samping obat
Waspada terhadap efek samping obat berarti melaksanakan tindakan
pengawasan terhadap efek samping utama obat. Tindakan pengawasan
tersebut salah satunya adalah pengukuran tekanan darah, penurunan GFR dan
pengukuran kalium dalam darah. Dalam penelitian tidak dilakukan analisis
kewaspadaan efek samping karena keterbatasan data.
6. Catatan Medik
Rekam medik adalah berkas yang memberikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan serta pelayanan
26
lain kepada pasien pada suatu sarana pelayanan kesehatan (PERMENKES,
1989).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian, pola
pengobatan dan rasionalitas penggunaan antihipertensi yang meliputi ketepatan
indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien dan ketepatan dosis pada pasien
nefropati diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda bulan Januari 2012 hingga
Desember 2012.
Download