BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang diderita 347 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2008. World Heath Organization (WHO) menyebutkan pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat gula darah puasa yang tinggi. Jumlah kematian yang sama diperkirakan terjadi pada tahun 2010 (WHO, 2013). WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2011). Kenaikan gula darah yang tinggi pada penderita diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Penyakit ini merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20 hingga 74 tahun dan merupakan kontributor bagi penyakit ginjal tahap akhir. Diabetes melitus juga diperkirakan menyebabkan 83 ribu orang menjalani amputasi bagian ekstrimitas bawah tiap tahunnya. Dua pertiga kematian pada individu penderita DM tipe 2 justru disebabkan oleh terjadinya komplikasi penyakit kardiovaskular (Triplitt dkk., 2008). Salah satu komplikasi diabetes melitus yang cukup berat adalah terjadinya nefropati. Prevalensi dari DM tipe 2 yang berkembang menjadi nefropati diabetik sebesar 20-30% (Markum dan Galastri, 2004). Penelitian pada lansia di poliklinik geriatri RSUP Sanglah Bali menunjukkan rerata durasi 1 2 penderita DM terkena nefropati diabetik adalah 11,90 ± 4,852 tahun (Ludirdja dkk., 2010). Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa diabetes merupakan penyebab utama dari gagal ginjal, 48.374 orang dengan diabetes memulai terapi untuk penyakit ginjal tahap akhir serta terdapat 202.290 orang dengan penyakit ginjal tahap akhir yang harus hidup bergantung pada dialisis dan transplantasi ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2008. Sedangkan menurut penelitian di RS Sardjito Yogyakarta, nefropati diabetik merupakan penyebab kedua terjadinya gagal ginjal kronik setelah glomerulonefritis kronik pada tahun 2006 yaitu sebesar 28,57 % (Diantari, 2008). Secara umum, obat-obatan antihipertensi seperti Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) digunakan pada penderita nefropati diabetik. Peningkatan tekanan kapiler glomerular dapat memicu lesi glomerular dan ACEI mengurangi lesi ini dengan mengurangi peningkatan tekanan kapiler glomerular serta mendilatasi arteriola eferen ginjal. ACEI juga meningkatkan selektifitas membran filter glomerulus sehingga mengurangi paparan mesangium terhadap faktor protein yang dapat menstimulasi proliferasi sel mesangial dan produksi matrik, 2 proses yang berkontribusi terhadap ekspansi mesangium pada nefropati diabetik. Karena angiotensin 2 adalah faktor pertumbuhan, pengurangan terhadap level angiotensin 2 intrarenal dapat lebih lanjut mengatenuasi pertumbuhan sel dan produksi matrik (Hardman dkk., 3 2001). Hal-hal tersebut merupakan beberapa mekanisme yang menyebabkan sifat renoprotektif ACEI. Progresi dari penyakit ginjal diabetik dapat meningkat dengan adanya hipertensi, proteinuria dan diabetik retinopati. Ketidaknormalan lipid juga berkontribusi terhadap progresi dari glomerulosklerosis. Manajemen yang dilakukan meliputi deteksi dini melalui skrining terhadap mikroalbuminuria, kontrol ketat terhadap gula darah, ACEI dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) untuk pasien dengan mikroalbuminuria (untuk memperlambat progresi), manajemen yang agresif terhadap hipertensi, dislipidemia serta smoking cessation (Kroon dkk., 2008). Oleh karena itu PERKENI (2011) menyarankan penggunaan ACEI dan atau ARB bila tidak terjadi kontraindikasi pada penderita nefropati diabetik. Terdapat berbagai pertimbangan penggunaan obat pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Pertimbangan tersebut antara lain adanya penurunan ekskresi obat lewat ginjal sehingga berpotensi menimbulkan peningkatan konsentrasi obat dalam darah. Idealnya dosis obat yang diberikan perlu disesuaikan dengan indeks fungsi ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR) penderita (Brater dan Hall, 2000). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik mengacu pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011 sebagai acuan utama dan National Kidney Foundation-Kidney/Dialysis Outcomes Quality Initiative 4 (NKF-K/DOQI) pada tahun 2004 sebagai acuan pelengkap. Penelitian dilakukan di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta yang merupakan salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi mengenai rasionalitas terapi sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan medis dan pemilihan antihipertensi yang tepat dalam menangani pasien nefropati diabetik. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik subyek penelitian nefropati diabetik instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012? 2. Bagaimana pola penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012? 3. Bagaimana evaluasi rasionalitas obat yang meliputi ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012 berdasarkan acuan standar dari PERKENI tahun 2011 dan NKF-K/DOQI tahun 2004? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik subyek penelitian nefropati diabetik instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012 2. Mengetahui pola penggunaan antihipertensi pada pasien nefropati diabetik instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012 3. Mengetahui evaluasi rasionalitas obat yang meliputi ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada penggunaan antihipertensi pada pasien 5 nefropati diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda Yogyakarta pada tahun 2012 berdasarkan acuan standar dari PERKENI tahun 2011 dan NKFK/DOQI tahun 2004 D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumber informasi mengenai penggunaan antihipertensi bagi pasien nefropati diabetik 2. Sebagai masukan bagi rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien nefropati diabetik yang mendapatkan antihipertensi 3. Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. E. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes Melitus Diabetes adalah kondisi kronik yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Mempunyai karakteristik klinis yang khas yaitu intoleransi glukosa simptomatik yang menyebabkan hiperglikemia dan perubahan pada metabolisme protein dan lipid (Kroon dkk., 2008). Rekomendasi dari American Diabetes Assosiation (ADA) menggunakan Fasting Glucose Test (FGT) sebagai alat utama untuk mendiagnosis diabetes melitus pada orang dewasa yang tidak hamil. Sebagai tambahan seperti yang diperlihatkan pada tabel I, terdapat kategori baru dari glisemia yaitu Impaired Fasting Glucose (IFG). IFG merupakan kondisi dimana kadar glukosa plasma antara 100 mg/dL (5,6 mmol/L) dan 6 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Impaired Glucose Tolerance (gangguan toleransi glukosa, IGT) didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar glukosa antara 140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan 200 mg/dL(11,0 mmol/L) selama OGTT (Oral Glucose Tolerance Test). Pasien dengan IFG atau IGT secara umum disebut mengalami prediabetes karena memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita diabetes (Triplitt dkk., 2008). Tabel I. Kategori dari glucose status (Triplitt dkk., 2008) Fasting plasma glucose (FPG) Normal FPG < 100mg/dL (5,6 mmol/L) Impaired fasting glucose (IFG) 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol.L) Diabetes melitus FPG ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) 2-hour postload plasma glucose (oral glucose toleranse test) Normal Postload glucose < 140 mg/dL (7,8 mmol/L) Impaired glucose toleranse (IGT) 2-hour postload glucose 140-199mg/dl (7,8-11,1 mmol/L) Diabetes melitus 2-hour postload glucose ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) b. Pembagian Diabetes Melitus Menurut PERKENI, klasifikasi diabetes melitus dibagi seperti yang terlihat pada tabel II. Tabel II. Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI (2011) Klasifikasi Penyebab DM tipe I Dekstruksi sel beta, umumnya menjurus pada defisiensi insulin absolut: autoimun idiopatik. Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin DM tipe II disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin Tipe lain DM Gestasional Defek genetik fungsi sel beta; Defek genetik kerja insulin; Penyakit eksokrin pankreas; Endokrinopati; Karena obat atau zat kimia; Infeksi; Sebab imunologi yang jarang ; Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes pada kehamilan 7 c. Komplikasi Diabetes Melitus Menurut PERKENI (2011) komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu sebagai berikut: 1) Komplikasi akut yaitu komplikasi yang muncul secara cepat atau tibatiba, terdiri dari: a) Ketoasidosis Diabetik (KAD) KAD Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap. b) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. c) Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus hipoglikemia. selalu dipikirkan Hipoglikemia paling kemungkinan sering terjadinya disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut 8 merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. 2) Komplikasi menahun yang muncul setelah jangka waktu tertentu, terdiri dari: a) Makroangiopati Makroangiopati merupakan komplikasi diabetes melitus yang mengenai pembuluh darah makro biasanya terjadi pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah otak dan pembuluh darah tepi. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul. b) Mikroangiopati: Komplikasi mikroangiopati (pembuluh darah mikro) dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik maupun neuropati. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. d. Tata Laksana Terapi Terapi diabetes melitus dilakukan secara bertahap, diawali dengan perubahan gaya hidup, kemudian monoterapi obat hipoglikemik oral, dan terapi kombinasi apabila kadar glukosa darah belum terkendali. Langkah lebih lanjut adalah pemberian terapi oral kombinasi dengan insulin, kemudian hanya insulin saja dan terakhir adalah penambahan 9 obat oral pada terapi insulin untuk pengobatan resistensi insulin (Goode, 2002). 2. Nefropati Diabetik Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular dari diabetes melitus yang berujung pada terjadinya albuminuria dan penurunan fungsi ginjal yang progresif (Pai dan Conner, 2008). Pasien diabetes memiliki kecenderungan 17 kali lebih banyak untuk menderita penyakit ginjal dibandingkan pada pasien tanpa diabetes. Penyakit ini merupakan kondisi dengan banyak tingkatan yang memerlukan waktu bertahun tahun hingga terlihat secara klinis (Khatib, 2006). Menurut PERKENI (2011) sekitar 2040% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik. a. Definisi Nefropati Diabetik Nefropati diabetik adalah istilah tradisional dari penyakit ginjal diabetik dan merupakan diagnosis klinik yang bila ditinjau dari sejarahnya berdasarkan pada ditemukannya proteinuria pada penderita diabetes. Definisi ini independen dari istilah penyakit ginjal kronik sebagai perubahan patologi atau adanya penurunan GFR, dan ini secara inisial dibatasi pada orang-orang yang menderita makroalbuminaria. Perkembangan dari pengujian yang lebih sensitif terhadap albumin menyebabkan albumin dapat dideteksi dalam jumlah yang lebih kecil, yang disebut sebagai mikroalbuminuria atau incipient nephropathy. Batas terkecil dari mikroalbuminuria diset kira-kira pada kecepatan ekskresi 10 albumin sebesar 20 µg/min atau setara dengan 30 mg/24 jam atau ACR (rasio albumin/kreatinin) sebesar 30 mg/g (NKF-K/DOQI, 2007a). Definisi ini memiliki beberapa kegunaan klinis pada individual dengan makroalbuminuria yang memiliki riwayat penurunan GFR secara progresif yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan darah sistemik, sedangkan pada individu dengan mikroalbuminuria memiliki fungsi ginjal yang masih stabil namun berisiko tinggi mengalami perkembangan menuju makroalbuminuria dan gagal ginjal di kemudian hari (NKF-K/DOQI, 2007a). b. Patofisologi Nefropati Diabetik Diabetes menyebabkan perubahan yang unik pada struktur ginjal. Glomerulosklerosis klasik dikarakterisasi dengan peningkatan lebar membran basement glumerolar, diffuse mesangial sclerosis, hyalinosis, microaneurysm, dan hyaline arteriosclerosis. Terdapat pula perubahan tubular dan interstitial. Area dari ekspansi mesangial ekstrim disebut Kimmelstiel-Wilson nodules atau nodular mesangial expansion terlihat pada 40-50% pasien yang mengalami proteinuria. Pasien mikro maupun makroalbuminuria pada diabetes tipe 2 memiliki heterogenitas struktural yang lebih dibandingkan pada pasien diabetes tipe 1. Dievaluasi menggunakan mikroskop elektron, keparahan dari lesi glomerular berhubungan dengann GFR dan Urine Albumin Excretion (UAE), durasi diabetes , derajat kontrol glisemik dan faktor genetik. Namun terdapat tumpang tindih pada ekspansi mesangial dan penebalan basemen 11 glumerular pada pasien diabetes tipe 1 dan 2 dengan normo, mikro dan makroalbuminuria serta proteinuria dengan batas yang tidak jelas untuk membedakan antar kelompok tersebut (Gross dkk., 2005) Penebalan dari membran basement kapiler glomerular merupakan ciri khas dari nefropati diabetik. Deposisi difus dari material seperti membran basement melebarkan mesangium. Proses ini mempersempit lumina kapiler, menggganggu aliran darah, sehingga mengurangi luas permukaan filtering pada glomerulus. Hiperglisemia menyebabkan hipertensi interglomerular dan hiperfiltrasi renal. Hiperfiltrasi diikuti dengan mikroalbuminuria dengan glomerulosklerosis minimal yang kemungkinan masih bersifat reversibel. Jika keadaan ini tidak diatasi akan muncul makroalbuminuria dan pasien biasanya akan mengalami perkembangan menuju sindrom nefrotik. Progresi dari penyakit ginjal diabetik dapat dipercepat dengan adanya hipertensi, proteinuria dan retinopati diabetik. Abnormalitas lipid juga berperan terhadap perkembangan dari glomerulosklerosis (Kroon dkk., 2008). c. Albuminuria Ada beberapa cara untuk memperkirakan terjadinya mikroalbuminuria, yaitu: 1) Pengukuran rasio albumin/kreatinin pada urin melalui random spot spot colection ( lebih dipilih dilakukan pada saat pertama kali urinasi di pagi hari) 2) Pengumpulan selama 24 jam 12 3) Timed collection ( pengumpulan selama 4 hingga 10 jam) (Triplitt dkk., 2008) Berdasarkan pengukuran tersebut, albuminuria dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu normoalbuminuria, mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Klasifikasi albuminuria dapat dilihat pada tabel III. Tabel III. Klasifikasi albuminuria (PERKENI,2011) Kategori Urin 24 jam Urin dalam waktu (mg/24 jam) tertentu (µg/min) Normoalbuminuria <30 <20 Mikroalbuminuria 30-300 20-200 Makroalbuminuria ≥300 ≥200 Urin sewaktu (µg/mg kreatinin) <30 30-300 ≥300 Karena adanya variabilitas tiap harinya pada ekskresi albumin, 2 atau 3 kali sampel urin dikumpulkan selama periode 3 hingga 6 bulan haruslah abnormal sebelum pasien dapat dinyatakan mengalami salah satu kategori albuminuria di atas (Kroon dkk., 2008). d. Skrining 1) Skrining tahunan terjadinya albuminuria harus dilakukan pada pasien dengan diabetes tipe 1 dengan durasi paling sedikit 5 tahun dan pada pasien dengan diabetes tipe 2 semenjak didiagnosis (ADA,2012). 2) Pengukuran serum kreatinin paling tidak setiap tahun pada semua pasien dewasa dengan diabetes tidak peduli derajat ekskresi albumin. Serum kreatinin dapat digunakan untuk memprediksi GFR dan tingkatan dari penyakit ginjal kronis jika ada (ADA,2012). 3) Skrining yang lebih sering diindikasikan bila terjadi hipertensi, kenaikan serum kreatinin dan atau terjadi retinopati. Konsentrasi 13 albumin urin dapat meningkat dengan olahraga dalam 24 jam, demam, infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, hipertensi yang tidak terkontrol dan CHF. Skrining dapat ditunda pada pasien dengan kondisi-kondisi di atas (Kroon dkk., 2008 dan NKF-K/DOQI, 2007a). 4) Jika mikroalbuminuria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun (PERKENI, 2011). e. Tingkatan dan gejala klinis dari Nefropati Diabetik Menurut NKF-K/DOQI (2007a), terdapat beberapa tingkatan dan gejala klinis dari nefropati diabetik seperti yang terlihat dalam tabel IV. Tabel IV. Tingkatan dan Keadaan Klinis Nefropati Diabetik (NKF-K/DOQI, 2007a) Tingkat Deskripsi Keadaan klinis Berisiko tinggi Diabetes melitus, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga 1-2 Kerusakan ginjal Mikroalbuminuria Durasi diabetes 5-10 tahun, retinopati, peningkatan tekanan darah Makroalbuminuria Durasi diabetes 10-15 tahun Retinopati, tekanan darah tinggi 3-4 Penurunan GFR Tekanan darah tinggi, retinopati, CVD, komplikasi diabetes lainnya 5 Gagal ginjal Retinopati, CVD, komplikasi diabetes lainnya, uremia Ket: GFR: Glomerular Filtration Rate, kecepatan filtrasi glomerulus CVD: Cardiovascular Disease, penyakit kardiovaskula Sedangkan bila dilihat dari GFR dan albuminuria yang terjadi dapat dirangkum dalam tabel V. Tabel V. Kemungkinan Terjadinya Nefropati GFR Tingkatan (mL/min) GGK Normoalbuminuria >60 1+2 Berisiko 30-60 3 Kemungkinan bukan ND <30 4+5 Kemungkinan bukan ND Ket: GGK: Gagal Ginjal Kronik ND: Nefropati Diabetik Diabetik (NKF-K/DOQI, 2007a) Albuminuria Mikroalbuminuria Makroalbuminuria Mungkin ND ND Mungkin ND ND Kemungkinan bukan ND ND 14 f. Tata Laksana Terapi Nefropati Diabetik Penatalaksanaan nefropati diabetik tidak hanya melalui terapi farmakologis menggunakan obat-obatan namun juga meliputi berbagai hal seperti pengendalian glukosa darah, tekanan darah, diet protein, manajemen dislipidemia dan anemia serta intervensi multifaktorial. PERKENI (2011) menyebutkan bahwa pada penderita nefropati diabetik perlu dilakukan terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II (ARB), penghambat ACE (ACEI), atau kombinasi keduanya reseptor Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau angiotensin, dapat diberikan antagonis kalsium non dihidropiridin. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Guideline dari NKF-K/DOQI (2004) yang menyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan terapi farmakologi untuk penyakit ginjal diabetik yaitu: a) Target tekanan darah pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik adalah <130/80 mmHg b) Pasien dengan penyakit ginjal diabetik dengan ataupun tanpa hipertensi harus diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB Adapun algoritma terapi untuk nefropati diabetik menurut NKFK/DOQI pada tahun 2004 ditunjukkan pada gambar 1. 15 Evaluasi terhadap pasien GGK1-4 Apakah pasien mengalami penyakit ginjal diabetik (nefropati diabetik) ? atau apakah pasien mengalami penyakit ginjal non-diabetik dengan urin sewaktu (rasio protein total/kreatinin ) ≥ 200 mg/g ? Ya Evaluasi secara periodik Tidak Apakah ACEI atau ARB dapat diberikan atau ditingkatkan? Tidak Apakah tekanan darah < 130/80 mmHg? Ya Ya Tidak Berikan atau tingkatan ACEI atau ARB5 Berikan atau tingkatkan diuretik atau agent lainnya6 Monitor respon termasuk proteinuria7 dan manajemen efek samping8,9 Gambar 1. Algoritma Terapi Nefropati Diabetik Menurut NKF-K/DOQI (2004b) Keterangan lebih lengkap mengenai algoritma tersebut dapat dilihat dalam tabel VI. Tabel VI. Keterangan Algoritme Terapi Nefropati Diabetik (NKF-K/DOQI, 2004b) 1. Evaluasi 2. Diet perubahan lifestyle dan 3. Terapi diabetes 4. Terapi untuk faktor risiko CVD lainnya -Gagal Ginjal kronik -Cardiovascular Disease (CVD) atau faktor risiko CVD - Konsumsi sodium < 2,4 g/hari - BMI ≤ 25 kg/m2 - Aktivitas fisik dan olahraga - Intake alkohol yang tidak berlebihan - Smoking cessation -Terapi diabetes untuk semua (guideline American Diabetes Association) -Dislipidemia (guideline National Cholesterol Education Program) 16 Tabel VI. Lanjutan... 5. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) 6. Target tekanan darah sistolik <130 mmHg 7. Pasien dengan spot urine total protein to creatinine ratio>500-1000 mg/g 8. Monitor serum potasium 9. Monitor Glomerular Filtration (GFR) - ACE inhibitor atau ARB untuk diabetes tipe 1 dan 2 dengan spot urine total protein to creatinine ratio 30-300 mg/g (mikroalbuminuria) - ACE inhibitor lebih dipilih untuk diabetes tipe 1 dengan spot urine total protein to creatinine ratio> 300 mg/g (makroalbuminuria) - ARB lebih dipilih bagi diabetes tipe 2 dengan spot urine total protein to creatinine ratio> 300 mg/g (makroalbuminuria) - Salah satu agent dapat digunakan sebagai agent alternatif bila agen yang lebih dipilih tidak dapat digunakan - Gunakan dosis moderate hingga tinggi - Gunakan diuretik pertama kali - Kemudian tambahkan calcium channel blocker atau beta blocker - Hindari dyhidropiridin calcium channel blocker tanpa ACEI atau ARB - Pertimbangkan target tekanan darah yang lebih rendah - Pertimbangkan pengukuran untuk mengurangi proteinuria - Naikkan dosis ACEI atau ARB - Gunakan kombinasi ACEI atau ARB - Tambahkan atau naikkan dosis agen lainnya yang dapat menurunkan proteinuria - ACE inhibitor atau ARB dapat menyebabkan hiperkalemia - Jika memungkinkan, hindari obat lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia ( suplemen potasium, NSAIDs, diuretik hemat kalium) - Evaluasi penyebab hiperkalemia - Atasi hiperkalemia menggunakan diuretik - Lanjutkan penggunaan ACEI atau ARB bila potassium serum ≤ 5,5 mEq/L - Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia - Evaluasi penyebab hipokalemia - Atasi hipokalemia dengan perhatian pada penyakit ginjal diabetik - Rate - Jika penurunan GFR > 30% dari baseline dalam 4 minggu , evaluasi penyebab Lanjutkan penggunaan ACEI atau ARB bila penurunan GFR <30% dari baseline setelah 4 bulan 3. Antihipertensi Antihipertensi merupakan agen yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah baik yang berupa bahan alam maupun obat-obatan sintetik. Dalam penelitian ini antihipertensi yang dimaksud adalah obat antihipertensi sintetik. 17 Obat-obatan ini bekerja melalui berbagai mekanisme yang berkaitan dengan pengaturan tekanan darah di dalam tubuh. a. Diuretik Salah satu strategi paling awal dalam manajemen hipertensi adalah dengan mengubah keseimbangan Na+ dengan retriksi garam dalam diet. Pengubahan keseimbangan Na+ secara farmakologi dipraktekkan pada tahun 1950an dengan dikembangkannya diuretik thiazid oral. Obat ini dan agen diuretik lainnya memiliki efek antihipertensi ketika digunakan sendirian dan dapat meningkatkan efikasi hampir semua antihipertensi lainnya. Contoh diuretik thiazid antara lain hydrochlorothiazide dan chlorthalidone (Hardman dkk., 2001). b. β adrenoreseptor antagonis β blocker menurunkan tekanan darah dengan menurunkan cardiac output. Kerugian blokade β blocker antara lain adanya adverse effect yang umum seperti tangan yang dingin dan rasa lemah, serta yang lebih tidak umum namun dapat berbahaya seperti dapat memicu asma, gagal jantung atau menghambat konduksi. β blocker juga cenderung menaikkan kadar trigliserin, HDL-kolesterol (Neal, 2002) c. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) Angiotensin II merupakan vasokonstriktor sirkulasi yang kuat dan penghambatan pada sintesisnya berakibat pada turunnya resistensi perifer dan menurunnya tekanan darah. ACE inhibitor tidak mengganggu refleks kardiovaskular dan tidak memiliki banyak efek samping seperti pada diuretik 18 atau β blocker. Efek yang tidak diinginkan dari ACEI yang umum adalah batuk kering yang diakibatkan adanya penumpukan bradikinin. Adverse effect yang jarang namun serius pada ACEI adalah angioedema, proteinuria dan neutropenia. Dosis pertama dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis misalnya pada pasien yang juga menggunakan diuretik. ACEI dapat menyebabkan terjadinya kegagalan ginjal pada pasien dengan bilateral renal arteri stenosis karena pada kondisi ini angiotensin II diperlukan untuk mengkonstriksi arteri postglomerular dan menjaga filtrasi glomerular yang cukup (Neal, 2002). Contoh obat-obatan ACEI antara lain kaptopril, enalapril dan lain-lain. Menurut penelitian Lewis dkk (1993), menunjukkan bahwa pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan nefropati diabetik, kaptopril mencegah atau memperlambat progresi (perkembangan) dari penyakit renal. Efek neproprotektif dari ACEI dan Ca blocker pada diabetes mungkin bersifat aditif (Brettzel, 1997). Sebagai tambahan untuk mencegah nefropati diabetik, ACEI juga dapat menurunkan progresi retinopati pada diabetes tipe 1 (Chaturvedi dkk., 1998). ACE inhibitor juga mengatenuasi perkembangan insufisiensi renal pada pasien dengan bervariasi nefropati nondiabetik (Maschio dkk., 1996; GISEN,1997; Ruggenenti dkk., 1999, 1999) dan dapat menahan penolakan kecepatan filtrasi glomerular bahkan pada pasien dengan penyakit renal berat. 19 d. Angiotensin Receptor Antagonis/Blockers (ARB) Pentingnya menyebabkan angiotensin II dikembangkannya dalam antagonis mengatur fungsi nonpeptida dari vaskular reseptor angiotensin II untuk penggunaan klinis. Losartan, kandesartan, irbesartan, valsartan, telmisartan dan eprosartan telah disetujui penggunaannya untuk terapi hipertensi. Dengan mencegah efek dari angiotensin II, agen ini dapat merileksasi otot polos dan meningkatkan vasodilatasi, ekskresi garam ginjal dan air, menurunkan volume plasma, dan menurunkan hipertropi seluler (Hardman dkk., 2001). Clinical trials yang sedang berlangsung sebaiknya memberi perhatian pada efikasi relatif dari ACE I dan antagonis reseptor AT1 pada pasien dengan nefropati diabetik, penyakit jantung koroner dan left ventricular dysfunction ( Hardman dkk., 2001). e. Calcium Channel Blockers Keadaan otot polos bergantung pada konsentrasi Ca2+ sistosolik. Hal ini ditingkatkan oleh aktivasi α-1 adrenoreseptor yang memicu pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma. Antagonis kalsium (seperti nifedipine, amlodipine) berikatan dengan L-type channel dan dengan mengeblok masuknya Ca2+ ke dalam sel terjadi relaksasi otot polos arteriola. Hal ini menurunkan resistensi perifer sehingga menyebabkan turunnya tekanan darah (Neal, 2002). 20 f. α -1 adrenoreseptor antagonis Prazosin dan doxazosin menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat secara selektif α -1 adrenoreseptor vaskular. g. Obat-obatan yang bekerja secara sentral seperti alpha agonis 4. Penggunaan ACEI dan ARB pada Nefropati Diabetik Guideline dari NKF-K/DOQI (2004c) menjelaskan secara rinci penggunaan ACEI dan ARB untuk penyakit ginjal kronis secara umum, baik untuk diabetik (nefropati diabetik) maupun nondiabetik, dengan ketentuan sebagai berikut: a. ACEI dan ARB harus digunakan pada dosis sedang sampai tinggi, seperti yang digunakan dalam uji klinis b. ACEI dan ARB harus digunakan sebagai alternatif antara satu sama lainnya, jika salah satu golongan yang diinginkan ini tidak dapat digunakan c. ACEI dan ARB dapat digunakan dalam kombinasi untuk menurunkan tekanan darah atau mengurangi proteinuria d. Pasien yang diobati dengan ACEI atau ARB harus dipantau adanya hipotensi, penurunan GFR, dan hiperkalemia e. Interval untuk pemantauan tekanan darah, GFR, dan kalium serum tergantung pada tingkat dasar (kondisi pasien sebelumnya) f. Pada kebanyakan pasien, penggunaan ACE inhibitor atau ARB dapat dilanjutkan jika: 1) Penurunan GFR selama 4 bulan <30% dari nilai dasar (nilai semula) 21 2) Serum kalium adalah ≤ 5,5 mEq / L g. ACEI dan ARB tidak boleh digunakan atau digunakan dengan hati-hati dalam keadaan tertentu Pada hewan percobaan, ACEI dan ARB mengurangi tekanan intraglomerular serta tekanan darah sistemik, yang memberikan kontribusi untuk efek menguntungkan agen-agen tersebut dalam memperlambat perkembangan penyakit ginjal. Proteinuria dikaitkan dengan perkembangan yang lebih cepat dari penyakit ginjal. Dalam uji coba terkontrol, ACEI dan ARB mengurangi ekskresi protein sekitar 35% sampai 40%, lebih besar dari obat antihipertensi lain, bahkan ketika efek penurunan tekanan darah pada ekskresi protein urin telah diperhitungkan. Beberapa, tetapi tidak semua, percobaan terkontrol telah menunjukkan bahwa efek menguntungkan dari inhibitor ACE pada perkembangan penyakit ginjal tampaknya lebih besar dari yang diharapkan karena efek antiproteinurik mereka. 1. Kontraindikasi penggunaan ACEI dan ARB Tabel VII. Kontraindikasi Penggunaan ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI, 2004c) Obat Tidak boleh digunakan Angotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) -Kehamilan -Riwayat angioedema -Batuk bila menggunakan ACEI -Alergi terhadap ACEI atau ARB Gunakan secara berhatihati -Wanita yang tidak menggunakan kontasepsi -Bilateral renal arteri stenosis -Obat-obatan yang menyebabkan hiperkalemia 22 Tabel VII. Lanjutan... Tidak boleh digunakan Obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB) -Alergi terhadap ACEI atau ARB -Kehamilan -Batuk bila menggunakan ARB Gunakan secara berhatihati -Bilateral renal arteri stenosis -Obat-obatan yang menyebabkan hiperkalemia -Wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi -Angioedema karena ACEI 2. Dosis yang direkomendasikan Tabel VIII. Rentang Dosis untuk ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI,2004c) Nama Generik Nama Dagang Rentang dosis (mg/hari) Dosis/hari Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) Benazepril Lotensin 20-40 1-2 Kaptopril Capoten 25-150 2-3 Enalapril Vasotec 10-40 1-2 Fosinopril Monopril 20-40 1-2 Lisinopril Prinipril, 20-40 1-2 Zestril Moexipril Univasc 5-30 1-2 Perindopril Aceon 4-8 1-2 Quanapril Accupril 20-80 1-2 Ramipril Altace 2,5-20 1-2 Trandolapril Mavik 2-4 1 Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Candesartan Atacand 16-32 1 Eprosartan Teveten 400-800 1-2 Irbesartan Avapro 150-300 1 Losartan Cozaar 50-100 1-2 Olmesartan Benicar 20-40 1 Telmisartan Micardis 40-80 1 Valsartan Diovan 80-320 1 Maksimum dosis yang digunakan dalam trial (mg/hari) 30 100-150 20-40 4 10 3 16 300 100 160 23 3. Efek samping yang mungkin terjadi Tabel IX. Efek Samping dari ACEI dan ARB (NKF-K/DOQI,2004c) Efek samping Disebabkan oleh penghambatan ACE atau blokade reseptor AT1 Hipotensi Keterangan Dose-Related Paling umum setelah dimulainya terapi, atau meningkat seiring dosis Penurunan fungsi ginjal, gagal Risiko tertinggi pada compromised renal ginjal akut blood flow Hiperkalemia Lebih sering pada diabetes, dengan penggunaan Non-Steroidal Anti Inflamatory Drugs (NSAID), diuretik hemat kalium, suplement kalium Mungkin lebih umum pada Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dibandingkan dengan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Disebabkan oleh penghambatan Dose-Related Enzim selain ACE atau reseptor lain Batuk 10-20% pada ACEIs, tidak umum pada ARB Angioneurotic edema <1%insiden ( lebih umum pada ras AfricanAmericans dibandingkan pada kaukasia) Reaksi alergi Rash pada kulit (kemerahan) Hingga 10% pada penggunaan kaptopril Neutropenia, agranulositosis Insiden < 1%. Risiko lebih tinggi pada pasien dengan kelainan jaringan ikat Dysgeusia Hingga 6 % pada kaptopril Efek pada fetus Toksisitas ginjal dan paru-paru Dikontraindikasikan pada trimester 2 dan 3 Harus dihindari semasa kehamilan 4. Monitoring Tabel X. Interval yang Direkomendasikan untuk Monitoring Tekanan Darah, GFR dan Serum Potasium untuk Efek Samping dari ACEI atau ARB (NKFK/DOQI, 2004c) Nilai Dasar SBP (mmHg) ≥ 120 <120 GFR (mL/min/1,73 m2) ≥ 60 <60 Penurunan GFR awal (%) < 15 ≥15 Serum potasium (mEq/L) ≤4,5 >4,5 Interval Setelah inisiasi atau 4-12 minggu ≤ 4 minggu peningkatan dosis dari ACEI atau ARB Setelah tekanan darah 6-12 bulan 1-6 bulan mencapai target dan dosis stabil Ket: SBP: Sistolik Blood Pressure; GFR: Glomerular Filtration Rate; ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor; ARB: Angiotensin Receptor Blocker 24 5. Penggunaan Antihipertensi yang Rasional pada Pasien Nefropati Diabetik Hampir separuh obat di dunia digunakan secara tidak rasional. Menurut World Health Organization (WHO), hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi yang fatal, seperti Adverse Drug Reaction (ADR), resistensi obat, penyakit yang tidak kunjung sembuh, dan bahkan kematian. Disamping itu, biaya yang dikeluarkan baik oleh individu dan pemerintah untuk pengobatan yang tidak rasional sering sangat tinggi (WHO, 2004). Penggunaan obat dikatakan memenuhi prinsip farmakoterapi rasional bila pengambilan keputusan dalam proses terapi dilakukan dengan cermat. Kriteria penggunaan obat yang rasional dikenal dengan asas empat tepat satu waspada, yakni tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping obat (Donatus, 2003) a. Tepat indikasi Tepat indikasi berarti obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat. Dalam penelitian ini, tepat indikasi berarti antihipertensi diberikan kepada pasien yang mengalami diabetes dengan komplikasi mikrovaskular ke glomerulus ginjal atau yang disebut sebagai nefropati diabetik. b. Tepat obat Tepat obat berarti pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan keamanan dan kemanjuran yang terbaik di antara obat yang ada. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan tepat obat adalah ketepatan pemilihan 25 golongan antihipertensi yang akan digunakan dalam terapi berdasarkan konsensus PERKENI tahun 2011 dan guideline NKF-K/DOQI tahun 2004, disesuaikan dengan kondisi pasien penderita nefropati diabetik. c. Tepat penderita/pasien Tepat pasien berarti tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis atau mempermudah timbulnya efek samping. Kategori tepat pasien dalam penelitian ini adalah tidak adanya kontraindikasi seluruh obat antihipertensi yang digunakan terhadap kondisi pasien. d. Tepat dosis Tepat dosis berarti takaran, jalur, saat, lama pemberian sesuai dengan kondisi pasien. Tepat dosis dalam penelitian ini yakni ketepatan takaran antihipertensi menurut standar NKF-K/DOQI tahun 2004 dan buku Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach tahun 2008. e. Waspada terhadap efek samping obat Waspada terhadap efek samping obat berarti melaksanakan tindakan pengawasan terhadap efek samping utama obat. Tindakan pengawasan tersebut salah satunya adalah pengukuran tekanan darah, penurunan GFR dan pengukuran kalium dalam darah. Dalam penelitian tidak dilakukan analisis kewaspadaan efek samping karena keterbatasan data. 6. Catatan Medik Rekam medik adalah berkas yang memberikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan serta pelayanan 26 lain kepada pasien pada suatu sarana pelayanan kesehatan (PERMENKES, 1989). F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian, pola pengobatan dan rasionalitas penggunaan antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien dan ketepatan dosis pada pasien nefropati diabetik di instalasi rawat inap RS Bethesda bulan Januari 2012 hingga Desember 2012.