5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resep 2.1.1. Definisi Resep Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien. 2.1.2. Komponen Resep Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994), setiap negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut. Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum: 1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter. 2. Tanggal. 3. Nama dan kekuatan obat. 4. Dosis dan jumlah total obat. 5. Label: instruksi dan peringatan. 6. Nama, alamat, dan umur pasien. 7. Tanda tangan dokter. Menurut Jas (2008), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri dari enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 6 subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh dokter pada bagian subscriptio. Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2008). 2.1.3. Rasionalitas Resep Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis. Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan antagonis (Jas, 2008). Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkahlangkah yang rasional yaitu: 1. Buat diagnosis yang spesifik, 2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut, 3. Pilih tujuan terapi yang spesifik, 4. Pilih pengobatan, 5. Tentukan regimen dosis, 6. Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi, 7. Rencanakan program edukasi bagi pasien. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 7 Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar penggunaan obat disebut rasional, yaitu: 1. Tepat Diagnosis: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis. Pemilihan obat akan salah apabila diagnosis tidak ditetapkan dengan benar. 2. Tepat Indikasi Penyakit: Pilihan obat yang diberikan harus tepat untuk suatu penyakit tertentu. 3. Tepat Pemilihan Obat: Pilihan obat yang diberikan harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit. 4. Tepat Dosis, Jumlah, Cara, Waktu dan Lama Pemberian Obat: a. Tepat Dosis dan Jumlah: Dosis dan jumlah obat yang diberikan harus cukup. b. Tepat Cara Pemberian: Misalnya pada pemberian obat antasida, obat seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru boleh ditelan dan pada pemberian antibiotik, obat tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorpsi sehingga efektifitasnya menurun. c. Tepat Interval Waktu Pemberian: Cara pemberian obat sebaiknya sederhana dan praktis agar mudah dipatuhi oleh pasien. Frekuensi pemberian obat yang terlalu sering akan menurunkan tingkat kepatuhan minum obat. Pemberian obat 3 kali sehari seharusnya diberikan dengan interval pemberian obat setiap 8 jam. d. Tepat Lama Pemberian: Lama pemberian obat harus sesuai dengan penyakitnya. Misalnya, lama pemberian obat untuk penyakit tuberkulosis minimal adalah 6 bulan dan lama pemberian kloramfenikol untuk demam tifoid adalah 10-14 hari. 5. Tepat Penilaian Kondisi Pasien: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai dengan kondisi pasien, yaitu kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 8 6. Waspada terhadap Efek Samping: Setiap obat dapat menimbulkan efek samping pada dosis terapi, seperti timbul rasa mual, muntah, gatal-gatal, dan lain lain. 7. Efektif, Aman, Mutu Terjamin, Tersedia Setiap Saat, dan Harga Terjangkau. 8. Tepat Tindak Lanjut (follow up): Apabila sakit berlanjut setelah pengobatan sendiri telah dilakukan, pasien harus berkonsultasi ke dokter. 9. Tepat Penyerahan Obat (dispensing): Penyerahan obat kepada pasien harus disertai dengan informasi yang tepat. 10. Pasien Patuh terhadap Perintah Pengobatan: Ketidakpatuhan pasien terjadi pada keadaan-keadaan berikut ini: a. Jenis sediaan obat yang beragam, b. Jumlah obat yang terlalu banyak, c. Frekuensi pemberian obat per hari yang terlalu sering, d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa adanya informasi, e. Pasien tidak memperoleh informasi yang cukup tentang cara menggunakan obat, f. Timbul suatu efek samping. 2.1.4. Kesalahan dalam Peresepan Obat Menurut Carruthers et al. (2000), kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam meresepkan obat umumnya berhubungan dengan: 1. Penulisan nama obat yang salah. 2. Penggunaan bentuk sediaan obat yang salah. 3. Penggunaan singkatan yang salah. 4. Kesalahan dalam menghitung dosis. Beberapa tipe kesalahan dalam persepan obat yang umum ditemukan menurut Katzung et al. (2009) yaitu kurangnya keterangan atau informasi di dalam resep, penulisan yang buruk tentang dosis dan interval pemakaian obat, serta peresepan obat tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan pasien. Kesalahan dalam meresepkan obat dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kesalahan dalam proses memutuskan obat apa yang akan diresepkan kepada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 9 pasien. Tipe kesalahan ini dapat berupa peresepan irasional, peresepan berlebih atau peresepan kurang. Kedua, kesalahan dalam proses menulis resep. Tipe kesalahan yang terjadi berupa salah menulis nama obat, dosis, rute, interval pemberian, dan nama pasien (Aronson, 2009). Menurut Tully et al. (2009), kesalahan dalam peresepan obat paling sering terjadi karena kurangnya pengetahuan dokter tentang obat yang diresepkan atau pasien yang akan menerima resep obat. Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi akibat kurangnya pengalaman, kelelahan, stress, tingginya beban kerja dokter yang meresepkan obat dan kurangnya komunikasi antara profesional kesehatan. 2.2. Apotek dan Apoteker 2.2.1. Definisi Apotek Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apotek adalah toko tempat meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek merupakan suatu tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 2.2.2. Definisi Apoteker Apotek dikelola oleh seorang apoteker, yaitu sarjana yang sudah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kepmenkes RI, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apoteker adalah seorang ahli dalam ilmu obat-obatan yang memiliki wewenang untuk meracik dan menjual obat. 2.2.3. Pelayanan Apotek Seorang apoteker harus melakukan beberapa pelayanan seperti yang telah ditetapkan di dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek yaitu melakukan pelayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 10 Pelayanan resep yang dilakukan berupa skrining resep dan penyiapan obat. Skrining tersebut meliputi tiga hal yaitu persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pertama, persyaratan administratif yaitu: 1. Nama, Surat Izin Praktek (SIP), dan alamat dokter. 2. Tanggal penulisan resep. 3. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. 4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. 5. Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang diminta. 6. Cara pemakaian yang jelas. 7. Informasi lainnya. Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet, poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI, 2004). 2.3. Obat 2.3.1. Definisi Obat Definisi obat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu bahan untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan penyakit. Menurut Rang et al. (2007), obat adalah suatu zat kimia yang strukturnya telah diketahui dan bukan merupakan suatu nutrien atau bahan makanan esensial yang bila diberikan pada makhluk hidup akan menimbulkan efek biologis. Dalam Kepmenkes RI Nomor 193/Kab/B.VII/71 tentang pembungkusan dan penandaan obat, definisi obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11 luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang pedoman teknis pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar, obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologis dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi termasuk produk biologi. 2.3.2. Klasifikasi Obat Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, obat dapat dibagi menjadi lima golongan yaitu: 1. Obat bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). Gambar 2.1. Tanda Khusus Obat Bebas Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 12 2. Obat bebas terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli secara bebas tanpa resep dokter, namun penggunaannya harus memperhatikan informasi yang menyertai obat di dalam kemasan. Tanda khusus berupa lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). Gambar 2.2. Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI 3. Obat keras Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). Gambar 2.3. Tanda Khusus Obat Keras Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 13 4. Obat psikotropika Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat mempengaruhi susunan syaraf pusat dan dapat menimbulkan perubahan yang khas pada aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya diperbolehkan untuk dijual melalui resep dokter. Tanda khusus berupa huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). 5. Obat narkotika Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). Gambar 2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI 2.3.3. Bentuk Sediaan Obat Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada empat bentuk sediaan obat yaitu: 1. Sediaan Padat a. Tablet: sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk pipih, kedua permukaannya rata atau cembung dan mengandung satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa zat tambahan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 i. Tablet Bersalut: tablet yang bersalut/berlapis dengan tujuan untuk melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, dan cahaya, menutupi rasa dan bau, serta agar memiliki penampilan yang lebih baik. ii. Tablet Effervescent: tablet yang dilarutkan dalam air terlebih dahulu sebelum diminum. Tablet ini mengeluarkan gas CO2. iii. Tablet Kunyah: tablet yang penggunaannya dikunyah dengan tujuan memberikan rasa enak dan mudah ditelan. iv. Tablet Hisap: tablet yang penggunaannya dihisap, tidak langsung ditelan. b. Kapsul: sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam air dan terbuat dari gelatin atau bahan lain yang sesuai. c. Pulvis/Puyer/Talk: campuran kering bahan obat yang dihaluskan untuk digunakan sebagai obat dalam atau obat luar. 2. Sediaan Cair a. Syrup: sediaan cair yang digunakan sebagai obat dalam (diminum). b. Larutan obat luar: larutan yang digunakan hanya untuk penggunaan luar (tidak diminum). i. Cairan Tetes Hidung. ii. Cairan Tetes Telinga. iii. Cairan Tetes Mata. iv. Cairan Obat Kumur. v. Cairan Shampo. vi. Lotion. 3. Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap melalui hidung. 4. Sediaan Setengah Padat a. Salep: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit atau mata. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 15 b. Krim: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit dan kosmetik. c. Gel: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit, anus dan vagina. d. Aeorsol: sediaan setengah padat yang digunakan dengan cara semprot pada hidung atau mulut. e. Suppositoria: sediaan setengah padat berbentuk peluru digunakan untuk anus. f. Ovula: sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk vagina. 2.4. Interaksi Obat Ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain, maka interaksi dapat dikatakan telah terjadi (Stockley, 2008). Interaksi tidak hanya dapat terjadi antara obat dengan obat, tetapi juga dapat terjadi antara obat dengan bahan makanan seperti susu, jus, alkohol, kafein dan sebagainya (Bushra et al., 2010), serta antara obat dengan herba/tumbuh-tumbuhan (Fasinu et al., 2012). Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya seperti meningkatkan efek obat tersebut sampai menjadi efek toksik atau sebaliknya menurunkan efek obat tersebut sehingga menghilangkan manfaat terapinya pada pasien (Brunton et al., 2006). Menurut Carruthers et al. (2000), interaksi antara obat dengan obat dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu secara farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Menurut Katzung et al. (2009), beberapa mekanisme bagaimana obat berinteraksi dapat dikategorikan menjadi interaksi pada proses farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), interaksi pada proses farmakodinamik (efek aditif atau antagonis), dan interaksi kombinasi. Namun secara umum, interaksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 16 2.4.1. Interaksi Farmakokinetik Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat yang masuk ke dalam tubuh (Brunton et al., 2006). Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (Rang et al., 2007). 2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsi/diserap melewati membran biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah (Dipiro et al., 2005). Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik (Katzung et al., 2009). Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan lambung, misalnya metoklopramide (Rang et al., 2007). Menurut Rang et al. (2007), interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang berinteraksi secara farmasetik yaitu: 1. Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat larut (insoluble complex) dengan tetrasiklin sehingga menghambat penyerapan tetrasiklin (Rang et al., 2007). 2. Kolestiramin, suatu resin yang mengikat empedu, dapat mencegah penyerapan beberapa obat, misalnya warfarin dan digoksin dengan cara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17 berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan (Rang et al., 2007). 3. Penambahan adrenalin/epinephrine pada suntikan anestesi lokal menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang (Rang et al., 2007). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1. Efek perubahan pada pH saluran cerna. 2. Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya. 3. Perubahan pada pergerakan saluran cerna. 4. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat. 5. Malabsorbsi akibat obat. 2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk mencapai tempatnya bekerja (Dipiro et al., 2005). Setelah obat diabsorbsi atau telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan volume jaringan (Brunton et al., 2006). Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein (Dipiro et al., 2005). Menurut Katzung et al. (2009), interaksi pada proses distribusi obat yang dapat terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak. Pergeseran obat dari tempat ikatannya (binding sites) dalam plasma atau jaringan akan meningkatkan konsentrasi obat yang bebas/tidak terikat secara transien, namun proses ini juga diikuti oleh peningkatan eliminasi obat, sehingga Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 18 terbentuk suatu keadaan tetap (steady state) yang baru dimana konsentrasi obat total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis (Rang et al., 2007). Namun menurut Rang et al. (2007), ada beberapa konsekuensi interaksi ini yang berpotensial penting secara klinis yaitu: 1. Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas sebelum kondisi tetap (steady state) yang baru tercapai. 2. Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser (displacing drug). 3. Ketika obat penggeser (displacing drug) mengurangi eliminasi obat pertama sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap (steady state) yang baru dan toksisitas yang berat mungkin terjadi. Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Interaksi pada ikatan protein. 2. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat. 2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme Metabolisme obat atau disebut juga reaksi biotransformasi obat dibagi menjadi dua yaitu reaksi fungsionalisasi (fase I) dan reaksi biosintesis atau konjugasi (fase II). Pada reaksi fase I, obat mengalami proses hidrolisis yang dapat menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologis obat tersebut atau sebaliknya meningkatkan aktivitas farmakologis seperti pada prodrug. Pada reaksi fase II, obat yang telah mengalami reaksi fase I akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat untuk membentuk senyawa kovalen yang polar sehingga dapat dengan cepat diekskresikan melalui urin atau feses (Brunton et al., 2006). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19 Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul obat sehingga obat menjadi inaktif (Dipiro et al., 2005). Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh obat lain (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu: 1. Perubahan pada first-pass metabolism. 2. Induksi enzim. 3. Inhibisi enzim. 4. Faktor genetik. 5. Isoenzim sitokrom P450. 2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi Menurut Brunton et al. (2006), obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar (larut dalam air) daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi, kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi. Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan melalui organ paru-paru. (Dipiro et al., 2005) Menurut Katzung et al. (2009), ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut Stockley (2008), dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1. Perubahan pada pH urin. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 20 2. Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal. 3. Perubahan pada aliran darah ginjal. 4. Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt. 2.4.2. Interaksi Farmakodinamik Proses farmakodinamik merupakan proses dimana obat yang masuk bekerja pada tubuh (Brunton et al., 2006). Menurut Dipiro et al. (2005), dalam farmakodinamik dibahas hubungan antara konsentrasi obat dengan respon yang diterima oleh pasien. Obat dapat menimbulkan efek langsung maupun reversibel pada tingkat reseptor. Ketika molekul obat bertemu dengan reseptornya di jaringan atau organ target, suatu kompleks obat-reseptor akan terbentuk dan respon farmakologis akan terjadi. Obat dan reseptor tersebut berada dalam kesetimbangan yang dinamis dengan kompleks obat-reseptor. Ketika obat-obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan secara bersamaan, respon aditif atau sinergis akan muncul namun bila obat-obat tersebut memiliki efek farmakologis yang berlawanan maka respon salah satu obat tersebut akan berkurang (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses farmakodinamik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Interaksi aditif atau sinergis. 2. Interaksi antagonis atau berlawanan. 3. Interaksi pada uptake neurotransmiter atau obat. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara