5 Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Resep
2.1.1. Definisi Resep
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan
sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan
oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi
atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan
obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang
dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk
memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien.
2.1.2. Komponen Resep
Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994),
setiap negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang
harus ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang
boleh meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut.
Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum:
1.
Nama, alamat, dan nomor telepon dokter.
2.
Tanggal.
3.
Nama dan kekuatan obat.
4.
Dosis dan jumlah total obat.
5.
Label: instruksi dan peringatan.
6.
Nama, alamat, dan umur pasien.
7.
Tanda tangan dokter.
Menurut Jas (2008), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri
dari enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
6
subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio
sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan
singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada
bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian
terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh
dokter pada bagian subscriptio.
Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali
dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian
obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu
obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2008).
2.1.3. Rasionalitas Resep
Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan
logis. Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan,
tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga
harus aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2008).
Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkahlangkah yang rasional yaitu:
1.
Buat diagnosis yang spesifik,
2.
Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut,
3.
Pilih tujuan terapi yang spesifik,
4.
Pilih pengobatan,
5.
Tentukan regimen dosis,
6.
Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi,
7.
Rencanakan program edukasi bagi pasien.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7
Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008
tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih
Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar
penggunaan obat disebut rasional, yaitu:
1.
Tepat Diagnosis: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis.
Pemilihan obat akan salah apabila diagnosis tidak ditetapkan dengan benar.
2.
Tepat Indikasi Penyakit: Pilihan obat yang diberikan harus tepat untuk suatu
penyakit tertentu.
3.
Tepat Pemilihan Obat: Pilihan obat yang diberikan harus memiliki efek terapi
sesuai dengan penyakit.
4.
Tepat Dosis, Jumlah, Cara, Waktu dan Lama Pemberian Obat:
a. Tepat Dosis dan Jumlah: Dosis dan jumlah obat yang diberikan harus
cukup.
b. Tepat Cara Pemberian: Misalnya pada pemberian obat antasida, obat
seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru boleh ditelan dan pada
pemberian antibiotik, obat tidak boleh dicampur dengan susu karena akan
membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorpsi sehingga efektifitasnya
menurun.
c. Tepat Interval Waktu Pemberian: Cara pemberian obat sebaiknya
sederhana dan praktis agar mudah dipatuhi oleh pasien. Frekuensi
pemberian obat yang terlalu sering akan menurunkan tingkat kepatuhan
minum obat. Pemberian obat 3 kali sehari seharusnya diberikan dengan
interval pemberian obat setiap 8 jam.
d. Tepat Lama Pemberian: Lama pemberian obat harus sesuai dengan
penyakitnya. Misalnya, lama pemberian obat untuk penyakit tuberkulosis
minimal adalah 6 bulan dan lama pemberian kloramfenikol untuk demam
tifoid adalah 10-14 hari.
5.
Tepat Penilaian Kondisi Pasien: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai
dengan kondisi pasien, yaitu kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan,
menyusui, lanjut usia atau bayi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
6.
Waspada terhadap Efek Samping: Setiap obat dapat menimbulkan efek
samping pada dosis terapi, seperti timbul rasa mual, muntah, gatal-gatal, dan
lain lain.
7.
Efektif, Aman, Mutu Terjamin, Tersedia Setiap Saat, dan Harga Terjangkau.
8.
Tepat Tindak Lanjut (follow up): Apabila sakit berlanjut setelah pengobatan
sendiri telah dilakukan, pasien harus berkonsultasi ke dokter.
9.
Tepat Penyerahan Obat (dispensing): Penyerahan obat kepada pasien harus
disertai dengan informasi yang tepat.
10. Pasien Patuh terhadap Perintah Pengobatan: Ketidakpatuhan pasien terjadi
pada keadaan-keadaan berikut ini:
a. Jenis sediaan obat yang beragam,
b. Jumlah obat yang terlalu banyak,
c. Frekuensi pemberian obat per hari yang terlalu sering,
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa adanya informasi,
e. Pasien tidak memperoleh informasi yang cukup tentang cara menggunakan
obat,
f. Timbul suatu efek samping.
2.1.4. Kesalahan dalam Peresepan Obat
Menurut Carruthers et al. (2000), kesalahan yang dilakukan oleh dokter
dalam meresepkan obat umumnya berhubungan dengan:
1.
Penulisan nama obat yang salah.
2.
Penggunaan bentuk sediaan obat yang salah.
3.
Penggunaan singkatan yang salah.
4.
Kesalahan dalam menghitung dosis.
Beberapa tipe kesalahan dalam persepan obat yang umum ditemukan
menurut Katzung et al. (2009) yaitu kurangnya keterangan atau informasi di
dalam resep, penulisan yang buruk tentang dosis dan interval pemakaian obat,
serta peresepan obat tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan pasien.
Kesalahan dalam meresepkan obat dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
kesalahan dalam proses memutuskan obat apa yang akan diresepkan kepada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
pasien. Tipe kesalahan ini dapat berupa peresepan irasional, peresepan berlebih
atau peresepan kurang. Kedua, kesalahan dalam proses menulis resep. Tipe
kesalahan yang terjadi berupa salah menulis nama obat, dosis, rute, interval
pemberian, dan nama pasien (Aronson, 2009).
Menurut Tully et al. (2009), kesalahan dalam peresepan obat paling sering
terjadi karena kurangnya pengetahuan dokter tentang obat yang diresepkan atau
pasien yang akan menerima resep obat. Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi
akibat kurangnya pengalaman, kelelahan, stress, tingginya beban kerja dokter
yang meresepkan obat dan kurangnya komunikasi antara profesional kesehatan.
2.2. Apotek dan Apoteker
2.2.1. Definisi Apotek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apotek adalah toko tempat
meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter. Menurut Kepmenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek merupakan suatu tempat tertentu
dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
2.2.2. Definisi Apoteker
Apotek dikelola oleh seorang apoteker, yaitu sarjana yang sudah lulus
pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Kepmenkes RI, 2004). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, apoteker adalah seorang ahli dalam ilmu obat-obatan yang
memiliki wewenang untuk meracik dan menjual obat.
2.2.3. Pelayanan Apotek
Seorang apoteker harus melakukan beberapa pelayanan seperti yang telah
ditetapkan di dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek yaitu melakukan pelayanan resep,
promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
Pelayanan resep yang dilakukan berupa skrining resep dan penyiapan obat.
Skrining tersebut meliputi tiga hal yaitu persyaratan administratif, kesesuaian
farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pertama, persyaratan administratif yaitu:
1.
Nama, Surat Izin Praktek (SIP), dan alamat dokter.
2.
Tanggal penulisan resep.
3.
Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
4.
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
5.
Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang diminta.
6.
Cara pemakaian yang jelas.
7.
Informasi lainnya.
Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah
pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta
kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan
edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet,
poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga
dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk
kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI,
2004).
2.3. Obat
2.3.1. Definisi Obat
Definisi obat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu bahan
untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan penyakit. Menurut Rang
et al. (2007), obat adalah suatu zat kimia yang strukturnya telah diketahui dan
bukan merupakan suatu nutrien atau bahan makanan esensial yang bila diberikan
pada makhluk hidup akan menimbulkan efek biologis.
Dalam Kepmenkes RI Nomor 193/Kab/B.VII/71 tentang pembungkusan
dan penandaan obat, definisi obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan
yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah,
mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang
pedoman teknis pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan
kesehatan dasar, obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologis
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi termasuk produk biologi.
2.3.2. Klasifikasi Obat
Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008
tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih
Obat bagi Tenaga Kesehatan, obat dapat dibagi menjadi lima golongan yaitu:
1.
Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna
hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional, 2008).
Gambar 2.1. Tanda Khusus Obat Bebas
Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
2.
Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli secara bebas tanpa resep dokter, namun
penggunaannya harus memperhatikan informasi yang menyertai obat di dalam
kemasan. Tanda khusus berupa lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam
terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional, 2008).
Gambar 2.2. Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas
Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
3.
Obat keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna
hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi terdapat pada kemasan dan
etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).
Gambar 2.3. Tanda Khusus Obat Keras
Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
4.
Obat psikotropika
Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat
mempengaruhi susunan syaraf pusat dan dapat menimbulkan perubahan yang khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya diperbolehkan untuk
dijual melalui resep dokter. Tanda khusus berupa huruf K dalam lingkaran merah
dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat
(Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).
5.
Obat narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan
kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
menimbulkan ketergantungan. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh dengan
resep dari dokter (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).
Gambar 2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika
Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
2.3.3. Bentuk Sediaan Obat
Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008
tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih
Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada empat bentuk sediaan obat yaitu:
1.
Sediaan Padat
a. Tablet: sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak, dalam
bentuk pipih, kedua permukaannya rata atau cembung dan mengandung
satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa zat tambahan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
i. Tablet Bersalut: tablet yang bersalut/berlapis dengan tujuan untuk
melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, dan cahaya, menutupi
rasa dan bau, serta agar memiliki penampilan yang lebih baik.
ii. Tablet Effervescent: tablet yang dilarutkan dalam air terlebih dahulu
sebelum diminum. Tablet ini mengeluarkan gas CO2.
iii. Tablet Kunyah: tablet yang penggunaannya dikunyah dengan tujuan
memberikan rasa enak dan mudah ditelan.
iv. Tablet Hisap: tablet yang penggunaannya dihisap, tidak langsung
ditelan.
b. Kapsul: sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut dalam air dan terbuat dari gelatin atau bahan lain
yang sesuai.
c. Pulvis/Puyer/Talk: campuran kering bahan obat yang dihaluskan untuk
digunakan sebagai obat dalam atau obat luar.
2.
Sediaan Cair
a. Syrup: sediaan cair yang digunakan sebagai obat dalam (diminum).
b. Larutan obat luar: larutan yang digunakan hanya untuk penggunaan luar
(tidak diminum).
i. Cairan Tetes Hidung.
ii. Cairan Tetes Telinga.
iii. Cairan Tetes Mata.
iv. Cairan Obat Kumur.
v. Cairan Shampo.
vi. Lotion.
3.
Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap
melalui hidung.
4.
Sediaan Setengah Padat
a. Salep: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit atau mata.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
b. Krim: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit dan kosmetik.
c. Gel: sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit, anus dan vagina.
d. Aeorsol: sediaan setengah padat yang digunakan dengan cara semprot pada
hidung atau mulut.
e. Suppositoria: sediaan setengah padat berbentuk peluru digunakan untuk
anus.
f. Ovula: sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk
vagina.
2.4. Interaksi Obat
Ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain, maka
interaksi dapat dikatakan telah terjadi (Stockley, 2008). Interaksi tidak hanya
dapat terjadi antara obat dengan obat, tetapi juga dapat terjadi antara obat dengan
bahan makanan seperti susu, jus, alkohol, kafein dan sebagainya (Bushra et al.,
2010), serta antara obat dengan herba/tumbuh-tumbuhan (Fasinu et al., 2012).
Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan
kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya
seperti meningkatkan efek obat tersebut sampai menjadi efek toksik atau
sebaliknya menurunkan efek obat tersebut sehingga menghilangkan manfaat
terapinya pada pasien (Brunton et al., 2006).
Menurut Carruthers et al. (2000), interaksi antara obat dengan obat dapat
terjadi melalui tiga mekanisme yaitu secara farmasetik, farmakokinetik, dan
farmakodinamik. Menurut Katzung et al. (2009), beberapa mekanisme bagaimana
obat
berinteraksi
dapat
dikategorikan
menjadi
interaksi
pada
proses
farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), interaksi pada proses
farmakodinamik (efek aditif atau antagonis), dan interaksi kombinasi. Namun
secara umum, interaksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interaksi farmakokinetik
dan interaksi farmakodinamik.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
2.4.1. Interaksi Farmakokinetik
Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat
yang masuk ke dalam tubuh (Brunton et al., 2006). Mekanisme interaksi
farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat (Rang et al., 2007).
2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi
Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya
secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsi/diserap melewati membran
biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi
sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara
ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah
(Dipiro et al., 2005).
Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain
yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH
lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein
transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik (Katzung et al.,
2009).
Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain
yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau
opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan
lambung, misalnya metoklopramide (Rang et al., 2007).
Menurut Rang et al. (2007), interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika
obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa
sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang
berinteraksi secara farmasetik yaitu:
1.
Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat
larut
(insoluble
complex)
dengan
tetrasiklin
sehingga
menghambat
penyerapan tetrasiklin (Rang et al., 2007).
2.
Kolestiramin, suatu resin yang mengikat empedu, dapat mencegah
penyerapan beberapa obat, misalnya warfarin dan digoksin dengan cara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan (Rang et al.,
2007).
3.
Penambahan
adrenalin/epinephrine
pada
suntikan
anestesi
lokal
menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat
anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang (Rang et al., 2007).
Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi
dapat dibagi menjadi lima, yaitu:
1.
Efek perubahan pada pH saluran cerna.
2.
Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya.
3.
Perubahan pada pergerakan saluran cerna.
4.
Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.
5.
Malabsorbsi akibat obat.
2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi
Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk
mencapai tempatnya bekerja (Dipiro et al., 2005). Setelah obat diabsorbsi atau
telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan
intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan
dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan
volume jaringan (Brunton et al., 2006).
Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan
berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini
bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan
dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein (Dipiro et al., 2005).
Menurut Katzung et al. (2009), interaksi pada proses distribusi obat yang dapat
terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari
tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti
hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak.
Pergeseran obat dari tempat ikatannya (binding sites) dalam plasma atau
jaringan akan meningkatkan konsentrasi obat yang bebas/tidak terikat secara
transien, namun proses ini juga diikuti oleh peningkatan eliminasi obat, sehingga
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
terbentuk suatu keadaan tetap (steady state) yang baru dimana konsentrasi obat
total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama
dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi
interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis (Rang et
al., 2007).
Namun menurut Rang et al. (2007), ada beberapa konsekuensi interaksi ini
yang berpotensial penting secara klinis yaitu:
1.
Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas
sebelum kondisi tetap (steady state) yang baru tercapai.
2.
Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka
harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh
pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser (displacing drug).
3.
Ketika obat penggeser (displacing drug) mengurangi eliminasi obat pertama
sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut
tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap (steady state) yang baru dan
toksisitas yang berat mungkin terjadi.
Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses distribusi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Interaksi pada ikatan protein.
2.
Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.
2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme
Metabolisme obat atau disebut juga reaksi biotransformasi obat dibagi
menjadi dua yaitu reaksi fungsionalisasi (fase I) dan reaksi biosintesis atau
konjugasi (fase II). Pada reaksi fase I, obat mengalami proses hidrolisis yang
dapat menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologis obat tersebut atau
sebaliknya meningkatkan aktivitas farmakologis seperti pada prodrug. Pada reaksi
fase II, obat yang telah mengalami reaksi fase I akan dikonjugasikan dengan asam
glukoronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat untuk membentuk senyawa
kovalen yang polar sehingga dapat dengan cepat diekskresikan melalui urin atau
feses (Brunton et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru
memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya
metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang
inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah
juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul
obat sehingga obat menjadi inaktif (Dipiro et al., 2005).
Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh
obat lain (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi
obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu:
1.
Perubahan pada first-pass metabolism.
2.
Induksi enzim.
3.
Inhibisi enzim.
4.
Faktor genetik.
5.
Isoenzim sitokrom P450.
2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi
Menurut Brunton et al. (2006), obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang
tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah
dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar (larut
dalam air) daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi,
kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan
menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi.
Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau
dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga
dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan
melalui organ paru-paru. (Dipiro et al., 2005)
Menurut Katzung et al. (2009), ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh
obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter
pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut
Stockley (2008), dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1.
Perubahan pada pH urin.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
2.
Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal.
3.
Perubahan pada aliran darah ginjal.
4.
Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt.
2.4.2. Interaksi Farmakodinamik
Proses farmakodinamik merupakan proses dimana obat yang masuk bekerja
pada tubuh (Brunton et al., 2006). Menurut Dipiro et al. (2005), dalam
farmakodinamik dibahas hubungan antara konsentrasi obat dengan respon yang
diterima oleh pasien. Obat dapat menimbulkan efek langsung maupun reversibel
pada tingkat reseptor. Ketika molekul obat bertemu dengan reseptornya di
jaringan atau organ target, suatu kompleks obat-reseptor akan terbentuk dan
respon farmakologis akan terjadi. Obat dan reseptor tersebut berada dalam
kesetimbangan yang dinamis dengan kompleks obat-reseptor.
Ketika obat-obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
secara bersamaan, respon aditif atau sinergis akan muncul namun bila obat-obat
tersebut memiliki efek farmakologis yang berlawanan maka respon salah satu obat
tersebut akan berkurang (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008),
mekanisme interaksi obat pada proses farmakodinamik dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1.
Interaksi aditif atau sinergis.
2.
Interaksi antagonis atau berlawanan.
3.
Interaksi pada uptake neurotransmiter atau obat.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download