Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus

advertisement
ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA
(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
Oleh
HANI
F34102101
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA
(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
HANI
F34102101
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
ANALISIS RANTAI PASOKAN BUAH KELAPA
(Studi Kasus Rantai Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
HANI
F34102101
Dilahirkan pada tanggal 2 November 1983
Di Kotamadya Bogor
Tanggal lulus : 26 Januari 2007
Disetujui,
Bogor, Maret 2007
Dr. Ir. Sukardi, MM
Pembimbing Akademik
3
Hani. F34102101. Supply Chain Analysis for Coconut (Case Study in Bogor
Regency, Indonesia). Supervised by : Sukardi.
SUMMARY
Coconut has many benefit derived from almost of its parts which are able
to be processed into various products. Coconut are available in large amount in
Indonesia. Indonesia’s coconut production (copra equal) in 2004 reach the amount
of 3.301.942 tons. So far Bogor is unable to fulfill its needs of coconut so that the
coconut supply must be sent from other areas. Coconut for direct use and industry
in Bogor supplied from traditional markets. This research is intended for the
managers of the traditional markets and members of the supply chain to provide
more efficient supply chain system. The research objectives are to analyze
coconut supply chain management in Bogor and to analyze the efficiency of the
supply chain. Coconut supply chain investigated in this research is the ripe
coconut supply chain. Coconut supply chain management analysis is limited only
on descriptive analysis of logistic network configuration, inventory control and
supply chain integration. Supply chain efficiency analysis consist of marketing
margin analysis and efficiency analysis of coconut supply allocation.
Primary members of the coconut supply chain in Bogor are the interregion
traders (IT), whole sellers, retailers and consumers including industries. The
secondary members are transportation service company, the packaging sellers, the
sellers of coconut scrapping and (milk) pressing machine, and the machinary fuel
sellers. The IT that periodically supply coconut to Bogor come from three regions
which are Banten, Tasikmalaya-Ciamis and Lampung. They supply coconut to the
whole sellers at Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar
Merdeka and Pasar Jambu Dua.
Coconut transported to Bogor with trucks and pick ups. Coconut carried
by IT received by the whole sellers. There are some whole sellers, who accept the
coconut from IT, which sell it directly to consumer. Some other sell the coconut
also to the retailer in the same market or from different market. Based on
interview result during the research, total amount of coconut entering Bogor is
1.195.500 nuts per month which most are from Banten. Coconut are accepted
from IT and stored in the form of coconut that almost of their fiber is husked.
Whole seller store coconuts in masonry wall warehouse, wooden warehouse, or in
the market kiosk.
Coconut supply chain in Bogor implements the pull strategy, although not
the pure one. IT only supply coconut based on the whole seller’s demand. The
flexibility of the relationship between IT and whole sellers in coconut supply
chain also performed by the risk sharing system. This system is about exchanging
the rotten coconut from the whole seller’s storage with the new fruit carried by IT.
The partnership between them can in terms of coconut payment system to the IT
that can be take place after the fruits get delivered by the whole sellers.
Marketing channel No. 1 is the most efficient channel among channels that
involve retailer, because the functional cost is the lowest and occur more fair
profit distribution to the cost that each member spent. This marketing channel
consist of IT from Banten, whole seller and retailer from Pasar Kebon KembangMerdeka. For the channel that not involve retailer, marketing channel No. 5 is the
4
most efficient channel because it needs the lowest functional cost and occur more
fair profit distribution to the cost that each member spent. Marketing channel No.
5 consist of IT from Tasikmalaya-Ciamis and whole seller from Pasar Baru
Bogor.
Transportation model result is coconut allocation that minimize the
coconut transportastion cost to traditional markets in Bogor. The transportation
cost is minimum if the supply of coconut in Pasar Baru Bogor received from IT
from Tasikmalaya-Ciamis (165.500 nuts) and from IT from Lampung (172.000
nuts), the coconut supply for Pasar Kebon Kembang-Merdeka received from IT
from Banten (499.000 nuts) and from IT from Tasikmalaya-Ciamis (179.000
nuts), and the coconut supply for Pasar Jambu Dua received from IT from
Tasikmalaya-Ciamis (176.000 nuts). Coconut supply with such allocation is more
efficient because its reduce transportation cost as much as Rp. 13.311.680,00 per
month.
5
Hani. F34102101. Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai
Pasokan Buah Kelapa Tua Di Kotamadya Bogor). Di bawah bimbingan :
Sukardi.
RINGKASAN
Buah kelapa memiliki banyak manfaat di mana hampir seluruh bagian
buah tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Buah kelapa tersedia
dalam jumlah yang cukup melimpah di Indonesia. Produksi kelapa Indonesia
(setara kopra) mencapai 3.301.942 ton pada tahun 2004. Kota Bogor tidak mampu
memenuhi kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya
memerlukan pasokan dari daerah lain. Buah kelapa untuk kebutuhan penduduk
dan industri di Kota Bogor diperoleh dari pasar-pasar tradisional. Penelitian ini
diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak pengelola pasar dan anggotaanggpta rantai pasokan untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah
kelapa tua di Kota Bogor serta menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa
tua di Kota Bogor. Rantai pasokan buah kelapa yang diteliti pada penelitian ini
adalah rantai pasokan buah kelapa tua. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa
terbatas pada analisis deskriptif untuk konfigurasi jaringan logistik, pengendalian
inventori dan integrasi rantai pasokan. Analisis efisiensi rantai pasokan terdiri dari
analisis marjin pemasaran dan analisis efisiensi alokasi pasokan kelapa.
Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu
Pedagang Antar Wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan
konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa
transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan,
serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Seluruh aliran rantai pasokan di
Kota Bogor memperoleh kelapa dari PAW. PAW yang memasok buah kelapa ke
Kota Bogor secara rutin berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, TasikmalayaCiamis dan Lampung. Mereka memasok buah kelapa ke pedagang besar di Pasar
Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar
Jambu Dua.
Kelapa diangkut dari daerah-daerah penghasil kelapa ke Kota Bogor
dengan menggunakan truk-truk jenis colt diesel serta kendaraan jenis pick up.
Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar. Pedagang besar
tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen, adapula yang
menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik dalam satu pasar
maupun berlainan pasar. Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian, total
jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah 1.195.500 butir per bulan
yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa diterima dari PAW dan disimpan
dalam bentuk kelapa yang sebagian besar sabutnya telah dikupas. Pedagang besar
menyimpan kelapa dalam gudang tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar.
Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull. PAW
hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas hubungan
antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga
terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa
penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan pedagang besar dengan
kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara beberapa PAW dan
6
pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem pembayaran kelapa kepada
pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen
ataupun pedagang pengecer.
Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di antara
saluran yang melibatkan pedagang pengecer, karena biaya fungsionalnya paling
rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang
dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran pemasaran tersebut terdiri
dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan pedagang pengecer dari Pasar
Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang
pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling efisien karena memerlukan
biaya fungsional paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil
terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran
pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar
dari Pasar Baru Bogor.
Model transportasi menghasilkan alokasi kelapa yang meminimalkan
biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya transportasi
minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari TasikmalayaCiamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon KembangMerdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan TasikmalayaCiamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh seluruh pasokan
kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan kelapa dengan alokasi tersebut
lebih efisien karena mengurangi biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per
bulan.
7
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
“Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Buah
Kelapa Di Kotamadya Bogor)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan
arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan
rujukannya.
Bogor, 20 Januari 2007
Yang Membuat Pernyataan
Hani
F34102101
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor Jawa Barat pada tanggal
2 November 1983 dari pasangan Abdul Aziz Harran dan Ratu
Erna Darmiasih. Penulis adalah anak terakhir dari empat
bersaudara. Pada tahun 1988 penulis masuk Taman Kanak-kanak
Al Irsyad Bogor
dan
lulus pada tahun 1990, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Al Irsyad Bogor dan lulus pada tahun 1996.
Tahun 1996 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus
tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU
Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002.
Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis pernah menjadi asisten praktikum
MK. Penerapan Komputer Tahun 2005. Penulis melaksanakan Praktek
Lapangan di PERUM BULOG pada Unit Pengolahan Gabah Beras dan Gudang
BULOG BARU yang terletak di Binong, Subang. Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul
Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai Pasokan Kelapa Di
Kotamadya Bogor).
9
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena hanya
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
yang berjudul “Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa (Studi Kasus Rantai
Pasokan Buah Kelapa Di Kotamadya Bogor)”. Tulisan ini adalah salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Sukardi, MM selaku dosen pembimbing akademik atas petunjuk, saran
dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa S1 serta dalam
penelitian.
2. Ir. Muslich, MS dan Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng atas kesediaannya
menjadi penguji serta atas arahan dan bimbingannya.
3. Pihak Kantor Kesbang-Linmas dan Dinas Perindagkop Kotamadya Bogor,
para staf Unit Pengelola Teknis Dinas Pasar Baru Bogor, Pasar Merdeka,
Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu,
Pasar Padasuka, serta para pedagang kelapa atas kesediaanya untuk membantu
penulis dalam pelaksanaan penelitian.
4. Ayahanda Abdul Aziz Harran, ibunda Ratu Erna Darmiasih serta para kerabat
yang telah memberikan semangat, dorongan dan doa yang tulus bagi penulis
selama menempuh kuliah dan menyelesaikan penelitian.
5. Teman dan kakak sebimbingan (Novi, Euis, Asep, Mbak Wati dan Mas Rio)
atas bantuan dan kebersamaannya.
6. Seluruh mahasiswa TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan
dan dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
i
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan
dorongan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna sehingga penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................................
B. Tujuan .....................................................................................................
C. Ruang Lingkup .......................................................................................
1
4
4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
A. Kelapa (Cocos nucifera L.) ....................................................................
B. Buah Kelapa ...........................................................................................
C. Kondisi Perkelapaan Indonesia ..............................................................
D. Supply Chain Management ....................................................................
E. Metode Penelitian ...................................................................................
F. Efisiensi Pemasaran ................................................................................
G. Programa Linier ......................................................................................
H. Model Transportasi ................................................................................
I. LINDO ...................................................................................................
J. Hasil Penelitian Terdahulu .....................................................................
5
9
14
18
21
22
23
26
27
27
I.
III. METODOLOGI ........................................................................................ 31
A. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................
C. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
D. Metode Penelitian ..................................................................................
D.1. Metode Pengumpulan Data .............................................................
D.2. Metode Analisis Data ......................................................................
31
31
31
32
33
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 38
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian .........................................................
B. Konsumsi dan Kebutuhan Buah Kelapa .................................................
C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan .....................................................
D. Konfigurasi Jaringan Logistik ................................................................
E. Pengendalian Inventori ...........................................................................
F. Integrasi Rantai Pasokan ........................................................................
G. Marjin Pemasaran ...................................................................................
H. Model Transportasi ................................................................................
38
41
42
45
52
55
57
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 68
A. Kesimpulan ............................................................................................ 68
B. Saran ....................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 70
LAMPIRAN ...................................................................................................... 73
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur ....................... 10
Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa ........................ 11
Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa ....................................................... 12
Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa .................................... 14
Tabel 5. Luas lahan perkebunan kelapa nasional menurut status
pengusahaan........................................................................................ 15
Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan .. 15
Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia ............. 16
Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia ............... 17
Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa ................................ 18
Tabel 10. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor Tahun 2000-2004 ................... 39
Tabel 11. Aktivitas anggota primer rantai pasokan kelapa di Kota Bogor ........ 44
Tabel 12. Harga rata-rata buah kelapa di tingkat pedagang besar ..................... 47
Tabel 13. Biaya transportasi kelapa dari setiap daerah asal ke setiap pasar ....... 48
Tabel 14. Kebutuhan buah kelapa industri pengolahnya di Kotamadya
Bogor .................................................................................................. 50
Tabel 15. Biaya, keuntungan dan marjin pemasaran ......................................... 59
Tabel 16. Rasio keuntungan terhadap biaya total .............................................. 60
Tabel 17. Variabel keputusan yang dicari ......................................................... 62
Tabel 18. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan ............................ 64
Tabel 19. Matriks persoalan transportasi pasokan kelapa ................................. 65
Tabel 20. Nilai optimal variabel keputusan ....................................................... 66
Tabel 21. Batas-batas perubahan biaya transportasi ........................................... 67
Tabel 22. Batas-batas perubahan ruas kanan persamaan kendala ..................... 67
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Buah dan pohon kelapa dalam Tenga ...........................................
5
Gambar 2.
Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf ...............................
6
Gambar 3.
Buah dan pohon kelapa Hibrida PB-121 ......................................
7
Gambar 4.
Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di
Kotamadya Bogor ......................................................................... 32
Gambar 5.
Tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya
Bogor ............................................................................................ 37
Gambar 6.
Lokasi pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bogor ..................... 40
Gambar 7.
Pola aliran pasokan kelapa ............................................................ 45
Gambar 8.
Sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota
Bogor ............................................................................................ 49
Gambar 9.
Penyebaran pasokan buah kelapa per bulan di pasar tradisional
Kota Bogor ..................................................................................... 51
Gambar 10. Sumber dan pusat permintaan kelapa ........................................... 61
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pohon Industri Kelapa ................................................................ 73
Lampiran 2.
Deskripsi Beberapa Jenis Kelapa ............................................... 74
Lampiran 3.
Deskripsi Kelapa Hibrida PB-121 .............................................. 76
Lampiran 4.
Jumlah Pasokan Pedagang Besar Kelapa di Kota Bogor ............ 77
Lampiran 5.
Perhitungan Harga Beli Rata-rata Buah Kelapa Di Tingkat
Pedagang Besar .......................................................................... 78
Lampiran 6.
Perhitungan Biaya Penyimpanan Kelapa ................................... 79
Lampiran 7.
Perhitungan Marjin Pemasaran ................................................... 80
Lampiran 8.
Model Persamaan Matematik dalam Program LINDO .............. 83
Lampiran 9.
Solusi Model Keluaran Program LINDO ................................... 84
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Model Keluaran Program LINDO ............ 85
Lampiran 11. Perhitungan Biaya Transportasi Alokasi Optimal dan Alokasi
Selama Ini ................................................................................... 86
Lampiran 12. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang
Pengecer ...................................................................................... 87
Lampiran 13. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang
Pengecer yang Telah Diisi ........................................................... 89
Lampiran 14. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah ..................... 91
Lampiran 15. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah yang
Telah Diisi ................................................................................... 93
vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti halnya negara-negara di Samudra Pasifik, Indonesia
merupakan penghasil kelapa utama di dunia. Pertanaman kelapa di Indonesia
adalah yang terluas di dunia yaitu 31,2% dari total luas areal kelapa dunia.
Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka
(3,7%) dan Thailand (3,1%). Namun demikian, dari segi produksi ternyata
Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Philipina. Ragam produk dan
devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Langka.
Perolehan devisa dari produk kelapa Indonesia mencapai US$ 229 juta atau
11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Allorerung et al.,
2005).
Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang cukup besar
kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Perkebunan kelapa memiliki
luasan kedua terbesar di Indonesia setelah perkebunan kelapa sawit. Data dari
Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 perkebunan ini telah
mencapai luasan 3,4 juta hektar dengan produksi kopra sebesar 3,2 juta ton.
Arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal
perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta hektar dan melibatkan
lebih dari tiga juta rumah tangga petani (Allorerung et al., 2005). Sebagian
besar produksi kelapa Indonesia dimanfaatkan untuk konsumsi dan industri
dalam negeri.
Kelapa adalah tanaman dengan banyak manfaat. Tanaman ini dapat
menyediakan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, juga sebagai
sumber pendapatan dari produk-produk olahannya (Foale, 2003). Empat
produk berikut yaitu kopra, minyak kelapa, bungkil dan gula merah adalah
produk tradisional. Minyak kelapa adalah salah satu sumber minyak nabati
yang juga menjadi bahan baku penting dalam industri makanan dan non
makanan seperti sabun, kimia dan kosmetika (Amrizal dan Hasni, 1994).
Minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih tinggi dari
pada minyak sawit dan minyak inti sawit. Dua pertiga bagian asam lemak
jenuh pada minyak kelapa dan minyak inti sawit adalah asam laurat. Oleh
1
karena minyak laurat memiliki kestabilan yang tinggi, maka jenis minyak ini
banyak digunakan pada produk-produk pangan yang membutuhkan daya
simpan yang lama (Barlina, 1993). Buah kelapa juga dapat diolah menjadi
produk-produk lain yang bernilai ekonomis. Alternatif produk yang dapat
dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleokimia, kelapa parut
kering, coconut cream/milk, arang tempurung, karbon aktif dan serat kelapa.
Pelaku
agribisnis
produk-produk
tersebut
mampu
meningkatkan
pendapatannya 5-10 kali lipat dibandingkan dengan bila hanya menjual kopra
(Allorerung et al., 2005).
Tersedianya buah kelapa dalam jumlah yang cukup melimpah di
Indonesia membuat pendirian industri berbasis komoditas ini cukup
prospektif. Apalagi jika industri tersebut menerapkan teknologi pengolahan
secara terpadu sehingga dari bahan baku kelapa dapat dibuat berbagai macam
produk olahan secara sekaligus. Hal demikian akan semakin memberikan nilai
tambah bagi kelapa karena hampir tidak ada bagian buah kelapa yang terbuang
percuma. Menurut Allorerung et al. (2005), daya saing produk kelapa pada
saat ini terletak pada industri hilirnya di mana nilai tambah yang dapat tercipta
pada produk hilir jauh lebih besar daripada produk primernya. Usaha produk
hilir saat ini terus berkembang dan memiliki kelayakan yang baik untuk usaha
kecil, menengah maupun besar. Kota Bogor tidak mampu memenuhi
kebutuhan kelapanya secara mandiri sehingga penyediaannya memerlukan
pasokan dari daerah lain. Karenanya, untuk mendirikan atau mengembangkan
industri berbasis kelapa di Kota Bogor, diperlukan pertimbangan yang cermat
dari segi sistem dan ketersediaan pasokan kelapa.
Menurut Prakosa (2002), permasalahan yang dihadapi oleh
agribisnis perkelapaan cukup kompleks. Peran kelapa sebagai bahan baku
minyak goreng pada saat ini sudah tergeser oleh kelapa sawit yang harganya
relatif lebih murah. Ketergantungan para petani selama ini pada produk utama
berupa kopra sangat tidak mendukung tingkat perolehan pendapatan yang
layak karena harga kopra cenderung menurun. Upaya penganekaragaman
produk belum berkembang sesuai dengan harapan sehingga kurang memberi
peluang untuk memperoleh tambahan pendapatan ataupun nilai tambah dari
2
hasil usaha. Keterkaitan subsistem on-farm dengan off-farm masih jauh dari
keterpaduan. Akibatnya, peluang menciptakan efisiensi dan nilai tambah tidak
dapat diraih secara optimal.
Rantai pasokan adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan
barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini merupakan
jaringan dari berbagai organisasi yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu
sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang
tersebut (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Rantai pasokan berkaitan dengan
siklus lengkap bahan baku dari pemasok sampai ke konsumen. Eltram (1991)
mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai pendekatan
integratif dalam menangani masalah perencanaan dan pengawasan aliran
material dari pemasok sampai ke pengguna akhir. Pendekatan ini ditujukan
untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan saluran distribusi secara
kooperatif
untuk
kepentingan
semua
pihak
yang
terlibat,
untuk
mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai tujuan kepuasan
konsumen rantai pasokan.
Pertimbangan
rancangan
supply
chain
meliputi
rancangan
pengelolaan bagian hulu dan hilir rantai pasokan. Bagian hulu rantai pasokan
terdiri dari proses-proses yang berlangsung antara pemasok dan pihak pabrik.
Pertimbangan rancangan hulu rantai pasokan perlu memperhatikan dukungan
pasokan bahan baku. Analisis rantai pasokan kelapa di Kota Bogor diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
ketersediaan
pasokan
kelapa
sebagai
pertimbangan pengelolaan supply chain bagi industri pengolah kelapa.
Penyediaan buah kelapa di Kota Bogor baik untuk konsumen rumah tangga
maupun untuk industri selama ini dilakukan di pasar-pasar tradisional.
Penelitian ini juga diharapkan dapat djadikan pertimbangan oleh pihak
pengelola pasar untuk mengadakan sistem pemasokan yang lebih efisien.
Sehubungan dengan hal ini, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana rantai pasokan buah kelapa tua selama ini dikelola di Kota
Bogor.
2. Bagaimana efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor.
3
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor.
2. Menganalisis efisiensi rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor.
C. Ruang Lingkup
Penelitian ini membahas rantai pasokan buah kelapa tua/matang
yang masuk ke Kotamadya Bogor. Aspek rantai pasokan yang dianalisis
dalam penelitian ini terbatas pada jaringan konfigurasi logistik, pengendalian
inventori, integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan pada sebagian
level anggota rantai pasokan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelapa (Cocos nucifera L.)
Kelapa adalah salah satu jenis tanaman palem yang tersebar di
hampir semua negara tropis, terutama di daerah dekat pantai. Hal ini
merupakan petunjuk bahwa tanaman kelapa berasal dari daerah tropis,
walaupun sulit menentukan negara mana tepatnya. Kelapa dikenal sebagai
tanaman serba guna karena seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi
kehidupan manusia (Palungkun, 1998). Pemanfaatan bagian-bagian tanaman
kelapa dapat dilihat pada pohon industri kelapa di Lampiran 1.
Palungkun (1998) menyatakan bahwa pada mulanya hanya ada dua
varietas kelapa yang dikenal, yaitu varietas dalam (tall variety) dan varietas
genjah (dwarf variety). Setiap tipe kelapa baik kelapa dalam maupun kelapa
genjah terdiri atas beberapa kultivar. Kelapa dalam Mapanget, kelapa dalam
Tenga, kelapa dalam Palu dan kelapa dalam Bali adalah kultivar-kultivar
kelapa dalam unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2005).
Deskripsi lebih lanjut mengenai jenis-jenis kelapa unggul terdapat pada
Lampiran 2. Gambar 1 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa dalam
Tenga dan Gambar 2 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa Malayan
Red Dwarf.
Gambar 1. Buah dan pohon kelapa dalam Tenga (Batugal et al., 2005)
5
Gambar 2. Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al., 2005)
Kelapa varietas dalam terdapat di berbagai negara produsen kelapa.
Varietas ini berbatang tinggi dan besar, tingginya mencapai tiga puluh meter
atau lebih. Umurnya dapat mencapai lebih dari seratus tahun. Keunggulan
varietas ini adalah (Palungkun, 1998) :
ƒ produksi kopranya lebih tinggi, yaitu sekitar satu ton kopra/ha/tahun pada
umur sepuluh tahun,
ƒ daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi, dan
ƒ lebih tahan terhadap hama penyakit
Kekurangan dari kelapa varietas dalam adalah :
ƒ lambat berbuah (6-7 tahun setelah tanam),
ƒ produksi tandan buah sedikit, yaitu sekitar 11 tandan/pohon/tahun,
ƒ produktivitas sekitar 90 butir/pohon/tahun, dan
ƒ habitus tanaman lebih tinggi, yaitu sekitar 20 meter pada umur 50 tahun.
Tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang
mencapai 5 meter atau lebih, masa berbuah 3-4 tahun setelah tanam, dan dapat
mencapai umur 50 tahun. Kelebihan kelapa varietas genjah yaitu lebih cepat
berbuah, produksi tandan buah lebih banyak (sekitar 18 tandan/pohon/tahun),
habitus tanaman pendek dan produktivitas sekitar 140 butir/pohon/tahun.
Kekurangan dari kelapa varietas genjah yaitu produksi kopra rendah (sekitar
6
0,5 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun), daging buah tebal, rapuh dan
kandungan minyaknya rendah, serta peka terhadap gangguan hama dan
penyakit (Palungkun, 1998). Kelapa genjah kultivar unggul yaitu kelapa
genjah Salak dan kelapa genjah Raja (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, 2005).
Kelapa hibrida adalah hasil silangan antar dua kultivar berbeda dari
kedua tipe kelapa (dalam dan genjah) atau antar tipe yang sama (Hengky,
1994). Menurut Baudouin (1999), kelapa hibrida komersial adalah hasil
persilangan antara tipe genjah dan dalam yang lebih mudah diproduksi dan
memungkinkan penggabungan sifat kelapa genjah yang cepat berbuah. Selain
Khina-1, Khina-2, dan Khina-3, telah ditemukan 4 hibrida baru yang bisa
diterima petani karena low input yaitu Genjah Raja x Dalam Mapanget,
Genjah Kuning Bali x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga,
dan Genjah Kuning Bali x Dalam Tenga (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian, 2006). Salah satu jenis kelapa hibrida yang
pernah ditanam di Indonesia yaitu kelapa PB-121, hasil persilangan antara
kelapa Malayan Yellow Dwarf dan West African Tall (Batugal et al., 2005).
Gambar 3 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa PB-121. Deskripsi
lebih lanjut mengenai kelapa PB-121 terdapat pada Lampiran 3.
Gambar 3. Buah dan pohon kelapa hibrida PB-121 (Batugal et al., 2005)
7
Palungkun (1998) menyatakan bahwa salah satu hasil persilangan
adalah kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis kelapa asalnya. Sifatsifat unggul yang dimiliki oleh kelapa hibrida adalah :
ƒ
lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam,
ƒ
produksi kopra tinggi, sekitar 6-7 ton/hektar/tahun, pada umur 10 tahun,
ƒ
produktivitas lebih besar, sekitar 140 butir/pohon/tahun,
ƒ
daging buah tebal, keras dan kandungan minyaknya tinggi,
ƒ
habitus tanaman sedang,
ƒ
lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.
Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai
untuk pertumbuhan dan produksinya. Kelapa tergolong tanaman yang
menyenangi sinar matahari dan pertumbuhannya akan terhambat jika
kekurangan sinar matahari. Lama penyinaran yang dikehendaki adalah 2.000
jam per tahun atau minimal 120 jam per bulan. Pada bulan Mei hingga
Agustus, jumlah lama penyinaran per bulan lebih tinggi dari rata-rata
penyinaran pada bulan Oktober hingga Maret. Karenanya, pada bulan Mei
hingga Agustus jumlah bunga betina lebih banyak dibanding pada bulan
Oktober hingga Maret.
Suhu rendah tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman kelapa.
Karenanya, penyebaran tanaman kelapa terbatas pada daerah tropik. Tanaman
kelapa dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl. Suhu optimum yang
dibutuhkan untuk pertumbuhannya adalah 27-28°C. Bila temperatur udara
rata-ratanya 15°C, maka akan mengakibatkan perubahan morfologis tanaman.
Tanaman kelapa dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun yang terbaik
untuk tanaman ini adalah tanah aluvial. Derajat kemasaman (pH) tanah yang
terbaik untuk pertumbuhan kelapa adalah 6,5-7,5. Namun kelapa masih dapat
tumbuh pada tanah yang mempunyai pH 5-8.
Tanaman kelapa juga menyukai udara yang lembab. Namun udara
yang lembab dalam waktu lama juga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman
karena akan mengurangi penguapan dan penyerapan unsur hara serta
mengundang penyakit akibat cendawan. Lokasi yang cocok untuk tanaman
kelapa adalah daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata 1200-2500 mm
8
per tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun. Bila terjadi kekeringan
selama tiga bulan, maka tanaman akan kritis. Sebaliknya jika rata-rata curah
hujannya terlalu tinggi, tanaman juga sulit melakukan penyerbukan
(Palungkun, 1998).
B. Buah Kelapa
Secara umum, buah kelapa mempunyai komposisi 35% sabut, 12%
tempurung, 28% daging biji, dan 25% air kelapa. Namun komposisi ini sangat
bervariasi menurut jenis kelapa. Buah kelapa umumnya dapat dipanen setelah
11-12 bulan sejak bunga betina diserbuki (Samosir, 1992). Buah kelapa yang
normal terdiri dari beberapa bagian, yaitu kulit luar (epicarp), sabut
(mesocarp), tempurung (endocarp), kulit daging buah (testa), daging buah
(endosperm), air kelapa dan lembaga (Palungkun, 1998).
a. Kulit luar
Bagian buah kelapa yang paling luar ini berwarna hijau, kuning
atau jingga. Permukaannya licin dan keras, tebalnya sekitar 0,14 mm.
b. Sabut
Sekitar 35% dari total berat buah kelapa merupakan berat sabut
kelapa. Bagian yang berserabut ini merupakan kulit buah dari buah kelapa
dan dapat dijadikan sebagai bahan baku aneka industri, seperti karpet,
sikat, keset, bahan pengisi jok mobil, tali, dan lain-lain. Sabut kelapa juga
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dengan cara dibakar. Sabut dari
100.000 buah kelapa akan menghasilkan sekitar 2.000 kg abu yang
mengandung unsur kalium yang ekivalen dengan satu ton ZK. Abu sabut
kelapa juga mengandung unsur fosfor sekitar 2% dari berat abu
(Palungkun, 1998).
c. Tempurung
Tempurung terletak di bagian dalam kelapa setelah sabut.
Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat
kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat di tempurung
tersebut. Berat tempurung kelapa sebesar 15-19% dari total berat buah
kelapa. Tempurung kelapa dimanfaatkan untuk berbagai industri seperti
9
arang tempurung dan karbon aktif yang berfungsi untuk mengabsorpsi gas
dan uap (Palungkun, 1998).
d. Kulit daging buah
Kulit daging buah akan terlihat setelah tempurung dikupas. Kulit
tersebut berwarna cokelat dan membungkus seluruh daging buah kelapa.
Kulit tipis ini biasanya dibuang ketika daging buah akan diolah. Kalau
diikutkan dalam pengolahan minyak, maka akan menyebabkan minyak
berwarna coklat. Namun, kulit ini dapat diolah menjadi minyak goreng
kualitas nomor dua (Palungkun, 1998).
e. Daging buah
Daging buah adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga
yang dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Daging buah kelapa
berwarna putih, lunak, dan tebalnya 8-10 mm. Daging buah ini merupakan
sumber protein yang penting dan mudah dicerna. Jumlah protein terbesar
terdapat pada kelapa yang setengah tua, sedangkan kandungan kalorinya
mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula kandungan
lemaknya. Dengan demikian jumlah zat dan gizi kelapa tergantung pada
umur buah, seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi daging kelapa pada berbagai tingkat umur (per 100 gr)
Buah
Analisis
Satuan Buah Muda
Setengah
Buah Tua
Tua
Kalori
kal
68
180
359
Protein
g
1
4
3,4
Lemak
g
0,9
13,0
34,7
Karbohidrat
g
14
10
14
Kalsium
mg
17
8
21
Fosfor
mg
30
35
21
Besi
mg
1
1,3
2
Vitamin A
IU
0,0
10,0
0,0
Thiamin
mg
0,0
0,5
0,1
Asam askorbat
mg
4,0
4,0
2,0
Air
g
83,3
70
46,9
Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998)
10
Daging buah kelapa juga mengandung asam-asam amino
esensial seperti tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging kelapa
Asam Amino
Jumlah (%)
Asam Amino
Jumlah (%)
Lisin
5,80 Tirosin
3,18
Methionin
1,43 Cistin
1,44
Fenilalanin
2,05 Arginin
15,92
Triptofan
1,25 Prolin
5,54
Valin
3,57 Serin
1,76
Leusin
5,9 Asam aspartat
5,12
Histidin
2,42 Asam glutamat
19,07
Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998)
Lengkapnya kandungan zat gizi pada daging buah kelapa
menyebabkan buah kelapa dapat diolah menjadi berbagai produk
kebutuhan rumah tangga seperti bumbu dapur, santan, kopra, minyak
kelapa dan kelapa parut kering. Minyak kelapa memiliki banyak kegunaan
antara lain sebagai minyak masak dan shortening, losion rambut dan
badan, untuk obat lecet dan kulit terbakar, sebagai bahan bakar, serta
sebagai bahan pembuatan sabun dan deterjen. Akhir-akhir ini juga terdapat
kenaikan permintaan akan virgin coconut oil sebagai bahan masakan
berkualitas, sebagai makanan sehat serta untuk pengobatan (Foale, 2003).
f. Air kelapa
Buah kelapa yang terlalu muda belum memiliki daging buah,
yang ada hanya air yang disebut air degan. Air kelapa muda ini rasanya
manis, mengandung mineral 4%, gula 2%, abu dan air. Bila buah makin
tua, maka kemanisan airnya semakin berkurang. Jumlah air kelapa dari
jenis kelapa dalam lebih banyak daripada jenis hibrida. Air dari jenis
kelapa dalam rata-rata 300 cc, sedangkan jenis hibrida rata-rata hanya 230
cc. Berat jenis air kelapa umumnya sekitar 1,02 dengan pH sekitar 5,6. Air
kelapa dari buah tua mengandung asam amino bebas sebanyak 4,135
g/100g sisa alkohol tidak terlarut. Air kelapa selain diolah menjadi produk
nata de coco juga dapat diolah menjadi berbagai macam produk, antara
lain kecap (Palungkun, 1998). Perbandingan komposisi kimia air kelapa
muda dan kelapa tua dapat dilihat pada Tabel 3.
11
Tabel 3. Komposisi kimia air buah kelapa (per 100 gr)
Satuan
Analisis
Air Kelapa Muda Air Kelapa Tua
Kalori
kal
17,0
Protein
g
0,2
0,14
Lemak
g
1,0
1,50
Karbohidrat
g
3,8
4,60
Kalsium
g
15,0
Fosfor
g
8,0
0,50
Besi
mg
0,2
Asam askorbat
mg
1,0
Air
g
95,5
91,5
Sumber : Ketaren (1986) dalam Palungkun (1998)
g. Lembaga
Lembaga buah akan tumbuh menjadi bakal tanaman setelah
buah tua. Selain lembaga juga tumbuh alat penghisap makanan yang
disebut kentos. Kentos berfungsi sebagai penghubung antara tempat
cadangan makanan dengan bakal tanaman. Kentos akan membesar seiring
dengan pertumbuhan lembaga. Sedang daging buahnya akan semakin
lunak, berair, dan akhirnya habis terserap oleh kentos. Proses penyusutan
daging buah ini terjadi bersamaan dengan tumbuhnya tunas dan daun
(Palungkun, 1998).
Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa jenis kelapa dan lama
penyimpanan buah kelapa mempengaruhi kualitas produk-produk kelapa
seperti kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering. Hal tersebut di
dasarkan pada hasil penelitian pengaruh perlakuan penyimpanan buah kelapa
terhadap kualitas kopra, minyak kelapa, santan dan kelapa parut kering dari
kelapa Dalam Tenga (DTA), kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) dan kelapa
hibrida Khina-1. Pengaruh lama penyimpanan buah dan jenis kelapa untuk
setiap produk adalah sebagai berikut.
a. Kopra
Kadar
lemak
kopra
menurun
dengan
semakin
lama
penyimpanan buah. Kadar lemak dari buah yang disimpan lebih dari 4
minggu kurang dari 60 persen. Pada penyimpanan buah 2 minggu, kadar
lemak tertinggi diperoleh dari Khina-1 (67,34%) diikuti oleh Dalam Tenga
(65,14%) dan Genjah Kuning Nias (59,81%). Pada penyimpanan buah 4
12
minggu mulai terjadi penurunan kadar lemak yaitu menjadi 63,21%
(Khina-1), 63,43% (Dalam Tenga) dan 58,62% (Genjah Kuning Nias).
b. Minyak kelapa
Bilangan asam, bilangan penyabunan dan kadar asam lemak
bebas minyak dari kelapa DTA, GKN dan Khina-1 meningkat selama
penyimpanan buah. Tidak terdapat perbedaan berarti pada sifat-sifat fisik
dan kimia minyak kelapa antar jenis kelapa. Berdasarkan kadar asam
lemak bebas, minyak kelapa yang dihasilkan dari buah yang disimpan
lebih dari 4 minggu tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi karena kadar
asam lemak bebas lebih dari 0,3%.
c. Santan
Kekentalan dan stabilitas emulsi santan menurun dengan makin
lama penyimpanan buah. Kekentalan tertinggi diperoleh pada santan dari
DTA dan GKN, dan terendah pada Khina-1. Sedangkan stabilitas emulsi
santan tertinggi pada Khina-1 dan terendah GKN.
d. Kelapa parut kering
Lama penyimpanan buah tidak mempengaruhi kadar air kelapa
parut kering untuk semua jenis kelapa tetapi mempengaruhi kadar lemak.
Sesuai dengan SII bahwa kadar lemak kelapa parut kering minimal 65%
maka kelapa parut kering yang memenuhi syarat adalah dari kelapa DTA
dan Khina-1 pada penyimpanan buah selama 2 minggu.
Kelapa dengan kadar lemak tinggi dan asam lemak bebas rendah
adalah bahan baku yang baik untuk industri minyak kelapa dan kelapa parut
kering. Sedangkan untuk pembuatan konsentrat protein dibutuhkan kelapa
dengan kadar protein tinggi. Menurut Djatmiko (1991), rubber copra adalah
kopra yang memiliki sifat elastis dan sukar dipatahkan. Semakin tinggi jumlah
rubber copra, semakin tinggi tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
minyak dari bahan. Galaktomanan merupakan salah satu penyebab sifat
rubbery pada kopra. Sifat ini akan menurun sejalan dengan menurunnya kadar
galaktomanan.
Kadar
galaktomanan
akan
menurun
dengan
semakin
meningkatnya umur buah.
13
Kelapa dengan kadar fosfolipid yang tinggi tidak diinginkan karena
berhubungan dengan warna produk olahan kelapa selama penyimpanan.
Semakin tinggi kadar fosfolipid, semakin cepat terjadi perubahan warna
produk dari putih menjadi kuning. Kelapa parut kering memerlukan daging
kelapa yang mengandung kadar fosfolipid rendah. Prasetyanti (1991) dalam
Rumokoi et al. (1994) menyatakan bahwa warna kuning atau coklat pada
kelapa parut kering dapat disebabkan oleh oksidasi terhadap fosfolipid. Tabel
4 menunjukkan kesesuaian beberapa jenis kelapa untuk diolah menjadi kopra,
minyak kelapa, kelapa parut kering dan konsentrat protein.
Tabel 4. Produk-produk pangan menurut jenis kelapa
Jenis Produk
Jenis Kelapa
1. Minyak/santan
DTA, Dalam Palu , Genjah Salak, Khina-1, PB121
2. Kopra tidak rubbery DTA, Khina-3
3. Kelapa parut kering Khina-2 (buah umur 12 bulan), Khina-3 (buah
umur 12 bulan), DTA (buah umr 12 bulan),
Khina-1, PB-121
4. Konsentrat protein
DTA, GKN, Khina-2, PB-121
Sumber : Rumokoi, et al. (1994).
Bahan baku kelapa yang biasa digunakan untuk pembuatan VCO
biasanya kelapa dalam seperti kelapa dalam Mapanget, DMT-3283, Tenga,
Bali,
Suwarna,
Palu,
dan
Riau.
Kelapa-kelapa
tersebut
umumnya
menghasilkan VCO dengan kualitas baik. Sebenarnya kelapa hibrida juga
dapat digunakan sebagai bahan baku VCO. Namun, kelapa hibrida adalah
hasil mutasi gen/persilangan yang membutuhkan kondisi tertentu dan
penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam pembudidayaannya. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran bahwa pada VCO yang dihasilkan terdapat residu
bahan kimia sehingga tidak benar-benar murni (Sutarmi dan Rozaline, 2006).
C. Kondisi Perkelapaan Indonesia
Kelapa diusahakan di seluruh propinsi di Indonesia. Bentuk dan
skala usaha taninya berbeda-beda, tergantung ketersediaan sumber daya dan
permintaan pasar. Selama lebih dari 25 tahun terakhir areal kelapa sudah
berkembang lebih dari dua ratus persen. Di tahun 1969 luas areal kelapa hanya
sebesar 1.680.536 Ha. Namun pada tahun 1997 luasnya sudah menjadi
14
3.668.233 Ha sehingga Indonesia merupakan negara dengan areal kelapa
terluas di dunia. Ditinjau dari produksinya, mulai Pelita I-V tampak terus
meningkat, kecuali pada Pelita III. Di Jawa dan Bali, produksi cukup tinggi
pada Pelita I-III, tetapi tersaingi oleh Sumatera pada Pelita IV dan V. Ini
disebabkan antara lain di Sumatera digunakan kelapa hibrida dan pesatnya
perluasan areal, terutama di lahan pasang surut (Sukamto, 2001).
Di Indonesia tanaman kelapa diusahakan dalam tiga bentuk
pengusahaan yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara dan
Perkebunan Besar Swasta. Lebih dari 90% lahan perkebunan kelapa di
Indonesia adalah perkebunan rakyat. Hasil produksi kelapa sebagian besar
berasal dari perkebunan rakyat. Sejak tahun 2001 sampai tahun 2004, luas
lahan perkebunan kelapa terus menurun, sedangkan hasil produksinya pada
periode tersebut terus meningkat. Tabel 5 dan Tabel 6 memperlihatkan
perkembangan luas lahan dan produksi kelapa selama lima tahun terakhir
(2001-2005) untuk tiap bentuk pengusahaan. Data tahun 2005 masih
merupakan angka sementara yang telah dihimpun oleh Direktorat Jendral
Perkebunan.
Tabel 5. Luas lahan perkebunan
pengusahaan (hektar)
kelapa
nasional
menurut
status
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
Perkebunan rakyat 3.818.946 3.806.032 3.785.343 3.759.736 3.786.063
Perkebunan negara
11.661
9.764
5.838
5.452
5.462
Perkebunan swasta
121.023 123.766 121.949 106.893 106.893
Total
3.951.630 3.939.562 3.913.130 3.872.081 3.898.418
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006)
Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa nasional menurut status pengusahaan
(ton kopra)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
Perkebunan rakyat
3.068.727 3.010.894 3.136.360 3.191.126 3.176.575
Perkebunan negara
14.685
7.755
2.629
3.923
3.071
Perkebunan swasta
153.711 147.229 115.865 106.893 111.335
Total
3.237.123 3.165.878 3.254.854 3.301.942 3.290.981
Produktivitas (Ton/Ha)
0,819
0,803
0,831
0,852
0,844
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2006)
Keterangan : Produktivitas total dihitung dengan cara membagi total produksi
kelapa setara kopra (ton) dengan total luas areal kelapa (hektar).
15
Sebagian besar usaha perkebunan kelapa masih dilakukan secara
tradisional, umumnya pada lahan pekarangan atau kebun rumah. Dari tahun
2002 sampai tahun 2004, terjadi peningkatan produktivitas kopra. Walaupun
demikian, kegiatan pemeliharaan dan pembaruan tanaman kelapa tetap perlu
dilakukan karena tanaman kelapa yang semakin tua akan mengalami
penurunan produktivitas. Peremajaan kelapa sudah harus dimulai sejak
tanaman berumur 60 tahun (Sukamto, 2001). Menurut Allorerung et al.
(2005), produktivitas tanaman kelapa di Indonesia masih dapat ditingkatkan
menjadi 1,5 ton kopra/hektar. Sentra produksi kelapa Indonesia antara lain
Propinsi Riau, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, serta Bali, NTB dan
NTT.
Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk
konsumsi segar, dibuat kopra atau minyak kelapa. Namun seiring dengan
perkembangan pasar dan teknologi, permintaan berbagai produk turunan
kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk desiccated coconut (DC),
serat sabut, arang tempurung dan arang aktif. Dalam sepuluh tahun terakhir
(1993-2002), penggunaan domestik kopra dan kelapa butiran masih meningkat
namun dengan laju pertumbuhan yang sangat kecil. Penggunaan DC
meningkat dengan laju 2,19% per tahun. Sebaliknya penggunaan domestik
minyak kelapa cenderung berkurang. Tabel 7 menunjukan penggunaan
domestik berbagai produk kelapa di Indonesia.
Tabel 7. Penggunaan domestik berbagai produk kelapa di Indonesia (ribu ton)
Tahun
Kopra CCO
DC
Butir
CF
CCL
AC
1993
1.039
454
0,0 11.947
0,0
0,0
0,0
1996
973
364
0,0 13.276
0,0
0,0
0,0
1999
1.212
231
0,0 14.935
0,0
0,1
0,0
2000
1.264
163
0,1 15.114
0,1
0,0
0,0
2001
1.276
334
0,1 15.160
0,1
0,0
0,0
2002
1.202
263
0,0 15.973
0,0
0,0
0,0
Laju (%/th)
2,7
-9,1
3,1
Sumber : Allorerung et al. (2005)
Keterangan :
CCO : Coconut Crude Oil DC : Desiccated Coconut
CF : Coconut Fiber
CCL : Coconut Charcoal AC : Activated Carbon
16
Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin
berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih
menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah.
Produksi arang aktif, arang tempurung dan serat sabut selama ini lebih
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Pada tahun 2002
penggunaan domestik kopra mencapai 1,2 juta ton, sedangkan CCO sebesar
263 ribu ton. Penggunaan domestik kelapa pada tahun yang sama mencapai
15,9 juta ton. Penggunaan tepung kelapa dan serat sabut dalam negeri justru
berasal dari impor karena produksi dalam negeri seluruhnya diekspor.
Selama periode tahun 1993-2002 ekspor berbagai produk kelapa
Indonesia cenderung meningkat kecuali kelapa butir dan serat sabut. Produk
olahan CCO, DC, dan bungkil kopra adalah produk ekspor dominan. Tujuan
ekspor produk kelapa Indonesia selama ini meliputi banyak negara di Eropa,
Amerika maupun Asia dan Pasifik. Perolehan ekspor produk kelapa Indonesia
masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama
(Philipina). Hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh faktor perbedaan kualitas
produk, tingginya biaya tranportasi serta kompleksitas prosedur ekspor
(Allorerung et al., 2005). Tabel 8 menunjukkan volume ekspor beberapa
produk kelapa Indonesia selama periode tahun 1993-2002.
Tabel 8. Volume ekspor ekspor beberapa produk kelapa Indonesia (ton)
Tahun Kopra
CCO
DC
1993
8.744 258.400 19.596
1996
0 378.800 24.150
1999 42.169 349.600 23.533
2000 34.579 734.600 31.373
2001 23.884 395.100 34.820
2002 40.045 446.300 48.550
Laju
12,11
6,29
7,76
(%/th)
Sumber : Allorerung et al. (2005)
Butir
19.522
2.264
38.136
5.334
507
8.694
CF
88
866
59
102
191
191
-11,34
-10,23
CCL
12.362
15.855
17.742
26.735
23.452
29.493
AC
7.163
12.325
11.283
10.205
12.104
11.553
8,95
4,72
Volume impor produk kelapa ke Indonesia masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan volume ekspornya. Secara implisit berarti Indonesia
masih menjadi pengekspor neto produk-produk kelapa. Selama periode tahun
1993-2002, volume impor kopra dan kelapa butiran berfluktuasi dengan
17
kecenderungan menurun. Impor DC baru terjadi sejak tahun 1997 hingga 2001
dengan laju kenaikan yang positif. Impor produk terbesar adalah berupa
minyak kelapa (CCO) dengan volume bervariasi antara 5000-90.000 ton.
Tabel 9 menunjukkan impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa selama
periode tahun 1993-2002.
Tabel 9. Impor Indonesia untuk beberapa produk kelapa (ton)
Tahun
Kopra
CCO
1993
0 33.500
1994
5 46.000
1995
1.911 26.000
1996
3.124 43.600
1997
0 20.000
1998
25
5.000
1999
90 90.000
2000
2 60.000
2001
27 35.000
2002
1.657 18.000
Laju (%/th) -3,15
1,17
Sumber : Allorerung et al. (2005)
DC
0
0
0
0
30
94
31
128
67
0
21,92
Butir
82
40
48
625
157
0
0
20
7
0
-19,44
CF
0
0
0
0
0
0
31
128
67
0
32,23
CCL
-
AC
-
D. Supply Chain Management
Eltram (1991) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM)
sebagai pendekatan integratif dalam menangani masalah perencanaan dan
pengawasan aliran material dari pemasok sampai ke pengguna akhir.
Pendekatan ini ditujukan untuk pengelolaan dan pengawasan hubungan
saluran distribusi secara kooperatif untuk kepentingan semua pihak yang
terlibat, untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya dalam mencapai
tujuan kepuasan konsumen rantai pasokan. Penggunaan istilah rantai dalam
SCM benar-benar menunjukkan sebuah jaringan kerja perusahaan-perusahaan
yang saling berinteraksi untuk mengantarkan produk/jasa ke konsumen akhir,
mengaitkan aliran dari bahan mentah sampai penyampaian akhir.
Perspektif
teradministrasi
atau
SCM
mirip
terkontrak
di
dengan
mana
saluran
pemasaran
pendekatan-pendekatan
yang
ini
membutuhkan kerjasama sukarela ataupun kerjasama berdasarkan kontrak dari
anggota-anggota saluran untuk mencapai tujuan umum. Pendekatan SCM
berbeda dengan perspektif saluran pemasaran tradisional dalam 2 hal.
18
Pertama, SCM mempunyai tujuan yang lebih luas : mengelola inventory dan
hubungan untuk mencapai pelayan konsumen tingkat tinggi daripada
pencapaian tujuan-tujuan pemasaran spesifik. Kedua, pendekatan SCM
mencoba untuk mengelola baik aktivitas hulu maupun aktivitas hilir dalam
rantai persediaan. Saluran pemasaran cenderung untuk fokus pada aktivitas
hilir (Eltram, 1991).
Manajemen rantai pasokan merupakan serangkaian pendekatan
yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan
tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan
didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk
memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan
mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal secara global cukup sulit
karena kedinamisannya serta terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan
partner (Simchi-Levi et al., 2003).
Anggota rantai pasokan meliputi semua perusahaan dan organisasi
yang berhubungan langsung dengan perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui pemasok atau pelanggannya dari point of origin hingga
point of consumption. Anggota primer adalah semua unit bisnis strategik yang
benar-benar-benar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam
proses bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi
pelanggan atau pasar. Anggota sekunder adalah perusahaan-perusahaan yang
menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi anggota
primer. Melalui definisi anggota primer dan anggota sekunder diperolah
pengertian bahwa the point of origin adalah titik dimana tidak ada pemasok
primernya, sedangkan point of consumption adalah titik di mana tidak ada
pelanggan utama (Miranda dan Amin, 2005).
Tujuan dari SCM adalah membuat seluruh sistem menjadi efisien
dan efektif ; minimasi biaya sistem total, dari transportasi dan distribusi
sampai inventori bahan mentah, bahan dalam proses dan produk jadi.
Penekanannya tidak hanya sebatas meminimalkan biaya transportasi atau
mengurangi inventori, tetapi lebih kepada melakukan pendekatan sistem untuk
SCM. SCM bergerak di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang dan toko-
19
toko secara efisien, mencakup aktivitas-aktivitas perusahaan dari level
strategis, taktis sampai operasional (Simchi-Levi et al., 2003).
Simchi-Levi et al. (2003) menyatakan bahwa strategi SC tradisonal
umumnya dikategorikan sebagai sistem push atau pull. Dalam SC dengan
sistem push, kebijakan produksi dan distribusi didasarkan pada peramalan
jangka panjang. Biasanya, perusahaan mengambil dasar peramalan permintaan
berupa data order yang diterima dari gudang-gudang ritel. Karenanya SC
dengan sistem ini perlu waktu lebih lama untuk bereaksi terhadap perubahan
pasar. Kondisi ini dapat mengarah kepada ketidakmampuan untuk
menyesuaikan pola perubahan permintaan, keusangan inventori SC pada saat
permintaan untuk produk tertentu hilang serta timbulnya efek bullwhip dimana
variabilitas permintaan yang diterima dari ritel lebih besar dari variabilitas
permintaan pelanggan sehingga terjadi kelebihan inventori akibat kebutuhan
safety stock yang besar.
Dalam SC dengan sistem pull, produksi dan distribusi digerakkan
oleh permintaan sehingga sistem ini berkoordinasi sesuai dengan permintaan
nyata dari pelanggan daripada ramalan permintaan. Dalam sistem pull murni,
perusahaan tidak menyimpan inventori sama sekali dan hanya merespon
permintaan spesifik. Hal ini dimungkinkan dengan mekanisme aliran
informasi yang cepat untuk mentransfer informasi mengenai permintaan
pelanggan kepada berbagai partisipan SC. Dalam rantai dengan dasar sistem
pull, umumnya dilihat pengurangan inventori yang signifikan dalam sistem,
peningkatan kemampuan untuk mengelola sumber daya, serta pengurangan
biaya sistem saat dibandingkan dengan sistem push yang ekivalen. Di sisi lain,
sistem pull seringkali sulit untuk diterapkan saat lead time sangat panjang
sehingga tidak praktis untuk bereaksi atas informasi permintaan. Dalam sistem
pull, seringkali sulit untuk memperoleh manfaat dari skala ekonomi dalam
pabrikasi dan transportasi karena sistem tidak disiapkan untuk jangka panjang.
Kelebihan dan kekurangan sistem pull maupun sistem push telah
membawa perusahaan-perusahaan untuk mencari strategi SC baru yang
mengambil keuntungan dari kedua sistem, yang umumnya berupa strategi
push-pull. Dalam strategi ini, beberapa tahap SC, biasanya tahap awal,
20
dioperasikan secara push-based sementara tahap selanjutnya menggunakan
strategi pull-based. Interface antara tahap push-based dan pull-based dikenal
sebagai push-pull boundary. Postponement, atau penundaan diferensiasi dalam
disain produk, adalah salah satu contoh strategi push-pull. Perusahaan
mendesain produk dan proses produksi sehingga kebijakan mengenai produk
spesifik yang diproduksi dapat ditunda selama mungkin. Proses pabrik dimulai
dengan memproduksi produk generik yang kemudian didiferensiasikan
menjadi produk akhir saat permintaan muncul.
E. Metode Penelitian
Menurut Nasution (2003), studi kasus adalah bentuk penelitian
yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di
dalamnya. Studi kasus dapat dilakukan terhadap seorang individu (misal suatu
keluarga), segolongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga
sosial. Studi kasus dapat mengenai perkembangan sesuatu, dapat pula
memberi gambaran tentang suatu keadaan. Dalam studi kasus dapat digunakan
berbagai cara pengumpulan seperti observasi, wawancara, angket, studi
dokumenter dan alat pengumpulan data lainnya.
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan
untuk memperoleh informasi. Dengan wawancara, peneliti bertujuan untuk
memperoleh data yang dapat diolah untuk memperoleh generalisasi yang
menunjukkan kesamaan dengan situasi-situasi lain. Wawancara dapat
berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan kenyataan seperti dialami orang lain
sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang
masalah yang diselidikinya. Wawancara dapat juga berfungsi eksploratif,
yakni bila masalah yang dihadapi masih samar-samar karena belum pernah
diteliti secara mendalam oleh orang lain. Secara umum, dapat dibedakan dua
jenis wawancara yakni berstruktur dan tak berstruktur. Wawancara berstruktur
dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan dengan maksud dapat mengontrol
dan mengatur berbagai dimensi pertanyaan ataupun jawabannnya. Wawancara
tak berstruktur dilakukan secara spontan tanpa dipersiapkan daftar pertanyaan
sebelumnya (Nasution, 2003).
21
F. Efisiensi Pemasaran
Menurut Sudiyono (2002), pemasaran sebagai kegiatan produktif
mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu. Dalam
menciptakan guna tempat, guna bentuk dan guna waktu ini diperlukan biaya
pemasaran. Biaya pemasaran ini diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi
pemasaran oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses
pemasaran dan produsen sampai kepada konsumen akhir. Pengukuran kinerja
pemasaran ini memerlukan ukuran efisiensi pemasaran. Secara sederhana
konsep efisiensi ini didekati dengan rasio output-input. Suatu Proses
pemasaran dikatakan efisien apabila :
1). Output tetap dicapai dengan input yang lebih sedikit
2). Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap
3). Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan
output lebih cepat daripada laju input
4). Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju
penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input
Output
pemasaran
ini
berupa
kepuasan
konsumen
akibat
pertambahan utiliti terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi
tersebut. Biaya pemasaran seringkali digunakan untuk mendekati input
pemasaran. Penilaian efisiensi pemasaran dengan menggunakan rasio outputinput ini sulit dilakukan, terutama dalam pengukuran output pemasaran yang
berupa kepuasan konsumen. Pengukuran rasio output-input dapat didekati
dengan sudut pandang efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga.
Efisiensi penetapan harga berhubungan dengan keefektifan
pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kinerja proses
pemasaran dalam menyampaikan output pertanian dari daerah produsen ke
daerah konsumen. Efisiensi operasional diukur dengan membandingkan output
pemasaran terhadap input pemasaran. Dalam menetapkan efisiensi operasional
ini diasumsikan sifat utama output tidak mengalami perubahan atau efisiensi
ini lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dengan penekanan
ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran
atau menaikan rasio output-input pemasaran.
22
Indikator-indikator yang lebih jelas dan lebih mudah digunakan
untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran, tersedianya
fasilitas fisik pemasaran dan intensitas persaingan pasar. Marjin pemasaran
merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga yang
diterima petani. Sementara ini ada anggapan bahwa semakin besar marjin
pemasaran, semakin tidak efisien suatu proses pemasaran. Anggapan ini tidak
selamanya benar, sebab marjin pemasaran ini pada hakekatnya terdiri dari
biaya-biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran dan keuntungan
lembaga-lembaga pemasaran. Anggapan tersebut dapat dibenarkan jika
dibutuhkan biaya yang relatif kecil untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran.
Penyediaan fasilitas fisik untuk pengangkutan, penyimpanan dan
pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi pemasaran.
Kurang tersediaanya fasilitas fisik, terutama pengangkutan diidentikkan
dengan ketidakefisienan proses pemasaran. Intensitas persaingan pasar juga
seringkali digunakan untuk menilai efisiensi pemasaran. Struktur pasar
persaingan sempurna dianggap lebih efisien dibanding struktur pasar
oligopolistik maupun monopolistik.
G. Programa Linier
Menurut Dimyati dan Dimyati (2003), programa linier adalah suatu
cara untuk menyelesaikan persoalan pengalokasian sumber-sumber yang
terbatas di antara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan cara terbaik yang
mungkin dilakukan. Programa linier menggunakan model matematis untuk
menjelaskan persoalan yang dihadapinya. Dalam membangun model dari
formulasi
persoalan
digunakan
karakteristik-karakteristik
yang
biasa
digunakan dalam persoalan programa linier, yaitu :
a. Variabel keputusan
Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara lengkap
keputusan-keputusan yang akan dibuat
b. Fungsi tujuan
Fungsi tujuan merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan
dimaksimumkan (untuk pendapatan atau keuntungan) atau diminimumkan
(untuk ongkos).
23
c. Pembatas
Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa
menentukan harga-harga variabel keputusan secara sembarang.
Bentuk standar dari persoalan programa linier tersaji di bawah ini.
Setiap situasi yang formulasi matematisnya memenuhi model ini adalah
persoalan programa linier.
Maksimumkan z = c1x1 + c2x2 + … + cnxn
(fungsi tujuan)
berdasarkan pembatas :
a11x11 + a12x2 + … + a1nxn < b1
a21x11 + a22x2 + … + a2nxn < b2
.
.
.
am1x11 + am2x2 + … + amnxn < bm
pembatas teknologis
dan x1 > 0, x2 > 0, …, xn > 0
Selain model programa linier dengan bentuk seperti yang telah
diformulasikan di atas, ada pula model programa linier dengan bentuk yang
agak lain seperti :
1. Fungsi tujuan bukan memaksimumkan, melainkan meminimumkan.
2. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai ketidaksamaan dalam
bentuk lebih besar atau sama dengan.
3. Beberapa pembatas fungsionalnya mempunyai bentuk persamaan.
4. Menghilangkan pembatas nonnegatif untuk beberapa variabel keputusan.
Dalam menggunakan model programa linier, diperlukan beberapa
asumsi sebagai berikut :
1. Asumsi kesembandingan (proportionality)
Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan adalah
sebanding dengan nilai variabel keputusan. Kontribusi suatu variabel
terhadap ruas kiri dari setiap pembatas juga sebanding dengan nilai
variabel keputusan itu.
2. Asumsi penambahan (aditivity)
Kontribusi setiap variabel keputusan terhadap fungsi tujuan bersifat
tidak tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain. Kontribusi
24
suatu variabel terhadap ruas kiri dari setiap pembatas bersifat tidak
tergantung pada nilai variabel keputusan yang lain.
3. Asumsi pembagian (divisibility)
Dalam persoalan programa linier, variabel keputusan boleh
diasumsikan berupa bilangan pecahan.
4. Asumsi kepastian (certainty)
Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan
koefisien teknologis, diasumsikan dapat diketahui secara pasti.
Menurut Nasendi dan Anwar (1985), sistematika dari analisisanalisis dalam proses pengambilan keputusan yang memakai progam linier
dan variasinya mempunyai lima tahap sebagai berikut :
1.
Identifikasi persoalan
Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan
perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data tentang
kendala-kendala yang menjadi syarat ikatan terhadap peubah-peubah
dalam fungsi tujuan sistem model yang dipelajari.
2.
Penyusunan model
Kegiatan penyusunan model terdiri dari empat hal, yaitu :
(1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahannya
(2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam model yang
bersangkutan secara simbolik ke dalam rumusan model matematika
(3) menentukan peubah-peubah beserta kaitannya satu sama lain
(4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan nilai-nilai
dan parameter yang jelas
3.
Analisis model
Model yang dipilih untuk dapat dianalisis dengan teknik
program linier dan variasinya akan memberikan hasil-hasil yang optimal.
Hasil analisis tersebut perlu diuji kepekaannya guna melihat sampai
seberapa jauh parameter dari peubah-peubah yang ditetapkan dapat
bertahan apabila terjadi perubahan pada sistem.
25
4.
Pengesahan model
Analisis pengesahan model menyangkut penilaian terhadap
model dengan cara mencocokkannya dengan keadaan dan data nyata.
5.
Implementasi
Hasil-hasil yang diperoleh dapat dipakai dalam perumusanperumusan rencana kegiatan yang sewaktu-waktu dapat dinilai.
Implementasi hasil ini juga menyangkut sistem dokumentasi model dan
dokumentasi hasil analisis yang baik.
H. Model Transportasi
Menurut Russel dan Taylor (2003), metode transportasi adalah
suatu
teknik
kuantitatif
yang
digunakan
untuk
menentukan
cara
menyelenggarakan transportasi dengan biaya seminimal mungkin. Persoalan
transportasi melibatkan pengangkutan barang dari berbagai sumber dengan
jumlah penawaran tetap ke tujuan-tujuan tertentu dengan jumlah permintaan
yang tetap pula dengan biaya serendah mungkin. Dimyati dan Dimyati (2003)
menyatakan bahwa model transportasi merupakan salah satu bentuk khusus
atau variasi dari program linier yang dikembangkan khusus untuk
memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan transportasi dan
distribusi produk dari berbagai sumber (pusat pengadaan atau titik suplai) ke
berbagai tujuan (titik permintaan). Ciri khusus dari suatu persoalan
transportasi ini adalah :
1. Terdapat sejumlah sumber dan sejumlah tujuan tertentu.
2. Kuantitas komoditas atau barang yang didistribusikan dari setiap sumber
dan yang diminta oleh setiap tujuan, besarnya tertentu.
3. Komoditas yang dikirim atau diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan
besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber.
4. Ongkos pengangkutan komoditas dari suatu sumber ke suatu tujuan,
besarnya tertentu.
Misalkan ada m buah sumber dan n buah tujuan. Masing-masing
sumber mempunyai kapasitas ai, dengan i = 1, 2, …, m. Masing-masing
tujuan membutuhkan komoditas sebanyak bj, dengan j = 1, 2, …, n. Jumlah
26
satuan yang dikirimkan dari sumber i ke tujuan j adalah sebanyak Xij dengan
ongkos pengiriman per unit adalah Cij. Dengan demikian, maka formulasi
programa liniernya adalah sebagai berikut.
m
n
Meminimumkan Z = ∑∑ C ij X ij
i =1 j =1
berdasarkan pembatas :
n
∑X
j =1
ij
= ai ; i = 1, 2, ..., m
n
∑X
i =1
ij
= b j ; j = 1, 2, ..., n
dan X ij ≥ 0 untuk seluruh i dan j.
I. LINDO
LINDO (Linear Interactive and Discrete Optimizer) ialah suatu
paket program interaktif programming linier, kuadratik dan integer yang
dirancang agar dapat digunakan oleh berbagai kalangan pemakai. Lindo
disusun sedemikian rupa sehingga sangat mudah digunakan karena persoalan
Linear Programming yang telah dinyatakan dalam fungsi tujuan dan kendalakendala tidak perlu dipindahkan ke dalam format-format tertentu yang
menyulitkan, akan tetapi secara langsung dapat dimasukkan sesuai dengan
bentuk aslinya (Pusat Pengolahan Data dan Statistik Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 1985).
LINDO telah digunakan pada ribuan badan usaha, perguruan
tinggi, universitas dan badan pemerintahan di seluruh dunia. LINDO versi
Windows menyediakan menu pull-down dan toolbar yang mudah digunakan
serta editor model yang lengkap. Persoalan dapat diekspresikan dalam gaya
persamaan lurus yang sederhana. LINDO juga mempunyai kapasitas untuk
menyelesaikan model linier dan integer berskala besar dengan cepat. LINDO
juga mempunyai semua fitur yang dibutuhkan untuk input model, editing,
tampilan solusi, penyelidikan kelogisan data, penanganan file dan analisis
sensitivitas (LINDO Sytems Inc, 2006).
J. Hasil Penelitian Terdahulu
Ritonga (2005) melakukan analisis pemasaran komoditas kentang
dengan pendekatan konsep SCM di Semarang, dimana analisis difokuskan
27
pada pola rantai pasokan serta analisis marjin pemasaran dan farmer share
(bagian petani). Penelitian tersebut menggunakan data primer yang diperoleh
melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan anggota mata rantai
pasokan komoditas kentang baik melalui hipermarket maupun pasar
tradisional. Anggota rantai pasokan yang terlibat dalam rantai pasokan
kentang di Semarang yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir,
pemasok, pedagang pengecer termasuk hipermarket serta konsumen.
Petani di lokasi penelitian menjual komoditas kentang yang
dipanen untuk pasar Kota Semarang melalui dua pasar induk, yaitu Pasar
Johar dan Pasar Bandungan. Secara umum pola rantai pasokan komoditas
kentang dari lokasi penelitian adalah dari petani kentang dijual ke pedagang
pengumpul, kemudian pedagang pengumpul menjual kepada pedagang grosir
yang terdapat di pasar grosir Johar dan pasar grosir Bandungan. Terdapat tiga
pola rantai pasokan komoditas kentang, yaitu :
1.
Pola rantai pasokan 1 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar
Pasar Johar Semarang → Pedagang pengecer
pasar tradisional → Konsumen rumah tangga
2.
Pola rantai pasokan 2 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar
Pasar
Bandungan
Semarang
→
Pedagang
pengecer pasar tradisional → Konsumen rumah
tangga
3.
Pola rantai pasokan 3 : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang besar
Pasar Johar Semarang → Pemasok → Makro
Cash and Carry → Konsumen rumah tangga
Perhitungan marjin, sebaran marjin dan farmer share dilakukan
berdasarkan tiga kelas mutu komoditas kentang yaitu AB Super, AB dan
ABC. Pola rantai pasokan 3 memiliki total marjin pemasaran yang lebih besar
dibandingkan pola 1 dan pola 2. Penyebaran marjin belum merata di antara
ketiga rantai pasokan. Pedagang grosir memperoleh marjin pemasaran
terendah diantara anggota rantai pasokan lain karena sedikitnya aktivitas
pedagang grosir yang membutuhkan biaya dan sedikitnya keuntungan yang
28
diambil. Bagian petani (farmer’s share) adalah bagian yang diterima petani
sebagai balas jasa atas kegiatan usaha tani kentang. Bagian petani terbesar
diperoleh pada pola rantai 1 karena pada pola ini harga jual komoditas di
tingkat konsumen lebih rendah.
Perolehan marjin tertinggi rantai pasokan kentang mutu kelas AB
super pada pola 1 dan pola 2 terdapat pada tingkat pengecer, sedangkan marjin
tertinggi pada rantai pasokan 3 terdapat pada tingkat pemasok. Keuntungan
lebih besar kontribusinya dalam marjin-marjin tersebut daripada biaya yang
dikeluarkan. Marjin total untuk komoditas kentang mutu kelas AB dan ABC
pada pola 1 dan 2 cenderung rendah. Kedua komoditas tersebut dijual dengan
harga murah dan terkadang pedagang tidak mengambil keuntungan karena
hanya mengharapkan keuntungan yang besar dari kentang untuk mutu AB
super.
Persentase biaya terbesar yang dikeluarkan masing-masing anggota
rantai pasokan adalah biaya penyusutan. Pada pola rantai 1, biaya pemasaran
terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer karena banyaknya
aktivitas yang memerlukan biaya. Untuk pola rantai 1 biaya pemasaran
terbesar untuk kentang kelas AB super ditanggung oleh pedagang pengumpul
karena besarnya biaya angkut ke pasar grosir. Untuk kelas mutu lainnya, biaya
pemasaran terbesar untuk setiap kelas mutu ditanggung oleh pengecer seperti
pada pola pertama. Pada rantai pasokan ke 3, biaya pemasaran terbesar
ditanggung oleh pemasok ke pasar modern karena tingginya biaya seperti
biaya pengemasan, pengangkutan dan resiko kerusakan komoditas di
supermarket.
Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas
jeruk Medan dengan metode studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati dan
Carrefour Cempaka Mas Jakarta. Data primer penelitian ini diperoleh dari
hasil wawancara dengan 7 pedagang eceran serta beberapa pedagang grosir di
Cililitan dan Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Data sekunder diperoleh dari
BPS, Pasar Induk Kramat Jati, Departemen Pertanian dan instansi-instansi
lain.
29
Anggota primer SC jeruk Medan adalah pedagang antar pulau
(PAP), pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan.
Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin
pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi yaitu :
1.
Petani - PAP - Grosir PIKJ - Pengecer
2.
Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Pengecer
3.
Petani - PAP - Grosir Cililitan - Perusahaan Pemasok- Swalayan
Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar.
Saluran pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar. Pola saluran
pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan
dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya
tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani
karena menghasilkan farmer’s share yang tinggi.
30
III. METODOLOGI
A. Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa ini
meninjau anggota, aktivitas, pengelolaan, biaya dan efisiensi rantai pemasokan
kelapa di Kota Bogor. Aliran rantai pasokan buah kelapa yang dimaksud yaitu
aliran pasokan buah kelapa tua dari daerah-daerah penghasil kelapa ke pasarpasar di Kota Bogor. Rantai pasokan terdiri dari anggota-anggota rantai
pasokan dengan aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan.
Menurut Simchi-Levi et al. (2003), masalah kunci dalam
pengelolaan rantai pasokan terdiri dari konfigurasi jaringan distribusi,
pengendalian inventori, kontrak pemasokan, strategi distribusi, integrasi rantai
pasokan dan kemitraan strategis, strategi procurement dan outsourcing, desain
produk, teknologi informasi dan sistem penunjang keputusan serta penilaian
pelanggan. Pengelolaan rantai pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh
bagian sistem memberikan kinerja keseluruhan sistem yang efektif, tetapi juga
efisien. Analisis pengelolaan rantai pasokan kelapa pada penelitian ini terbatas
pada analisis konfigurasi jaringan logistik, metode pengendalian inventori,
integrasi rantai pasokan dan efisiensi rantai pasokan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian lapang dilakukan terhitung mulai Mei sampai September
2006. Untuk data pasokan kelapa di Kota Bogor, diperoleh dari data
kebutuhan pedagang besar dan data kebutuhan industri pengolah kelapa. Kota
Bogor memiliki tujuh buah pasar yang dikelola oleh pemerintah yaitu Pasar
Gunung Batu, Pasar Kebon Kembang, Pasar Baru Bogor, Pasar Jambu Dua,
Pasar Merdeka, Pasar Sukasari dan Pasar Padasuka.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan
data sekunder. Untuk data primer, jenis data yang diperoleh antara lain data
harga pembelian dan penjualan, data jumlah pasokan harian, data biaya
pemasokan serta data lainnya yang terkait dengan penelitian. Data sekunder
diperoleh dari informasi statistik dari situs BPS, situs Departemen Pertanian,
31
serta data dari Direktorat Jendral Perkebunan. Data industri pengolah kelapa
diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kotamadya
Bogor.
D. Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan tahap eksplorasi awal rantai pasokan
buah kelapa sehingga teridentifikasi anggota-anggota primer dan sekunder
rantai pasokan. Selanjutnya dilakukan tahap pengumpulan dan analisis data.
Gambar 4 menunjukkan tahap-tahap penelitian rantai pasokan buah kelapa di
Kota Bogor.
Mulai
Identifikasi anggota rantai pasokan
Pembuatan daftar pertanyaan untuk pedagang
Wawancara dengan pedagang dan industri
tidak
ya
Data
lengkap?
Analisis konfigurasi jaringan logistik
analisis deskriptif
Analisis pengendalian inventori
Analisis integrasi rantai pasokan
Analisis efisiensi rantai pasokan
a.
b.
analisis marjin pemasaran
analisis efisiensi alokasi kelapa
Selesai
Gambar 4. Diagram tahapan penelitian rantai pasokan buah kelapa di
Kotamadya Bogor
32
D.1. Metode Pengumpulan Data
Data-data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
wawancara. Sistem pengelolaan rantai pasokan kelapa di Kota Bogor
diteliti lebih lanjut dengan cara mewawancarai berbagai level anggota
primer rantai pasokan. Teknik wawancara yang dipakai antara lain yaitu
wawancara berstruktur yang dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan
dengan maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi
pertanyaan ataupun jawabannya. Kecuali wawancara dengan industri
pengolah kelapa yang dilakukan secara tidak berstruktur yaitu tidak
menggunakan daftar pertanyan. Wawancara dengan pihak industri
dilakukan untuk mengetahui jumlah kebutuhan kelapa.
Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat
pedagang besar dilakukan dengan cara sensus pedagang besar kelapa
yang ada di tiap pasar di Kota Bogor. Pedagang besar yang dimaksud di
sini yaitu pedagang kelapa baik grosir/bandar maupun eceran yang
memperoleh pasokan kelapa langsung dari wilayah produsen kelapa.
Sensus adalah cara pengumpulan data dengan mengambil elemen atau
anggota populasi secara keseluruhan untuk diselidiki (Hasan, 2002).
Tidak semua pasar memiliki pedagang besar. Pasar-pasar yang
memilikinya yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar
Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Sukasari. Pasar Gunung Batu
memperoleh kelapanya dari grosir di Pasar Kebon Kembang, sedangkan
Pasar Padasuka memperoleh kelapanya dari Pasar Jambu Dua.
Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat
Pedagang Antar Wilayah (PAW) dan pedagang pengecer dilakukan
dengan cara wawancara dengan perwakilan masing-masing level.
Pedagang Antar Wilayah yaitu pihak pemasok yang membawa kelapa
dari daerah sentra kelapa kepada para pedagang besar. Untuk level PAW,
peneliti mewawancarai seorang PAW dari Tasikmalaya dan seorang
PAW dari Lampung. Keduanya adalah PAW yang dapat ditemui peneliti
di Pasar Baru Bogor. Untuk data biaya dan keuntungan PAW Banten,
peneliti memperoleh informasi dari grosir kelapa Banten di wilayah Pasar
33
Kebon Kembang. Hal ini dilakukan karena PAW dari Banten berada di
Kota
Bogor
hanya
pada
malam
hari
sehingga
peneliti
sulit
mewawancarainya. Identifikasi sistem pemasokan kelapa untuk tingkat
pedagang pengecer diperoleh dari hasil wawancara dengan seorang
pedagang pengecer yang mewakili pengecer kelapa asal Banten,
Lampung dan Tasikmalaya-Ciamis sesuai aliran pasokannya masingmasing. Sebagian data biaya transportasi kelapa dari tiap sumber ke tiap
pasar diperoleh dari hasil wawancara dengan pedagang besar.
D.2. Metode Analisis Data
D.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang
digunakan dengan tujuan memperoleh gambaran secara mendalam
dan obyektif mengenai obyek penelitian. Tujuan penggunaan
analisis ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang
sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa
sebab-sebab dari gejala tertentu (Ritonga, 2005). Hasil analisis ini
disajikan dalam bentuk tabulasi maupun gambar-gambar sesuai
kebutuhan. Data primer dan sekunder yang diperoleh dianalisis
secara
deskriptif
tabulasi
dan
statistik
sederhana
untuk
menggambarkan keadaan pasar dan aliran rantai pasokan kelapa.
D.2.2 Analisis Efisiensi Rantai Pasokan
Menurut Sudiyono (2002), efisiensi pemasaran dapat
didekati dengan efisiensi operasional yang diukur dengan
membandingkan output pemasaran terhadap input pemasaran.
Dalam menetapkan efisiensi operasional ini diasumsikan sifat
utama output tidak mengalami perubahan, dengan penekanan
ditujukan pada usaha mengurangi input untuk menghasilkan output
pemasaran atau menaikan rasio output-input pemasaran. Input
pemasaran berupa biaya tenaga kerja, modal dan manajemen untuk
melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran relatif lebih mudah diukur
daripada output pemasaran berupa kepuasan konsumen. Mubyarto
34
dalam Susiyana (2005) menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran
dikatakan efisien apabila :
1). Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada
konsumen dengan biaya semurah-murahnya.
2). Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan
biaya yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang
ikut dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut.
Dengan demikian jika output pemasaran diasumsikan tetap,
proses pemasaran dikatakan efisien jika :
1). Biaya fungsional pemasaran rendah
2). Adanya pembagian keuntungan yang adil bagi setiap lembaga
pemasaran
yang
terlibat
sesuai
besarnya
biaya
yang
dikeluarkannya.
Analisis efisiensi rantai pasokan untuk beberapa saluran
pemasaran spesifik dilakukan dengan analisis marjin pemasaran.
Marjin pemasaran terdiri dari terdiri dari biaya fungsional
pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran. Parameter
pengukuran efisiensi yang digunakan yaitu biaya fungsional
pemasaran dan rasio keuntungan terhadap biaya. Marjin pemasaran
secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
Mi = Ci + πi
Mi = Pri - Pfi
dimana
Mi
: marjin pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
Pri
: harga jual pada tingkat lembaga ke-i
Pfi
: harga beli pada tingkat lembaga ke-i
Ci
: biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
πi
: keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Total marjin yaitu penjumlahan marjin di setiap lembaga
pemasaran yang terlibat. Total marjin dirumuskan sebagai berikut :
Total Marjin (MT) =
n
∑M
i =1
i
dengan n jumlah lembaga pemasaran
35
Rasio keuntungan terhadap biaya dihitung dengan membagi
keuntungan dengan biaya total yang dikeluarkan setiap lembaga
pemasaran.
Rasio keuntungan-biaya (%) = {πI / (PfI + CI)}*100% dimana
Pfi
: harga beli pada tingkat lembaga ke-i
Ci
: biaya pemasaran pada tingkat lembaga ke-i
πi
: keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Analisis efisiensi rantai pasokan juga dilakukan pada
efisiensi alokasi distribusi kelapa dari berbagai daerah ke pasarpasar di Kotamadya Bogor. Efisiensi diukur dengan cara
membandingkan biaya total transportasi berdasarkan alokasi
kelapa saat ini dengan biaya total transportasi berdasarkan alokasi
optimal. Alokasi optimal yaitu alokasi yang memberikan biaya
transportasi minimal.
Penentuan
alokasi
optimal
dilakukan
dengan
cara
mengembangkan model transportasi dengan teknik programa linier
berdasarkan data yang telah diperoleh. Gambar 5 menunjukkan
tahapan analisis model transportasi buah kelapa ke Kotamadya
Bogor. Dalam penelitian ini, analisis model tersebut dilakukan
dengan tahap-tahap sebagai berikut.
1. Identifikasi persoalan
Identifikasi persoalan terdiri dari kegiatan penentuan dan
perumusan tujuan, identifikasi peubah serta pengumpulan data
tentang kendala-kendala dalam fungsi tujuan sistem model yang
dipelajari.
2. Penyusunan model
Penyusunan model terdiri dari kegiatan :
(1) memilih model yang cocok sesuai dengan permasalahan
(2) merumuskan segala macam faktor yang terkait di dalam
model yang bersangkutan secara simbolik ke dalam
rumusan model matematika
(3) menentukan peubah-peubah dan kaitannya satu sama lain
36
(4) menetapkan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya dengan
nilai-nilai dan parameter yang jelas
3. Analisis model
Untuk
memperoleh
penyelesaian
model,
proses
perhitungan dilakukan dengan bantuan perangkat komputer agar
diperoleh penyelesaian yang cepat dan memiliki ketelitian yang
tinggi. Perangkat yang digunakan adalah LINDO. LINDO juga
digunakan dalam analisis sensitivitas dari hasil perhitungan.
Mulai
Identifikasi persoalan
Penyusunan model
Analisis model
Bantuan
perangkat
LINDO
Selesai
Gambar 5. Tahapan analisis model transportasi buah kelapa
ke Kotamadya Bogor
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kota Bogor terletak di antara 106°43’30” - 106°51’00”BT dan
30’30”LS - 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190
meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 Km.
Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah latosil coklat kemerahan dan
sebagian besar mengandung tanah liat serta bahan-bahan yang berasal dari
letusan gunung merapi sehingga mengandung batu-batuan dan pasir. Curah
hujan rata-rata kota Bogor sebesar 310 mm dengan rata-rata 10 hari hujan per
bulan.
Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Bogor
Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor
Timur, Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal. Kota ini
mempunyai luas 118,50 Km2 yang memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut.
1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor
2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi
Kabupaten Bogor
3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede
dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor
4. Barat : berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogor.
Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk
Bogor mencapai 831.571 orang. Kepadatan penduduk Kota Bogor mencapai
7.017 jiwa per Km2. Jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah setiap
tahunnya. Tabel 10 menunjukkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor
selama tahun 2001-2004.
38
Tabel 10. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor Tahun 2000-2004
Jenis Kelamin
2000
2001
2002
2003
2004
Laki-laki
360.942
382.896
397.820
419.252
424.819
Perempuan
353.769
377.391
391.603
401.455
406.752
Total
714.711
760.287
789.423
820.707
831.571
Sumber : Badan Pusat Statistik (2005)
Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor sudah relatif stabil
dengan pertumbuhannya yang cukup baik, namun masih memerlukan
perhatian
yang
lebih
baik
untuk
sektor-sektor
perekonomiannya.
Perekonomian Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran 31% dan sektor industri pengolahan sebesar 28% dimana kedua
sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli
masyarakat. Jumlah perusahaan perdagangan nasional di Kota Bogor pada
tahun 2004 adalah 6.574 buah. Terdapat peningkatan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya sebesar 6%. Perusahaan perdagangan nasional didominasi
oleh perdagangan kecil dengan jumlah 5.434 buah.
Kota Bogor mendapat pasokan buah kelapa butiran dari beberapa
wilayah di luar Kota Bogor melalui pasar-pasar tradisional. Penelitian
dilakukan di pasar-pasar tradisonal dimana kelapa dipasok dari daerah-daerah
luar Kota Bogor. Menurut Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
(Perindagkop), Kota Bogor mempunyai tujuh buah pasar tradisonal. Pasarpasar tersebut yaitu Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu
Dua, Pasar Merdeka, Pasar Padasuka dan Pasar Sukasari. Gambar 6
menunjukkan lokasi pasar-pasar tersebut pada tingkat kelurahan di Kotamadya
Bogor. Pengelolaan pasar dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) yang ada di masing-masing pasar. Setiap pasar memiliki berbagai
fasilitas seperti kios, gudang, MCK, mushola, tempat pembuangan sampah
serta alat pemadam kebakaran baik berupa hydrant patok maupun tabung
pemadam kebakaran.
39
MEKARWANGI
KAYUMANIS
KENCANA
CIBADAK
CIPARAGI
CURUG
SITUGEDE
SUKADAMAI
KEDUNGHALANG
SUKARESMI
SEMPLAK
CURUGMEKAR
BALUNGBANGJAYA
KEDUNGJAYA
KEDUNGBADAK
BUBULAK
CIBULUH
MARGAJAYA
KEDUNGWARINGIN
CILENDEKBARAT
CILUAR
KEBONPEDES
TANAHSAREAL
CILENDEKTIMUR
SINDANGBARANG
4
CIWARINGIN
MENTENG
LOJI
TEGALGUNDIL
CIBOGOR
KEBONKALAPA
7
3
TANAHBARU
BANTARJATI
BABAKAN
SEMPUR
PABATON
2
CIMAHPAR
GUNUNGBATU
PASIRMULYA
TEGALEGA
PANARAGAN
PASIRJAYA
PELEDANG
6
PASIRKUDA
BABAKANPASAR
BARANANGSIANG
GUDANG
1
BONDONGAN
Keterangan :
EMPANG
CIKARET
BATUTULIS
Batas Kotamadya
SUKASARI
5
TAJUR
LAWANGGINTUNG
Batas Kecamatan
KATULAMPA
CIPAKU
PAKUAN
1. Pasar Baru Bogor
2. Pasar Kebon
Kembang
3. Pasar Merdeka
4. Pasar Jambu Dua
5. Pasar Sukasari
6. Pasar Padasuka
7. Pasar Gunung Batu
RANGGAMEKAR
MULYAHARJA
GENTENG
SINDANGRASA
MUARASARI
SINDANGSARI
HARJASARI
PAMOYANAN
KERTAMAYA
RANCAMAYA
BOJONGKERTA
Gambar 6. Lokasi pasar-pasar tradisional di Kotamadya Bogor
(modifikasi gambar dari BPS, 2005)
Kegiatan pengelolaan pasar antara lain yaitu pengelolaan jual beli
dan penyewaan kios dan gudang, pemeliharaan kebersihan, ketertiban dan
keamanan, penarikan retribusi serta pengawasan harga bahan makanan dan
komoditas pokok. Beberapa UPTD menyerahkan pengelolaaan sebagian
wilayah pasarnya kepada pihak swasta yang tetap bertanggung jawab kepada
40
UPTD tersebut. Penarikan retribusi dilakukan dengan cara penjualan karcis
kepada para pedagang baik yang menempati kios maupun para pedagang yang
menempati lapak serta wilayah pinggiran jalan pasar. Jumlah pedagang
khususnya yang menempati lapak/jalan bisa tidak sama setiap harinya.
B. Konsumsi dan Kebutuhan Buah Kelapa
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian
merumuskan suatu komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna
memenuhi kebutuhan gizi penduduk dalam bentuk Pola Pangan Harapan
(PPH). PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup
sehat. Konsumsi buah/biji berminyak dalam bentuk daging kelapa menurut
PPH Nasional yaitu sebesar 10 gr per kapita per hari, dengan satu butir kelapa
diasumsikan setara dengan 252 gram daging kelapa (Pusat Pengembangan
Konsumsi Pangan Departemen Pertanian, 2004).
Data Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa penduduk Indonesia
pada tahun 2004 berjumlah 217.854.000 orang. Jika diperhitungkan dengan
angka PPH, maka kebutuhan daging kelapa penduduk Indonesia mencapai
795.167 ton selama tahun 2004. Angka tersebut jauh dibawah angka produksi
kelapa setara kopra tahun 2004. Produksi kopra pada tahun yang sama yaitu
sebesar 3.301.942 ton atau setara dengan 16.509.710 ton daging buah kelapa.
Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004 oleh Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 831.571
jiwa. Jika diperhitungkan dengan standar PPH Nasional maka diharapkan
konsumsi daging kelapa penduduk Kota Bogor mencapai 8.315.710 gram per
hari atau sekitar 33.000 butir kelapa per hari. Dengan demikian, untuk
memenuhi kebutuhan kelapa sesuai anjuran PPH, Kota Bogor memerlukan
pasokan kelapa sebanyak 990.000 butir per bulan. Kota Bogor juga memiliki
beberapa industri kecil pengolah kelapa. Industri-industri tersebut yaitu empat
buah industri VCO dan sebuah industri minyak kelapa. Total kebutuhan
kelapa untuk kelima industri tersebut yaitu sebesar 36.600 butir per bulan.
41
C. Identifikasi Anggota Rantai Pasokan
C.1. Anggota Rantai Pasokan
Anggota primer adalah semua unit bisnis strategik yang benarbenar menjalankan aktivitas operasional dan manajerial dalam proses
bisnis yang dirancang untuk menghasilkan keluaran tertentu bagi
pelanggan atau pasar. Yang termasuk anggota primer dalam rantai
pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu pedagang antar wilayah,
pedagang besar, pedagang eceran dan konsumen.
1.
Pedagang Antar Wilayah
Pedagang Antar Wilayah (PAW) adalah satu-satunya anggota
rantai pasokan yang membawa kelapa butiran ke Kota Bogor. Para
PAW tidak memiliki kebun kelapa sendiri, mereka membeli kelapa
dari para petani dan/atau dari para pengumpul kelapa di daerah asal
masing-masing. Untuk mendapatkan kelapa sesuai jumlah yang
dibutuhkan,
PAW
perlu
membeli
kelapa
dari
beberapa
petani/pengumpul kelapa.
2.
Pedagang Besar
Pedagang besar kelapa yaitu pedagang yang menjual kelapa
kepada konsumen rumah tangga, pedagang-pedagang eceran dan
industri. Pedagang besar memperoleh pasokannya dari PAW. Tidak
semua pedagang besar menjual kelapa kepada konsumen rumah
tangga, pedagang eceran maupun industri. Pedagang besar hanya
terdapat di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar
Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari.
3.
Pedagang Pengecer
Pedagang pengecer yaitu pihak yang memperoleh kelapa dari
pedagang besar dan hanya menjualnya kepada konsumen rumah
tangga.
4.
Konsumen
Konsumen rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor
antara lain yaitu penduduk secara umum untuk konsumsi makanan
42
harian, serta industri pengolah buah kelapa tua yang ada di Kota
Bogor yaitu industri kecil VCO dan minyak kelapa.
Anggota
sekunder
adalah
perusahaan-perusahaan
yang
menyediakan sumber daya, pengetahuan, utilitas atau aset-aset bagi
anggota primer. Yang termasuk ke dalam anggota sekunder adalah
lembaga pengangkutan yaitu lembaga perantara pada rantai pasokan yang
bergerak di bidang jasa transportasi. Pihak lain yang juga menjadi
anggota sekunder rantai pasokan kelapa yaitu pedagang kemasan,
pedagang mesin pemarut dan pemerasan santan, serta penyedia bahan
bakar mesin-mesin tersebut.
C.2. Aktivitas Anggota Primer Rantai Pasokan
PAW membeli kelapa dari petani-petani atau para pengumpul
kelapa di daerahnya. Umumnya mereka membeli kelapa yang sebagian
besar sabutnya telah dikupas. Sortasi dilakukan sambil kelapa-kelapa
dimuat ke dalam truk oleh para pegawai petani/pengumpul kelapa.
Pemuatan kelapa dilakukan sejak pagi sampai siang hari, kemudian
dibawa ke Kota Bogor pada malam hari saat arus lalu lintas tidak ramai.
Grading dilakukan saat kelapa dijual/dialihkan kepada pedagang besar.
Grading dilakukan berdasarkan besar-kecilnya kelapa, semakin besar
kelapa semakin mahal harganya. Tingkatan grade kelapa tidak sama
untuk setiap pedagang besar. Tabel 11 memperlihatkan aktivitas-aktivitas
pemasokan yang dilakukan oleh anggota primer rantai pasokan.
Pedagang besar membeli kelapa dari PAW masih dalam bentuk
kelapa yang telah dikupas sebagian besar sabutnya, dan dijual kepada
pedagang pengecer tanpa mengalami proses pengolahan. Kelapa
dipindahkan dengan memakai keranjang bambu. Pedagang besar hanya
mengolah kelapanya menjadi kelapa kupas tanpa tempurung, kelapa
parut ataupun santan jika dijual kepada konsumen rumah tangga ataupun
industri.
43
Tabel 11. Aktivitas anggota primer rantai pasokan kelapa di Kota Bogor
Aktivitas
Anggota Primer Rantai Pasokan Kelapa
Pedagang
PAW
Pengecer
Industri
Besar
Pertukaran
√
ƒ Penjualan
√
ƒ Pembelian
Fisik
ƒ Pengangkutan
√
ƒ Pengemasan
ƒ Penyimpanan
Fasilitas
√/ƒ Sortasi
√/ƒ Grading
ƒ Pengolahan
Keterangan :
(√) dilakukan
(-) tidak dilakukan
(√/-) dilakukan oleh sebagian anggota
√
√
√
√
√
√
√/√/√
√
√/√
√
-
√/√/√/-
√
√
√/-
√
Beberapa pedagang besar menyimpan kelapanya di gudanggudang baik di dalam atau di luar wilayah pasar. Pedagang besar lainnya
menyimpan kelapanya di kios-kios tempat berjualan. Pedagang besar
yang melakukan pengolahan baik pengupasan, pemarutan ataupun
pemerasan santan, menjual hasil samping berupa tempurung dan air
kelapanya kepada penampung. Tempurung kelapa umumnya ditampung
oleh pembuat arang, sedangkan air kelapa umumnya ditampung oleh
pembuat nata de coco. Adapula seorang pedagang besar yang menjual
kerikan kelapanya kepada peternak unggas.
Pedagang eceran minimal akan mengupas dan memisahkan
daging kelapa dari tempurungnya sebelum dijual kepada konsumen.
Sebagian besar pedagang eceran dapat mengolah kelapanya menjadi
kelapa parut. Sebagian pedagang eceran juga menjual tempurung dan air
kelapanya kepada para penampung, sebagian lain membuangnya begitu
saja. Industri memperoleh kelapanya dalam bentuk butiran, parutan
ataupun santan.
44
D. Konfigurasi Jaringan Logistik
D.1. Pola Aliran Rantai Pasokan
Pola aliran pasokan kelapa di Kota Bogor secara umum dapat
dilihat pada Gambar 7. Dengan demikian, maka terdapat 3 pola aliran
pasokan kelapa di Kota Bogor, yaitu :
1. Pola I : PAW →Pedagang Besar →Pedagang Eceran →Konsumen RT
2. Pola II : PAW → Pedagang Besar → Konsumen RT
3. Pola III : PAW → Pedagang Besar → Industri
Pola 1 :
PAW
Pedagang
Besar
Pedagang
Eceran
PAW
Pedagang
Besar
Konsumen
RT
PAW
Pedagang
Besar
Industri
Konsumen
RT
Pola 2 :
Pola 3 :
Gambar 7. Pola aliran pasokan kelapa
Pemasokan kelapa di wilayah Kota Bogor dimulai dari
Pedagang Antar Wilayah (PAW) karena lembaga inilah yang memasok
kelapa ke pedagang besar langsung dari wilayah asal kelapa. Masingmasing pedagang besar umumnya telah memiliki pemasok tetap yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Beberapa pedagang besar
menerima pasokan dari beberapa PAW. Jumlah kelapa yang dipasok oleh
PAW disesuaikan dengan situasi pasar saat itu, sesuai perkiraan
pedagang besar. Menjelang hari raya biasanya jumlah yang dipasok dapat
mencapai beberapa kali lipat.
PAW yang memasok kelapa ke Kota
Bogor berasal dari tiga wilayah yaitu Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan
Lampung.
45
Pasar-pasar di Kota Bogor memperoleh pasokan kelapanya dari
18 orang pedagang besar. Jumlah pasokan kelapa ke masing-masing
pedagang besar dapat dilihat pada Lampiran 4. Pedagang besar membeli
kelapa dalam jumlah besar, rata-rata sebesar 66.146 butir per bulan.
Pemasok untuk setiap pedagang besar berbeda-beda satu sama lain.
Pemasok tersebut juga bisa lebih dari satu pemasok dari wilayah yang
berbeda-beda. Tidak semua pedagang besar menduduki wilayah pasar.
Beberapa pedagang besar berada di luar wilayah pasar namun lokasinya
tidak jauh dari pasar.
Pedagang-pedagang eceran membeli kelapa dagangannya dari
pedagang besar yang berada di sekitar pasar tempat mereka berjualan
ataupun dari pedagang besar dari pasar lain. Pedagang kelapa di pasar
yang tidak memiliki pedagang besar seperti Pasar Padasuka dan Pasar
Gunung Batu harus membeli kelapa dari pedagang besar di pasar lain.
Terkadang pedagang eceran dari pasar-pasar yang memiliki pedagang
besar juga terpaksa membeli kelapa dari pasar lain ketika stok kelapa di
pasar asal mereka habis.
Berdasarkan data dari Dinas Perindagkop, terdapat dua buah
industri pengolah buah kelapa tua di Kota Bogor, dimana keduanya
adalah produsen Virgin Coconut Oil. Kedua industri ini, PT. Bogor Agro
Lestari dan CV. Karya Adigi, mendapat pasokan kelapa dari Pasar Kebon
Kembang. PT. Bogor Agro Lestari memperoleh kelapa dalam bentuk
santan dengan harga Rp. 2.500,00 per butir kelapa, sedangkan CV. Karya
Adigi memperoleh bahan baku berupa kelapa kupas. Data hasil
wawancara kemudian menunjukkan bahwa terdapat dua buah industri
VCO lainnya serta sebuah industri kecil minyak kelapa yang memperoleh
pasokan kelapa dari pasar. Industri-industri tersebut tidak memperoleh
pasokannya langsung dari PAW karena kebutuhan kelapanya cukup
kecil.
Harga jual buah kelapa bervariasi dari setiap PAW dan daerah
asal pasokan kelapa. Harga pembelian rata-rata untuk buah kelapa di
tingkat pedagang besar yaitu Rp. 956 per butir untuk kelapa asal Banten,
46
Rp. 975 untuk kelapa asal Lampung serta Rp. 1.022 untuk kelapa asal
Tasikmalaya-Ciamis. Tabel 12 menunjukkan harga rata-rata kelapa baik
harga beli, harga jual kepada pedagang pengecer serta harga jual kepada
konsumen di tingkat pedagang besar. Perhitungan harga tersebut dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 12. Harga rata-rata buah kelapa di tingkat pedagang besar (rupiah)
Asal Kelapa
Banten
Tasikmalaya-Ciamis
956
Harga Jual
Kepada
Pedagang
Pengecer
1.086
1.022
1.186
Harga
Pembelian
Harga Jual
Kepada
Konsumen
1.450
1.491
Lampung
975
1.075
1.200
Keterangan : Harga di tingkat konsumen adalah harga kelapa kupas tanpa
tempurung.
D.2. Metode Transportasi dan Penyimpanan
Transportasi pada rantai pasokan kelapa di Kota Bogor terdiri
dari transportasi kelapa dari daerah asal kelapa ke pedagang besar di
Kota Bogor serta transportasi kelapa dari pedagang besar kelapa di satu
pasar ke pedagang pengecer di pasar lain. Transportasi kelapa dari daerah
asal kelapa ke pedagang besar di Kota Bogor dilakukan dengan
menggunakan truk-truk jenis colt diesel. Kendaraan ini dapat
mengangkut kelapa dalam jumlah 4000-7000 butir kelapa. Ada pula yang
mengirim kelapa dari Banten dengan pick up yang memasok kelapa ke
pasar Sukasari. Pengangkutan kelapa antar pasar di Kota Bogor
umumnya menggunakan pick up dengan kapasitas sekitar 2000 butir
kelapa. Pengangkutan kelapa dari pedagang besar ke pedagang pengecer
dalam satu pasar umumnya menggunakan jasa para pegawai pedagang
besar.
Biaya yang biasa dianggarkan untuk mentransfer kelapa dari
berbagai daerah berbeda-beda untuk setiap pasar tujuan. Biaya
transportasi dari Banten rata-rata sebesar Rp. 200,00 per butir kelapa,
sedangkan dari daerah Lampung memerlukan biaya rata-rata sebesar Rp.
47
281,25. Biaya transfer rata-rata terendah yaitu biaya pengiriman dari
Tasikmalaya-Ciamis sebesar Rp. 195,24. Biaya-biaya tersebut telah
mencakup biaya bahan bakar dan oli, upah supir dan seorang
pedampingnya, serta biaya tol dan retribusi selama perjalanan. Tabel 13
menunjukkan data biaya transportasi kelapa dari setiap daerah ke setiap
pasar yang berhasil dihimpun oleh peneliti.
Tabel 13. Biaya transportasi kelapa dari setiap daerah asal ke setiap pasar
Asal
Tujuan
Sumber
Data
Supriatno
(pedagang
besar)
Abdul
Latif
PKKM
(pedagang
besar)
Banten
Samsudin
PJD
(pedagang
besar)
Abu
PS
(pedagang
besar)
Asep
PBB
(PAW)
Anas
PKKM (pedagang
Tasikmalaya
besar)
-Ciamis
Agus
PJD
(pedagang
besar)
PS
Sahrun
PBB
Efendi
(PAW)
Anas
Lampung
PKKM (pedagang
besar)
PJD
PS
PBB
Jumlah kelapa Biaya
Biaya
Rata-rata
(Rp./
Transportasi per transfer
(Rp./butir)
butir)
(butir)
(Rp.)
1.000.000
4.000 250,00
1.000.000
6.000 166,67
200,00
800.000
6.000 133,33
500.000
2.000 250,00
1.500.000
7.000 214,29
1.400.000
7.000 200,00
195,24
1.200.000
-
7.000 171,43
-
-
1.400.000
7.000 200,00
1.450.000
4.000 362,50
-
-
281,25
-
Kelapa yang diterima oleh pedagang-pedagang besar disimpan
dalam gudang permanen (tembok), gudang kayu, maupun di dalam kioskios tempat mereka berjualan. Perbedaan tempat penyimpanan tersebut
menyebabkan perbedaan biaya penyimpanan untuk setiap pedagang
besar. Pedagang besar yang menggunakan kios sebagai tempat
48
penyimpanan mengeluarkan biaya retribusi pasar yang lebih besar dari
pada retribusi untuk pedagang pengecer karena penggunaan ruang pasar
yang lebih besar. Biaya penyimpanan kelapa berkisar antara Rp. 72.000
sd Rp. 540.000 per bulan. Perhitungan biaya penyimpanan tersebut dapat
dilihat di Lampiran 6.
D.3. Penyebaran Pasokan Kelapa
Pedagang-pedagang besar kelapa di Kota Bogor memperoleh
pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis, Lampung serta wilayah
Banten. Total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah
1.195.500 butir per bulan. Dari jumlah tersebut, yang dipasok ke pasarpasar Kota Bogor sebanyak 1.070.900 butir kelapa, dan 36.600 butir
dipasok untuk industri. Dengan demikian konsumsi kelapa penduduk
Kota Bogor telah melebihi konsumsi anjuran PPH untuk buah kelapa
yaitu sebesar 990.000 butir kelapa per bulan.
Sebagian besar pasokan kelapa yaitu sebesar 56,44% dari total
jumlah pasokan berasal dari Banten. Sisanya yaitu sebesar 29,26% dan
14,30% masing-masing dipasok PAW dari Tasikmalaya-Ciamis dan
Lampung. Gambar 8 menunjukkan sumber dan penyebaran pasokan
kelapa per bulan di Kota Bogor yang melalui Pasar Baru Bogor, Pasar
Kebon Kembang-Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari.
Banten
679.000 butir
(56,80%)
Luar Kota Bogor
88.000 butir
(7,36%)
Tasikmalaya-Ciamis
344.500 butir
(28,82 %)
Lampung
172.000 butir
(14,39%)
Jumlah Pasokan Ke Kota
Bogor :
1.195.500 butir kelapa
Pasar di Kota Bogor
1.070.900 butir
(89,58%)
Industri
36.600 butir
(3,06%)
Gambar 8. Sumber dan penyebaran pasokan kelapa per bulan di Kota Bogor
Kelapa yang beredar di pasar-pasar di Kotamadya Bogor
sebanyak 1.107.500 butir per bulan. Nilai tersebut terdiri dari 36.600
49
butir kelapa untuk kebutuhan industri dan 1.070.900 butir kelapa untuk
kebutuhan pasar. Tabel 14 di bawah ini menunjukkan rincian kebutuhan
industri pengolah buah kelapa di Kotamadya Bogor.
Tabel 14. Kebutuhan buah kelapa industri pengolahnya di Kotamadya
Bogor (butir per bulan).
Industri
Kebutuhan
Sumber Buah Kelapa
PT. Bogor Agro Lestari
8.800 Ilyas (pedagang besar)
CV. Karya Adigi
7.800 Pasar Kebon Kembang
Pabrik VCO di Cikaret
8.800 Supriatno (pedagang besar)
Pabrik VCO di Kebun Raya
10.400 Ilyas (pedagang besar)
Pabrik minyak kelapa
800 Pasar Sukasari
Jumlah
36.600
Tidak semua kelapa yang diterima oleh pedagang besar dijual di
pasar-pasar di Kota Bogor. Sebanyak 88.000 butir kelapa per bulan
(7,36%) dipasok ke pasar-pasar di luar wilayah Kota Bogor, yaitu
wilayah Ciawi, Darmaga dan Cibinong. Sebanyak 3,06% kelapa atau
setara 36.600 butir kelapa setiap bulan dipasok ke industri pengolah
kelapa yang ada di Kota Bogor yaitu industri kecil VCO dan minyak
kelapa. Sisanya yaitu sebesar 89,58% dijual di pasar-pasar di Kota
Bogor. Pedagang-pedagang besar yaitu pedagang yang memperoleh
pasokan kelapa langsung dari PAW hanya terdapat di Pasar Baru Bogor,
Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari serta Pasar Kebon Kembang dan Pasar
Merdeka.
Setiap pasar memasok buah kelapa tua dalam jumlah yang
berbeda. Sebanyak 56,71% dari seluruh pasokan kelapa yang melalui ke
Kota Bogor disalurkan di Pasar Kebon Kembang dan Pasar Merdeka.
Jumlah pasokan ke masing-masing pasar ini sulit dipisahkan karena
kedekatan lokasinya sehingga pedagang di kedua pasar mengambil
pasokan kelapa dari pedagang-pedagang besar yang berada disekitar
kedua pasar tersebut. Pasar Baru Bogor menyediakan 337.500 butir
kelapa atau 28,23% dari total pasokan kelapa, sementara Pasar Jambu
Dua menyediakan 176.000 butir perbulan atau sebesar 14,72%.
Pedagang-pedagang besar kelapa di Pasar Sukasari hanya memasok
kelapa sebanyak 0,33% dari total jumlah pasokan kelapa yaitu 4.000
50
butir per bulan. Hal ini selain disebabkan ukuran pasar yang relatif kecil
juga karena sebagian pedagang kelapa di pasar tersebut mengambil
pasokan kelapa dari pasar lain. Gambar 9 menunjukkan jumlah kelapa
yang dipasok ke pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon
Kembang-Merdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari.
Pasar Kebon
Kembang-Merdeka
591.000 butir
678.000
(49,44%)
(56,71%)
4
7
Pasar Jambu Dua
176.000 butir
(14,72%)
2
3
6
1
5
Pasar Baru Bogor
337.500 butir
(28,23%)
Pasar Sukasari
4.000 butir
(0,33%)
Gambar 9. Penyebaran pasokan buah kelapa per bulan di pasar tradisional
Kota Bogor (modifikasi gambar dari BPS, 2005)
51
E. Pengendalian Inventori
Inventori muncul dalam rantai pasokan kelapa terutama dalam
bentuk kelapa butiran. Inventori dalam bentuk kelapa kupas hanya sedikit,
disesuaikan dengan perkiraan jumlah penjualan ke konsumen rumah tangga
setiap harinya, demikian pula kelapa parut dan santan. Hal ini disebabkan
karena ketiga bentuk hasil olahan kelapa tersebut tidak tahan lama sehingga
akan rusak apabila tidak habis terjual pada hari itu.
Pengelolaan inventori baik oleh para PAW, pedagang besar
maupun pedagang pengecer dilakukan dengan cara yang masih sederhana.
PAW dari daerah Lampung yang diwawancarai oleh peneliti mengumpulkan
kelapa dari sekitar pukul sembilan pagi dan selesai sekitar pukul 3-4 sore.
Untuk mengirimkannya ke Kota Bogor, PAW tersebut memilih berangkat
sekitar pukul tujuh malam sehingga lalu lintas selama perjalanan tidak ramai.
Perjalanan memakan waktu sekitar 15 jam sehingga muatan tiba di Kota
Bogor pukul 9-10 pagi. Ada pula PAW yang tiba di pasar pada malam hari.
Dengan demikian, jika bukan pengiriman rutin, maka pesanan kelapa
memerlukan waktu minimal sekitar 24 jam jika dipesan pada pagi hari
sebelum jam delapan.
PAW dari Tasikmalaya-Ciamis yang memasok kelapa ke Pasar
Bogor biasa mengumpulkan kelapa sejak pukul tujuh pagi sampai siang hari.
PAW tersebut berangkat dari daerahnya sekitar pukul lima sore dan sampai di
Kota Bogor sekitar pukul tujuh pagi. Dengan demikian perjalanan memakan
waktu sekitar 15 jam. Di pasar lainnya, PAW dari Tasikmalaya-Ciamis
umumnya tiba di malam hari. Serupa dengan pengiriman pesanan kelapa dari
Lampung, jika bukan pengiriman rutin, maka pesanan kelapa memerlukan
waktu minimal sekitar 24 jam jika dipesan pada pagi hari. Pedagang besar
yang mendapat pasokan kelapa dari daerah Lampung maupun TasikmalayaCiamis umumnya memesan kelapa jika persediaan kelapa mereka diperkirakan
hanya cukup untuk 1-2 hari lagi. Peneliti tidak dapat mewawancarai PAW dari
daerah Banten yang biasa berada di daerah pasar di Kota Bogor pada pukul 12
sampai 3 pagi. Namun, berdasarkan informasi dari pedagang besar yang secara
52
rutin mendapat pasokan kelapa dari PAW Banten, perjalanan dari Banten ke
Kota Bogor memakan waktu lima sampai enam jam.
Di pasar, kelapa disimpan dalam tempat penyimpanan berupa
gudang berdinding tembok, gudang berdinding kayu ataupun dalam kios-kios.
Buah-buahan dan sayuran serta hasil pertanian lainnya setelah dipanen masih
melakukan proses respirasi serta metabolisme lainnya sehingga terjadi
perubahan-perubahan yang akhirnya menyebabkan benda-benda tersebut
menjadi rusak. Apabila penanganan telah dilakukan dengan baik, maka
terjadinya kerusakan dan kebusukan pada bahan dapat dihambat atau
dikurangi semaksimal mungkin (Winarno dan Aman, 1981).
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tempat penyimpanan yang
berhubungan dengan keadaan bahan dalam simpanan yaitu temperatur dan
kelembaban serta sirkulasi udara. Meningkatnya temperatur tempat
penyimpanan dapat meningkatkan temperatur masa bahan yang berada di
dalamnya. Oleh karena itu, tempat penyimpanan yang baik adalah tempat
atau ruang yang keadaannya sejuk, kering dan terlindung dari pengaruh sinar
matahari langsung (Imdad dan Nawangsih, 1999).
Salah satu syarat penyimpanan kelapa yaitu terhindar dari pengaruh
sinar matahari langsung (Anonim, 2006). Menurut beberapa pedagang, buah
kelapa akan pecah jika terjemur. Hal ini mungkin disebabkan karena pada
saat dijemur, kelapa mengalami perubahan temperatur yang terlalu cepat atau
karena kadar air kelapa sudah sangat jauh berkurang (terlalu kering).
Perubahan temperatur secara cepat sebanyak 8°C dapat menyebabkan
pecahnya buah kelapa tanpa sabut. Selain itu, kelapa yang terlalu kering juga
akan pecah (Paul dan Ketsa, 2007).
Syarat lain dalam penyimpanan kelapa yaitu terhindar dari
kebocoran dan kehujanan (Anonim, 2006). Kapang permukaan akan tumbuh
pada buah kelapa yang basah (Paul dan Ketsa, 2007). Selain karena
kebocoran/kehujanan, kelapa juga bisa menjadi basah karena perpindahan uap
air. Pada setiap tempat penyimpanan produk pertanian, secara alamiah akan
terjadi peristiwa perpindahan uap air dari atau ke dalam tempat atau ruang
penyimpanan akibat perubahan temperatur di luar tempat penyimpanan.
53
Untuk menghindari perubahan udara akibat lingkungan yang tidak stabil
dapat dilakukan dengan cara mengurangi timbulnya perbedaan temperatur di
luar dan di dalam gudang melalui pengaturan sirkulasi udara yang baik
(Imdad dan Nawangsih, 1999).
Sirkulasi udara (aerasi) dapat dipandang sebagai suatu proses
mendinginkan udara di dalam ruang penyimpanan sehingga keadaannya tetap
stabil dan terpelihara tanpa ada kerusakan yang berarti. Temperatur dalam
ruang penyimpanan juga dapat meningkat karena uap panas yang dihasilkan
pada proses respirasi. Cara paling mudah untuk menghindari timbulnya uap
panas masa bahan dalam simpanan adalah dengan menyimpan bahan secara
hamparan atau onggokan. Tinggi tumpukan perlu dipertimbangkan,
maksudnya agar udara segar dapat mengenai permukaan bahan sehingga
mengusir panas yang ada (Imdad dan Nawangsih, 1999). Untuk komoditas
kelapa, tinggi tumpukan sebaiknya tidak lebih dari 1 meter, dengan tumpukan
berbentuk piramida dan longgar (Anonim, 2006).
Tempat penyimpanan harus dilengkapi dengan jendela atau
ventilasi untuk masuknya udara segar dalam ruang penyimpanan. Jika
keadaan masa bahan tertutup, suhu udara dalam ruang menjadi naik dan
mengakibatkan bakteri dan cendawan perusak aktif tumbuh sehingga dapat
mendatangkan kerusakan. Sirkulasi udara yang jelek dapat menyebabkan
buah mudah berkeringat dan menimbulkan bau busuk karena jamur (Imdad
dan Nawangsih, 1999). Gudang-gudang tembok di pasar tidak memiliki ruang
ventilasi, sehingga sebaiknya pintu gudang sesering mungkin dibuka, atau
dibuat lubang angin untuk memperbaiki sirkulasi udara.
Dalam ruang penyimpanan modern, kelembaban dan temperatur
ruangan simpan dapat diatur sesuai dengan kehendak. Kondisi lingkungan
yang dingin menyebabkan patogen gudang tidak dapat berkembang sehingga
bahan aman dalam simpanan (Imdad dan Nawangsih, 1999). Penyimpanan
pada suhu 0-1,5°C dan kelembaban relatif 75-85% dapat mempertahankan
kualitas kelapa tua yang telah dikupas sabutnya selama 60 hari (Maliyar dan
Marar, 1963 dalam Paul dan Ketsa, 2007).
54
Pemilihan tempat penyimpanan bahan segar tentu saja harus
diperhitungkan dari segi biaya, keamanan bahan, dan manfaatnya. Pengaturan
suhu dan kelembaban pada ruang penyimpanan akan membutuhkan biaya
yang tinggi (Imdad dan Nawangsih, 1999). Penyimpanan pada suhu kamar
dapat mempertahankan kualitas kelapa tua yang telah dikupas sabutnya
selama 2 minggu tanpa menimbulkan kerusakan yang serius (Duke, 1983).
Buah kelapa tua yang masih bersabut dapat disimpan pada suhu ruang selama
3-5 bulan sebelum air kelapanya menguap dan tempurungnya pecah karena
kekeringan atau perkecambahan (Paul dan Ketsa, 2007).
Buah kelapa tua umumnya dapat dipanen setelah 11-12 bulan sejak
bunga betina diserbuki (Samosir, 1992). Selain karena dipengaruhi kondisi
penyimpanan, kebusukan kelapa yang cepat terjadi juga dapat disebabkan
karena umur panen buah kelapa yang terlalu muda. Beberapa pedagang
menginformasikan bahwa PAW terkadang menyertakan buah-buah yang
masih belum tua benar. Mereka menyatakan bahwa buah kelapa tersebutlah
yang biasanya lebih cepat busuk hanya dalam 3 hari penyimpanan.
Kebusukan sebagian kelapa yang terjadi dengan cepat di penyimpanan
pedagang besar juga dapat disebabkan karena jangka waktu yang cukup
panjang sejak kelapa dipetik sampai diterima oleh pedagang besar.
Para pedagang sebenarnya dapat mendeteksi kelapa mana yang
benar-benar tua. Menurut para pedagang, pada buah kelapa tua sisa sabut
dekat pangkal buah berwarna hitam dan timbul suara nyaring jika kelapa
diguncang-guncang/diketuk-ketuk. Kelapa tua juga memiliki bobot yang
lebih ringan karena kadar air kelapanya telah berkurang. Walaupun demikian,
kelapa yang kurang tua tetap diterima pedagang besar.
F. Integrasi Rantai Pasokan
Strategi rantai pasokan tradisional sering dikategorikan sebagai
strategi push atau pull. Dalam rantai pasokan push-based, kebijakan produksi
dan distribusi didasarkan pada peramalan jangka panjang. Biasanya pengusaha
pabrik membuat peramalan permintaan dengan dasar data pemesanan yang
diterima dari gudang ritel. Karenanya rantai pasokan push-based memerlukan
waktu yang lebih lama untuk bereaksi terhadap perubahan pasar. Dalam rantai
55
pasokan pull-based, produksi dan distribusi ditentukan oleh permintaan
sehingga rantai pasokan ini lebih dikendalikan oleh permintaan konsumen
nyata daripada peramalan permintaan. Dalam sistem pull murni, perusahaan
tidak menyimpan inventori sedikitpun dan hanya merespon pesanan spesifik.
Sistem ini dimungkinkan dengan adanya mekanisme aliran informasi yang
cepat untuk mentransfer informasi tentang permintaan konsumen ke seluruh
partisipan rantai pasokan (Simchi-Levi et al., 2003).
Kemitraan PAW dan pedagang besar sudah cukup fleksibel, antara
lain terlihat dalam strategi pemasokan yang diterapkan. Rantai pasokan kelapa
di Kota Bogor menggunakan strategi pull, walaupun bukan strategi pull murni.
PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Pedagang
besar memesan kelapa saat pasokan diperkirakan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan selama beberapa hari lagi. Menurut Simci-Levi et al.
(2003), dalam rantai pasokan berbasis strategi pull, dapat terlihat pengurangan
level inventori, peningkatan kemampuan untuk mengelola sumber daya, dan
pengurangan biaya sistem jika dibandingkan dengan sistem push yang
sepadan. Namun rantai pasokan kelapa di Kota Bogor juga menggunakan
strategi push dimana PAW mengirim kelapa dalam jumlah yang tetap sesuai
kapasitas alat angkut untuk mengurangi biaya angkut per butir kelapa. Hal ini
menyebabkan pedagang besar selalu memiliki inventori yang cukup banyak
setelah menerima pasokan sehingga memerlukan ruang penyimpanan yang
sesuai.
Fleksibilitas hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam
rantai pasokan kelapa ke Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian
resiko antara keduanya. Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk
di tempat penyimpanan pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh
PAW, jika kelapa yang busuk tersebut berasal dari PAW yang sama dan dalam
jumlah yang dinilai cukup besar. Jumlah kelapa yang busuk biasanya hanya
sedikit. Kelapa yang busuk tersebut biasanya kemudian dijual oleh PAW ke
pabrik-pabrik minyak kelapa yang berada di daerah asalnya masing-masing
dengan harga rendah.
56
Kemitraan antara beberapa PAW dan pedagang besar juga terlihat
dengan adanya sistem pembayaran yang biasa disebut pedagang dengan
sistem “keluar-masuk”. Sistem ini muncul karena para pedagang besar tidak
selalu mempunyai modal yang cukup untuk membeli kelapa untuk dagangan
mereka. Dengan sistem ini, pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan
setelah kelapa tersebut telah laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang
pengecer. Karena sistem ini harus didukung dengan kepercayaan antara pihak
PAW dengan pedagang besar, maka PAW hanya menerapkannya dengan
pedagang besar yang sebelumnya telah berkerjasama dengan mereka dalam
waktu yang cukup lama.
G. Marjin Pemasaran
Secara
spesifik,
efisiensi
pemasaran
masing-masing
jalur
pemasaran berbeda-beda satu sama lainnya. Pembandingan efisiensi
pemasaran jalur-jalur pemasaran kelapa dilakukan dengan cara analisis marjin
pemasaran. Marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan
pemasaran. Parameter penilaian efisiensi yang digunakan yaitu biaya
fungsional dan rasio keuntungan terhadap biaya total. Untuk mempermudah
pembandingan
marjin
pemasaran,
perhitungannya
dilakukan
dengan
menggunakan basis satu butir kelapa dengan grade tertinggi. Harga jual
kepada konsumen adalah harga jual kelapa yang telah dikupas tempurungnya,
tetapi belum diparut. Nilai marjin pemasaran terdiri dari biaya fungsional dan
keuntungan pemasaran. Keuntungan pemasaran per butir kelapa dihitung
dengan cara mengurangi nilai marjin pemasaran kelapa per butir dengan
biaya pemasaran kelapa per butir.
Dalam penelitian ini, biaya dan keuntungan pemasokan kelapa
dihitung berdasarkan saluran pemasaran dari PAW sampai ke ke tingkat
pedagang pengecer, dimana para pedagang pengecer berada tidak jauh dari
pedagang besar tempat pembelian kelapa sehingga biaya pemasokan ke
pedagang pengecer tidak diperhitungkan. Analisis marjin pemasaran
pemasokan kelapa dilihat dari jalur pasokan kelapa ke Kota Bogor, yaitu :
57
1. PAW Banten - Pedagang Besar - Pedagang Pengecer - Konsumen
2. PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar - Pedagang Pengecer Konsumen
3. PAW Lampung- Pedagang Besar - Pedagang Pengecer - Konsumen
4. PAW Banten - Pedagang Besar - Konsumen
5. PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar - Konsumen
6. PAW Lampung - Pedagang Besar - Konsumen
Analisis marjin pemasaran saluran pasokan pertama dihitung
berdasarkan data aliran pasokan kelapa dari Banten kepada pedagang besar
yang memasok ke wilayah Pasar Kebon Kembang dan Pasar Merdeka.
Saluran pasokan ke-2 dan ke-5 diperhitungkan dari aliran pasokan kelapa
Tasikmalaya-Ciamis kepada pedagang besar yang memasok kelapa ke Pasar
Baru Bogor, sedangkan saluran pasokan ke-3 diperhitungkan dari aliran
pasokan kelapa Lampung kepada pedagang besar yang memasok kelapa juga
ke Pasar Baru Bogor. Saluran pasokan ke-4 diperhitungkan dari data aliran
pasokan kelapa Banten kepada pedagang besar yang memasok kelapa ke
Pasar Baru Bogor, sedangkan saluran ke-6 diperhitungkan dari data aliran
pasokan kelapa Lampung ke pedagang besar di Pasar Kebon KembangMerdeka.
Biaya pemasaran kelapa di tingkat PAW yaitu biaya transportasi
per butir kelapa yang dihitung dengan cara membagi biaya total transportasi
kelapa dengan jumlah butir kelapa yang diangkut. Biaya pemasaran di tingkat
pedagang besar terdiri dari biaya sewa gudang, karcis retribusi, biaya listrik
dan air, biaya kebersihan, biaya keamanan, upah karyawan dan upah bongkar
muat. Sedangkan biaya pemasaran kelapa di tingkat pedagang pengecer
terdiri dari biaya kebersihan dan karcis retribusi. Masing-masing biaya
tersebut diperhitungkan dengan cara membagi biaya total per bulannya
dengan jumlah kelapa yang dipasok setiap bulan. Tabel 15 memperlihatkan
hasil perhitungan biaya, keuntungan dan total marjin pemasaran untuk setiap
saluran pemasaran. Rincian hasil perhitungan marjin pemasaran, biaya dan
keuntungan terurai pada Lampiran 7.
58
Tabel 15. Biaya, keuntungan dan marjin pemasaran (rupiah per butir kelapa)
Saluran keHarga Beli Awal
Harga Jual Akhir
Jumlah Biaya
Fungsional
Jumlah Keuntungan
Total Marjin
1
2
3
4
5
6
600.00 600.00 700.00 600.00 600.00 550.00
1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,200.00
212.70
298.40
290.55
293.25
278.40
381.90
687.30
900.00
601.60
900.00
509.45
800.00
606.75
900.00
621.60
900.00
268.10
650.00
Keterangan :
Saluran pasokan ke 1 : PAW Banten - Pedagang Besar (Pasar Kebon
Kembang-Merdeka) - Pedagang Pengecer (Pasar
Kebon Kembang-Merdeka) - Konsumen
Saluran pasokan ke 2 : PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar (Pasar
Baru Bogor) - Pedagang Pengecer (Pasar Baru
Bogor) - Konsumen
Saluran pasokan ke 3 : PAW Lampung - Pedagang Besar (Pasar Baru
Bogor) - Pedagang Pengecer (Pasar Baru Bogor) Konsumen
Saluran pasokan ke 4 : PAW Banten - Pedagang Besar (Pasar Baru Bogor) Konsumen
Saluran pasokan ke 5 : PAW Tasikmalaya-Ciamis - Pedagang Besar (Pasar
Baru Bogor) - Konsumen
Saluran pasokan ke 6 : PAW Lampung - Pedagang Besar (Pasar Kebon
Kembang-Merdeka) - Konsumen
Menurut Sudiyono (2002), efisiensi pemasaran dapat didekati
dengan efisiensi operasional yang diukur dengan membandingkan output
pemasaran terhadap input pemasaran, dengan penekanan ditujukan pada
usaha mengurangi input untuk menghasilkan output pemasaran atau
menaikan rasio output-input pemasaran. Mubyarto dalam Susiyana (2005)
menjelaskan bahwa kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila :
1). Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada
konsumen dengan biaya semurah-murahnya.
2). Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan biaya yang
dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan
produksi dan pemasaran barang tersebut.
Dengan demikian kriteria pertama untuk menentukan saluran
pemasaran yang paling efisien adalah rendahnya biaya fungsional. Untuk
saluran dengan pedagang pengecer (saluran 1-3), saluran ke-1 adalah saluran
yang paling rendah biaya fungsionalnya yaitu sebesar Rp. 212,70 per butir
kelapa. Di antara saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer (saluran
59
4-6), saluran dengan biaya fungsional terendah adalah saluran ke-5 yang
memerlukan biaya fungsional sebesar Rp. 278,40 per butir kelapa.
Kriteria lain dalam pengukuran efisiensi pemasaran yaitu adanya
pembagian yang adil dari keseluruhan biaya yang dibayar konsumen akhir
kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan pemasaran
barang tersebut. Penilaian kriteria ini diukur dengan cara membandingkan
nilai rasio keuntungan terhadap biaya total (biaya fungsional dan harga beli
kelapa) tiap anggota saluran dalam salurannya masing-masing. Tabel 16
menunjukkan hasil perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya total
masing-masing anggota saluran, dengan perhitungan seperti pada Lampiran 7.
Tabel 16. Rasio keuntungan terhadap biaya total (%)
Saluran ke
PAW
Pedagang Besar
Pedagang Pengecer
1
24%
13%
34%
2
35%
3%
23%
3
11%
3%
34%
4
18%
44%
5
35%
29%
6
4%
24%
Terlihat dari Tabel 16, nilai rasio keuntungan terhadap biaya total
tiap anggota pada saluran ke-1 paling tidak berbeda jauh antara satu dengan
yang lain diantara saluran yang melibatkan pengecer. Dengan demikian, pada
saluran ini terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil dibandingkan saluran
ke-2 dan saluran ke-3, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Untuk
saluran tanpa pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran dengan rasio
keuntungan terhadap biaya total untuk PAW paling tidak berbeda jauh
dengan rasio untuk pedagang besar. Pada saluran ini terjadi distribusi
keuntungan yang lebih adil dibandingkan saluran ke-4 dan saluran ke-6,
sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.
Berdasarkan hasil tersebut, maka diantara saluran yang melibatkan
pedagang pengecer, saluran ke-1 adalah saluran yang paling efisien karena
biaya fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang
lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran.
Untuk saluran yang tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah
saluran yang paling efisien karena memerlukan biaya fungsional paling
60
rendah dan distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang
dikeluarkan masing-masing anggota saluran.
Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa
pada saluran-saluran yang melibatkan pedagang pengecer, pedagang besar di
tiap saluran memperoleh nilai rasio keuntungan-biaya yang rendah. Hal ini
disebabkan karena pedagang besar tidak mengambil keuntungan yang banyak
pada saat menjual kelapanya kepada pedagang pengecer. Rasio keuntungan
terhadap biaya total untuk pedagang besar pada saluran yang tidak melibatkan
pengecer lebih tinggi karena pedagang besar menjual sesuai harga konsumen.
H. Model Transportasi
H.1. Identifikasi persoalan
1. Identifikasi variabel keputusan
Pedagang besar di Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon KembangMerdeka, Pasar Jambu Dua dan Pasar Sukasari memperoleh kelapa
dari PAW asal Banten, Tasikmalaya-Ciamis dan Lampung. Variabel
keputusan yaitu jumlah alokasi kelapa dari tiap sumber pasokan
kelapa ke tiap pasar berdasarkan aliran pasokan kelapa di Kota Bogor.
Skema aliran pasokan kelapa dapat dilihat pada Gambar 10.
4
1
5
2
6
3
7
Keterangan :
Tanda lingkaran menunjukkan daerah pusat penawaran dan permintaan kelapaa,
dimana setiap nomor menunjukkan nama lokasi seperti di bawah ini.
1). Banten 2). Tasikmalaya-Ciamis 3). Lampung
4). P. Baru Bogor
5). P. Kebon Kembang-Merdeka
6). P. Jambu Dua
7). P. Sukasari
Gambar 10. Sumber dan pusat permintaan kelapa
Variabel keputusan model tersaji dalam Tabel 17. Pedagang
besar di Pasar Sukasari selama ini memperoleh kelapa hanya dari
Banten sehingga alokasinya tidak diubah dan tidak termasuk ke dalam
61
variabel keputusan. Pedagang besar di Pasar Jambu Dua juga selama
ini hanya memperoleh pasokan dari Banten dan Tasikmalaya-Ciamis
sehingga yang menjadi variabel keputusan hanya alokasi kelapa dari
kedua daerah tersebut.
Tabel 17. Variabel keputusan
Variabel keputusan
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Kebon KembangMerdeka
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Jambu Dua
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Kebon
Kembang-Merdeka
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar Jambu Dua
Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Kebon KembangMerdeka
Simbol
X14
X15
X16
X24
X25
X26
X34
X35
2. Identifikasi kendala-kendala
Kendala-kendala dalam model yaitu jumlah pasokan kelapa
dari tiap daerah sentra kelapa dan jumlah kebutuhan kelapa tiap pasar.
Nilai-nilainya diasumsikan tetap, sesuai dengan hasil wawancara
dengan para pedagang. Kendala-kendala tersebut diformulasikan
sebagai berikut :
a. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Banten
X14 + X15 + X16 = A
b. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis
X24 + X25 + X26 = B
c. Kendala jumlah pasokan kelapa dari Lampung
X34 + X35 = C
d. Kendala kebutuhan Pasar Baru Bogor
X14 + X24 + X34 = D
e. Kendala kebutuhan Pasar Kebon Kembang-Merdeka
X15 + X25 + X35 = E
f. Kendala kebutuhan Pasar Jambu Dua
X16 + X26 = F
62
g. Kendala nilai positif (jumlah pasokan/kebutuhan kelapa > 0)
Xij > 0
Keterangan :
A : jumlah pasokan kelapa dari Banten (butir)
B : jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis (butir)
C : jumlah pasokan kelapa dari Lampung (butir)
D : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Baru Bogor
(butir)
E : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Kebon
Kembang-Merdeka (butir)
F : jumlah kebutuhan kelapa untuk konsumen di Pasar Jambu Dua
(butir)
3. Perumusan fungsi tujuan
Tujuan pembuatan model adalah mencari alokasi optimal yang
meminimumkan biaya transportasi total pemasokan kelapa ke Kota
Bogor. Model alokasi optimal diformulasikan sebagai berikut.
Meminimumkan biaya transportasi total (Z)
= t14 X14 + t15 X15 + t16 X16 + t24 X24 + t25 X25 + t26 X26 + t34 X34
+ t35 X35
Keterangan :
Z : total biaya transportasi
tij : biaya transportasi per butir kelapa dari asal i ke tujuan j
H.2. Penyusunan model
1. Persamaan kendala
a.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Banten
Jumlah pasokan dari Banten setelah dikurangi jumlah
pasokan ke Pasar Sukasari yaitu sebesar 675.000 butir kelapa.
X14 + X15 + X16 = 675.000
b.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis
X24 + X25 + X26 = 344.500
c.
Kendala jumlah pasokan kelapa dari Lampung
X34 + X35 = 172.000
d.
Kendala kebutuhan Pasar Baru Bogor
Para pedagang besar di Pasar Baru Bogor mendapat pasokan
kelapa sebanyak 337.500 butir per bulan.
X14 + X24 + X34 = 337.500
63
e.
Kendala kebutuhan Pasar Kebon Kembang-Merdeka
Para pedagang besar di Pasar Kebon Kembang-Merdeka
mendapat pasokan kelapa sebanyak 678.000 butir per bulan.
X15 + X25 + X35 = 678.000
f.
Kendala kebutuhan Pasar Jambu Dua
Para pedagang besar di Pasar Jambu Dua mendapat pasokan
kelapa sebanyak 176.000 butir per bulan.
X16 + X26 = 176.000
2. Fungsi tujuan
Tujuan model yaitu meminimalkan biaya total transportasi
dengan pengaturan alokasi kelapa. Biaya transportasi dari tiap sumber
ke tiap tujuan tersaji pada Tabel 18. Biaya transportasi diperoleh dari
hasil perhitungan sesuai Tabel 13 sebelumnya.
Tabel 18. Biaya transportasi dari tiap sumber ke tiap tujuan (tij )
tij
Asal
Tujuan
(Rp./butir)
PBB (j=4)
250,00
Banten (i =1)
PKKM (j=5)
166,67
PJD (j=6)
133,33
PBB (j=4)
214,29
Tasikmalaya (i=2)
PKKM (j=5)
200,00
PJD (j=6)
171,43
PBB (j=4)
200,00
Lampung (i=3)
PKKM (j=5)
362,50
Keterangan :
PBB
: Pasar Baru Bogor
PKKM : Pasar Kebon Kembang-Merdeka
PJD
: Pasar Jambu Dua
Model fungsi tujuan setelah dilengkapi dengan konstanta biaya
transportasi tersaji sebagai berikut.
Z = 250,00 X14 + 166,67 X15 + 133,33 X16 + 214,29 X24 +
200,00 X25 + 171,43 X26 + 200,00 X34 + 362,50 X35
Dengan demikian, dapat matriks persoalan transportasi dari
model tersusun seperti pada Tabel 19 di berikut ini.
64
Tabel 19. Matriks persoalan transportasi pasokan kelapa
Tujuan
Daerah Asal
PBB
PKKM
PJD
Banten
TasikmlayaCiamis
Lampung
Permintaan
t14 = 250,00
X14
t24 = 214,29
X24
t34 = 200,00
t15 = 166,67
X15
t25 = 200,00
X25
t16 = 133,33
X16
t26 = 171,73
X26
t35 = 362,50
X34
X35
337.500
678.000
Suplai
675.000
344.500
172.000
176.000
1.191.500
H.3. Analisis model
Untuk memperoleh penyelesaian model transportasi yang telah
dibuat, dilakukan proses perhitungan dilakukan dengan bantuan
perangkat LINDO. Tampilan model persamaan matematik dalam
program LINDO terdapat pada Lampiran 8. Hasil solving persamaan oleh
LINDO tidak menunjukkan adanya kesalahan struktur model dan
menghasilkan keluaran berupa nilai optimal dari variabel keputusan yang
dicari.
Tabel 20 menunjukkan nilai variabel-variabel keputusan hasil
optimasi. Berdasarkan hasil tersebut, biaya transportasi minimal jika
Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis
(165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar Kebon KembangMerdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000 butir) dan
Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua memperoleh
seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir).
Alokasi kelapa perhitungan LINDO berbeda dengan alokasi kelapa
yang selama ini terjadi. Biaya transportasi untuk alokasi selama ini yaitu
sebesar Rp. 225.611.085,00, sementara biaya yang diperlukan untuk
alokasi hasil optimasi yaitu sebesar Rp. 212.299.405,00 perbulan.
Perhitungannya dapat dilihat seperti pada Lampiran 11. Dengan alokasi
kelapa sesuai dengan alokasi keluaran LINDO, secara keseluruhan
diperoleh minimasi biaya sebesar Rp. 13.311.680,00 perbulan. Dengan
65
demikian, pemasokan kelapa dengan alokasi sesuai hasil perhitungan
LINDO akan lebih efisien karena akan mengurangi biaya transportasi.
Tabel 20. Nilai optimal variabel keputusan
Nilai
(butir
kelapa)
Variabel keputusan
Simbol
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Kebon
Kembang-Merdeka
Jumlah pasokan dari Banten ke Pasar Jambu Dua
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar
Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar
Kebon Kembang-Merdeka
Jumlah pasokan dari Tasikmalaya-Ciamis ke Pasar
Jambu Dua
Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Baru Bogor
Jumlah pasokan dari Lampung ke Pasar Kebon
Kembang-Merdeka
X14
0
X15
499.000
X16
176.000
X24
165.500
X25
179.000
X26
0
X34
172.000
X35
0
Perhitungan alokasi optimal dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi
peneliti berdasarkan data yang dapat diperoleh. Asumsi-asumsi tersebut
bisa berbeda dengan kenyataan, terlebih pada kondisi pasar yang terus
mengalami perubahan. Analisis sensitivitas merupakan suatu usaha untuk
mempelajari nilai-nilai dari peubah-peubah pengambilan keputusan
dalam suatu model matematika jika satu atau beberapa atau semua
parameter model tersebut berubah (Nasendi, 1985). Analisis sensitivitas
memiliki selang kepekaan yang dapat menunjukkan perubahan yang
terjadi pada hasil optimasi. Selang kepekaan tersebut terdiri dari batas
penurunan (allowable decrease) dan batas kenaikan (allowable increase).
Keluaran LINDO menghasilkan selang kepekaan untuk perubahan
koefisien fungsi tujuan serta untuk perubahan nilai ruas kanan dari
persamaan tujuan dan kendala-kendala. Koefisien-koefisien fungsi tujuan
menunjukkan biaya-biaya transportasi per butir kelapa. Selang penurunan
dan kenaikan nilai biaya-biaya tersebut tersaji pada Tabel 21 di bawah
ini. Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan sejauh mana
perubahan total biaya per butir kelapa dapat terjadi tanpa mengubah
alokasi kelapa yang meminimalkan biaya transportasi.
66
Tabel 21. Batas-batas perubahan biaya transportasi (Rp./butir)
Current
Allowable
Variabel
Allowable Increase
Coeficient
Decrease
Tidak terbatas
69,04
t14
250,00
69,04
4,77
t15
166,67
4,76
Tidak terbatas
t16
133,33
69,04
176,79
t24
214,29
4,76
69,04
t25
200,00
Tidak terbatas
4,77
t26
171,43
176,79
Tidak terbatas
t34
200,00
Tidak terbatas
176,79
t35
362,50
Analisis
sensitivitas
parameter
nilai
ruas
kanan
kendala
memberikan informasi mengenai sampai sejauh mana nilai ruas kanan
boleh berubah. Ruas kanan pada persamaan-persamaan kendala pada
model menunjukkan jumlah kelapa yang tersedia dari tiap daerah serta
jumlah kebutuhan kelapa setiap pasar. Hasil pengolahan LINDO
menunjukkan bahwa nilai variabel-variabel keputusan akan tetap
menghasilkan biaya minimal jika jumlah kebutuhan tiap pasar dan
jumlah kelapa yang tersedia dari tiap daerah tidak berubah. Hasil analisis
sensitivitas parameter ruas kanan keluaran program LINDO dapat dilihat
pada Tabel 22.
Tabel 22. Batas-batas perubahan ruas kanan persamaan kendala (butir
kelapa)
Ruas kiri
Ruas kanan
Allowable
Increase
Allowable
Decrease
X14 + X15 + X16
675.000
0
0
X24 + X25 + X26
344.500
0
0
X34 + X35
172.000
0
0
X14 + X24 + X34
337.500
0
0
X15 + X25 + X35
678.000
0
0
X16 + X26
176.000
0
0
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Anggota primer rantai pasokan buah kelapa tua di Kota Bogor yaitu
pedagang antar wilayah (PAW), pedagang besar, pedagang eceran dan
konsumen termasuk industri. Anggota sekundernya yaitu lembaga jasa
transportasi, pedagang kemasan, pedagang mesin pemarut dan pemerasan
santan, serta penyedia bahan bakar mesin-mesin tersebut. Para pedagang antar
wilayah memasok kelapa ke pedagang-pedagang besar yang ada di Pasar Baru
Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Sukasari, Pasar Merdeka dan Pasar
Jambu Dua.
Kelapa-kelapa dari PAW diterima oleh para pedagang besar.
Pedagang besar tersebut ada yang langsung menjual kelapa kepada konsumen,
adapula yang menjualnya lagi kepada pedagang-pedagang pengecer baik
dalam satu pasar maupun berlainan pasar. Para pedagang besar kelapa di Kota
Bogor memperoleh pasokan kelapa dari Tasikmalaya-Ciamis, Lampung serta
wilayah Banten. Total jumlah kelapa yang masuk ke Kota Bogor berjumlah
1.195.500 butir per bulan yang sebagian besar berasal dari Banten. Kelapa
diterima dari PAW dan disimpan dalam bentuk kelapa yang sebagian besar
sabutnya telah dikupas. Pedagang besar menyimpan kelapa dalam gudang
tembok, gudang kayu ataupun dalam kios pasar.
Rantai pasokan kelapa di Kota Bogor menggunakan strategi pull.
PAW hanya memasok kelapa jika diminta oleh pedagang besar. Fleksibilitas
hubungan antara PAW dan pedagang besar dalam rantai pasokan kelapa ke
Kota Bogor juga terwujud dalam sistem pembagian resiko antara keduanya.
Sistem tersebut berupa penukaran kelapa yang busuk di tempat penyimpanan
pedagang besar dengan kelapa baru yang dibawa oleh PAW. Kemitraan antara
beberapa PAW dan pedagang besar juga terlihat dengan adanya sistem
pembayaran kelapa kepada pihak PAW dilakukan setelah kelapa tersebut telah
laku terjual kepada konsumen ataupun pedagang pengecer.
Saluran pemasaran ke-1 adalah saluran yang paling efisien di
antara
saluran
yang
melibatkan
pedagang
pengecer,
karena
biaya
fungsionalnya paling rendah dan terjadi distribusi keuntungan yang lebih adil
68
terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing anggota saluran. Saluran
pemasaran ke-1 terdiri dari PAW dari Banten serta pedagang besar dan
pedagang pengecer dari Pasar Kebon Kembang-Merdeka. Untuk saluran yang
tidak melibatkan pedagang pengecer, saluran ke-5 adalah saluran yang paling
efisien karena memerlukan biaya fungsional paling rendah dan terjadi
distribusi keuntungan yang lebih adil terhadap biaya yang dikeluarkan masingmasing anggota saluran. Saluran pemasaran ke-5 terdiri dari PAW dari
Tasikmalaya-Ciamis serta pedagang besar dari Pasar Baru Bogor.
Model
transportasi
menghasilkan
alokasi
kelapa
yang
meminimalkan biaya transportasi kelapa ke pasar-pasar di Kota Bogor. Biaya
transportasi minimal jika Pasar Baru Bogor mendapat pasokan kelapa dari
Tasikmalaya-Ciamis (165.500 butir) dan Lampung (172.000 butir), Pasar
Kebon Kembang-Merdeka mendapat pasokan kelapa dari Banten (499.000
butir) dan Tasikmalaya-Ciamis (179.000 butir), serta Pasar Jambu Dua
memperoleh seluruh pasokan kelapa dari Banten (176.000 butir). Pemasokan
kelapa dengan alokasi tersebut akan lebih efisien karena akan mengurangi
biaya transportasi sebesar Rp. 13.311.680,00 per bulan.
B. Saran
Untuk keperluan lingkup yang lebih luas, sebaiknya dilakukan
penelitian mengenai pasokan kelapa di masing-masing daerah sentra produksi
kelapa dari segi produksi, karakteristik kelapa dan kemampuan memasok
dalam jangka panjang. Sebaiknya dilakukan pula penelitian tentang perilaku
konsumen dalam memilih buah kelapa tua.
69
DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D., Z. Mahmud, A. Wahyudi, GS. Hardono, H. Novarianto, dan HT.
Luntungan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian,
Jakarta.
Amrizal, MD dan H. Hasni. 1994. Agribisnis Kelapa Rakyat : Studi Kasus Di
Riau dan Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Kelapa 7(1) : 37.
Anonim. 2006. Kelapa. http://warintek.progressio.or.id/perkebunan/kelapa.htm.
[14 Februari 2006]
Baudouin, L. 1999. Genetic Improvement of Coconut Palms. J. Current Plant
Science and Biotechnology in Agriculture, l35 : 46.
Barlina, R. 1993. Kontroversi Isu Minyak Tropis. Buletin Balai Penelitian Kelapa
20 : 33.
Batugal, P., D. Banigno dan J. Oliver. 2005. Eds. Coconut Hybrids for Small
Holders. CFC Technical Paper, 42.
Biro Pusat Statistik. 2005. Kotamadya Bogor dalam Angka 2004-2005. Jakarta.
Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan
Indonesia 2003-2005. Jakarta.
Djatmiko, B. 1991. Karakteristik Daging Buah Beberapa Kultivar Kelapa. Jurnal
Penelitian Kelapa 5 : 1.
Duke, JA. 1983. Handbook of Energy Crops. http://newcrop.hort.purdue.edu
/newcrop/duke_energy/Cocos_nucifera.html [9 Februari 2007]
Eltram, LM. 1991. Supply Chain Management : The Industrial organisation
Perspective. International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management 21(1) : 13-22.
Foale, M. 2003. The Coconut Odyssey : The Bounteous Possibilities of The Tree
of Life. Australian Centre for International Agricultural Research,
Canberra.
Hengky, N. 1994. Beberapa Metode Analisis Kemiripan Genetika Kelapa. Buletin
Balai Penelitian Kelapa, 21 : 16.
Imdad, HP. dan AA. Nawangsih. 1999. Menyimpan Bahan Pangan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
70
Indrajit, RE. dan R. Djokopranoto. 2003. Konsep Manajemen Supply Chain : Cara
Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. PT Grasindo, Jakarta.
Hasan, I. 2002. Pokok-pokok Materi Statistik 1 : Statistik Deskriptif. Bumi
Aksara, Jakarta.
LINDO Systems Inc. 2006. LINDO 6.1. http://www.lindo.com/lindof.html. [25
September 2006]
Miranda dan WT. Amin. 2005. Manajemen Logistik dan Supply Chain
Management. Harvarindo, Jakarta.
Nasution, S. 2003. Metode Research. Bumi Aksara, Jakarta.
Nasendi, BD dan A. Anwar. 1985. Programa Linier dan Variasinya. PT Gramedia,
Jakarta
Paul, RE. dan S. Ketsa. 2007. Coconut. http://72.14.235.104/search?q=cache:qn
lKC02yoh4J:usna.usda.gov/hb66/055coconut.pdf+%22husked+coconut
%22&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id. [21 Februari 2007]
Palungkun, R. 1998. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prakosa, M. 2002. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkelapaan
Indonesia. Makalah pada Prosiding Hari Perkelapaan Keempat, 20-22
September 2002, Bandung.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2005. Varietas Unggul Tanaman
Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2006.
Kelapa. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_
content&task=view&id=16&Itemid=3. [21 Desember 2006]
Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Departemen Pertanian. 2004. Pedoman
Umum Penyusunan Program Pengembangan Konsumsi Pangan.
http://www.deptan.go.id/HomePageBBKP/PKP/pedoman_ umum.htm.
[22 Juni 2006]
Pusat Pengolahan Data dan Statistik Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian. 1985. Buku Petunjuk Penggunaan Paket
Program Lindo. Jakarta.
Ritonga, OS. 2005. Analisis Pemasaran Komoditas Kentang dengan Pendekatan
Konsep Supply Chain Management Di Kota Semarang Propinsi Jawa
Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB,
Bogor.
71
Rumokoi, MMM., R. Barlina dan A. Lay. 1994. Pengolahan Kelapa untuk Bahan
Pangan dan Non Pangan. Makalah pada Prosiding Simposium II Hasil
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 21-23 November 1994,
Bogor.
Russel, RS dan BW. Taylor. 2003. Operations Management. Prentice Hall, New
Jersey.
Samosir, YMS. 1992. Asal Usul dan Botani Kelapa. Di dalam : Laporan
Penelitian Kelapa. Penerbit Asosiasi Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan Indonesia.
Simchi-Levi, D., P. Kaminsky dan E. Simchi-Levi. 2003. Designing, and
Managing The Supply Chain : Concepts, Strategies and Case Studies.
McGraw-Hill, New York.
Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang.
Sukamto, ITN. 2001. Upaya Meningkatkan Produksi Kelapa. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Susiyana, AO. 2005. Analisis Rantai Persediaan (Supply Chain) Komoditas Jeruk
Medan. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Departemen Ilmuilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Sutarmi dan H. Rozaline. 2006. Taklukan Penyakit dengan VCO. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Winarno, FG. Dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya,
Jakarta.
72
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa (Allorerung, 2005)
Nata
Vinegar
Air
Buah
Daging
Kecap
VCO
Minuman
Desicated
Concentrate
Skim Milk
Parut
Cocomix
Skim Milk
Coco Shake
Kulit
Semi VCO
Coco Cake
M. Goreng
Crude Oil
Oleokimia
Bungkil
Pakan
Kopra
Kelapa
Tempurung
Tepung
Arang
Tepung
Aktif
Berkaret
Serat
Sabut
Geotextile
Cocopeat
73
Batang
Kayu
Lidi
Kerajinan
Furnitur
Bangunan
73
Lampiran 2. Deskripsi Beberapa Jenis Kelapa Unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, 2005)
Kesesuaian Daerah
Kultivar
Silsilah
Morfologi Tanaman
Produksi
dan Iklim, Ketahanan
terhadap Hama
Hasil seleksi terhadap 100 pohon
Kelapa
kelapa terpilih oleh Dr P.L.M.
dalam
Mapanget Tammes tahun 1926 terhadap
populasi kelapa rakyat di Desa
Mapanget, Sulawesi Utara. Seleksi
menghasilkan 43 pohon terpilih
baru yang dikenal sebagai kelapa
dalam Mapanget.
Kelapa
dalam
Tenga
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr.
D.V. Liyanage di Desa Tenga,
Kabupaten Minahasa, Sulawesi
Utara.
Kelapa
dalam
Palu
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr.
D.V. Liyanage di Desa Bangga,
Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah.
Mulai berbuah pada umur 5
tahun; panjang pada 11 berkas
daun 118 cm; warna buah
coklat kemerahan, merah
kekuningan, hijau kekuningan;
bentuk buah bulat; bentuk buah
tanpa sabut bulat dasar rata.
Jumlah buah per pohon per
tahun 90 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
12.870 butir, berat kopra
per hektar per tahun 3,3
ton, kadar minyak 62,95%.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan 2.500-3500
mm/tahun). Agak toleran
terhadap kemarau
panjang. Tahan terhadap
Phytophthora.
Mulai berbuah pada umur 5
tahun; panjang pada 11 berkas
daun 109 cm; warna buah hijau,
merah kekuningan, hijau
kekuningan; bentuk buah
hampir bulat; bentuk buah tanpa
sabut bulat dasar rata.
Mulai berbuah pada umur 5
tahun; panjang pada 11 berkas
daun 125 cm; warna buah hijau,
merah kecoklatan, hijau
kekuningan; bentuk buah elips;
bentuk buah tanpa sabut bulat
dasar rata.
Jumlah buah per pohon per
tahun 75 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
16.725 butir, berat kopra
per hektar per tahun 3,0
ton, kadar minyak 69,31%.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan
<2.500m/tahun). Tahan
terhadap kekeringan
sampai 3 bulan. Tahan
terhadap Phytophthora.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan
<1.500mm/tahun). Agak
toleran terhadap kemarau
panjang. Tahan terhadap
Phytophthora.
Jumlah buah per pohon per
tahun 75 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
10.725 butir, berat kopra
per hektar per tahun 2,8
ton, kadar minyak 69,28%.
74
74
Kelapa
dalam
Bali
Ditemukan oleh Tim Survei FAOUNDP yang dipimpin oleh Dr.
D.V. Liyanage di Desa
Celukkembawang, Bali.
Kelapa
Genjah
Salak
Kelapa genjah Salak adalah hasil
seleksi dari populasi kelapa rakyat
di Desa Pematang Panjang,
Kecamatan Sungai Tabuk,
Kalimantan Selatan.
Kelapa
Genjah
Raja
Kelapa genjah Raja ditemukan pada
survei plasma nutfah kelapa tahun
1980 di Tobelo, Halmahera,
Maluku.
Mulai berbuah pada umur 5
tahun; panjang pada 11 berkas
daun 109 cm; warna buah hijau,
merah kekuningan, hijau
kekuningan; bentuk buah
hampir bulat; bentuk buah tanpa
sabut bulat dasar rata.
Mulai berbuah pada umur 2
tahun; panjang pada 11 berkas
daun 61,2 cm; warna buah
hijau; bentuk buah lonjong.
Jumlah buah per pohon per
tahun 75 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
10.725 butir, berat kopra
per hektar per tahun 3,0
ton, kadar minyak 65,52%.
Mulai berbuah pada umur 40
bulan; panjang pada 11 berkas
daun 41,4 cm; warna buah
merah kecoklatan; bentuk buah
bulat.
Jumlah buah per pohon per
tahun 70-120 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
13.500 butir, kadar gula air
buah 1,7%.
Jumlah buah per pohon per
tahun 80-120 butir, jumlah
buah per hektar per tahun
20.500 butir, kadar gula air
buah 2,09%.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan
<2.500m/tahun). Tahan
terhadap kekeringan
sampai 3 bulan. Tahan
terhadap Phytophthora.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan
<2.500m/tahun). Agak
tahan terhadap
Phytophthora.
Sesuai ditanam pada
lahan kering iklim basah
(curah hujan
<2.500m/tahun). Tahan
terhadap Phytophthora.
75
75
Lampiran 3. Deskripsi Kelapa Hibrida PB-121 (Batugal, 2005)
Kultivar
: PB-121 atau MAWA (MYD x WAT)
Female parent
: West African Tall (WAT)
Male parent
: Malayan Yellow Dwarf (MYD)
Silsilah
: Diciptakan di Côte d’Ivoire pada tahun 1962 dan telah menjadi varietas yang paling luas pemanfaatannya di
dunia. Kelapa ini telah ditanam di 40 negara pada tahun 1985.
Karakteristik buah
: Ukuran buah medium, dengan bobot 900-1200 gram (rata-rata 990 gram). Bobot daging kelapa bervariasi
antara 320-380 gram. Berat kopra berkisar antara 190-240 gram dengan kadar minyak sekitar 65%. Warna
buah hijau kekuningan dan hijau kecoklatan. Buah umumnya berbentuk lonjong dengan bentuk kelapa tanpa
sabut bulat dengan daging yang tebal.
Produksi
: Mulai menghasilkan buah pada umur 6 tahun. Pohon dewasa dapat menghasilkan 3,5-4,5 ton kopra (130-170
butir buah kelapa per pohon) per hektar per tahun pada kerapatan 160 pohon per hektar.
Adaptasi
: PB-121 dapat beradaptasi baik pada berbagai kondisi perkebunan dan relatif tahan terhadap tekanan air.
Namun introduksi kelapa ini di Indonesia dan Philipina gagal karena serangan jamur Phythopthora dan
petani menganggapnya buahnya terlalu kecil. PB-121 kini terus dikembangkan dan telah dihasilkan kultur
yang tahan terhadap Phythopthora.
76
76
Lampiran 4. Jumlah Pasokan Pedagang Besar Kelapa di Kota Bogor (butir per
bulan)
Alokasi Pasokan
Jumlah
Luar
No.
Nama
Lokasi Asal Pasokan
Pasokan Pasar Kota Industri Kota
Bogor
Bogor
Tasikmalaya1 Usman
PBB
52.500
52.500
0
0
Ciamis
2 Badrudin
PBB
Lampung
140.000 130.000
0 10.000
Tasikmalaya3 Kosidin
PBB
30.000
24.000
0 6.000
Ciamis
Tasikmalaya4 Ugan
PBB
8.000
8.000
0
0
Ciamis
5 Erik
PBB
Banten
75.000
75.000
0
0
6 Supriatno PBB
Banten
32.000
23.200 8.800
0
Tasikmalaya7 Cecep
PKKM
20.000
20.000
0
0
Ciamis
8 Dadang
PKKM Banten
30.000
30.000
0
0
9 Madhari
PKKM Banten
10.000
10.000
0
0
10 Aneng
PKKM Banten
18.000
18.000
0
0
11 Abdul Latif PKKM Banten
180.000 135.000
0 45.000
Tasikmalaya12 Ilyas
PKKM
40.000
20.800 19.200
0
Ciamis
Lampung,
13 Anas
PKKM Tasikmalaya116.000 101.000
0 15.000
Ciamis
Banten,
14 Gozali
PKKM Tasikmalaya236.000 236.000
0
0
Ciamis
Tasikmalaya15 Damanhuri PKKM
28.000
28.000
0
0
Ciamis
Tasikmalaya16 Agus
PJD
56.000
44.000
0 12.000
Ciamis
17 Samsudin PJD
Banten
120.000 120.000
0
0
18 Abu
PS
Banten
4.000
4.000
0
0
Total
1.195.500 1.079.500 28.000 88.000
77
Lampiran 5. Perhitungan Harga Beli Rata-rata Buah Kelapa Di Tingkat
Pedagang Besar (rupiah)
Banten
Tasikmalaya - Ciamis
Lampung
Pedagang
Besar
HB
HJP
HJK
HB
HJP
HJK
HB
HJP
HJK
Usman
- 1.000,00 1.200,00 1.500,00
Badrudin
- 1.000,00 1.100,00
Kosidin
- 800,00 1.200,00
Ugan
- 1.100,00
- 1.250,00
Erik
900,00 1.100,00
Supriatno 1.000,00 1.150,00 1.500,00
Cecep
- 1.100,00
- 2.000,00
Dadang
900,00 1.000,00 1.500,00
Madhari
900,00 1.000,00 1.200,00
Aneng
800,00
- 1.500,00
A. Latif
950,00 1.100,00
Ilyas
- 1.200,00 1.300,00 1.500,00
Anas
- 950,00 1.050,00 1.200,00 950,00 1.050,00 1.200,00
Gozali
950,00 1.050,00
- 950,00 1.050,00
Damanhuri
- 1.200,00 1.300,00 1.500,00
Agus
- 900,00 1.200,00
Samsudin 1,000,00 1.200,00 1.500,00
Abu
1,200,00
- 1.500,00
Harga
955,56 1.085,71 1.450,00 1.022,22 1.185,71 1.491,67 975,00 1.075,00 1.200,00
Rata-rata
Keterangan :
HB
: Harga pembelian
HJ
: Harga jual kepada pedagang besar
HK
: Harga jual kepada konsumen
78
Lampiran 6. Perhitungan Biaya Penyimpanan Kelapa
Pedagang Biaya Sewa Gudang Retribusi Kios Biaya Total Penyimpanan
Besar
(Rp./bulan)
(Rp./bulan)
(Rp./bulan)
Usman
250.000,00
45.000,00
295.000,00
Badrudin
250.000,00
0,00
250.000,00
Kosidin
250.000,00
0,00
250.000,00
Ugan
0,00
45.000,00
45.000,00
Erik
180.000,00
0,00
180.000,00
Supriatno
400.000,00
0,00
400.000,00
Cecep
0,00
72.000,00
72.000,00
Dadang
240.000,00
300.000,00
540.000,00
Madhari
240.000,00
300.000,00
540.000,00
Aneng
30.000,00
90.000,00
120.000,00
Abdul Latif
583.333,33
0,00
583.333,33
Ilyas
250.000,00
60.000,00
310.000,00
Anas
70.833,33
0,00
70.833,33
Gozali
141.666,67
0,00
141.666,67
Damanhuri
250.000,00
60.000,00
310.000,00
Agus
125.000,00
1.500,00
126.500,00
Samsudin
250.000,00
3.500,00
253.500,00
Abu
0,00
300.000,00
300.000,00
Keterangan :
Biaya total penyimpanan per bulan = biaya sewa gudang per bulan + biaya
retribusi kios per bulan
79
Lampiran 7. Perhitungan Marjin Pemasaran (per butir kelapa)
80
Saluran keAsal Pasokan
Jumlah Kelapa Sekali Memasok
Harga jual dari petani/pengumpul
Pedagang Antar Wilayah
Harga beli (per butir)
Biaya transfer
Total biaya fungsional
% total biaya fungsional
Harga jual
Keuntungan
% Keuntungan
Marjin pemasaran
Sebaran marjin
Rasio keuntungan/biaya total (%)
Pedagang Besar
Harga beli
Biaya listrik dan air
Biaya sewa gudang
Karcis retribusi
Biaya kebersihan
Biaya keamanan
Upah karyawan
Upah bongkar muat
1
2
Banten
Tasikmalaya-Ciamis
6.000
7.000
600,00
600,00
600,00
166,67
166,67
78,36%
950,00
183,33
26,67%
350,00
38,89%
24%
Abdul Latif
950,00
0,00
3,20
0,00
0,33
0,00
12,50
10,00
600,00
214,29
214,29
71,81%
1.100,00
285,71
47,49%
500,00
55,56%
35%
Usman
1.100,00
0,00
4,76
15,00
0,07
1,43
22,86
20,00
3
4
5
6
Lampung
Banten Tasikmalaya-Ciamis Lampung
7.000
4.000
7.000
4.000
700,00
600,00
600,00
550,00
700,00
600,00
200,00
250,00
200,00
250,00
68,84% 85,25%
1.000,00 1.000,00
100,00
150,00
19,63% 24,72%
300,00
400,00
37,50% 44,44%
11%
18%
Badrudin
Supriatno
1.000,00 1.000,00
0,00
0,00
4,76
12,50
0,00
0,00
0,07
0,75
1,43
0,00
64,29
20,00
0,00
10,00
600,00
214,29
214,29
76,97%
1.100,00
285,71
45,96%
500,00
55,56%
35%
Usman
1.100,00
0,00
4,76
15,00
0,07
1,43
22,86
20,00
550,00
362,50
362,50
94,92%
950,00
37,50
13,99%
400,00
61,54%
4%
Anas
950,00
0,26
7,33
0,00
0,52
0,00
1,29
10,00
81
81
Saluran keAsal Pasokan
Pedagang Besar
Total biaya fungsional
% total biaya fungsional
Harga jual
Keuntungan
% Keuntungan
Marjin pemasaran
Sebaran marjin
Rasio keuntungan/biaya total (%)
Pedagang Pengecer
Harga beli
Karcis retribusi
Biaya kebersihan
Total biaya fungsional
% total biaya fungsional
Harga jual
Keuntungan
% Keuntungan
Marjin pemasaran
Sebaran marjin
Rasio keuntungan/biaya total (%)
Konsumen
Harga Beli
1
2
Banten
Tasikmalaya-Ciamis
Abdul Latif
Usman
26,03
64,12
12,24%
21,49%
1.100,00
1.200,00
123.97
35,88
18,04%
5,96%
150,00
100,00
16,67%
11,11%
13%
3%
3
4
5
6
Lampung
Banten Tasikmalaya-Ciamis Lampung
Badrudin
Supriatno
Usman
Anas
70,55
43,25
64,12
19,40
24,28% 14,75%
23,03%
5,08%
1.100,00 1.500,00
1.500,00
1.200,00
29,45
456,75
335,88
230,60
5,78% 75,28%
54,04%
86,01%
100,00
500,00
400,00
250,00
12,50% 55,56%
44,44%
38,46%
3%
44%
29%
24%
1.100,00
15,00
5,00
20,00
9,40%
1.500,00
380,00
55,29%
400,00
44,44%
34%
1.200,00
15,00
5,00
20,00
6,70%
1.500,00
280,00
46,54%
300,00
33,33%
23%
1.100,00
15,00
5,00
20,00
6,88%
1.500,00
380,00
74,59%
400,00
50,00%
34%
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.500,00
1.200,00
82
Keterangan :
) Biaya total saluran = biaya fungsional total + harga beli kelapa oleh PAW
2
) Rasio keuntungan total terhadap biaya total setiap saluran
Total biaya fungsional untuk PAW = biaya transportasi kelapa
Total biaya fungsional untuk pedagang besar
= biaya listrik dan air + biaya sewa gudang + biaya karcis retribusi + biaya kebersihan + biaya keamanan + upah karyawan + upah bongkar muat
1
Total biaya fungsional untuk pedagang pengecer
= biaya kebersihan + biaya karcis retribusi
Total biaya fungsional saluran pasokan
= biaya fungsional PAW + biaya fungsional pedagang besar + biaya fungsional pedagang pengecer
Anggota ke 1 saluran rantai pasokan
Anggota ke 2 saluran rantai pasokan
Anggota ke 3 saluran rantai pasokan
: PAW
: pedagang besar
: pedagang pengecer
% biaya fungsional untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i
= biaya fungsional anggota ke i saluran rantai pasokan
total biaya fungsional
Marjin pemasaran untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i (i = 1, 2, 3)
= harga jual oleh anggota rantai pasokan ke i - harga beli oleh anggota rantai pasokan ke i
Total marjin pemasaran
= marjin pemasaran PAW + marjin pemasaran pedagang besar + marjin pemasaran pedagang pengecer
% Marjin pemasaran untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i
= marjin pemasaran anggota ke i saluran rantai pasokan
total marjin pemasaran
Keuntungan untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i (i = 1, 2, 3)
= marjin pemasaran anggota ke i saluran rantai pasokan - biaya fungsional anggota rantai pasokan ke i
Total keuntungan
= keuntungan PAW + keuntungan pedagang besar + keuntungan pedagang pengecer
82
% keuntungan untuk setiap anggota saluran rantai pasokan ke i
= (keuntungan anggota ke i saluran rantai pasokan) / total keuntungan
83
Lampiran 8. Model Persamaan Matematik dalam Program LINDO
83
Lampiran 9. Solusi Model Keluaran Program LINDO
84
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas Model Keluaran Program LINDO
85
Lampiran 11. Perhitungan Biaya Transportasi Alokasi Optimal dan Alokasi
Selama Ini
i
j
1
4
5
6
4
5
6
4
5
2
3
Alokasi Selama Ini
Alokasi Optimal
Xij
tij* Xij
Xij
tij* Xij
(butir)
(Rp.)
(butir)
(Rp.)
250,00
107.000 26.750.000,00
0
0,00
166,67
448.000 74.668.160,00 499.000 83.168.330,00
133,33
120.000 15.999.600,00 176.000 23.466.080,00
214,29
90.500 19.393.245,00 165.500 35.464.995,00
200,00
198.000 39.600.000,00 179.000 35.800.000,00
171,43
56.000
9.600.080,00
0
0,00
200,00
140.000 28.000.000,00 172.000 34.400.000,00
362,50
32.000 11.600.000,00
0
0,00
Subtotal (Rp) 225.611.085,00 Subtotal
212.299.405,00
Selisih (Rp)
13.311.680,00
tij
(Rp./butir)
86
Lampiran 12. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang Pengecer
Pedagang
Pasar
:
Tanggal :
Nomor
:
Nama pedagang
:
Menempati )*
: Kios / Lapak / Gudang
Kebutuhan stock kelapa rata-rata per hari/per minggu : … … … butir
Data Pemasok
Asal Kota Pemasok
Jumlah butir
kelapa/pembelian
Harga beli
Harga jual
Sistem pemesanan
(dipesan, ditawari,
sudah rutin)
Jika dipesan, waktu
sejak pesan sd
pesanan diterima
(jam) :
Pasokan ke luar Kota Bogor
Tujuan Pasokan
Jumlah
Harga Jual
Sistem pemasokan
Biaya pemasokan
Sistem pembayaran
87
Pemasokan ke industri :
Biaya yang dikeluarkan untuk
1. Bongkar muat :
2. Retribusi pasar :
3. Kebersihan :
4. Sewa kios atau lapak perbulan :
5. Sewa gudang :
6. Tenaga kerja :
7. Listrik dan air :
8. Biaya lainnya :
Penanganan terhadap
1. Batok kelapa :
Dijual dengan harga Rp. ………… per ………
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual batok kelapa sebanyak ………
Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya………
2. Air kelapa :
Dijual dengan harga Rp. ………… per ………
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual air kelapa sebanyak ………
Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya………
3. Hasil lainnya :
Dijual dengan harga Rp. ………… per ………
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual sebanyak ………
Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya………
Keterangan : )* coret yang tidak perlu
88
Lampiran 13. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Besar dan Pedagang
Pengecer yang Telah Diisi
Pedagang
Pasar
: Baru Bogor
Tanggal : 3 Agustus 2006
Nomor
:5
Nama pedagang
: Supriatno
Menempati )*
: Kios / Lapak / Gudang
Kebutuhan stock kelapa rata-rata per hari/per minggu : 8.000 butir
Data Pemasok
Tasikmalaya
-
-
4.000 butir dua kali seminggu
-
-
Rp. 1.000, 750, 550
-
-
-
-
rutin
-
-
Sehari (di jalan 6 jam)
-
-
Asal Kota Pemasok
Jumlah butir
kelapa/pembelian
Harga beli (A, B, C)
Harga jual (A, B, C)
1.100, 850, 650 (pedagang)
parut 2.000 tdk parut 1.500 (konsumen)
Sistem pemesanan
(dipesan, ditawari,
sudah rutin)
Jika dipesan, waktu
sejak pesan sd
pesanan diterima
(jam) :
Pasokan ke luar Kota Bogor
Tujuan Pasokan
-
-
-
Jumlah
Harga Jual
Sistem pemasokan
Biaya pemasokan
Sistem pembayaran
89
Pemasokan ke industri :
400 butir ke pabrik VCO di Cikaret (22 hari sebulan)
Biaya yang dikeluarkan untuk
1. Bongkar muat : Rp 10/ butir
2. Retribusi pasar : 3. Kebersihan : Rp. 6.000 per minggu
4. Sewa kios atau lapak perbulan :
5. Sewa gudang :
Rp. 400.000, 00/bulan
6. Tenaga kerja : 2 orang @Rp. 320.000,00/bulan
7. Listrik dan air : 8. Biaya lainnya : Penanganan terhadap
1. Batok kelapa :
Dijual dengan harga Rp. 3.000,00 per karung (800 butir kelapa)
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual batok kelapa sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya 2. Air kelapa :
Dijual dengan harga Rp. 3.000,00 per jerigen (800 butir)
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual air kelapa sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya3. Hasil lainnya :
Dijual dengan harga Rp. 10.000,00 per karung (800-1600 butir kelapa)
Dalam seminggu rata-rata dapat menjual sebanyak Dijual kepada )* : konsumen rumah tangga/ industri/lainnya Keterangan : )* coret yang tidak perlu
Biaya pemasokan dari Banten Rp. 1.000.000,00
90
Lampiran 14. Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah
Pemasok
Pemasok dari kota :
Nama pemasok
Tanggal :
:
Mendapat kelapa dari :
1. Petani kelapa
Memasok dari )* : satu petani/beberapa petani
Data Petani
1
2
3
4
Nama
Alamat
No. Telp
Harga beli
Harga jual
Jumlah
kelapa (butir)
Ambil Hari :
Pukul :
2. Pengumpul kelapa
Memasok dari )* : satu pengumpul/beberapa pengumpul
Data Petani
1
2
3
4
Nama
Alamat
No. Telp
Harga beli
Harga jual
Jumlah
kelapa (butir)
Ambil Hari :
Pukul :
91
Biaya yang dikeluarkan untuk (selain biaya membeli kelapa)
1. Memuat kelapa : Rp. ………… per ………
2. Biaya angkut sekali pasok
-
Sewa truk :
-
Bahan bakar :
-
Sewa sopir :
-
Retribusi :
-
Lainnya :
3. Lainnya :
Tujuan Pasokan
Pasar /
Industri
tujuan
pasokan di
Bogor
Memasok
secara
(mingguan,
harian, tidak
tetap sesuai
permintaan)
Jumlah
pasokan
(butir)
Harga jual
Tenggang waktu :
Mulai memuat pukul ……… sd pukul ………. Memulai perjalanan ke
Bogor pukul ………., sampai di Bogor pukul ………. Membongkar muatan pukul
………, selesai pukul ……….
Penyusutan :
92
Lampiran 15. Contoh Daftar Pertanyaan untuk Pedagang Antar Wilayah yang
Telah Diisi
Pemasok
Pemasok dari kota :
Nama pemasok
Tanggal :
: Asep
Mendapat kelapa dari :
1. Petani kelapa
Memasok dari )* : satu petani/beberapa petani
Data Petani
1
2
3
4
Nama
Alamat
No. Telp
Harga beli
Harga jual
Jumlah
kelapa (butir)
Ambil Hari :
Pukul :
2. Pengumpul kelapa
Memasok dari )* : satu pengumpul/beberapa pengumpul (5)
Data Petani
1
2
3
dll
Nama
Agus
Hakim
Alamat
-
-
No. Telp
-
08522311xxxx
Harga beli
Rp. 575,00
Harga jual
Rp. 800,00
Jumlah
kelapa (butir)
Ambil Hari :
Pukul :
4
dll
Total 7000 butir
Mulai pukul 7, sore berangkat, sampai jam 3 subuh
93
Biaya yang dikeluarkan untuk (selain biaya membeli kelapa)
1. Memuat kelapa : Rp. ………… per ………
2. Biaya angkut sekali pasok
-
Sewa truk :
-
Bahan bakar :
-
Sewa sopir :
-
Retribusi :
-
Lainnya :
Total Rp. 1.500.000,00
3. Lainnya : kalau ke Bogor hanya ke Pasar Bogor
Tujuan Pasokan
Pasar /
Industri
tujuan
pasokan di
Bogor
Memasok
secara
(mingguan,
harian, tidak
tetap sesuai
permintaan)
Jumlah
pasokan
(butir)
Harga jual
Tenggang waktu :
Mulai memuat pukul 7 pagi sd pukul siang Memulai perjalanan ke Bogor
pukul 5 sore, sampai di Bogor pukul 3 pagi Membongkar muatan pukul 3 pagi,
selesai pukul 6 sore.
Penyusutan : -
94
Download