4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus 2.1.1. Definisi

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar
glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan
metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif
(Riskesdas, 2013).
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar
glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan
metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun
relatif. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi
sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu
penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada
tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7 %. Oleh karena itu antisipasi untuk
mencegah dan menanggulangi timbulnya ledakan pasien DM ini harus sudah
dimulai dari sekarang (Bahri dan Hiswani,2005).
2.1.2. Klasifikasi
Diabetes terdiri atas berbagai macam tipe, yaitu tipe 1, tipe 2, tipe lain,
diabetes gestasional/diabetes selama masa kehamilan yang diuraikan pada uraian
berikut:
1. Tipe 1 adalah hiperglikemia disebabkan karena reaksi otoimun. Yang mana
system pertahanan tubuh dirusak oleh sel yang memprodukasi insulin,
sehingga tubuh tidak bisa lagi memproduksi insulin. Penyakit ini bisa terjadi
disegala usia tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Penderita
tipe ini membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol kadar
5
gula dalam darah. Penderita tipe ini akan meninggal bila tidak diberikan
suntikan insulin (Martha, 2012).
2. Tipe 2 merupakan tipe paling banyak kasus pada diabetes. Biasanya muncul
pada usai dewasa, namun belakangan ini kasus diabetes tipe 2 pada anak-anak
dan dewasa muda meningkat. Pada tipe 2 tubuh mampu memproduksi insulin
namun antara jumlahnya yang tidak mencukupi atau tubuh tidak memberikan
respon sehingga gula dalam darah meningkat. Penderita tipe 2 mungkin tidak
menyadari akan penyakit ini, karena gejala bisa dikenali setelah sekian waktu.
Selama waktu itu tubuh sudah rusak oleh tingginya gula darah. Kebanyakan
penderita didiagnosis diabetes setelah mengalami beberapa kerusakan organ
(Martha, 2012).
3. Tipe Gestasional adalah diabetes yang terjadi selama masa kehamilan dimana
sebelumnya tidak pernah didiagnosis dengan diabetes Mellitus dan akan
hilang setelah enam minggu pasca melahirkan. Wanita yang pernah menderita
diabetes gestasional 40-60% dalam 5-10 tahun akan menjadi diabetes Mellitus
tipe 2 (Martha, 2012). GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya
hipoglikemia, ikterus, polisitemia dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi
dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia. Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu
hamil dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di
kehamilan berikutnya (Kardika, Herawati, dan Yasa, 2013).
4. Tipe lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik
(kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s,
akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin),
penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan infeksi
atau sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s) (Kardika, Herawati, dan Yasa,
2013).
6
Tabel 2.1. Klasikasi Etiologi DM
Tipe
Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolute
1. Autoimun
2. Idiopatik
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe 2
Tipe lain
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes Mellitus
gestasional
Sumber: PERKENI, 2011
2.1.3. Faktor Risiko
Faktor risiko diabetes mellitus umumnya di bagi menjadi 2 golongan besar
yaitu :
1.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
Manusia mengalami penurunan fisiologis setelah umur 40 tahun.
Diabetes Mellitus sering muncul setelah manusia memasuki umur rawan
tersebut. Semakin bertambahnya umur, maka risiko menderita diabetes
Mellitus akan meningkat terutama umur 45 tahun (kelompok risiko
tinggi). Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM (PERKENI, 2011).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin pria dan wanita memiliki perbedaan prevalensi kejadian
diabetes Mellitus, akan tetapi beberapa penelitian memiliki hasil yang
7
berbeda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi pria yang
menderita diabetes Mellitus lebih tinggi dibandingkan wanita, sementara
penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita yang menderita
diabetes Mellitus lebih tinggi dibandingkan pria (Chukwu, et al, 2013).
c. Bangsa dan Etnik
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat kelahiran bayi
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat
badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah
mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan
BB normal (PERKENI, 2011).
2.
Faktor yang dapat dimodifikasi
a. Obesitas
Obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya resistensi insulin.
Pada resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa
menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa akan
meningkat. Hal tersebut akan mengakibatkan asam lemak bebas yang
berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah dan sebagian
digunakan sebagai sumber energi dan sebagian lagi dibawa ke hati,
dimana di hati digunakan sebagai bahan pembuatan trigliserid. Di hati
asam lemak bebas diubah menjadi trigliserid dan juga mejadi bagian dari
VLDL. VLDL pada keadaan resistensi insulin ini akan kaya trigliserid.
Oleh sebab itu pada keadaan resistensi insulin terjadi kelainan profil
lipid serum, dimana terjadi peningkatan trigliserid, penurunan HDL,
serta peningkatan small dense LDL (Kartika P dan Suhartono, 2013).
b. Aktifitas fisik yang kurang
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistole 140
mmHg atau tekanan darah diastole 90 mmHg. Hipertensi dapat
menimbulkan berbagai penyakit yaitu stroke, penyakit jantung koroner,
8
gangguan fungsi ginjal, gangguan penglihatan. Namun, hipertensi juga
dapat menimbulkan resistensi insulin dan merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya diabetes mellitus (PERKENI,2011).
d. Stres atau depresi
e. Gaya hidup yang tidak sehat
Gaya hidup sekarang yang lebih cenderung menyukai makanan siap saji
atau makanan yang tinggi kalori, karbohidrat, dan lemak serta gaya
hidup dengan kegiatan yang sifatnya praktis, cepat, dan menyenangkan
untuk diperoleh mengakibatkan terjadinya penimbunan lemak karena
tidak adanya aktivas yang mengurai lemak.
2.1.4. Penegakan Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer (PERKENI, 2011).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi
ereksi
(PERKENI,2011).
pada
pria,
serta
pruritus
vulvae
pada
wanita
9
Tabel 2.2. Kriteria Diagnosis DM
Diagnosis Diabetes Mellitus
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Sumber: PERKENI, 2011
2.2.
Program Pengelolaan Diabetes Mellitus
Empat pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan, latihan
jasmani, obat hipoglikemik, dan edukasi. Penderita DM yang mempunyai
pengetahuan rendah tentang pengelolaan DM berisiko kadar glukosa darahnya
tidak terkendali 2,34 kali dibanding dengan responden yang memiliki
pengetahuan yang cukup. Tujuan utama pengelolaan DM adalah mengatur kadar
glukosa dalam batas normal guna mengurangi gejala dan mencegah komplikasi
DM. Arifin (2011) mengatakan bahwa hal yang mendasar dalam pengelolaan DM,
terutama DM tipe 2 adalah perubahan pola hidup, meliputi pola makan yang baik
dan olahraga teratur (Putri, Yudianto, dan Kurniawan, 2013).
2.2.1. Perencanaan Makan
Perancanaan makan pada pasien diabetes Mellitus dengan melakukan
terapi gizi medis, pemilihan jenis makanan serta perhitungan jumlah kalori. Terapi
gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
10
direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetesi). Terapi gizi medis ini
pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasari pada
status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual (Yunir & Soebardi, 2009).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI,2011).
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:
1. Kadar glukosa darah mendekati normal,
a. Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
b. Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
c. Kadar A1c < 7 %
2. Tekanan darah < 130/80 mmHg
3. Profil lipid:
a. Kolesterol LDL < 100 mg/dl
b. Kolesterol HDL > 40 mg/dl
c. Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin (Yunir & Soebardi, 2009).
Adanya serat (sayur, buah dan kacangan) memperlambat absorbsi glukosa,
sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan
gula darah, makanan yang cepat dirombak dan juga cepat diserap dapat
meningkatkan kadar gula darah, sedangkan makanan yang lambat dirombak dan
lambat diserap masuk ke aliran darah menurunkan gula darah (Almatsier, 2006).
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada penderita diabetes tidak
boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih
dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal. Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4
11
kilokalori. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori perhari. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram (Yunir
& Soebardi, 2009).
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dalam
konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes Mellitus tipe 2 kebutuhan bahan
makanan dinyatakan sebagai berikut:
1. Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
2. Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
e. Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
3. Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
12
b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, dan tempe.
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
4. Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
b. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
6. Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
b. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
c. Dalam
penggunaannya,
pemanis
berkalori
perlu
diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
d. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
e. Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
13
f. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)
Penghitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya
stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa
tubuh (IMT) atau rumus Brocca. Untuk kepentingan praktis dalam praktek di
lapangan, digunakan rumus Brocca (IPD, 2009). Penentuan kebutuhan kalori per
hari:
1. Kebutuhan basal:
a. Laki-laki
: BB idaman (kg) X 30 kalori
b. Wanita
: BB idaman (kg) X 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
a. Umur diatas 40 tahun
: - 5%
b. Aktivitas ringan
: + 10%
i. (duduk-duduk, nonton televise dll)
c. Aktivitas sedang
: + 20%
i. (kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)
d. Aktivitas berat
: + 30%
i. (olahragawan, tukang becak dll)
e. Berat badan gemuk
: - 20%
f. Berat badan lebih
: - 10%
g. Berat badan kurus
: + 20%
3. Stres metabolik
: +10-30%
(infeksi, operasi, stroke, dll)
4. Kehamilan trimester I dan II
: + 300 kalori
5. Kehamilan trimester III dan menyusui
: + 500 kalori
2.2.2. Pelatihan Jasmani
Kegiatan fisik pada diabetes (tipe 1 ataupun 2) akan mengurangi risiko
kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan
meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun social dan tampak
sehat. Kemajuan teknologi agak bersebrangan dengan anjuran untuk melakukan
14
kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat. Mengingat hal ini,
maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang terencana dengan baik dan teratur
bagi diabetes (Yunir & Soebardi, 2009).
Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan prinsip latihan
jasmani secara umum, yaitu memenuhi beberapa hal, seperti: frekuensi, intensitas,
durasi dan jenis.
1. Frekuensi : jumlah olah raga perminggu sebaiknya dilakukan teratur 3-5 kali
2. Intensitas : ringan dan sedang yaitu 60-70% MHR ( Maximun Heart Rate )
3. Time : 30-60 menit
4. Tipe/Jenis : Olahraga endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda (Yunir &
Soebardi, 2009).
Tabel 2.3. Aktivitas Fisik Sehari-hari
Aktivitas Fisik
Kurangi Aktivitas
Hidari aktivitas sedenter
Misalnya,
menonton
televise,
menggunakan internet, main game
komputer
Persering Aktivitas
Mengikuti olahraga rekreasi dan
beraktivitas fisik tinggi pada waktu
liburan
Aktivitas Harian
Kebiasaan bergaya hidup sehat
Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot,
bersepeda, sepak bola
Misalnya, berjalan kaki ke pasar (tidak
menggunakan mobil), menggunakan
tangga (tidak menggunakan lift),
menemui rekan kerja (tidak hanya
melalui telepon internal), jalan dari
tempat parkir
Sumber: PERKENI, 2011
2.2.3. Edukasi
Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberikan
pemahaman
mengenai
perjalanan
penyakit,
pencegahan,
penyulit,
dan
penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
15
keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Diabetes tipe 2 umumnya
terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan.
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga
dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI,
2011).
2.2.4. Pengobatan
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel
β mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. Fungsi sel β
menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan
demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki
resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel β (Arifin, 2011).
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan, yaitu:
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPP-IV inhibitor
2. Suntikan
a. Insulin
b. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Ada obat yang bekerja mempengaruhi produksi glukosa di hepar, ada yang
berpengaruh pada ambilan glukosa di otot. Ada obat yang bekerja terhadap
16
hiperglikemia pada keadaan puasa dan ada yang bekerja pada hiperglikemia
postprandial. Penting juga diperhatikan efek samping dan interaksi masingmasing obat. Keuntungan dari pemakaian obat kombinasi adalah kita memberi
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda, yang bersifat potensiasi (seperti
diketahui patofisiologi DM tipe 2 adalah kompleks; efek samping dari masingmasing obat akan berkurang karena dosis obat yang diberikan lebih kecil.
Disamping pengobatan yang bertujuan mengendalikan glukosa darah, pada pasien
DM tipe 2 perlu juga diperhatikan koreksi berbagai faktor risiko penyakit
pembuluh darah yang sering terjadi pada resistensi insulin, hiperinsulinemia dan
diabetes mellitus tipe 2 misalnya pengobatan hipertensi, koreksi dislipidemia dan
sebagainya (Arifin, 2011).
2.3.
PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis)
PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan
proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, Fasilitas
Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi
peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
(PROLANIS, 2010).
Prolanis adalah sebuah program manajemen penyakit kronis yang
merupakan bagian dari Askes. Program dimulai pada 2010 dan berfokus pada
manajemen mandiri diabetes. Ini merupakan bagian dari layanan konsultasi dan
pemeriksaan bulanan dari rumah sakit ke Pusat Kesehatan yang memberikan
manfaat kepada pasien dari segi waktu tunggu yang lebih rendah secara signifikan
dan lebih banyak waktu untuk berkonsultasi dan memberikan pendidikan kepada
pasien. Ini adalah perubahan positif bagi mereka yang diasuransikan oleh Askes
tetapi menimbulkan pertanyaan adanya ketidakadilan akses terhadap informasi
dan pendidikan bagi mereka tidak diasuransikan oleh Askes (Soewondo, Ferrario
and Tahapary, 2013).
Pelayanan yang diberikan oleh Prolanis seperti pelayanan obat untuk
penyakit diabetes pasien selama satu bulan, mengingatkan jadwal konsultasi dan
17
pengambilan obat, memberi informasi dan pengetahuan tentang penyakit diabetes
secara teratur dan terstruktur pemantauan status kesehatan secara intensif serta
adanya kegiatan kunjungan rumah (home visit)bagi peserta (PROLANIS, 2010).
Kunjungan rumah diberlakukan untuk pemberian informasi/edukasi
kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta PROLANIS dan keluarga. Sehingga
pengobatan terhadap pasien dapat terus dijalankan jika pasien tidak dapat hadir
pada waktu yang telah ditentukan untuk penanganan penyakitnya
Dokter akan memantau kepatuhan pasien terhadap program pengelolaan
penyakit kronis ini untuk mengetahui apakah pasien benar-benar melakukan apa
yang direncanakan. Komitmen peserta dalam mengikuti Prolanis juga merupakan
hal yang sangat penting. Peserta diharapkan mengikuti segala ketentuan
pengobatan yang telah direncanakan, karena jika tidak ada komitmen dari pasien
maka program ini akan gagal.
Dengan adanya Prolanis, target peningkatan status kesehatan,pengetahuan,
kemampuan, dan kesadaran peserta dalam rangka pemeliharaan kesehatan secara
mandiri dapat terwujud secara maksimal. Target ini juga didasarkan pada panduan
klinis yang berlaku. Indikator keberhasilan program ini adalah terwujudnya Profil
Kesehatan Peserta melalui pemantauan berkesinambungan terhadap peserta.
Download