11 II. Tinjauan Pustaka 2.1 Logam Berat. Logam berat secara umum didefinisikan sebagai unsur logam yang mempunyai densitas lebih tinggi dari 5 g mL-1, sebagai contoh, Fe, Cu, Pb, Cd, Hg, Ni, Zn, dan Mn. Kira-kira 53 dari 90 unsur alami yang termasuk dalam kategori logam berat (Mamboya 2007). Banyak dari unsur-unsur tersebut seperti: Cu, Mn, Fe, dan Zn, bersifat mikrohara yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup, namun dapat berubah menjadi toksik ketika konsentrasinya lebih tinggi dari yang diperlukan pertumbuhan secara normal (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Keberadaan logam berat seperti: Cd, Hg, dan Pb, sejauh ini mempunyai fungsi yang belum diketahui di dalam organisme hidup, dan umumnya bersifat toksik pada konsentrasi yang sangat rendah. Banyaknya jenis logam yang tergolong sangat toksik dan potensinya untuk menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia dan organisme hidup lainnya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan guna mengukur konsentrasi maupun akumulasinya dari sampel lingkungan (misalnya: air, tanah, sedimen dan sebagainya) dan jaringan makhluk hidup lainnya. Namun penelitian logam berat di lingkungan atau iklim tropis umumnya masih minim atau jarang dilakukan (Mamboya 2007). Sumber kontaminasi logam di sedimen sangat bervariasi yakni dari sumber alami, antropogenik, point dan nonpoint sources, maupun dari tumpahan (Chapman et al. 1998). Beberapa aktivitas antropogenik umumnya dapat meningkatkan kontaminasi logam di ekosistem akuatik misalnya: penambangan, industri, domestik, pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan unsur logam secara alami juga dapat meningkatkan konsentrasi logam di lingkungan terutama bersumber dari hasil pelapukan batuan, dekomposisi jaringan tanaman dan hewan, maupun dari aktivitas vulkanik (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Tabel 1 merupakan sumber dari elemen renik dari logam berat yang banyak digunakan guna kepentingan aktivitas antropogenik (Manahan 2005). 12 Tabel 1. Elemen renik penting dalam perairan alami. Sumber Pengaruh dan Signifikansi Arsenic Berylium Boron Chromium Elemen Pertambangan, limbah kimia Batubara, limbah industri Batubara, deterjen, limbah Penyepuhan/pelapisan logam Copper Pelapisan industri Toksik, kemungkinan karsinogenik Toksik Toksik Esensial sebagai Cr (III) dan toksik sebagai Cr (VI) Esensial elemen renik, toksik pada konsentrasi tinggi. Mencegah pembusukan gigi pada kisaran 1 mg/l, toksik pada tingkat yang lebih tinggi. Mencegah penyakit gondok. Nutrien esensial, perusakan adanya pelapisan. Toksik, membayakan bagi hewan liar. Toksik pada tanaman, perusakan dengan adanya pelapisan. Toksik, dapat termobilisasi sebagai metilmerkuri oleh bakteri anaerob Esensial terhadap tanaman, toksik pada hewan. Esensial pada konsentrasi rendah, toksik pada kons. tinggi. Elemen esensial, toksik pada tanaman pada konsentrasi yang tinggi logam, penambangan, limbah Fluorine Batuan/ sumber geologi, limbah Iodine Iron Lead Manganese Mercury Limbah industri, air laut Limbah industri, korosi, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, bahan bakar Limbah industri, air masam tambang, aksi dari mikroba Limbah industri, penambangan, batubara Molybdenum Limbah industri, sumber alami Selenium Sumber alami, batubara Zinc Limbah industri, pelapisan logam, plumbing Di dalam lingkungan perairan, logam mungkin berbentuk sebagai: ion logam bebas yang terlarut atau sebagai ion kompleks, khelat dengan ligan yang tidak tersusun secara teratur misalnya dengan: Cl-, OH-, CO3-, dan NO3- , dan kompleks dengan ligan organik seperti: asam fulvik, amina, asam humik, dan protein. Disamping itu, logam di perairan mungkin terikat dengan bahan partikulat dalam bentuk koloid atau agregat, endapan sebagai lapisan logam pada partikel, penggabungan ke dalam bahan organik misalnya algae, dan tersimpan dalam partikel crystalline detritus. Bentuk fisik dan kimia dari logam di perairan diatur oleh variabel lingkungan seperti: salinitas, temperatur, pH, potensial redoks, bahan partikulat 13 organik, dan aktivitas biologi (Chapman et al. 1998; Maher et al. 1999). Disamping itu, adsorpsi dari kontaminan tersebut sangat dipengaruhi oleh kimia dari air permukaan sedimen (overlying), pH, salinitas, dan kimia permukaan partikel itu sendiri (Maher et al. 1999). 2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailability dan Toksisitas Logam di Ekosistem Akuatik. Konsentrasi logam berat di ekosistem akuatik sebagian besar diatur oleh proses biologi dan karakteristik fisik-kimia air yang melingkupinya (Novotny and Olem 1994; Chapman et al. 1998). Sebagai contoh: tanaman bayam air tawar Ipomoea aquatica akumulasi logamnya secara negatif dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi nutrien. Pengambilan/ uptake logam Hg, Cd dan Pb akan menurun ketika konsentrasi nutrien ditingkatkan. Namun studi dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu pengkayaan nutrien akan meningkatkan konsentrasi dari pengambilan Cd dan Zn. Di lingkungan dengan tingginya konsentrasi nutrien, umumnya pengambilan logam akan terganggu, karena terjadi pembentukan kompleksasi antara nutrien dengan ion logam (Mamboya 2007). Parameter pH dan potensial redoks dapat mempengaruhi bioavailability logam dalam bentuk terlarut (Chapman et al. 1998). Pada pH yang tinggi (alkaline) unsur logam cenderung membentuk endapan yang tidak larut dari hidroksida, oksida, karbonat, atau fosfat. Namun pada pH yang rendah umumnya logam dalam bentuk kation bebas, sehingga bioavailability logam akan semakin meningkat. Novotny and Olem (1994) menyebutkan pH > 7 sebagian besar dari logam akan mengadakan kompleksasi, sedangkan pada pH yang < 5 konsentrasi logam dalam bentuk bebas akan miningkat secara dramastis. Substansi humik di dalam lingkungan akuatik mungkin mempengaruhi bioavailability ion logam. Bioavailability dan toksisitas logam akan berkurang melalui pembentukan kompleks bahan organik terlarut (DOM), karena akan mengurangi konsentrasi ion logam bebas di lingkungan akuatik (Fὅrtstner dan Whittmann 1983). DOM mungkin akan menghalangi akumulasi 14 beberapa logam dengan cara memblock tempat pengikatan (reseptor) dari permukaan alga. Temperatur juga dapat mempengaruhi laju metabolisme dari organisme, dan oleh karena itu pengambilan logam biasanya akan meningkat ketika temperatur dinaikkan (Cairns et al. 1975). Toksisitas logam di ekosistem akuatik sebagian besar dipengaruhi oleh status bioavailability logam berat yang bersangkutan (Luoma 1995; Chapman et al.1998). Toksisitas logam biasanya akan berkurang ketika fraksi dari ion logam pada kolom air teradsorbsi oleh bahan organik yang tersuspensi. Dengan demikian pengukuran dari konsentrasi logam berat total di dalam kolom air mungkin tidak selalu berhubungan atau mencerminkan kejadian toksisitas yang sebenarnya (Novotny and Olem 1994; Allen 1993). Ketika logam toksik dilepaskan ke perairan alami, maka umumnya logam tersebut akan mengadakan kompleksasi dengan ligan. Bentuk dari ligan ini bisa bervariasi yaitu organik atau anorganik yang mengadakan penggabungan dengan logam membentuk strutur kimia yang lebih komplek. Novotny and Olem (1994) telah merinci beberapa penyebab utama adanya pengendapan dan kompleksasi dari logam sebagai berikut: 1). Oksidasi dari bentuk tereduksi dari besi, mangan, dan sulfida. 2). Reduksi dari logam yang bervalensi tinggi dengan interaksi bahan organik seperti pada logam selenium dan perak. 3). Reduksi sulfat ke bentuk sulfida (logam besi, tembaga, perak, seng, merkuri, nikel, arsen, dan selenium yang akan mengendap sebagai logam sulfida/MeS). 4). Adanya reaksi dengan alkalin akibat adanya peningkatan pH misalnya logam stronsium, mangan, besi, seng, dan kadmium. 5). Adsorpsi dan kopresipitasi dari ion logam dengan besi dan mangan oksida, clay, dan bahan partikulat organik. 6). Reaksi pertukaran ion khususnya dengan clay. 15 2.3 Penerapan Uji Bioassai. Uji toksisitas/ bioassai merupakan suatu pendekatan yang bersifat eksperimen guna menguji respon dari suatu organisme hidup terhadap suatu bahan polutan tertentu. Beraneka macam respon biologi yang ditimbulkan oleh biota uji sebagai respon terpaparkan oleh bahan polutan spesifik, mulai dari perubahan fisiologi hingga berujung pada kematian (toksisitas akut). Bahan toksik/ toksikan umumnya dipaparkan ke biota uji dalam bentuk terlarut maupun campuran misalnya dalam bentuk sedimen. Bioassai pada umumnya dirancang untuk: menentukan konsentrasi dari suatu bahan kimia spesifik yang diduga bersifat toksik, menentukan toksisitas dari suatu air atau sedimen alami (bioassay ambient), dan memahami proses yang mengatur kejadian toksisitas. Evaluasi toksisitas dengan menggunakan bioassai lebih mengutamakan unsur ketepatan, kepraktisan, standardisasi, dan kemampuan pengulangan dalam menggambarkan respon spesifik dari biota uji terhadap bahan toksikan tertentu. Disamping itu bioassai juga dapat diterima dalam menunjukkan permasalahan yang terjadi dari interaksi antar bahan kimia yang ditunjukkan dalam respon biologi tunggal dalam suatu sistim percobaan. Bioavailability bisa lebih mudah diintepretasi, jika bioassai digabungkan dengan studi kimia pada suatu ekosistem. Para penganjur teknik bioassai umunya berpendapat bahwa kesederhanaan merupakan suatu kebutuhan dan keuntungan dari metode bioassai. Disamping itu bioassai relatif lebih murah dan lebih mudah di standardisasi dibandingkan dengan studi yang dilakukan di lapangan. Respon yang ditimbulkan oleh toksisitas maupun defesiensi dari logam dapat ditunjukan dengan menggunakan bioassai. Bioassai dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan bagaimana aktivitas logam terlarut seringkali mempengaruhi efek biologisnya. Sedangkan bioassai dengan menggunakan organisme bentik makroavertebrata menunjukkan bagaimana proses geokimia dari sedimen berpengaruh terhadap bioavailability logam pada hewan deposit feeder (Luoma 1995). 16 2.4 Beberapa Pertimbangan Dalam Melakukan Studi Bioassai Setiap studi bioassai biasanya melibatkan pemilihan tentang tingkatan organisasi yang dipaparkan, lamanya waktu pemaparan, konsentrasi yang dipaparkan, rute pemaparan, dan keterwakilan dari spesies yang digunakan. Pengaruh konsentrasi dan waktu pemaparan saling terkait. Dalam uji bioassai umumnya konsentrasi logam secara progresif akan lebih rendah ketika waktu pemaparan semakin meningkat. Semakin singkat waktu pemaparan, maka diperlukan konsentrasi lebih tinggi untuk bisa menimbulkan suatu respon. Pemaparan kronis secara alami dapat tetap bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya dari suatu spesies yang relatif menetap/ tinggal disitu. Sehingga bioassai kronis dapat mencerminkan secara kasar pemaparan lebih dari satu siklus hidup. Walaupun sekarang ini tidak selalu dalam uji toksisitas kronis, pemaparan melibatkan satu siklus hidup secara penuh (Luoma 1995). Studi yang dilakukan guna mengembangkan guideline kualitas sedimen biasanya menggunakan waktu pemaparan yang relatif singkat yaitu 96 jam dari suatu organisme dengan waktu generasi tahunan. Sebagai contohnya adalah uji toksisitas sedimen 96 jam yang menggunakan hewan Moluska dengan masa hidup hingga 10 tahun. Meskipun penggunaan hewan tersebut banyak mendapakan kritik karena relatif tidak sensitif terhadap toksisitas sedimen. Baru-baru ini pengembangan uji bioassai kronis sedimen dengan menggunakan hewan Amphipoda dengan waktu pemaparan 10 hingga 28 hari. Hewan tersebut secara alami tinggal di dalam sedimen dalam kurun waktu hingga ±1 tahun (Luoma 1995). Penggunaan prosedur bioassai dari sedimen yang terstandardisasi menunjukkan hasil yang relatif sensitif dan dapat dilakukan pengulangan. Hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam melakukan uji bioassai sedimen adalah bioavailability logam diantara sedimen pada perbedaan karakter geokimia, pengaruh manipulasi pada geokimia sedimen, dan keterbatasan geokimia sedimen selama digunakan dalam uji bioassai air pori-pori dan elutriates (Bernhard 2000). Adapun organime yang telah umum digunakan dalam uji bioassai sedimen air tawar antara lain: 1) Bakteri, 2). Algae, 3). Tumbuhan makrofit, 4). Amphipoda, 5). Insekta air misalnya larva Chironomid dan Ephemeroptera. 6). Cladocera, 7). Cacing 17 Oligochaeta dan 8). Ikan (Burton and Ingersoll 1994; Giesy and Hoke 1991). Bioassai sedimen dengan menggunakan bentik makroavertebrata dapat digunakan untuk mengevaluasi toksisitas dan bioakumulasi dari kontaminan persisten yang berguna untuk memprediksi bioavailability logam pada lingkungan sedimen yang berbeda (Besser et al. 1995). Pemilihan biota uji umumnya didasarkan pada pengaruh utamanya pada keterkaitan ekologi dari biota yang bersangkutan dan intepretasi dari respon yang ditimbulkan dari adanya pemaparan bahan polutan. Sebagian besar guideline dari uji bioassai sedimen dari ASTM E 1525 maupun US-EPA dalam pemilihan biota uji yang digunakan didasarkan pada pertimbangan: 1. Data base toksisitas yang ada untuk mengevaluasi sensitifitas relatif dari suatu organisme terhadap pemaparan suatu bahan polutan. 2. Organisme yang hidup pada sedimen. 3. Organisme yang dapat dibiakkan di laboratorium 4. Organisme yang dapat dipelihara; dipertahankan di dalam laboratorium selama percobaan berlangsung. 5. Identifikasi/taksonomi dari biota uji yang digunakan tidak ada masalah. 6. Organisme tersebut secara ekologi penting. 7. Distribusi dari organisme sebagai biota uji ada di dalam lokasi atau area dimana uji bioassai tersebut dilakukan. 8. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi fisiko-kimia dari sedimen secara alami. 9. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi kualitas air. 10. Uji dengan menggunakan hewan tersebut telah melalui rekomendasi dari beberapa peer review. 11. Uji dengan menggunakan organisme tersebut di lapangan dapat dilakukan validasi (Burton and Ingersoll 1994). 18 2.5 Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam. Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang merugikan. Untuk tujuan praktis, satu tingkat organisasi biologi biasanya dipilih dalam mempelajari sebuah efek/ pengaruh. Toksisitas logam di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi). Toksisitas melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek dibandingkan dengan suatu efek merugikan secara sederhana. Pada Gambar 3 merupakan urutan pengaruh dari toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi dari yang paling rendah(seluler) hingga tingkat yang paling tinggi (populasi). Dari gambar tersebut menunjukkan proses detoksifikasi dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi berlebih pada pengaruh sekunder. Dalam kasus yang sederhana semakin besar pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagian bawah bagan yang akan diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan yang paling rendah organisasi biologinya. Penumpukan kompleksitas terjadi dari mulai bagian atas hingga bagian bawah dari bagan. Sehingga dalam mendefinisikan pengaruh sebab-akibat dari kontaminasi logam pada tingkatan organisasi biologi, kompleksitas mulai muncul dari tingkatan yang lebih rendah hingga tingkat yang lebih tinggi (Luoma 1995). Rute pemaparan uji bioassai mungkin akan berpengaruh pada hasil intepretasinya. Keberadaan toksikan dalam bentuk terlarut umumnya pendekatan metode bioassai lama yang paling sering digunakan. Kontrol konsentrasi logam selama bioassai, geokimia, dan kondisi reduksi/oksidasi (redoks) akan lebih mudah, ketika eksperimen tersebut dilakukan dalam bentuk fase cair saja. Bioassai sedimen melibatkan suatu sistim yang lebih rumit guna menguji toksisitas terhadap hewan bentik makroavertebrata. Konsentrasi logam disajikan dalam suatu campuran dalam bentuk teradsorbsi maupun terlarut. Satu keuntungan dengan menggunakan metode ini adalah jalur pemaparan mungkin lebih mirip dengan kebiasaan hidup dari biota uji 19 untuk hidup secara alami. Kerugiannya adalah hilangnya kontrol geokimia dari sistim pengujian, wujud/ bentuk dari logam yang dipaparkan, dan rute pemaparannya. Toksisitas pada sedimen juga diuji dengan cara memisahkan air pori-pori sedimen atau pengenceran sedimen dengan air (elutriates) dengan perbandingan tertentu yang mempresentasikan logam di dalam wujud terlarut. Di dalam cara ini, pengaruh faktor sedimen secara alami (seperti ukuran butir) dapat diabaikan (Chapman et al 1998 ; Luoma 1995). Beberapa peneliti tetap mempertahankan pemaparan polutan melalui jalur air sebagai kesesuaian simulasi pengujian secara alami. Mereka menyarankan air atau air pori-pori sedimen adalah rute yang paling eksklusif dari pemaparan zat pencemar di alam atau keseluruhan pemaparan sebanding dengan bioavailability logam dalam bentuk terlarut. Studi bioassai dengan cara spiked pada sedimen menunjukkan pengambilan logam Cd oleh hewan Amphipoda berkorelasi dengan aktivitas Cd dalam air pori-pori sedimen. Baru-baru ini, suatu korelasi yang kuat ditunjukkan antara konsentrasi ion Cd bebas di atas permukaan sedimen (overlying) dengan konsentrasi Cd di remis dari 37 danau di Quebec dan Ontario, Canada (Luoma 1995). 20 Tingkat organisasi biologi Molekuler/biokimia Pengaruh sekunder Pengaruh primer Detoksifikasi - Lisosom - Metallothionin Bioakumulasi Detoksifikasi berlebih Merubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress Organisme Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies Gambar 3. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi. 21 2.6 Respon Komunitas Bentik Makroavertebrata terhadap Pemaparan Logam. Organisme bentik makroavertebrata merupakan salah satu komponen biotik perairan yang hidup di dasar perairan, yang seringkali digunakan dalam memprediksi tingkat gangguan pada ekosistem akuatik akibat kontaminasi bahan polutan maupun adanya perubahan habitat (Norris 1999). Adanya kontaminasi tersebut di perairan dapat dengan mudah terakumulasi dan berpengaruh secara langsung ke organisme bentik makroavertebrata dan menjadi bioavailable ketiaka adanya resuspensi atau lindih dari sedimen (Giezy and Hoke 1989). Kiffney and Clements (1993) telah merinci alasan penggunaan komunitas bentik makroavertebrata dalam mencerminkan adanya bioavailability logam di perairan antara lain: 1) Hewan tersebut dapat dengan mudah mengakumulasi logam dan dapat dipercaya sebagai indikator dalam menampakkan adanya gangguan dari bioavailability logam. 2). Organisme tersebut biasanya sering digunakan dalam kegiatan pemantauan lingkungan karena sifatnya yang relatif sessil, mempunyai waktu siklus hidup yang relatif panjang, dapat mewakili dari sebuah niche ekologi perairan, dan dapat mengakumulasi logam pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi ambientnya (Luoma 1995). Distribusi spesies dari organisme bentik makroinvertebrata dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Kelimpahan dari organisme tersebut dapat tinggi atau rendah tergantung pada kesesuaian interaksi kondisi biotik dan abiotik pada masingmasing habitat. Ketika faktor tersebut optimal, populasi dari spesies dalam sebuah habitat juga akan optimal. Spesies spesifik dalam hubungannya dengan toleransi terhadap kontaminasi logam merupakan sebuah fungsi dari proses biokimia dan fisiologi dalam sebuah populasi. Toleransi sebuah spesies terhadap kontaminasi logam di beberapa tempat/ lokasi juga sebuah fungsi dari intensitas stressor alami, misalnya bagaimana optimal hubungannya sebuah spesies dalam lingkungan yang telah terkontaminasi logam (Luoma and Carter 1991). Komponen biota akuatik dalam ekosistem perairan mempunyai struktur dan fungsi tertentu dalam rantai makanan. Metode untuk mengetahui respon kontaminan terhadap sistem akuatik seringkali diduga dengan mengetahui adanya perubahan 22 struktur dan fungsi dari komponen biota akuatik yang telah terpaparkan dengan bahan kontaminan tersebut. Perubahan dalam struktur komunitas dapat diketahui dengan perubahan pada komposisi, jumlah, dan kelimpahan taksanya. Sedangkan perubahan fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada produktivitas sekunder, laju dekomposisi dan sebagainya. Adanya kontaminasi logam dapat mengakibatkan perubahan pada keduanya (struktur dan fungsionalnya) yang kadangkala diantara parameter struktur dan fungsionalnya ada hubungan interrelasinya. Sampai saat ini belum ada satu parameterpun dari struktur dan fungsional yang paling efektif dalam mendeteksi pengaruh kontaminasi dari logam spesifik. Disamping itu pengukuran status fungsional dari komponen biota akuatik seringkali lebih sulit intepretasinya, karena kompleksitasnya dalam mencerminkan pengaruh dari sebuah polusi. Oleh sebab itu pengukuran parameter struktural yang paling banyak dipakai dalam bioassessment atau pemantauan dari adanya kontaminasi bahan polutan di perairan (Luoma and Carter 1991). Beberapa indek atau metrik biologi dalam mendeteksi adanya gangguan akibat polusi telah menggunakan data kelimpahan dan biomasa dari organisme bentik makroavertebrata. Namun banyak pula indek yang telah dikembangkan sudah tidak menggunakan kedua metrik biologi di atas karena kedua metrik di atas sangat sulit intepretasinya dan variabilitas datanya sangat tinggi. Sebuah model dari kelimpahan/biomasa yang mengadakan respon dari toksisitas sedimen didasarkan pada satu asumsi dari empat kondisi yaitu 1). Kondisi non toksik yang mendukung kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, 2). Kondisi toksik ringan yang mungkin mendukung tidak biasanya tinggi dari kelimpahan/biomasa, 3). Toksisitas sedang dapat menyebabkan kembalinya kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, dan 4). Toksisitas berat kondisinya hanya mendukung rendahnya kelimpahan/biomasa (Sorensen et al. 2007). Respon komunitas terhadap logam sebagai stressor seringkali sulit untuk diprediksi. Sebagian respon tergantung pada sejarah dari komunitas, yang menentukan apakah spesies yang menetap/ ada dihasilkan dari tidak adanya kontaminasi. Jika spesies yang toleran logam menggantikan spesies yang hilang yang 23 disebabkan oleh toksisitas logam, maka bentuk respon komunitasnya akan berbeda dengan spesies yang toleran logam juga hilang. Sensitifitas masing-masing hewan terhadap kontaminasi jenis-jenis logam adalah penting untuk diketahui. Sebagai contohnya adalah sensitifitas larva Trichoptera Hydropsychidae yang relatif toleran terhadap kontaminasi logam Cu, Cd dan Pb (Luoma 1995). Respon komunitas yang paling mudah untuk dilihat adalah dengan adanya pengurangan keseluruhan dari jumlah jenis yang ditemukan. Namun perubahan dalam spesies yang berpengaruh pada komposisi spesies relatif lebih sulit untuk dilihat. Seringkali didapati komposisi dari komunitas yang bersifat oportunis mendominasi dan menggantikan keberadaan spesies yang lain. Kondisi tersebut masih belum cukup meyakinkan keterkaitan antara dinamika komunitas terhadap adanya pencemaran logam. Ini disebabkan kompleksitas dari bahan toksikan lainnya yang turut mengatur perubahan dalam struktur komunitas yang kadangkala sulit untuk dipahami (Canfield et al.1994). Giezy and Hoke (1989) menyebutkan meskipun seluruh parameter fisik dan kimia selain daripada toksikan, dan sumber kolonisasi individu dari bentik makroavertebrata tersebut identik, maka masih sulit menunjukkan adanya perbedaan dalam populasi dari organisme tersebut disebabkan oleh substansi toksik di sedimen. Perubahan yang singkat dari stressor kimia dan fisik seperti: chlorin, pH, dan temperatur dapat menghilangkan populasi dari bentik makroavertebrata tanpa meninggalkan residu di dalam sedimen. Hilangnya makroavertebrata pada sedimen belum tentu melibatkan adanya toksisitas pada sedimen sebagai faktor penyebab dan bukan indikasi potensi toksisitas pada sedimen yang lebih dalam. Oleh sebab itu, ada atau hilangnya dari bentik makroavertebrata mungkin belum cukup bukti dalam mengungkap adanya toksisitas sedimen (Luoma 1995). Biasanya untuk memprediksi dampak kontaminasi logam terhadap perubahan pada struktur komunitas yaitu dengan terlebih dahulu menetapkan daerah yang dianggap sebagai reference site dengan ketiadaan atau minimalnya kontaminasi logam (Luoma 1995). Lokasi reference tersebut kemudian dibandingkan dengan daerah yang akan kita uji yang berfungsi sebagai test site. Adanya perubahan atau penyimpangan terhadap komunitas dari reference site dapat diketahui dan 24 dihubungkan dengan besarnya kontaminasi logam yang terjadi pada test site (Norris and Thoms 1999). Dalam hubungannya dengan reference site yang berfungsi sebagai kontrol dari daerah yang akan kita uji atau sebagai test site, maka Long and Wilson (1997) mengeluarkan kriteria daerah yang dapat digunakan sebagai reference yaitu 1. Seluruh konsentrasi dari masing-masing bahan kimia di bawah nilai dari guideline effect range median (ERM) dan probable effect low (PEL). 2. Relatif rendahnya nilai rata-rata pembagian ERM (misalnya < dari 0,30; nilai rata-rata pembagian ERM yang dihitung dari jumlah pembagian konsentrasi kimia dengan nilai dari masing-masing ERM dibagi dengan jumlah kimia yang ada). Pengujian tingkat kelulushidupan hewan Amphipoda menunjukkan toksisitas < 20 % ketika nilai rata-rata pembagian ERM < 0,3 dan toksisitas > 70% ketika nilai rata-rata pembagian ERM > 1. 3. Konsentrasi amonia dan hidrogen sulfida pada air pori-pori di bawah ambang batas toksisitas dari pengujian organisme di laboratorium. 4. Tingkat kelulushidupan dari Amphipoda di dalam uji laboratorium tidak berbeda secara nyata dengan kontrol (uji T, p>0,05) dan lebih dari 80% dibandingkan dengan hewan yang hidup di kontrol. 5. Organisme bentik makroavertebrata memiliki kelimpahan total spesies yang tinggi, terdapatnya hewan Amphipoda dan Crustacea, dan tidak ada atau sedikit spesies indikator yang bersifat negatif (toleran) dan di dominasi oleh spesies indikator positif (sensitif). Manipulasi sistem dari sungai guna mempelajari respon komunitas terhadap toksikan mempunyai sejarah yang panjang. Kebayakan dari studi tersebut menunjukkan hilangnya spesies yang sensitif adalah respon pertama dari suatu komunitas terhadap logam. Perubahan jumlah taksa yang terjadi pada pemaparan konsentrasi logam yang lebih tinggi. Sebagai contohnya adalah penghilangan spesies dari serangga nympha Ephemoptera adalah respon yang paling sensitif dari adanya kontaminasi logam, dan hampir dapat ditemukan pada semua studi (Luoma 1995). Studi yang dilakukan Clements et al. (1993) dalam Luoma (1996) di laboratorium 25 menunjukkan pada konsentrasi logam Cu dari 230-492 nmol L-1 selama 96 jam, nympha serangga dari Ephemeroptera (mayfly) menghilang, namun jenis larva serangga Chironomidae lainnya (Diptera) dan detritus feeder Trichoptera meningkat dalam kelimpahannya. Hasil yang serupa ketika konsentrasi logam Cu yang rendah yaitu 004-008 µmol L-1 pada air lunak yang dipaparkan selama 1 tahun. Konsistensi dari hasil penelitian tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa penurunan spesies dari serangga Ephemoptera yang relatif sensitif dan meningkatnya dominansi dari bentik makroavertebrata dari beberapa jenis famili Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari peningkatan kontaminasi logam (Canfield et al.1994; Luoma 1996; Winner et al. 1980). Disamping adanya peningkatan kelimpahan dari larva Chironomidae juga diikuti dengan peningkatan komposisi taksa yang berkorelasi positif dengan peningkatan konsentrasi logam di sedimen pada Sungai Clark Fork di Montana akibat dari aktivitas penambangan. Populasi cacing Oligochaeta juga menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kontaminasi logam di sedimen. Beberapa genus dari famili Naididae (misalnya Dero digitata dan Ophidonais serpentina) dan sebagain besar dari famili Tubificidae (misalnya Tubifex sp., Limnodrilus hoffmeisteri) lebih toleran pada konsentrasi bahan organik yang tinggi dan polusi logam berat (Canfield et al. 1994). Besser et al. (1996b) yang melakukan penelitian di Sungai Detroit Michigan USA menunjukkan cacing Oligochaeta relatif toleran terhadap toksisitas sedimen yang tinggi dan mendominasi hingga 95% organisme bentik makroavertebrata yang ada. Perubahan komposisi spesies dalam suatu komunitas, atau bahkan hilangnya suatu spesies dapat berpotensi menyebabkan perubahan secara tidak langsung melalui jaring-jaring makanan. Hilangnya suatu predator dapat mempunyai pengaruh penting terutama pada jaring-jaring makanan. Amphipoda, Pontoporeia affinis, dan Ostracoda adalah hewan yang relatif sensitif dalam pengujian dengan logam Cd. Cacing Nematoda yang merupakan mangsa dari P.affinis akan meningkat ketika terjadi pengkayaan logam Cd pada pemaparan 265 hari. Hasil-hasil yang serupa ditemukan ketika spesies yang toleran terhadap Cd (Cacing pipih Turbellarians dan 26 Monothalmous foraminifera) juga meningkat selama pemaparan logam di dalam ketidakhadiran predator dan kompetisi (Luoma 1995). 2.7 Penggunaan Spesies tunggal dalam Bioassai. Bioassai dengan menggunakan spesies tunggal telah secara luas digunakan dalam studi ekotoksikologi yang mungkin disebabkan adanya keseimbangan antara keuntungan dan kerugiannya. Beberapa keuntungan dengan bioassai tersebut adalah relatif mudah untuk diatur/ dikontrol dan dapat dilakukan standarisasi. Respon yang dihasilkan merupakan gambaran dari relevansi ekologinya. Standarisasi dari metodologi memungkinkan untuk memberikan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, dapat dilakukan pengulangan, dan pengumpulan data relatif cepat. Bermacam-macam spesies telah digunakan dalam bioassai jenis yang tunggal. Metodologi yang telah terstandardisasi telah memungkinkan penggunaan jumlah spesies yang lebih kecil. Bioassai dengan spesies tunggal telah dirancang dengan baik sehingga dapat secara jelas menguji suatu hipotesis yang akan digunakan untuk mencari penyebab toksisitas dari suatu bahan yang dicurigai (Luoma 1995). Idealnya, bioassai dapat digunakan untuk memprediksi kualitas dari lingkungan yang diperlukan bagi manajemen pencemaran logam. Penggunaan teknik bioassai dapat dikatakan paling rumit guna memprediksi toksisitas suatu bahan polutan tertentu pada sebuah komunitas atau digunakan untuk melindungi komunitas biota tertentu. Seluruh prediksi yang dibuat dari hasil bioassai dapat melindungi ekosistem, jika spesies yang digunakan dalam bioassai lebih sensitif dibandingkan konsentrasi logam dimana komunitas tersebut berada. Tetapi kondisi tersebut hampir dipastikan sulit untuk tercapai, dikarenakan sensitifitas dari masing-masing populasi dalam sebuah komunitas sangat bervariasi dan masih belum banyak diketahui (Luoma 1995). 27 2.8 Beberapa Alasan Pentingnya Kajian di Sedimen. Sedimen adalah matrik heterogen yang tersusun dari detritus, bahan organik, dan anorganik. Komposisi matrik sedimen mungkin berupa batuan, serpihan dari cangkang, mineral, detritus tanaman, ekskresi hewan, dan substansi lainnya yang dihasilkan dari aktivitas antropogenik (Power and Chapman 1992; Maher et al. 1999). Kandungan air interstial atau air pori-pori sedimen dapat menyusun hingga 32 % dari volume sedimen itu sendiri. Berdasarkan ukuran, partikel sedimen terdiri atas lumpur (silt) hingga pasir (< 63 µm) dan partikel batuan (> 1mm). Umumnya fraksi partikel sedimen yang lebih halus dihasilkan dari proses erosi pada sistem aliran sungai dan akan tersuspensi di sebagian besar badan air yang hanyut terbawa hingga konsentrasinya mencapai hampir 1 mg/l. Partikel halus tersebut mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi logam terlarut dan kontaminan organik dari badan air untuk kemudian diendapkan di dasar perairan. Fraksi lumpur dan lempung (clay) mempunyai area permukaan spesifik yang sering dilapisi oleh besi dan mangan oksida, dan organik yang mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi kontaminan organik dan logam berat. Adapun kemampuan adsorpsi dari partikel halus tersebut sangat dipengaruhi oleh pH, salinitas, dan kimia permukaan dari partikel itu sendiri (Maher et al. 1999). Secara ekologi keberadaan sedimen merupakan komponen penting penyusun habitat akuatik dan berfungsi sebagai reservoir alami dari berbagai macam kontaminasi (Louma and Ho 1993). Sedimen dapat menyediakan tempat sebagai sumber untuk mendapatkan makanan dan perlindungan bagi sebagian biota akuatik (Maher et al. 1999). Disamping itu Novotny and Olem (1994) menyebutkan sedimen mempunyai kapasitas alami untuk menurunkan toksisitas dari kontaminasi logam berat melalui mekanisme pembentukan ligan pada air interstitial, adsorpsi, dan presipitasi. Kontaminan organik yang kurang polar dan elemen renik yang toksik akan berikatan kuat dengan bahan partikulat dan terakumulasi di sedimen pada umumnya akan memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dalam fase terlarutnya. Oleh sebab itu kontaminan dapat tertahan dan terakumulasi dalam 28 sedimen dalam jangka waktu yang lama yang dapat berfungsi sebagai sumber kontaminasi sekunder ke kolom air maupun air interstitial melalui proses kesetimbangan selama reaksi penyerapan maupun pelepasan kembali. Berbagai macam biota akuatik dapat dengan mudah terpapar secara langsung maupun tidak oleh kontaminan di sedimen. Hewan yang terpapar mungkin berasal dari proses mencerna partikel detritus sedimen sebagai makanannya atau kontak langsung selama pencarian makanannya. Hewan predator yang memiliki tingkatan trophic lebih tinggi secara tidak langsung juga terpapar oleh kontaminasi polutan dari sedimen (Louma and Ho 1993; Novotny and Olem 1994). 2.9 Bioassai Sedimen Sejak diketahuinya buangan dari limbah toksik ke air permukaan menimbulkan pengaruh merugikan terlebih dahulu dan mudah terlihat secara akut, maka perhatian kontaminan yang ada di kolom air lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan pengaruh kontaminasi di sedimen. Umumnya penelitian mengenai toksisitas sedimen hanya sebatas kajian kompleksitas antara antara kolom air dengan sedimen dan interaksi dari biota yang mengadakan kontak dengan sedimen (Giezy and Hoke 1989). Sejalan dengan perkembangan jaman, maka pengetahuan mengenai toksikologi sedimen mulai mendapat banyak perhatian, ketika mulai adanya aktivitas pengerukan dan dampaknya terhadap terhadap makhluk hidup lainnya (Burton and Ingersoll 1994). Pengertian toksisitas sedimen secara luas dapat didefinisikan sebagai adanya perubahan ekologi maupun biologi yang disebabkan oleh kontaminasi sedimen. Secara operasional, toksisitas sedimen didefinisikan sebagai respon yang merugikan yang dapat diamati pada biota uji yang dipaparkan oleh sedimen yang terkontaminasi. Pengaruh merugikan ini dapat dilihat pada hewan uji ketika dimasukkan dalam sedimen yang relatif belum terkontaminasi, pada penambahan kontaminan tertentu pada sedimen (spiked), atau ketika organisme bentik tersebut dipaparkan oleh bahan kontaminan yang berkonsentrasi tinggi di sedimen secara 29 alami (mesocosm) (Luoma and Ho 1993). Giezy and Hoke (1989) menambahkan ada 3 faktor yang diperlukan untuk penilaian kontaminasi polutan di sedimen yaitu 1). Bahan kontaminan apa saja yang ada di sedimen, 2). Seberapa besar tingkat kontaminasi dari bahan polutan tersebut, dan 3). Apakah kontaminan tersebut berpotensi membahayakan bagi kehidupan biota akuatik atau tidak. Bioassai/ uji toksisitas sedimen adalah suatu pendekatan yang relatif baru dikembangkan untuk memprediksi besarnya resiko ekologi dari tingginya bahan toksik yang terakumulasi pada sedimen. Pengujian sedimen dikembangkan oleh karena adanya perhatian pada awal tahun 1970-an dari aktivitas pengerukan lumpur guna dibuang pada perairan terbuka yang dilakukan oleh USEPA-USACOE pada tahun 1977. Uji bioassai dengan menggunakan sedimenpun berkembang secara pesat pada masa 5 hingga 10 tahunan setelah adanya aktivitas pengerukan tersebut. Adanya modifikasi dari uji bioassai air yang telah dikembangkan terlebih dahulu, maka banyak agensi lingkungan turut berpatisipasi dalam pengembangan guideline uji bioassai dengan sedimen hingga sekarang ini. Hal ini didasari pada pemahaman tentang kompleksitas dari bahan polutan yang terikat pada sedimen yang saling berinteraksi guna menghasilkan informasi tentang potensi toksisitas bahan polutan tersebut ke biota akuatik. Karena bioavailability dari masing-masing polutan yang terikat pada sedimen belum dipahami secara baik, maka perlu pengujian toksisitas dan bioakumulasi secara terkontrol dalam laboratorium. Sasaran dari suatu uji toksisitas sedimen adalah untuk menentukan apakah sedimen yang ada berpotensi/ membahayakan kepada organisma akuatik maupun manusia yang berhubungan/ kontak secara langsung dengan sedimen atau tidak. Dari penjelasan di atas dapat diketahui beberapa manfaat dari uji toksisitas sedimen yaitu 1). Untuk menentukan hubungan antara efek toksisitas dan bioavailability dari suatu bahan polutan tertentu atau spesifik (misalnya uji spiked sedimen), 2). Untuk mengkaji adanya interaksi dari beberapa zat polutan, 3) Pengkajian atau evaluasi resiko dari material sedimen yang telah dilakukan pengerukan, 4). Rangking area/ tempat yang diperlukan untuk tindakan clean up, dan 5). Pemantauan efektivitas dari tindakan remediasi dan menejemen yang telah dilakukan (Burton and Ingersoll 1994). 30 Dalam uji bioassai sedimen, pengkategorian sampel sedimen itu dinyatakan toksik atau nontoksik dapat secara umum dapat dilihat di Long et al. (1998). Menurut Long et al. (1998) yang didasarkan pada tingkat kelulushidupan (survival) dari biota uji Amphipoda menunjukkan kategori non toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya 96-96,5%, toksisitas ringan dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya 76,5-83%, toksik sedang dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya <76%, dan sangat toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya < 20%. Namun Swartz et al. 1995 dalam Long et al. (1998) menambahkan kategori non toksik di sedimen ketika biota uji Amphipoda mortalitasnya <13%, meragukan jika mortalitasnya 13-24%, dan toksik ketika mortalitasnya >24%. 2.10 Bioavailability Logam di Sedimen Bioavailability dari kation logam penting untuk diketahui guna pengembangan kriteria kualitas sedimen dan manajemen kontaminasi sedimen (Besser et al. 1995). Mekanisme dari geokimia yang berpengaruh pada bioavailability logam di sedimen masih belum dapat dipahami dengan baik sebagai pengaruh spesiasi logam dalam bentuk terlarut. Kemajuan dalam teknik analisis masih mengandung beberapa kelemahan dalam memprediksi bioavailability logam di sedimen (Luoma and Jenne 1976). Studi bioassai dari ketersediaan logam di sedimen biasanya diprediksi dari hewan yang dipaparkan dengan sedimen secara langsung maupun dari aktivitas mencerna partikel sedimen itu sendiri (Besser et al. 1995). Dari studi yang dilakukan di lapangan menunjukkan toksisitas dan bioakumulasi logam dipengaruhi oleh faktor geokimia di sedimen. Konsentrasi logam di hewan bentik umumnya berkorelasi baik dengan konsentrasi logam yang ada di sedimen. Sebagai contoh, normalisasi konsentrasi Fe pada sedimen oksik mengijinkan prediksi dari bioavailability logam Pb dan As pada remis di muara Sungai Clark Fork (Luoma 1995). Tessier et al. (1976) dalam Luoma (1995), barubaru ini menunjukkan suatu mekanisme yang bisa menjelaskan hasil tersebut. Aktivitas logam Cd di dalam air dapat diperkirakan dengan memodelkan partisi Cd 31 dari Fe oksida dan bahan organik dalam sedimen oksik (mengandung oksigen). Bioakumulasi Cd oleh filter feeder air tawar berkorelasi baik dengan penghitungan aktivitas ion Cd bebas. Peran fraksi yang dapat dipertukarkan (exchangeable) dari besi monosulfida (FeS) dan mangan monosulfida (MnS) dalam penentuan bioavailability dari logam di sedimen anaerob telah dipelajari secara intesif. Bentuk reduksi dari sulfat secara langsung dihasilkan oleh bakteri pereduksi dan tidak langsung dari aseptor elektron di dalam bakteri pengoksidasi bahan organik, merupakan pembentuk utama dari sulfida di sedimen dalam bentuk FeS (amorphous FeS, mackinawite, greigite, pyrhotite, atau troitolite), MnS, FeS2(pyrite), atau organik sulfida. Diantara senyawa tersebut FeS dan MnS merupakan fraksi yang paling labil dan secara operasional didefinisikan sebagai AVS (acid volatile sulfide). Karena FeS dan MnS mempunyai produk kelarutan yang tinggi (Ksp) daripada logam sulfida lainnya (MeS), maka logam yang bersangkutan dapat menggantikan posisi Fe dan Mn untuk membentuk MeS yang tidak larut sesuai dengan reaksi di bawah ini: Me2+ +FeS(s) Me2+ +MnS(s) MeS(s) + Fe2+ MeS(s) + Mn2+ Bentuk MeS ini dapat berupa fase MeS murni atau dalam sebuah padatan terlarut membentuk copresipitasi dengan adsorpsi FeS. Sebagai konsekuensi dari reaksi di atas, ketika konsentrasi dari AVS berlebih, maka logam yang bersangkutan nampaknya tidak akan toksik (Chapman et al. 1998). Kondisi dasar perairan yang anaerob dengan konsentrasi asam sulfida yang tinggi, umumnya acid volatile sulphide/ AVS berfungsi sebagai normalisasi ikatan antara logam berat dengan MnS dan FeS dalam bentuk tidak larut (MeS). Beberapa proses dilepaskannya logam berat dari dasar sedimen ke kolom air seperti yang dilaporkan oleh Chapman et al. (1998), DiToro et al. (1990), dan Ankley et al. (1996) mengakibatkan hilangnya kekuatan ikatan antara kation logam berat dengan kompleks besi atau mangan sulfide. Bentuk AVS ini bersifat tidak stabil dari adanya pengaruh fisik, kimia, maupun biologi, khususnya adanya peningkatan atau perubahan dalam potensial redoks (Eh) atau oksidasi. Konsentrasi AVS pada 32 permukaan sedimen secara spatial dan temporal sangat berfluktuasi dalam mencerminkan perbedaan kondisi redoks, temperatur, input bahan organik. Perubahan musim pada AVS yang dapat mecapai dua kali lipat perbedaannya pada sedimen air tawar (Besser et al. 1995). Beberapa contoh proses yang dapat menyebabkan peningkatan potensial redoks atau oksidasi di perairan antara lain: 1). Perubahan laju pengendapan partikel dan reduksi sulfat oleh mikroba secara spasial dan temporal. 2). Bioturbasi dan bioirigasi yang berasal dari sarang persembunyian organisme bentik makroavertebrata yang dihasilkan dari aktivitas ekskresi, respirasi, maupun pergerakan dari biota air itu sendiri. 3). Resuspensi sedimen yang disebabkan oleh banjir, badai, pergantian pasang surut, arus air, maupun aktivitas pengerukan. Adanya proses tersebut di atas dapat menyebabkan AVS akan mudah teroksidasi dan bersifat volatile/ mudah menguap (Chapman et al. 1998). Oksidasi dari sulfida dapat menghasilkan kemampuan melarutkan dan meningkatkan bioavailability dari logam toksik (Besser et al. 1995). Sehingga kation logam divalen (Me2+, Me (H2O)x2+ (Chapman et al. 1998), atau Me(OH)+ (Allen 1993) akan mudah dilepaskan ke dalam air pori-pori dan kolom air sehingga bersifat toksik ke sebagian besar biota akuatik. Geokimia pada sedimen dapat mempengaruhi hasil uji bioakumulasi dan toksisitas logam di sedimen. Konsentrasi rasio molar dari logam yang terekstrak secara simultan dengan HCl 0,1 N atau yang disebut sebagai SEM dengan AVS, sering digunakan untuk memprediksi toksisitas logam dalam sedimen air tawar (Besser et al. 1995). Sebagai contohnya adalah adanya toksisitas dari logam Cd dan Ni pada Amphipoda di dalam sedimen yang dapat didekati dengan perbandingan/rasio SEM dan AVS. Ketika konsentrasi SEM:AVS <l, toksisitas dari sedimen akan berkurang, begitu juga konsentrasi logam pada air pori-pori sedimen. Adapun sebaliknya ketika SEM:AVS > l, maka toksisitas semakin meningkat (Ankley et al. 1996; DiToro et al. 1990). Sayangnya konsentrasi AVS ini sangat mudah berubah ketika sampling sedimen dilakukan dan dapat menghasilkan bias dalam intepretasinya (Chapman et al. 1998; Luoma 1995). Disamping itu tidak selalu dari konsentrasi SEM:AVS > 1 dapat menyebabkan peningkatan toksisitas, karena banyaknya fase pengikatan logam yang terjadi di dalam sedimen. Logam yang 33 berhubungan dengan AVS mungkin dilepaskan dari sedimen ketika adanya banjir, aktivitas pengerukan, oksidasi dan sebagainya (Prica et al. 2007) Partikulat karbon organik (POC) mempunyai afinitas pengikatan yang kuat dengan logam. Kontribusi dari POC ini akan kuat, ketika sedimen dalam kondisi aerob, atau tidak ada/ sedikit AVS, atau konsentrasi dari logam lebih besar dari AVS. Dalam sedimen aerob, besi dan mangan oksihidroksida (FeOOH dan MnOOH) dan POC adalah fase pengikat dominan logam di sedimen. Ikatan antara besi atau mangan oksihidroksida dengan logam dapat dilihat pada reaksi di bawah ini: FeOOH + Me 2+ = FeOOMe+ + H+ {Me2+} = FeOOMe+) (H+) eψfirt Dimana ψ adalah potensial permukaan (volts), F adalah konstanta faraday, R adalah konstanta gas molar (8,314 jmol-1.K-1) dan T adalah temperatur absolut (Kelvin). Karena substansi non humik (misalnya: karbohidrat, protein, as. amino, dan lemak) mempunyai waktu tinggal yang relatif singkat (mudah terdekomposisi oleh mikroba), maka komponen utama dari POC adalah substansi humik. Ikatan logam dengan substansi humik dapat terjadi pada disosiasi proton monodentat atau bidentat dari substansi humik yang dapat digambarkan dengan reaksi di bawah ini: RAHz + Me 2+ {Me2+}= ( RAMe z+1 + H+ RAMe z+1) (H+)e4wz Z adalah muatan molekul dari asam humik, w adalah faktor interaksi elektrostatis yang berhubungan dengan kekuatan ion, dan (i) adalah konsentrasi dari spesies i. Disamping itu selain dari substansi humik, POC sendiri juga dapat berikatan dengan logam seperti pada reaksi di bawah ini: Me2++ POC = POC-Me (POC-Me) = (POC-Me)0 Dimana (POC-Me) adalah normalisasi karbon organik pada ikatan konsentrasi logam dengan POC di sedimen. Sedangkan (POC-Me)0 adalah kapasitas penyerapan (Chapman et al. 1998). 34 2.11 Geokimia Sedimen Geokimia mempengaruhi pemaparan biologi dari kontaminan elemen renik (trace element) melalui pengaruhnya pada bioavailability. Pengaruh logam dalam larutan ditentukan dengan konsentrasi logam total dan spesiasi dari logam. Keduanya berbeda dalam waktu dan ruang di dalam lingkungan akuatik. Konsentrasi logam dalam bentuk terlarut berbeda besarnya diantara danau, sungai, laut terbuka/samudra, pesisir pantai, dan muara. Kontribusi dari aktivitas anthropogenik akan meningkatkan perbedaan kontaminasi logam dari ekosistem alaminya (Chapman et al. 1998). Sejumlah penelitian telah dilakukan guna melihat pentingnya pengaruh spesiasi terhadap pengambilan logam oleh organisme atau toksisitasnya. Kondisi geokimia yang menentukan spesiasi logam dapat bervariasi secara alami. Beberapa bentuk atau spesies dari unsur logam tidak dapat diprediksi dengan baik toksisitas maupun pengambilannya oleh organisma akuatik. Sebagai contoh adalah bentuk oksida dari Se (VI), kompleks dari Cu seperti Cu-EDTA, dan Cd-chloro-compleks. Bentuk spesies logam lainnya yang sangat bioavailable umumnya sebanding dengan proporsi ion logam bebas/ kation dalam bentuk terlarut. Bentuk ion logam bebas tersebut biasanya mengatur banyaknya logam yang bisa diambil oleh organisme maupun toksisitasnya (Luoma 1995). Hasil dari bioassai sedimen dipengaruhi oleh manipulasi sedimen selama tahap pengambilan, penyimpanan, dan percobaan. Standardisasi prosedur penanganan untuk sedimen telah tersedia dalam ASTM, tetapi faktor geokimia dapat mempengaruhi hasil dari bioassai sedimen walaupun prosedur dalam buku metode standar tersebut telah diikuti (Luoma 1995). Sedimen secara alami adalah sesuatu yang terbuka, dinamis, dan sistem biogeokimia yang terstruktur. Suatu endapan sedimen yang alami terdiri atas bagian oksik pada lapisan atasnya dan anoksik pada bagaian bawahnya. Dalamnya lapisan oksik ditentukan oleh suatu keseimbangan antara sedimentasi bahan organik yang reaktif, konsumsi oksigen oleh mikroba selama proses pembusukan materi organik, dan kemampuan penetrasi oksigen ke dalam sedimen. Secara vertikal kedalaman zone oksik sedimen bervariasi dari beberapa milimeter di dalam tingginya material organik 35 di sedimen, hingga sepuluh meter di beberapa lingkungan yang berpasir atau oligotrofik. Pada kedalaman sedimen dimana kebutuhan akan oksigen mulai melebihi dari oksigen yang tersedia, maka pada tempat tersebut terjadi suatu batas kondisi dari status teroksidasi menjadi tereduksi. Zonasi dari batas tersebut ditentukan oleh proses perombakan bahan organik oleh mikroba (Chapman et al. 1998). Perbedaan antara sedimen dalam bentuk teroksidasi dan tereduksi berpengaruh terhadap kimia dari logam telah diketahui lebih baik. Di dalam sedimen yang teroksidasi, oksida dari Fe dan Mn membentuk padatan yang pada bagian permukaannya bersifat reaktif dengan banyak unsur logam berat. Logam umumnya berikatan dengan padatan dari oksida Fe dan Mn dan ligan organik. Di dalam kondisi sedimen yang anoksik akan melarutkan bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ke dalam air pori-pori sedimen. Sebagai gantinya adalah sulfida yang dominan yang akan berikatan dengan logam membentuk (MeS) yang tidak larut. Secara alami, sedimen oksik penting untuk mendukung kehidupan makrofauna dan meiofauna, walaupun zone oksik hanyalah suatu lapisan tipis. Secara umum makro dan meiofauna membutuhkan oksigen untuk metabolisme mereka. Spesies yang tergolong infaunal dan epifaunal mempunyai strategi khusus dalam pemenuhan oksigennya di dalam sedimen. Banyak organisme yang secara konsisten kontak dengan permukaan zona oksik dari sedimen. Hewan yang lainnya mengangkut air yang telah teroksigenasi masuk ke dalam sedimen untuk menciptakan miniatur zone oksik dengan zonasi redoks pada skala milimeter (Luoma 1995). Pengumpulan sedimen dan memindahkannya pada suatu ruang uji bioassai memerlukan manipulasi dari sistim sedimen. Sedimen yang tereduksi bisa tercampur dengan sedimen yang oksik selama koleksi. Proporsi keduanya mungkin berbeda diantara contoh/cuplikan, jika koleksi dari suatu kedalaman yang telah ditetapkan. Sedimen yang semula oksik di dalam ekosistem. mungkin akan berubah menjadi tereduksi selama penyimpanan. Juga sebaliknya, pada zona tereduksi pada sedimen dapat menjadi teroksidasi selama tahap manipulasi. Kondisi ini merupakan suatu kejadian yang umum, karena bioassai dilakukan di bawah kondisi yang teroksidasi, 36 karena suatu persyaratan umum dari makrofauna untuk membutuhkan oksigen selama pengujian berlangsung (Luoma 1995) . Standard penanganan sedimen untuk bioassai, umumnya tidak terlalu mementingkan status kondisi sedimen apakah dalam bentuk tereduksi atau teroksidasi. Studi yang realistis yang membandingkan respon toksisitas pada sampel sedimen dengan perbedaan prosedur atau perbedaan kondisi redoks, merupakan suatu kebutuhan segera di dalam toksikologi sedimen. Apapun pilihan dalam sampling dan manipulasi sedimen, reaksi kimia yang akan terjadi tergantung pada bagian awal dari komponen reaktan, ketersediaan oksidan (termasuk O2), dan waktu. Produk baru (seperti Fe atau Mn oksida) dapat dengan cepat terbentuk dan produk yang ada dapat berubah. Jika bentuk dari logam berubah, hasil bioassai mungkin akan terpengaruh. Simulasi bioassai sedimen secara alami meniru karakteristik geokimia dari suatu mikrohabitat, dimana sebuah spesies kontak dengan sedimen. Sayangnya karakteristik dari mikrohabitat dari banyak spesies penting masih belum diketahui dengan baik (Luoma 1995). 2.12 Penyimpanan Sedimen Penyimpanan sedimen merupakan salah satu potensi sumber penting dari bias. Umumnya para peneliti menyetujui bahwa waktu simpan dapat mengubah status toksisitas sedimen. Malueg et al, 1986 dalam Luoma (1995) menunjukkan sedimen air tawar yang ditambah dengan logam Cu dan toksisitasnya di pantau selama 25 hari dengan biota uji Daphnia magna menghasilkan adanya peningkatan toksisitas pada minggu pertama dan toksisitasnya bervariasi hingga akhir dari 25 hari. Peneliti tersebut juga melaporkan suatu pengurangan yang besar dari toksisitas Cu dalam sedimen. Namun studi yang lain yang dilakukan oleh Carr et al. (1989) dalam Luoma (1995) melaporkan tidak ada perubahan toksisitas pada hewan Polychaeta ketika sedimen tersebut dibekukan yang kemudian dicairkan dengan sedimen yang masih segar/ baru. Udara kering mungkin mengakibatkan oksidasi parsial dari logamsulfida, menurunkan pH, dan mengubah komposisi bersifat ion di air pori sedimen. Penyimpanan yang direkomendasikan adalah lima hingga tujuh hari direfrigerator. 37 2.13 Air Pori-pori sedimen dan Elutriate Banyak bioassai sedimen memaparkan logam kepada organisma dalam bentuk terlarut. Umumnya uji sedimen dalam bentuk fraksi terlarut digunakan untuk identifikasi kemungkinan toksikan yang menyebabkan gejala toksisitas melalui serangkaian percobaan dari prosedur evaluasi identifikasi toksisitas/ TIE (Ankley et al. 1991). Hewan yang digunakan dalam bioassai umumnya menggunakan stadium awal dari organisme bentik makroavertebrata. Keuntungan dengan bioassai ini adalah pertimbangan pada bagian yang paling sensitif dari suatu siklus hidup hewan yang dipaparkan pada jangka waktu tertentu dan relatif realistis secara alaminya. Logam dipisahkan dari sedimen dalam bentuk terlarut dengan cara ekstraksi air pori-pori atau elutriate sedimen dengan air. Masalah dari pengaruh alami sedimen dari cara tersebut di atas adalah ukuran butir sedimen yang tidak mempengaruhi bioassai ketika kontaminan tersebut dipisahkan dari sedimen. Metode pemisahan air pori-pori sedimen umumnya diakukan dengan cara sentrifugasi, penekanan, filtrasi, atau kombinasi dari cara tersebut yang semuanya digunakan untuk memperoleh air pori-pori. Alat insitu dialisis sampler adalah yang paling sedikit memberikan gangguan pada sedimen dan gradients redoksnya, tetapi volume yang harus dikumpulkan untuk uji biasanya menjadi masalah untuk metode ini. Untuk air elutriate umumnya disajikan dengan cara perbandingan antara sedimen dan air (1:4) yang dihomogenisasi dan setelah itu dibiarkan agar terjadi pengendapan selama 1 jam. Air elutriate tersebut kemudian dituang untuk disaring atau sedimen tersebut tidak ikut dipindahkan (Ankley et al. 1991). Perubahan kimia dari logam renik akan terjadi selama pemisahan air dari sedimen, terutama jika sampel sedimen berisi campuran dari sedimen dalam bentuk tereduksi dan terdioksidasi. Jika air pori-porinya yang anoksik berisi Fe dan Mn di dalam larutan yang terpapar O2 selama pemisahan dari sedimen, atau selama uji bioassai, maka akan terjadi endapan dari Fe oksida secara cepat. Beberapa elemen renik yang dapat mengadakan co-presipitasi dengan Fe oksida yang secara langsung dapat mempengaruhi Toksisitas. Hasil yang sama diperoleh ketika menyaring air 38 pori-pori, hilangnya toksisitas logam mungkin terjadi ketika logam berinteraksi dengan partikel koloid atau endapan partikulat pada saat pemisahan (Luoma 1995). Pekanya air pori yang anoksik yang berpengaruh pada perubahan geokimia akan menciptakan adanya perselisihan yang serius antara kebutuhan biologi dan geokimia dalam persyaratan uji bioassai dengan menggunakan air pori-pori. Makrofauna memerlukan O2 untuk kesesuaian hidup dari suatu lingkungan uji, tetapi gambaran dari reaksi di atas dapat mengakibatkan perubahan sifat alami dari air poripori ketika mereka teroksidasi. Karakteristik redoks dari sampel sedimen yang asli dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda hasilnya dari bioassai air pori-pori. Bioassai dari sedimen dalam bentuk tereduksi kemungkinan dapat melemahkan potensi toksisitas logam. Permasalahan lainnya yang berkenaan dengan air pori-pori yang harus dipelajari antara lain: pengaruh filtrasi pada keseimbangan koloid, pengaruh aerasi pada air pori-pori terhadap logam sulfida. Tingginya konsentrasi dari metabolit toksik seperti amonia yang dapat terakumulasi pada air pori-pori sedimen dalam kurun waktu 24 jam, jika sedimen tersebut disimpan sebelum air pori-pori tersebut dipisahkan (Luoma 1995). Prosedur elutriasi yang mencampur sedimen dalam bentuk tereduksi dengan air yang teroksidasi memiliki permasalahan serupa dengan air pori-pori. Selama elutriasi, logam bisa mengendap dengan sulfida yang reaktif dari air pori-pori, kemudian mengalami remobiliisasi sebagai sulfida yang teroksidasi. Logam yang teremobilisasi akan mengendap dengan bentuk baru Fe oksida jika air yang tertinggal masih dalam status teroksidasi. Elutriasi mungkin mensimulasikan pembuangan dari hasil pengerukan, tetapi tidak menggambarkan pemaparan terhadap organisme dari adanya kontaminasi yang ada di dalam sedimen alami. Umumnya elutriasi yang paling sedikit diinginkan dari pendekatan bioassai (Luoma 1995). Perbandingan hasil uji bioassai dari metode ekstraksi air pori-pori sedimen dan elutriate pada ikan fathead minnow (Pimephales promelas), Cladocera (Ceriodaphnia dubia), Amphipoda (Hyalela azteca), dan cacing Oligochaeta (Lumbriculus variegatus) menunjukkan bahwa air pori-pori sedimen lebih toksik dibandingkan dengan air elutriate (Ankley et al. 1991). 39 2.14 Intepretasi Data Kualitas Sedimen Triad (SQT) Kontaminasi logam di lingkungan akuatik biasanya terjadi sebagai hasil dari tingginya aktivitas antropogenik yang berada di daerah tangkapan air tersebut. Suatu prosedur yang umum digunakan untuk evaluasi kerusakan akibat pencemaran seperti itu, biasanya melibatkan tiga komponen studi/kegiatan yaitu analisis kimia, studi ekologi yang biasanya dihubungkan dengan perubahan pada struktur komunitas biota akuatik, dan uji toksisitas (Canfield et al. 1994; Berhard 2000; Long and Chapman 1985). Studi dengan menggunakan analisis kimia hanya menunjukkan adanya kontaminasi logam di air, sedimen, dan biota dari banyak ekosistem, tetapi studi tersebut masih belum cukup membuktikan efek yang merugikan sedang terjadi akibat adanya kontaminasi tersebut. Besarnya konsentrasi, spesiasi geokimia, dan proses biologi yang berpengaruh terhadap bioavailability logam kadang-kadang melalui mekanisme tertentu yang tidak secara penuh dipahami. Meskipun proses bioavailability dari suatu logam berat telah diketahui dengan baik, prediksi dari adanya pengaruh merugikan dapat menjadi sangat komplek. Beberapa studi yang telah dilakukan di lapangan menunjukkan adanya hubungan antara besarnya kontaminasi logam terhadap perubahan ekologi perairan. Namun sering kali, kesimpulan yang dibuat masih mengandung unsur ketidakpastian bahwa hanya logamlah yang menyebabkan gangguan ekologis,dikarenakan kompleksitas dari efek yang ditimbulkan oleh bahan toksikan lainnya. Oleh sebab itu dalam menejemen dan penilaian toksisitas dari unsur logam renik biasanya diperlukan pendekatan studi yang terintegrasi, baik yang dilakukan dilapangan maupun di laboratorium yang saling mendukung (Luoma 1995). Kualitas sedimen triad merupakan satu pendekatan yang terintegrasi dari analisis kimia, observasi biologi (struktur komunitas), dan eksperimem biologi (uji bioassai) guna menentukan perusakan lingkungan akibat polusi. Analisis kimia di sedimen digunakan untuk mengukur besarnya kontaminasi yang terjadi di lapangan, uji bioassai digunakan untuk mengukur pengaruh yang ditimbulkan dari suatu polutan dalam kondisi yang terkontrol/ terstandarisasi, dan penilaian perubahan dari biota yang residen (diwakili oleh komunitas bentik makroavertebrata) digunakan untuk 40 pengukuran kondisi riil di lapangan (melalui observasi). Intepretasi hasil dari penggabungan komponen triad tergantung pada masing-masing bobot bukti (weight of evidence) yang sering didefinisikan sebagai gambaran kesimpulan didasarkan pada keseluruhan informasi yang tersedia dan hubungan/interelasi didalamnya. Adanya bukti tersebut harus dievaluasi, diorganisir dalam beberapa mode yang saling berkaitan dan dapat dijelaskan, sehingga evaluasi dari keseluruhan bobot bukti tersebut dapat dibuat. Intepretasi hasil dari bobot bukti tersebut di atas dapat berbentuk rangkuman indek yang digambarkan dalam bentuk diagram radar, matrik keputusan tabulasi, dan analisis multivariat. Intepretasi dengan menggunakan rangkuman indek biasanya memerlukan sebuah tahap normalisasi dari ketiga komponen triad dari sebuah nilai referensi (rasio terhadap reference site) guna menyamakan bobot bukti untuk dapat digambarkan pada sebuah grafik radar. Adanya perbedaan ukuran dan bentuk mengindikasikan adanya perbedaan kesimpulan yang dapat disederhanakan ke dalam matrik tabulasi seperti pada Tabel 2 (Chapman 1996). Masalah utama dari pendekatan rangkuman indek ini adalah: 1). Hilangnya substansi dari informasi yang ada selama konversi dari data multivariat ke dalam satu indek secara proporsional, termasuk informasi yang berhubungan secara spatial, 2). Signifikansi dari pengaruh secara spatial tidak dapat ditentukan secara statistik. Adapun keuntungan dengan penyajian data dengan menggunakan metode tersebut adalah keserdehanaan dalam intepretasi dan secara visual dapat dengan mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan yang bukan berlatar belakang peneliti (Chapman 1996). 41 Tabel 2. Intepretasi data bioavailability sedimen dengan menggunakan konsep Triad dalam bentuk matrik tabulasi (Chapman 1996). Kontaminasi Toksisitas + + Perubahan Komunitas + - - - + - - - + - Kemungkinan Kesimpulan Kuatnya petunjuk degradasi yang disebabkan oleh polusi Kuatnya bukti berlawanan dengan degradasi yang disebabkan polusi + Aksi tidak diperlukan Adanya kontaminasi tidak bioavailable Aksi tidak diperlukan Kontaminasi tidak terukur atau kondisi berpotensi untuk menyebabkan degradasi 1). Chek kembali analisis kimia, ferivikasi hasil tes toksisitas, pastikan tidak disebabkan oleh modifikasi faltor lainnya mis: pengaruh ukuran butir sedimen 2). Lakukan tindakan lebih lanjut ,fokuskan pada studi TIE. - + Perubahan komunitas tidak disebabkan dari kontaminan toksik + Kemungkinan Aksi/ Keputusan Remediasi tergantung pada tingkat kerusakan dan substansi kimia yang bertanggung jawab. Identifikasi toksisitas sedimen (TIE) dapat digunakan untuk identifikasi kontaminan yang dipentingkan. Kontaminan toksik bersifat bioavailable tetapi pengaruh insitu tidak dapat ditunjukkan. Aksi tidak diperlukan disebabkan oleh kimia toksik. Aksi yang lain mungkin diperlukan untuk alasan lainnya misalnya perubahan fisik dari habitat. 1). Cek kembali hasil dari analisis bentik, pertimbangkan untuk tambahan pada analisis data. 2). Jika cek kembali mengindikasikan adanya perubahan, perlakuan/ remediasi masih 42 - + + Kontaminan toksik tidak dapat terukur yang menyebabkan degradasi + - + Kontaminan tidak bioavailable, atau perubahan komunitas tidak disebabkan oleh kimia toksik memungkinkan. 3). Jika cek kembali menunjukkan tidak adanya perubahan, minimisasi atau menurunkan input untuk mencegah perubahan dimasa yang akan datang. 1). Cek kembali analisis kimia, pertimbangkan analisis tambahan dan/ atau TIE; pastikan toksisitas dan perubahan tidak disebabkan oleh modifikasi faktor lainnya (misalnya: pengaruh ukuran butir). 2). Beberapa aksi tergantung pada di atas. 1). Konfirmasi / verifikasi hilangnya toksisitas, teliti alasan adanya perubahan. 2). Beberapa aksi tergantung di atas. Penggunaan konsep triad sebagai bahan rujukan dalam remediasi sedimen dari suatu tipe badan air yang telah terkontaminasi oleh polutan telah dijelaskan oleh Long and Wilson (1997). Jika salah satu unsur dari komponen di bawah ini terpenuhi, maka sedimen tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam menetapkan prioritas tempat yang akan dilakukan remediasi. Komponen penilaian sedimen tersebut secara rinci dapat dilihat di bawah ini: 1. Satu atau lebih dari individu kimia telah melebihi nilai ERM dan PEL atau beberapa guideline kualitas sedimen yang telah tersedia. 2. Relatif tingginya dari nilai rata-rata pembagian dari ERM (misalnya > 1) 3. Tingkat kelulushidupan dari hewan Amphipoda lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di bagian kontrol dan umumnya kurang dari 80% dibandingkan kontrol. 43 4. Relatif rendahnya kekayaan spesies dan keberadaan hewan Amphipoda dan Crustacea jarang atau tidak ada. 5. Adanya bioakumulasi dari toksikan pada ikan yang memiliki mobilitas yang rendah (resident) atau pada hewan Moluska yang diamati pada suatu area yang terpilih.