Evaluasi Kontaminasi Logam di Sedimen Dari

advertisement
11
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Logam Berat.
Logam berat secara umum didefinisikan sebagai unsur logam yang
mempunyai densitas lebih tinggi dari 5 g mL-1, sebagai contoh, Fe, Cu, Pb, Cd, Hg,
Ni, Zn, dan Mn. Kira-kira 53 dari 90 unsur alami yang termasuk dalam kategori
logam berat (Mamboya 2007). Banyak dari unsur-unsur tersebut seperti: Cu, Mn, Fe,
dan Zn, bersifat mikrohara yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
makhluk hidup, namun dapat berubah menjadi toksik ketika konsentrasinya lebih
tinggi dari yang diperlukan pertumbuhan secara normal (Fὅrtstner and Whittmann
1983). Keberadaan logam berat seperti: Cd, Hg, dan Pb, sejauh ini mempunyai fungsi
yang belum diketahui di dalam organisme hidup, dan umumnya bersifat toksik pada
konsentrasi yang sangat rendah. Banyaknya jenis logam yang tergolong sangat toksik
dan potensinya untuk menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia dan organisme
hidup lainnya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan guna mengukur
konsentrasi maupun akumulasinya dari sampel lingkungan (misalnya: air, tanah,
sedimen dan sebagainya) dan jaringan makhluk hidup lainnya. Namun penelitian
logam berat di lingkungan atau iklim tropis umumnya masih minim atau jarang
dilakukan (Mamboya 2007).
Sumber kontaminasi logam di sedimen sangat bervariasi yakni dari sumber
alami, antropogenik, point dan nonpoint sources, maupun dari tumpahan (Chapman
et al. 1998). Beberapa aktivitas antropogenik umumnya dapat meningkatkan
kontaminasi logam di ekosistem akuatik misalnya: penambangan, industri, domestik,
pertanian, dan pembakaran bahan bakar fosil. Peningkatan unsur logam secara alami
juga dapat meningkatkan konsentrasi logam di lingkungan terutama bersumber dari
hasil pelapukan batuan, dekomposisi jaringan tanaman dan hewan, maupun dari
aktivitas vulkanik (Fὅrtstner and Whittmann 1983). Tabel 1 merupakan sumber dari
elemen renik dari logam berat yang banyak digunakan guna kepentingan aktivitas
antropogenik (Manahan 2005).
12
Tabel 1. Elemen renik penting dalam perairan alami.
Sumber
Pengaruh dan Signifikansi
Arsenic
Berylium
Boron
Chromium
Elemen
Pertambangan, limbah kimia
Batubara, limbah industri
Batubara, deterjen, limbah
Penyepuhan/pelapisan logam
Copper
Pelapisan
industri
Toksik, kemungkinan
karsinogenik
Toksik
Toksik
Esensial sebagai Cr (III) dan
toksik sebagai Cr (VI)
Esensial elemen renik, toksik
pada konsentrasi tinggi.
Mencegah pembusukan gigi pada
kisaran 1 mg/l, toksik pada tingkat
yang lebih tinggi.
Mencegah penyakit gondok.
Nutrien esensial, perusakan
adanya pelapisan.
Toksik, membayakan bagi hewan
liar.
Toksik pada tanaman, perusakan
dengan adanya pelapisan.
Toksik, dapat termobilisasi
sebagai metilmerkuri oleh bakteri
anaerob
Esensial terhadap tanaman,
toksik pada hewan.
Esensial pada konsentrasi rendah,
toksik pada kons. tinggi.
Elemen esensial, toksik pada
tanaman pada konsentrasi yang
tinggi
logam,
penambangan,
limbah
Fluorine
Batuan/ sumber geologi, limbah
Iodine
Iron
Lead
Manganese
Mercury
Limbah industri, air laut
Limbah industri, korosi, air masam tambang,
aksi dari mikroba
Limbah industri, penambangan, bahan bakar
Limbah industri, air masam tambang, aksi dari
mikroba
Limbah industri, penambangan, batubara
Molybdenum
Limbah industri, sumber alami
Selenium
Sumber alami, batubara
Zinc
Limbah industri, pelapisan logam, plumbing
Di dalam lingkungan perairan, logam mungkin berbentuk sebagai: ion logam
bebas yang terlarut atau sebagai ion kompleks, khelat dengan ligan yang tidak
tersusun secara teratur misalnya dengan: Cl-, OH-, CO3-, dan NO3- , dan kompleks
dengan ligan organik seperti: asam fulvik, amina, asam humik, dan protein.
Disamping itu, logam di perairan mungkin terikat dengan bahan partikulat dalam
bentuk koloid atau agregat, endapan sebagai lapisan logam pada partikel,
penggabungan ke dalam bahan organik misalnya algae, dan tersimpan dalam partikel
crystalline detritus. Bentuk fisik dan kimia dari logam di perairan diatur oleh variabel
lingkungan seperti: salinitas, temperatur, pH, potensial redoks, bahan partikulat
13
organik, dan aktivitas biologi (Chapman et al. 1998; Maher et al. 1999). Disamping
itu, adsorpsi dari kontaminan tersebut sangat dipengaruhi oleh kimia dari air
permukaan sedimen (overlying), pH, salinitas, dan kimia permukaan partikel itu
sendiri (Maher et al. 1999).
2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailability dan Toksisitas Logam di
Ekosistem Akuatik.
Konsentrasi logam berat di ekosistem akuatik sebagian besar diatur oleh
proses biologi dan karakteristik fisik-kimia air yang melingkupinya (Novotny and
Olem 1994; Chapman et al. 1998). Sebagai contoh: tanaman bayam air tawar
Ipomoea aquatica akumulasi logamnya secara negatif dipengaruhi oleh peningkatan
konsentrasi nutrien. Pengambilan/ uptake logam Hg, Cd dan Pb akan menurun ketika
konsentrasi nutrien ditingkatkan. Namun studi dengan menggunakan fitoplankton
menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu pengkayaan nutrien akan meningkatkan
konsentrasi dari pengambilan Cd dan Zn. Di lingkungan dengan tingginya konsentrasi
nutrien, umumnya pengambilan logam akan terganggu, karena terjadi pembentukan
kompleksasi antara nutrien dengan ion logam (Mamboya 2007).
Parameter pH dan potensial redoks dapat mempengaruhi bioavailability
logam dalam bentuk terlarut (Chapman et al. 1998). Pada pH yang tinggi (alkaline)
unsur logam cenderung membentuk endapan yang tidak larut dari hidroksida, oksida,
karbonat, atau fosfat. Namun pada pH yang rendah umumnya logam dalam bentuk
kation bebas, sehingga bioavailability logam akan semakin meningkat. Novotny and
Olem (1994) menyebutkan pH > 7 sebagian besar dari logam akan mengadakan
kompleksasi, sedangkan pada pH yang < 5 konsentrasi logam dalam bentuk bebas
akan miningkat secara dramastis. Substansi humik di dalam lingkungan akuatik
mungkin mempengaruhi bioavailability ion logam. Bioavailability dan toksisitas
logam akan berkurang melalui pembentukan kompleks bahan organik terlarut
(DOM), karena akan mengurangi konsentrasi ion logam bebas di lingkungan akuatik
(Fὅrtstner dan Whittmann 1983). DOM mungkin akan menghalangi akumulasi
14
beberapa logam dengan cara memblock tempat pengikatan (reseptor) dari permukaan
alga. Temperatur juga dapat mempengaruhi laju metabolisme dari organisme, dan
oleh karena itu pengambilan logam biasanya akan meningkat ketika temperatur
dinaikkan (Cairns et al. 1975).
Toksisitas logam di ekosistem akuatik sebagian besar dipengaruhi oleh status
bioavailability logam berat yang bersangkutan (Luoma 1995; Chapman et al.1998).
Toksisitas logam biasanya akan berkurang ketika fraksi dari ion logam pada kolom
air teradsorbsi oleh bahan organik yang tersuspensi. Dengan demikian pengukuran
dari konsentrasi logam berat total di dalam kolom air mungkin tidak selalu
berhubungan atau mencerminkan kejadian toksisitas yang sebenarnya (Novotny and
Olem 1994; Allen 1993).
Ketika logam toksik dilepaskan ke perairan alami, maka umumnya logam
tersebut akan mengadakan kompleksasi dengan ligan. Bentuk dari ligan ini bisa
bervariasi yaitu organik atau anorganik yang mengadakan penggabungan dengan
logam membentuk strutur kimia yang lebih komplek. Novotny and Olem (1994) telah
merinci beberapa penyebab utama adanya pengendapan dan kompleksasi dari logam
sebagai berikut:
1). Oksidasi dari bentuk tereduksi dari besi, mangan, dan sulfida.
2). Reduksi dari logam yang bervalensi tinggi dengan interaksi bahan organik seperti
pada logam selenium dan perak.
3). Reduksi sulfat ke bentuk sulfida (logam besi, tembaga, perak, seng, merkuri,
nikel, arsen, dan selenium yang akan mengendap sebagai logam sulfida/MeS).
4). Adanya reaksi dengan alkalin akibat adanya peningkatan pH misalnya logam
stronsium, mangan, besi, seng, dan kadmium.
5). Adsorpsi dan kopresipitasi dari ion logam dengan besi dan mangan oksida, clay,
dan bahan partikulat organik.
6). Reaksi pertukaran ion khususnya dengan clay.
15
2.3 Penerapan Uji Bioassai.
Uji toksisitas/ bioassai merupakan suatu pendekatan yang bersifat eksperimen
guna menguji respon dari suatu organisme hidup terhadap suatu bahan polutan
tertentu. Beraneka macam respon biologi yang ditimbulkan oleh biota uji sebagai
respon terpaparkan oleh bahan polutan spesifik, mulai dari perubahan fisiologi hingga
berujung pada kematian (toksisitas akut). Bahan toksik/ toksikan umumnya
dipaparkan ke biota uji dalam bentuk terlarut maupun campuran misalnya dalam
bentuk sedimen. Bioassai pada umumnya dirancang untuk: menentukan konsentrasi
dari suatu bahan kimia spesifik yang diduga bersifat toksik, menentukan toksisitas
dari suatu air atau sedimen alami (bioassay ambient), dan memahami proses yang
mengatur kejadian toksisitas. Evaluasi toksisitas dengan menggunakan bioassai lebih
mengutamakan unsur ketepatan, kepraktisan, standardisasi, dan kemampuan
pengulangan dalam menggambarkan respon spesifik dari biota uji terhadap bahan
toksikan tertentu. Disamping itu bioassai juga dapat diterima dalam menunjukkan
permasalahan yang terjadi dari interaksi antar bahan kimia yang ditunjukkan dalam
respon biologi tunggal dalam suatu sistim percobaan. Bioavailability bisa lebih
mudah diintepretasi, jika bioassai digabungkan dengan studi kimia pada suatu
ekosistem. Para penganjur teknik bioassai umunya berpendapat bahwa kesederhanaan
merupakan suatu kebutuhan dan keuntungan dari metode bioassai. Disamping itu
bioassai relatif lebih murah dan lebih mudah di standardisasi dibandingkan dengan
studi yang dilakukan di lapangan. Respon yang ditimbulkan oleh toksisitas maupun
defesiensi dari logam dapat ditunjukan dengan menggunakan bioassai. Bioassai
dengan menggunakan fitoplankton menunjukkan bagaimana aktivitas logam terlarut
seringkali mempengaruhi efek biologisnya. Sedangkan bioassai dengan menggunakan
organisme bentik makroavertebrata menunjukkan bagaimana proses geokimia dari
sedimen berpengaruh terhadap bioavailability logam pada hewan deposit feeder
(Luoma 1995).
16
2.4 Beberapa Pertimbangan Dalam Melakukan Studi Bioassai
Setiap studi bioassai biasanya melibatkan pemilihan tentang tingkatan
organisasi yang dipaparkan, lamanya waktu pemaparan, konsentrasi yang dipaparkan,
rute pemaparan, dan keterwakilan dari spesies yang digunakan. Pengaruh konsentrasi
dan waktu pemaparan saling terkait. Dalam uji bioassai umumnya konsentrasi logam
secara progresif akan lebih rendah ketika waktu pemaparan semakin meningkat.
Semakin singkat waktu pemaparan, maka diperlukan konsentrasi lebih tinggi untuk
bisa menimbulkan suatu respon. Pemaparan kronis secara alami dapat tetap bertahan
dari satu generasi ke generasi lainnya dari suatu spesies yang relatif menetap/ tinggal
disitu. Sehingga bioassai kronis dapat mencerminkan secara kasar pemaparan lebih
dari satu siklus hidup. Walaupun sekarang ini tidak selalu dalam uji toksisitas kronis,
pemaparan melibatkan satu siklus hidup secara penuh (Luoma 1995).
Studi yang dilakukan guna mengembangkan guideline kualitas sedimen
biasanya menggunakan waktu pemaparan yang relatif singkat yaitu 96 jam dari suatu
organisme dengan waktu generasi tahunan. Sebagai contohnya adalah uji toksisitas
sedimen 96 jam yang menggunakan hewan Moluska dengan masa hidup hingga 10
tahun. Meskipun penggunaan hewan tersebut banyak mendapakan kritik karena
relatif tidak sensitif terhadap toksisitas sedimen. Baru-baru ini pengembangan uji
bioassai kronis sedimen dengan menggunakan hewan Amphipoda dengan waktu
pemaparan 10 hingga 28 hari. Hewan tersebut secara alami tinggal di dalam sedimen
dalam kurun waktu hingga ±1 tahun (Luoma 1995).
Penggunaan
prosedur
bioassai
dari
sedimen
yang
terstandardisasi
menunjukkan hasil yang relatif sensitif dan dapat dilakukan pengulangan. Hal-hal
yang patut dipertimbangkan dalam melakukan uji bioassai sedimen adalah
bioavailability logam diantara sedimen pada perbedaan karakter geokimia, pengaruh
manipulasi pada geokimia sedimen, dan keterbatasan geokimia sedimen selama
digunakan dalam uji bioassai air pori-pori dan elutriates (Bernhard 2000). Adapun
organime yang telah umum digunakan dalam uji bioassai sedimen air tawar antara
lain: 1) Bakteri, 2). Algae, 3). Tumbuhan makrofit, 4). Amphipoda, 5). Insekta air
misalnya larva Chironomid dan Ephemeroptera. 6). Cladocera, 7). Cacing
17
Oligochaeta dan 8). Ikan (Burton and Ingersoll 1994; Giesy and Hoke 1991).
Bioassai sedimen dengan menggunakan bentik makroavertebrata dapat digunakan
untuk mengevaluasi toksisitas dan bioakumulasi dari kontaminan persisten yang
berguna untuk memprediksi bioavailability logam pada lingkungan sedimen yang
berbeda (Besser et al. 1995). Pemilihan biota uji umumnya didasarkan pada pengaruh
utamanya pada keterkaitan ekologi dari biota yang bersangkutan dan intepretasi dari
respon yang ditimbulkan dari adanya pemaparan bahan polutan. Sebagian besar
guideline dari uji bioassai sedimen dari ASTM E 1525 maupun US-EPA dalam
pemilihan biota uji yang digunakan didasarkan pada pertimbangan:
1. Data base toksisitas yang ada untuk mengevaluasi sensitifitas relatif dari
suatu organisme terhadap pemaparan suatu bahan polutan.
2. Organisme yang hidup pada sedimen.
3. Organisme yang dapat dibiakkan di laboratorium
4. Organisme yang dapat dipelihara; dipertahankan di dalam laboratorium
selama percobaan berlangsung.
5. Identifikasi/taksonomi dari biota uji yang digunakan tidak ada masalah.
6. Organisme tersebut secara ekologi penting.
7. Distribusi dari organisme sebagai biota uji ada di dalam lokasi atau area
dimana uji bioassai tersebut dilakukan.
8. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi
fisiko-kimia dari sedimen secara alami.
9. Organisme tersebut relatif toleran dengan kisaran yang luas dari kondisi
kualitas air.
10. Uji dengan menggunakan hewan tersebut telah melalui rekomendasi dari
beberapa peer review.
11. Uji dengan menggunakan organisme tersebut di lapangan dapat
dilakukan validasi (Burton and Ingersoll 1994).
18
2.5 Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan
Logam.
Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang
merugikan. Untuk tujuan praktis, satu tingkat organisasi biologi biasanya dipilih
dalam mempelajari sebuah efek/ pengaruh. Toksisitas logam di alam dapat
berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi).
Toksisitas melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu
mekanisme yang lebih komplek dibandingkan dengan suatu efek merugikan secara
sederhana. Pada Gambar 3 merupakan urutan pengaruh dari toksisitas logam terhadap
seluruh tingkatan organisasi biologi dari yang paling rendah(seluler) hingga tingkat
yang paling tinggi (populasi). Dari gambar tersebut menunjukkan proses detoksifikasi
dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek
merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi
berlebih pada pengaruh sekunder. Dalam kasus yang sederhana semakin besar
pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagian bawah bagan yang akan
diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi
pada tingkatan yang paling rendah organisasi biologinya. Penumpukan kompleksitas
terjadi dari mulai bagian atas hingga bagian bawah dari bagan. Sehingga dalam
mendefinisikan pengaruh sebab-akibat dari kontaminasi logam pada tingkatan
organisasi biologi, kompleksitas mulai muncul dari tingkatan yang lebih rendah
hingga tingkat yang lebih tinggi (Luoma 1995). Rute pemaparan uji bioassai mungkin akan berpengaruh pada hasil
intepretasinya. Keberadaan toksikan dalam bentuk terlarut umumnya pendekatan
metode bioassai lama yang paling sering digunakan. Kontrol konsentrasi logam
selama bioassai, geokimia, dan kondisi reduksi/oksidasi (redoks) akan lebih mudah,
ketika eksperimen tersebut dilakukan dalam bentuk fase cair saja. Bioassai sedimen
melibatkan suatu sistim yang lebih rumit guna menguji toksisitas terhadap hewan
bentik makroavertebrata. Konsentrasi logam disajikan dalam suatu campuran dalam
bentuk teradsorbsi maupun terlarut. Satu keuntungan dengan menggunakan metode
ini adalah jalur pemaparan mungkin lebih mirip dengan kebiasaan hidup dari biota uji
19
untuk hidup secara alami. Kerugiannya adalah hilangnya kontrol geokimia dari sistim
pengujian, wujud/ bentuk dari logam yang dipaparkan, dan rute pemaparannya.
Toksisitas pada sedimen juga diuji dengan cara memisahkan air pori-pori sedimen
atau pengenceran sedimen dengan air (elutriates) dengan perbandingan tertentu yang
mempresentasikan logam di dalam wujud terlarut. Di dalam cara ini, pengaruh faktor
sedimen secara alami (seperti ukuran butir) dapat diabaikan (Chapman et al 1998 ;
Luoma 1995).
Beberapa peneliti tetap mempertahankan pemaparan polutan melalui jalur air
sebagai kesesuaian simulasi pengujian secara alami. Mereka menyarankan air atau air
pori-pori sedimen adalah rute yang paling eksklusif dari pemaparan zat pencemar di
alam atau keseluruhan pemaparan sebanding dengan bioavailability logam dalam
bentuk terlarut. Studi bioassai dengan cara spiked pada sedimen menunjukkan
pengambilan logam Cd oleh hewan Amphipoda berkorelasi dengan aktivitas Cd
dalam air pori-pori sedimen. Baru-baru ini, suatu korelasi yang kuat ditunjukkan
antara konsentrasi ion Cd bebas di atas permukaan sedimen (overlying) dengan
konsentrasi Cd di remis dari 37 danau di Quebec dan Ontario, Canada (Luoma 1995).
20
Tingkat organisasi biologi
Molekuler/biokimia
Pengaruh sekunder
Pengaruh primer
Detoksifikasi
- Lisosom
- Metallothionin
Bioakumulasi
Detoksifikasi berlebih
Merubah atau mengganggu
proses biokimia
Fisiologi
Detoksifikasi
- Aklimatisasi
- Adaptasi siklus reproduksi
Kompensasi berlebih
Stress fisiologi
- Lemahnya individu
- Menghambat reproduksi
- Mudah stress
Organisme
Detoksifikasi
- Kelulushidupan pada dewasa
Kompensasi berlebih
Individu tidak dapat lolos hidup
atau reproduksi
Populasi
Detoksifikasi
- Rendahnya toleransi
- Imigrasi
- Struktur umur
Kompensasi berlebih
Hilangnya spesies
Gambar 3. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi
biologi.
21
2.6 Respon Komunitas Bentik Makroavertebrata terhadap Pemaparan Logam.
Organisme bentik makroavertebrata merupakan salah satu komponen biotik
perairan yang hidup di dasar perairan, yang seringkali digunakan dalam memprediksi
tingkat gangguan pada ekosistem akuatik akibat kontaminasi bahan polutan maupun
adanya perubahan habitat (Norris 1999). Adanya kontaminasi tersebut di perairan
dapat dengan mudah terakumulasi dan berpengaruh secara langsung ke organisme
bentik makroavertebrata dan menjadi bioavailable ketiaka adanya resuspensi atau
lindih dari sedimen (Giezy and Hoke 1989). Kiffney and Clements (1993) telah
merinci alasan penggunaan komunitas bentik makroavertebrata dalam mencerminkan
adanya bioavailability logam di perairan antara lain: 1) Hewan tersebut dapat dengan
mudah mengakumulasi logam dan dapat dipercaya sebagai indikator dalam
menampakkan adanya gangguan dari bioavailability logam. 2). Organisme tersebut
biasanya sering digunakan dalam kegiatan pemantauan lingkungan karena sifatnya
yang relatif sessil, mempunyai waktu siklus hidup yang relatif panjang, dapat
mewakili dari sebuah niche ekologi perairan, dan dapat mengakumulasi logam pada
konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi ambientnya (Luoma 1995).
Distribusi spesies dari organisme bentik makroinvertebrata dipengaruhi oleh
faktor biotik dan abiotik. Kelimpahan dari organisme tersebut dapat tinggi atau
rendah tergantung pada kesesuaian interaksi kondisi biotik dan abiotik pada masingmasing habitat. Ketika faktor tersebut optimal, populasi dari spesies dalam sebuah
habitat juga akan optimal. Spesies spesifik dalam hubungannya dengan toleransi
terhadap kontaminasi logam merupakan sebuah fungsi dari proses biokimia dan
fisiologi dalam sebuah populasi. Toleransi sebuah spesies terhadap kontaminasi
logam di beberapa tempat/ lokasi juga sebuah fungsi dari intensitas stressor alami,
misalnya bagaimana optimal hubungannya sebuah spesies dalam lingkungan yang
telah terkontaminasi logam (Luoma and Carter 1991).
Komponen biota akuatik dalam ekosistem perairan mempunyai struktur dan
fungsi tertentu dalam rantai makanan. Metode untuk mengetahui respon kontaminan
terhadap sistem akuatik seringkali diduga dengan mengetahui adanya perubahan
22
struktur dan fungsi dari komponen biota akuatik yang telah terpaparkan dengan bahan
kontaminan tersebut. Perubahan dalam struktur komunitas dapat diketahui dengan
perubahan pada komposisi, jumlah, dan kelimpahan taksanya. Sedangkan perubahan
fungsionalnya dapat ditunjukkan dengan perubahan pada produktivitas sekunder, laju
dekomposisi dan sebagainya. Adanya kontaminasi logam dapat mengakibatkan
perubahan pada keduanya (struktur dan fungsionalnya) yang kadangkala diantara
parameter struktur dan fungsionalnya ada hubungan interrelasinya. Sampai saat ini
belum ada satu parameterpun dari struktur dan fungsional yang paling efektif dalam
mendeteksi pengaruh kontaminasi dari logam spesifik. Disamping itu pengukuran
status fungsional dari komponen biota akuatik seringkali lebih sulit intepretasinya,
karena kompleksitasnya dalam mencerminkan pengaruh dari sebuah polusi. Oleh
sebab itu pengukuran parameter struktural yang paling banyak dipakai dalam
bioassessment atau pemantauan dari adanya kontaminasi bahan polutan di perairan
(Luoma and Carter 1991).
Beberapa indek atau metrik biologi dalam mendeteksi adanya gangguan
akibat polusi telah menggunakan data kelimpahan dan biomasa dari organisme bentik
makroavertebrata. Namun banyak pula indek yang telah dikembangkan sudah tidak
menggunakan kedua metrik biologi di atas karena kedua metrik di atas sangat sulit
intepretasinya dan variabilitas datanya sangat tinggi. Sebuah model dari
kelimpahan/biomasa yang mengadakan respon dari toksisitas sedimen didasarkan
pada satu asumsi dari empat kondisi yaitu 1). Kondisi non toksik yang mendukung
kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, 2). Kondisi toksik ringan yang mungkin
mendukung tidak biasanya tinggi dari kelimpahan/biomasa, 3). Toksisitas sedang
dapat menyebabkan kembalinya kelimpahan/biomasa dalam kategori sedang, dan 4).
Toksisitas berat kondisinya hanya mendukung rendahnya kelimpahan/biomasa
(Sorensen et al. 2007).
Respon komunitas terhadap logam sebagai stressor seringkali sulit untuk
diprediksi. Sebagian respon tergantung pada sejarah dari komunitas, yang
menentukan apakah spesies yang menetap/ ada dihasilkan dari tidak adanya
kontaminasi. Jika spesies yang toleran logam menggantikan spesies yang hilang yang
23
disebabkan oleh toksisitas logam, maka bentuk respon komunitasnya akan berbeda
dengan spesies yang toleran logam juga hilang. Sensitifitas masing-masing hewan
terhadap kontaminasi jenis-jenis logam adalah penting untuk diketahui. Sebagai
contohnya adalah sensitifitas larva Trichoptera Hydropsychidae yang relatif toleran
terhadap kontaminasi logam Cu, Cd dan Pb (Luoma 1995). Respon komunitas yang
paling mudah untuk dilihat adalah dengan adanya pengurangan keseluruhan dari
jumlah jenis yang ditemukan. Namun perubahan dalam spesies yang berpengaruh
pada komposisi spesies relatif lebih sulit untuk dilihat. Seringkali didapati komposisi
dari komunitas yang bersifat oportunis mendominasi dan menggantikan keberadaan
spesies yang lain. Kondisi tersebut masih belum cukup meyakinkan keterkaitan antara
dinamika
komunitas
terhadap
adanya
pencemaran
logam.
Ini
disebabkan
kompleksitas dari bahan toksikan lainnya yang turut mengatur perubahan dalam
struktur komunitas yang kadangkala sulit untuk dipahami (Canfield et al.1994).
Giezy and Hoke (1989) menyebutkan meskipun seluruh parameter fisik dan kimia
selain
daripada
toksikan,
dan
sumber
kolonisasi
individu
dari
bentik
makroavertebrata tersebut identik, maka masih sulit menunjukkan adanya perbedaan
dalam populasi dari organisme tersebut disebabkan oleh substansi toksik di sedimen.
Perubahan yang singkat dari stressor kimia dan fisik seperti: chlorin, pH, dan
temperatur dapat menghilangkan populasi dari bentik makroavertebrata tanpa
meninggalkan residu di dalam sedimen. Hilangnya makroavertebrata pada sedimen
belum tentu melibatkan adanya toksisitas pada sedimen sebagai faktor penyebab dan
bukan indikasi potensi toksisitas pada sedimen yang lebih dalam. Oleh sebab itu, ada
atau hilangnya dari bentik makroavertebrata mungkin belum cukup bukti dalam
mengungkap adanya toksisitas sedimen (Luoma 1995).
Biasanya untuk memprediksi dampak kontaminasi logam terhadap perubahan
pada struktur komunitas yaitu dengan terlebih dahulu menetapkan daerah yang
dianggap sebagai reference site dengan ketiadaan atau minimalnya kontaminasi
logam (Luoma 1995). Lokasi reference tersebut kemudian dibandingkan dengan
daerah yang akan kita uji yang berfungsi sebagai test site. Adanya perubahan atau
penyimpangan terhadap komunitas dari reference site dapat diketahui dan
24
dihubungkan dengan besarnya kontaminasi logam yang terjadi pada test site (Norris
and Thoms 1999). Dalam hubungannya dengan reference site yang berfungsi sebagai
kontrol dari daerah yang akan kita uji atau sebagai test site, maka Long and Wilson
(1997) mengeluarkan kriteria daerah yang dapat digunakan sebagai reference yaitu
1. Seluruh konsentrasi dari masing-masing bahan kimia di bawah nilai dari
guideline effect range median (ERM) dan probable effect low (PEL).
2. Relatif rendahnya nilai rata-rata pembagian ERM (misalnya < dari 0,30;
nilai rata-rata pembagian ERM yang dihitung dari jumlah pembagian
konsentrasi kimia dengan nilai dari masing-masing ERM dibagi dengan
jumlah kimia yang ada). Pengujian tingkat kelulushidupan hewan
Amphipoda menunjukkan toksisitas < 20 % ketika nilai rata-rata
pembagian ERM < 0,3 dan toksisitas > 70% ketika nilai rata-rata
pembagian ERM > 1.
3. Konsentrasi amonia dan hidrogen sulfida pada air pori-pori di bawah
ambang batas toksisitas dari pengujian organisme di laboratorium.
4. Tingkat kelulushidupan dari Amphipoda di dalam uji laboratorium tidak
berbeda secara nyata dengan kontrol (uji T, p>0,05) dan lebih dari 80%
dibandingkan dengan hewan yang hidup di kontrol.
5. Organisme bentik makroavertebrata memiliki kelimpahan total spesies
yang tinggi, terdapatnya hewan Amphipoda dan Crustacea, dan tidak ada
atau sedikit spesies indikator yang bersifat negatif (toleran) dan di
dominasi oleh spesies indikator positif (sensitif).
Manipulasi sistem dari sungai guna mempelajari respon komunitas terhadap
toksikan
mempunyai sejarah yang panjang. Kebayakan dari studi tersebut
menunjukkan hilangnya spesies yang sensitif adalah respon pertama dari suatu
komunitas terhadap logam. Perubahan jumlah taksa yang terjadi pada pemaparan
konsentrasi logam yang lebih tinggi. Sebagai contohnya adalah penghilangan spesies
dari serangga nympha Ephemoptera adalah respon yang paling sensitif dari adanya
kontaminasi logam, dan hampir dapat ditemukan pada semua studi (Luoma 1995).
Studi yang dilakukan Clements et al. (1993) dalam Luoma (1996) di laboratorium
25
menunjukkan pada konsentrasi logam Cu dari 230-492 nmol L-1 selama 96 jam,
nympha serangga dari Ephemeroptera (mayfly) menghilang, namun jenis larva
serangga Chironomidae lainnya (Diptera) dan detritus feeder Trichoptera meningkat
dalam kelimpahannya. Hasil yang serupa ketika konsentrasi logam Cu yang rendah
yaitu 004-008 µmol L-1 pada air lunak yang dipaparkan selama 1 tahun. Konsistensi
dari hasil penelitian tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa penurunan spesies dari
serangga Ephemoptera yang relatif sensitif dan meningkatnya dominansi dari bentik
makroavertebrata dari beberapa jenis famili Chironomidae dan Hydropsychidae
merupakan sinyal awal dari peningkatan kontaminasi logam (Canfield et al.1994;
Luoma 1996; Winner et al. 1980). Disamping adanya peningkatan kelimpahan dari
larva Chironomidae juga diikuti dengan peningkatan komposisi taksa yang
berkorelasi positif dengan peningkatan konsentrasi logam di sedimen pada Sungai
Clark Fork di Montana akibat dari aktivitas penambangan. Populasi cacing
Oligochaeta juga menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kontaminasi logam di
sedimen. Beberapa genus dari famili Naididae (misalnya Dero digitata dan
Ophidonais serpentina) dan sebagain besar dari famili Tubificidae (misalnya Tubifex
sp., Limnodrilus hoffmeisteri) lebih toleran pada konsentrasi bahan organik yang
tinggi dan polusi logam berat (Canfield et al. 1994). Besser et al. (1996b) yang
melakukan penelitian di Sungai Detroit Michigan USA menunjukkan cacing
Oligochaeta relatif toleran terhadap toksisitas sedimen yang tinggi dan mendominasi
hingga 95% organisme bentik makroavertebrata yang ada.
Perubahan komposisi spesies dalam suatu komunitas, atau bahkan hilangnya
suatu spesies dapat berpotensi menyebabkan perubahan secara tidak langsung melalui
jaring-jaring makanan. Hilangnya suatu predator dapat mempunyai pengaruh penting
terutama pada jaring-jaring makanan. Amphipoda, Pontoporeia affinis, dan Ostracoda
adalah hewan yang relatif sensitif dalam pengujian dengan logam Cd. Cacing
Nematoda yang merupakan mangsa dari P.affinis akan meningkat ketika terjadi
pengkayaan logam Cd pada pemaparan 265 hari. Hasil-hasil yang serupa ditemukan
ketika spesies yang toleran terhadap Cd (Cacing pipih Turbellarians dan
26
Monothalmous foraminifera) juga meningkat selama pemaparan logam di dalam
ketidakhadiran predator dan kompetisi (Luoma 1995).
2.7 Penggunaan Spesies tunggal dalam Bioassai.
Bioassai dengan menggunakan spesies tunggal telah secara luas digunakan
dalam studi ekotoksikologi yang mungkin disebabkan adanya keseimbangan antara
keuntungan dan kerugiannya. Beberapa keuntungan dengan bioassai tersebut adalah
relatif mudah untuk diatur/ dikontrol dan dapat dilakukan standarisasi. Respon yang
dihasilkan merupakan gambaran dari relevansi ekologinya. Standarisasi dari
metodologi
memungkinkan
untuk
memberikan
hasil
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, dapat dilakukan pengulangan, dan pengumpulan data relatif
cepat. Bermacam-macam spesies telah digunakan dalam bioassai jenis yang tunggal.
Metodologi yang telah terstandardisasi telah memungkinkan penggunaan jumlah
spesies yang lebih kecil. Bioassai dengan spesies tunggal telah dirancang dengan baik
sehingga dapat secara jelas menguji suatu hipotesis yang akan digunakan untuk
mencari penyebab toksisitas dari suatu bahan yang dicurigai (Luoma 1995).
Idealnya, bioassai dapat digunakan untuk memprediksi kualitas dari
lingkungan yang diperlukan bagi manajemen pencemaran logam. Penggunaan teknik
bioassai dapat dikatakan paling rumit guna memprediksi toksisitas suatu bahan
polutan tertentu pada sebuah komunitas atau digunakan untuk melindungi komunitas
biota tertentu. Seluruh prediksi yang dibuat dari hasil bioassai dapat melindungi
ekosistem, jika spesies yang digunakan dalam bioassai lebih sensitif dibandingkan
konsentrasi logam dimana komunitas tersebut berada. Tetapi kondisi tersebut hampir
dipastikan sulit untuk tercapai, dikarenakan sensitifitas dari masing-masing populasi
dalam sebuah komunitas sangat bervariasi dan masih belum banyak diketahui
(Luoma 1995).
27
2.8 Beberapa Alasan Pentingnya Kajian di Sedimen.
Sedimen adalah matrik heterogen yang tersusun dari detritus, bahan organik,
dan anorganik. Komposisi matrik sedimen mungkin berupa batuan, serpihan dari
cangkang, mineral, detritus tanaman, ekskresi hewan, dan substansi lainnya yang
dihasilkan dari aktivitas antropogenik (Power and Chapman 1992; Maher et al.
1999). Kandungan air interstial atau air pori-pori sedimen dapat menyusun hingga 32
% dari volume sedimen itu sendiri. Berdasarkan ukuran, partikel sedimen terdiri atas
lumpur (silt) hingga pasir (< 63 µm) dan partikel batuan (> 1mm). Umumnya fraksi
partikel sedimen yang lebih halus dihasilkan dari proses erosi pada sistem aliran
sungai dan akan tersuspensi di sebagian besar badan air yang hanyut terbawa hingga
konsentrasinya mencapai hampir 1 mg/l. Partikel halus tersebut mempunyai
kemampuan untuk mengadsorpsi logam terlarut dan kontaminan organik dari badan
air untuk kemudian diendapkan di dasar perairan. Fraksi lumpur dan lempung (clay)
mempunyai area permukaan spesifik yang sering dilapisi oleh besi dan mangan
oksida, dan organik yang mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi kontaminan
organik dan logam berat. Adapun kemampuan adsorpsi dari partikel halus tersebut
sangat dipengaruhi oleh pH, salinitas, dan kimia permukaan dari partikel itu sendiri
(Maher et al. 1999).
Secara ekologi keberadaan sedimen merupakan komponen penting penyusun
habitat akuatik dan berfungsi sebagai reservoir alami dari berbagai macam
kontaminasi (Louma and Ho 1993). Sedimen dapat menyediakan tempat sebagai
sumber untuk mendapatkan makanan dan perlindungan bagi sebagian biota akuatik
(Maher et al. 1999). Disamping itu Novotny and Olem (1994) menyebutkan sedimen
mempunyai kapasitas alami untuk menurunkan toksisitas dari kontaminasi logam
berat melalui mekanisme pembentukan ligan pada air interstitial, adsorpsi, dan
presipitasi. Kontaminan organik yang kurang polar dan elemen renik yang toksik
akan berikatan kuat dengan bahan partikulat dan terakumulasi di sedimen pada
umumnya akan memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dalam fase
terlarutnya. Oleh sebab itu kontaminan dapat tertahan dan terakumulasi dalam
28
sedimen dalam jangka waktu yang lama yang dapat berfungsi sebagai sumber
kontaminasi sekunder ke kolom air maupun air interstitial melalui proses
kesetimbangan selama reaksi penyerapan maupun pelepasan kembali. Berbagai
macam biota akuatik dapat dengan mudah terpapar secara langsung maupun tidak
oleh kontaminan di sedimen. Hewan yang terpapar mungkin berasal dari proses
mencerna partikel detritus sedimen sebagai makanannya atau kontak langsung selama
pencarian makanannya. Hewan predator yang memiliki tingkatan trophic lebih tinggi
secara tidak langsung juga terpapar oleh kontaminasi polutan dari sedimen (Louma
and Ho 1993; Novotny and Olem 1994).
2.9 Bioassai Sedimen
Sejak diketahuinya buangan dari limbah toksik ke air permukaan
menimbulkan pengaruh merugikan terlebih dahulu dan mudah terlihat secara akut,
maka perhatian kontaminan yang ada di kolom air lebih banyak mendapat perhatian
dibandingkan dengan pengaruh kontaminasi di
sedimen. Umumnya penelitian
mengenai toksisitas sedimen hanya sebatas kajian kompleksitas antara antara kolom
air dengan sedimen dan interaksi dari biota yang mengadakan kontak dengan sedimen
(Giezy and Hoke 1989). Sejalan dengan perkembangan jaman, maka pengetahuan
mengenai toksikologi sedimen mulai mendapat banyak perhatian, ketika mulai
adanya aktivitas pengerukan dan dampaknya terhadap terhadap makhluk hidup
lainnya (Burton and Ingersoll 1994).
Pengertian toksisitas sedimen secara luas dapat didefinisikan sebagai adanya
perubahan ekologi maupun biologi yang disebabkan oleh kontaminasi sedimen.
Secara operasional, toksisitas sedimen didefinisikan sebagai respon yang merugikan
yang dapat diamati pada biota uji yang dipaparkan
oleh sedimen yang
terkontaminasi. Pengaruh merugikan ini dapat dilihat pada hewan uji ketika
dimasukkan dalam sedimen yang relatif belum terkontaminasi, pada penambahan
kontaminan tertentu pada sedimen (spiked), atau ketika organisme bentik tersebut
dipaparkan oleh bahan kontaminan yang berkonsentrasi tinggi di sedimen secara
29
alami (mesocosm) (Luoma and Ho 1993). Giezy and Hoke (1989) menambahkan ada
3 faktor yang diperlukan untuk penilaian kontaminasi polutan di sedimen yaitu 1).
Bahan kontaminan apa saja yang ada di sedimen, 2). Seberapa besar tingkat
kontaminasi dari bahan polutan tersebut, dan 3). Apakah kontaminan tersebut
berpotensi membahayakan bagi kehidupan biota akuatik atau tidak.
Bioassai/ uji toksisitas sedimen adalah suatu pendekatan yang relatif baru
dikembangkan untuk memprediksi besarnya resiko ekologi dari tingginya bahan
toksik yang terakumulasi pada sedimen. Pengujian sedimen dikembangkan oleh
karena adanya perhatian pada awal tahun 1970-an dari aktivitas pengerukan lumpur
guna dibuang pada perairan terbuka yang dilakukan oleh USEPA-USACOE pada
tahun 1977. Uji bioassai dengan menggunakan sedimenpun berkembang secara pesat
pada masa 5 hingga 10 tahunan setelah adanya aktivitas pengerukan tersebut. Adanya
modifikasi dari uji bioassai air yang telah dikembangkan terlebih dahulu, maka
banyak agensi lingkungan turut berpatisipasi dalam pengembangan guideline uji
bioassai dengan sedimen hingga sekarang ini. Hal ini didasari pada pemahaman
tentang kompleksitas dari bahan polutan yang terikat pada sedimen yang saling
berinteraksi guna menghasilkan informasi tentang potensi toksisitas bahan polutan
tersebut ke biota akuatik. Karena bioavailability dari masing-masing polutan yang
terikat pada sedimen belum dipahami secara baik, maka perlu pengujian toksisitas
dan bioakumulasi secara terkontrol dalam laboratorium. Sasaran dari suatu uji
toksisitas sedimen adalah untuk menentukan apakah sedimen yang ada berpotensi/
membahayakan kepada organisma akuatik
maupun manusia yang berhubungan/
kontak secara langsung dengan sedimen atau tidak. Dari penjelasan di atas dapat
diketahui beberapa manfaat dari uji toksisitas sedimen yaitu 1). Untuk menentukan
hubungan antara efek toksisitas dan bioavailability dari suatu bahan polutan tertentu
atau spesifik (misalnya uji spiked sedimen), 2). Untuk mengkaji adanya interaksi dari
beberapa zat polutan, 3) Pengkajian atau evaluasi resiko dari material sedimen yang
telah dilakukan pengerukan, 4). Rangking area/ tempat yang diperlukan untuk
tindakan clean up,
dan 5). Pemantauan efektivitas dari tindakan remediasi dan
menejemen yang telah dilakukan (Burton and Ingersoll 1994).
30
Dalam uji bioassai sedimen, pengkategorian sampel sedimen itu dinyatakan
toksik atau nontoksik dapat secara umum dapat dilihat di Long et al. (1998). Menurut
Long et al. (1998) yang didasarkan pada tingkat kelulushidupan (survival) dari biota
uji Amphipoda menunjukkan kategori non toksik ketika rata-rata tingkat
kelulushidupannya 96-96,5%, toksisitas ringan dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya 76,5-83%, toksik sedang dengan rata-rata tingkat kelulushidupannya
<76%, dan sangat toksik ketika rata-rata tingkat kelulushidupannya < 20%. Namun
Swartz et al. 1995 dalam Long et al. (1998) menambahkan kategori non toksik di
sedimen ketika biota uji Amphipoda mortalitasnya <13%, meragukan jika
mortalitasnya 13-24%, dan toksik ketika mortalitasnya >24%.
2.10 Bioavailability Logam di Sedimen
Bioavailability
dari
kation
logam
penting
untuk
diketahui
guna
pengembangan kriteria kualitas sedimen dan manajemen kontaminasi sedimen
(Besser et al. 1995).
Mekanisme dari geokimia yang berpengaruh pada
bioavailability logam di sedimen masih belum dapat dipahami dengan baik sebagai
pengaruh spesiasi logam dalam bentuk terlarut. Kemajuan dalam teknik analisis
masih mengandung beberapa kelemahan dalam memprediksi bioavailability logam di
sedimen (Luoma and Jenne 1976). Studi bioassai dari ketersediaan logam di sedimen
biasanya diprediksi dari hewan yang dipaparkan dengan sedimen secara langsung
maupun dari aktivitas mencerna partikel sedimen itu sendiri (Besser et al. 1995).
Dari studi yang dilakukan di lapangan menunjukkan toksisitas dan
bioakumulasi logam dipengaruhi oleh faktor geokimia di sedimen. Konsentrasi logam
di hewan bentik umumnya berkorelasi baik dengan konsentrasi logam yang ada di
sedimen. Sebagai contoh, normalisasi konsentrasi Fe pada sedimen oksik
mengijinkan prediksi dari bioavailability logam Pb dan As pada remis di muara
Sungai Clark Fork (Luoma 1995). Tessier et al. (1976) dalam Luoma (1995), barubaru ini menunjukkan suatu mekanisme yang bisa menjelaskan hasil tersebut.
Aktivitas logam Cd di dalam air dapat diperkirakan dengan memodelkan partisi Cd
31
dari Fe oksida dan bahan organik dalam sedimen oksik (mengandung oksigen).
Bioakumulasi Cd oleh filter feeder air tawar berkorelasi baik dengan penghitungan
aktivitas ion Cd bebas.
Peran fraksi yang dapat dipertukarkan (exchangeable) dari besi monosulfida
(FeS) dan mangan monosulfida (MnS) dalam penentuan bioavailability dari logam di
sedimen anaerob telah dipelajari secara intesif. Bentuk reduksi dari sulfat secara
langsung dihasilkan oleh bakteri pereduksi dan tidak langsung dari aseptor elektron di
dalam bakteri pengoksidasi bahan organik, merupakan pembentuk utama dari sulfida
di sedimen dalam bentuk FeS (amorphous FeS, mackinawite, greigite, pyrhotite, atau
troitolite), MnS, FeS2(pyrite), atau organik sulfida. Diantara senyawa tersebut FeS
dan MnS merupakan fraksi yang paling labil dan secara operasional didefinisikan
sebagai AVS (acid volatile sulfide). Karena FeS dan MnS mempunyai produk
kelarutan yang tinggi (Ksp) daripada logam sulfida lainnya (MeS), maka logam yang
bersangkutan dapat menggantikan posisi Fe dan Mn untuk membentuk MeS yang
tidak larut sesuai dengan reaksi di bawah ini:
Me2+ +FeS(s)
Me2+ +MnS(s)
MeS(s) + Fe2+
MeS(s) + Mn2+
Bentuk MeS ini dapat berupa fase MeS murni atau dalam sebuah padatan terlarut
membentuk copresipitasi dengan adsorpsi FeS. Sebagai konsekuensi dari reaksi di
atas, ketika konsentrasi dari AVS berlebih, maka logam yang bersangkutan
nampaknya tidak akan toksik (Chapman et al. 1998).
Kondisi dasar perairan yang anaerob dengan konsentrasi asam sulfida yang
tinggi, umumnya acid volatile sulphide/ AVS berfungsi sebagai normalisasi ikatan
antara logam berat dengan MnS dan FeS dalam bentuk tidak larut (MeS). Beberapa
proses dilepaskannya logam berat dari dasar sedimen ke kolom air seperti yang
dilaporkan oleh Chapman et al. (1998), DiToro et al. (1990), dan Ankley et al. (1996)
mengakibatkan hilangnya kekuatan ikatan antara kation logam berat dengan
kompleks besi atau mangan sulfide. Bentuk AVS ini bersifat tidak stabil dari adanya
pengaruh fisik, kimia, maupun biologi, khususnya adanya peningkatan atau
perubahan dalam potensial redoks (Eh) atau oksidasi. Konsentrasi AVS pada
32
permukaan sedimen secara spatial dan temporal sangat berfluktuasi dalam
mencerminkan perbedaan kondisi redoks, temperatur, input bahan organik. Perubahan
musim pada AVS yang dapat mecapai dua kali lipat perbedaannya pada sedimen air
tawar (Besser et al. 1995). Beberapa contoh proses yang dapat menyebabkan
peningkatan potensial redoks atau oksidasi di perairan antara lain: 1). Perubahan laju
pengendapan partikel dan reduksi sulfat oleh mikroba secara spasial dan temporal. 2).
Bioturbasi dan bioirigasi yang berasal dari sarang persembunyian organisme bentik
makroavertebrata yang dihasilkan dari aktivitas ekskresi, respirasi, maupun
pergerakan dari biota air itu sendiri. 3). Resuspensi sedimen yang disebabkan oleh
banjir, badai, pergantian pasang surut, arus air, maupun aktivitas pengerukan. Adanya
proses tersebut di atas dapat menyebabkan AVS akan mudah teroksidasi dan bersifat
volatile/ mudah menguap (Chapman et al. 1998). Oksidasi dari sulfida dapat
menghasilkan kemampuan melarutkan dan meningkatkan bioavailability dari logam
toksik (Besser et al. 1995). Sehingga kation logam divalen (Me2+, Me (H2O)x2+
(Chapman et al. 1998), atau Me(OH)+ (Allen 1993) akan mudah dilepaskan ke dalam
air pori-pori dan kolom air sehingga bersifat toksik ke sebagian besar biota akuatik.
Geokimia pada sedimen dapat mempengaruhi hasil uji bioakumulasi dan
toksisitas logam di sedimen. Konsentrasi rasio molar dari logam yang terekstrak
secara simultan dengan HCl 0,1 N atau yang disebut sebagai SEM dengan AVS,
sering digunakan untuk memprediksi toksisitas logam dalam sedimen air tawar
(Besser et al. 1995). Sebagai contohnya adalah adanya toksisitas dari logam Cd dan
Ni
pada
Amphipoda
di
dalam
sedimen
yang
dapat
didekati
dengan
perbandingan/rasio SEM dan AVS. Ketika konsentrasi SEM:AVS <l, toksisitas dari
sedimen akan berkurang, begitu juga konsentrasi logam pada air pori-pori sedimen.
Adapun sebaliknya ketika SEM:AVS > l, maka toksisitas semakin meningkat
(Ankley et al. 1996; DiToro et al. 1990). Sayangnya konsentrasi AVS ini sangat
mudah berubah ketika sampling sedimen dilakukan dan dapat menghasilkan bias
dalam intepretasinya (Chapman et al. 1998; Luoma 1995). Disamping itu tidak selalu
dari konsentrasi SEM:AVS > 1 dapat menyebabkan peningkatan toksisitas, karena
banyaknya fase pengikatan logam yang terjadi di dalam sedimen. Logam yang
33
berhubungan dengan AVS mungkin dilepaskan dari sedimen ketika adanya banjir,
aktivitas pengerukan, oksidasi dan sebagainya (Prica et al. 2007)
Partikulat karbon organik (POC) mempunyai afinitas pengikatan yang kuat
dengan logam. Kontribusi dari POC ini akan kuat, ketika sedimen dalam kondisi
aerob, atau tidak ada/ sedikit AVS, atau konsentrasi dari logam lebih besar dari AVS.
Dalam sedimen aerob, besi dan mangan oksihidroksida (FeOOH dan MnOOH) dan
POC adalah fase pengikat dominan logam di
sedimen. Ikatan antara besi atau
mangan oksihidroksida dengan logam dapat dilihat pada reaksi di bawah ini:
FeOOH + Me 2+ = FeOOMe+ + H+
{Me2+} =
FeOOMe+) (H+) eψfirt
Dimana ψ adalah potensial permukaan (volts), F adalah konstanta faraday, R adalah
konstanta gas molar (8,314 jmol-1.K-1) dan T adalah temperatur absolut (Kelvin).
Karena substansi non humik (misalnya: karbohidrat, protein, as. amino, dan lemak)
mempunyai waktu tinggal yang relatif singkat (mudah terdekomposisi oleh mikroba),
maka komponen utama dari POC adalah substansi humik. Ikatan logam dengan
substansi humik dapat terjadi pada disosiasi proton monodentat atau bidentat dari
substansi humik yang dapat digambarkan dengan reaksi di bawah ini:
RAHz + Me 2+
{Me2+}= (
RAMe z+1 + H+
RAMe z+1) (H+)e4wz
Z adalah muatan molekul dari asam humik, w adalah faktor interaksi elektrostatis
yang berhubungan dengan kekuatan ion, dan (i) adalah konsentrasi dari spesies i.
Disamping itu selain dari substansi humik, POC sendiri juga dapat berikatan dengan
logam seperti pada reaksi di bawah ini:
Me2++ POC = POC-Me
(POC-Me) = (POC-Me)0
Dimana (POC-Me) adalah normalisasi karbon organik pada ikatan konsentrasi logam
dengan POC di sedimen. Sedangkan (POC-Me)0 adalah kapasitas penyerapan
(Chapman et al. 1998).
34
2.11 Geokimia Sedimen
Geokimia mempengaruhi pemaparan biologi dari kontaminan elemen renik
(trace element) melalui pengaruhnya pada bioavailability. Pengaruh logam dalam
larutan ditentukan dengan konsentrasi logam total dan spesiasi dari logam. Keduanya
berbeda dalam waktu dan ruang di dalam lingkungan akuatik. Konsentrasi logam
dalam bentuk terlarut berbeda besarnya diantara danau, sungai, laut terbuka/samudra,
pesisir pantai, dan muara. Kontribusi dari aktivitas anthropogenik akan meningkatkan
perbedaan kontaminasi logam dari ekosistem alaminya (Chapman et al. 1998).
Sejumlah penelitian telah dilakukan guna melihat pentingnya pengaruh
spesiasi terhadap pengambilan logam oleh organisme atau toksisitasnya. Kondisi
geokimia yang menentukan spesiasi logam dapat bervariasi secara alami. Beberapa
bentuk atau spesies dari unsur logam tidak dapat diprediksi dengan baik toksisitas
maupun pengambilannya oleh organisma akuatik. Sebagai contoh adalah bentuk
oksida dari Se (VI), kompleks dari Cu seperti Cu-EDTA, dan Cd-chloro-compleks.
Bentuk spesies logam lainnya yang sangat bioavailable umumnya sebanding dengan
proporsi ion logam bebas/ kation dalam bentuk terlarut. Bentuk ion logam bebas
tersebut biasanya mengatur banyaknya logam yang bisa diambil oleh organisme
maupun toksisitasnya (Luoma 1995).
Hasil dari bioassai sedimen dipengaruhi oleh manipulasi sedimen selama
tahap pengambilan, penyimpanan, dan percobaan. Standardisasi prosedur penanganan
untuk sedimen telah tersedia dalam ASTM, tetapi faktor geokimia dapat
mempengaruhi hasil dari bioassai sedimen walaupun prosedur dalam buku metode
standar tersebut telah diikuti (Luoma 1995).
Sedimen secara alami adalah sesuatu yang terbuka, dinamis, dan sistem
biogeokimia yang terstruktur. Suatu endapan sedimen yang alami terdiri atas bagian
oksik pada lapisan atasnya dan anoksik pada bagaian bawahnya. Dalamnya lapisan
oksik ditentukan oleh suatu keseimbangan antara sedimentasi bahan organik yang
reaktif, konsumsi oksigen oleh mikroba selama proses pembusukan materi organik,
dan kemampuan penetrasi oksigen ke dalam sedimen. Secara vertikal kedalaman zone
oksik sedimen bervariasi dari beberapa milimeter di dalam tingginya material organik
35
di sedimen, hingga sepuluh meter di beberapa lingkungan yang berpasir atau
oligotrofik. Pada kedalaman sedimen dimana kebutuhan akan oksigen mulai melebihi
dari oksigen yang tersedia, maka pada tempat tersebut terjadi suatu batas kondisi dari
status teroksidasi menjadi tereduksi. Zonasi dari batas tersebut ditentukan oleh proses
perombakan bahan organik oleh mikroba (Chapman et al. 1998).
Perbedaan antara sedimen dalam bentuk teroksidasi dan tereduksi
berpengaruh terhadap kimia dari logam telah diketahui lebih baik. Di dalam sedimen
yang teroksidasi, oksida dari Fe dan Mn membentuk padatan yang pada bagian
permukaannya bersifat reaktif dengan banyak unsur logam berat. Logam umumnya
berikatan dengan padatan dari oksida Fe dan Mn dan ligan organik. Di dalam kondisi
sedimen yang anoksik akan melarutkan bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ke dalam air
pori-pori sedimen. Sebagai gantinya adalah sulfida yang dominan yang akan
berikatan dengan logam membentuk (MeS) yang tidak larut.
Secara alami, sedimen oksik penting untuk mendukung kehidupan
makrofauna dan meiofauna, walaupun zone oksik hanyalah suatu lapisan tipis. Secara
umum makro dan meiofauna membutuhkan oksigen untuk metabolisme mereka.
Spesies yang tergolong infaunal dan epifaunal mempunyai strategi khusus dalam
pemenuhan oksigennya di dalam sedimen. Banyak organisme yang secara konsisten
kontak dengan permukaan zona oksik dari sedimen. Hewan yang lainnya mengangkut
air yang telah teroksigenasi masuk ke dalam sedimen untuk menciptakan miniatur
zone oksik dengan zonasi redoks pada skala milimeter (Luoma 1995).
Pengumpulan sedimen dan memindahkannya pada suatu ruang uji bioassai
memerlukan manipulasi dari sistim sedimen. Sedimen yang tereduksi bisa tercampur
dengan sedimen yang oksik selama koleksi. Proporsi keduanya mungkin berbeda
diantara contoh/cuplikan, jika koleksi dari suatu kedalaman yang telah ditetapkan.
Sedimen yang semula oksik di dalam ekosistem. mungkin akan berubah menjadi
tereduksi selama penyimpanan. Juga sebaliknya, pada zona tereduksi pada sedimen
dapat menjadi teroksidasi selama tahap manipulasi. Kondisi ini merupakan suatu
kejadian yang umum, karena bioassai dilakukan di bawah kondisi yang teroksidasi,
36
karena suatu persyaratan umum dari makrofauna untuk membutuhkan oksigen selama
pengujian berlangsung (Luoma 1995) .
Standard penanganan sedimen untuk bioassai, umumnya tidak terlalu
mementingkan status
kondisi sedimen apakah dalam bentuk tereduksi atau
teroksidasi. Studi yang realistis yang membandingkan respon toksisitas pada sampel
sedimen dengan perbedaan prosedur atau perbedaan kondisi redoks, merupakan suatu
kebutuhan segera di dalam toksikologi sedimen. Apapun pilihan dalam sampling dan
manipulasi sedimen, reaksi kimia yang akan terjadi tergantung pada bagian awal dari
komponen reaktan, ketersediaan oksidan (termasuk O2), dan waktu. Produk baru
(seperti Fe atau Mn oksida) dapat dengan cepat terbentuk dan produk yang ada dapat
berubah. Jika bentuk dari logam berubah, hasil bioassai mungkin akan terpengaruh.
Simulasi bioassai sedimen secara alami meniru karakteristik geokimia dari suatu
mikrohabitat, dimana
sebuah spesies kontak dengan sedimen. Sayangnya
karakteristik dari mikrohabitat dari banyak spesies penting masih belum diketahui
dengan baik (Luoma 1995).
2.12 Penyimpanan Sedimen
Penyimpanan sedimen merupakan salah satu potensi sumber penting dari bias.
Umumnya para peneliti menyetujui bahwa waktu simpan dapat mengubah status
toksisitas sedimen. Malueg et al, 1986 dalam Luoma (1995) menunjukkan sedimen
air tawar yang ditambah dengan logam Cu dan toksisitasnya di pantau selama 25 hari
dengan biota uji Daphnia magna menghasilkan adanya peningkatan toksisitas pada
minggu pertama dan toksisitasnya bervariasi hingga akhir dari 25 hari. Peneliti
tersebut juga melaporkan suatu pengurangan yang besar dari toksisitas Cu dalam
sedimen. Namun studi yang lain yang dilakukan oleh Carr et al. (1989) dalam Luoma
(1995) melaporkan tidak ada perubahan toksisitas pada hewan Polychaeta ketika
sedimen tersebut dibekukan yang kemudian dicairkan dengan sedimen yang masih
segar/ baru. Udara kering mungkin mengakibatkan oksidasi parsial dari logamsulfida, menurunkan pH, dan mengubah komposisi bersifat ion di air pori sedimen.
Penyimpanan yang direkomendasikan adalah lima hingga tujuh hari direfrigerator.
37
2.13 Air Pori-pori sedimen dan Elutriate
Banyak bioassai sedimen memaparkan logam kepada organisma dalam bentuk
terlarut. Umumnya uji sedimen dalam bentuk fraksi terlarut digunakan untuk
identifikasi kemungkinan toksikan yang menyebabkan gejala toksisitas melalui
serangkaian percobaan dari prosedur evaluasi identifikasi toksisitas/ TIE (Ankley et
al. 1991). Hewan yang digunakan dalam bioassai umumnya menggunakan stadium
awal dari organisme bentik makroavertebrata. Keuntungan dengan bioassai ini adalah
pertimbangan pada bagian yang paling sensitif dari suatu siklus hidup hewan yang
dipaparkan pada jangka waktu tertentu dan relatif realistis secara alaminya.
Logam dipisahkan dari sedimen dalam bentuk terlarut dengan cara ekstraksi
air pori-pori atau elutriate sedimen dengan air. Masalah dari pengaruh alami sedimen
dari cara tersebut di atas adalah ukuran butir sedimen yang tidak mempengaruhi
bioassai ketika kontaminan tersebut dipisahkan dari sedimen. Metode pemisahan air
pori-pori sedimen umumnya diakukan dengan cara sentrifugasi, penekanan, filtrasi,
atau kombinasi dari cara tersebut yang semuanya digunakan untuk memperoleh air
pori-pori. Alat insitu dialisis sampler adalah yang paling sedikit memberikan
gangguan pada sedimen dan gradients redoksnya, tetapi volume yang harus
dikumpulkan untuk uji biasanya menjadi masalah untuk metode ini. Untuk air
elutriate umumnya disajikan dengan cara perbandingan antara sedimen dan air (1:4)
yang dihomogenisasi dan setelah itu dibiarkan agar terjadi pengendapan selama 1
jam. Air elutriate tersebut kemudian dituang untuk disaring atau sedimen tersebut
tidak ikut dipindahkan (Ankley et al. 1991).
Perubahan kimia dari logam renik akan terjadi selama pemisahan air dari
sedimen, terutama jika sampel sedimen berisi campuran dari sedimen dalam bentuk
tereduksi dan terdioksidasi. Jika air pori-porinya yang anoksik berisi Fe dan Mn di
dalam larutan yang terpapar O2 selama pemisahan dari sedimen, atau selama uji
bioassai, maka akan terjadi endapan dari Fe oksida secara cepat. Beberapa elemen
renik yang dapat mengadakan co-presipitasi dengan Fe oksida yang secara langsung
dapat mempengaruhi Toksisitas. Hasil yang sama diperoleh ketika menyaring air
38
pori-pori, hilangnya toksisitas logam mungkin terjadi ketika logam berinteraksi
dengan partikel koloid atau endapan partikulat pada saat pemisahan (Luoma 1995).
Pekanya air pori yang anoksik yang berpengaruh pada perubahan geokimia
akan menciptakan adanya perselisihan yang serius antara kebutuhan biologi dan
geokimia dalam persyaratan uji bioassai dengan menggunakan air pori-pori.
Makrofauna memerlukan O2 untuk kesesuaian hidup dari suatu lingkungan uji, tetapi
gambaran dari reaksi di atas dapat mengakibatkan perubahan sifat alami dari air poripori ketika mereka teroksidasi. Karakteristik redoks dari sampel sedimen yang asli
dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda hasilnya dari bioassai air pori-pori.
Bioassai dari sedimen dalam bentuk tereduksi kemungkinan dapat melemahkan
potensi toksisitas logam. Permasalahan lainnya yang berkenaan dengan air pori-pori
yang harus dipelajari antara lain: pengaruh filtrasi pada keseimbangan koloid,
pengaruh aerasi pada air pori-pori terhadap logam sulfida. Tingginya konsentrasi dari
metabolit toksik seperti amonia yang dapat terakumulasi pada air pori-pori sedimen
dalam kurun waktu 24 jam, jika sedimen tersebut disimpan sebelum air pori-pori
tersebut dipisahkan (Luoma 1995).
Prosedur elutriasi yang mencampur sedimen dalam bentuk tereduksi dengan
air yang teroksidasi memiliki permasalahan serupa dengan air pori-pori. Selama
elutriasi, logam bisa mengendap dengan sulfida yang reaktif dari air pori-pori,
kemudian mengalami remobiliisasi sebagai sulfida yang teroksidasi. Logam yang
teremobilisasi akan mengendap dengan bentuk baru Fe oksida jika air yang tertinggal
masih dalam status teroksidasi. Elutriasi mungkin mensimulasikan pembuangan dari
hasil pengerukan, tetapi tidak menggambarkan pemaparan terhadap organisme dari
adanya kontaminasi yang ada di dalam sedimen alami. Umumnya elutriasi yang
paling sedikit diinginkan dari pendekatan bioassai (Luoma 1995). Perbandingan hasil
uji bioassai dari metode ekstraksi air pori-pori sedimen dan elutriate pada ikan
fathead
minnow
(Pimephales
promelas),
Cladocera
(Ceriodaphnia
dubia),
Amphipoda (Hyalela azteca), dan cacing Oligochaeta (Lumbriculus variegatus)
menunjukkan bahwa air pori-pori sedimen lebih toksik dibandingkan dengan air
elutriate (Ankley et al. 1991).
39
2.14 Intepretasi Data Kualitas Sedimen Triad (SQT)
Kontaminasi logam di lingkungan akuatik biasanya terjadi sebagai hasil dari
tingginya aktivitas antropogenik yang berada di daerah tangkapan air tersebut. Suatu
prosedur yang umum digunakan untuk evaluasi kerusakan akibat pencemaran seperti
itu, biasanya melibatkan tiga komponen studi/kegiatan yaitu analisis kimia, studi
ekologi yang biasanya dihubungkan dengan perubahan pada struktur komunitas biota
akuatik, dan uji toksisitas (Canfield et al. 1994; Berhard 2000; Long and Chapman
1985). Studi dengan menggunakan analisis kimia hanya menunjukkan adanya
kontaminasi logam di air, sedimen, dan biota dari banyak ekosistem, tetapi studi
tersebut masih belum cukup membuktikan efek yang merugikan sedang terjadi akibat
adanya kontaminasi tersebut. Besarnya konsentrasi, spesiasi geokimia, dan proses
biologi yang berpengaruh terhadap bioavailability logam kadang-kadang melalui
mekanisme tertentu yang tidak secara penuh dipahami. Meskipun proses
bioavailability dari suatu logam berat telah diketahui dengan baik, prediksi dari
adanya pengaruh merugikan dapat menjadi sangat komplek. Beberapa studi yang
telah dilakukan di lapangan menunjukkan adanya hubungan antara besarnya
kontaminasi logam
terhadap perubahan ekologi perairan. Namun sering kali,
kesimpulan yang dibuat masih mengandung unsur ketidakpastian bahwa hanya
logamlah yang menyebabkan gangguan ekologis,dikarenakan kompleksitas dari efek
yang ditimbulkan oleh bahan toksikan lainnya. Oleh sebab itu dalam menejemen dan
penilaian toksisitas dari unsur logam renik biasanya diperlukan pendekatan studi
yang terintegrasi, baik yang dilakukan dilapangan maupun di laboratorium yang
saling mendukung (Luoma 1995). Kualitas sedimen triad merupakan satu pendekatan yang terintegrasi dari
analisis kimia, observasi biologi (struktur komunitas), dan eksperimem biologi (uji
bioassai) guna menentukan perusakan lingkungan akibat polusi. Analisis kimia di
sedimen digunakan untuk mengukur besarnya kontaminasi yang terjadi di lapangan,
uji bioassai digunakan untuk mengukur pengaruh yang ditimbulkan dari suatu polutan
dalam kondisi yang terkontrol/ terstandarisasi, dan penilaian perubahan dari biota
yang residen (diwakili oleh komunitas bentik makroavertebrata) digunakan untuk
40
pengukuran kondisi riil di lapangan (melalui observasi). Intepretasi hasil dari
penggabungan komponen triad tergantung pada masing-masing bobot bukti (weight
of evidence) yang sering didefinisikan sebagai gambaran kesimpulan didasarkan pada
keseluruhan informasi yang tersedia dan hubungan/interelasi didalamnya. Adanya
bukti tersebut harus dievaluasi, diorganisir dalam beberapa mode yang saling
berkaitan dan dapat dijelaskan, sehingga evaluasi dari keseluruhan bobot bukti
tersebut dapat dibuat. Intepretasi hasil dari bobot bukti tersebut di atas dapat
berbentuk rangkuman indek yang digambarkan dalam bentuk diagram radar, matrik
keputusan tabulasi, dan analisis multivariat. Intepretasi dengan menggunakan
rangkuman indek biasanya memerlukan sebuah tahap normalisasi dari ketiga
komponen triad dari sebuah nilai referensi (rasio terhadap reference site) guna
menyamakan bobot bukti untuk dapat digambarkan pada sebuah grafik radar. Adanya
perbedaan ukuran dan bentuk mengindikasikan adanya perbedaan kesimpulan yang
dapat disederhanakan ke dalam matrik tabulasi seperti pada Tabel 2 (Chapman 1996).
Masalah utama dari pendekatan rangkuman indek ini adalah: 1). Hilangnya
substansi dari informasi yang ada selama konversi dari data multivariat ke dalam satu
indek secara proporsional, termasuk informasi yang berhubungan secara spatial, 2).
Signifikansi dari pengaruh secara spatial tidak dapat ditentukan secara statistik.
Adapun keuntungan dengan penyajian data dengan menggunakan metode tersebut
adalah keserdehanaan dalam intepretasi dan secara visual dapat dengan mudah
dipahami oleh para pengambil kebijakan yang bukan berlatar belakang peneliti
(Chapman 1996).
41
Tabel 2. Intepretasi data bioavailability sedimen dengan menggunakan konsep Triad dalam
bentuk matrik tabulasi (Chapman 1996).
Kontaminasi
Toksisitas
+
+
Perubahan
Komunitas
+
-
-
-
+
-
-
-
+
-
Kemungkinan Kesimpulan
Kuatnya petunjuk degradasi
yang disebabkan oleh polusi
Kuatnya bukti berlawanan
dengan degradasi yang
disebabkan polusi
+
Aksi tidak diperlukan
Adanya kontaminasi tidak
bioavailable
Aksi tidak diperlukan
Kontaminasi tidak terukur atau
kondisi berpotensi untuk
menyebabkan degradasi
1). Chek kembali
analisis kimia, ferivikasi
hasil tes toksisitas,
pastikan tidak
disebabkan oleh
modifikasi faltor lainnya
mis: pengaruh ukuran
butir sedimen
2). Lakukan tindakan
lebih lanjut ,fokuskan
pada studi TIE.
-
+
Perubahan komunitas tidak
disebabkan dari kontaminan
toksik
+
Kemungkinan Aksi/
Keputusan
Remediasi tergantung
pada tingkat kerusakan
dan substansi kimia
yang bertanggung
jawab. Identifikasi
toksisitas sedimen
(TIE) dapat digunakan
untuk identifikasi
kontaminan yang
dipentingkan.
Kontaminan toksik bersifat
bioavailable tetapi pengaruh
insitu tidak dapat ditunjukkan.
Aksi tidak diperlukan
disebabkan oleh kimia
toksik. Aksi yang lain
mungkin diperlukan
untuk alasan lainnya
misalnya perubahan
fisik dari habitat.
1). Cek kembali hasil
dari analisis bentik,
pertimbangkan untuk
tambahan pada analisis
data.
2). Jika cek kembali
mengindikasikan adanya
perubahan, perlakuan/
remediasi masih
42
-
+
+
Kontaminan toksik tidak dapat
terukur yang menyebabkan
degradasi
+
-
+
Kontaminan tidak
bioavailable, atau perubahan
komunitas tidak disebabkan
oleh kimia toksik
memungkinkan.
3). Jika cek kembali
menunjukkan tidak
adanya perubahan,
minimisasi atau
menurunkan input untuk
mencegah perubahan
dimasa yang akan
datang.
1). Cek kembali analisis
kimia, pertimbangkan
analisis tambahan dan/
atau TIE; pastikan
toksisitas dan perubahan
tidak disebabkan oleh
modifikasi faktor
lainnya (misalnya:
pengaruh ukuran butir).
2). Beberapa aksi
tergantung pada di atas.
1). Konfirmasi /
verifikasi hilangnya
toksisitas, teliti alasan
adanya perubahan.
2). Beberapa aksi
tergantung di atas.
Penggunaan konsep triad sebagai bahan rujukan dalam remediasi sedimen
dari suatu tipe badan air yang telah terkontaminasi oleh polutan telah dijelaskan oleh
Long and Wilson (1997). Jika salah satu unsur dari komponen di bawah ini terpenuhi,
maka sedimen tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam menetapkan prioritas
tempat yang akan dilakukan remediasi. Komponen penilaian sedimen tersebut secara
rinci dapat dilihat di bawah ini:
1. Satu atau lebih dari individu kimia telah melebihi nilai ERM dan PEL atau
beberapa guideline kualitas sedimen yang telah tersedia.
2. Relatif tingginya dari nilai rata-rata pembagian dari ERM (misalnya > 1)
3. Tingkat kelulushidupan dari hewan Amphipoda lebih kecil dibandingkan
dengan yang ada di bagian kontrol dan umumnya kurang dari 80%
dibandingkan kontrol.
43
4. Relatif rendahnya kekayaan spesies dan keberadaan hewan Amphipoda
dan Crustacea jarang atau tidak ada.
5. Adanya bioakumulasi dari toksikan pada ikan yang memiliki mobilitas
yang rendah (resident) atau pada hewan Moluska yang diamati pada suatu
area yang terpilih.
Download