I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data dari Masyarakat Transparency International (2005) menunjukkan bahwa korupsi terjadi di semua negara dengan bentuk dan derajat yang berbedabeda. Menurut Rose-Ackerman (1997), luas dan akutnya korupsi merupakan gejala (symptom) bahwa negara tidak atau kurang berfungsi dengan baik (poorly functioning state). Negara-negara yang telah berfungsi dengan baik dicirikan oleh keberhasilannya membangun tata aturan (kelembagaan) sosial, ekonomi, dan politik yang diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara secara lebih baik. Negara yang demikian pada umumnya berhasil mengekang dan mengendalikan korupsi. Itulah mengapa negara-negara yang telah maju seperti Swiss, Swedia, Denmark, Jerman, Perancis mengalami tingkat korupsi yang sangat rendah. Sementara itu, negara-negara berkembang yang dalam proses pembangunannya belum berhasil membangun tata aturan sosial, ekonomi dan politiknya seperti Nigeria, Kameron, Kenya, Uganda, Vietnam, Philipina, Indonesia dan sebagainya, cenderung mempunyai derajat korupsi yang sangat tinggi (Transparency International, 2005). Dalam sejarah pembangunannya, negara-negara tersebut masih mengalami berbagai kendala karena buruknya tata aturan (kelembagaan) sosial, ekonomi dan politik yang memicu terjadinya korupsi, sehingga walaupun negara tersebut kaya akan sumber daya alam, tetap saja negara ini gagal dalam pembangunan ekonominya. Fenomena ini mendorong banyak ahli ekonomi pembangunan untuk mengkaji keterkaitan antara korupsi dengan pembangunan, khususnya korupsi yang terjadi dalam proses pembangunan di berbagai negara berkembang. Kajian mengenai keterkaitan antara korupsi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi menghasilkan dua pandangan yang berlawanan. Pandangan pertama mengatakan bahwa dalam kondisi pajak dan aturan-aturan yang berlebihan dan cenderung menghambat aktivitas ekonomi, suap (bribery) dapat menjadi pelumas (grease) dalam perekonomian, karena dengan suap dapat diatasi hambatan dan kelambanan birokrasi. Pandangan ini dikenal dengan 2 istilah hipotesis pelumas efisien (efficient grease hypothesis) sebagaimana dikemukakan oleh Huntington (1968) dan Lui (1985). Dalam perkembangannya, pandangan hipotesis pelumas efisien mulai dipertanyakan karena sejumlah asumsi yang digunakan. misalnya, asumsi bahwa Sebagai contoh, distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh penyuapan. Asumsi ini kurang mendapat dukungan yang sahih, karena sering kali distorsi-distorsi dalam perekonomian dan suap umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang sama. Bardhan (1997) mengeritik teori hipotesis pelumas efisien dengan mengatakan bahwa distorsi-distorsi tersebut tidak eksogen (exogenous) terhadap sistem, tetapi merupakan bagian yang inheren (built-in) dalam praktek-praktek korupsi dari sistem politik yang bercirikan hubungan patron-klien. Karena birokrat memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu aturan tertentu, maka aturan–aturan yang menghambat secara endogen dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup, sedemikian sehingga mereka menyusun bentuk dan sejumlah hambatan terhadap perusahaan agar mereka dapat memperoleh uang sogokan semaksimal mungkin. Akibatnya perusahaan yang telah membayar uang sogokan lebih besar, akan tetap harus membayar uang suap yang lebih besar lagi. Oleh karena itu penyuapan menciptakan biaya ekonomi yang tinggi sehingga berdampak negatif terhadap perekonomian dan pembangunan wilayah. Penelitian empirik yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara berkembang mendukung argumen bahwa korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian dan proses pembangunan. Myrdal (1970) yang melakukan penelitian tentang korupsi di negara-negara di kawasan Asia Selatan menemukan bahwa perilaku korupsi menghambat laju modernisasi di kawasan tersebut. Bardhan (1987), Mauro (1995), Klitgaard (1998), Bareto (2000), Lambsdorff (1999) menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Rose-Ackerman (1997) menemukan bahwa korupsi membuat negara akan terjebak pada stagnasi dan terus hidup dalam kejatuhan ekonomi, karena korupsi merupakan gejala (symptom) yang menunjukkan negara kurang berfungsi dengan baik sehingga pertumbuhan ekonominya lambat. 3 Studi yang dilakukan oleh Hill (1999), MacIntyre (1999) dan Kuncoro (2002) menghasilkan temuan bahwa dampak korupsi di Indonesia terhadap pembangunan ekonominya jauh lebih buruk dan sangat mengkhawatirkan. Pada era Pemerintahan Orde Baru korupsi tumbuh subur melalui jalur birokrasi (badan pemerintah). Dominannya posisi birokrasi pemerintah sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi menyebabkan makin maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) saat itu. Korupsi dilakukan melalui kolusi antara birokrat dengan pengusaha. Perkiraan kebocoran anggaran negara (APBN) waktu itu ditaksir mencapai hingga 30% sampai 50% (Indonesian Corruption Watch, 2000; Rosidi, 2006; Nurdjana, 2005). Dipicu oleh krisis moneter akibat jatuhnya nilai tukar bath pada Juli 1997, korupsi yang masif dan kolosal yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru akhirnya menyebabkan terjadinya krisis nasional yang berkepanjangan dan dampaknya masih terasa hingga kini. Hill (1999) menunjukkan bahwa kekuasaan yang sentralistik dan korupsi pada era Orde Baru menyebabkan bangsa Indonesia sangat rentan terhadap krisis. menemukan bahwa MacIntyre (1999) juga regulasi keuangan dan perbankan yang sangat rentan bersama dengan krisis pengelolaan perbankan akibat kolusi antara pengusaha–birokrat bankir– merupakan faktor utama hilangnya kepercayaan investor yang memicu terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Kuncoro (2002) menunjukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai tingkat suap yang tinggi akan dijauhi oleh perusahaan-perusahaan baru yang kemudian akan mempunyai dampak pada menurunnya produktivitas secara agregat. Menyadari dampak negatif korupsi terhadap pembangunan mendorong lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha secara terus menerus untuk memberantas dan menekan korupsi. Bahkan, sejak September 2007, kedua lembaga tersebut meluncurkan program StAR (Stolen Asset Recovery) initiative yakni sebuah program kerjasama global dan bilateral untuk membantu negaranegara berkembang agar pembangunan ekonominya dapat berjalan lebih efektif dengan cara memperkuat akuntabilitas kelembagaan dan membantu 4 mengembalikan harta yang dikorupsi dan dilarikan ke luar negeri oleh para mantan pemimpin negaranya. Sementara itu, berbagai usaha memberantas korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Rahayu (2005) menjelaskan bahwa pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun pada waktu itu pemerintah setengah hati menjalankannya. Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung. Pada tahun 1970, karena ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Akibat maraknya gelombang protes tersebut, akhirnya Presiden Soeharto waktu itu, membentuk Komite Empat yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, dan A Tjokroaminoto. Mereka diberi tugas untuk membersihkan korupsi di Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, Telkom, Pertamina dan lain-lain. Tetapi Tim ini bagai “macan ompong”, karena hasil temuannya dalam mengungkap korupsi pada waktu itu tidak direspons oleh pemerintah. Upaya pemberantasan korupsi memperoleh momentumnya kembali bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998 menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi. Hal ini tertuang dalam ketetapan MPR RI No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak saat itu wacana anti korupsi semakin berkembang dengan munculnya organisasi-organisasi yang bergerak untuk memberantas korupsi, seiring dengan adanya kebebasan pers dan kebebasan politik. Dari wacana yang berkembang tersebut kemudian muncul gagasan untuk melakukan pendekatan legal dalam pemberantasan korupsi seperti perbaikan UU Anti Korupsi, UU Perlindungan Saksi, Ombudsman, dan lain-lain (Indonesian Corruption Watch, 2000). Perangkat dan berbagai ketentuan hukum dibuat pada masa Pemerintahan Habibie sebagai upaya pemberantasan korupsi. Sebut saja misalnya UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang 5 bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usaha tersebut dilanjutkan pada Pemerintahan Megawati yang melahirkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dengan KPK inilah Pemerintahan SBY-JK giat memberantas korupsi. Untuk melengkapi alat hukum pemberantasan korupsi, Pemerintahan SBY-JK mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 2006 tentang ratifikasi konvensi PBB menentang korupsi (UN Convention Againts Corruption) yang di dalamnya memasukkan bribery (penyuapan) dan penggelapan sebagai delik pidana korupsi. Namun demikian usaha tersebut belum memberikan hasil optimal. Data Transparency International dalam enam tahun terakhir selalu menempatkan Indonesia sebagai kelompok negara paling korup di dunia 1 . Ini menandakan bahwa korupsi terus berlangsung dan makin merajalela. Bahkan skalanya meluas ke berbagai daerah, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan pada tahun 2001. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif di tingkat nasional dan lokal (daerah) juga tidak mampu menciptakan perbaikan yang berarti dalam mengurangi korupsi. Bahkan mereka malah larut dan ikut melakukan korupsi. 1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah Pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi yang berbasis perilaku pencarian rente (rent seeking) yang tumbuh subur di era Orde Baru terus berlangsung hingga kini. Berbagai “aksi” anggota parlemen yang kita saksikan sejak parlemen tahun 1999 dan parlemen tahun 2004 memperluas cengkeraman partai-partai politik terhadap berhasil sumber-sumber keuangan negara, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional kasus seperti Bulogate, Bank Bali, Bank Mandiri, BLBI, BPPN dan lainnya memberikan indikasi kuat bahwa partai-partai politik yang ada saat ini, benarbenar berusaha mengontrol pundi-pundi keuangan negara. Partai politik yang 1 Lihat www.transparency.org 6 demikian menunjukkan bahwa partai-partai tersebut bukan merupakan partai politik modern. Di sisi lain duduknya pengusaha-pengusaha besar di kepengurusan partai-partai politik yang berkuasa saat ini makin menegaskan kuatnya kontrol korporasi terhadap partai politik dan pemerintahan, sementara birokrasi telah menjelma dari jejaring rente pengusaha besar –yang berperan sebagai pendana politik (political financiers) pada masa Orde Baru- menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik dewasa ini. Konfigurasi politik nasional pada saat ini dapat disebut sebagai pemantapan struktur-struktur pencarian rente warisan Orde Baru (Simanjuntak, 2005). Robison dan Hadiz (2004) menengarai fenomena maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme saat ini sebagai akibat kuatnya politico-business oligarchy yang didukung oleh tiga kekuatan yaitu pengusaha hitam-birokrasi-militer. Dalam konteks ini, birokrasi akhirnya menjadi mesin pelaku politik dan pelaku bisnis sebagai sarana apropriasi sumber-sumber daya ekonomi maupun politik (Indonesian Corruption Watch [ICW], 2000). Aksi pencarian rente tersebut bahkan terus meluas ke berbagai daerah, seiring dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001. Di satu sisi, otonomi daerah telah membuka ruang sosial bagi proses demokratisasi dalam pembangunan wilayah. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah (kabupaten/kota) memperoleh kewenangan yang lebih besar untuk mengatur kehidupan ekonomi maupun politik di daerahnya masingmasing. Namun, di sisi yang lain, karena lemahnya akuntabilitas politik, administratif, dan profesionalisme pemerintahan daerah sebagai akibat dari bakumain (interplay) antara faktor politik, ekonomi dan budaya, kewenangan yang lebih besar tersebut justru memicu terjadinya korupsi yang berasal dari perilaku pencarian rente. Henderson dan Kuncoro (2004) menemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, penyuapan (korupsi) pada tingkat pemerintahan daerah meningkat sejalan dengan (fakta bahwa) makin banyaknya aturan-aturan baru yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, khususnya pajak, retribusi dan berbagai jenis perizinan serta kebijakan (regulasi) di daerah yang diciptakan sebagai aturan semu (artificial) agar pejabat lokal (birokrasi lokal) bersama 7 dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang mendapatkan rente ekonomi sebesar-besarnya. Patut dicatat, bahwa sejak tahun 2001 sampai tahun 2003 telah muncul 3 844 peraturan daerah (perda) baik tentang APBD, pajak, retribusi, perizinan dan regulasi lainnya. Hasil kajian Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, KPPOD (2005) menunjukkan bahwa dari 3 844 perda yang muncul tersebut, hanya sekitar 14% yang tidak “bermasalah”, dan selebihnya, sekitar 86%, menimbulkan banyak masalah antara lain berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi, menimbulkan persaingan tidak sehat, menghalangi akses masyarakat terhadap sumber daya, menghalangi lalu lintas barang antar daerah, adanya ketidakjelasan kriteria jenis jasa yang diberikan pemerintah daerah yang perlu dibiayai dengan retribusi, dan pengenaan pajak/pungutan yang berganda dengan pungutan/pajak yang telah ada. Regulasi-regulasi yang bermasalah memang bukan hal yang baru terjadi pada era desentralisasi saat ini, tetapi regulasi tersebut sudah ada. sebelum desentralisasi diberlakukan Misalnya regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang memberlakukan halangan-halangan dalam bentuk tarif dan tata niaga dalam perdagangan untuk melindungi kepentingan usaha atau dagang kelompok yang menyuap birokrat pemerintah daerah tersebut (SMERU,1999). Ray (2003) menjabarkan asal-muasal dari kebanyakan kebijakan Pemda yang diskriminatif dan anti-persaingan tepat sebelum dimulainya proses otonomi. Namun, desentralisasi yang diwarnai oleh masih lemahnya akuntabilitas pemerintahan daerah, makin menambah persoalan-persoalan dan tekanan baru dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Persoalan-persoalan dan tekanan-tekanan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi yang memicu terjadinya korupsi juga berasal dari faktor budaya masyarakat dan budaya birokrasi di berbagai daerah yang jauh dari prinsip-prinsip penadbiran baik (good governance). Bangkitnya kembali faktor-faktor primordialisme dan komunalisme birokrasi lama yang berinteraksi dengan yang kental dengan budaya feodalistik, makin memicu banyaknya regulasi-regulasi yang bermasalah (Simanjuntak, 2005). Tumbuh suburnya perilaku suap-menyuap juga terkait dengan warisan kondisi historis kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh 8 penjajah (Alatas dalam Damanhuri, 2006). Karena hal tersebut berlangsung lama dan secara terus menerus, akibatnya masyarakat menilai bahwa upeti dan uang sogokan untuk menunjukkan loyalitas terhadap atasan atau penguasa sebagai sesuatu yang biasa. Pemaknaan sedemikian dari masyarakat sangat menentukan eksistensi dan meluasnya korupsi (Panjaitan, 2007). Budaya feodalistik yang mewarnai birokrasi pada masa Orde Baru makin tumbuh subur, seiring dengan makin berkembangnya sistem politik yang berbasis pada budaya politik Jawa. Kondisi ini tidak lepas dari figur Presiden Soeharto waktu itu, yang berasal dari Jawa dengan mengadopsi kepemimpinan model kerajaan Jawa (Dwiyanto et al, 2005). Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemoni, penyeragaman diberlakukan di lingkungan birokrasi pemerintah. Loyalitas para aparat birokrasi pemerintah ditujukan kepada negara dan pemerintah, bukan kepada rakyat. Akhirnya, seperti yang kita lihat, budaya feodalistik dan paternalistik yang melekat pada birokrasi yang tumbuh subur pada masa Orde Baru, terus berkembang mewarnai masyarakat dan birokrasi di berbagai daerah hingga saat ini. Bahkan menurut Simanjuntak (2005), budaya feodalistik yang melekat pada birokrasi ini seperti mendapat “suntikan” energi baru dengan adanya otonomi daerah. Sentralisasi birokrasi pada masa Orde Baru telah menyebabkan birokrasi terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrasi. Masuknya orang-orang partai ke dalam lingkaran kekuasaan dan jalur birokrasi di berbagai daerah sejak reformasi dan otonomi daerah diberlakukan, pada akhirnya mendesak kekuasaan birokrasi yang semula sebenarnya sudah sangat besar (Hendytio, 2006). Persoalannya, menjadi serius ketika orangorang partai politik mengambil peran dalam birokrasi, menduduki jabatanjabatan teknis yang terkait langsung dengan implementasi suatu regulasi (kebijakan) di daerah. Konflik kepentingan antara partai politik dan pemerintah daerah menjadi tidak terhindarkan. Akan sangat sulit bagi seorang kader partai 9 untuk meletakkan kepentingan partainya di bawah kepentingan publik. Sebab keberadaan seorang kader partai di dalam posisi birokrasi pada dasarnya adalah untuk mengumpulkan sumber-sumber bagi partai, baik sumber keuangan, sumber daya manusia, maupun sumber kekuasaan dan pengaruh (Hendytio, 2006). Perilaku pencarian rente yang ditandai oleh munculnya berbagai Perda “bermasalah” tersebut selanjutnya memicu meluasnya korupsi di berbagai daerah. Data ICW (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2004 ada 432 kasus korupsi di berbagai daerah yang mayoritas dilakukan oleh Kepala Daerah (83 kasus) dan anggota DPRD (124 kasus) baik itu melalui Perda APBD maupun melalui Perda tentang Perizinan, Pajak dan Retribusi. Berdasarkan uraian di atas, korupsi yang marak di berbagai daerah yang membawa implikasi yang luas dalam menghambat pembangunan wilayah berakar dari munculnya berbagai regulasi yang diciptakan baik untuk kepentingan birokrat itu sendiri maupun untuk kepentingan suatu kelompok tertentu. Berbagai Perda yang sesungguhnya dibuat untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan keuangan, secara khusus (partikular) telah dijadikan sebagai area untuk mendapatkan keuntungan pribadi, memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melanggar atau membuat dan mengubah peraturan yang ada. Dalam konteks pembangunan wilayah, pemerintah menetapkan regulasi dan tingkat pajak sebagai instrumen kebijakan publik. Regulasi yang ditetapkan akan sangat berpengaruh bagi dunia usaha, sehingga swasta menginginkan regulasi yang terbentuk dan dapat diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan mereka dengan jalan melakukan lobi dan penyuapan (Rose-Ackerman, 1999). Maka perilaku korupsi dimulai dari intervensi individu dan swasta dalam perumusan, pelaksanaan serta dalam pengawasan regulasi tersebut. Melihat fenomena korupsi yang muncul yang bersumber dari berbagai proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi dalam proses pembangunan wilayah tersebut, mengisyaratkan adanya kegagalan yang serius dalam usaha menyalurkan kepentingan pribadi ke arah tujuan-tujuan produktif dalam pembangunan wilayah. Akibatnya seperti yang telah dijelaskan, daya 10 saing produk suatu wilayah (Indonesia) akan menurun, iklim investasi terhambat dan pada akhirnya menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karena itu kajian untuk mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana mekanisme dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya korupsi pada proses pembangunan wilayah, terutama dalam kaitannya dengan perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi/kebijakan, sangat membantu, bukan hanya akan dalam usaha untuk menekan korupsi yang muncul di berbagai daerah saat ini, tetapi juga membantu mencapai keberhasilan proses pembangunan wilayah itu sendiri. Beberapa studi terdahulu telah menelaah kaitan antara korupsi dan pembangunan ekonomi di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia seperti penelitian yang dilakukan oleh Huntington (1968), Myrdal (1970), Krueger (1974), Lui (1985), Bardhan (1987; 1997), Mauro (1995), Klitgaard (1998), Lambsdorff (1999), Rose-Ackerman (2000), Bareto (2000), Kuncoro (2002; 2006), Henderson dan Kuncoro (2004; 2005) dan World Bank (2006), tetapi penelitian tersebut pada umumnya membahas dampak korupsi terhadap pembangunan dan berbagai tipologi korupsi. Kalaupun ada yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi, pada umumnya masih bersifat parsial dan pada tataran terjadinya korupsi pada pelaksanaan program-program pembangunan yang bersifat makro. Studi ini mencoba menelaah secara lebih komprehensif dan mendalam mengenai mekanisme terjadinya korupsi dan keterkaitannya dengan faktor ekonomi politik dan budaya dengan mengambil titik masuk (entry point) analisis pada bagaimana mekanisme perumusan regulasi serta respons pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Titik masuk analisis tersebut didasarkan pada indikasi bahwa munculnya “bibit” korupsi terjadi sejak awal proses perumusan regulasi atau Perda itu sendiri. Selain itu, studi ini juga menganalisis interaksi dan peranan masingmasing pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan, termasuk partai politik dan birokrasi, di mana kepemimpinan (leadership) menempati posisi yang strategis dan faktor budaya sangat berpengaruh terhadap pola interaksi dan respons para pemangku kepentingan tersebut. Hal tersebut 11 didasarkan pada (1) fakta yang terjadi saat ini yakni betapa sulitnya mencari pemimpin yang berkualitas negarawan, (2) kekhawatiran bahwa korupsi telah membudaya. Jika korupsi sudah menjadi nilai budaya, maka makin sulit usaha memberantas dan menekan korupsi. Berdasarkan uraian diatas, secara umum pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana kaitan antara faktor ekonomi politik dan budaya dengan terjadinya korupsi di berbagai daerah di Indonesia. Secara terperinci pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Bagaimana mekanisme dan pola perumusan regulasi/Perda dan keterkaitannya dengan terjadinya korupsi ? 2. Seberapa besar tingkat korupsi terjadi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di beberapa daerah di Indonesia dan apakah korupsi sudah membudaya? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat, perusahaan (swasta) dalam memilih instrumen untuk mengatasi koersi yang disebabkan oleh adanya suatu regulasi yang tidak sesuai dengan keinginan? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keterkaitan faktor ekonomi politik dan budaya dengan terjadinya korupsi di berbagai daerah di Indonesia di era otonomi daerah. Secara terinci, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis bagaimana suatu Perda dirumuskan, menemukan polanya dan keterkaitannya dengan terjadinya korupsi di beberapa daerah (kabupaten/kota) di Indonesia serta menguji adanya korupsi yang dilakukan dengan cara mempengaruhi proses perumusan kebijakan sehingga terbentuk regulasi yang melegalkan suatu perilaku korup hingga lahirnya korupsi yang terlegalisasi (legalized corruption). 2. Menganalisis seberapa besar tingkat korupsi yang terjadi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di beberapa daerah di Indonesia dan menganalisis apakah korupsi benar-benar sudah membudaya? 3. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhi masyarakat, perusahaan (swasta) dalam memilih 12 instrumen untuk mengatasi koersi yang disebabkan oleh adanya suatu regulasi yang tidak sesuai dengan keinginan. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Dunia akademik dalam memperkaya khazanah pengetahuan tentang korupsi di Indonesia, terutama pengetahuan tentang akar masalah korupsi yang terjadi di berbagai daerah pada era desentralisasi saat ini. 2. Pemerintah daerah (eksekutif) dan legislatif, sebagai bahan masukan dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan/regulasi yang bisa mengekang (menekan) terjadinya korupsi di daerah 3. Masyarakat, swasta dan pemerintah daerah untuk mempraktekkan prinsip-prinsip penadbiran baik (good governance) dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi yang yang melibatkan mereka. 1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Studi Karena sangat luasnya pengertian korupsi, maka studi ini difokuskan pada korupsi yang terjadi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di daerah kabupaten/kota di Indonesia. Studi ini dibatasi pada pengertian korupsi yang terjadi pada anggaran publik (APDB) dan korupsi dalam konteks sebagai pengurang biaya yang dilakukan melalui manipulasi regulasi perizinan. Dalam konteks ini, korupsi mencakup perilaku koruptif (corruptive behaviour) yang dapat berbentuk penyuapan, aktivitas pencarian rente (rent seeking activity) dan penggelembungan (mark up) biaya. Oleh karena itu pengertian kajian ekonomi politik dalam studi ini adalah studi keterkaitan dan interaksi antara fenomena ekonomi dengan fenomena politik atau secara kongkrit, studi yang mempelajari bagaimana interaksi ekonomi politik pembuat kebijakan (pemerintahan) membuat regulasi untuk kepentingan ekonomi masyarakat dan/atau negara. Regulasi yang menjadi kajian dalam kaitan dengan terjadinya korupsi dalam studi ini dibatasi pada regulasi yang mengatur aktivitas perekonomian 13 masyarakat di suatu daerah (kabupaten/kota), terutama Perda tentang APBD dan Perda yang terkait dengan perizinan usaha yang muncul menjelang dan setelah desentralisasi fiskal diberlakukan mulai tahun 2001. Oleh karena dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, masyarakat, perusahaan (swasta), birokrasi dan eksekutif serta legislatif merupakan pemangku kepentingan yang akan menentukan proses tersebut, maka kajian ini mencakup analisis terhadap interaksi masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan DPRD, parpol dan akademisi serta LSM dalam merumuskan dan merespon setiap regulasi. Secara makro, daerah yang akan dianalisis merupakan daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tetapi secara spesifik studi ini akan memfokuskan pada studi kasus tentang perumusan, pelaksanaan dan pengawasan Perda di tiga daerah yaitu Kabupaten Solok, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Ketiga daerah tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kondisi kelembagaan (tata-aturan) ekonomi dan politik daerah, aspek budaya daerah yakni antara budaya feodalistik dan egaliter, dan “kekayaan” daerah yakni antara kaya dan miskin akan sumber daya alam. Kabupaten Solok dipilih karena dari sisi kelembagaan merupakan daerah penyelenggara otonomi terbaik ke-dua dari seluruh kabupaten di Indonesia (KPPOD, 2005) dan dari sisi budaya, daerah ini cenderung egaliter. Sementara itu, Kabupaten Sukoharjo dipilih karena secara kelembagaan merupakan daerah dengan kualitas kelembagaan terburuk ke-tiga di Jawa (KPPOD, 2005) dengan budaya cenderung feodalistik, karena dari sisi historis-kultrural daerah ini sangat dekat dengan pusat kebudayaan Jawa. Sedangkan, Kabupaten Kutai Kartanegara dipilih karena merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama batu bara dan migas, perkebunan, dan kehutanan, dan sebagai kabupaten yang mempunyai sumber daya keuangan (APBD) terbesar di Indonesia, tetapi secara kelembagaan daerah ini memiliki peringkat nilai kelembagaan yang cenderung buruk (KPPOD, 2005).