1 PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis energi di era teknologi merupakan salah satu tantangan yang sedang dihadapi sehingga perlu upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah mendukung namun belum dimanfaatkan secara maksimal misalnya biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Energi surya merupakan salah satu energi yang banyak dikembangkan saat ini, misalnya teknologi sel surya. Sel surya mulai menarik banyak perhatian para peneliti karena diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa depan terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Sel surya juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena dalam konversinya tidak menghasilkan polutan sama sekali. Saat ini, teknologi sel surya yang banyak dikembangkan masih didominasi oleh sel surya berbasis silikon amorf dan kristal namun harga bahan dasar dan biaya produksi yang mahal menjadikan harga jual sel surya di pasaran relatif tinggi (Fahlman dan Salaneck 2002). Pengembangan metode-metode sederhana dalam fabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya. Oleh sebab itu, mulai dikembangkan dye sensitiser solar cell (DSSC) dengan menggunakan bahan organik. Jika dibandingkan dengan fotovoltaik berbasis Silikon (Si), DSSC memiliki keuntungan yaitu tidak sensitif terhadap cacat dalam semikonduktor seperti cacat di dalam struktur Si, mudah terbentuk dan biayanya lebih efektif untuk produksi serta lebih memungkinkan terjadinya transfer energi langsung dari foton menjadi energi kimia (Wei 2010). Salah satu semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah titanium oksida (TiO2). Titania relatif murah, banyak dijumpai dan juga tidak beracun (Grätzel 2003). Produk dari DSSC adalah energi listrik namun banyak faktor yang menyebabkan cahaya yang diproses di dalam sel surya mampu dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya nilai efisiensi sel surya jenis DSSC adalah konsentrasi ekstrak dye yang secara langsung berhubungan dengan besarnya tingkat absorbansinya terhadap panjang gelombang sinar yang terserap. Sel surya jenis DSSC merupakan sel tersensitisasi dye dan berbeda dari perangkat semikonduktor konvensional karena dalam proses absorpsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi dalam proses yang terpisah. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita besar. Dye sensitiser menyerap sinar matahari dan memanfaatkan energi cahaya untuk menginduksi reaksi transfer elektron. Dye yang digunakan sebagai sensitiser dapat berupa dye sintesis maupun dye alami. Dye sintesis yaitu jenis ruthenium complex yang telah mencapai efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya yang mahal sehingga perlu adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami. Dye alami dapat diekstraksi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai 2 jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis. Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitiser dalam sistem DSSC antara lain berupa ekstrak antosianin (Cherepy et al. 1997; Dai et al. 2002), klorofil (Mabrouki et al. 2002), karoten (Yamazaki et al. 2006), buah mulberry hitam (Chang et al. 2010), cryptophyta (Doust et al. 2006), kol merah (Maddu et al. 2007), phycoerythrin (Kathiravan et al. 2009), bunga bougainville, lobak cina merah dan buah pear (Calogero et al. 2010) serta Zhou et al. (2011) telah menggunakan 20 warna alami dari tumbuhan untuk aplikasi DSSC. Selain pigmen dari tanaman darat, pigmen juga dapat diekstraksi dari mikroalga yaitu berupa fikosianin. Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fikosianin mampu menyerap cahaya tampak paling banyak, dengan demikian perlu dikaji lebih dalam tentang kemampuan fikosianin sebagai sensitiser dalam DSSC. Rumusan Masalah Biaya produksi yang mahal dalam fabrikasi teknologi sel surya menjadikan harga jual di pasaran relatif tinggi sehingga DSSC merupakan salah satu jenis sel surya yang banyak dikembangkan sebagai alternatif dari sel surya konvensional. Sel surya yang menggunakan dye sintetis sangat mahal dalam fabrikasinya sehingga mendorong para peneliti untuk menggunakan dye alami pemanen cahaya pada organisme yang cenderung lebih mudah diperoleh. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah penggunaan dye fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis sebagai light harvesting dalam pembuatan DSSC. Ruang Lingkup 1 2 3 4 Ruang lingkup penelitian ini adalah: Kultivasi Spirulina platensis untuk memperoleh dye fikosianin Sintesis nanopartikel TiO2 Pembuatan larutan elektrolit PEG/kitosan Perakitan dan pengukuran performa sel surya