Analisis Genetik dan Pewarisan Sifat Ketahanan

advertisement
VII. PEMBAHASAN UMUM
Ketahanan
terhadap
penyakit
antraknosa
yang
disebabkan
oleh
Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai
diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon et al. 2006) dan C.
chinense (AVRCD 1999; AVRDC 2003). Walaupun demikian, pemindahan gen
ketahanan dari spesies C. baccatum dan C. chinense ke C. annuum tidak mudah
(Greenleaf 1986) dan sifat yang tidak diinginkan dari spesies tersebut sulit untuk
dihilangkan. Oleh karena itu eksplorasi C. annuum yang mengandung gen
ketahanan terhadap antraknosa terus dilakukan. AVRDC (2003) melaporkan
bahwa tiga genotipe dari C. annuum diidentifikasi tahan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh C. acutatum. Tiga genotipe tersebut adalah PBC 1430 asal
Mexico, PBC 1439 asal USA dan PBC 1478 asal Australia, disamping satu
genotipe (PBC 880 asal Mexico) dari spesies C. baccatum.
Penelitian ini menggunakan spesies cabai C. annuum L. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa satu genotipe yaitu C-15 tahan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh C. acutatum. C-15 merupakan genotipe introduksi dari AVRDC
dengan kode 0209-4 yang diidentifikasi tahan terhadap penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh C. acutatum. Menurut Gniffke (2004), 0209-4 merupakan BC3F6
persilangan antara spesies C. annuum (Susan’s Joy) dengan C. chinense (PBC
932).
Dalam penelitian ini, C-15 digunakan untuk studi pewarisan ketahanan
terhadap penyakit antraknosa sebagai genotipe tahan. Ketahanan terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak
gen resesif dengan aksi gen resesif parsial (Syukur et al. 2007). Ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Yoon et al. (2006), yang melaporkan bahwa ketahanan
terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum
pada persilangan
interspesifik C. annuum (Habreno) dengan C. baccatum (PBC 81) dikendalikan
oleh gen mayor dominan. Kim (2006) melaporkan bahwa ketahanan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C.
annuum dengan C. baccatum (persilangan HN 11’ x ‘AR) dikendalikan oleh gen
113
mayor resesif (gen sederhana resesif), sementara pada persilangan interspesifik C.
annuum dengan C. baccatum lainnya (persilangan ‘Golden-aji’ x ‘PI 594137’)
dikendalikan oleh gen mayor dominan (gen sederhana dominan). Hasil ini
mengindikasikan bahwa tetua yang membawa gen yang berbeda memberikan
respon yang berbeda terhadap
ketahanan antraknosa yang disebabkan oleh
C. acutatum.
Studi pewarisan sifat ketahanan pada cabai hasil persilangan interspesifik
terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh berbagai spesies telah
dilaporkan (selain yang dilaporkan Yoon et al. (2006)). Ketahanan terhadap
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada persilangan
interspesifik antara C. annuum dengan C. frustescens adalah dikendalikan oleh
satu gen dengan aksi gen resesif (Amilin et al. 1995). Ketahanan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides pada persilangan cabai
interspesifik C. annuum (Jatilaba) dengan C. chinense (CC-27) dikendalikan oleh
banyak gen dengan aksi gen dominan tidak sempurna (Wusani 2004).
Pakdeevaraporn (2005) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh C. capsici pada persilangan cabai interspesifik C. annuum
(Bangchang) dengan C. chinense (PBC 932) dikendalikan oleh satu gen resesif
dengan pola 1:3 (pada F2, 1 untuk tahan; 3 untuk rentan).
Studi pewarisan menggunakan spesies yang berbeda mempunyai beberapa
kelemahan diantaranya adalah perbedaan spesies memberikan perbedaan struktur
dan morfologi kromosom. Kondisi tersebut akan menghambat terjadinya
homologi kromosom kedua tetua. Perbedaan genom pada persilangan interspesifik
antara Capsicum annuum x C. baccatum menyebabkan ketidaknormalan dalam
perpasangan pada waktu meiosis, sehingga muncul jembatan dan lagging
(Gambar 25). Perbedaan ukuran yang sangat nyata antara O. sativa dengan
O. australiensis akan mengurangi peluang terbentuknya embrio hibrid (Nezu et al.
1960; Li et al. 1963; Amalliyah 1999). Kromosom O. australiensis berukuran
jauh lebih besar (2-4 kali) dari kromosom O. sativa sehingga ketidakserasian
kedua spesies untuk menyilang semakin tinggi. Ketidaknormalan kromosom
berpasangan pada saat meiosis menyebabkan pendugaan kendali genetik suatu
karakter akan menjadi bias.
114
A
B
C
D
Gambar 25. Perilaku Kromosom Meiosis pada Persilangan Interspesifik
Capsicum annuum x C. baccatum. (A) Metafase I Normal, (B)
Multivalen pada Metafase I, (C) Jembatan pada Anafase I Awal, (D)
Lagging pada Telofase I (Sumber: Yoon 2003).
Sifat yang muncul dari suatu tanaman (fenotipe) merupakan hasil dari
genetik dan lingkungan (Halloran et al. 1979). Ragam fenotipe (σ2P) sebenarnya
terdiri dari ragam genetik (σ2G), ragam lingkungan (σ2E) serta interaksi antara
ragam genetik dan lingkungan (σ2GxE). Dengan rumus matematis: σ2P = σ2G + σ2E
+ σ2GxE. Ragam genetik itu sendiri terdiri dari ragam genetik aditif (σ2A), ragam
genetik dominan (σ2D) dan ragam genetik epistasis (σ2I); dimana σ2G = σ2A + σ2D +
σ2I (Baihaki 2000; Roy 2000). Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam
program pemuliaan, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan.
Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan diantara
kerabat (antara tetua dengan turunannya). Ragam ini merupakan efek rata-rata
gen; fungsi dari derajat dimana perubahan fenotipe, karena terjadinya seleksi.
Ragam genetik dominan merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara
kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya
gabung (combining ability). Seberapa besar keragaman fenotipe akan diwariskan
diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas (Poepodarsono 1988).
115
Berdasarkan uji skala gabungan, aksi gen yang mengendalikan ketahanan
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum mengikuti model aditifdominan. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h]
yang menentukan keragaman ketahanan penyakit. Aksi gen aditif lebih berperan
dibandingkan aksi gen dominan dalam menentukan ketahanan terhadap
antraknosa. Hal ini juga didukung oleh hasil uji pengaruh aditif (D) dan
dominansi (H1) serta uji interaksi gen (b) pada silang dialel. Tidak ada interaksi
antar gen (epistasis) dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hasil uji daya gabung. Daya
gabung umum (DGU) berpengaruh nyata dan mempunyai nilai lebih besar
daripada daya gabung khusus (DGK), yang menunjukkan bahwa karakter
ketahanan terhadap penyakit antraknosa dikendalikan oleh aksi gen aditif. Daya
gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan
bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat tersebut
dibandingkan aksi gen non-aditif (Sousa dan Maluf 2003; Geleta et al. 2006).
Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung
umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam
mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif (Oliveira et al. 1998; Cruz et
al. 2006). Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap
ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non
aditif (dominan dan epistasis).
Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik juga dapat dilihat
dari proporsi h2ns terhadap h2bs. Proporsi h2ns terhadap h2bs tergolong tinggi yang
menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Nilai duga
heritabilitas arti luas (h2bs) termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Ini
menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor
genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) termasuk rendah hingga sedang.
Kemajuan genetik dapat diduga dari nilai heritabilitas arti sempit dan ragam
fenotipe dengan rumus ∆G = i σP h2ns , dengan ∆G adalah kemajuan genetik
seleksi; i adalah intensitas seleksi; σP adalah standard deviasi fenotipe; h2ns adalah
heritabilitas arti sempit.
116
Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan
besaran total ragam fenotipe dari suatu sifat. Hubungan ini menggambarkan
seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan repleksi dari genotipe. Secara
mutlak tidak bisa dikatakan apakah suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik atau
faktor lingkungan. Faktor genetik tidak akan memperlihatkan sifat yang
dibawanya kecuali dengan adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Sebaliknya,
bagaimanapun manipulasi dan perbaikan-perbaikan terhadap faktor-faktor
lingkungan, tak akan menyebabkan perkembangan suatu sifat kecuali kalau faktor
genetik yang diperlukan terdapat pada individu-individu atau populasi tanaman
yang bersangkutan (Baihaki 2000).
Keragaman yang diamati pada suatu sifat harus dapat dibedakan apakah
disebabkan terutama oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Sama halnya juga
dalam pengamatan atas beberapa sifat, harus mampu untuk menjelaskan apakah
kiranya disebabkan oleh perbedaan antar gen yang dibawa oleh satu individu dari
individu lainnya ataukah oleh perbedaan-perbedaan
lingkungan dari setiap
individu dimana mereka tumbuh. Disinilah dirasakan perlu adanya suatu
pernyataan yang bersifat kuantitatif antara peranan faktor genetik relatif terhadap
faktor-faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir atau fenotipe yang
diamati. Heritabilitas dapat dipergunakan untuk keperluan tersebut (Baihaki
2000).
Pada dasarnya seleksi terhadap populasi bersegregasi dilakukan melalui
nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan ini, penting diketahui
peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe menghasilkan turunan yang
sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan dalam suatu populasi
dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam fenotipenya
rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan mirip
dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya.
Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian
karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada
keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar
alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen
aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.
117
Pada tanaman, ada banyak metode untuk menduga nilai hiritabilitas dan
komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari
pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan
perhitungan komponen ragam dari analisis ragam; atau dengan cara langsung dari
pendugaan koefisien regresi (b) dan korelasi antar kelas (t). Metode yang
digunakan untuk menduga nilai tersebut tergantung dari populasi yang dimiliki
oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai (Baihaki 2000). Pada penelitian ini,
digunakan perhitungan ragam turunan menggunakan pendekatan enam populasi
(P1, P2, F1, F2 BCP1 dan BCP2),analisis analisis ragam menggunakan silang dialel
dan analisis ragam gabungan.
Pendugaan parameter genetik pada penelitian ini menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan enam populasi dan analisis silang dialel. Masingmasing pendekatan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Pada pendekatan
enam populasi, bisa dipelajari pola interaksi antar gen pengendali dan analisis
genetik mendelian. Sementara itu, di dalam analisis silang dialel, pendugaan
parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk
populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter
genetik menggunakan pendekatan enam populasi. Sebaran gen pengendali sifat di
dalam tetua-tetua dan pendugaan batas tertinggi fenotipe jika semua gen
mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari menggunakan analisis silang
dialel. Cruz et al. 2006 menyatakan bahwa analisis dialel adalah alat penting
untuk memilih tetua dan kombinasi tetua terbaik dalam program pemuliaan
tanaman.
Dalam pelaksanaannya analisis silang dialel harus memenuhi beberapa
asumsi diantaranya adalah gen–gen menyebar diantara tetua (Roy 2000). Dalam
penelitian ini, gen-gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa yang
disebabkan oleh C. acutatum menyebar merata di dalam tetua. Akan tetapi
sebagian besar gen-gen yang dibawa oleh tetua bersifat dominan. Hal ini bisa
difahami karena tetua tahan hanya C-15, sedangkan tetua lainnya rentan atau
sangat rentan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketahanan terhadap
antraknosa dikendalikan oleh gen resesif. C-15 paling banyak membawa gen
resesif. Sementara tetua lainnya membawah gen dominan.
118
Sedikitnya tetua tahan dalam analisis silang dialel ini terlihat dari
rekomendasi fenotipe yang dihasilkan jika semua agen resesif mengumpul dalam
individu. Pada penelitian ini, jika semua agen resesif mengumpul dalam individu
maka akan diperoleh maksimum ketahanan sebesar 0.645 (1-(Kejadian
penyakit/100)) atau skor 4. Artinya jika tidak ada introduksi gen ketahanan dari
luar populasi maka maksimum ketahanan terhadap antraknosa yang akan
diperoleh setelah seleksi adalah rentan (skor 4). Oleh karena itu perlu sumber
baru ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum.
Ketahanan cabai terhadap antraknosa dikendalikan oleh banyak gen
dengan aksi gen aditif, setiap gen memberikan kontribusi rendah pada sifat
ketahanan. Metode yang disarankan untuk merakit varietas tahan adalah metode
persilangan ganda dengan rekombinasi transgresif. Metode ini memadukan gengen tahan penyakit antraknosa yang tersebar di beberapa genotipe, dengan
menyilangkan antara tetua tahan dengan tahan, sehingga diperoleh genotipe yang
memiliki tingkat ketahanan lebih daripada tetuanya (Baihaki 2000). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah ditemukan sumber gen ketahanan
terhadap antraknosa pada spesies C. annuum (AVRDC 2003). Genotipe ini dapat
diintroduksi untuk melengkapi sumber ketahanan terhadap antraknosa yang telah
ada (C-15 atau 0209-4).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertahanan bagi tanaman berbeda
antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen
yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur tanaman, jenis organ
dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca
(Agrios 1997). Selain itu, ragam fenotipe (σ2P) terdiri dari ragam genetik (σ2G),
ragam lingkungan (σ2E) serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan
(σ2GxE) (Roy 2000).
Oleh karenanya perlu dipelajari interaksi antara genetik
lingkungan terhadap ketahanan antraknosa.
Pendugaan heritabilitas akan bias dan over estimate jika hanya dilakukan
pada satu lingkungan. Pengaruh interaksi genetik dan lingkungan (σ2GxE) akan
memperbesar ragam genetik (σ2G) sehingga heritabilitas dalam arti luas akan lebih
besar daripada nilai yang sesungguhnya. Penanaman pada beberapa lokasi dapat
menduga ragam interaksi genotipe x lingkungan, sehingga pendugaan ragam
119
genetik akan lebih baik dibandingkan jika ditanam hanya pada satu lokasi. Akan
tetapi pendugaan ragam genetik akan lebih baik lagi jika populasi uji ditanam
pada minimal dua lokasi dan dua musim, sehingga interaksi genotipe x
lingkungan, genotipe x musim dan genotipe x musim x lingkungan dapat
dipisahkan (Baihaki 2000).
Ada dua tipe lingkungan tanaman yaitu lingkungan makro dan
lingkungan mikro. Lingkungan mikro adalah keragaman lingkungan di sekitar
individu tanaman, yang tidak bisa dikontrol dan biasanya dimasukkan ke dalam
galat percobaan. Sementara itu, lingkungan makro mengacu pada agroklimat di
sekitar tanaman (seperti panjang hari, suhu, kelembapan) termasuk juga
kesuburan, irigasi dan jarak tanaman (Roy 2000).
Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai
dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi
genotipe x lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan, dapat digunakan oleh
pemulia tanaman untuk mengembangkan
varietas unggul baru yang spesifik
lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x
lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik
lokasi, sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungan kecil, dapat dikembangkan
varietas beradaptasi luas. Oleh karena itu, dengan adanya teori-teori tentang
pengaruh lingkungan akan amat membantu program pemuliaan.
Download