BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (dalam Masdupi, 2005:59) mendefinsikan teori keagenan sebagai hubungan antara agen (manajemen suatu usaha) dan principal (pemilik usaha). Didalam hubungan keagenan terdapat suatu kontrak dimana satu orang atau lebih mempekerjakan orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atau nama principal dan member wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan antara principal dan agen dapat mengarah pada ketidakseimbangan informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan sendiri maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Menurut Brigham dan Houston (2006) dalam Fauziah (2013), hubungan keagenan timbul diantara : 10 11 a) Pemegang saham dan manajer Masalah keagenan dapat timbul jika manajer menempatkan tujuan dan kesejahteraan mereka sendiri pada posisi yang lebih tinggi dari kepentingan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Fauziah (2013), masalah keagenan potensial terjadi bila proporsi kepemilikan atas saham perusahaan kurang dari seratu persen sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri dan bukan memaksimalkan nilai perusahaan dalam mengambil keputusan pendanaan. b) Pemegang saham (melalui manajer) dengan kreditur Kreditur memiliki klaim atas sebagian dari arus kas perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok utang. Mereka memiliki klaim atas aset perusahaan saat perusahaan mengalami kebangkrutan, keputusan harus segera diambil untuk mengatasi kondisi tersebut, yaitu apakah akan melikuidasi perusahaan dengan menjual seluruh aset atau melakukan reorganisasi. Manajemen perlu segera bertindak dan khususnya manajer memilih mereorganisasi dengan tujuan mempertahankan pekerjaannya. Keputusan manajer ini tentu saja berdampak pada pemegang saham atau kreditur atau kedua belah pihak tersebut. 2. Teori Pasar Efisien Pasar Efisien adalah bagaimana suatu pasar bereaksi terhadap suatu informasi untuk mencapai harga keseimbangan yang baru dan hal ini sangatlah penting. 12 Kunci utama untuk mengukur pasar modal efisien adalah hubingan antara sekuritas dengan informasi yang dikandungnya. Dimana informasi yang dapat digunakan untuk menilai pasar efisien adalah informasi yang lama, informasi yang sedang dipublikasikan atau semua informasi termasuk informasi privat. Jogiyanto (2010:517-522) menyajikan tiga macam bentuk utama dari efisiensi pasar berdasarkan ketiga macam bentuk informasi, diantara lain : a) Efisiensi pasar bentuk lemah (weak form) Pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah, jika harga-harga dari sekuritas tercermin secara penuh (fully reflect) informasi masa lalu. Informasi masa lalu merupakan informasi yang sudah terjadi. Bentuk efisiensi pasar secara lemah ini berkaitan dengan teori langkah acak (random walk theory) yang menyatakan bahwa data masa lalu tidak berhubungan dengan nilai sekarang. Jika pasar efisien secara bentuk lemah, maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga sekarang. Ini berarti bahwa untuk pasar yang efisien bentuk lemah, investor tidak dapat menggunakan informasi masa lalu untuk mendapatkan keuntungan yang tidak normal. b) Efisiensi pasar bentuk setengah kuat (semistrong form) Pasar dikatakan efisien setengah kuat, jika harga-harga sekuritas secara penuh mencerminkan semua informasi yang dipublikasikan (all publicly available information) termasuk informasi yang berada di laporan-laporan keuangan perusahaan emiten. Semua informasi yang dipublikasikan akan tersebar dan diterima oleh pemodal pada waktu yang hampir bersamaan, sehingga harga secara langsung 13 dan cepat melakukan penyesuaian dan investor tidak mendapatkan keuntungan normal. c) Efisiensi pasar bentuk kuat (strong firm) Pasar dikatakan efisien dalam bentuk kuat jika harga-harga sekuritas secara penuh mencerminkan semua informasi yang tersedia termasuk informasi privat. Jika pasar efisien dalam bentuk ini berhubungan satu dengan yang lain, maka tidak ada individual investor atau grup dari investor yang dapat memperoleh keuntungan tidak normal (abnormal return) karena mempunyau informasi privat. Salah satu jenis informasi privat adalah jenis informasi yang berasal dari orang dalam (insider information) yang mempunyai akses atas informasi berharga mengenai keputusan penting yang telah direncanakan oleh perusahaan. Sehingga dengan modal informasi tersebut mereka melakukan analisa dan mengambil posisi transaksi yang sesuai. Pada saat mengumumkan perseroan tersebut dikeluarkan, maka informasi tersebut menjadi tersedia bagi masyarakat dan akan mendongkrak harga saham tersebut. Informasi privat yang demikian mampu memberikan keuntungan abnormal yang konsisten bagi para pemodal yang memiliki informasi tersebut 3. Koefisien Respon Laba (Earning Response Coefficient) Menurut Scoot (2006:133) mengenai pengertian Earnings Response Coefficient adalah “Efek setiap dolar unexpected earnings terhadap return saham, dan biasanya diukur dengan slope koefisien dalam regresi abnormal returns saham dan unexpected earning.” 14 Selain itu menurut Jogiyanto (2008:581), yang dimaksud Earnings Response Coefficient adalah sebagai berikut “Besarnya koefisien slope dalam regresi yang menghubungkan sebagai salah satu variabel bebas dan return saham sebagai variabel terikat.” Umumnya untuk mengetahui kualitas laba yang baik dapat diukur dengan menggunakan Earning Response Coefficient dimana dapat juga dijadikan sebagai bentuk pengukuran kandungan informasi dalam laba. Cho dan Jung (1991) dalam Setiawati dan Nursiam (2014) mengkalisifikasikan pendekatan teoritis ERC menjadi dua kelompok yaitu (1) model penilaian yang didasarkan pada informasi ekonomi (information economic based valuation model) seperti dikembangkan oleh Holthausen dan Verrechia (1998) dalam Naimah dan Utama (2006) yang menunjukkan bahwa kekuatan respon investor terhadap sinyal informasi laba (ERC) merupakan fungsi dari ketidakpastian di masa mendatang. Semakin besar noise dalam system pelaporan perusahaan (sekanin rendah kualitas laba), semakin kecil ERC dan (2) model penilaian yang didasarkan pada time series laba (time series based valuation model) seperti dikembangakan oleh Beaver, Lambert dan Morse (1980) dalam Setiawati dan Nursiam (2014). Laba memiliki kandungan informasi yang tercermin dalam harga saham menurut Easton dan Haris (1991) dalam Naimah dan Utama (2006). Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa laba memiliki nilai yang relevan terhadap reaksi pasar yang digambarkan dalam harga saham. Perubahan harga saham bergerak sesuai dengan kepercayaan dari investor dan hal ini sejalan dengan teori efisien yang menyatakan 15 bahwa pasar akan bereaksi cepat terhadap informasi yang baru, sehingga sebelum dan sesudah laporan keuangan dikeluarkan, informasi mengenai angka laba yang diumumkan oleh para perusahaan akan sangat mempengaruhi respon para investor. Peningkatan laba abnormal (unexpected earnings) diikuti oleh return abnormal positif dan penurunan laba abnormal diikuti oleh tingkat return abnormal negatif (Ball dan Brown, 1968 dalam Naimah dan Utama, 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengumuman laba perusahaan dengan perubahan harga saham. a) Abnormal Return dan Cummulative Abnormal Return Menurut Jogiyanto (2005:43) abnormal return atau return tidak normal merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal itu sendiri merupakan return ekspektasi (return yang diharapkan oleh investor) dan merupakan return yang terjadi pada keadaan normal dimana tidak terjadi suatu peristiwa. Dengan adanya peristiwa tertentu, return normal akan naik (bila peristiwanya adalah peristiwa baik atau good news) atau akan turun (bila peristiwanya buruk atau bad news). Hasil keseluruhannya adalah return sesungguhnya atau return nyata. Dengan demikian return tidak normal (abnormal return) adalah selisih antara return sesungguhnya yang terjadi dan return ekpekats (return normal). Brown and Warner (1985) mengestimasi return ekpektasi menggunakan model estimasi mean adjusted model, market model, dan market adjusted model. 16 Menurut Jogiyanto (2010:517-522) didalam pasar yang kompetitif, harga equilibrium suatu aktiva ditentukan oleh tawaran yang tersedia dan permintaan agregat. Jika suatu pasar mampu bereaksi secara cepat dan akurat untuk mencapai keseimbangan harga baru yang sepenuhnya mencerminkan informasi yang tersedia, maka kondisi seperti ini dapat dikatakan pasar yang efisien. Pasar dikatakan efisien bentuk setengah kuat jika investor bereaksi dengan cepat untuk menyerap abnormal return untuk menuju ke harga keseimbangan yang baru. Jika investor menyerap abnormal return dengan lambat, maka pasar dikatakan tidak efisien bentuk setengah kuat secara informasi. Ada atau tidak adanya hubungan informasi mengenai pemberian abnormal return kepada pasar dapat dilihat dari gambar berkut ada abnormal return Ada kandungan informasi Tidak ada abnormal return Tidak ada kandungan informasi pengumuman peristiwa Gambar 2.1 Kandungan Informasi Suatu Pengumuman (sumber Jogiyanto 2010) Pengujian kaandungan informasi hanya menguji reaksi dari pasar, tetapi tidak menguji seberapa cepat pasar itu bereaksi. Jika pengujian melibatkan kecepatan reaksi dari pasar untuk menyerap informasi yang diumumkan, maka pengujian ini merupakan pengujian efisiensi pasar secara informasi. 17 i. Mean adjusted Model Model ini menganggap bahwa return ekspektasi yang bernilai konstan sama dengan rata-rata return ekspektasi yang bernilai konstan sama dengan rata-rata return realisasi sebelumnya selama periode estimasi. t2 ∑ Ri,t J= t1 E[Ri,t]= T ii. Market Model Perhitungan return ekpestasi dengan model pasar (market model) ini dilakukan dengan dua tahap dua tahap, yaitu (1) memberntuk model ekpektasi dengan menggunakan data realisasi selama periode estimasi (2) menggunakan model ekpektasi ini untuk mengestimasi return ekpekstasi di periode jendela. Model ekpektasi dapat dibentuk menggunakan teknik regresi regresi OLS (Ordinary Least Square) dengan persamaan : Ri,t = α1 + β1. RMt + εit iii. Market Adjusted Model Model sesuai pasar (market adjusted model) menganggap bahwa penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Dengan model ini, maka tidak perlu menggunakan periode estimasi untuk membentuk suatu model estimasi. Karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar (Jogiyanto, 2011). 18 IHSGt-IHSGt-1 Rmt = IHSGt-1 T= -5 b) Unexpected Earning Menurut Jogiyanto (2008:581) Unexpected Earnings (UE) adalah sebagai berikut “Selisih antara laba yang diumumkan oleh perusahaan dengan laba ekspektasi. Adanya laba unexpected ini dengan sendirinya akan berpengaruh pada harga saham dari suatu perusahaan dan pada akhirnya juga akan berpengaruh pada return dari saham tersebut.” Jika laba yang diumumkan oleh perusahaan lebih besar dari laba ekspektasi maka laba unexpected bernilai positif sedangkan jika laba yang diumumkan oleh perusahaan lebih kecil dari laba ekspektasi maka laba unexpected bernilai negatif. Perusahaan dengan laba unexpected yang positif, diharapkan memberikan respon yang positif terhadap return saham sedangkan perusahaan dengan laba unexpected yang negatif, diharapkan memberikan respon negatif terhadap return saham Jogiyanto (2008:582). Berdasarkan pernyataan Jogiyanto (2008:582) tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh laba unexpected terhadap return saham adalah berbanding lurus atau searah. Rumus unexpected earning adalah sebagai berikut : Eit-Eit-1 UEit = |Eit-1| 19 4. Ukuran Perusahaan Definisi ukuran perusahaan menurut Riyanto (2008:313) adalah “Besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan atau nilai aktiva”. Selanjutnya ukuran perusahaan menurut Scott dalam Torang (2012:93) mendefinisaikan Ukuran organisasi adalah suatu variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk organisasi”. Menurut Panjaitan (2004) ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, kapitalisasi pasar dan lain-lain yang semuanya berkolerasi tinggi. Semakin besar total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Herawaty (2005;138) mengatakan bahwa ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu “perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium-size) dan perusahaan kecil (small firm)” Menurut Agnes Sawir (2004;101-102) ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda diantaranya : a) Pertama, ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudaha perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Meskipun 20 mereka memiliki akses, biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil sekuritas dapat menjadi penghambat. Jika pernerbitan sekuritas dapat dilakukan, sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor mendapatkan hasil yang memberikan return lebih tinggi secara signifikan b) Kedua, ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk hutang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan perusahaan kecil. Semakin besar jumlah uang yang digunakan, semakin besar kemungkinan-kemungkinan pembuatan kontrak yang dirancang sesuai dengan preferensi kedua pihak sebagai ganti dari penggunaan kontrak standar hutang. c) Ketiga, Ada kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Pada akhirnya perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Pada akhirnya, ukuran perusahaan diikuti oleh karakteristik lain yang mempengaruhi struktur keuangan. Karakteristik lain tersebut seperti perusahaan sering tidak mempunyai staf khusus, tidak menggunakan rencana keuangan, dan tidak mengembangkansitem akuntansi mereka menjadi suatu system manajemen. Aktiva merupakan alat ukur yang dapat dijadikan skala besar atau kecilnya suatu perusahaan karena biasanya perusahaan besar mempunyai aktiva yang besar pula nilainya. Secara teoritis perusahaan yang besar mempunyai kepastian daripada 21 perusahaan dengan skala yang kecil karena prospek perusahaan yang lebih besar diyakini akan lebih menjanjikan nantinya. Perusahaan yang lebih besar akan memiliki tingkat penjualan yang lebih besar, hal ini akan mengakibatkan laba akan naik pelanggan lebih banyak, modal yang lebih besar dan karyawan yang juga akan lebih banyak. Dalam menginformasikan laporan keuangannya perusahaan yang memiliki skala besar akan lebih konsisten untuk tepat waktu dibandingakan perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, karena perusahaan yang besar akan lebih menjadi sorotan oleh masyarakat. Suatu peruasahaan yang besar dianggap sebagai perusahaan yang mapan dan akan memiliki akses yang mudah menuju pasar modal daripada perusahaan dengan skala lebih kecil. Inilah yang akan dijadikan sebagai tolak ukur bagi para investor dalam melakukan investasi mereka. Menurut Jogiyanto (2011) ukuran perusahaan dapat ditentukan berdasarkan total aktiva perusahaan sesuai laporan keuangan terakhir perusahaan. Bagi perusahaan yang memiliki total asset yang besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan (maturity) sehingga aliran kas positif karena tidak banyak kebutuhan dana untuk investasi dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu relatif lama. Kondisi seperti ini akan menjadi keuntungan bagi para pemegang saham dalam pembagian dividen. 22 5. Pertumbuhan Perusahaan Menurut Eduardus (2010:314) Growth opportunities adalah sebagai berikut “Kemampuan perusahaan untuk berkembang dimasa depan dengan memanfaatkan peluang investasi sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.” Selain itu menurut Jogiyanto (2008:145) Growth opportunities adalah sebagai berikut : “Kesempatan perusahaan untuk melakukan investasi pada hal-hal yang menguntungkan.” Menurut Darmadji (2006:141), Market To Book Value adalah sebagai berikut: “Rasio yang menunjukkan apakah harga saham (harga pasarnya) diperdagangkan di atas atau di bawah nilai buku saham tersebut.” Pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size, yang dapat diproksikan dimana tingkat pertumbuhan perusahaan dapat diukur dari beberapa variabel seperti price/earning ratio (price per share/earning per share), price/cash flow ratio (price per share/cash flow per share). Market/book ratio (market price per share/book value per share). Menurut Brigham dan Houston (2006) untuk dapat memiliki pertumbuhan perusahaan yang baik perusahaan harus lebih banyak mengandalkan diri pada modal eksternal. Lebih jauh, biaya emisi yang terkait dalam penjualan saham biasa melebihi biaya yang terjadi ketika menual utang yang selanjutnya mendorong perusahaan yang tumbuh dengan pesat untuk lebih mengandalkan diri daripada utang. Namun pada waktu yang sama, perusahaan-perusahaan ini sering kali menghadap ketidakpastian 23 yang lebih besar, yang cenderung mengurangi keinginan mereka untuk menggunakan utang. Kesempatan bertumbuh akan suatu perusahaan yang dihadapi dalam waktu yang akan datang merupakan suatu prospek yang dianggap baik dalam menghasilkan laba perusahaan nantinya. Bertumbuh tidaknya suatu perusahaan dapat dilihat dari keberhasilan suatu proyek yang dijalankan suatu perusahaan apabila perusahaan tersebut menunjukkan keberhasilannya pada saat ini, hal ini akan menjadi pertanda bahwa nantinya perusahaan ini juga akan mampu menjalankan proyek lainnya dengan keberhasilan pula. Perusahaan yang terus menerus mengalami hal yang demikian dapat dikatakan sebagai perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik dan akan mudah mendapatkan sumber modal dan laba. Informasi kenaikan laba ini akan direspon positif oleh para pemodal. Penelitian oleh Collins dan Kothari (1989) dalam Naimah dan Utama (2006) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang baik cenderung memiliki koefisien respon laba yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar kesempatan bertumbuh suatu perusahaan maka akan semakin tinggi kesempatan perusahaan memperoleh laba pada masa yang akan datang. 6. Profitabilitas Perusahaan “Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang di miliki” (Sofyan, 2007: 304). 24 Menurut Husnan (2001) dalam Setiawati dan Nursiam (2014) bahwa profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset dan modal saham tertentu. Menurut Toto Prihadi (2008; 52) tujuan didirikannya perusahaan adalah memperoleh laba (profit), maka wajar apabila profitabilitas menjadi perhatian utamapara analis dan investor. Tingkat profitabilitas yang konsisten akan menjadi tolak ukur bagaimana perusahaan tersebut mampu betahan dalam bisnisnya dengan memperoleh return yang memadai dibanding dengan risikonya. Basis perhitungan profitabilitas ini dapat dikelompokkan meliputi : a) Net Profit Margin (NPM) Laba bersih dibagi penjualan bersih. Rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan, Rasio ini tidak menggambarkan besarnya presentase keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan untuk setiap penjualan karena adanya unsur pendapatan dan biaya non operasional. Rumus net profit margin adalah : Laba bersih NPM = Penjualan bersih Kelemahan dari rasio ini adalah memasukan pos atau item yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas penjualan seperti biaya yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas penjualan seperti biaya bunga untuk pendanaan dan biaya pejak penghasilan. 25 b) Return on Assets Return on Asset (ROA, laba atas asset) mengukur tingkat laba terhadap asset yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut. ROA dapat diartikan dengan dua cara, yaitu : i. Mengukur kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan asset untuk memperoleh laba ii. Mengukur hasil total untuk seluruh penyedia sumber dana, yaitu kreditor dan investor. Rumus return on asset adalah : Laba bersih NPM = Total aktiva Rasio ini juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena menunjukkan efektivits manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh pendapatan. c) Return on Equity (ROE) Laba bersih dibagi rata-rata akuitas. Rata-rata ekuitas diperoleh dari ekuitas awal periode ditambah akhir periode dibagi dua. Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik. Rumus return on equity (ROE) adalah : Laba bersih ROE = Rata-rata ekuitas 26 Kasmir (2008;197) menjelaskan mengenai tujuan dan manfaat penggunaan rasio profitabilitas bagi perusahaan maupun bagi pihak luar perusahaan diantaranya adalah : i. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam suatu periode tertentu ii. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang iii. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu iv. Untuk menilai besarnya laba bersih ssesudah pajak dengan modal sendiri v. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri vi. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dan eprusahaan yang digunakan baik modal sendiri Penggunaan rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara berbagai komponen yang ada di laporan keuangan, terutama laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. Pengukuran dapat dilakukan untuk beberapa periode operasi. Tujuannya adalah agar terlihat perkembangan posisi keuangan perusahaan dalam rentang waktu tertentu, baik penurunan atau kenaikan, sekaligus sebagai evaluasi terhadap kinerja manajemen sehingga dapat diketahui penyebab dari perubahan kondisi keuangan perusahaan tersebut. Semakin lengkap jenis rasio yang digunakan, semakin sempurna hasil yang akan dicapai sehingga posisi dan kondisi tingkat profitabilitas perusahaan dapat diketahui secara sempurna. 27 Profitabilitas menggambarkan kemampuan badan usaha untuk menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh modal yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shapiro (1991:731) dalam Mulyani et al (2007) “profitability ratios measure menagements objectiveness as indicated by return on sales, assets and owners equity.” Profitabilitas berkaitan hubungannya dengan reaksi pasar atas laba yang dihasilkan suatu perusahaan. Rasio profitabilitas dapat mengukur efektifitas kinerja perusahaan untuk menghasilakan laba selama periode tertentu. Profitabilitas sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan bagi para investor untuk menilai seberapa jauh perusahaan dapat memberikan return yang sesuai dengan tingkat yang disyaratkan investor. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi akan mempunyai koefisien respon laba yang lebih besar dibandingkan dengan profitabilitas perusahaan yang rendah. Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu dasar penilaian kondisi suatu perusahaan, untuk itu dibutuhkan suatu alat analisis untuk bisa menilainya. Alat yang dimaksud adalah rasio-rasio keuangan. Rasio profitabilitas mengukur efektivitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang diperoleh dari penjualan dan investasi. Profitabilitas suatu perusahaan akan mempengaruhi kebijakan para investor atas investasi yang dilakukan. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba akan dapat menarik para investor untuk menanamkan dananya guna memperluas usahanya, sebaliknya tingkat profitabilitas yang rendah akan menyebabkan para investor menarik dananya. 28 Profitabilitas juga mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup suatu perusahaan dalam jangka waktu yang panjang, karena profitabilitas menunjukkan apakah badan usaha tersebut mempunyai prospek yang baik dimasa yang akan datang. Dengan demikian setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya. 7. Leverage Menurut Brigham dan Houston (2010;140) rasio leverage merupakan “rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan pendanaan melalui utang (financial leverage)” Menurut Agnes Sawir (2000;13) menjelaskan rasio leverage sebagai berikut : “ Rasio leverage mengukur tingkat solvabilitas suatu perusahaan. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansialnya seandainya perusahaan pada saat itu dilikuidasi. Dengan demikian solvabilitas berarti kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian rasio leverage atau rasio utang adalah kemampuan perusahaan dalam melakukan kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Agnes Sawir (2000;13) ada dua jenis leverage yaitu rasio utang terhadap asset dan rasio utang terhadap modal a) Rasio Utang terhadap aktiva atau Debt to Tottal Asset Ratio 29 Rasio ini memperlihatkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan seluruh kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi hasil presentasenya akan cenderung semakin besar risiko keuangannya bagi kreditor maupun pemegang saham. Rumus ini dinyatakan sebagai berikut : Total Hutang DAR = Total Aktiva b) Rasio Utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio Rasio ini menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri dari perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Rumus DER dinyatakan sebagai berikut : Total Hutang DER = Ekuitas Salah satu faktor penting dalam unsur pendanaan adalah hutang (leverage). Solvabilitas (leverage) digambarkan agar kita dapat melihar sejauh mana asset perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal yang perusahaan itu miliki sendiri. Leverage dapat dipahami sebagai penaksir dari resiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya, leverage yang semakin besar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar pula. Perusahaan dengan rasio leverage yang rendah akan memiliki resiko leverage yang cenderung lebih kecil. Dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingkan dengan total assetnya hal ini sesuai dengan penelitian Home (1997) dalam Yangs (2011). Hal ini dikarenakan 30 leverage merupakan rasio yang menghitung seberapa jauh dana yang disediakan oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan total hutang terhadap keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan, maka apabila investor melihat sebuah perusahaan dengan asset tinggi namun risiko leverage nya juga tinggi, maka para investor akan berpikir dua kali untuk melakukan investasi pada perusahaan itu. Akan ada asumsi para investor bahwa asset yang tinggi tersebut didapat dari hutang yang akan meningkatkan risiko investasi apabila perusahaan tidak mampu lagi melunasi kewajibannya tepat waktu. Pembiayaan dengan utang atau leverahe keuangan memiliki tiga implikasi penting, yaitu (1) Memperoleh dana melalui utang membuat pemegang saham dapat mempertahankan pengendalian atas peruasahaan dengan investasi terbatas (2) Kreditur melihat ekuitas atau dana yang disetor pemilik untuk memberikan marjin penganggaran, sehingga jika pemegang saham hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan, maka risiko perusahaan semakin besar ada pada kreditur (3) Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas investasi yang dibiayai dengan dana pinjaman dibanding pembayaran bunga, maka pengembalian atas modal pemilik akan lebih besar atau leverage. Financial leverage dianggap akan menimbulkan keuntungan apabila laba yang diperoleh lebih besar daripada beban tetap yang timbul akibat penggunaan utang tersebut dan Financial Leverage dianggap merugikan apabila laba yang diperoleh lebih kecil daripada beban tetap yang timbul akibat penggunaan dari utang tersebut. 31 B. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dari yang sudah dilakukan mengenai koefisien respon laba diantaranya Setiawati dan Nursiam (2014), Arfan dan Antasari (2008), Naimah dan Utama (2005), Kwang En (2009), Setiawati (2014). Setiawati dan Nursiam (2014) dalam penelitiannya mengenai analisis pengaruh ukuran, pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan terhadap koefisien respon laba menyatakan bahwa ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh secara simultan terhadap ERC dimana p-value Ukuran perusahaan sebesar 0,042 dan profitabilitas 0,002 atau lebih kecil dari nilai signifikasinya yaitu 0,05. Sedangkan Pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh secara simultan terhadap ERC dimana pvalue sebesar 0.242 atau lebih besar daripada hasil signifikasinya. Arfan dan Antasari (2008) dalam penelitiannya mengenai factor yang mempengaruhi koefisien respon laba dimana variabel independen diantaranya adalah ukuran perusahaan, pertumbuhan dan profitabilitas. Hasil pengujiannya menunjukkan Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas perusahaan secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ERC pada emiten manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Secara parsial hanya pertumbuhan perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba, sedangkan ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba. Naimah dan Utama (2005) dalam penelitiannya yaitu pengaruh ukuran perusahaan, pertumbuhan, profitabilitas, persistensi laba. Hasil penelitian ini 32 menunjukkan bahwa koefisien respon laba akuntansi lebih besar pada perusahaan besar karena pada perusahaan besar memiliki laba permanen dan perusahaan yang memiliki profitabilitas tinggi dan mengalami pertumbuhan yang tinggi. Koefisien respon laba dipengaruhi secara negative oleh risiko perusahaan. Kwang En (2009) dalam penelitiannya yaitu pengaruh koefisien respon laba terhadap harga saham dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien respon laba berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Setiati (2010) dalam penelitiannya mengenai risiko beta, persistensi laba, prediktibilitas laba, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan terhadap koefisien respon laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor persistensi laba mempengaruhi secara positif. Hasil pengujian pada perusahaan tidak bertumbuh menunjukkan bahwa faktor persistensi laba dan size memrpengaruhi secara positif namun faktor risiko beta mempengaruhi secara negatif terhadap koefisien respon laba. Koefisien faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien respon laba (ERC) pada perusahaan bertumbuh berbeda dengan koefisien faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien respon laba (ERC) pada perusahan tidak bertumbuh. Koefisien risiko beta dan persistensi laba pada perusahaan bertumbuh berbeda dengan koefisien risiko beta dan persistensi laba pada perusahaan tidak bertumbuh. Namun koefisien prediktabilitas laba, pertumbuhan laba dan size pada perusahaan bertumbuh tidak berbeda dengan koefisien prediktabilitas laba, pertumbuhan laba, leverage dan size pada perusahaan tidak bertumbuh. 33 Tabel 2.1 Ikhtisar Penelitian Terdahulu No 1 2 3 4 5 6 Penulis Erma Setiawati dan Nursiam (2014) Variabel Penelitian Variabel independen :Ukuran perusahaan, pertumbuhan dan profitabilitas. Variabel dependen: Koefisien Respon laba Fita Setiati Variabel independen :Risiko (2010) beta, persistensi laba, prediktibilitas laba, pertumbuhan laba, ukuran perusahaan Variabel dependen :Koefisien respon laba Tan Kwang En Variabel independen :Koefisien (2009) respon laba. Variabel dependen : Harga saham Muhammad Arfan dan Ira Antasari (2008) Variabel independen : Ukuran perusahaan, pertumbuhan, profitabilitas. Variabel dependen : Koefisien respon laba Zahroh Naimah dan Siddharta Utama (2005) Variabel independen :Ukuran perusahaan, pertumbuhan, profitabilitas, persistensi laba Variabel independen :Koefisien respon laba Mahboobe Factors affecting the earning Hasanzade and response coefficient : An Roya Darabi empirical study for Iran Sumber : Kumpulan beberapa jurnal Kesimpulan Ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap ERC sedangkan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap ERC. Secara positif persistensi laba dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap koefisien respon laba namun factor resiko beta dan struktur modal berpengaruh negative terhadap ERC. Koefisien respon laba berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham Ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh secara simultan dengan ERC hanya pertumbuhan perusahaan berpengaruh secara parsial. Ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba (ERC). There is a significant relationship between earning quality and ERC, financial leverage and ERC 34 C. Rerangka Pemikiran 1. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap koefisien respon laba Ukuran Perusahaan (SIZE) menggambarkan karkateristik keuangan perusahaan, karena ukuran perusahaan dapat dijadikan cerminan apakah suatu perusahaan memiliki peluang dan kemampuan untuk masuk ke pasar modal. Semakin besar suatu perusahaan maka alat untuk memprediksi arus kas akan semakin baik. Pada penelitian Setiawati dan Nursiam (2012) menunjukkan bahwa hipotesis pertama yaitu ukuran perusahaan berdasarkan hasil uji pasrial menghasilkan p value sebesar 0.042 dimana hasil tersebut lebih kecil daripada nilai signifikasi yaitu 0.05. maka peneliti menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap Koefisien Respon Laba (ERC). Hasil ini mendukung penelitian Naimah dan Utama (2006) yang juga menunjukkan bahwa koefisien respon laba memiliki hubungan yang positif dengan ukuran perusahaan. Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya Arfan dan Antasari (2008) dimana ukuran perusahaan secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba. 2. Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap koefisen respon laba Pertumbuhan Perusahaan (GROWTH) menggambarkan kesempatan suatu perusahaan tersebut untuk memperoleh laba di masa yang akan datang yang lebih tinggi. Kandungan informasi laba tersebut merupakan berita baik bagi para calon investor sehingga dapat meningkatkan respon pasar. Semakin baik perusahaan itu bertumbuh maka koefisien respon laba akan semakin besar. 35 Pertumbuhan diprediksikan memiliki hubungan yang positif dengan koefisien respon laba karena beberapa penilitian menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kesempatan tumbuh yang baik akan memilki koefisien respon laba yang besar. Hal ini menunjukkan bila perusahaan memiliki kesempatan tumbuh yang baik maka perusahaan juga akan memiliki laba yang baik dimasa yang akan datang. Pertumbuhan perusahaan secara parsial memperngaruhi koefisien respon laba (Arfan dan Antasari, 2008) dimana dalam data statistiknya pertumbuhan memiliki signifikasi 0,000 konsisten dengan Naimah dan Utama (2006) pada perusahaan yang memiliki pertumbuhan perusahaan rendah koefisien respon laba adalah α1= 0.809 sedangkan pada perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang tinggi justru meningkat menjadi α1+ α4=1.574. 3. Pengaruh profitabilitas terhadap koefisien respon laba Profitabilitas Perusahaan (ROA) menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada periode tertentu. Apabila ROA memiliki nilai yang tinggi, maka kinerja perusahaan dalam mengelola asset menjadi laba bagi perusahaan akan semakin baik dan hal ini juga akan berpengaruh terhadap koefisien respon laba. Profitabilitas memiliki keterkaitan dengan reaksi pasar atas laba perusahaan. Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan, baik dihubungkan dengan modal sendiri maupun modal bersama. Dalam penelitian Naimah dan Utama (2006) menunjukkan bahwa koefisien respon laba pada perusahaan yang memiliki profitabilitas yang rendah secara statistik tidak signifikan sedangkan pada perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi 36 meningkat sebesar 1.423. Penelitian ini berhasil menerima hipotesis yang menyatakan bahwa pada perusahaan yang memiliki profitabilitas yang tinggi, pengaruh laba akuntansi terhadap harga saham akan lebih besar dibandingkan perusahaan yang memiliki profitabilitas yang rendah. Hal ini mendukung penelitian Setiawati dan Nursiam (2012) dimana uji parsial profitabilitas menunjukkan p-value sebesar 0.002 dimana hasil ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai signifikasinya. Dalam hasil statistik penelitian Arfan dan Ira (2008) menunjukkan secara parsial variabel profitabilitas perusahaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap koefisien respon laba. Hal ini tidak konsisten dengan penelitian dari Naimah dan Utama (2006) 4. Pengaruh leverage terhadap koefisien respon laba Besarnya hutang akan menunjukkan kualitas suatu perusahaan serta prospek perusahaan itu kedepan. Untuk perusahaan yang memiliki laba yang tinggi namun memiliki banyak hutang, hal ini akan menjadi titik aman bagi para bondholders. Perusahaan yang tingkat Leverage nya tinggi berarti memiliki hutang yang lebih besar dibandingkan modal. Dengan demikian jika terjadi peningkatan laba maka yang diuntungkan adalah debtholders bukan shareholders sehingga semakin baik kondisi laba perusahaan maka akan semakin negatif respon pemegang saham, karena pemegang saham akan beranggapan bahwa laba tersebut akan dikeluarkan untuk membayar hutang dan hal ini hanya akan menguntungkan kreditur. 37 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dikembangkan rerangka pemikiran teoritis sebagai berkut : Ukuran Perusahaan Pertumbuhan Koefisien Respon Laba Profitabilitas (ERC) Leverage Gambar 2.2 Rerangka Berfikir 5. Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan sementara terhadap permasalahan yang diteliti yang sebenarnya perlu diuji secara empiris (uji statistic). Hipotesis yang diuji dalam penelitian yaitu hipotesis tentang hubungan yaitu untuk menyatakan X terhadap Y. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran yang dikembangkan diatas maka rumusan dirumuskan hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap koefisien respon laba Ha2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap koefisien respon laba. 38 Ha3 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap koefisien respon laba. Ho : Leverage tidak berpengaruh terhadap koefisien respon laba.