I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan nila merah merupakan salah satu dari ikan konsumsi air tawar
unggulan yang saat ini sudah dapat dibudidayakan dengan baik secara ekstensif,
semi intensif, maupun intensif. Ikan ini memiliki kelebihan yang sama dengan
ikan nila lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat dan pemeliharaanya yang mudah
karena ikan ini memiliki toleransi yang cukup lebar terhadap lingkungan yang
buruk. Pada ikan ini terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan antara ikan jantan
dengan ikan betina. Ikan nila jantan memiliki pertumbuhan dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan ikan betina (Popma dan Masser, 1999). Oleh karena itu
budidaya ikan nila merah dengan tunggal kelamin jantan (monoseks) akan lebih
menguntungkan (Lampiran 2 dan 3).
Permintaan ikan nila merah terus meningkat setiap tahunnya, tak hanya di
pasar lokal, permintaan ikan nila merah ini juga terus meningkat di pasar
internasional terutama Amerika dan Uni Eropa. Ikan nila merah, terutama dalam
bentuk fillet (potongan daging tanpa tulang), sangat digemari di pasar dunia.
Warna dagingnya yang putih bersih, kenyal, dan tebal seperti daging ikan kakap
merah. Selain itu, karena merupakan hasil budidaya, pasokannya bisa diperoleh
setiap saat tanpa terpengaruh oleh musim. Dari data Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Departemen Kelautan dan Perikanan,
menunjukkan peningkatan impor ikan nila AS dalam sepuluh tahun terakhir.
Impor ikan nila AS pada tahun 2002–2006 masing-masing sebesar 67.200 ton,
90.200 ton, 112.900 ton, 134.900 ton, dan 158.300 ton (Enny et al., 2009) dan
data FAO menyebutkan bahwa total impor Amerika Serikat pada 2007 mencapai
173.760 ton dari berbagai negara, termasuk Indonesia (Husen, 2009). Harga ikan
nila merah ini pun cukup menjanjikan bagi para eksportir. Harga 1 kg fillet nila
merah di pasar Amerika bisa mencapai US$ 4,5. Meskipun budidaya ikan nila
merah tergolong mudah, hingga saat ini Indonesia baru mampu melayani tak lebih
dari 0,1 % permintaan pasar dunia akan fillet ikan nila merah. Total ekspor ikan
nila Indonesia pada tahun 2005 sebesar 151.363 ton kemudian terus naik hingga
mencapai 206.904 ton pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
Sementara target produksi nila pada tahun 2008 ialah 233.000 ton dan
337.000 ton untuk tahun 2009, maka kebutuhan benihnya masing-masing per
tahun adalah 1,13 miliar dan 1,63 miliar ekor (Enny et al., 2009). Sedangkan
untuk pasar lokal, harga ikan nila merah adalah sekitar Rp. 15.000.-, lebih tinggi
dibanding dengan ikan nila biasa yang seharga Rp. 10.000,- – Rp. 11.000,-.
Cara umum yang dilakukan untuk memperoleh ikan nila merah
berkelamin tunggal jantan (monoseks) adalah dengan menggunakan hormon
steroid 17α-metiltestosteron (MT). Namun pada saat ini, penggunaan hormon
sintetik tersebut pada ikan konsumsi telah dilarang sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan No: KEP.20/MEN/2003. Residu
hormon steroid ini menjadi salah satu bahan yang diduga dapat menyebabkan
kanker atau bersifat karsinogenik pada manusia (Phelps, 2001) dan juga sulit
untuk didegradasi secara alami sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran
lingkungan (endocrine residu agent) (Contreras-Sancez, 2001). Oleh karena itu
perlu dicari alternatif teknologi baru untuk menghasilkan keturunan jantan melalui
sex reversal pada ikan, khususnya ikan nila merah. Salah satu bahan alternatif
yang mulai diteliti adalah aromatase inhibitor (AI).
Bahan aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim
aromatase pada proses sintesis androgen menjadi estrogen selama fase diferensiasi
kelamin sehingga benih yang dihasilkan berkelamin jantan (Sever et al., 1999).
Namun dalam penggunaan bahan ini belum ditemukan mengenai metode dan
dosis yang optimal untuk menghasilkan ikan nila merah berkelamin jantan
semaksimal mungkin dalam aplikasi sex reversal. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai penggunaan aromatase inhibitor dengan metode dan dosis
yang optimal serta hasil yang maksimal.
Penelitian pemanfaatan aromatase inhibitor dalam sex reversal ikan nila
merah telah dilakukan antara lain oleh Kwon et al. (2000) yang menggunakan
aromatase inhibitor jenis fadrozole melalui pakan buatan dengan dosis 500 mg/kg
pakan selama lima hari pada benih ikan nila merah dengan umur setelah menetas
yang berbeda-beda yang menghasilkan 96% benih berkelamin jantan. Nurlaela
(2002) melakukan penelitian dengan menggunakan perendaman embrio ikan nila
merah dalam larutan aromatase inhibitor jenis imidazole dengan dosis 20 mg/l
selama 10 jam, menghasilkan 82,22% benih berkelamin jantan. Mengacu pada
penelitian terdahulu, penelitian ini memberikan perlakuan dengan aromatase
inhibitor tetapi dengan meningkatkan dosis aromatase inhibitor jenis imidazole
dalam perendaman larva umur 1 hari setelah menetas dengan harapan untuk
memperoleh persentase rata-rata jantan yang lebih tinggi.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh aromatase inhibitor
jenis imidazole dalam sex reversal dengan dosis yang berbeda terhadap nisbah
kelamin dan pertumbuhan ikan nila merah melalui perendaman larva umur 1 hari
setelah menetas pada pemeliharaan di dalam hapa.
Download