sifat fisik dan kinerja enzim mannanase pada

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit
Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan
Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi
dengan saringan 2 mm menghasilkan produk yang lolos pada saringan mesh 4 dan 8,
dan tidak lolos pada saringan mesh 16, 30, 50 dan 100.
Berdasarkan pengamatan umum yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua
bungkil inti sawit memiliki penampilan warna cokelat dan memiliki aroma khas
kelapa. Nomor mesh ayakan menunjukkan tekstur pada bungkil inti sawit. Nomor
mesh 100 memiliki tekstur paling halus pada sampel bungkil inti sawit yang diamati.
Tabel 2 menunjukkan persentase produk hasil ayakan bungkil inti sawit giling.
Tabel 2. Persentase Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan
Ukuran Ayakan
Persentase BIS (%)
Mesh 16
14,185
Mesh 30
57,09
Mesh 50
24,24
Mesh 100
4,47
Jumlah produk hasil ayakan terendah pada bungkil inti sawit gilingan berada
pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 4,47% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30
sebesar 57,09%. Penelitian lain menunjukkan hal yang serupa yaitu produk bungkil
inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 2,31%
dan tertinggi berada pada mesh 30 sebesar 29,04% (Harianto, 2011). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan adanya penggilingan, persentase jumlah hasil ayakan
lebih banyak diperoleh dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa digiling.
Tingkat Kehalusan
Berdasarkan ketentuan nilai MF (Modullus of Finenes) 2,1-4 termasuk katagori
medium/sedang (Khalil, 1999) sehingga sampel bungkil inti sawit yang digunakan
tergolong sedang dengan nilai MF 3,81±0,0078. Nilai MF berbanding lurus dengan
besarnya partikel bahan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bungkil inti sawit
22
yang digunakan berada di taraf sedang. Hal ini disebabkan karena faktor
penggilingan sebelum perlakuan pada bungkl inti sawit.
Penggilingan dilakukan dengan tujuan untuk memecah sisa dari batok
bungkil kelapa sawit yang menjadikan bungkil inti sawit lebih halus sehingga jika
diberikan kepada ternak dapat mudah dicerna. Bungki inti sawit yang telah diayak
dan diukur tingkat kehalusannya disajikan pada Gambar 7.
Mesh 16 ulangan 1
Mesh 16 ulangan 2
Mesh 16 ulangan 3
Mesh 30 ulangan 1
Mesh 30 ulangan 2
Mesh 30 ulangan 3
Mesh 50 ulangan 1
Mesh 50 ulangan 2
Mesh 50 ulangan 3
Mesh 100 ulangan 1
Mesh 100 ulangan 2
Mesh 100 ulangan 3
Gambar 7. Perbedaan Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Pengayakan Menggunakan
Rika Moisture Meter
Berat Jenis
Berat jenis merupakan sifat yang penting dalam mengetahui kualitas pakan
secara fisik. Hasil penelitian menunjukkan nilai tertinggi berat jenis berada pada
nomor mesh 16 yaitu sebesar 1440 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 50
dan mesh 100 yaitu sebesar 1051 kg/m3 dan 987,33 kg/m3. Semakin besar nomor
23
ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis pada bungkil inti sawit. Nilai berat
jenis pada bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Berat Jenis pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Berat Jenis (kg/m3)
16
1440±17,32A
30
1176±0,00B
50
1051±1,00C
100
987,33±54,41C
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada BIS (P<0,01).
Gambar 8 menunjukkan korelasi berat jenis pada bungkil inti sawit dan
nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 83,60% dengan y sebagai berat
jenis BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y= - 4,555x+1386.
Pengayakan mempengaruhi besarnya berat jenis produk bungkil inti sawit, semakin
besar nomor ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis bungkil inti sawit.
1600
Y=-4,555x+1386
R2=0,698
Berat jenis (kg/m3)
1400
1200
1000
800
y = -4,555x + 1386.
R²= 0,698
600
400
200
Gambar 8. Korelasi Berat Jenis BIS dan Nomor Ayakan
0
20 menunjukkan
40
60 berat jenis
80 dari 100
120
Penelitian0sebelumnya
bahwa
produk bungkil
inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 440
kg/m3 dan tertinggi pada mesh 8 sebesar 1403,33 kg/m3 dengan korelasi yang dicapai
bungkil inti sawit
yaitu sebesar 92,19% dengan persamaan y = -10,09x+1335
(Harianto, 2011). Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik permukaan partikel adalah kandungan nutrien bahan. Hal ini sesuai
24
dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai
BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan
karakteristik permukaan partikel. Berat jenis berpengaruh terhadap homogenitas
penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun
dari bahan pakan yang memiliki perbedaan berat jenis cukup besar, akan
menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali (Chung dan Lee,
1995).
Kerapatan Tumpukan
Kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui
volume ruang yang dibutuhkan oleh suatu bahan dengan berat tertentu seperti
dalam pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Berat jenis erat hubungannya
dengan kerapatan
tumpukan, semakin besar berat jenis maka kerapatan
tumpukannya semakin besar pula. Nilai kerapatan tumpukan pada BIS berdasarkan
ukuran ayakan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Kerapatan Tumpukan BIS (kg/m3)
16
523,33±20,81A
30
456,66±20,81B
50
430,00±0,00BC
100
393,33±5,77C
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada BIS (P<0,01).
Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan
pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan
tumpukan bungkil inti sawit.
Data hasil pengukuran kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit
menunjukkan nilai tertinggi kerapatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu
sebesar 523,33 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar
393,33 kg/m3. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan tumpukan
bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 4
sebesar 802,33 kg/m3 dan terendah sebesar 335,33 kg/m3 berada pada nomor mesh
100 (Harianto, 2011). Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin kecil
25
nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Perbedaan nilai kerapatan tumpukan
menentukan karakteristik dalam pencampuran bahan.
Menurut Chang dan Lee (1985), kerapatan tumpukan lebih penting dari
berat jenis bahan dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis.
Kandungan nutrisi dan distribusi ukuran partikel diduga ikut mempengaruhi
besarnya nilai kerapatan tumpukan. Bungkil inti sawit dengan kadar lemak yang
tinggi dan distribusi ukuran partikel kecil yang seragam cenderung memiliki nilai
kerapatan tumpukan yang rendah dan bahan tersebut membutuhkan ruang yang
lebih besar artinya bobot per satuan volume pada keadaan curah lebih kecil.
Korelasi kerapatan tumpukan bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai
negatif yaitu sebesar 90,16% dengan y sebagai nilai kerapatan tumpukan BIS dan x
sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y=-1,346x+516,8 (Gambar 9).
Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu
sebesar 86,6% dengan persamaan y= -3,035x+596,6 (Harianto, 2011). Korelasi
negatif memiliki arti bahwa pengayakan mempengaruhi besarnya nilai kerapatan
tumpukan dengan meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan
bungkil inti sawit semakin menurun.
Y=-1,346x+516,8
R2=0,813
Gambar 9. Korelasi Kerapatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Kerapatan pemadatan tumpukan diukur setelah dilakukan pengukuran
kerapatan tumpukan. Kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan dalam penentuan kapasitas silo dan pencampuran bahan.
26
Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada
bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan
tumpukan. Nilai tertinggi kerapatan pemadatan tumpukan berada pada nomor mesh
16 yaitu sebesar 676,67 kg/m3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu
sebesar 543,33 kg/m3. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil nilai
kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit.
Nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran
Ayakan.
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Nomor Mesh
(kg/m3)
16
676,67±15,27A
30
603,67±3,21B
50
570,33±0,57C
100
543,33±5,77D
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada BIS (P<0,01).
Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan
produk bungkil inti sawit tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar
493,33 kg/m3 dan tertinggi berada pada nomor mesh 4 dan 8 sebesar 723,33 dan
696,67 kg/m3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 80,60%
dengan persamaan y = -1,913x+648.4 (Harianto, 2011). Korelasi kerapatan
pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai
negatif yaitu sebesar 86,77% dengan y sebagai nilai kerapatan pemadatan tumpukan
BIS dan x sebagai nomor ayakan dengan persamaan y= -1,362x+665,2 (Gambar
10). Korelasi negatif yang diperoleh memiliki arti bahwa perlakuan pengayakan
pada bungkil inti sawit mempengaruhi besarnya nilai kerapatan pemadatan
tumpukan sebesar 86,77%. Meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan
tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun.
27
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
(kg/m3)
800
700
600
500
y = -1,362x + 665.2
R² = 0,753
400
300
Kerapatan Pemadatan
Tumpukan
200
100
0
0
20
40
60
80
Nomor ayakan
100
120
Gambar 10. Korelasi Kerapatan Pemadatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan
Daya Ambang
Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01)
mempengaruhi nilai daya ambang. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan
semakin besar nilai daya ambang
bungkil inti sawit. Daya ambang memiliki
hubungan berkebalikan dengan tingginya kecepatan bahan jatuh. Semakin cepat
bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar, semakin rendah daya ambang dari
bungkil inti sawit. Demikian sebaliknya, semakin rendah kecepatan bungkil inti
sawit yang jatuh ke bidang datar maka semakin tinggi daya ambang yang dimiliki
oleh bungkil inti sawit. Nilai daya ambang pada BIS berdasarkan ukuran ayakan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Daya Ambang pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Daya Ambang (m/s)
16
3,11±0,07 A
30
1,87±0,25B
50
1,63±0,25B
100
1,55±0,05B
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada BIS (P<0,01).
Nilai tertinggi daya ambang berada pada nomor mesh 100 dengan kecepatan
bahan jatuh sebesar 1,55 m/s dan terendah berada pada nomor mesh 16 dengan
kecepatan bahan jatuh
3,11 m/s. Penelitian sebelumnya menunjukkan daya
28
ambang produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada
nomor mesh 50 dan 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,81 dan 1,79 m/s,
sedangkan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8 dengan kecepatan bahan
jatuh sebesar 5,34
dan
4,09 m/s (Harianto, 2011). Hasil ini sesuai dengan
pendapat Henderson dan Perry (1976) yang menyatakan daya ambang dikatakan
besar bila semakin pendek jarak yang dicapai dalam satu menit.
Perolehan data menunjukkan semakin halus bungkil inti sawit maka
semakin besar daya ambang yang dimiliki sehingga daya ambang meningkat dari
mesh 16, 30, 50 dan 100. Hal ini berarti apabila terjadi proses pencurahan bahan
dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar adalah lebih
cepat terurut mulai mesh 16 sampai 100. Daya ambang yang terlalu lama akan
menyulitkan dalam proses pencurahan bahan karena dibutuhkan waktu yang lebih
lama. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil besar daya ambang pada
bungkil inti sawit. Gambar 11 menunjukkan korelasi kecepatan jatuhnya bungkil
inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif sebesar 71,76%. Hal ini berarti
bahwa meningkatnya nomor ayakan maka nilai daya ambang bungkil inti sawit
juga meningkat (nilai daya ambang berhubungn terbalik dengan kecepatan jatuhnya
bahan) dengan y sebagai kecepatan jatuhnya BIS dan x sebagai nomor ayakan dan
persamaannya adalah y = -0,014x+2,735. Penelitian sebelumnya menunjukkan
korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 69,28% dengan persamaan y
= -0,018x+3,215 (Harianto, 2011).
Daya Ambang (m/s)
3.5
Y=-0,014x+2,735
3
R2=0,515
2.5
2
1.5
y = -0,014x + 2.735
R² = 0,515
1
Daya Ambang
0.5
0
0
20
40
60
80
100
120
Nomor ayakan
Gambar 11. Korelasi Kecepatan Jatuhnya BIS dan Nomor Ayakan
29
Sudut Tumpukan
Pengukuran sudut tumpukan dilakukan untuk menunjukkan kebebasan
bergerak suatu partikel dari suatu tumpukan bahan. Kegunaan praktis dari sifat sudut
tumpukan adalah dalam pemindahan dan pengangkutan bahan karena akan
mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan material handling. Nilai sudut tumpukan
pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Sudut Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Sudut Tumpukan(°)
16
25,77±0,84 C
30
27,07±0,98 C
50
37,32±1,86 B
100
43,28±0,93 A
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada BIS (P<0,01).
Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01)
mempengaruhi sudut tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan
semakin meningkatkan nilai sudut tumpukan bahan. Nilai tertinggi sudut tumpukan
berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 43,28° dan terendah berada pada nomor
mesh 16 yaitu sebesar 25,77°. Gambar 12 menunjukkan korelasi sudut tumpukan
pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan
yang bernilai positif
yaitu
sebesar 95,23% dengan y sebagai sudut tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan
dan persamaannya adalah y =0,217x+22,56.
50
sudut tumpukan (°)
45
40
35
30
25
y = 0,217x + 2,56
R²= 0,9068
20
Su
15
10
5
0
Gambar 12. Korelasi Sudut Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan
0
50
100
150
30
Korelasi tersebut menunjukkan besarnya pengaruh pengayakan terhadap
besarnya nilai sudut tumpukan bungkil inti sawit. Besarnya nomor ayakan dalam
pengayakan mempengaruhi nilai sudut tumpukan sebesar 95,23%. Semakin besar
nomor ayakan maka semakin tinggi nilai sudut tumpukan pada bungkil inti sawit.
Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai sudut tumpukan tertinggi pada produk
bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling berada pada nomor mesh 100 sebesar
43,19° dan terendah berada pada nomor mesh 4 sebesar 12,67° dengan korelasi
sebesar 94,33% dengan persamaan y =0,25x+19,81 (Harianto, 2011). Perbedaan
nilai sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan akan menentukan karakteristik
aliran bahan dalam industri pakan. Nilai sudut tumpukan yang tinggi akan
mempersulit proses produksi karena aliran bahan dalam bin akan lambat sehingga
sering menyumbat silo.
Kelarutan Total
Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05)
terhadap nilai kelarutan total. Nilai kelarutan total pada BIS berdasarkan ukuran
ayakan. disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Kelarutan Total pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Kelarutan Total(%)
16
18,13±1,22
30
23,33±1,67
50
20,80±1,44
100
22,27±3,61
Kelarutan total bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui berapa banyak
bungkil inti sawit yang terlarut dalam pelarut akuades sehingga diketahui pula
kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kontaminasi bungkil inti sawit oleh
lapisan luar (endokaprium) inti sawit akan meningkatkan kelarutan total bahan.
Tinggi rendahnya nilai kelarutan total tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
komponen tidak larut dalam bahan pakan tersebut dan kontaminasi luar pada proses
pengolahan pakan maupun pemalsuan bahan.
Kelarutan total bahan (bungkil inti sawit) dipengaruhi juga oleh komponen
kimia bahan. Semakin tinggi kandungan polisakarida bahan khususnya polisakarida
31
non pati maka semakin rendah kelarutan bahan dalam air, hal ini disebabkan
polisakarida non pati sulit mengalami hidrolisa dalam air. Bahan dengan kelarutan
total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya.
Perbedaan kelarutan total mengindikasikan kualitas dari bungkil inti sawit
yang digunakan. Kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia
karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya
polisakarida bukan pati dari bahan pakan, maka semakin rendah kelarutannya dalam
air. Polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air.
Kelarutan total yang tinggi pada pakan mengindikasikan bahwa pakan
tersebut memiliki kecernaan yang tinggi (Murni, 2003). Berdasarkan hasil yang
diperoleh, kecernaan bungkil inti sawit Mesh 30 lebih tinggi dibandingkan dengan
kecernaan dari bungkil inti sawit ukuran lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan
nilai kelarutan total produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi
berada pada nomor mesh 16, 30, 50 dan 100, sedangkan terendah pada nomor mesh 4
dan 8 (Harianto, 2011). Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan
tersebut akan tinggi kecernaannya (Suardi, 2002).
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit diukur untuk mengetahui pengaruh
setelah diberikan kepada ternak. Nilai derajat keasaman (pH) pada BIS berdasarkan
ukuran ayakan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Derajat Keasaman (pH) pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan.
Nomor Mesh
Derajat Keasaman(pH)
16
5,60±0,00
30
5,55±0,01
50
5,54±0,01
100
5,53±0,01
Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05)
terhadap
derajat keasaman (pH). Derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit
berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5,50-5,60. Penelitian sebelumnya
32
menunjukkan derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan
berkisar antara 5.40-5.45 (Hariyanto, 2011). Derajat keasaman (pH) bungkil inti
sawit yang disajikan menyatakan bahwa bungkil inti sawit bersifat asam karena
memiliki pH dibawah 7. Derajat keasaman (pH) dalam saluran pencernaan akan
dipengaruhi oleh pH pakan karena kehadiran pakan dalam lambung akan
meningkatkan pH lambung. Pengukuran derajat keasaman (pH) bungkil inti sawit
dimaksudkan untuk mendeteksi kondisi bahan jika kemungkinan suatu saat
mengalami penurunan pH akibat proses produksi. Umumnya keasaman yang tinggi
akan cenderung mengganggu kecernaan zat makanan (Tonnedy, 2006). Hal ini
karena enzim pembantu pencernaan tidak dapat bekerja optimal.
Tahap 2 : Jumlah Gula Pereduksi dengan Penambahan Enzim Komersial
dan Cairan Rumen pada Bungkil Inti Sawit
Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat
mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron (Lehninger, 1982). Peningkatan gula
pereduksi pada bungkil inti sawit mengindikasikan adanya peningkatan ikatan gula
yang dapat dipecah oleh enzim mannan. Semakin tinggi ikatan gula yang dapat
dipecah, maka semakin baik kualitas bungkil inti sawit. Data hasil pengujian jumlah
gula pereduksi pada bungkil inti sawit setelah diberi penambahan enzim mannan
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Gula Pereduksi Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan dengan
Penambahan Enzim
Jenis Enzim
Jumlah Gula Pereduksi (mg/g)
Kontrol
4,806±0,04c
BIS+ Rumen 0,1ml/gram BIS
5,921±0,04b
BIS+ Enzim komersial 0,1ml/gram BIS
10,516±0,09a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
pada BIS (P<0,05).
Berdasarkan data perolehan pengukuran gula pereduksi pada bungkil inti
sawit hasil ayakan yang telah diberi penambahan enzim mannan komersial dan
cairan rumen nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan total gula pereduksi
bungkil inti sawit. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa penambahan enzim pada BIS secara nyata meningkatkan
33
efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran
pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004).
Nilai gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan menunjukkan
peningkatan setelah diberi enzim cairan rumen dibandingkan dengan nilai gula
pereduksi bungkil inti sawit tanpa menambahan dari 4,806 mg/g meningkat menjadi
5,921 mg/g. Enzim cairan rumen yang ditambahkan memiliki aktivitas sebesar
0,013x106 U/liter enzim cairan rumen. Nilai gula pereduksi mengalami peningkatan
lebih tinggi setelah bungkil inti sawit hasil ayakan ditambahkan dengan enzim
mannan komersial yaitu 10,516 mg/g (setara 919,27x106 U/liter enzim mannanase
komersial). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa nilai
aktivitas enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses
hidrolisis substrat yang digunakan, semakin tinggi angka yang diperoleh memberikan
indikasi semakin banyak gula yang tereduksi (Handoko, 2010).
Nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dari penambahan enzim cairan
rumen lebih kecil daripada nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dengan
penambahan enzim komersial. Namun, jika dilihat dari jumlah aktivitas dari enzim
yang diberikan, kualitas enzim cairan rumen lebih baik. Aktivitas enzim mannanase
pada cairan rumen jauh lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase
komersial, namun enzim cairan rumen dapat memberikan pengaruh pada
peningkatan jumlah gula pereduksi bungkil inti sawit. Semakin tinggi aktivitas
mannanase yang terkandung pada bungkil inti sawit, maka semakin pekat
kecokelatan warna sampel hasil analisis gula pereduksi (Gambar 13).
Gambar 13. Perbedaan Warna Hasil Ekstraksi Bungkil Inti Sawit
dengan Penambahan Enzim Mannan
34
Pengaruh peningkatan gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan
enzim cairan rumen tidak jauh berbeda dengan pengaruh dari enzim mannanase
komersial. Pengaruh enzim cairan rumen yang tinggi dapat disebabkan karena
terkandungnya beberapa enzim penghidrolisis serat selain enzim mannanase
(selulase, amillase, protease, lipase). Pengujian gula pereduksi bungkil inti sawit
hasil ayakan yang diberi penambahan enzim komersial dan enzim cairan rumen
(Gambar 14) menghasilkan warna yang berbeda-beda pada hasil uji gula pereduksi.
BIS+Enzim Mannan
Cairan Rumen
BIS+Enzim
Kontrol
Mannan
Gambar 14. Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan
Komersial dan dari Cairan Rumen
35
Download