II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Logam Berat Logam berat adalah unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 g/cm3. Logam berat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S, terletak pada sudut kanan bawah daftar periodik pada periode 4 – 7 dengan nomor atom 22 – 92. Logam berat dapat membentuk mineral (senyawa logam) bila bercampur dengan komponen tertentu yang ada di bumi. Logam berat ada yang bersifat esensial bagi tubuh, tetapi bila tidak terkontrol dapat berbahaya. Berdasarkan penelitian terhadap organisme air, urutan toksisitas akut logam berat dari yang paling tinggi adalah Hg2+, Cd2+ , Ag+, Ni2+, Pb2+, As3+, Cr2+, Sn2+ , dan Zn2+ (Darmono, 1995). Meskipun Pb2+ relatif kurang toksik dibandingkan Ag+ dan Ni2+, tetapi lebih mudah larut dibandingkan Ag+ yang merupakan logam mulia (Saeni, 2002). Lowan et al. (1971, dalam Razak, 1998) menyatakan bahwa Pb dan dua logam berat sangat beracun lainnya (Hg dan Cd) merupakan logam berat yang dapat terakumulasi dengan cepat dalam tubuh organisme akibat interaksi sel atau jaringan tubuh organisme dengan logam berat di lingkungan. Darmono (1995) menambahkan bahwa Hg, Cd, dan Pb merupakan logam berat yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup, dan tidak mempunyai fungsi biologik sama sekali. 2.1.1. Sifat FisikaKimia Merkuri (Hg) Menurut Reily (1980), Hg termasuk golongan IIB sistem periodik unsur yang mempunyai nomor atom 80, bobot atom 200,5, densitas 13,6 g/cm3 , berada dalam bentuk cair pada suhu 25oC, dan mendidih pada suhu 356,6 oC. Logam berat ini juga bersifat volatil, larut dalam air dan lemak. Darmono (1995) menyatakan bahwa sifat fisika dan kimia Hg sangat menguntungkan dalam xxviii penelitian dan proses industri, karena bersifat cair pada suhu kamar, memiliki titik beku yang rendah, mudah diuapkan, mudah dicampur dengan logam lain, dan mudah menghantarkan listrik. Namun dalam bentuk murni, sifat mudah menguap dari Hg berbahaya karena beracun bila dihisap. Di perairan, Hg mempunyai waktu tinggal yang lama dibandingkan di daratan dan udara. Waktu tinggal Hg di perairan laut adalah 3,2 x 104 tahun, dan di sedimen air 2,5 x 108 tahun. Waktu tinggal yang lama di sedimen air menjadikan Hg sebagai sumber pencemar ke dalam air (Wollast dan Mackenzie, 1975). Suzuki (1977) menyatakan bahwa sifat kimia Hg sangat berbeda dengan Zn dan Cd sebagai logam dari golongan yang sama pada sistem periodik unsur. Di dalam tubuh organisme, Hg menghambat kerja enzim, sedangkan Zn memainkan peranan aktif dalam metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Darmono (1995) menambahkan bahwa Hg (alkil Hg) juga menghambat kerja sistem syaraf yang berakhir dengan kerusakan permanen. Sifat ekstrim dari Hg2+ dan R-Hg+ (kelompok alkil atau aril) menyebabkan afinitas yang tinggi terhadap kelompok tiol dan lebih meningkatkan kovalensi dibandingkan Zn. Akibat lanjut dari sifat ekstrim tersebut adalah terjadinya peningkatkan biotranspor, distribusi, dan toksisitas Hg (Suzuki, 1977). 2.1.2. Sifat Fisika Kimia Kadmium (Cd) Reily (1980) menyatakan bahwa Cd mempunyai nomor atom 48, bobot atom 112,4, densitas 8,6 g/cm3 , mencair pada suhu 320oC, dan mendidih pada suhu 765o C. Logam berat ini juga mempunyai sifat tahan karat, tahan panas, dan berwarna putih perak menyerupai aluminium. Senyawa anorganik dari Cd, misalnya senyawa klorida, sulfat, asetat, dan sulfit dapat larut dalam air, sedangkan dalam bentuk organik non-alamiah seperti thiozone dan thiokarbamat tidak stabil dan jarang dijumpai. Sjamsuddin et al. (1991) dan Darmono (1995) menambahkan bahwa Cd te rmasuk golongan IIB sistem periodik unsur yang tidak dijumpai dalam bentuk murni, tetapi banyak dijumpai dalam bentuk campuran dengan Zn dan Pb. Hal ini sering ditemukan pada kegiatan pertambangan, ekstraksi, dan pengolahan Zn dan Pb. xxix Menurut Darmono (1995) dan Lu (1995, dalam Hartanti, 1998), Cd merupakan logam berat yang paling beracun setelah Hg. Keracunan Cd dipengaruhi oleh unsur esensial lain (Zn, Ca, Fe, Cu, dan Mn), protein, dan vitamin yang terdapat di dalam tubuh. Keracunan Cd terjadi karena sifat fisika dan kimia Cd yang hampir sama secara biologik dengan unsur-unsur esensial tersebut. 2.1.3. Sifat Fisika Kimia Timbal (Pb) Menurut Reilly (1980), Pb termasuk golongan transisi IVA sistem periodik unsur yang mempunyai nomor atom 82, bobot atom 207,21, densitas 11,34 g/cm3, mencair pada suhu 327,5 oC, dan mendidih pada suhu 1725 oC. Darmono (1995) menambahkan bahwa Pb mempunyai sifat tahan karat, reaktif, mudah dimurnikan, tekstur yang lunak, warna coklat kehitaman, dan dengan logam lain dapat membentuk campuran yang lebih bagus daripada logam murninya. Dalam kegiatan pertambangan, Pb sering berada dalam bentuk sulfida logam (PbS) dan biasanya disebut galena. Sifat kimia Pb lebih mirip dengan logam-logam kelompok alkali tanah divalen dibandingkan dengan logam-logam golongan transisi IVA lainnya. Sifat tersebut tidak berlaku bila Pb membentuk garam dengan halida, hidroksida, sulfat, dan fosfat, karena garam-garam Pb ini mempunyai kelarutan yang rendah (Moore dan Ramamoorthy, 1984). Menurut Soepardi (1983), Pb selalu berasosiasi dengan unsur lain membentuk garam dan tidak terdapat secara murni. Pada limbah industri, Pb berasosiasi dengan Zn, Fe, Cd, dan Ag. Moore dan Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa Pb tidak berasosiasi dengan unsur dari golongan yang sama dan bila berikatan dengan ion nitrat dan asetat membentuk garam yang mudah larut air. Meskipun Pb lebih bersifat logam dibandingkan karbon dan silikon, tetapi cara pengendapannya pada tulang menyerupai karbon. 2.2. Kegunaan Logam Berat dalam Industri xxx Menurut Darmono (1995), Hg, Cd, dan Pb banyak digunakan dalam proses produksi suatu industri karena mempunyai sifat yang baik untuk pencampuran dan mudah disediakan dalam berbagai bentuk. Untuk keperluan industri, Hg, Cd, dan Pb dapat digunakan dalam bentuk logam murni, bahan anorganik maupun bahan organik. Goldwater dan Clarkson (1972, dalam Hutagalung, 1985) menyatakan bahwa Hg telah lama digunakan oleh manusia dalam hidupnya terutama dalam bentuk sinabar (HgS) pada industri sederhana pembuatan obat dan cat merah. Darmono (1995) menambahkan bahwa dalam perkembangannya, Hg banyak digunakan dalam pembuatan alat listrik terutama yang memproduksi lampu Hg, pembuatan baterai yang lebih awet dan tahan terhadap kelembaban. Disamping itu, Hg banyak digunakan pada industri klor alkali, industri berbagai jenis cat, keperluan kedokteran, dan keperluan perang. Pada industri klor alkali, Hg digunakan dalam pembuatan gas klor (Cl2) dan soda kaustik dengan proses elektrolisis dari garam NaCl untuk mengikat natrium dan membebaskan klor. Untuk keperluan kedokteran, Hg digunakan dalam bentuk kalomel (Hg2 Cl2 ) sebagai obat pencahar dan dalam bentuk sublimat (HgCl2) encer sebagai desinfektan. Untuk keperluan perang, Hg digunakan dalam bentuk raksa fulminat sebagai bahan peledak (Hutagalung, 1985). Moore dan Ramamoorthy (1984) menyatakan bahwa banyak industri di Amerika Serikat menggunakan Hg sebagai komponen utama produksi, antara lain industri farmasi, pestisida, cat, klor, soda kaustik, instrumen, saklar, pemancar, baterai, lampu, katalis, dan laboratorium. Penggunaan Hg untuk keperluan tersebut mencapai 2.051 ton pada tahun 1974 dan diproyeksikan mencapai 3.531 ton pada tahun 2005, sedangkan produksi Hg dunia mencapai 8.880 ton pada tahun 1974 dan 4,36 x 105 ton pada abad 21. Kisman et al. (1986) menyatakan bahwa Cd banyak digunakan pada industri kimia (industri cat, zat warna, fotografi, karet, pupuk, pestisida, dan baterai), pelapis logam, dan campuran logam. Darmono (1995) menambahkan untuk fungsi sebagai pelapis logam, Cd sangat baik untuk melapisi pelat besi atau baja karena tahan karat dan melapisi Zn, sehingga kualitasnya lebih bagus. Untuk bahan campuran, Cd dalam bentuk garam dari asam lemah digunakan dalam xxxi pembuatan PVC dan plastik yang tahan radiasi dan oksidasi. Disamping itu, Cd di alam selalu dalam bentuk campuran dengan Zn dan Pb, sehingga untuk fungsi pencampuran dengan kedua logam tersebut relatif mudah. Lu (1995, dalam Hartanti, 1998) menyatakan bahwa Cd banyak digunakan dalam industri keramik, penyepuhan listrik, dan pembuatan alpaka. Untuk industri keramik, Cd sangat disukai karena tahan panas. Sifat ini juga sangat cocok untuk pembuatan enamel dan plastik yang awet. Moore dan Ramamoorthy (1984) menyatakan bahwa Pb termasuk logam tertua yang dikenal oleh manusia dan telah digunakan sejak abad pertengahan dalam pembuatan pipa, patri, cat, amunisi, dan keperluan bahan bangunan. Dibandingkan dengan Hg dan Cd, Pb lebih banyak digunakan. Darmono (1995) menambahkan, pipa yang ba nyak dibuat dari Pb adalah pipa aliran bahan, pipa air, dan pipa yang melapisi kabel dengan maksud menambah ketahanan terhadap karat. Untuk keperluan ini, Pb yang digunakan bersifat murni. Pada industri cat, Pb digunakan sebagai bahan pewarna. Dalam bentuk campuran, Pb banyak digunakan dalam pembuatan elektroda (93 % Pb) dari baterai kendaraan. Dalam bentuk PbO2, Pb sangat baik untuk merangsang arus listrik. Campuran Pb juga digunakan dalam pembuatan bahan bakar (dalam bentuk Pb tetraetil), industri percetakan (tinta), dan pembuatan solder. Solder mengandung 50 – 95 % Pb. Soepardi (1983) menyatakan bahwa Pb dari industri baterai, cat, zat pewarna, lampu, dan bahan bakar minyak berasosiasi dengan Zn, Fe, Cd, dan Ag di lingkungan. Terlepas dari hal ini dan bahayanya, Pb tetap digunakan karena beberapa kelebihannya terutama tahan terhadap karat, titik lebur yang rendah, dan bisa digunakan dalam bentuk campuran maupun murni. Moore dan Ramamoorthy (1984) menyatakan bahwa produksi Pb terus meningkat karena penggunaannya yang juga meningkat. Produksi sebanyak 9,6 x 106 ton pada periode 1900-1909 meningkat menjadi 34 x 10 6 ton pada periode 1970-1979. Di Amerika Serikat, penggunaan Pb sebanyak 993,4 ton pada tahun 1960 meningkat menjadi 1.239,6 ton pada tahun 1970. 2.3. Pencemaran Logam Berat di Perairan dan Biota Air xxxii Turekian (1971, dalam Bryan, 1976) menyatakan bahwa logam berat di perairan dapat berasal dari hasil aktivitas manusia di daratan atau dalam bentuk partikel dan debu di atmosfer. Logam berat hasil aktivitas manusia di daratan, dapat berupa limbah perkotaan, pertambangan, pertanian, dan perindustrian (PPLH, 1997). Limbah industri merupakan sumber pencemaran logam berat yang paling banyak di perairan dan diakumulasi biota air terutama golongan ikan. Bryan (1976) menyatakan bahwa logam berat yang mencemari perairan mengalami perpindahan minimal melalui tiga proses yaitu pengendapan, absorpsi, dan adsorpsi oleh ikan, kerang, dan tumbuhan air. Jika konsentrasi logam berat lebih tinggi daripada daya larut minimal komponen yang terbentuk dari logam dan anion, maka akan terjadi endapan. Sutamihardja et al. (1982) dan PPLH (1997) menambahkan bahwa pencemaran perairan oleh logam berat didukung oleh sifat logam berat, yaitu : (a) sulit didegrada si, sehingga keberadaannya di perairan sulit dihilangkan; (b) dapat terakumulasi di dalam tubuh ikan, kerang, krustasea, dan tumbuhan air serta berbahaya bagi organisme yang mengkonsumsinya; dan (c) mudah terakumulasi di dalam sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi daripada di dalam air. Vernberg dan Vernberg (1974) menyatakan bahwa logam berat di perairan berada dalam bentuk terlarut dan tidak larut. Logam berat yang terlarut berupa ion logam atau kompleks dengan senyawa organik maupun anorganik. Logam berat yang tidak larut berupa partikel koloid dan senyawa logam terabsorpsi pada padatan tersuspensi. Ion logam di dalam air dapat berubah menjadi kompleks atau senyawa koordinasi bila bergabung dengan anion atau senyawa netral. Ligan (anion atau senyawa netral) merupakan gugus fungsi organik yang dapat memberikan elektron yang dibutuhkan untuk berikatan dengan ion logam. Senyawa netral yang paling umum adalah karbohidrat. Lindquist et al. (1984, dalam Sunoko et al., 1994) menambahkan bahwa anion yang banyak berikatan dengan logam berat di dalam air adalah karbonat, hidroksil, dan klorida. Menurut Moriarty (1987), logam berat yang masuk ke perairan dapat merubah struktur komunitas perairan, jaringan makanan, genetik, bentuk fisik, dan resistensi biota air. Logam berat dapat merusak stabilitas, keanekaragaman, dan kedewasaan ekosistem perairan. Palar (1994) menambahkan bahwa tingkat xxxiii kerusakan ekosistem atau kehancuran biota air oleh logam berat tidak sama tergantung jenis logam berat, tetapi kehancuran salah satunya menyebabkan terputusnya mata rantai makanan dan kehidupan. Diantara logam berat yang masuk ke perairan, Hg, Cd, dan Pb sangat berbahaya karena dapat mengganggu fungsi normal enzim atau struktur selular ikan dan biota air lainnya. Hal ini karena ketiga logam berat tersebut mempunyai afinitas yang besar terhadap sulfihidril (-SH) yang merupakan gugus fungsi pada asam amino organisme hidup yang dapat mengikat logam berat (Boline, 1981). 2.4. Penyebaran Logam Berat pada Air Tanah Leeper (1978) menyatakan bahwa semakin bertambahnya waktu, maka logam berat di dalam air atau larutan tanah semakin bertambah. Daerah yang mempunyai air tanah dangkal dan tidak memiliki lapisan kedap air akan mudah tercemar logam berat. Sifat dari tanah dan jarak perairan dengan air tanah menentukan tingkat pencemaran logam berat dari perairan. Interaksi logam berat dengan air tanah dalam waktu yang lama memberi kemungkinan : (a) terjadinya timbunan tanah logam permanen atau temporer dalam bentuk tidak larut; (b) terbentuknya gas dari logam; (c) logam tetap ada di dalam air tanah dan jika keluar melalui drainase; dan (d) diserap oleh tanaman yang ada pada tanah dan tertimbun di dalam tanaman. Partikel limbah industri yang mengandung logam berat dapat mengendap di badan air terutama yang tenang. Ketika logam berat yang dibawa oleh aliran mencapai muara atau daerah tergenang akan membentuk partikel yang lebih besar dan mengendap di bagian dasar sebagai sedimen (Clapham, 1973). Harahap (1991) dan PPLH (1997) menambahkan bahwa pengendapan logam berat di dasar perairan didukung oleh sifatnya yang mudah berikatan terutama dengan bahan organik perairan. Logam berat tersebut bersatu dengan sedimen yang sudah ada, sehingga menyebabkan kadar logam berat sedimen lebih tinggi daripada logam berat perairan. Disamping itu, sedimen yang mengandung logam berat mudah tersuspensi kembali oleh adanya air yang bergerak, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial untuk jangka waktu tertentu. xxxiv 2.5. Penyerapan Logam Berat oleh Tanaman Soemand (1980) dan Darmono (1995) menyatakan bahwa kadar logam berat di dalam air irigasi sangat mempengaruhi kadar logam berat tanaman yang di atasnya. Bila logam berat di dalam air irigasi meningkat, maka logam berat pada jaringan tanaman akan bertambah. Hal ini karena tanaman semakin mudah dan berpeluang untuk menyerap logam berat. Namun demikian, adanya interaksi di antara logam berat sendiri dapat menjadi penghambat penyerapan logam berat oleh tanaman. Menurut Chaney (1980), penyerapan logam berat oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh proses di dalam media tanam dan di dalam tanaman. Logam berat dapat berada dalam bentuk tidak larut atau terikat kuat di dalam air irigasi, sehingga penyerapannya oleh tanaman sangat kecil. Sommers (1980) dan Saeni (1989) menyatakan setiap jenis tanaman berbeda kemampuannya untuk menyerap nutrien (termasuk logam berat) dan menyebarkannya ke seluruh bagian tanaman (akar, umbi, batang, daun, buah, atau biji). Kemampuan ini dipengaruhi oleh kondisi jenis tanaman, kultivar, dan usia panen tanaman. Jenis sayur-sayuran seperti selada dan bayam menyerap Cd lebih tinggi daripada tanaman kedelai, jagung, dan gandum. Darmono (1995) menyatakan bahwa fase pertumbuhan dan sistem akar tanaman berpengaruh terhadap penyerapan logam berat. Penyerapan dan toksisitas didukung oleh status nutrisi, umur, dan ada tidaknya infeksi Mycorriza pada tanaman. Leeper (1978) menyatakan bahwa penyerapan logam berat oleh tanaman juga dipengaruhi oleh jenis logam berat yang ada di dalam air irigasi. Respon tanaman terhadap peningkatan kadar Zn dan Ni dalam larutan media tanam adalah linier, sedangkan untuk Cu dan Pb cenderung memperlihatkan respon yang nonlinier. Silalahi (1980) menyatakan bahwa unsur beracun (logam berat) umumnya sangat kuat berikatan dengan partikel-partikel yang dikandung air irigasi dan larutan tanah. Oleh karena itu, keracunan tanaman oleh logam berat biasanya xxxv terjadi bila kadar logam berat berlebih pada media tanam tersebut. Darmono (1995) menambahkan bahwa kadar logam berat berlebih menyebabkan kerusakan pada lingkungan alami termasuk tanaman. Tanaman memerlukan mineral atau logam sebagai unsur nutrisi dalam jumlah yang sedikit. Penyerapan logam berat akan sampai ke puncak tanaman bila cukup di dalam air irigasi dan sebelumnya sudah ada di akar. Akar tanaman akan lebih mudah menyerap logam berat dalam bentuk ion bebas daripada dalam bentuk terikat dengan asam kompleks dan garam kompleks yang melarut atau tersuspensi dalam air irigasi. Pada tanah asam, Pb dan Cu berada dalam bentuk asam kompleks, sedangkan Cd dan Zn berada dalam bentuk kation bebas. Serapan Pb akan meningkat bila kapasitas pertukaran kation, kadar bahan organik, kadar P rendah, dan media perakaran luas. Di samping dari media tanam, Pb juga dapat tersedia bagi tanaman melalui udara. Fungsi Pb dari udara lebih bersifat menutupi pori-pori daun daripada membuka stomata daun (Lepp, 1981 dan Darmono, 1995). 2.6. Residu, Toksisitas, dan Baku Mutu Logam Berat 2.6.1. Residu dan Toksisitas Merkuri (Hg) Moore dan Ramamoorthy (1984) menyatakan bahwa residu Hg pada air tawar yang alami sekitar 0,00002 – 0,0001 ppm dan pada air laut sekitar 0,00001 – 0,00003 ppm. Sedimen yang belum tercemar mengandung Hg maksima l 1,0 ppm. Menurut Darmono (1995), rata-rata residu Hg pada air tawar yang alami adalah 0,0001 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00015 ppm. Hasil penelitian Supriyanto dan Lubis (1988) pada air minum di Jakarta memperlihatkan bahwa kadar Hg telah melebihi ambang batas rekomendasi Departemen Kesehatan yaitu 0,002 ppm, sehingga perlu dilakukan penanganan yang serius. Pada tahun 1979, Pacyna (1983) meneliti residu Hg pada limbah yang disebabkan oleh industri di Eropa. Hasilnya memperlihatkan bahwa sebagian besar residu Hg berasal dari pembakaran sampah industri dan penggunaan logam dalam produksi yang masing-masing mencapai 20 ton per tahun. Moore dan xxxvi Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa residu Hg dalam limbah industri berbeda -beda, tetapi tetap tinggi untuk setiap industri, yaitu : (a) industri kertas mencapai 2 - 3,4 ppm; (b) industri peleburan mencapai 2 – 4 ppm; (c) industri pupuk mencapai 2,6 – 4 ppm; (d) industri campuran mencapai 5.440 ppm; dan (e) industri klor alkali mencapai 80 – 2.000 ppm. Residu yang tinggi ini sangat berbahaya bila berinteraksi dengan tubuh manusia atau organisme perairan. Menurut Mason (1991) dan Palar (1994), apabila Hg masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah yang berlebih, maka dapat mengganggu fungsi fisiologik tubuh. Di lingkungan perairan, Hg organik diubah oleh organisme menjadi metil merkuri yang toksisitasnya lebih tinggi dan lebih mudah diserap oleh jaringan tubuh. Metil merkuri yang diserap oleh usus dapat disimpan lebih dari 99 % pada jaringan. Dalam bentuk organik, Hg lebih toksik daripada dalam bentuk anorganik. Pada ikan misalnya, fenil merkuri asetat mempunyai sifat toksisitas 7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan HgCl2 (Moore dan Ramamoorthy, 1984). Menurut Darmono (1995), bentuk organik yang paling toksik dari Hg adalah alkil merkuri (metil merkuri dan etil merkuri). Dalam beberapa hari, kedua bentuk merkuri ini dapat menyebabkan gangguan syaraf yaitu ataksia, kelemahan, hiper estese (peka), konvulsi, kebutaan, koma, dan kematian. Gangguan tersebut terjadi setelah ada distribusi dari sel darah merah yang sebelumnya diserap secara sempurna oleh usus dari makanan. Bentuk anorganik dari Hg yang bersifat toksik sangat sedikit dan didistribusikan ke otak. Gejala yang paling menonjol dari bentuk anorganik ini adalah rasa sakit pada saluran pencernaan dan ginjal. Levander dan Cheng (1980) menyatakan bahwa toksisitas Hg dalam bentuk metil merkuri dapat terjadi pada manusia apabila kadarnya mencapai 9 sampai 24 ppm, atau setara dengan 0,3 mg per 70 kg bobot badan per hari. Darmono (1995) menambahkan bahwa toksisitas Hg juga terjadi dalam bentuk murni karena sifatnya yang mudah menguap. Bila diserap oleh paru-paru, maka dengan mudah didistribusikan oleh darah ke otak yang menyebabkan gangguan pada sistem syaraf pusat. Gejala toksik ditandai oleh oedema paru-paru, tremor, salivasi, dan gingivitas. xxxvii 2.6.2. Residu dan Toksisitas Kadmium (Cd) Menurut Peterson dan Alloway (1979), residu Cd pada tanah yang alami adalah 0,00006 ppm dengan kisaran tidak tercemar antara 0,00005 – 0,00007 ppm. Darmono (1995) menyatakan bahwa rata-rata residu Cd pada air tawar yang alami adalah 0,0003 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00011 ppm. Pacyna (1983) meneliti residu Cd dari limbah industri di Eropa pada tahun 1979 yang memperlihatkan : (a) aktivitas industri besi, baja, dan logam campuran mencapai 60 ton per tahun; (b) pembakaran sampah atau limbah mencapai 85 ton per tahun; (c) industri semen mencapai 15 ton per tahun; dan (d) penggunaan logam dalam produksi mencapai 20 ton per tahun. Darmono (1995) menyatakan bahwa Cd yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan toksisitas kronis terutama pada ginjal. Dalam jangka waktu yang lama, Cd juga bersifat toksik terhadap paru-paru, tulang, dan hati. Diet dengan protein, Ca, atau Fe yang rendah meningkatkan penyerapan Cd, sehingga daya toksisitasnya meningkat. Dinding usus menyerap Cd dan didistribusikan melalui darah ke dalam jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Ginjal dan hati dapat menyimpan sekitar 50 % dari Cd yang diserap. Pada organisme perairan seperti ikan, Cd terakumulasi dalam isi perut, insang, tulang, dan daging. Hasil penelitian Suwirma et al. (1980) menunjukkan bahwa akumulasi Cd pada organ-organ tersebut untuk ikan kembung tidak jauh berbeda kecuali pada daging akumulasinya lebih rendah. Pada ikan mujair terjadi perbedaan akumulasi untuk semua organ, yaitu isi perut > insang > tulang > daging. Akumulasi pada daging ikan mujair rendah diduga karena distribusi Cd lebih sulit dibandingkan pada ketiga organ lainnya. Organisme yang sedang tumbuh (janin, telur, dan benih) sangat peka terhadap toksisitas Cd. Bagi organisme ini, Cd bersifat teratogenik (dapat menyebabkan cacat fisik), misalnya pada janin (manusia) dapat menyebabkan kelainan pada rahang, kaki, dan rusuk. Bila Cd menyerang pada usia dewasa, gejalanya akan terlihat pada usia 50 tahun dengan akumulasi kritis 0,2 ppm pada saat terjadi kegagalan ginjal (Darmono, 1995). Akumulasi Cd pada ginjal relatif lebih tinggi dibandingkan pada organ lainnya, karena ruang akumulasi luas dan suasana asam-basa lebih cocok dengan xxxviii sifat kimia Cd. Disamping itu, ginjal berperan penting dalam penyaringan cairan tubuh, sehingga memberi peluang terjadinya pengendapan padatan termasuk Cd. Menurut Boudou et al. (1983), ruang akumulasi yang luas, tingkat sirkulasi yang tinggi, dan sifat kimia logam toksik yang adaptif dapat meningkatkan akumulasi logam tersebut. 2.6.3. Residu dan Toksisitas Timbal (Pb) Residu Pb pada air tawar yang alami biasanya maksimal 0,003 ppm dan residu pada perairan yang menerima buangan limbah cair pertambangan sekitar 0,5 ppm (Imhoff dan Koppe, 1980; Pande dan Das, 1980). Untuk tanah yang belum tercemar, residu Pb mencapai 2 - 50 ppm. Sedimen yang dekat dengan aliran limbah perkotaa n dan industri umumnya mempunyai residu Pb maksimal 500 ppm (Moore dan Ramamoorthy, 1984). Darmono (1995) menambahkan bahwa residu Pb pada air tawar yang alami adalah 0,0003 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00003 ppm. Pacyna (1983) menjelaskan tentang residu Pb pada limbah industri di Eropa pada tahun 1979 dan hasilnya memperlihatkan residu Pb paling tinggi dibandingkan residu Hg, Cd, dan As. Residu Pb pada limbah industri besi, baja, dan logam campuran mencapai 14.660 ton per tahun, bekas pembakaran sampah mencapai 800 ton per tahun, industri semen mencapai 750 ton per tahun, dan penggunaan logam dalam produksi mencapai 2.000 ton per tahun. Menurut Darmono (1995), Pb yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan toksisitas pada sel darah merah, jaringan lunak (ginjal, hati), tulang, dan jaringan keras (gigi dan tulang rawan). Diantara jaringan tubuh ini, tulang dan jaringan keras dapat menyimpan 90 – 95 % dari total Pb yang disimpan tubuh. Jaringan tubuh tersebut menyerap Pb dari saluran pencernaan dengan bantuan aliran darah. Penyerapan Pb dipengaruhi oleh kompetisi dan interaksi dengan logam lain. Bila Ca dan Zn kekurangan dalam tubuh, atau makanan tidak ada yang masuk karena puasa, maka penyerapan Pb lebih mudah. Untuk organisme perairan seperti ikan, pada kesadahan > 350 ppm sebagai CaCO3 dapat menyebabkan toksisitas dengan LC-50 untuk Pb > 400 ppm. Tetapi pada kondisi perairan umumnya, toksisitas akan terjadi lebih cepat dengan LC-50 xxxix selama 96 jam untuk Pb berkisar 0,5 – 10 ppm. Jika ikan Salmo gairdnerii tercemar limbah Pb dengan konsentrasi sedikit lebih tinggi yaitu 13 ppm, maka dapat terjadi penurunan volume sel darah merah termasuk kadar besi yang dikandungnya dan berakhir dengan kematian (Hodson et al. , 1978). Pada masa pertumbuhan, organisme relatif peka terhadap Pb. Anak-anak terutama yang berumur 3 bulan sampai 8 tahun menyerap Pb lebih banyak daripada orang dewasa dan mencapai 50 %. Anak-anak yang menderita toksisitas Pb cenderung mengalami gangguan neurologi seperti bodoh, kesulitan berpikir, gangguan tingkah laku bahkan kerusakan otak permanen (Byers dan Lord, 1953). Untuk organisme perairan, Darmono (1995) menyatakan bahwa fase telur, larva, dan pos larva dari ikan, kerang, dan udang sangat peka terhadap logam berat termasuk Pb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur ikan salmon, larva oister Crassostrea gigas, kepiting, dan udang sangat peka terhadap Pb. 2.6.4. Baku Mutu Logam Berat untuk Pemanfaatan Sumberdaya Air Baku mutu digunakan sebagai dasar pertimbangan peruntukan sumberdaya air, dasar pertimbangan daya tampung beban pencemaran air, dan dasar penilaian tingkat pencemaran air (PP RI No. 82 tahun 2001). Untuk penentuan pencemaran logam berat dalam pemanfaatan sumberdaya air, ada beberapa baku mutu yang dapat digunakan, antara lain : (a) Baku mutu logam berat air golongan C dan D menurut PP RI No. 82 tahun 2001. Air golongan C diperuntukkan bagi usaha perikanan (budidaya) dan peternakan, dan air golongan D diperuntukkan bagi usaha pertanian, usaha perkotaan, industri, da n pembangkit listrik tenaga air; (b) Baku mutu logam berat air minum menurut Kep. MENKES RI No. 907/ MENKES/SK/VII/ 2002; (c) Baku mutu logam berat air bersih menurut Kep. MENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/ 1990; (d) Baku mutu logam berat untuk tanaman hijau menurut Allaway (1968); (e) Baku mutu logam berat untuk bahan pangan menurut Kep. Direktorat Jenderal POM DEPKES RI No. 03725/B/ SK/1989; (f) Baku mutu logam berat untuk perikanan air deras menurut O-FISH (2002); (g) Baku mutu logam berat xl untuk air pembibitan ikan menurut DITJEN Budidaya DKP RI (2003); (h) Baku mutu logam berat untuk air pertanian dengan tanah tekstur halus menurut Shainberg dan Oster (1978); (i) Baku mutu logam berat yang dapat diurai tanah menur ut Peterson dan Alloway (1979) dan Koppe (1980); dan (j) Baku mutu lingkungan untuk kehidupan biota air, ekosistem, dan penguraian hara dari berbagai sumber. 2.7. Manfaat Ekonomi dan Sifat Sumberdaya Air Menurut Sanim (1995), secara umum sumberdaya air memberi tiga manfaat ekonomi bagi kehidupan, yaitu : (1) menyediakan bahan baku bagi kegiatan produksi barang-barang yang dapat dipasarkan, seperti ikan, kerang, dan air tanah untuk kebutuhan pemukiman, industri, sumber tenaga penggerak listrik dan kincir air; (b) lingkungan alam (natural environment) yang dapat melindungi kekayaan pribadi (private property), misalnya perairan yang luas dan aliran yang cepat dapat mencegah banjir, pepohonan dan karang sepanjang aliran dapat mencegah lahan dan bangunan dari erosi; dan (c) mempunyai dampak personil secara langsung dalam penggunaannya. Kesempatan rekreasi di luar rumah (outdoor recreations), jalan-jalan melihat pemandangan perairan merupakan dampak yang ditemukan tidak melalui mekanisme pasar, tetapi melalui interaksi dengan lingkungan. Untuk menjaga pemanfaatan sumberdaya air, maka berbagai kebijakan pembangunan termasuk yang berpengaruh terhadap alokasi sumberdaya air harus mempertimbangkan sifat dan kondisi sumberdaya tersebut. Ada empat sifat khas yang meleka t pada sumberdaya air yang perlu diperhatikan, yaitu : (a) sifat keterkaitan (interdependency), (b) sifat tidak terpisahkan (indivisibility), (c) sifat keterpulihkan (renewability ), dan (d) sifat dampak eksternal (externality ) (Sanim dan Nuryantono, 1995). Dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, sifat khas sumberdaya air sangat penting untuk penilaian. Sifat keterkaitan sumberdaya air mengharuskan penilaian ekonomi memperhatikan berbagai komponen penyusun yang dievaluasi. Dengan demikian, nilai ekonomi masing-masing komponen penyusun dapat dianalisis dekomposisi. Sifat tidak terpisahkan mengharuskan penilaian ekonomi xli menetapkan secara tepat batas analisis bagi yang menyangkut batas administrasi kewenangan (the boundary of jurisdiction) dan terlebih batas fisik dari sumberdaya air. Sifat terpulihkan mengharuskan prinsip penilaian ekonomi mengkaji ekosistem yang bersifat antar generasi baik dari segi manfaat yang diperoleh maupun biaya yang ditanggung. Oleh karena waktu merupakan komponen yang krusial dalam penilaian, maka sumberdaya dibagi dua tipe yaitu sumberdaya terpulihkan (renewable ) dan sumberdaya tak terpulihkan (nonrenewable). Sumberdaya terpulihkan hanya berbeda pada waktu yang diperlukan untuk diproduksi (rotation period ). Sifat dampak eksternal mengharuskan penilaian ekonomi sumberdaya mencakup semua kegiatan yang berpengaruh keluar batas wewenang satuan pengambilan keputusan. Dampak eksternalitas ini dapat digolongkan atas dampak negatif dan dampak positif. 2.8. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Nilai ekonomi (economic value) merupakan komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi dan lingkungan (economic-cum-environmental, ECE) dengan memperhatikan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara integratif (ADB, 1994). Nilai ekonomi terdapat pada suatu tujuan perubahan tertentu, tetapi secara kompleks nilai-nilai tersebut menyatakan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan lingkungan (Pearce dan Moran, 1994). Penyebaran logam berat pada sumberdaya air dapat mempengaruhi pilihan dan penilaian secara ekonomi. Pemilihan teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan hal penting dan membutuhkan pemahaman yang menyeluruh mengenai teknik itu sendiri, perilaku dampak yang terjadi, respon dari pihak-pihak yang terkena dampak, dan perilaku pasar sumberdaya tersebut. Sanim (1995) menyatakan bahwa teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam dapat dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan berikut : xlii 1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Jika yang dilakukan mempunyai tujuan ganda, maka sebaiknya menggunakan besaran-besaran dampak yang disarankan. 2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam yang berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi dan bukan berkompetisi, karena teknik-teknik tersebut mengukur aspek yang berbeda. 3. Kebutuhan dan kepentingan pemakai hasil penilaian. Pemakai hasil penilaian memiliki preferensi tersendiri terhadap suatu teknik penilaian ekonomi tergantung biaya, waktu, dan tujuan. 4. Kepentingan masyarakat luas. Preferensi masyarakat luas terhadap sumberdaya alam harus dapat ditangkap maksimal dan setepat mungkin. Untuk itu perlu ditempuh jejak pendapat yang intensif dan memadai. 5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi dari penggunaan hasil penilaian. Perlu dipikirkan apakah keuntungan penggunaan hasil penilaian sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan. Dalam kaitan dengan sumberdaya air, penilaian ekonomi perlu dilakukan karena : 1. Penilaian mengingatkan bahwa layanan sumberdaya air tidak gratis, tetapi mempunyai harga yang sering sekali tidak ditangkap oleh mekanisme pasar. 2. Penilaian memberikan isyarat bahwa sumberdaya air bersifat langka. 3. Penilaian menerjemahkan bahwa dampak pemanfaatan sumberdaya air untuk usaha pertanian, air bersih, air minum, dan lainnya menjadi nilai yang bisa dibandingkan dengan analisis biaya manfaat finansial dan ekonomi. 4. Penilaian memberikan masukan dalam pengambilan keputusan yang lebih adil karena metode ini mampu menghindari pertimbangan yang bersifat kualitatif dan tidak obyektif. 5. Penilaian mampu memberikan indikasi kerja ekonomi. 6. Penilaian memberikan arahan untuk kebijakan publik seperti pajak, subsidi, biaya konservasi, biaya pemulihan, biaya ganti rugi, dan pencegahan 2.9. Pendekatan dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam xliii Menurut Hufschmidt et al. (1983), pendekatan yang dapat digunakan dalam penilaian ekonomi suatu sumberdaya alam dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu pendekatan orientasi pasar dan pendekatan orientasi survai (penilaian hipotesis). Kedua pendekatan ini dapat digunakan secara terpisah maupun secara bersamaan pada lingkup penilaian yang kompleks. 2.9.1. Pendekatan Orientasi Pasar Pendekatan orientasi pasar mempunyai tiga bentuk penilaian, yaitu : (a) penilaia n ekonomi menggunakan harga pasar aktual atau barang jasa (actual market based method), (b) penilaian biaya menggunakan harga pasar aktual terhadap input, dan (c) penilaian keuntungan menggunakan pasar pengganti (surrogate market-based method). Penilaian ekonomi menggunakan harga pasar aktual mencakup perubahan nilai produksi (change in productivity ), dan metode kehilangan ( loss of earning method). Penilaian biaya menggunakan harga pasar aktual terhadap input mencakup pengeluaran biaya pencegahan (everted defensif expenditure ), biaya penggantian (replacement cost method), biaya proyek bayangan (shadow project method), dan analisis efektivitas biaya. Penilaian keuntungan menggunakan pasar pengganti (surrogate market-based method) mencakup penggantian lingkungan dengan barang yang dapat dipasarkan, pendekatan nilai pemilikan dan pendekatan biaya perjalanan (travel cost), pendekatan perbedaan upah (wage differential method), penerimaan kompensasi, dan pendekatan lain terhadap nilai tambah. 2.9.2. Pendekatan Orientasi Survai Pendekatan orientasi survai dilakukan secara hipotesis dengan bantuan kuesioner berupa: (a) pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (willingness to pay) dan (b) pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (willingness to accept). Pendekatan ini cukup efektif untuk menilai sumberdaya yang tidak dicerminkan langsung oleh kekuatan pasar. Hufschmidt et al. (1983), Munasinghe (1993), dan Pearce dan Moran (1994) menyatakan bahwa konsep dasar dari semua penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar terhadap xliv sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperoleh atau kesediaan menerima kompensasi akibat kerusakan lingkungan. Harga (P) Kurva permintaan Surplus konsumen Jumlah yang dibayar konsumen P’ Garis harga Jumlah barang (Q) 0 Q’ Gambar 2. Kurva permintan individu (Kurva Permintaan Marshal) Menurut Davis dan Johnson (1987), kesediaan membayar dan surplus konsumen lebih sering digunakan sebagai ukuran untuk menentukan nilai sumberdaya. Darusman (1995) dan Widarti (1996) menambahkan bahwa teknik kesediaan membayar dan surplus konsumen banyak digunakan dalam menentukan nilai permintaan jasa hidrologi, nilai air untuk rumah tangga, dan nilai air untuk pertanian. Gambar 2 memperlihatkan perbedaan jumlah konsumsi dengan kesediaan membayar barang atau jasa. Untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya alam yang telah dirumuskan, digunakan perhitungan : (a) nilai nyata yang didasarkan kepada nilai pasar atau produktivitas, (b) nilai pasar ba rang substitusi (pengganti) atau komplementer (pelengkap), dan (c) pendekatan yang menggunakan teknik survai. 2.10. Nilai Ekonomi Total xlv Salah satu teknik yang dipakai untuk mencari nilai ekonomi sumberdaya alam termasuk sumberdaya air adalah nilai ekonomi total (total economic value). Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari nilai manfaat (use value) dan nilai intrinsik (non use value). Nilai manfaat merupakan penjumlahan dari nilai manfaat langsung (direct use), nilai manfaat tidak langsung (indirect use) dan nilai pilihan (option value). Nilai intrinsik merupakan penjumlahan dari nilai warisan (bequast value) dan nilai keberadaan (existence value) (CSERGE, 1994). Nilai Ekonomi Total (NET) Nilai Manfaat (NM) Nilai Manfaat Langsung (NML) : bahan pangan, biomassa Nilai Manfaat Tidak Langsung (NMTL) : pengen - dalian banjir Nilai Intrinsik (NI) Nilai Pilihan (NP) : biodiversity, konservasi habitat Nilai Warisan (NW) : habitat, pencegahan kerusakan tak terbarui Nilai Keberadaan (NK) : spesies langka, ekosistem, dan genetik Gambar 3. Skema nilai ekonomi total sumberdaya alam Nilai ma nfaat langsung diperoleh dari produk atau keluaran langsung yang dapat dinikmati, misalnya bahan pangan dan biomassa. Nilai manfaat tidak langsung diperoleh dari produk atau keluaran yang tidak langsung dimanfaatkan, tetapi keberadaannya mendukung diperolehnya produk atau keluaran langsung, misalnya manfaat pengendalian banjir dari sungai. Nilai pilihan diperoleh dari produk atau keluaran langsung maupun tidak langsung yang ada di masa yang akan datang, misalnya keanekaragaman hayati dan konservasi habitat. Nilai warisan diperoleh dari kebanggaan yang terjadi karena ada wujud atau warisan lingkungan, misalnya habitat dan pencegahan kerusakan tak terbaharui. Nilai keberadaan diperoleh dari keberlanjutan keberadaan sumberdaya yang dapat dirasakan secara fisik meskipun semua manfaat lain dihilangkan, misalnya keberadaan untuk perlindungan spesies langka, ekosistem, dan genetik (CSERGE, 1994 dan Sanim, 1995). Secara skematis, kelima kategori nilai ekonomi tersebut terlihat pada Gambar 3. xlvi Menurut Sanim (1995), nilai ekonomi total (NET) pada Gambar 3 dapat dirumuskan sebagai berikut : NET = NM + NI = (NML + NMTL + NP) + (NW + NK) Untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi dari setiap kategori manfaat dari sumberdaya alam yang telah dirumuskan, digunakan teknik pe rhitungan : (a) nilai nyata yang didasarkan kepada nilai pasar atau produktivitas, (b) nilai pasar barang substitusi (pengganti) atau komplementer (pelengkap), dan (c) pendekatan yang menggunakan teknik survai. Kuantifikasi nilai ekonomi total merupakan pencerminan dari nilai yang dimiliki oleh sumberdaya air. 2.11. Sistem dan Model Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah satu perangkat komponen yang saling berhubungan dan berkaitan yang diorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Muhammadi et al. (2001) menambahkan bahwa sistem merupakan interaksi antar komponen dari suatu obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan, sedangkan model merupakan bangunan atau struktur pemikiran yang bersifat sistemik. Secara rinci, model mer upakan satu perangkat yang menggambarkan komponen yang saling berkaitan, berhubungan, dan berinteraksi dalam batasan tertentu, sehingga menghasilkan suatu perilaku dengan dinamika tertentu. Dalam ekosistem sumberdaya alam termasuk sistem penyebaran logam berat, model merupakan suatu cara membangun pemikiran dengan beranalisis matematis tentang hubungan antara komponen-komponen yang ada dalam ekosistem sumberdaya alam tersebut yang setiap komponen berperan dalam proses produksi dan konsumsi (Eriyatno, 1989). Menurut Muhammadi et al. (2001), membangun pemikiran yang demikian dapat dilakukan dengan lima tahapan, yaitu : (a) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata (actual state) dalam artian melakukan pekerjaan atau proses yang benar -benar ada bila hasil atau kejadian yang diinginkan nyata; (b) identifikasi kejadian yang diinginkan, dituju, ditargetkan atau direncanakan (desired state ); (c) identifikasi masalah yang harus dipecahkan dengan cara memikirkan tingkat kesenjangan xlvii kenyataan dengan seha rusnya (keinginan); (d) identifikasi mekanisme atau caracara menutup kesenjangan; dan (e) analisis kebijakan tentang cara-cara yang dipilih untuk menutup kesenjangan mencapai kejadian yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan alam, bangunan pemikiran yang sistemik (model) merupakan suatu gambaran abstrak tentang sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Model tentang penyebaran logam berat dapat menjadi gambaran abstrak tentang sistem penyebaran logam berat yang nyata dan ada di alam. Model yang baik menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata (Manetcsh dan Park, 1977). 2.12. Struktur dan Perilaku Model 2.12.1. Struktur Model Secara umum, struktur model dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : struktur umpan balik positif , struktur umpan balik negatif, dan struktur osilasi. Menurut Djojomartono (2000), struktur umpan balik positif merupakan struktur model yang peubahnya mengumpan balik terhadap dirinya sendiri secara berkesinambungan untuk memperkuat pertumbuhan penghancuran (negative growth) (positive pada dirinya. growth ) atau memperkuat Struktur umpan balik positif dicirikan oleh perilaku peubah yang meningkat atau menurun secara eksponensial. Variabel dasar dari struktur umpan balik positif ada dua, yaitu : (a) kea daan sistem (level) dan (b) aksi atau perbuatan (rate ). Proses di alam yang biasa mengikuti pola ini antara lain populasi penduduk, polusi, dan kecanduan obat. Struktur umpan balik negatif adalah struktur model yang menghasilkan pertumbuhan untuk mencapai tujuan (goal directed) baik ekplisit maupun implisit yang dicirikan oleh perilaku meningkat sampai maksimum atau menurun sampai mendekati nol (Richardson, 1981). Variabel dasar dari struktur umpan balik balik negatif ada empat, yaitu : (a) tujuan atau ke adaan yang diinginkan (goal), (b) keadaan sistem (level), (c) perbedaan, dan (d) aksi atau perbuatan (rate). Proses yang mengikuti struktur umpan balik positif adalah pengaturan diri (self regulating), penyesuaian (adaptation ), keseimbangan (equilibrium), dan pertahanan diri (homeostatis). Proses di alam yang mengikuti pola ini antara lain xlviii sistem termostat yang mempertahankan suhu ruangan, sistem penyediaan bahan kebutuhan, pengaturan suhu badan, dan gula darah normal (Djojomartono, 2000 dan Muhammadi et al. , 2001). Struktur osilasi merupakan struktur model yang mengandung fungsi kelambatan respon yang panjang. Struktur osilasi mengambarkan perilaku saling ketergantungan diantara peubah yang berinteraksi yang disertai dengan kelambatan (delay time). Secara matematis, model berstruktur osilasi merupakan model dengan fungsi sinus. Jika fungsi sinus diberikan rangkaian delay atau fungsi lainnya, maka pada suatu saat akan dicapai keadaan tunak (steady state). Proses di alam yang mengikuti pola ini antara lain hubungan pemangsa dengan mangsa, dan matahari menyinari permukaan bumi (Perry, 1991 dan Muhammadi et al. , 2001). 2.12.2. Perilaku Model Perilaku model yang bisa terjadi dari penggunaan struktur model beragam, yaitu : eksponensial, asimptotik, sigmoid, koevolusi, atau fungsi sinus. Perilaku eksponensial terjadi pada model dengan struktur umpan balik positif. Perilaku asimptotik (emergensi) merupakan perilaku yang menunjukkan perubahan semakin kecil hingga mencapai steady state di puncak. Perilaku ini terjadi pada model struktur umpan balik negatif. Perilaku sigmoid (kurva bentuk S) merupakan perilaku yang terjadi karena adanya perubahan struktur umpan balik positif menjadi umpan balik negatif (Muhammadi et al. , 2001). Perilaku koevolusi mirip dengan perilaku emergensi, tetapi di puncak tidak menuju steady state melainkan terus bergerak mencapai puncak yang lebih tinggi. Perilaku mirip fungsi sinus terjadi pada model struktur osilasi. Perilaku model tersebut juga dapat dijelaskan dengan istilah lain yang lebih mudah dimengerti dan berlaku umum, misalnya meningkat, menurun, linear, nonlinear, meningkat eksponensial, menurun dengan percepatan (Djojomartono, 2000 dan Muhammadi et al. , 2001). 2.13. Analisis Model Dinamis xlix Analisis model dinamis dapat memberikan gambaran tentang kondisi yang sedang terjadi maupun ke depan pada lingkungan alam yang kompleks . Hal ini karena dalam analisis model dinamis semua interaksi komponen di alam nyata dihubungkan dan dirumuskan dengan menirukan yang sebenarnya melalui simulasi yang kompleks. Analisis model dinamis yang baik memerlukan beberapa tahapan (Gambar 4), yaitu : identifikasi kebutuhan sistem, perancangan diagram lingkar sebab-akibat (causal loop); perancangan diagram alir (flow diagram); formulasi model; simulasi model atau analisis perilaku model (model behavior); dan validasi model (Djojomartono, 1991, 2000; dan Ferdinand 2002). Identifikasi Kebutuhan Sistem Perancangan Causal Loop Perancangan Flow Diagram Formulasi Model (model awal dan modifikasinya) Validasi Model Simulasi Model Model dapat dipakai Ya Model diterima? Tidak Gambar 4. Tahapan analisis model dinamis Menurut Manetsch dan Park (1977), identifikasi kebutuhan mer upakan identifikasi berbagai kebutuhan komponen-komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sistem. Di alam nyata, komponen yang terlibat dalam penyebaran logam berat sangat banyak dan beragam. Komponen tersebut menjadi peubah penting dalam analisis model. l Untuk merumuskan berbagai bentuk hubungan dan interaksi di antara komponen yang terlibat dalam sistem, maka digunakan konsep umpan balik. Menurut Djojomartono (2000), pemakaian konsep umpan balik (diagram lingkar sebab-akibat) sangat memungkinkan membuat struktur sistem yang lebih tepat. Diagram lingkar sebab-akibat dapat menggambarkan umpan balik pokok pada sistem nyata penyebaran logam berat tanpa membedakan bentuk interaksi yang terjadi. Gambaran umpan balik tersebut merupakan penyederhanaan model yang dijadikan dasar pengembangan. Diagram alir merupakan penjabaran diagram lingkar sebab-akibat ke dalam suatu struktur fisik model yang rinci. Disamping memuat peubah yang sama dengan diagram lingkar sebab-akibat, diagram alir juga memuat peubah yang sulit dijelaskan di dalam diagram lingkar sebab-akibat. Formulasi model merupakan proses perumusan dimensi interaksi peubah-peubah yang menyusun model ke dalam persamaan (equation) matematis dan modifikasinya (Roberts, 1984). Dimensi interaksi tersebut meliputi tanda, bentuk respon, dan satuan dari persamaan matematis tersebut dalam kaitannya dengan sistem penyebaran logam berat secara nyata. Pemilihan kode dan bahasa komputer yang digunakan dalam formulasi harus disesuaikan dengan bentuk simulasi komputer. Bila demikian, maka model dapat memperlihatkan perilaku tertentu pada saat simulasi dieksprimenkan (Djojomartono, 1991; Solimun, 2002). Validasi model dilakukan dengan dua teknik uji, yaitu uji validitas struktur model dan uji validitas kinerja model. Uji validitas struktur model dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana struktur model yang disusun dapat menjelaskan sistem penyebaran logam berat berpengaruh nilai ekonomi air yang ada di alam nyata. Uji validitas kinerja model dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible ) dengan kinerja sistem nyata penyebaran logam berat dan nilai ekonomi air yang ada (Barlas, 1996 dan Muhammadi et al. , 2001). 2.14. Fungsi-Fungsi Penting dalam Pemodelan Dinamis li Fungsi matematis yang digunakan dalam pemodelan dinamis (Powersim) antara lain fungsi IF, fungsi GRAFH, fungsi STEP, fungsi PULSE, fungsi DELAY, dan fungsi TIMECYCLE. Fungsi IF digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi yang dipersyaratkan atau pembatasan suatu kepentingan terpilih diantara banyak kepentingan. Dalam penggunaannya, fungsi IF sering digabungkan dengan fungsi lain, misalnya menjadi PULSEIF, SAMPLEIF, PAUSEIF, STOPIF, dan STOPRUNIF. Fungsi GRAFH banyak digunaka n bila data yang tersedia berupa tabel atau menunjukkan hubungan yang nonlinear. Dalam penggunaannya, fungsi GRAFH dapat digabungkan dengan fungsi lain, misalnya menjadi GRAFHCURVE, GRAFHLINAS, dan GRAFHSTEP (Muhammadi et al., 2001). Fungsi STEP digunakan untuk menambah atau mengurangi kuantitas suatu kondisi pada waktu tertentu. Fungsi PULSE digunakan untuk menambah atau mengurangi kuantitas suatu kondisi secara berkala. Dengan demikian, fungsi PULSE merupakan fungsi STEP yang berkala. Dalam penggunaannya, fungsi STEP dan fungsi GRAFH dapat digabungkan dengan fungsi lain, misalnya menjadi STEPIF dan PULSEIF. Fungsi DELAY digunakan untuk membuat penundaan perubahan suatu kondisi (material, informasi, dan lain -lain). Fungsi TIMECYCLE digunakan untuk menyatakan siklus waktu berlakunya suatu kondisi. Dalam penggunaannya, fungsi TIMECYLE dapat dimodifikasi, misalnya menjadi TIME, TIMEIS, dan TIMESTEP (Makridas, 1983 dan Muhammadi et al. , 2001). 2.15. Penelitian Terdahulu tentang Penyebaran Logam B erat Penelitian terdahulu tentang penyebaran logam berat pada badan air (sungai, kali, dan laut) lebih banyak difokuskan pada pengaruh logam berat terhadap kehidupan organisme air itu sendiri. Hasil penelitian Purwanti (1995) menunjukkan bahwa ikan yang hidup di air yang mengandung Pb, pada hatinya ditemukan akumulasi Pb. Ikan nila merah (Oreochromis niloticus ) yang hidup bersama ikan lainnya mengalami akumulasi Pb yang akan bertambah bila kadar logam berat tersebut dalam air bertambah. Penelitian Herma nsyah (1995) menyatakan bahwa organ hati yang mengakumulasi Pb akan mengalami lii kerusakan jaringan yaitu degenerasi lemak, hiperemi (pembengkakan), dan nekrosa. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan juga menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari proses detoksifikasi. Pengaruh kadar logam berat dan lama ikan hidup di air yang mengandung logam berat, juga mempengaruhi akumulasi logam berat pada insang. Kadar logam berat dan lama interaksi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar Pb pada insang ikan nila merah. Semakin tinggi kadar Pb dalam media uji, semakin banyak Pb yang terakumulasi pada insang ikan yang diuji. Akumulasi logam berat di insang meningkat sejalan dengan lamanya waktu interaksi. Namun demikian, waktu interaksi tidak selalu menambah akumulasi logam berat di dalam hati ikan (Purwanti, 1995). Bila dibandingkan dengan organ lainnya, insang termasuk organ yang relatif sedikit terakumulasi logam berat. Hal ini karena logam berat yang terakumulasi di insang dapat dicerna dengan cepat dan sebagian diekskresi dari tubuh bersama metabolisme lainnya. Disamping itu, insang ikan merupakan organ respirasi yang sudah tentu dapat mempertukarkan gas yang dibutuhkan tubuh dan sekresi limbah termasuk logam berat. terakumulasi pada tulang. Logam berat banyak Hasil penelitian Suwirna et al. (1980) mengenai akumulasi logam berat pada organ ikan kembung (Rastrelieger sp), ikan mujair (Oreochromis mossambicis), dan ikan bawal (Pampus chinensis) menunjukkan bahwa akumulasi Pb pada ketiga jenis ikan tersebut dari yang paling banyak berturut-turut adalah tulang, insang, isi perut, dan daging. Organ lain yang dapat mengakumulasi logam berat adalah otak. Hasil penelitian Suwirna et al. (1980) menunjukkan bahwa kadar Hg pada otak ikan kembung dan ikan bawal lebih tinggi dari kadar Hg pada tulang, isi perut, dan insang. Secara keseluruhan, kadar Hg pada tubuh ikan kembung dan ikan bawal lebih tinggi daripada kadar Hg pada tubuh ikan mujair. Moore dan Ramamorthy (1984) meneliti tentang penyebaran logam berat pada lahan melalui genangan air yang mempengaruhi kepadatan, keanekaragaman, dan komposisi jenis avertebrata bentik. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar logam berat di dekat sumber limbah tinggi, sedangkan pada liii jarak 1 km dari sumber limbah menurun tajam. Kadar logam yang tinggi menyebabkan kepadatan avertebrata bentik turun, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman dan komposisi jenis. Hasil penelitian Sule (1994) terhadap kadar Cd da n Pb pada air tanah (air sumur) yang berdekatan dengan lokasi pembuangan limbah memperlihatkan : (a) kadar Cd dan Pb untuk jarak 0 m berurut -turut adalah 0,02 ppm dan 1,00 ppm; (b) kadar Cd dan Pb untuk jarak 50 m berurut-turut adalah 0,01 ppm dan 0,40 ppm; dan (c) kadar Cd dan Pb untuk jarak 100 m berurut-turut adalah 0,02 ppm dan 1,00 ppm. Bila dibandingkan dengan batas maksimum logam berat untuk air minum dan air bersih menurut Kep. MENKES RI No. 416/ MENKES/PER/ IX/1990 maupun batas maksimum logam berat untuk air golongan C dan D menurut PP RI No. 20 tahun 1990, maka kadar Cd dan Pb air sumur tersebut telah melebihi batas aman, sehingga berbahaya bila digunakan untuk air minum, air bersih, usaha peternakan, usaha perikanan, dan usaha pertanian. Pada usaha pertanian, kadar logam berat selain ditentukan oleh jenis tanaman yang diusahakan, juga ditentukan oleh lokasi penanaman. Hasil penelitian Indrawati (1994) terhadap kangkung darat (Ipomoea reptans), bayam (Amaranthus tricolor), da n selada (Lactuca sativa) pada bantaran Sungai Ciliwung-Banjir Kanal dan bantaran Sungai Sunter memperlihatkan : (a) kadar Cd pada selada yang ditanam pada kedua banataran sungai berbeda secara nyata; dan (b) kadar Pb pada kangkung, bayam maupun selada yang ditanam pada kedua bantaran sungai berbeda sangat nyata. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kadar Cd maupun Pb pada tanah di kedua bantaran sungai, yaitu : (a) untuk kadar Cd di bantaran Sungai Ciliwung-Banjir Kanal sekitar 0,030 ppm, sedangkan di bantaran Sungai Sunter sekitar 0,094 ppm; dan (b) untuk kadar Pb di bantaran Sungai Ciliwung-Banjir Kanal sekitar 0,785 ppm, sedangkan di bantaran Sungai Sunter sekitar 1,693 ppm. Bila dibandingkan dengan kisaran aman logam berat dalam tanah menurut Reseau National d’Observation (1981, dalam Razak, 1986), maka kadar Cd dan Pb pada bantaran Sungai CiliwungBanjir Kanal dan bantaran Sungai Sunter masih aman untuk usaha pertanian. liv Penelitian Indrawati (1994), juga mengkaji pemanfaatan kangkung dan bayam sebagai bahan makanan (sayuran). Hasilnya memperlihatkan : (a) kangkung dari bantaran Sungai Ciliwung-Banjir Kanal maupun bantaran Sungai Sunter aman untuk dikonsumsi karena kadar Cd dan Pb masih di bawah batas maksimum logam berat dalam makanan menurut DEPKES RI No. 03725/ B/SK/1989 (batas maksimum Cd dan Pb adalah berturut-turut 1 ppm dan 2 ppm); dan (b) bayam dari bantaran Sungai Ciliwung-Banjir Kanal aman untuk dikonsumsi, sedangkan dari bantaran Sungai Sunter tidak aman karena mempunyai kadar Pb yang tinggi (3,649 ppm). Nilai ekonomi air juga menjadi titik perhatian pada saat lingkungan mengalami perubahan akibat pencemaran termasuk oleh logam berat, sementara masyarakat sangat bergantung kepada sumberdaya air. Penelitian yang dilakukan oleh Arianti (1999) tentang permintaan dan penawaran air bersih PDAM di Kodya Bengkulu memperlihatkan permintaan air yang meningkat akibat keterbatasan air bersih. Masyarakat sanggup membayar untuk pengadaan air bersih dengan kuantitas maupun kualitas yang lebih baik yang ditunjukkan oleh kesediaan membayar lebih dari tarif normal yaitu dengan penambahan sekitar Rp 25,sampai Rp 200,- per m3 air PAM. Anwar (1992) menyatakan bahwa nilai ekonomi air sangat terkait dengan struktur pasar yang ber sifat tidak sempurna, karena air termasuk sumberdaya milik umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai atau harga pasar air tidak ada, sehingga sering ditentukan secara sepihak oleh produsen (price maker atau price setter). Disamping itu, jumlah pr odusen lebih sedikit daripada konsumen. Kondisi ini akan mengarah pada struktur pasar monopoli dan terjadi inefisiensi pengalokasian air yang berakhir pada kegagalan pasar. Hasil penelitian Tietenberg (1994) memperlihatkan bahwa perubahan nilai ekonomi air dan inefesiensi pengalokasian air dapat disebabkan antara lain oleh : (a) pembatasan dalam hal pendistribusian air (restrictions on transfers); (b) penetapan harga air (water pricing) yang tidak menjamin pengalokasian yang efisien; dan (c) masalah kepemilikan umum (common property problems), sehingga air cenderung habis terkuras dalam waktu singkat dan para pengguna tidak mempunyai inisiatif untuk melakukan konservasi. lv